Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN PENDAHULUAN

4.1 PENDEKATAN PERENCANAAN


4.1.1 Pendekatan Umum
Dalam penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan SBWP
Prioritas Manyar Bungah Kabupaten Gresik dengan menggunakan pendekatan :
a. Pendekatan keterpaduan perencanaan dari bawah dan dari atas (top down and
botton up planning). Pendekatan ini menggunakan dua sisi yaitu penyerapan
aspirasi dan kebutuhan masyarakat luas sebagai langkah awal dan penyesuaian
dengan kemampuan pembiayaan pemerintah sebagai pengayom masyarakat.
b. Pendekatan Intersektoral Holistik atau disebut juga sebagai perencana
komprehensif yaitu pendekatan perencanaan yang dimulai dengan diagnosis
secara umum diwilayah perencanaan melalui pengamatan potensi dan masalah
kawasan. Dalam rangka pembangunan kota harus juga memperhatikan untuk
pengembangan ekonomi masyarakat dan lingkup wilayah, ketersediaan dan
kemampuan/kualitas sumberdaya manusia, kebutuhan sarana dan prasarana,
kemampuan pemerintah dan pengadaan program-program
pembagunan/pengembangan.
c. Pendekatan perencanaan yang berkelanjutan, digunakan dengan prinsip yaitu
agar didalam perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan/pengendalian
program menjadi lebih terpadu dan berkesinambungan (Sustainability of
tourism development) yang berpijak kepada :
 Kesinambungan antara aspek kelestarian dan pengembangan berorientasi
pada jangka menengah dan jangka panjang
 Penekanan pada nilai manfaat pelayanan bagi masyarakat guna
mewujudkan kesejahteraan
 Prinsip pengelolaan sumberdaya yang tidak merusak tetapi berkelanjutan
bagi budaya, sosial dan ekonomi

IV-1

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

 Memperhatikan isu-isu strategis, khususnya berkaitan dengan global


warming
 Keselarasan antara penataan ruang, aktivitas, lingkungan dan masyarakat.
d. Pendekatan masyarakat sebagai community approach yaitu : Pendekatan
terhadap masyarakat tersebut dimulai dengan menggunakan bahasa dialog
maupun dengan penyebaran kuisioner antara perencana dengan pelaku
pembangunan (Stake Holder).
e. Pendekatan Kebijakan Pusat, Daerah dan Kebijakan Sektoral
Pendekatan kebijakan pusat, daerah dan kebijakan sektoral yang dimaksud
adalah untuk mengetahui posisi wilayah perencanaan yang ditetapkan dalam
peraturan maupun produk rencana yang telah dibuat sebelunya agar terjadi
keserasian dalam penetapan tujuan penataan ruang. Adapun beberapa
kebijakan yang dimaksud adalah :
 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah ( RPJPD )
 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah ( RPJMD )
 Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM)
 Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi maupun Kabupaten.
 Rencana Detail dan peraturan Zonasi pada wilayah yang bersangkutan
 Dokumen Perencanaan Pembangunan lingkup lokal dan regional.
 Berbagai Perencanaan Sektoral yang terkait dengan wilayah perencanaan.
f. Pendekatan Manajemen Perkotaan
Manajemen Perkotaan (Urban Management) merupakan pendekatan yang
kontemporer untuk menganalisis permasalahan perkotaan. Menurut Lea dan
Courtney ada 2 (dua) pendekatan yang biasa dilakukan dalam kaitannya
dengan Manajemen Perkotaan, yaitu:
a. Pendekatan Problem-Oriented Teknokratis
Adalah pendekatan yang lebih fokus pada peningkatan kinerja lembaga-
lembaga pemerintahan yang ada dalam memecahkan permasalahan
perkotaan.
b. Pendekatan Ekonomi Politik Struktural
Merupakan pendekatan yang fokus pada akar permasalahan perkotaan
dalam konteks struktur ekonomi politik.

IV-2

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

4.1.2 Pendekatan Perencanaan Kawasan dan Perancangan Kota


Kota, sebagian besar terbentuk oleh unsur buatan manusia, baik berupa
bangunan maupun unsur lain, seperti jalan, jembatan, tiang listrik dan lain-lain.
Di samping itu terdapat juga unsur yang bersifat alami - meskipun sebagian diatur
manusia, baik dalam bentuk pohon yang ditanam berjajar disepanjang jalan
maupun sungai atau bukit dengan pepohonannya yang sudah ada sebelum kota
itu dibangun. Semua unsur ini berdiri diatas bidang lahan yang masing-masing
mempunyai karakteristik alamiah, apakah itu di lembah atau bukit, sepanjang
aliran sungai atau di pantai. Secara keseluruhan, unsur alam dan buatan manusia
diatas membentuk gubahan ruang dan masa, atau apa yang dikenal dengan nama
Landsekap Arsitektur Urban (Urban Architecture-Landscape).
Setiap kota mempunyai ciri Landsekap Arsitektur Urban yang berlainan, yang
dipengaruhi oleh kekuatan sosial, ekonomi, politik serta budaya dimana kota
tersebut berada. Proses pembentukan Landsekap Arsitektur Urban berlangsung
oleh karena adanya berbagai keputusan dari banyak pihak yang terkait dalam
pembangunan kota, seperti misalnya developer membangun gedung - gedung,
Dinas PU membangun infrastruktur kota, Dinas Pertamanan menanam pohon,
perusahaan memasang papan iklan, maupun keputusan-keputusan membangun
yang bersifat perorangan. Proses pembentukan lingkungan binaan ini berlangsung
dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga landscape yang terbentuk pada
bagian-bagian tertentu kota mencerminkan kondisi sosial ekonomi maupun
budaya pada masa pembentuknya.
Landsekap Arsitektur Urban dapat terbentuk secara disengaja maupun tidak
disengaja. Pembentukan secara tidak sengaja banyak terjadi pada kota-kota masa
lalu, melalui suatu proses yang lambat dan tumbuh secara organik dalam jangka
waktu yang panjang. Akibat keterbatasan teknologi, manusia membangun sesuai
dengan peluang yang diberikan oleh alam.
Pembentukan Landsekap Arsitektur Urban dapat juga melalui proses yang
disengaja atau direncanakan. Kegiatan ini mulai timbul setelah perkembangan
kota yang tidak terencana telah menimbulkan berbagai dampak yang negatif.
Disamping itu tingkat sosial ekonomi masyarakat yang semakin kompleks dan
canggih, sehingga menuntut pula kualitas lingkungan hidup yang lebih baik.
Mulailah dikenal suatu bentuk kegiatan Disain Landsekap Arsitektur Urban (Urban
Architecture-Landscape Design) yang memberikan pedoman bagi terwujutnya
suatu Landsekap Arsitektur Urban yang mengacu pada kebutuhan masyarakat,
IV-3

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

yaitu suatu wadah yang layak bagi berlangsungnya berbagai kegiatan hidup
sehari-hari. Disain Landsekap Arsitektur Urban berkepentingan dengan
pembentukan ruang luar dan masa / selubung bangunan tanpa terlibat dalam
perancangan isi dari bangunan serta unsur lain yang berada di dalamnya, namun
fungsi bangunan tersebut akan sangat turut menetunkan kriteria perancangan
ruang luarnya.
Disain Landsekap Arsitektur Urban dapat memberi arah bagi perkembangan
wujud kota yang didinginkan. Untuk bagian-bagian kota yang sudah terbangun,
melalui proses Disain Landsekap Arsitektur Urban dapat diciptakan dan
ditingkatkan kualitas lingkungan dengan nilai yang lebih baik, dibanding dengan
pembangunan sebelumnya yang tidak terarah. Pengertian disini bukan hanya
sekedar fisik atau visual tetapi lebih jauh dari itu pengertian akan kualitas sosial
yang dapat meningkatkan martabat hidup masyarakat luas.
Skala Landsekap Arsitektur Urban adalah kota atau bagian-bagian dari kota,
dan harus dimengerti bahwa Disain Landsekap Arsitektur Urban lebih merupakan
suatu proses dari pada produk akhir. Unsur-unsur pembentuk lingkungan binaan
kota yang menjadi fokus dalam proses Disain Lansekap Arsitektur Urban meliputi,
antara lain :
 Bentuk dan masa bangunan serta fungsinya
 Ruang luar yang terbentuk
 Sirkulasi (kendaraan dan pejalan kaki) dan parkir
 Penghijauan dan masalah ekosistim pada umunya
 Unsur-unsur penunjang, papan reklame, dsb
 Berbagai unsur non fisik yang membentuknya

4.2 METODOLOGI PENGUMPULAN DATA


Untuk keperluan pengenalan karakteristik wilayah BWP Manyar Bugah
Kabupaten Gresik, dilakukan pengumpulan data primer dan data sekunder. Data
ini dapat berupa data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif, yang diperoleh
dengan menggunakan dua metoda pengumpulan data berikut ini:
4.2.1 Survei Primer
Survey primer adalah survey yang dilakukan untuk mengetahui kondisi
wilayah perencanaan yang sebenarnya secara langsung di lapangan. Hasil
dari survey ini berupa peta-peta maupun data-data yang mencakup :

IV-4

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

 Survey terhadap SBWP Prioritas Manyar Bungah yang akan dilakukan


penataan bangunan dan lingkungan yang berkaitan dengan identifikasi
potensi fungsi kawasan guna mengetahui karakter dan ciri khas yang
melekat pada kawasan tersebut.
 Survey terhadap lingkungan sosial dan budaya masyarakat sebagai
factor yang memperkuat karaterisktik lingkungan di SBWP Prioritas
Manyar Bungah yang akan dilakukan penataan bangunan dan
lingkungan. Faktor sosial dan budaya tersebut lambat laun berkembang
dan mempengaruhi perkembangan tingkat perekonomian lokal sehingga
ketiga factor tersebut dapat dikategorikan sebagai potensi yang
memperkuat ciri khas atau karateristik kawasan.
 Survey terhadap kondisi fisik lingkungan berupa sarana, prasarana,
serta kondisi tata bangunan guna membentuk arahan rencana tata
bangunan dan peruntukan lahan baik secara mikro maupun makro
sehingga akan terbentuk satu kesatuan antara kondisi fisik dengan
potensi dari segi sosial, budaya, dan ekonomi dalam hal ararahn
rencana pada kawasan perencanaan.
 Survey terhadap karateristik arsitektur di lingkungan koridor jalan
tersebut guna mendapatkan citra sebagai perwujudan karateristik tipe
bangunan.
4.2.2 Survey Sekunder
Merupakan pengumpulan data atau perekaman data instansi seperti
instansi pemerintah yang ada di pusat maupun daerah, perguruan tinggi,
lembaga masyarakat baik formal/informal seperti adat, baik itu berupa uraian,
data angka maupun peta yang berhubungan dengan wilayah perencanaan
dan terkait dengan data yang dibutuhkan bagi penyusunan laporan. Secara
spesifik data yang dibutuhkan dalam survey sekunder meliputi:
 Peraturan Bangunan Setempat
 Peta dasar kawasan RTBL BWP Manyar Bungah
 Foto udara kawasan perencanaan
 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gresik
 Rencana Detail Rata Ruang Kota BWP Manyar Bungah
 Studi, Kajian dan Masteplan tentang infrastuktur kawasan RTBL

IV-5

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

4.3 Metode Analisa


Metodologi penyusunan RTBL merupakan tahapan - tahapan kegiatan yang
direncanakan konsultan dalam menyusun pekerjaan ini dengan tetap mengacu
pada tujuan dan sasaran yang ada serta berlandaskan pada pendekatan teknis
yang telah konsultan utarakan. Metode peyusunan RTBL menguraikan tahapan –
tahapan dalam pelaksanaan pekerjaan berikut kedalaman materi dan pelaporan
pada tiap tahapan, yang ditunjukkan dalam kerangka pikir penyusunan RTBL.

IV-6

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

IV-7

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

IV-8

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

IV-9

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

IV-10

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

4.3.1 Analisis Guna Lahan


Analisis guna lahan meliputi analisis lahan makro dan analisis lahan mikro.
Metode pendekatan yang digunakan dalam analisis lahan makro yakni dengan
meninjau dokumen RDTRK, dan rencana-rencana kota yang telah di-perdakan.
Sedangkan analisis lahan mikro menggunakan metode pendekatan superimposed
yakni melakukan overlay dari peta tematik dengan yaitu peta hasil survey primer
di lapangan, sehingga dapat di peroleh derajat deviasi dari SBWP Prioritas
Manyar Bungah Kabupaten Gresik. Struktur Peruntukan Lahan
a. Peruntukan Lahan Makro, yaitu rencana alokasi penggunaan dan
pemanfaatan lahan pada suatu wilayah tertentu yang juga disebut dengan tata
guna lahan. Peruntukan ini bersifat mutlak karena telah diatur pada ketentuan
dalam rencana tata ruang wilayah.
b. Peruntukan Lahan Mikro, yaitu peruntukan lahan yang ditetapkan pada skala
keruangan yang lebih rinci (termasuk secara vertikal) berdasarkan prinsip
keragaman yang seimbang dan saling menentukan.
 Peruntukan lantai dasar, lantai atas, maupun lantai besmen;
 Peruntukan lahan tertentu, misalnya berkaitan dengan konteks lahan
perkotaan-perdesaan, konteks bentang alam/lingkungan konservasi, atau
pun konteks tematikal pengaturan pada spot ruang bertema tertentu.
Dalam penetapan peruntukan lahan mikro ini masih terbuka kemungkinan
untuk melibatkan berbagai masukan desain hasil interaksi berbagai pihak
seperti perancang/penata kota, pihak pemilik lahan, atau pun pihak
pemakai/pengguna/masyarakat untuk melahirkan suatu lingkungan dengan
ruang-ruang yang berkarakter tertentu sesuai dengan konsep struktur
perancangan kawasan. Penetapan ini tidak berarti memperbaiki alokasi tata
guna lahan pada aturan rencana tata ruang wilayah yang ada, namun
berupa tata guna yang diterapkan dengan skala keruangan yang lebih rinci,
misalnya secara vertikal per lantai.

4.3.2 Analisis Perpetakan Lahan


Metode pendekatan yang digunakan dalam analisis perpetakan lahan adalah
dengan mengklasifikasikan perpetakan tanah berdasar Keputusan Menteri

IV-11

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

Kimpraswil nomor 327/KPTS/M/2002 Bab VI, yang membagi 8 klasifikasi petak


peruntukan dan penggal jalan sebagai berikut :
Tabel 4.1. Klasifikasi Petak Tanah
Klasifikasi Keterangan Luasan (dalam m2)
I Sistem Blok > 2500
II Kapling Sangat Besar 1000 – 2500
III Kapling Besar 600-1000
IV Kapling Sedang 250-600
V Kapling Kecil 100-250
VI Kapling Sangat Kecil 50-100
VII Rumah Susun < 50
Sumber: Kepmen Kimpraswil Nomor 327/KPTS/M/2002 Bab VI

Metode yang dapat dipakai dalam analisis perpetakan yaitu dengan


memasukkan perpetakan masing-masing bangunan dalam klasifikasi yang sesuai
dengan pengklasifikasian diatas dan mengukur prosentase perpetakan bangunan.
4.3.3 Analisis Nilai Intensitas Bangunan
Aspek-aspek penilaian intensitas dianalisis secara umum yang mencakup aspek-
aspek sebagai berikut:
1. Kepadatan Bangunan
Tujuan mengetahui kepadatan bangunan adalah mendapatkan distribusi
pemanfaatan lahan kawasan yang lebih merata dan seimbang sesuai dengan
jenis peruntukan dan daya dukung kawasan perencanaan.
Tabel 4.2. Klasifikasi Kepadatan Bangunan
Klasifikasi Kepadatan Bangunan
Sangat Rendah < 10 bangunan/ha
Rendah 11-40 bangunan/ha
Sedang 41-60 bangunan/ha
Tinggi 61-80 bangunan/ha
Sangat Tinggi > 80 bangunan/ha
Sumber : Keputusan Menteri PU No. 378/KPTS/1987, Lampiran No. 22

IV-12

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

Sasaran analisis intensitas pemanfaatan lahan adalah :


 Distribusi secara spasial (ruang) intensitas pemanfaatan lahan kawasan
menurut jenis peruntukannya.
 Mengupayakan ambang intensitas pemanfaatan lahan secara lebih merata
(KLB rata-rata)
 Menentukan kepadatan bangunan dan tutupan lahan (KDB)
Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis evaluatif dengan
memperbandingkan antara luas lahan keseluruhan dengan luas persil bangunan
yang menyangkut aspek jarak dan kerenggangan antar bangunan yang terkait
dengan banyaknya bangunan yang ada di wilayah studi, sehingga dapat
menentukan apakah wilayah studi temasuk pada wilayah dengan kepadatan
bangunan tinggi atau rendah.

Gambar 4.1 Pedoman Menentukan Kerenggangan Bangunan

Keterangan:
Tinggi : H = 1 D
kerenggangan bangunan Y minimum 3 m untuk H = 8 m, selanjutnya variabel
dari fungsi sudut 77o
1. Bidang Muka (fasade) Bangunan
Metode yang digunakan adalah analisis foto series dari hasil pengamatan
survey primer untuk mengendalikan arah hadap dan bentuk muka bangunan
yang ada di wilayah studi.

IV-13

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

Gambar 4.2 Contoh Bidang Muka (Fasade) Bangunan

2. Garis Sempadan Bangunan


Metode yang digunakan adalah metode analisis evaluatif dengan
mengoperasionalkan rumus untuk menentukan garis sempadan bangunan,
sehingga dapat mengetahui bangunan-bangunan yang melampaui garis
sempadan.

GARIS SEMPADAN
BANGUNAN

Gambar 4.3 Garis Sempadan Bangunan

Umumnya pengaturan sempadan ini merupakan 0,5 dari Ruang Milik Jalan
(Rumija), khusus untuk daerah perencanaan dilakukan dengan menggunakan
standar ideal jarak antara pagar dengan bangunan, yaitu dengan rumus :
1
D  L  1 m
2
L = lebar jalan
D = jarak pagar bangunan

Garis Sempadan Bangunan (GSB/Street Line Setback) adalah jarak antara as


jalan dengan dinding luar bangunan persil. GSB bermanfaat untuk
mengendalikan tata letak bangunan terhadap jalan sehingga menciptakan

IV-14

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

keteraturan dan memberikan pandangan yang lebih luas terhadap pemakai


jalan. GSB ditentukan sebagai berikut :
 Sempadan bangunan di Jalan Utama (arteri dan kolektor) dibedakan atas
bangunan untuk fasilitas dan perumahan, dimana sempadan untuk bangunan
fasilitas lebih lebar dari bangunan perumahan. Rencana tersebut
dimaksudkan agar fasilitas mempunyai ruang untuk parkir kendaraaan
sehingga tidak mengganggu kelancaran lalu lintas.
 Untuk keperluan penghitungan tinggi bangunan sempadan ( D ) di ukur dari
tembok ke as jalan. Dalam hal 2 badan jalan yang terpisah median, untuk
keperluan perhitungan koefisien tinggi bangunan, dua jalan tersebut dihitung
secara terpisah.
 Untuk bangunan di tepi jalan Arteri Sekunder direncanakan hanya untuk
fungsi komersial, GSB dihitung dari tembok bangunan ke as median jalan 20
m atau 15 m dari RUMIJA.
 Untuk bangunan di tepi Jalan Kolektor Sekunder GSB untuk bangunan rumah
tempat tinggal 15 meter dari as jalan. dan untuk bangunan non tempat
tinggal 20 m dari as median jalan.
 Untuk bangunan di tepi Jalan Lokal primer GSB bangunan tempat tinggal 15
m - 17.5 m (perdagangan) dari as jalan .
 Untuk bangunan di tepi jalan lingkungan GSB 9.5 meter dari as jalan.
Disamping Garis Sempadan Bangunan, juga diatur jarak antara bangunan
dan batas kapling, untuk jarak samping kiri, kanan dan belakang. Di bawah
ini diatur pedoman penentuan jarak bangunan terhadap batas kapling kari,
kanan dan belakang. Adapun persyaratan mengenai jarak antar bangunan,
adalah sebagai berikut :

IV-15

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

 Besarnya jarak antar bangunan dalam satu persil untuk semua klasifikasi
bangunan yang tingginya maksimum 5 meter ditetapkan sekurang-
kurangnya 3 meter.
 Jarak antar bangunan suatu persil yang sama tingginya untuk semua
klasifikasi bangunan, kecuali klasifikasi menurut kualitas konstruksi bangunan
sementara dimana tinggi bangunan tersebut minimum 8 meter ditetapkan
sekurang-kurangnya :
1/2 tinggi bangunan (H) - 1 meter
 Bila bangunan yang berdampingan itu tidak sama tingginya, jarak antar
bangunan tersebut ditetapkan sekurang-kurangnya :
1/2 tinggi bangunan A + 1/2 tinggi bangunan B - 1 meter
2
Rumus tersebut merupakan penggunaan untuk kondisi ideal bagi penentuan
sempadan bangunan pada kawasan yang masih tersedia dan belum terbangun.
Pada kawasan yang telah dibangun, perencanaan sempadan jalan dan
bangunan harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan jaringan yang telah
terbentuk, sehingga dengan demikian harus dilakukan penyesuaian jarak
sempadan dengan bangunannya.

IV-16

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

Gambar 4.4 Ketentuan Sempadan Bangunan

Gambar 4.5 Teknik Penghitungan GSB dan Tinggi Bangunan

a. Garis Muka Bangunan (GMB)


Garis Muka Bangunan di kawasan perencanaan memberikan arahan
mengenai jarak antara bagian paling depan dari bangunan dengan pagar
halaman.

IV-17

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

Gambar 4.6 Garis Muka Bangunan

b. Garis Samping Bangunan (GSmB)


Merupakan garis batas samping suatu persil dengan lahan terbangunnya.

Gambar 4.7 Garis Samping Bangunan

c. Garis Belakang Bangunan (GSsB)


Merupakan garis batas belakang suatu persil dengan lahan terbangunnya

Gambar 4.8 Garis Belakang Bangunan

3. Ampelop bangunan (building envelope)


Adalah merupakan batasan maksimum ruang yang diijinkan untuk dibangun.
Batas maksimum ruang tersebut adalah perkalian faktor luas lantai yang diijinkan
dengan faktor ketinggian maksimum bangunan dalam wilayah kota, di mana
tapak berada.
Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis evaluatif dengan
cara mengoperasionalkan rumus tinggi puncak bangunan makimum sehingga

IV-18

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

dapat mengetahui dan mengendalikan ketinggian bangunan yang ada di wilayah


studi.
Tinggi maksimum bangunan pada umumnya ditentukan berdasarkan ketentuan:

1
h  1 d
2

Dimana:
h = tinggi puncak bangunan maksimum.
d = jarak antara proyeksi puncak bangunan pada lantai dasar terhadap
sumbu jalan yang berdampingan.
- Jika lebar jalan yang berdampingan < 20 m maka titik sudut ditetapkan
pada as jalan.
- Jika lebar jalan yang berdampingan > 20 m maka titik sudut ditetapkan 10
m dari garis sempadan pagar ke jalan.

IV-19

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

Gambar 4.9 Pedoman Menentukan Tinggi Bangunan

4. Koefisien Dasar Bangunan (KDB)


Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif dan evaluatif. Analisis
deskriptif dengan metode estimasi KDB di wilayah studi. Sedangkan analisis
evaluatif dengan cara membandingkan kesesuaian antara KDB hasil survey
primer dengan ketentuan KDB di RDTRK. Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
merupakan nilai perbandingan antara area terbangun dengan luas kapling yang
ada, atau :

Area terbangun
KDB 
Luas kapling

IV-20

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

Tabel 4.3. Klasifikasi KDB


Klasifikasi Besaran KDB
Sangat Rendah ≤ 5%
Rendah > 5 - 20%
Sedang >20 - 50%
Tinggi >50 – 75%
Sangat Tinggi > 75%
Sumber : Keputusan Menteri PU No. 640/KPTS/1986

Maksud penetapan KDB adalah untuk tetap menyediakan perbandingan yang


seimbang antara lahan terbangun dan tidak terbangun, sehingga peresapan air
tanah tidak terganggu, kebutuhan udara terbuka dapat terpenuhi, dan citra
arsitektur lingkungan dapat terpelihara. Sebagai contoh dengan KDB 40%, maka
pada kapling seluas 100 m2 diijinkan untuk mendirikan bangunan dengan luas
lantai 40m2. Ilustrasi penetapan KDB di atas dapat dilihat pada Gambar .

Gambar 4.10 Ilustrasi Penetapan KDB

IV-21

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

Penataan bangunan (KDB) terkait dengan konsep berikut :


1) Persyaratan - persyaratan pengendalian KDB dikerjakan baik untuk tertib
bangunan rapat, ataupun tertib bangunan renggang.
2) Penentuan koefisien lantai bangunan mempunyai kaitan dengan koefisien
dasar bangunan dan ketinggian bangunan, yang dikaitkan dengan konsep-
konsep berikut ini:
 Pencahayaan dan penghawaan alami, sebagai salah satu upaya untuk
menciptakan lingkungan yang sehat dan nyaman;
 pembentukan selubung bangunan dalam kaitannya dengan sky line
bangunan yang harmonis secara sekuensial ;
 pembentukan ruang yang mempunyai skala harmonis antara tinggi
bangunan dengan ruang luarnya, agar tercipta komposisi ruang yang
masih berskala manusia.
 Pembentukan karakter yang berbeda sebagai upaya untuk menciptakan
landmarks bagi kegiatan fungsional yang berlainan.
 Pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dengan disertai
pertimbangan terhadap ketersediaan lahan, jenis penggunaan bangunan
dan kecenderungan jumlah lantai yang ada akan menghasilkan Koefisien
Lantai Bangunan dan Ketinggian Bangunan di kawasan rencana.
5. Koefisien Lantai Bangunan (KLB)
Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif dan evaluatif. Analisis
deskriptif dengan metode estimasi KLB di wilayah studi. Sedangkan analisis
evaluatif dengan cara membandingkan kesesuaian antara KLB hasil survey primer
dengan ketentuan KLB di RDTRK. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) merupakan
nilai perbandingan antara luas lantai keseluruhan dengan luas kapling, atau :

Luas lantai keseluruha n


KLB 
Luas kapling

Penetapan KLB bermaksud untuk menetapkan ketinggian maksimum dan


minimum suatu bangunan untuk setiap blok peruntukan. Menurut standar
Peraturan Bangunan Nasional, yang dimaksud dengan ketinggian bangunan
adalah jumlah lantai penuh dalam satu bangunan yang dihitung dari lantai dasar
IV-22

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

sampai lantai tertinggi. Ketinggian suatu bangunan diklasifikasikan dalam tiga


kelompok, yaitu:
a. Bangunan satu lantai, yakni bangunan sementara atau permanen yang berdiri
langsung di atas pondasi pada bangunan yang tidak terdapat pemanfaatan
lain selain pada lantai dasarnya.
b. Bangunan bertingkat, yakni bangunan permanen dengan ketinggian dua
sampai dengan lima lantai.
c. Bangunan tinggi, yaitu bangunan permanen dengan jumlah lantai lebih dari
lima atau ketinggian bangunan lebih dari 20 m.

Gambar 4.11 Ilustrasi penetapan KLB

Dalam menata besaran KLB dan KDB juga perlu disepakati hal-hal antara
lain :
 Dalam menghitung luas bangunan, luas lantai dijumlahkan sampai batas
dinding terluar.
 Luas ruangan beratap yang berdinding lebih dari 1,2 m di atas lantai
ruangan tersebut dihitung penuh (100 %).
 Luas ruang beratap yang bersifat terbuka atau berdinding tidak lebih tinggi
dari 1,2 M di atas lantai ruang tersebut dihitung 50 %-nya, selama tidak
melebihi 10 % dari luas denah dasar bangunan yang diperkenankan

IV-23

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

sesuai dengan hitungan KDB. Bila luasan melebihi angka toleransi (10
%) maka hitungan luas bangunan dianggap 100 %.
 Luas overstek yang kurang dari 1,2 m2 tidak dimasukkan dalam perhitungan
sebagaimana di atas.
 Luas ruangan yang berdinding lebih dari 1,2 M namun tidak beratap
diperhitungkan 50 % selama tidak melebihi 10 % dari luas denah yang
ditetapkan dalam KDB. Bila melebihi hitungan 10 %, dianggap dalam
hitungan penuh (100 %).
 Teras-teras tidak beratap yang berdinding tidak lebih dari 1,2 M di atas lantai
teras tersebut tidak diperhitungkan.
 Lantai bangunan yang berada di bawah permukaan tanah tidak dimasukkan
dalam perhitungan KDB.
 Ramp dan tangga terbuka dihitung setengahnya selama tidak melebihi 10
% dari luas denah dasar yang diperkenankan.
 Bangunan yang didirikan harus memenuhi persyaratan KDB dan KLB, sesuai
dengan rencana yang ditetapkan.
 Kepala Daerah dapat memberikan kelonggaran ketentuan ini untuk
bangunan perumahan dan bangunan sosial dengan memperhatikan
keserasian dan arsitektur lingkungan.
 Setiap bangunan yang didirikan harus sesuai dengan rencana penggunaan
lahan mikro dan syarat peruntukan kawasan. Apabila tidak dipenuhi atau
tidak ditetapkan maka KDB dan KLB diperhitungkan berdasarkan luas tanah
di belakang Garis Sempadan Jalan yang dimiliki.
 Untuk tanah yang belum atau tidak memenuhi persyaratan luas minimum
perpetakan menurut peraturan ini, Kepala Daerah dapat menetapkan lain
dengan memperhatikan keadaan lapangan, keserasian dan keamanan
lingkungan serta memenuhi persyaratan teknis yang telah ditetapkan.

6. Koefisien Dasar Hijau


Koefisien Dasar Hijau yang selanjutnya disebut KDH adalah angka prosentase
berdasarkan perbandingan jumlah lahan terbuka untuk penanaman tanaman dan

IV-24

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

atau peresapan air terhadap luas tanah/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai
rencana tata ruang. Ketentuan umum mengenai KDH adalah sebagai berikut:
1) Koefisien dasar hijau (KDH) ditetapkan sesuai dengan peruntukkan dalam
rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan. KDH minimal 10% pada
daerah sangat padat/padat. KDH ditetapkan meningkat setara dengan naiknya
ketinggian bangunan dan berkurangnya kepadatan wilayah.
2) Untuk perhitungan KDH secara umum, digunakan rumus: 100 % - (KDB +
20%KDB)
3) Ruang Terbuka Hijau yang termasuk dalam KDH sebanyak mungkin
diperuntukkan bagi penghijauan/penanaman di atas tanah. Dengan demikian
area parkir dengan lantai perkerasan masih tergolong RTH sejauh ditanami
pohon peneduh yang ditanam di atas tanah, tidak di dalam wadah/container
kedap air.
4) KDH tersendiri dapat ditetapkan untuk tiap-tiap klas bangunan dalam
kawasan-kawasan bangunan, dimana terdapat beberapa klas bangunan dan
kawasan campuran.

4.3.4 Analisis Sistem Hubungan (Linkage System)


Adapun aspek-aspek yang akan dianalisis berupa kaitan/besaran antara lain:
1. Jaringan Jalan
Metode analisis deskriptif yang digunakan adalah observasi lapangan
dengan pengukuran dimensi jalan dan mengklasifikasikan hirarkhi jalan
berdasarkan standart hirarkhi jalan.

IV-25

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

Tabel 4.4. Standar Perencanaan Hirarki Jalan


Arteri primer Arteri sekunder Kolektor primer Kolektor sekunder

 Jalan yang  Jalan yang  Jalan yang  Jalan yang


menghubungkan secara menghubungkan menghubungkan menghubungkan
berdaya guna antarpusat kawasan primer dengan secara berdaya secara berdaya guna
kegiatan nasional atau kawasan sekunder guna antara pusat antara pusat kegiatan
antara pusat kegiatan kesatu, kawasan kegiatan nasional nasional dengan pusat
nasional dengan pusat sekunder kesatu dengan dengan pusat kegiatan lokal,
kegiatan wilayah. kawasan sekunder kegiatan lokal, antarpusat kegiatan
kesatu, atau kawasan antarpusat wilayah, atau antara
 Kecepatan rencana paling sekunder kesatu dengan kegiatan wilayah, pusat kegiatan wilayah
rendah 60 km/jam kawasan sekunder kedua. atau antara pusat dengan pusat kegiatan
kegiatan wilayah lokal
 Lebar badan jalan paling  Kecepatan rencana paling dengan pusat
sedikit 11 meter rendah 30 km/jam kegiatan lokal  Kecepatan rencana
paling rendah 40
 Mempunyai kapasitas  Lebar badan jalan paling  Kecepatan km/jam
yang lebih besar dari sedikit 11 meter rencana paling
kapasitas rata-rata rendah 40 km/jam  Lebar badan jalan
 Mempunyai kapasitas paling sedikit 9 meter
 Lalu lintas jarak jauh tidak yang lebih besar dari  Lebar badan jalan
boleh terganggu oleh lalu kapasitas rata-rata paling sedikit 9  Jumlah jalan masuk
lintas ulang alik, lalu lintas meter dibatasi
lokal, dan kegiatan lokal  Lalu lintas cepat tidak
boleh terganggu oleh lalu  Jumlah jalan  Tidak terputus
 Jumlah jalan masuk lintas lambat masuk dibatasi walaupun memasuki
dibatasi kawasan perkotaan
 Tidak terputus dan/atau kawasan
 Tidak terputus walaupun walaupun pengembangan
memasuki kawasan memasuki perkotaan
perkotaan dan/atau kawasan
kawasan pengembangan perkotaan
perkotaan dan/atau kawasan
pengembangan
perkotaan

Sumber: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 Tahun 2006


Dimensi jalan atau pola penampang melintang jalan terdiri dari tiga
variabel, yaitu:
 Ruang Manfaat Jalan (Rumaja)
Segmen Ruang Manfaat Jalan (Rumaja) berdasarkan :

IV-26

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

- Konstruksi : badan jalan, saluran tepi jalan (drainase) dan ambang


pengamannya diperuntukkan bagi median jalan, perkerasan jalan, jalur
pemisah, bahu jalan, trotoar, gorong-gorong, jembatan dan bangunan
pelengkap jalan.
- Fungsi : berdasarkan sifat dan pergerakan dan batasan muatan lalu
lintas dalam sistem jaringan jalan primer dan sekunder, fungsi jalan
dibedakan: jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, jalan lingkungan.
 Ruang Milik Jalan (Rumija)
Terdiri dari ruang manfaat jalan dan sejalur dengan batasan tanah
tertentu di luar Ruang manfaat Jalan, merupakan ruang sepanjang jalan
yang dibatasi oleh lebar, kedalaman dan tinggi tertentu.
Ketentuan lebar ruang manfaat jalan sebagai berikut :
Jalan bebas hambatan/ jalan tol :30 meter
Jalan raya :25 meter
Jalan sedang :15 meter
Jalan kecil :11 meter
 Ruang Pengawasan Jalan (Ruwasja)
Merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang
pemanfaatannya ada di bawah Pengawasan Pembina Jalan, diperuntukkan
bagi pandangan dan pengaman konstruksi/ fungsi jalan. Larangan-larangan
dalam Ruwasja merupakan larangan yang dapat mengganggu pandangan
bebas para pengguna jalan dan konstrusi jalan.
Ketentuan lebar Ruwasja dari batas badan jalan paling luar sebagai berikut :
- Jalan Arteri Primer :15 meter
- Jalan Kolektor Primer :10 meter
- Jalan Lokal Primer :7 meter
- Jalan Lingkungan Primer :5 meter
- Jalan Arteri Sekunder :15 meter
- Jalan Kolektor Sekunder :5 meter
- Jalan Lokal Sekunder :3 meter
- Daerah untuk Jembatan :100 meter ke arah hulu dan hilir

IV-27

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

RUANG MANFAAT JALAN

5 METER

Pagar Pagar

1,5 METER

GARIS RTH/ SALURAN BAHU JALUR BAHU SALURAN RTH/ GARIS


SEMPADAN UTILITAS TEPI JALAN LALU JALAN TEPI UTILITAS SEMPADAN
BANGUNAN JALAN LINTAS JALAN BANGUNAN
AMBANG AMBANG
PENGAMAN PENGAMAN
JALAN JALAN
BADAN
JALAN

RUANG MILIK JALAN


RUANG PENGAWASAN JALAN

Gambar 4.12 Visual Ruang Komponen Jalan

2. Sistem Parkir
Masalah utama pada perparkiran di kota adalah fasilitas jalan telah
dimanfaatkan sebagai fasilitas parkir. Pemakaian jalan sebagai tempat parkir
karena belum cukupnya sarana parkir. Terutama gedung-gedung besar yang
memerlukan areal parkir yang belum cukup menyediakan areal parkirnya.
Berikut ini adalah tabel kebutuhan tempat parkir:
Tabel 4.5. Kebutuhan tempat parkir
No Penggunaan Lokasi dan luas bangunan
Bangunan Pusat kota Daerah pinggiran
(m2) (m2)
1. Perkantoran 60 100
2. Pergudangan 40 60
3. Apotik 30 30
4. Praktik dokter 15 30
5. Audotorium 10 30
Restauran 20 30
Club 20 25
6. Hiburan 40 20 20
7. Kolam ren30ang 40 60
8. Lapangan tenis 60 80

IV-28

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

No Penggunaan Lokasi dan luas bangunan


Bangunan Pusat kota Daerah pinggiran
(m2) (m2)
9. Perguruan tinggi 60 1.000
10. Sekolah 60 1.000
11. Rumah ibadah 60 1.000
12. Museum 250 250
13. Perpustakaan 100 150
14. Bank 40 -
15. Rumah sakit umum 75 100
16. Rumah sakit swasta 50 60
17. Karya perdagangan 40 50
18. Swalayan 15 35
19. Hotel berbintang 5 60 100
20. Hotel berbintang 4 60 100
21. Hotel berbintang 3 40 100
22. Hotel berbintang 2 30 100
23. Flat 90 125
24. Apartemen 70 70
25. Bioskop 60 100
Sumber; Warpani, swarjoko, 1985
Menurut cara penempatannya terdapat dua cara penataan parkir, yaitu :
a. Parkir ditepi jalan (on street parking)
Parkir ditepi jalan ini mengambil tempat disepanjang jalan, dengan
atau tanpa melebarkan jalan untuk pembatas parkir. Parkir ini baik untuk
pengunjung yang ingin dekat dengan tujuannya, tetapi untuk lokasi dengan
intensitas penggunaan lahan yang tinggi, cara ini kurang menguntungkan.
Bila ditinjau dari posisi parkir dapat dibagi menjadi :

 Parkir sejajar dengan sumbu jalan (bersudut 1800)


 Parkir bersudut 300, 450 dan 600 terhadap sumbu jalan.
 Parkir tegak lurus dengan sumbu jalan (bersudut 900)

IV-29

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

Gambar 4.13 Disain Geometri Parkir Sisi Jalan (On street parking)

b. Parkir tidak di jalan (off street parking)


Cara parkir ini menempati pelataran parkir tertentu diluar badan jalan,
baik di halaman terbuka maupun didalam bangunan khusus untuk parkir.
Bila ditinjau posisi parkirnya, maka dapat dilakukan seperti pada on street
parking, hanya saja pengaturan sudut parkir ini banyak dipengaruhi oleh
luas dan bentuk pelataran parkir.
Berikut ini adalah tabel pengaruh parkir terhadap kapasitas jalan :
Tabel 4.6. Pengaruh Tempat Parkir Terhadap Kapasitas Jalan
Jumlah kendaraan yang parkir per km 3 6 30 60 120 300
(kedua sisi jalan )
Daya tampung yang berkurang pada kecepatan 24 200 275 475 575 675 800
km/jam
(SMP/jam )
Sumber ; Warpani, swarjoko, 1985
Standar kebutuhan ruang parkir menurut Dirjen Perhubungan Darat dapat
dilihat dalam tabel berikut:
IV-30

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

Tabel 4.7. Bakuan Kebutuhan Satuan Ruang Parkir (SRP)


a) Pusat Perdagangan
Luas Areal (x 100 m2) 10 20 50 100 500 1.000 1.500 2.000
Kebutuhan (SRP) 59 67 88 125 415 777 1.140 1.502
b) Pusat Perkantoran
Jumlah Karyawan 1.000 1.250 1.500 1.750 2.000 2.500 3.000 4.000 5.000
Kebutuhan Administrasi 235 236 237 238 239 240 242 246 249
(SRP) Pelayanan 288 289 290 291 291 293 295 298 302
Umum
c) Pusat Swalayan
Luas Areal (x 100 m2) 50 75 100 150 200 300 400 500 1.000
Kebutuhan (SRP) 225 250 270 310 350 440 520 600 1.050
d) Pasar
Luas Areal (x 100 m2) 40 50 75 100 200 300 400 500 1.000
Kebutuhan (SRP) 160 185 240 300 520 750 970 1.200 2.300
e) Sekolah/ Perguruan Tinggi
Jumlah Mahasiswa (x 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1000) 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240
Kebutuhan (SRP)
f) Tempat Rekreasi
Luas Areal (x 100 m2) 50 100 150 200 400 800 1.600 3.200 6.400
Kebutuhan (SRP) 103 109 115 122 146 196 295 494 892

g) Hotel dan Penginapan


Jumlah Kamar 100 150 200 250 350 400 550 600 650
Tarif Baku < 100 154 155 156 158 161 162 165 166 167
($) 100 – 150 300 450 476 477 480 481 484 485 487
150 – 200 300 450 600 798 799 800 803 804 806
200 – 250 300 450 600 900 1.050 1.119 1.112 1.124 1.425
h) Rumah Sakit
Jumlah Tempat Tidur 50 75 100 150 200 300 400 500 1.000
Kebutuhan (SRP) 97 100 104 111 118 132 146 160 230
i) Bioskop
Jumlah Tempat Duduk 300 400 500 600 700 800 900 1.000
Kebutuhan (SRP) 198 202 206 210 214 218 222 227
j) Gelanggang Olah Raga
Jumlah Tempat Penonton 1.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000 10.000 15.000
Kebutuhan (SRP) 230 235 290 340 390 440 490 540 790
Sumber: Abubakar et.al.1996 & 1998; 57-60 --> Ditjen Perhubungan Darat
Keterangan : SRP = satuan ruang parkir = petak parkir
3. Pedestrian (trotoar)
Trotoar dapat dibuat sejajar jalan dan terletak pada ruang manfaat jalan
(Rumaja). Pada keadaan tertentu trotoar dapat tidak sejajar jalan karena
topografi setempat atau karena adanya pertemuan dengan fasilitas lain.
Trotoar dapat juga terletak di ruang milik jalan.
Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah deskriptif observasi dan
evaluatif yakni dengan membandingkan lebar trotoar berdasarkan hasil
IV-31

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

observasi lapangan di wilayah studi dengan ketentuan lebar trotoar menurut


SK SNI S-03,1990.
Dalam perencanaan trotoar yang perlu diperhatikan ialah kebebasan
kecepatan berjalan untuk mendahului pejalan kaki lainnya tanpa
bersinggungan. Lebar minimum trotoar yang dibutuhkan dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 4.8. Lebar Trotoar Sesuai Dengan Penggunaan Lahan Sekitarnya
Penggunaan lahan Lebar minimum
Perumahan 1,50
Perkantoran 2,00
Industri 2,00
Sekolah 2,00
Terminal/pemberhentian bus 2,00
Pertokoan/perbelanjaan 2,00
Jembatan/terowongan 1,00
Sumber: SK SNI S-03,1990

4. Tempat penyebrangan (zebra cross, jembatan dan sebagainya)


Zebra cross selalu dibuat bersama-sama garis stop dengan arah
penempatan terutama pada:
1. Persilangan tegak lurus
2. Persilangan Serong
3. Pada jalan lurus di daerah pejalan kaki cukup banyak (daerah pertokoan,
sekolah, rumah sakit dan sebagainya)

0 ,03
0,03

Min 2,50 m 1,00 0,03

Gambar 4.14 Penampang Zebra Cross

Beberapa ketentuan menurut Departemen Pekerjaan Umum tentang tata


cara perencanaan fasilitas pejalan kaki, beberapa diantaranya yaitu :

a. Zebra Cross
IV-32

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

Untuk zebra cros memiliki ketentuan penggunaan sebagai berikut:


 Zebra Cross harus dipasang pada jalan dengan arus lalu lintas,
kecepatan lalu lintas dan arus pejalan kaki yang relatif rendah
 Lokasi Zebra Cross harus mempunyai jarak pandang yang cukup, agar
tundaan kendaraan yang diakibatkan oleh penggunaan fasilitas
penyeberangan masih dalam batas yang aman

b. Pelican Crossing
Pelican Crossing adalah fasilitas penyeberangan pejalan kaki yang
dilengkapi dengan lampu lalu lintas untuk menyeberang jalan dengan
aman dan nyaman. Pelican Crossing harus dipasang pada lokasi-lokasi
sebagai berikut :
 Pada kecepatan lalu lintas kendaraan dan arus penyeberang tinggi
 Lokasi pelikan dipasang pada jalan dekat persimpangan
 Pada persimpangan dengan lampu lalu lintas, dimana pelican cross
dapat dipasang menjadi satu kesatuan dengan rambu lalu lintas (traffic
signal ).

c. Jembatan Penyeberangan
Pembangunan jembatan penyeberangan disarankan memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
 Bila fasilitas penyeberangan dengan menggunakan zebra cros dan
Pelican Cros sudah mengganggu lalu lintas yang ada.
 Pada ruas jalan dimana frekwensi terjadinya kecelakaan yang
melibatkan pejalan kaki cukup tinggi.
 Pada ruas jalan yang mempunyai arus lalu lintas dan arus pejalan kaki
yang tinggi.
4.3.5 Analisis Jaringan Prasarana dan Utilitas
Sistem prasarana dan utilitas lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik
suatu lingkungan yang pengadaannya memungkinkan suatu lingkungan dapat
beroperasi dan berfungsi sebagaimana semestinya. Sistem prasarana dan utilitas
lingkungan mencakup :
1. Jaringan air bersih;
2. Jaringan air limbah;
IV-33

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

3. Jaringan drainase;
4. Jaringan persampahan;
5. Jaringan gas;
6. Jaringan listrik;
7. Jaringan telepon;
8. Sistem jaringan pengamanan kebakaran; dan
9. Sistem jaringan jalur penyelamatan atau evakuasi.

Manfaat disusunnya Sistem prasarana dan utilitas lingkungan antara lain :


1. Meningkatkan kualitas kawasan perencanaan yang menjamin tersedianya
dukungan konkret terhadap kegiatan-kegiatan fisik yang ada.
2. Mencapai keseimbangan antara kebutuhan dan daya dukung lingkungan
sehingga terwujud sistem keberlanjutan (sustainability) pada lingkungan.

Komponen Penataan Sistem prasarana dan utilitas lingkungan terdiri dari :


1. Sistem jaringan air bersih, yaitu sistem jaringan dan distribusi pelayanan
penyediaan air bagi penduduk suatu lingkungan, yang memenuhi persyaratan
bagi operasionalisasi bangunan atau lingkungan, dan terintegrasi dengan
jaringan air bersih secara makro dari wilayah regional yang lebih luas.
2. Sistem jaringan air limbah dan air kotor, yaitu sistem jaringan dan distribusi
pelayanan pembuangan/pengolahan air buangan rumah tangga, lingkungan
komersial, perkantoran, dan bangunan umum lainnya, yang berasal dari
manusia, binatang atau tumbuh-tumbuhan, untuk diolah dan kemudian dibuang
dengan cara-cara sedemikian rupa sehingga aman bagi lingkungan, termasuk di
dalamnya buangan industri dan buangan kimia.
3. Sistem jaringan drainase, yaitu sistem jaringan dan distribusi drainase suatu
lingkungan yang berfungsi sebagai pematus bagi lingkungan, yang terintegrasi
dengan sistem jaringan drainase makro dari wilayah regional yang lebih luas.
4. Sistem jaringan persampahan, yaitu sistem jaringan dan distribusi pelayanan
pembuangan/pengolahan sampah rumah tangga, lingkungan komersial,
perkantoran dan bangunan umum lainnya, yang terintegrasi dengan sistem
jaringan pembuangan sampah makro dari wilayah regional yang lebih luas.
5. Sistem jaringan listrik, yaitu sistem jaringan dan distribusi pelayanan
penyediaan daya listrik dan jaringan sambungan listrik bagi penduduk suatu
IV-34

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

lingkungan, yang memenuhi persyaratan bagi operasionalisasi bangunan atau


lingkungan, dan terintegrasi dengan jaringan instalasi listrik makro dari wilayah
regional yang lebih luas.
6. Sistem jaringan telepon, yaitu sistem jaringan dan distribusi pelayanan
penyediaan kebutuhan sambungan dan jaringan telepon bagi penduduk suatu
lingkungan yang memenuhi persyaratan bagi operasionalisasi bangunan atau
lingkungan, yang terintegrasi dengan jaringan instalasi telepon makro dari
wilayah regional yang lebih luas.
7. Sistem jaringan pengamanan kebakaran, yaitu sistem jaringan pengamanan
lingkungan/kawasan untuk memperingatkan penduduk terhadap keadaan
darurat, penyediaan tempat penyelamatan, membatasi penyebaran kebakaran,
dan/atau pemadaman kebakaran.
8. Sistem jaringan jalur penyelamatan atau evakuasi , yaitu jalur perjalanan yang
menerus (termasuk jalan ke luar, koridor/selasar umum dan sejenis) dari setiap
bagian bangunan gedung termasuk di dalam unit hunian tunggal ke tempat
aman, yang disediakan bagi suatu lingkungan/kawasan sebagai tempat
penyelamatan atau evakuasi.

Prinsip-prinsip penataan sistem prasarana dan utilitas lingkungan terdiri dari :


1. Secara Fungsional, meliputi :
a. Strategi penetapan sistem yang tepat
Penetapan sistem prasarana dan utilitas yang tepat sesuai dengan tipe
penataan lingkungan yang ditetapkan pada kawasan perencanaan.
b. Kualitas dan taraf hidup pengguna
Penetapan sistem yang dapat mencapai kualitas lingkungan kota yang
layak huni baik dari segi keamanan, keselamatan maupun kesehatan
(higienitas), sekaligus dapat mendorong penciptaan kualitas hidup dan
kenyamanan warga.
c. Integrasi
i. Integrasi berbagai elemen utilitas dalam satu ruang kontrol secara
bersamaan akan memudahkan pembangunan dan pengontrolan;

IV-35

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

ii. Penciptaan suatu sistem yang terpadu dan terkait dengan sistem
dan kapasitas prasarana/infrastruktur wilayah/kawasan secara
lebih luas.
2. Secara Fisik, meliputi : Aspek estetika, karakter dan citra kawasan
a. Penataan elemen prasarana dan utilitas diselesaikan dengan
mempertimbangkan aspek estetika baik pada bagian dari perabot jalan,
public art, maupun elemen lansekap.
b. Penempatan elemen utilitas yang terlihat dari ruang luar atau di muka
tanah diupayakan menjadi bagian dari elemen wajah kawasan atau
wajah jalan dan dikaitkan dengan pembentukan karakter khas.
3. Secara Lingkungan, meliputi :
a. Lingkungan yang berlanjut
Penetapan sistem yang sekaligus menerapkan proses daur ulang untuk
mewujudkan keberlanjutan sistem ekologis, khususnya pada sistem
persampahan dan air limbah;
b. Keseimbangan jangka waktu pembangunan
Penetapan sistem pelaksanaan konstruksi/pembangunan yang
berimbang dan bertahap;
c. Keseimbangan daya dukung lingkungan
Penetapan keseimbangan antara kebutuhan dan daya dukung
lingkungan secara lebih luas.
4. Dari Sisi Pemangku Kepentingan, meliputi : Keseimbangan kepentingan
bersama antar pelaku kota
a. Penetapan sistem yang dikelola berdasarkan kesepakatan dari, oleh dan
untuk masyarakat;
b. Penetapan kewenangan yang jelas pada saat penyediaan, pengelolaan,
dan perawatan, yang terkait dengan peraturan daerah dan instansi
ataupun pemangku kepentingan terkait.

4.3.6 Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH)


Analisis ini bertujuan untuk membandingkan penggunaan eksisting ruang
terbuka hijau lokasi studi dengan standar fungsinya serta untuk mengetahui
IV-36

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

dimensi/besaran ruang-ruang terbuka pada wilayah perencanaan yang mencakup


taman-taman kota, ruang terbuka hijau (dengan memperhatikan aspek
fungsional, sosial dan ekologis).
Analisis ini didukung oleh standar ukuran ruang terbuka hijau yang harus
dipenuhi oleh sebuah ruas jalan berdasarkan beberapa peraturan perundangan
yang berlaku. Variabel dalam analisis RTH ini meliputi : Luas RTH, Fungsi RTH,
Jenis tanaman dan Jarak antar tanaman.

Use : bagaimana ruang terbuka


tersebut digunakan (misalnya
sebagai ruang terbuka aktif
yang digunakan untuk bermain
sepak bola)

City Using :
View : eksistensinya
Tipologi berdasarkan
sebagai aspek visual kota
pemanfaatan ruang terbuka
(berkaitan dengan
keindahan kota)

Feeling : berkaitan dengan


perasaan yang terbentuk akibat
TIPOLOGI RUANG eksistensi suatu ruang terbuka
TERBUKA (misalnya perasaan privacy,
TENKEL (1958) keleluasaan, ketertutupan, dsb)

Does urban work : ruang


terbuka kota sebagai elemen
perkotaan yang memiliki peran
kekotaan (sebagai area resapan,
City Forming : peredam polusi,dsb)
Tipologi berdasarkan peranan
ruang terbuka dalam
mempengaruhi bentuk kota Develops Pattern : ruang terbuka
menentuka pola ruang kota
(keberadaan lapangan olahraga,
kebun raya,dsb) yang
mempengaruhi pola dan struktur
ruang kota

Gambar 4.15 Diagram Topologi Ruag Terbuka


Secara ringkas, penanganan pengembangan RTH berikut contoh vegetasinya
dapat dilihat pada Tabel berikut.

IV-37

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

Tabel 4.9. Fungsi dan Persyaratan Tanaman Jalur Hijau


No Fungsi Persyaratan Contoh vegetasi
1 Peneduh  Ditempatkan pada jalur tanaman
(minimal 1,5 m).
 Percabangan 2 m diatas tanah
 Bentuk percabangan tidak merunduk
 Bermassa daun padat
 Ditanam secara berbaris

 Kiara Payung (Filicum decipiens)


 Tanjung (mimusops elengi)
 Angsana (Pitherocarphus
indicus)
2 Penyerap  Terdiri dari pohon, perdu/semak
Polusi Udara  Memiliki ketahanan tinggi terhadap
pengaruh udara
 Jarak tanaman rapat
 Bermassa daun padat

 Angsana (Pitherocarphus indicus


 Akasia daun besar (accasia
mangium)
 Oleander (Nerium oleander)
 Bogenvil (Bougenvillea sp)
 The-tehan pangkas (Acalypha
sp)
3 Penyerap  Terdiri dari pohon, perdu/semak
Kebisingan  Membentuk massa
 Bermassa daun rapat
 Berbagai bentuk tajuk

 Tanjung (mimusops elengi)


 Kiara Payung (Filicum decipiens)
 The-tehan pangkas (Acalypha
sp)
 Kembang sepatu (Hibiscus rosa
sinensis)
 Bogenvil (Bougenvillea sp)
 Oleander (Nerium oleander)
IV-38

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

No Fungsi Persyaratan Contoh vegetasi


4 Pemecah  Tanaman tinggi, perdu/semak
Angin  Bermassa daun padat
 Ditanam berbasis atau membentuk
massa
 Jarak tanam rapat < 3 m

 Cemara (Cassuarina-
equisetifolia)
 Angsana (Pitherocarphus indicus
 Tanjung (mimusops elengi)
 Kiara Payung (Filicum decipiens)
 Kembang sepatu (Hibiscus rosa
sinensis)

5 Pembatas  Tanaman tinggi, perdu/semak


Pandang  Bermassa daun padat
 Ditanam berbasis atau membentuk
massa
 Jarak tanam rapat

 Bambu (Bambusa sp)


 Cemara (Cassuarina-
equisetifolia)
 Kembang sepatu (Hibiscus rosa
sinensis)
 Oleander (Nerium oleander)

4.3.7 Analisis Sistem Keamanan Bangunan Lingkungan


1. Hidran dan sarana pemadam kebakaran
Keberadaan hidran disuatu lingkungan sangatlah besar artinya, khususnya bila
dilihat dalam segi keselamatan. Apabila terjadi kebakaran, maka keberadan hidran
ini akan sangat diperlukan sebagai sumber air bagi pemadam kebakaran. Dalam
suatu kawasan idelanya dalam radius beberapa ratus meter terdapat hidran guna
mempermudah dalam hal pencarian sumber air. Pada lingkungan perencanan,
hidran merupakan salah satu fasilitas yang perlu disiapkan dan penyiapannya
sangat dipengaruhi oleh rencana pengembangan jaringan air bersih. Lokasi hidran
ini sangat dipengaruhi oleh luas daerah yang akan dilayani.
Pada umumnya dalam satu kilometer pipa distribusi terdapat 4-5 buah
hidran. Ketentuan dalam penempatan hidran ini adalah sebagai berikut:
IV-39

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

a) Sebaiknya hidran diletakkan pada jarak 60 – 180 cm dari tepi jalan.


b) Hidran diletakkan 1 meter dari bangunan permanen.
c) Penempatan hidran diprioritaskan dipersimpangan jalan sehingga jarak
jangkauannya lebih luas.
Tangki persediaan air yang melayani keperluan hidran lingkungan wajib
memenuhi ketentuan direncanakan dan dipasang sehingga dapat menyalurkan air
dalam volume dan tekanan yang cukup untuk sistem hidran tersebut.
2. Penempatan Menara Telekomunikasi
Ketentuan pembangunan menara telekomunikasi dimaksudkan untuk
memberikan arah penyelenggaraan telekomunikasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku disamping kehandalan cakupan (coverage)
frekuensi telekomunikasi dengan tujuan meminimalkan jumlah menara
telekomunikasi yang ada, dengan prioritas mengarahkan pada penggunaan/ dalam
penggunaan/ pengelolaannya maupun pengguaan ruang kota, namun tetap
menjamin kehandalan cakupan pemancaran, pengiriman dan/atau penerimaan
telekomunikasi.
Pola penyebaran titik lokasi menara telekomunikasi dibagi dalam kawasan
berdasarkan pola sifat lingkungan, kepadatan bangunan dan bangun-bangunan
serta kepadatan jasa telekomunikasi yang lokasi persebarannya ditetapkan dengan
keputusan Gubernur. Kawasan tersebut dibagi berdasarkan kriteria sebagai
berikut:
1) Kriteria Kawasan I
a. Lokasi yang kepadatan bangunan bertingkat dan bangun-bangunan serta
kepadatan penggunaan/pemakaian jasa tekelomunikasi padat.
b. Penempatan titik lokasi menara telekomunikasi pada permukaan tanah
hanya untuk menara tunggal, keciali untuk kepentingan bersama
beberapa operator dapat dibangun menara rangka sebagai menara
bersama.
c. Menara telekomunikasi dapat didirikan diatas tanah dan di atas bangunan
dengan memperhatikan keamanan, keselamatan, estetika dan keserasian
lingkungan.

IV-40

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

2) Kriteria Kawasan II
a. Lokasi yang kepadatan bangunan bertingkat dan bangun-bangunan
kurang padat.
b. Penempatan titik lokasi menara telekomunikasi pada permukaan tanah
dapat dilakukan untuk menara rangka dan menara tunggal.
c. Menara telekomunikasi dapat didirikan di atas bangunan jika tidak
dimungkinkan didirikan di atas permukaan tanah dengan memperhatikan
keamanan, keselamatan, estetika dan keserasian lingkungan.
3) Kriteria Kawasan III
a. Lokasi dimana kepadatan bangunan bertingkat dan bangun-bangunan
tidak padat.
b. Penempatan titik lokasi menara telekomunikasi pada permukaan tanah
dapat dilakukan untuk menara rangka dan menara tunggal.
c. Menara telekomunikasi di atas bangunan bertingkat tidak diperbolehkan
kecuali tidak dapat dihindari karena terbatasnya pekarangan tanah
dengan ketentuan ketinggian disesuaikan dengan kebutuhan frekuensi
telekomunikasi dengan tinggi maksimum 52 meter dari permukaan tanah
dengan memperhatikan keamanan, keselamatan, estetika dan keserasian
lingkungan.
Menara telekomunikasi dibangun sesuai dengan kaidah penataan ruang kota,
keamanan dan ketertiban, lingkungan, estetika dan kebutuhan telekomunikasi
pada umumnya. Seperti disebutkan diatas, menara telekomunikasi
diklasifikasikan dalam dua bentuk, yaitu menara tungal dan menara rangka.
Menara telekomunikasi untuk mendukung sistem transmisi radio microwave,
apabila merupakan menara rangka yang dibangun di permukaan tanah
maksimum tingginya 72 meter, ditentukan hanya dapat dibangun dalam
peruntukkan tanah II dan peruntukkan tanah III. Dilarang membangun menara
telekomunikasi pada:

IV-41

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

 Lokasi pada peruntukkan tanah spesifik perumahan kecuali pada


peruntukkan tanah perumahan renggang dengan ketentuan harus dilengkapi
dengan persyaratan tidak berkeberatan dari tetangga di sekitar menara dan
diketahui oleh lurah setempat.
 Bangunan bertingkat yang menyediakan fasilitas helipad.
 Bangunan bersejarah dan cagar budaya.

4.3.8 Analisis Estetika Bangunan dan Lingkungan


Bertujuan untuk menentukan konsep-konsep rancangan serta rekomendasi-
rekomendasi bagi kebijakan yang akan diambil pada lingkup wilayah perencanaan.
Disamping itu, analisis terhadap kondisi bangunan dan lingkungan ini bertujuan
juga untuk meningkatkan fungsi lahan yang disesuaikan dengan kemampuan lahan
di wilayah perencanaan serta untuk meningkatkan nilai estetika di wilayah
perencanaan. Aspek-aspeknya mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Sifat dan kondisi bangunan
2. Kesan lingkungan dan bangunan
3. Identitas bangunan
4. Tampilan bangunan/fasade bangunan
5. Garis langit/Sky line
6. Unsur-unsur penunjang bangunan dan lingkungan

Gambar 4. 16 Contoh Pembentukan Kesan Lingkungan


Unsur-unsur penunjang bangunan dan lingkungan yang umum dikaji dalam
penyusunan RTBL adalah:

IV-42

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Penggunaan Lahan (Land Use)


Urban land use atau penggunaan lahan perkotaan adalah pemanfaatan
atas suatu ruang kota yang relatif luas oleh manusia untuk kegiatan dominan
tertentu. Cakupan luas ruang tersebut terentang mulai dari kelompok blok
perkotaan hingga bagian wilayah kota, penggunaan lahan dibedakan dengan
pemanfaatan ruang dalam hal cakupan atau lingkup wilayahnya. Pemanfaatan
ruang lebih diartikan sebagai pemanfaatan petak atau kapling hingga
kumpulan beberapa kapling yang membentuk blok perkotaan.
a) Dinamika penggunaan lahan
Dinamika penggunaan lahan meliputi proses-proses perubahan (Hartshom,
1980) :
 Sub urbanization (pertumbuhan kawasan pinggiran).
 Renewal (peremajaan kawasan pusat kota).
 Ekspansi sarana prasarana publik (taman, jalan, saluran dll).
 Pertumbuhan atau hilangnya unit guna lahan dengan penggunaan tertentu
(perubahan bangunan menjadi sarana parkir, perluasan rumah sakit,
perluasan bandara, dll).
b) Pemintakan (zoning)
Pemisahan penggunaan lahan didahului oleh zoning atau pemintakan
dan merupakan fenomena pembangunan perkotaan abad keduapuluh yang
dimulai di Amerika (Hartshorn, Interpreting the city, 1980). Pada
hakekatnya pemintakan adalah untuk mencegah suatu penggunaan lahan
memberikan dampak negatif (dalam konteks property values) pada guna
lahan lainnya, dengan cara memberikan ijin hanya pada guna lahan-guna
lahan yang berkesesuaian (compatible) untuk dapat eksis secara
berdampingan.
Contoh Konsep Zoning Sebagai Alat Pengendali :
 Density Zoning pengendalian atas KDB, KLB, ukuran kapling.
 Conditional-use Zoning menetapkan guna lahan yang dijinkan jika
serangkaian perturan dipenuhi.
 Floating Zoning menetapkan pengendalian yang ketat atas guna lahan
tertentu namun tanpa menunjuk lokasi tertentu.

IV-43

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

 Impact Zoning mengaitkan permintaan atas guna lahan dengan


kapasitas dan konsekuensi perubahan, sehingga diperlukan evaluasi
atas konsekuensi pembangunan.
 Transfer Zoning mengijinkan perpindahan hak membangun.
 Percentage Zoning proporsi percampuran guna lahan yang
dikehendaki.
 Contract Zoning peraturan tertentu yang dinegosiasikan dengan
pengembang.
 Special-use Zoning pengkategorian guna lahan secara khusus.
 Agriculture and Foresty Zones penetapan guna lahan pertanian.
 Bonus or Incentive pemberian ijin membangun secara intensif jika
syarat tertentu dipenuhi (misal, pembangunan area parkir, ruang
terbuka).
 Exclusionary Zoning penetapan standar kinerja fisik pembangunan.

Pembagian zona dengan pertimbangan batasan fisik jalan Pembagian zona dengan pertimbangan batasan fisik
(termasuk 1 blok dengan batas jalan), gang, branchgang, sungai, lapis bangunan, rencana jalan jalan), gang,
batas kapling dan orientasi bangunan, lapis bangunan. batas kapling dan orientasi bangunan.

Gambar 4. 17 Contoh Pembagian Zoning Berdasarkan Batas Fisik

IV-44

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

2. Penandaan (Signage)
Suatu tulisan (huruf, angka atau kata), gambar (ilustrasi/dekorasi), lambang
(simbol atau merk dagang), bendera (spanduk atau umbul-umbul) atau sesuatu
yang :
 Ditempelkan atau digambarkan pada suatu bangunan atau struktur lainnya
 Digunakan sebagai pemberitahuan, penarik perhatian, atau iklan
 Terlihat dari luar bangunan
 Tanda harus selalu menunjukkan kepada sesuatu yang riil atau nyata.

Signage nama usaha/toko


yang menempel secara
menjorok pada bangunan

Signage menempel pada


bangun non bangunan

Signage berupa public sign dan


Penunjuk arah/navigasi
commercial sign saling bersaing

IV-45

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

Gambar 4. 18 Ilustrasi Perancangan Signage

Unsur-unsur penandaan dapat dikelompokkan atas beberapa jenis:


1. Reklame dengan kontruksi tiang
Unsur ini merupakan penandaan yang berdiri bebas dengan kontruksi
kaki sehingga memberi banyak kebebasan agar bisa dilihat dari
kejauhan. Bentuk penandaan lain dari unsur ini adalah penggunaan
tiang tunggal.
2. Tanda sebagai identifikasi primer
Tanda semacam ini digunakan informasi nama gedung/kantor, papan
pengumuman, dan lain-lain.
3. Penandaan dengan konstruksi tempel dan muncul
Bentuk konstruksi tempel merupakan jenis penandaan yang paling
banyak digunakan setelah penandaan dengan tiang reklame. Jenis
reklame ini dibuat dengan kotruksi khusus sehingga reklame timbul
keluar dari bangunan.
4. Penandaan dengan lampu
Seperti halnya penandaan lain, disini informasi publik non komersial
tenggelam dalam reklame lampu, yang membutuhkan kreatifitas dalam
design sehingga mewujudkan wajah kota yang lebih menarik.
IV-46

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

5. Tanda yang berfungsi sebagai unsur dekoratif kota


Penandaan yang berbentuk sebagai elemen dekoratif sekaligus
informasi dapat dijumpai sebagai bendera atau umbul-umbul.
6. Tanda yang berbentuk spanduk
Penandaan dalam bentuk spanduk biasanya dipakai sebagi media
untuk menyampaikan acara-acara tententu
7. Tanda sebagai sirkulasi transportasi
Tanda ini digunakan untuk mengatur pergerakan lalu lintas untuk
mengurangi kemacetan atau tundaan yang mungkin terjadi.

 Pedagang kaki lima


 Tempat sampah

3. Tata Bangunan (Building Form)


Peran artistik utama dari suatu bangunan adalah bagaimana facade (wajah
bangunan) mendefinisikan/menciptakan ruang, dan bagaimana tampilan
bangunan tersebut jika dipandang dari dalam ruang yang terbentuk.
Bangunan-bangunan seharusnya menyatu sebagai satu kesatuan.
1. Kepejalan bangunan (bulk)
2. Ketinggian bangunan (height)
3. Floor Area Ratio
4. Tekstur dan material
5. Warna
6. Gaya arsitektur
7. Pemunduran bangunan/GSB
Langkah penting dalam merumuskan tata bangunan (bentuk dan massa
bangunan) adalah mengenali prinsip dan nalar dibalik bentukan fisik kota.
Selanjutnya berpijak pada pemahaman tersebut akan dapat disusun panduan
perancangan (design guidelines) serta mekanisme implementasinya.

IV-47

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

Gambar 4.19 Ilustrasi Pengaturan Bangungan

4. Sirkulasi (Circulation)
Sirkulasi sebagai pengorganisasi dan pembentuk ruang perkotaan.
Prinsip pertama : jalan harus merupakan elemen ruang terbuka yang secara
visual bersifat positif. Hal ini dapat dicapai melalui :
1) Penutupan dan perlakuan lansekap atas elemen visual yang tidak
dikehendaki.
2) Penetapan pemunduran dan ketinggian bangunan sepanjang jalur jalan.
3) Penanaman pohon dan tanaman pada median dan bahu (ROW) jalan.
4) Meningkatkan kualitas elemen natural yang terlihat dari jalan.
Prinsip kedua : jalan harus membantu pemberian orientasi pada pengendara
dan membuat lingkungannya mudah dipahami (ligible). Hal ini dapat dicapai
melalui :
1) Pembuatan lansekap tertentu yang meningkatkan kualitas lingkungan dan
kawasan sepanjang jalan.
2) Meningkatkan kualitas perlengkapan dan penerangan jalan.
3) Pembentukan sistem vista dan referensi visual yang terkait dengan
Pemanfaatan ruang dan landmark setempat.
4) Pembedaan hirarki jalan dengan menggunakan pengolahan streetscape,
pemunduran bangunan, lebar bahu jalan, dsb.

IV-48

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

Gambar 4. 20 Ilustrasi Perancangan Elemen Sirkulasi

5. Parkir (Parking)
Vitalitas kawasan pusat kota akan meningkat dengan adanya ruang parkir.
Dampak visual yang buruk pada bentuk fisik kota dan lansekap kota. Efek ruang
parkir terhadap kualitas lingkungan kota :
IV-49

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

 Pembangunan gedung parkir pada kawasan yang parkir jenuh, muncul isu
keterkaitan fasilitas dengan kegiatan pejalan kaki disekitarnya.
 Multiple use program: memaksimalkan penggunaan lahan parkir eksisting,
misalnya dengan penggunaan bersama lahan parkir oleh kegiatan-kegiatan
yang berbeda (parkir untuk kantor pada siang hari dan teater pada malam
hari).
 Package-plan parking: beberapa kegiatan usaha dengan kebutuhan parkir
besar dapat menyewa lahan pada suatu lokasi yang tidak padat lalulintas
sebagai lahan parkir privat sepanjang hari kerja.
 Urban-edge parking: penyediaan fasilitas parkir masal di pinggiran CBD.

IV-50

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

Penyediaan ruang parkir yang cukup, namun dengan


dampak visual yang sekecil mungkin adalah
penyelesaian urban design yang tepat atas
kontradiksi tersebut.

Gambar 4.21 Ilustrasi Perancangan Elemen Parkir

6. Pendukung Kegiatan (Activity Support)


Pendukung kegiatan meliputi seluruh pemanfaatan ruang (termasuk elemen
fisik ruang perkotaan) dan kegiatan yang memperkuat eksistensi (dan vitalitas)
ruang-ruang publik perkotaan. Terdapat kegiatan utama yang memerlukan
dukungan untuk bisa menghasilkan kinerja kegiatan yang baik dalam
memperkuat eksistensi (dan vitalitas) kegiatan utama tersebut.

IV-51

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

a. Pendukung kegiatan tidak berarti hanya berupa penyediaan jalur pejalan


kaki, bangku, lampu jalan, ATM, plaza, namun juga meliputi pertimbangan
atas pemanfaatan ruang dan fungsi/penggunaan elemen kota dalam
merangsang tumbuhnya kegiatan perkotaan. Hal ini dapat meliputi gedung
bioskop, pertokoan, taman, alun-alun, dsb.
b. Pengintegrasian dan pengkordinasian pola-pola kegiatan merupakan
dimensi penting dalam perancangan pendukung kegiatan.
c. Crowds of people justify the use of space.

Gambar 4.22 Ilustrasi Perancangan Activity Support

IV-52

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

4.3.9 Analisis Peran Serta Masyarakat Dan Kelembagaan


a. Konsep Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat dalam penataan ruang menganut asas-asas
demokratis, kesetaraan gender, dan keterbukaan. Pendekatan ini merupakan
dasar bagi pendekatan “community driven planning” yang menjadikan
masyarakat sebagai penentu dan pemerintah sebagai fasilitatornya. Sejalan
dengan proses penataan ruang yang interaktif, maka keterlibatan masyarakat
ada pada setiap proses tersebut dan selalu tanggap dan mengikuti setiap
dinamika dan perkembangan di dalam masyarakat.
Peran serta masyarakat dalam penataan ruang dapat diwujudkan dalam
bentuk pengajuan usul, memberi saran, atau mengajukan keberatan kepada
pemerintah. Dalam mengajukan usul, memberikan saran, atau mengajukan
keberatan kepada pemerintah dalam rangka penataan ruang bagian kawasan
perkotaan dapat dilakukan melalui pembentukan forum kota, asosiasi profesi,
mendia massa, LSM, lembaga formal kemasyarakatan (sampai tingkat lembaga
perawakilan rakyat).
Beberapa metoda dapat dilakukan untuk menggali aspirasi masyarakat
baik dengan wawancara maupun penyebaran daftar pertanyaan pada waktu
survey lapangan. Pada prinsipnya partisipasi masyarakat dalam penataan ruang
digolongkan kedalam 2 (dua) bentuk, yaitu partisipasi sentralistik (top-down
planning) dan partisipasi bersama masyarakat (bottom-up planning).

IV-53

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

Peren- Peman- Pengen Peren- Peman- Pengen


canaan faatan dalian canaan faatan dalian

Pemerintah

Swasta

Masyarakat

Sistem Sistem

Swadaya Lokal Administrasi Terpusat

Gambar 4.23 Pola Kewenangan Pengambilan Keputusan Dan Pengawasan Dalam


Penataan Ruang

Dalam perkembangan berikutnya, bentuk partisipasi masyarakat yang


sering digunakan adalah partisipasi bersama masyarakat (bottom-up planning).
Hal ini dikarenakan bentuk partisipasi tersebut dinilai sesuai dengan asas-asas
demokratis, kesetaraan gender, dan keterbukaan.
Konsep partisipasi bersama masyarakat (bottom-up planning)
memberikan pengertian bahwa masyarakat mempunyai peran yang lebih besar
dalam proses penataan ruang, utamanya dalam tahapan pengendalian
pemanfaatan ruang. Pemerintah dan swasta hanya berperan sebagai fasilitator
masyarakat dalam usaha mengembangkan wilayahnya. Hal ini dimungkinkan
karena masyarakat dianggap paling tahu akan kondisi wilayah, baik potensi
maupun permasalahannya, serta kebutuhan/pengembangan wilayah pada masa
mendatang. Sehingga, dengan kata lain, bottom-up planning dapat disebut
sebagai penataan ruang dari, oleh dan untuk masyarakat.

b. Konsep Kelembagaan
Suatu strategi yang efektif untuk pembangunan bangunan dan
lingkungan tergantung pada keberhasilan penataan pola-pola kewenangan
kelembagaan yang digunakan pada seluruh proses penataan ruang tersebut
(lihat Gambar 4.13). Pada saat ini peran masing-masing pemangku kepentingan
IV-54

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK
LAPORAN PENDAHULUAN

(stakeholders) cenderung bergeser pada bentuk tertentu, dimana letak


kewenangan pemerintah hanya sebatas pada penyediaan prasarana dan sarana
lingkungan saja, sedangkan untuk pengadaan lahan dan pendanaan kegiatan
pengembangan bangunan dan lingkungan diakomodasi oleh pihak swasta dan
masyarakat
Peren- Peman- Pengen Peren- Peman- Pengen
canaan faatan dalian canaan faatan dalian

Pemerintah

Swasta

Masyarakat

Distribusi (yang normal) tingkat- Distribusi (yang lazim/banyak


tingkat kegiatan dan terdapat) kegiatan dan kewena-
kewenangan dimana peranan ngan dimana pemerintah berpe-
pemerintah adalah menjamin ran utama dalam pembangu-
akses yang merata terhadap nan/penyediaan prasarana dan
sumberdaya. Pihak swasta sarana lingkungan, sedangkan
berperan dalam penyediaan masalah lahan dan pendanaan
infrastruktur dimana masya- ada di tangan masyarakat.
rakat melaksanakan pemba-
ngunan/pengelolaan.

Gambar 4.24 Pola Kewenangan Dan Kegiatan Dalam Penataan Ruang

IV-55

PENYUSUNAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


SBWP PRIORITAS MANYAR BUNGAH KABUPATEN GRESIK

Anda mungkin juga menyukai