Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

ASKEP AUTISME

Dosen Pembimbing: Alvi Ratna Yuliana,S.Kep.Ns.M.Kep

Disusun oleh :

1. Meliana Dwi Hidayah (20191495) 5. Muhimatul Ifadah (20191500)

2. Mu’allimin Fikri Musta’in 6. Putri Eka Apriliana (20191509)

(20191496) 7. Sarifatul Islamiyah (20191517)

3. Muhammad Dwi Purwanto 8. Sela Kurniasari (20191518)

(20191497) 9. Tiara Indra Pramugari (20191526)

4. Muhammad Nurul Yaqin 10. Yunika Putri Lestari (20191534)

(20191499) 11. Yunita Rahmawati (20191535)

Kelas:2B

AKPER KRIDA HUSADA KUDUS

TAHUN 2019/2020

Jl. Lingkar Raya Kudus-Pati Km.5 Jepang Kec.Mejobo, Kudus Telp (0291) 4248656 Fax.
(0291) 4248657

www.akperkridahusada.ac.id, Email: akperkridahusada@yahoo.co.id

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan atas berkat berkat dan rahmatnya
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini terdiri dari pokok
pembahasan mengenai “ASKEP AUTISME” Setiap pembahasan di bahas secara
sederhana sehingga mudah dimengerti.
Kami sadar, sebagai mahasiswa yang masih dalam proses pembelajaran,
penulisan dalam makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan makalah
yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................................1
KATA PENGANTAR................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................4
A. Latar Belakang...............................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................7
C. Tujuan.............................................................................................................................8
D. Manfaat...........................................................................................................................8
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................9
A. Definisi...........................................................................................................................9
B. Etiologi...........................................................................................................................9
C. Gejala Klinis...................................................................................................................9
D. Pemeriksaa Penunjang..................................................................................................10
E. Masalah Keperawatan...................................................................................................15
F. Penatalaksanaan............................................................................................................15
G. Anamnesis....................................................................................................................19
H. Diagnosa Keperawan...................................................................................................22
I. Intervensi........................................................................................................................22
J. Evaluasi..........................................................................................................................24
BAB III CONTOH KASUS......................................................................................................25
A. Kasus............................................................................................................................25
BAB IV PENUTUP..................................................................................................................39
A. Kesimpulan...................................................................................................................39
B. Saran.............................................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................40

3
BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Autis atau AutisticSpectrum Disorder (ASD) adalah gangguan


perkembangan dan perilaku yang ditandai dengan ketidakmampuan pada
komunikasi sosial, interaksi, keterbatasan, pola perilaku berulang, aktivitas
dan interestyang mulai terlihat sebelum anak berusia 3 tahun(American
Psychiatric Association,1994 dalam Depape& Lindsay, 2015). Autisme
seringkali di salah artikan sebagai keadaan yang buruk dengan keparahan
masalah pola perilaku anak (Abbedutoetal, 2012 dalam Weiss, Robinson,
Fung, Tint&Chalmers, 2013), dan keperahan gejala dari autisme itu sendiri
(Duarte etal, 2005 dalam Weiss, Robinson, Fung, Tint&Chalmers, 2013).

Di kutip dari kementrian kesehatan RI data Centre


ofDiseaseControl(CDC) di Amerika pada bulan Maret 2014, prevalensi
(angka kejadian) Autisme adalah 1 dari 68 anak. Secara lebih spesifik 1 dari
42 anak laki-laki dan 1 dari 189 anak perempuan. Sejak tahun 1980, terjadi
peningkatan sampai 40% di Kanada dan Jepang. Dalam sebuah studi yang
dilakukan terhadap ribuan anak, Universitas Cambridge menemukan bahwa
saat ini, 1 dari 60 anak di Inggris memiliki beberapa kondisi autis
(CentersforDiseaseControlandPrevention (CDC), 2014 dalam Russel
&McClosckey, 2015).
Di Indonesia belum di kemukakan secara pasti data anak penyandang
autisme,sebagai rujukan data yang peneliti gunakan untuk menunjukkan
prevalensi autisme di Indonesia tahun 2010,anak berusia 519 tahun yang
menyandang gangguan spectrum autisme sebanyak 66.000.805 dan
berdasarkan data badan pusat statistic di perkirakan terdapat 112.000 anak
yang menyadangspectrum autisme (Nurvita, 2016)

Di Sumatra Barat,siswaautis tersebar di berbagai sekolah luar biasa.


Menurut dinas pendidikan provinsi Sumatra Barat tahun 2016, 694 anak

4
terdaftar di berbagai sekolah luar biasa. Di Kota Padang telah tersebar 5
sekolah khusus autis dengan jumlah siswa sekitar 283 siswa. Dengan
meningkatnya jumlah penyandang autisme, seringkali menjadi perbincangan
hangat di kalangan orang tua dan seringkali membuat orang tua merasa
khawatir terhadap anak (Muniroh, 2010). Anak sebagai bagian dari anggota
keluarga, dalam petumbuhan dan perkembangannya tidak akan terlepas dari
lingkungan yang merawat dan mengasuhnya yaitu keluarga (Wahini, 2002
dalam Mulato, 2010). Sipos, Predescu, Muresan&Iftena (2012) menuturkan
bahwa keluarga yang memiliki anak penyandang autisme memiliki tekanan
yang lebih besar di bandingkan anak yang memiliki gangguan kognitif dan
gangguan kesehatan yang lain.

Menurut Cridland, Jones, Magee&Caputi (2014), keluarga memiliki


tantangan tersendiri karena kehadiran anak penyandang autisme. Sulitnya
penyusuain diri dalam rutinitas sehari-hari, tolerensi terhadap prilaku,
perubahan mood secara tiba-tiba dan menjadi mediator dalam interaksi sosial
merupakan tantangan yang harus di hadapi keluarga.

Dengan tantangan tersebut, autisme memberikan dampak kepada keluarga di


antaranya, dampak terhadap kehidupan sehari-hari, dampak terhadap karir dan
keuangan, dampak terhadap hubungan bersaudara, dampak terhadap hubungan
suami istri dan dampak terhadap orang tua (Depape& Lindsay, 2015).

Banyaknya tantangan yang di hadapi keluarga,memberikan dampak


yang lebih siginifikan kepada ibu yang berperan lebih banyak untuk merawat
anak penyadang autisme (Lutz, Patterson&Klein, 2012). Tidak mudah bagi ibu
untuk dapat hidup secara tenang dan damai ketika mengetahui anaknya
menagalami salah satu gangguan perkembangan yang cukup berat seperti
autisme (Safaria, 2005). Ibu akan merasakan kesedihan memiliki anak sebagai
penyandang autisme, dimana kesedihan akan reda setalah 6-12 bulan namun
kesedihan mendalam akan reda kurang lebih dalam 3-5 tahun (Martocchio,
1985 dalam Lewisetal, 2011). Setelahnya, ibu akan memunculkan sikap
penerimaan dimana akan memberikan dampak positif terhadap kesembuhan

5
anak atau penolakan yang mengakibatkan dampak negatif seperti menyakiti
anak secara fisik dan psikologis (Nurvita, 2016)

Dampak dukungan ibu jika tidak diberikan pada anak autis yaitu anak
akan mengalami kemunduran perkembangan yang seharusnya seorang anak
sudah menggapai tugas-tugas perkembangan sesuai usianya (Pancawati,
2013).kemunduran perkembangan yang dialami adalah anak memiliki
kesulitan memenuhi tugas perkembangan diusianya seperti ketidakmampuan
anak untuk mandiri dalam beberapa hal seperti belajar makan dengan kegiatan
mengunyah yang sangat pelan, berbicara, berinteraksi dengan lingkungan,
buang air besar dan buang air kecil (Rahmawati, 2011). Sehingga dari keadaan
diatas anak dengan autisme akan rentan terhadap resiko kekurangan gizi
(Rahayu, 2016), gangguan interaksi sosial dan deficit perawatan diri
(Rahmawati, 2011).

Kondisi yang berhubungan dengan anak dan keluarga yang dilihat


sebagai dampak merawat anak dengan autisme dapat dilihat melalui perspektfi
ibu (Lutz, Petterson&Klein, 2012). Perspektif ibu di pengaruhi oleh bagaimana
ibu menyikapi keadaan anak, dimana akan ada perasaan kecewa, sedih, marah,
malu dan memilih bersembunyi, menutupi kondisi anak bahkan mengucilkan
anak dari lingkungan sosial dan bisa berujung pada di abaikannya anak
tersebut (Salma, 2014 dalam Widyasmara, 2015)

Berdasarkan penelitian yang di lakukan Nealy, O’Hare,


Powers&Swick (2012) tentang
“theimpactofautismspectrumdisordersonthefamily : A qualitative study
ofmother’sperspectives” menemukan bahwa dampak autisme dalam keluarga
di kelompokkan dalam beberapa tema, yaitu; dampak emosional yang
memiliki dua subtema; stress, dan kecemasan. Tema selanjutnya yaitu
hubungan keluarga dimanamemilki dua subtema, diantaranya; hubungan
bersaudara dan hubungan suami istri. Tema berikutnya dampak terhadap
lingkungan dan tema terakhir dampak finansial. Di dukung penelitian yang di
lakukan Lutz, Petterson&Klein (2012) tentang “copingwithautism : a
journeytowardadaptation”. Menemukan bahawaprespektif ibu terhadap
dampak autisme dalam keluarga di kelompokkan ke dalam beberapa tema;

6
kesedihan dan kemarahan, kesulitan dan ketegangan peran, merasa bersalah
dan ragu, serta kekecewaan dan pengorbanan.

dibandingkan tiga SLB lain, SLB Autisma Mitra ananda adalah SLB yang
memiliki 30 orang siswa dan 13 orang guru. Sekolah terdiri dari tiga shift
dalam satu hari, dimana dalam satu shift satu orang guru bisa memegang 3
orang siswa. Dengan demikian, guru akan kewalahan dan tidak terfokus pada
siswa. Hal ini akan berakibat pada si anak, dimana menurut Pancawati (2013)
anak autis yang tidak terperhatikan akan menghasilkan individu autis yang
sulit untuk diarahkan dididik dan dibina yang termanifestasi pada perilaku
yang tidak diinginkan sehingga akan berpengaruh pada keluarga.

Studi pendahuluan yang di lakukan tanggal 6 mei 2017, Saat di


lakukan wawancara terhadap 5 ibu siswa, 3 dari 5 orang ibu mengatakan
bahwa autisme secara tidak langsung mengganggu aktivitas social keluarga.
Ibu juga menagatakan bahwa saat ini masyarakat masih ada yang menganggap
remeh keadaan anak mereka, sehingga mereka memilih untuk tidak banyak
berinteraksi dengan masyarakat. Sementara, 2 dari 5 ibu mengatakan bahwa
mereka mersastress menghadapi anak dengan autisme. Para ibu juga
mengatakan bahawa mereka sesekali merasa kecewa dan marah dengan
prilaku dan kesulitan komunikasi. Sedangkan 4 dari 5 ibu menagatakan bahwa
hubungan mereka dengan suami,baik-baik saja namun sesekali ada sedikit
masalah terkait perilaku anak. Dalam karir dan finansial, 3 dari 5 ibu
mengatakan bahwa mereka memilih menjadi ibu rumah tangga dan
mengatakan bahwa pengeluaran mereka lebih besar. Hubungan anak
penyandang autisme di rumah dengan saudaranya yang lain juga berpengaruh
seperti adanya pertengkaran karena perhatian orang tua tidak sama dimana 2
dari 5 ibu mengatakan bahwa anak-anak mereka sulit beradaptasi dengan
keadaan saudaranya.

B.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian masalah pada latar belakang diatas, dapat
dirumuskan masalah penelitian yaitu “bagaimana dampak autisme dalam
keluarga terhadap prespektif ibu di Sekolah Luar Biasa Autisma.

7
C.TUJUAN

1. Tujuan umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dampak
autisme terhadap keluarga dalam prespektif ibu di SLB Autisma

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengeksplorasi prespektif ibu tentang autisme di SLB

b. Untuk mengeksplorasi prespektif ibu tentang dampak autisme terhadap


keluarga di SLB

D.MANFAAT
1. Bagi Ibu

Hasil penelitian ini di harapkan bisa memeberi informasi dan edukasi


kepada ibu tentang dampak yang di rasakan keluarga merawat anak dengan
autisme

2. Bagi institusi pelayanan

Memberikan informasi kepada perawat tentang bagaimana dampak


autisme terhadap keluarga dalam prespektif ibu, dan masalah yang di
hadapi keluarga serta menambah pengetahuan untuk perekmabangan ilmu
keperawatan terutama untuk mengembangkan asuhan keperawatan anak
penyandang autisme

3. Bagi peneliti selanjutnya


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan dan
tambahan informasi bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian
tentang masalah

8
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Autisme adalah kumpulan kondisi kelainan perkembangan yang ditandai
dengan kesulitan berinteraksi sosial, masalah komunikasi verbal dan nonverbal,
disertai denganpengulangan tingkah laku dan ketertarikan yang dangkal dan
obsesif. Autisme merupakan suatu gangguan spektrum, artinya gejala yang
tampak bisa sangat bervariasi.Tidak ada dua anak yang memiliki diagnosis yang
sama yang menunjukkan pola dan variasi perilaku yang sama persis. Autisme
sesungguhnya adalah sekumpulan gejala klinis atau sindrom yang
dilatarbelakangi oleh berbagai faktor yang sangat bervariasi dan berkaitan satu
sama lain dan unik karena tidak sama untuk masing-masing kasus.

B. ETIOLOGI
Penyebab autisme adalah multifaktorial. Faktor genetik maupun lingkungan
diduga mempunyai peranan yang signifikan. Sebuah studi mengemukakan bahwa
apabila 1 keluarga memiliki 1 anak autis maka risiko untuk memiliki anak kedua
dengan kelainan yang sama mencapai 5%, risiko yang lebih besar dibandingkan
dengan populasi umum. Di lain pihak, lingkungan diduga pula berpengaruh
karena ditemukan pada orang tua maupun anggota keluarga lain dari penderita
autistik menunjukkan kerusakan ringan dalam kemampuan sosial dan komunikasi
atau mempunyaikebiasaan yang repetitif. Akan tetapi penyebab secara pasti
belum dapat dibuktikan secara empiris.

C. GEJALA KLINIS
Biasanya tidak ada riwayat perkembangan yang jelas, tetapi jika dijumpai
abnormalitas tampak sebelum usia 3 tahun. Selalu dijumpai hendaya kualitatif
dalam interaksi sosialnya yang berupa tidak adanya apresiasi adekuat terhadap
isyarat sosio- emosional, yang tampak sebagai kurangnya respon terhadap emosi
orang lain dan atau kurang modulasi terhadap perilaku dalam konteks sosial;
buruk dalam menggunakan isyarat sosial dan lemah dalam integrasi perilaku
sosial, emosional dan komunikatif; dan khususnya, kurang respon timbal balik
sosio-emosional.Selain itu juga terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi
yang berupa kurangnya penggunaan sosial dari kemampuan bahasa yang ada;

9
hendaya dalam permainan imaginatif dan imitasi sosial; buruknya keserasian dan
kurangnya interaksi timbal balik dalam percakapan; buruknya fleksibilitas dalam
bahasa ekspresif dan relatif kurang dalam kreatifitas dan fantasi dalam proses
pikir; kurangnya respon emosional terhadap ungkapan verbal dan nonverbal
orang lain; hendaya dalam meggunakan variasi irama atau tekanan modulasi
komunikatif; dan kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau mengartikan
komunikasi lisan.Kondisi ini juga ditandai oleh pola perilaku, minat dan kegiatan
yang terbatas, pengulangan dan stereotipik. Ini berupa kecenderungan untuk
bersifat kaku dan rutin dalam aspek kehidupan sehari-hari;ini biasanya berlaku
untuk kegiatan baru atau kebiasaan sehari-hari yang rutin dan pola bermain.
Terutama sekali dalam masa dini anak, terdapat kelekatan yang aneh terhadap
benda yang tidak lembut. Anak dapat memaksakan suatu kegiatan rutin seperti
ritual dari kegiatan yang sepertinya tidak perlu; dapat menjadi preokuasi yang
stereotipikdengan perhatian pada tanggal, rute dan jadwal; sering terdapat
stereotipik motorik; sering menunjukkan perhatian yang khusus terhadap unsur
sampingan dari benda (seperti bau dan rasa); dan terdapat penolakan terhadap
dari rutinitas atau tata ruang dari kehidupan pribadi (perpindahan dari mebel atau
hiasan dalam rumah).

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ada beberapa instrumen screening untuk autisme:

1. CARS rating system (Childhood Autism Rating Scale),


Dikembangkan oleh Eric Schopler pada awal 1970an, berdasarkan
pengamatan terhadap perilaku. Di dalamnya terdapat 15 nilai skala yang
mengandung penilaian terhadap hubungan anak dengan orang, penggunaan
tubuh, adaptasi terhadap perubahan, respon pendengaran, dan komunikasi
verbal.

2. Checklist for Autism in Toddlers (CHAT)


Digunakan untuk screening autisme pada usia 18 bulan. Dikembangkan
oleh Simon Baron-Cohen pada awal 1990an untuk melihat apakah autisme
dapat terdeteksi pada anak umur 18 bukan. alat screening ini menggunakan
kuesioner yang terbagi 2 sesi, satu melalui penilaian orang tua, yang lain
melalui penilaian dokter yang menangani.

10
Tabel 1. Kuesioner M-CHAT Adaptasi Bahasa Indonesia
Isi kuesioner sesuai dengan perilaku yang selalu dilakukan anak sehari-h
ari. Jika perilaku tersebut jarang (misalnya Anda hanya melihatnya satu atau
dua kali) pilihlah jawaban Tidak.

Apakah anak Anda senang (menikmati) bila diayun-ayun, diguncang-guncang


1. di atas kedua lutut Anda? Ya Tidak

2. Apakah anak Anda tertarik untuk bermain dengan anak lain? Ya Tidak

3. Apakah anak Anda suka memanjat benda-benda, misalnya tangga? Ya Tidak

4. Apakah anak Anda senang bila diajak bermain cilukba atau petak umpet? Ya Tidak

Apakah anak Anda pernah bermain pura-pura, misalnya berbicara


menggunakan telepon atau merawat boneka-bonekanya atau bermain pura-
5. pura lainnya? Ya Tidak

Apakah anak Anda pernah menggunakan jari telunjuknya untuk menunjuk,


6. untuk meminta sesuatu? Ya Tidak

Apakah anak Anda pernah menggunakan jari telunjuknya untuk menunjuk,


7. untuk menyatakan bahwa dia tertarik pada sesuatu? Ya Tidak

Apakah anak Anda mampu bermain dengan menggunakan alat permainan


kecil (seperti mobil-mobilan atau balok-balok), tidak sekedar dimasukkan ke
8. dalam mulut, dimainkan tanpa tujuan atau dibuang-buang? Ya Tidak

Apakah anak Anda pernah membawa benda-benda kepada Anda (orang tua)
9. untuk menunjukkan sesuatu? Ya Tidak

10. Apakah anak Anda pernah menatap mata Anda selama satu detik atau lebih? Ya Tidak

Apakah anak Anda pernah tampak sangat sensitif terhadap suara, misalnya
11. dengan cara menutup telinga, menangis, atau berteriak? Ya Tidak

12. Apakah anak Anda tersenyum sebagai respon terhadap wajah Anda atau Ya Tidak

11
senyuman Anda?

Apakah anak Anda meniru Anda? Misalnya Anda membuka mulut pada saat
13. Anda menyuapi makan anak Anda, apakah anak Anda menirukan? Ya Tidak

14. Apakah anak Anda memberikan respons jika namanya dipanggil? Ya Tidak

Jika Anda menunjuk ke suatu benda atau alat permainan, apakah anak Anda
15. melihat ke arah benda yang Anda tunjuk tersebut? Ya Tidak

16. Apakah anak Anda bisa berjalan? Ya Tidak

17. Apakah anak Anda ikut melihat benda yang sedang Anda lihat? Ya Tidak

Apakah anak Anda menggerakkan jari-jari tangannya dengan cara yang tidak
18. biasa di dekat wajahnya? Ya Tidak

Apakah anak Anda mencoba untuk menarik perhatian Anda terhadap kegiatan
19. yang sedang dilakukannya? Ya Tidak

20. Pernahkah Anda berpikir bahwa anak Anda tuli? Ya Tidak

21. Apakah anak Anda memahami apa yang dikatakan orang? Ya Tidak

Apakah anak Anda kadang-kadang menatap dengan tatapan kosong atau


22. melihat sekitar ruangan (matanya mengembara) tanpa tujuan? Ya Tidak

Apakah anak Anda melihat wajah Anda untuk mengetahui reaksi Anda pada
23. saat dia sedang menghadapi sesuatu yang tidak biasa? Ya Tidak

Berikut adalah daftar respons gagal dari tiap pertanyaan M-CHAT. Huruf ya
ng dicetak tebal adalah item kritis.

1. Tidak 5. Tidak 9. Tidak 13. Tidak 17. Tidak 21. Tidak

2. Tidak 6. Tidak 10. Tidak 14. Tidak 18. Ya 22. Ya

3. Tidak 7.Tidak 11. Ya 15. Tidak 19. Tidak 23. Tidak

12
4. Tidak 8. Tidak 12. Tidak 16. Tidak 20. Ya

Hasil dianggap gagal bila terdapat 2 atau lebih item kritis gagal atau bila gagal 3 a
tau lebih pada item apa saja. Anak dengan hasil gagal harus dievaluasi lebih dalam da
n dirujuk ke spesialis untuk evaluasi perkembangan lebih lanjut. Perlu diperhatikan ba
hwa tidak semua anak yang gagal ketika skrining akan didiagnosis dengan autism spe
ctrum disorder.
3. Autism Screening Questionnaire
40 poin skala skreening yang telah digunakan untuk anak usia 4 tahun ke atas
untuk mengevaluasi kemampuan berkomunikasi dan fungsi sosialnya.

4. Elektroensefalografi (EEG)
Mengingat anak dengan ASD memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami epile
psi dibandingkan populasi umum, EEG pada evaluasi diagnosis ASD dapat dipertimb
angkan pada situasi klinis tertentu. Sebanyak 30% individu dengan ASD dapat menun
jukkan hasil EEG yang disertai dengan gelombang epileptiform namun tidak memerlu
kan terapi khusus kecuali terdapat manifestasi epilepsi yang jelas. Atas pertimbangan
tersebut, EEG hanya diperlukan jika pasien dengan ASD dicurigai memiliki komorbid
itas berupa epilepsi.

Adapun untuk menegakkan diagnosis autisme dapat digunakan kriteria diagnostik


menurut DSM IV, seperti yang tertera dibawah ini :

A. Harus ada 6 gejala atau lebih dari 1, 2 dan 3 di bawah ini:


a) Gangguan kualitatif dari interaksi sosial (minimal 2 gejala)

 Gangguan pada beberapa kebiasaan nonverbal seperti kontak mata,


ekspresi wajah, postur tubuh, sikap tubuh dan pengaturan interaksi
sosial.
 Kegagalan membina hubungan yang sesuai dengan tingkat
perkembangannya.

13
 Tidak ada usaha spontan membagi kesenangan, ketertarikan, ataupun
keberhasilan dengan orang lain (tidak ada usaha menunjukkan,
membawa, atau menunjukkan barang yang ia tertarik).
 Tidak ada timbal balik sosial maupun emosional
b) Gangguan kualitatif dari komunikasi (minimal 1 gejala)

 Keterlambatan atau tidak adanya perkembangan bahasa yang diucapkan


(tidak disertai dengan mimik ataupun sikap tubuh yang merupakan usaha
alternatif untuk kompensasi).
 Pada individu dengan kemampuan bicara yang cukup. terdapat
kegagalan dalam kemampuan berinisiatif maupun mempertahankan
percakapan dengan orang lain.
 Penggunaan bahasa yang meniru atau repetitif atau bahasa idiosinkrasi.
 Tidak adanya varias dan usaha untuk permainan imitasi sosial sesuai
dengan tingkat perkembangan
c) Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari
perilaku, minat dan aktivitas (minimal 1 gejala)

 Kesibukan (preokupasi) dengan satu atau lebih pola ketertarikan


stereotipik yang abnormal baik dalam hal intensitas maupun fokus.
 Tampak terikan kepada rutinitas maupun ritual spesifik yang tidak
berguna.
 Kebiasaan motorik yang stereotipik dan repetitif (misalnya mengibaskan
atau memutar-mutar tangan atau jari, atau gerakan tubuh yang
kompleks).
 Preokupasi persisten dengan bagian dari suatu obyek
B. Keterlambatan atau fungsi yang abnormal tersebut terjadi sebelum umur 3
tahun, dengan adanya gangguan dalam 3 bidang yaitu: interaksi sosial;
penggunaan bahasa untuk komunikasi sosial; bermain simbol atau imajinasi.

C. Kelainan tersebut bukan disebabkan oleh penyakit Rett atau gangguan


disintegratif (sindrom Heller)

E. MASALAH KEPERAWATAN
Menurut (Veskarisyanti, 2008 : 18)

14
1. Gangguan perilaku
Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan karena terinfeksi oleh bahan
beracun yang akan merusak srtuktur tubuh. Telah kita ketahui bahwa jika
bahan racun masuk melalui pembuluh darah yang bila tidak segera diatasi
bisa menuju ke otak kemudian bereaksi dengan endhorphin yangn akan
mengakibatkan perubahan perilaku.

2. Gangguan komunikasi
3. Gangguan interaksi sosial
4. Gangguan sensoris
Anak dengan autisme mengalami gangguan pada otaknya yang terjadi
karena infeksi yang disebabkan oleh jamur, logam berat, zat aditif, alergi
berat, obat-obatan, kasein dan gluten. Infeksi tersebut terjadi ketika bayi
berada didalam kandungan maupun setelah lahir. Kelainan pada anak autisme
terjadi pada otak bagian lobus perietalis, otak kecil (cerebellum) dan pada
bagian sistem limbik. Kelainan ini menyebabkan anak mengalami gangguan
dalam berpuikir, mengingat dan belajar berbahasa serta dalam proses atensi.
Sehingga anak dengan autisme kurang berespon terhadap berbagai rangsang
sensoris dan terjadilah kesulitan dalam menyimpan informasi baru.

F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada autisme harus secara terpadu, meliputi semua disiplin
ilmu yang terkait: tenaga medis (psikiater, dokter anak, neurolog, dokter
rehabilitasi medik) dan non medis (tenaga pendidik, psikolog, ahli terapi
bicara/okupasi/fisik, pekerja sosial). Tujuan terapi pada autis adalah untuk
mengurangi masalah perilaku dan meningkatkan kemampuan belajar dan
perkembangannya terutama dalam penguasaan bahasa. Dengan deteksi sedini
mungkin dan dilakukan manajemen multidisiplin yang sesuai yang tepat waktu,
diharapkan dapat tercapai hasil yang optimal dari perkembangan anak dengan
autisme.Manajemen multidisiplin dapat dibagi menjadi dua yaitu non
medikamentosa dan medika mentosa.

1. Non medikamentosa

a. Terapi edukasi

15
Intervensi dalam bentuk pelatihan keterampilan sosial, keterampilan
sehari-hari agar anak menjadi mandiri. Tedapat berbagai metode
penganjaran antara lain metode TEACHC (Treatment and Education
of Autistic and related Communication Handicapped Children) metode
ini merupakan suatu program yang sangat terstruktur yang
mengintegrasikan metode klasikal yang individual, metodepengajaran
yang sistematik terjadwal dan dalam ruang kelas yang ditata khusus.

b. Terapi perilaku

Intervensi terapi perilaku sangat diperlukan pada autisme. Apapun


metodenya sebaiknya harus sesegera mungkin dan seintensif mungkin
yang dilakukan terpadu dengan terapi-terapi lain. Metode yang banyak
dipakai adalah ABA (Applied Behaviour Analisis) dimana
keberhasilannya sangat tergantung dari usia saat terapi itu dilakukan
(terbaik sekitar usia 2 – 5 tahun).

c. Terapi wicara

Intervensi dalam bentuk terapi wicara sangat perlu dilakukan,


mengingat tidak semua individu dengan autisme dapat berkomunikasi
secara verbal. Terapi ini harus diberikan sejak dini dan dengan
intensif dengan terapi-terapi yang lain.

d. Terapi okupasi/fisik

Intervensi ini dilakukan agar individu dengan autisme dapat melakukan


gerakan, memegang, menulis, melompat dengan terkontrol dan teratur
sesuai kebutuhan saat itu.

e. Sensori integrasi

Adalah pengorganisasian informasi semua sensori yang ada (gerakan,


sentuhan,penciuman, pengecapan, penglihatan, pendengaran)untuk
menghasilkan respon yang bermakna. Melalui semua indera yang ada

16
otak menerima informasi mengenai kondisi fisik dan lingkungan
sekitarnya, sehingga diharapkan semua gangguan akan dapat teratasi.

f. AIT (Auditory Integration Training)

Pada intervensi autisme, awalnya ditentukan suara yang


mengganggu pendengaran dengan audimeter. Lalu diikuti dengan
seri terapi yang mendengarkan suara-suara yang direkam, tapi tidak
disertai dengan suara yang menyakitkan. Selanjutnya dilakukan
desentisasi terhadap suara-suara yang menyakitkan tersebut.

g. Intervensi keluarga

Pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan keluarga


baik perlindungan, pengasuhan, pendidikan, maupun dorongan untuk
dapat tercapainya perkembangan yang optimal dari seorang anak,
mandiri dan dapat bersosialisai dengan lingkungannya. Untuk itu
diperlukan keluarga yang dapat berinteraksi satu sama lain (antar
anggota keluarga) dan saling mendukung. Oleh karena itu
pengolahan keluarga dalam kaitannya dengan manajemen terapi
menjadi sangat penting, tanpa dukungan keluarga rasanya sulit sekali
kita dapat melaksanakan terapi apapun pada individu dengan autisme.

2. Medika mentosa

Individu yang destruktif seringkali menimbulkan suasana yang tegang


bagi lingkungan pengasuh, saudara kandung dan guru atau terapisnya.
Kondisi ini seringkali memerlukan medikasi dengan medikamentosa yang
mempunyai potensi untuk mengatasi hal ini dan sebaiknya diberikan bersama-
sama dengan intervensi edukational, perilaku dan sosial.

17
a) Jika perilaku destruktif yang menjadi target terapi, manajemen terbaik
adalah dengan dosis rendah antipsikotik/neuroleptik tapi dapat juga dengan
agonis alfa adrenergik dan antagonis reseptor beta sebagai alternatif.
 Neuroleptik
 Neuroleptik tipikal potensi rendah-Thioridazin-dapat menurunkan
agresifitas dan agitasi.
 Neuroleptik tipikal potensi tinggi-Haloperidol-dapat menurunkan
agresifitas, hiperaktifitas, iritabilitas dan stereotipik.
 Neuroleptik atipikal-Risperidon-akan tampak perbaikan dalam
hubungan sosial, atensi dan absesif.
 Agonis reseptor alfa adrenergik
 Klonidin, dilaporkan dapat menurunkan agresifitas, impulsifitas dan
hiperaktifitas.
 Beta adrenergik blocker
 Propanolol dipakai dalam mengatasi agresifitas terutama yang
disertai dengan agitasi dan anxietas.
b) Jika perilaku repetitif menjadi target terapi

Neuroleptik (Risperidon) dan SSRI dapat dipakai untuk mengatasi


perilaku stereotipik seperti melukai diri sendiri, resisten terhadap perubahan
hal-hal rutin dan ritual obsesif dengan anxietas tinggi.

c) Jika inatensi menjadi target terapi

Methylphenidat (Ritalin, Concerta) dapat meningkatkan atensi dan


mengurangi destruksibilitas.

d) Jika insomnia menjadi target terapi

Dyphenhidramine (Benadryl) dan neuroleptik (Tioridazin) dapat


mengatasi keluhan ini.

e) Jika gangguan metabolisme menjadi problem utama

Ganguan metabolisme yang sering terjadi meliputi gangguan


pencernaan, alergi makanan, gangguan kekebalan tubuh, keracunan logam

18
berat yang terjadi akibat ketidak mampuan anak-anak ini untuk membuang
racun daridalam tubuhnya. Intervensi biomedis dilakukan setelah hasil tes
laboratorium diperoleh. Semua gangguan metabolisme yang ada diperbaiki
dengan obat.

G. ANAMNESIS
Anamnesis ini sangat mengandalakan informasi dari orang tua penderita
ASD ( autism spectrum disorder ) terutama mencakup kemampuan bicara atau
bahasa, interaksi sosial, dan kemampuan bermain. Namun demikian, informasi
mengenai adanya penyakit penyerta (termasuk kelainan genetik), riwayat tumbuh
kembang, riwayat saat kehamilan hingga persalinan, serta riwayat keluhan serupa
dalam keluarga juga perlu digali untuk mencari faktor risiko yang berhubungan
dengan ASD

 Aloanamnesis pada Anak Berusia 18-24 Bulan

Anak dengan ASD biasanya mulai bergejala ketika berusia 18-24 bulan, yakn
i usia ketika anak dihadapkan pada situasi sosial yang menguji keterbatasan mere
ka dalam menunjukkan pola komunikasi sosial yang wajar. Bentuk kekhawatiran
orang tua pada tahap usia ini amat bervariasi dan bergantung pada usia anak ketik
a mereka menyadari adanya ketidakwajaran. Anak-anak biasanya dibawa ke dokt
er umum atau spesialis anak dengan masalah keterlambatan atau regresi perkemb
angan dan bicara, maupun perilaku dan pola permainan yang tak sesuai dengan us
ianya.

 Aloanamnesis pada Anak Berusia di Atas 24 Bulan

Pada usia lebih lanjut, anak-anak biasanya memiliki masalah akademik,


kecanggungan sosial dan gangguan perilaku yang cukup serius serta mengganggu
hubungan dalam keluarga. Anak-anak yang baru dicurigai mengalami ASD pada
usia lebih dewasa biasanya telah menunjukkan indikator gejala sejak usia 2 tahun
namun cenderung dianggap sebagai bagian dari pola perkembangan normal. Hal

19
ini mungkin berhubungan dengan anggapan orang tua atau pengasuh anak bahwa
kemandirian yang tinggi, kemampuan memahami gerak mekanik, dan ketajaman
pengamatan pada usia dini tersebut merupakan indikator pertumbuhan normal
tanpa terlalu memperhatikan apakah pencapaian motorik tersebut turut diimbangi
dengan pola perilaku dan kemampuan sosial yang sesuai usianya. Oleh sebab itu,
pada anak yang berusia lebih dari 2 tahun, pertanyaan anamnesis perlu diarahkan
secara retrospektif terhadap pencapaian perkembangan motorik, bahasa,
kemampuan sosial dan perilaku ketika ia berusia 18-24 bulan.

H. PENGKAJIAN
a. Identitas pasien
b. Riwayat kesehatan
 Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya anak autis dikenal dengan kemampuan berbahasa,
keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu
singkat, tidak senang atau menolak dipeluk. Saat bermain bila didekati akan
menjauh. Ada kedekatan dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, terus
dipegang dibawa kemana saja dia pergi. Bila senang dengan 1 mainan tidak
mau mainan yang lain. Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau benda
apa saja. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga. IQ dibawah
70 dari 70% penderita, dan dibawah 50 dari 50%.

 Riwayat kesehatan dahulu (ketika didalam kandungan)


- Sering terpapar zat toksik, seperti timnbal.

- Cidera otak.

 Riwayat kesehatan keluarga


Tanyakan apakah ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit
serupa dengan klien dan apakah ada penyakit bawaan atau keturunan.
Biasanya pada anak autis ada penyakit keturunan.

c. Status perkembangan anak


 Anak kurang merespon orang lain

20
 Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenali bagian tubuh.
 Anak mengalami kesulitan dalam belajar.
 Anak sulit menggunakan ekspresi nonverbal.
 Keterbatasan kognitif.
d. Pemeriksaan fisik
 Anak tertarik pada sentuhan.
 Terdapat ekolalia.
 Sulit fokus pada objek semula bila anak sudah berpaling ke objek yang
lain.
 Anak tertarik pada suara tapi bukan pada makna suara tersebut.
 Peka terhadap bau.
e. Psikososial
 Menarik diri dan tidak responsif terhadap orang tua.
 Memiliki sikap menolak perubahan secara ekstrem.
 Keterikatan yang tidak pada tempatnya dengan objek.
 Perilaku menstimulus diri.
 Pola tidur tidak teratur.
 Perilaku destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain.
 Tantrum yang sering.
 Peka terhadap suara yang lembut bukan pada suatu pembicaraan.
 Kemampuan bertutur kata menurun
 Menolak mengkonsumsi makanan yang tidak halus.
f. Neurologis
 Respon yang tidak sesuai terhadap stimulus.
 Refleks menghisap buruk.
 Tidak mampu menangis ketika lapar.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko mutilasi diri dibuktikan dengan individu autistik.
2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan neuromuskuler.
3. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan hambatan perkembangan.
4. Gangguan identitas diri berhubungan dengan tidak terpenuhinya tugas
perkembangan.

21
J. INTERVENSI
Menurut Townsend, M.C (1998)

1. Risiko mutilasi diri


Tujuan : pasien akan mendemonstrasikan perilaku-perilaku alternative
(misalnya memulai interaksi antara diri dan perawat) sebagai respon
terhadap kecemasan dengan kriteria hasil :

 Rasa gelisah dipertahankan pada tingkat anak merasa tidak memerlukan


perilaku-perilaku mutilatif diri.
 pasien memulai interaksi antara diri adan perawat apabila merasa cemas.
Intervensi :

 Jamin keselamatan anak dengan memberika rasa aman dan lingkungan


yang kondusif.
 Kaji dan tentukan penyebab perilaku-perilaku mutilatif sebagai respon
terhadap kecemasan.
 Berikan pelindung pada tubuh anak untuk menghindari trauma saat anak
memukul atau ingin melukai dirinya.
 Untuk mendapat kepercayaan setiap satu anak dirawat oleh satu perawat.
 Tawarkan pada anak untuk menemani pada waktu-waktu anak
meningkat kecemasannya.
2. Kerusakan interaksi sosial
Tujuan : anak akan mendemonstrasikan kepercayaan pada seorang pemberi
perawatan ditandai dengan sikap responsive pada wajah dan kontak mata
dalam waktu yang ditentukan dengan kriteria hasil :

 Anak mulai berinteraksi dengan diri dan orang lain.


 Pasien menggunakan kontak mata, sifat responsive pada wajah dan
perilaku-perilaku nonverbal lainnya dalam berinteraksi dengan orang
lain.
 Pasien tidak menarik diri dari kontak fisik dengan orang lain.
Intervensi :

 Sering berinteraksi dengan anak.


 Berikan sentuhan-sentuhan lembut kepada anak.

22
 Jamin keselamatan anak dengan memberika rasa aman dan lingkungan
yang kondusif.
 Kaji dan tentukan penyebab perilaku-perilaku mutilatif sebagai respon
terhadap kecemasan.
 Untuk mendapat kepercayaan setiap satu anak dirawat oleh satu perawat.
 Tawarkan pada anak untuk menemani pada waktu-waktu anak
meningkat kecemasannya.
3. Kerusakan komunikasi verbal
Tujuan : anak akan membentuk kepercayaan pada seorang pemberi
perawatan ditandai dengan sikap responsive pada wajah dan kontak mata
dalam waktu yang ditentukan dengan kriteria hasil :

 Pasien mampu berkomunikasi dengan cara yang dimengerti oleh orang


lain.
 Pesan-pesan nonverbal pasien sesuai dengan pengungkapan verbal.
 Pasien memulai berinteraksi verbal dan nonverbal dengan orang lain.
Intervensi :

 Berikan stimulus untuk mengadakan interaksi dengan lingkungan misal


dengan alat permainan.
 Gunakan kata-kata atau kalimat yang mudah dimengerti.
 Antisipasi dan penuhi kebutuhan anak sampai kepuasan pola
komunikasi terbentuk.
 Gunakan teknik validasi konsensual dan klarifikasi
 Tingkatkan upaya anak untuk memahami dan mempelajari batas-batas
tubuh.

K. Evaluasi
a. Memantau perilaku anak apakah masih melakukan tindakan yang sekiranya
membahayakan dirinya.
b. Mengobservasi kemampuan anak dalam berkomunikasi, apakah ada
hambatan.
c. Mengobservasi anak dalam berinteraksi sosial dengan orang lain, apakah
anak sudah merasa senang dan nyaman.

23
BAB III

CONTOH KASUS

Kasus

An. K umur 3 tahun dibawa ibunya ke RS Husada dengan keluhan anaknya belum
bisa berbicara.ibunya baru tersadar jika anaknya belum bisa bicara 2 bulan yang lalu.

24
A. Pengkajian

1. Biodata

Data Pasien
Nama : An. M

Umur : 3 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tgl.Lahir : Blitar /02 Maret 2017

Agama :Islam

Suku bangsa :Jawa

Status : Belum Menikah

Pendidikan Terakhir :Belum sekolah

Data penanggungjawab
Nama Ayah : Tn. A

Umur : 35

Pekerjaan : Swasta

Pendidikan : SMP

Nama Ibu : Ny. R

Umur : 32

Pekerjaan : Ibu Rumah

Pendidikan : SD

2. Keluhan Utama

Anak belum bisa bicara dengan jelas pada usia saat ini yg berusia 3 tahun

3. Keluhan Sekarang

25
Pasien dibawa ke RS Husada dengan keluhan anak belum dapat berbicara dengan
jelas pada saat usia saat ini. Ibu pasien mengatakan jika anak belum dapat berbicara
dengan jelas hingga usia 3 tahun. Halini dirasakan oleh ibu sejak kurang lebih 2 bulan
yang lalu, ketika ibumembawa anaknya untuk berkunjung kerumah saudara. Ibu
menyadari jika anaknya tidak sama dengan anak lainnya yang seusia pasien saatini.
Jika anak lainnya sudah bisa mengeluarkan banyak kata-katadengan jelas, anak pasien
hanya bisa mengucapkan kata ayah, dan ibu.Ibu itupun kurang jelas.

4. Riwayat perkembangan anak

Lahir cukup bulan dan mengaku normal. Lahir di rumah sakit dan persalinan
dibantu oleh dokter spesialis kandungan, namun sang ibu bercerita ketika persalinan
ibu tidak kuat mengejan hingga pingsanyang akhirnya melakukan tindakan vakum,
setelah bayi lahir (tidak menangis). Selama kehamilan ibu pasien mengaku tidak
pernahmengkonsumsi obatobatan atau jamu.Pasien mendapatkan ASI hinggaumur 2
tahun. Pasien mulai diajarkan toilet training pada umur 3tahun. Pasien dapat duduk,
berjalan, bicara terlambat dari teman sebayanya.

5. Riwayat Penyakit Dahulu

Anak juga tidak pernah sakit rutin yang mengganggu aktivitasnya sehari hari.

6. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga baik dari keluarga ayah maupun ibu
yangmenderita keluhan yang serupa, mengalami gangguan pertumbuhandan
perkembangan, atau mengalami gangguan mental lainnya.

B. Pemeriksaan Fisik

 Keadaan Umum : Compos mentis, aktif


 Tanda Vital
1. Tekanan darah : -
2. Nadi : 116x/menit
3. Suhu : 36,7 C
4. Pernapasan : 28x/menit

26
 Status gizi
Berat badan : 16kg
Tinggi badan : 96cm
Status gizi baik
 Status Generalis
1. Kepala: kesan mesocephal, rambut hitam
2. Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),Refleks cahaya (+/+),
isokor (± 3mm)
3. Telinga: discharge (-/-)
4. Hidung: secret (-), napas cuping hidung (-)
5. Mulut: bibir kering (-), lidah tremor (-), pernapasan mulut(-)
6. Leher: pembesaran KGB (-)
7. Abdomen
a) Inspeksi: datar
b) Auskultasi: peristaltik (+), bising usus (+) normal
c) Perkusi: timpani di seluruh kuadran
d) Palpasi: supel (+), nyeri tekan (-), hepar, lien tidakteraba
8. Thorax: Pergerakan dinding dada saat inspirasi danekspirasi . simetris,
retraksi dinding dada (-), ICS tidak melebar
9. Jantung
a) Inspeksi: ictus cordis tampak
b) Palpasi: ictus cordis teraba dengan 1 jaridari ICS 5linea midclavikula 2
cm ke medial, pulsus parasternal (-), pulsus epigastrium (-)

c) Perkusi
Kanan jantung: ICS 5 linea sternalis dextra
Atas jantung: ICS 2 linea parasternal sinistra
Pinggang jantung: ICS 3 linea parasternalissinistra
Kiri jantung : ICS 5 linea midclavicula 2 cm kemedial
d) Auskultasi: bunyi jantung I-II regular, bising (-)Kesan:
Normal10.Genital : tidak ada kelainan
10. Genital : Tidak ada kelainan

27
C. Analisa Data

No Data fokus Masalah Etiologi


1 Ds : ibu pasien mengatakan anaknya Gangguan komunikasi Gangguan komunikasi
tidak mampu dalam berbicara. verbal verbal b.d dengan
gangguan
Do : neuromuskuler d.d
- Tidak ada kontak mata sulit berbicara, tidak
- Sulit mengungkapkan kata-kata. ada kontak mata, sulit

28
- Sulit menyusun kalimat. memahami
- Sulit mempertahankan komunikasi komunikasi, sulit
- Fiksasi pada fase prasimbiotik dari menyusun kalimat,
perkembangan dan sulit
- Tugas perkembangan tidak tidak mengungkapkan kata-
terselesaikan kata.
- Keterlambatan dalam berbahasa
2 Ds : Ansietas Ansietas b.d
- ibu pasien mengatakan anak merasa kurangnya terpapar
khawatir insormasi d.d merasa
- ibu pasien mengatakan anak merasa bingung, merasa
bingung. khawatir, gelisah.

Do :
- pasien tampak bingung
- pasien sulit tidur
- tampak pucat
- tampak tegang
- suara bergetar
- kurang informasi
- peningkatan ketegangan.

3 Ds : Deficit pengetahuan Deficit pengetahuan


- ibu pasien mengatakan anak tidak tentang tumbuh tentang tumbuh
tahu apa yang harus dilakukan ketika kembang anak kembang anak b.d
mengetahui anaknya tidak bisa kurang terpapar
berbicara diusianya. informasi, d.d
- Ibu pasien menanyakan tentang menanyakan masalah
anaknya yang belum bisa berbicara. yang dihadapi.

Do :
- Ibu pasien tampak bingung dengan
keadaan anaknya.
- Ibu pasien tampak bertanya-tanya

29
tentang keadaan anaknya.
- Kurang faktor pendidikan
- Kurang informasi

NURSING CARE PLANE

Diagnosa Tujuan Intervensi


Gangguan komunikasi verbal Setalah dilakukan tindakan Promosi komunikasi :
b.d dengan gangguan keperawatan selama 2x24 jam Deficit bicara
neuromuskuler d.d sulit dengan luaran gangguan - Monitor kecepatan,
berbicara, tidak ada kontak komunikasi verbal dapat tekanan, kuantitas,
mata, sulit memahami mengurangi gejala dan volume, dan diksi bicara.
komunikasi, sulit menyusun menormalkan indicator - Gunakan metode
kalimat, dan sulit sebagai berikut : komunikasi alternative
mengungkapkan kata-kata. - Kemampuan bicara (mis, menulis, mata
meningkat berkedip, papan
- Kemampuan mendengar komunikasi dengan
meningkat gambar dan huruf, isyarat
- Kesesuaian ekspresi tangan dan computer)
wajah/tubuh meningkat. - Anjurkan bicara perlahan.
- Anjurkan pasien dan
keluarga proses kognitif,

30
anatomis, dan fisiologis
yang berhubungan dengan
kemampuan bicara.
Ansietas b.d kurangnya Setelah dilakukan tindakan Terapi relaksasi
terpapar insormasi d.d merasa keperawatan selama 2x24 jam - Identifikasi teknik
bingung, merasa khawatir, dengan tingkat ansietas relaksasi yang pernah
gelisah. menurun dengan kriteria hasil efektif digunakan.
sebagai berikut : - Monitor respon terhadap
- Perilaku gelisah terapi relaksasi.
- Perilaku tegang menurun - Gunakan nada suara
- Keluhan pusing menurun lembut dengan irama
- Frekuensi pernapasan lambat dan berirama.
menurun
- Tekanan darah menurun
- Pola tidur membaik
- Konsentrasi membaik.
Deficit pengetahuan tentang Setelah dilakukan tindakan edukasi kesehatan
tumbuh kembang anak b.d keperawatan selama 2x24 jam - Identifikasi kesiapan dan
kurang terpapar informasi, d.d dengan tingkat pengetahuan kemampuan menerima
menanyakan masalah yang meningkat dengan kriteria informasi
dihadapi. hasil sebagai berikut : - Jadwalkan pendidikan
- Perilaku sesuai anjuran kesehatan sesuai
meningkat kesepakatan
- Kemampuan menjelaskan - Berikan kesempatan
pengetahuan tentang suatu bertanya
topic meningkat
- Perilaku sesuai dengan
pengetahuan meningkat
- Persepsi keliru terhadap
masalah menurun.

31
NURSING NOTE

No Tanggal/jam DP Implementasi Respon TTD

32
- Monitor kecepatan, tekanan, Ds : pasien
kuantitas, volume, dan diksi mengatakan bersedia.
bicara.
Do : pasien terlihat
antusias saat
dilakukan pelatihan
bicara oleh perawat.

Ds : pasien
- Gunakan metode komunikasi
mengatakan bersedia
alternative (mis, menulis, mata
mengikuti arahan
berkedip, papan komunikasi
perawat.
dengan gambar dan huruf,
Do : pasien Nampak
isyarat tangan dan computer)
nyaman dengan
metode yang
digunakan perawat.

Ds : pasien
- Anjurkan bicara perlahan.
mengatakan bersedia
bicara perlahan.

Do : pasien bicara
perlahan-lahan.

- Anjurkan pasien dan keluarga Ds : pasien dan


proses kognitif, anatomis, dan keluarga mengatakan
fisiologis yang berhubungan paham atas apa yang
dengan kemampuan bicara. dianjurkan perawat
Do : pasien dan
keluarga Nampak
paham dan mengerti.
- Identifikasi teknik relaksasi Ds : ibu pasien
yang pernah efektif digunakan. mengatakan ingat
dengan teknik

33
relaksasi yang pernah
diberikan
sebelumnya.

Do : ibu pasien
mencoba mengajak
anaknya melakukan
teknik relaksasi.

- Monitor respon terhadap terapi Ds : ibu pasien


relaksasi. mengatakan paham
dengan terapi
relaksasi yang
dijelaskan perawat.

Do : ibu pasien
Nampak
mempraktekkan
terapi

- Gunakan nada suara lembut Ds : -


dengan irama lambat dan
berirama. Do : pasien Nampak
tenang saat orang lain
menggunakan nada
suara lembut saat
berbiacara kepada
pasien.

34
- Identifikasi kesiapan dan Ds : ibu pasien
kemampuan menerima mengatakan bersedia
informasi
Do : ibu pasien
terlihat antusias

Ds : ibu pasien
- Jadwalkan pendidikan
mengatakan sepakat
kesehatan sesuai kesepakatan
saat menjadwalkan
penkes dengan
perawat.

Do : ibu pasien
terlihat senang saat
akan dilakukan
penkes

- Berikan kesempatan bertanya Ds : ibu pasien


menanyakan tentang
hal-hal yang berkaitan
dengan penyakit
anaknya.

Do : ibu pasien
terlihat semangat dan
sangat antusias.

PROGRES NOTE

No Hari/tanggal Diagnosa keperawatan Evaluasi TTD

35
1 Gangguan komunikasi verbal S : ibu pasien
b.d dengan gangguan mengatakan bahwa
neuromuskuler d.d sulit anaknya belum berbicara
berbicara, tidak ada kontak O:
mata, sulit memahami - Tidak ada kontak
komunikasi, sulit menyusun mata
kalimat, dan sulit - Sulit mengungkapkan
mengungkapkan kata-kata. kata-kata.
- Sulit menyusun
kalimat.
- Sulit mempertahankan
komunikasi
- Fiksasi pada fase
prasimbiotik dari
perkembangan
- Tugas perkembangan
tidak tidak
terselesaikan
- Keterlambatan dalam
berbahasa
A : masalah belum
teratasi
P : lanjutkan intervensi

36
Ansietas b.d kurangnya S:
terpapar insormasi d.d merasa - ibu pasien
bingung, merasa khawatir, mengatakan anak
gelisah. merasa khawatir
- ibu pasien
mengatakan anak
merasa bingung.
O:
- pasien tampak
bingung
- pasien sulit tidur
- tampak pucat
- tampak tegang
- suara bergetar
- kurang informasi
- peningkatan
ketegangan.
A : masalah teratasi
P : intervensi selesai
Deficit pengetahuan tentang S:
tumbuh kembang anak b.d - ibu pasien
kurang terpapar informasi, mengatakan anak
d.d menanyakan masalah tidak tahu apa yang
yang dihadapi. harus dilakukan ketika
mengetahui anaknya
tidak bisa berbicara
diusianya.
- Ibu pasien
menanyakan tentang
anaknya yang belum
bisa berbicara.
O:
- Ibu pasien tampak
bingung dengan

37
keadaan anaknya.
- Ibu pasien tampak
bertanya-tanya
tentang keadaan
anaknya.
- Kurang faktor
pendidikan
- Kurang informasi
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan.

38
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang
yang kebanyakan diakibatkan oleh faktor hereditas dan kadang-kadang telah
dapat dideteksi sejak bayi berusia 6 bulan. Deteksi dan terapi sedini mungkin
akan menjadikan si penderita lebih dapat menyesuaikan dirinya dengan yang
normal. Dua hal yang diyakini sebagai pemicu autisme adalah faktor genetik
atau keturunan dan faktor lingkungan seperti pengaruh zat kimiawi ataupun
vaksin.
Anak dengan autisme dapat tampak normal pada tahun pertama maupun
tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua sering kali menyadari
adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang
berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Beberapa jenis
terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi
lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan
lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi
prosedur yang standar dalam menangani autisme.
B. SARAN
Penulis menyarankan agar kita lebih peduli bagi anak-anak berkebutuhan
khusus terutama bagi anak autis. Sebagai masyarakat secara umum kita harus
bisa menerima anak-anak tersebut.

39
DAFTAR PUSTAKA

https://www.alomedika.com/penyakit/kesehatan-anak/autism-spectrum-
disorder/diagnosis

Robins D, Fein D, Barton M. 1999. Diterjemahkan oleh Soetjiningsih atas ijin dari Di
anaRobins, 2009.
Diunduh dari https://mchatscreen.com/wp-content/uploads/2015/05/M-CHAT Indo
nesian.pdf
Handojo. 2003.Auits. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer.

40

Anda mungkin juga menyukai