IV-1
IV-2
yaitu suatu wadah yang layak bagi berlangsungnya berbagai kegiatan hidup
sehari-hari. Disain Landsekap Arsitektur Urban berkepentingan dengan
pembentukan ruang luar dan masa / selubung bangunan tanpa terlibat dalam
perancangan isi dari bangunan serta unsur lain yang berada di dalamnya, namun
fungsi bangunan tersebut akan sangat turut menetunkan kriteria perancangan
ruang luarnya.
Disain Landsekap Arsitektur Urban dapat memberi arah bagi perkembangan
wujud kota yang didinginkan. Untuk bagian-bagian kota yang sudah terbangun,
melalui proses Disain Landsekap Arsitektur Urban dapat diciptakan dan
ditingkatkan kualitas lingkungan dengan nilai yang lebih baik, dibanding dengan
pembangunan sebelumnya yang tidak terarah. Pengertian disini bukan hanya
sekedar fisik atau visual tetapi lebih jauh dari itu pengertian akan kualitas sosial
yang dapat meningkatkan martabat hidup masyarakat luas.
Skala Landsekap Arsitektur Urban adalah kota atau bagian-bagian dari kota,
dan harus dimengerti bahwa Disain Landsekap Arsitektur Urban lebih merupakan
suatu proses dari pada produk akhir. Unsur-unsur pembentuk lingkungan binaan
kota yang menjadi fokus dalam proses Disain Lansekap Arsitektur Urban meliputi,
antara lain :
Bentuk dan masa bangunan serta fungsinya
Ruang luar yang terbentuk
Sirkulasi (kendaraan dan pejalan kaki) dan parkir
Penghijauan dan masalah ekosistim pada umunya
Unsur-unsur penunjang, papan reklame, dsb
Berbagai unsur non fisik yang membentuknya
IV-4
IV-5
IV-6
IV-7
IV-8
IV-9
IV-10
IV-11
IV-12
Keterangan:
Tinggi : H = 1 D
kerenggangan bangunan Y minimum 3 m untuk H = 8 m, selanjutnya variabel
dari fungsi sudut 77o
1. Bidang Muka (fasade) Bangunan
Metode yang digunakan adalah analisis foto series dari hasil pengamatan
survey primer untuk mengendalikan arah hadap dan bentuk muka bangunan
yang ada di wilayah studi.
IV-13
GARIS SEMPADAN
BANGUNAN
Umumnya pengaturan sempadan ini merupakan 0,5 dari Ruang Milik Jalan
(Rumija), khusus untuk daerah perencanaan dilakukan dengan menggunakan
standar ideal jarak antara pagar dengan bangunan, yaitu dengan rumus :
1
D L 1 m
2
L = lebar jalan
D = jarak pagar bangunan
IV-14
IV-15
Besarnya jarak antar bangunan dalam satu persil untuk semua klasifikasi
bangunan yang tingginya maksimum 5 meter ditetapkan sekurang-
kurangnya 3 meter.
Jarak antar bangunan suatu persil yang sama tingginya untuk semua
klasifikasi bangunan, kecuali klasifikasi menurut kualitas konstruksi bangunan
sementara dimana tinggi bangunan tersebut minimum 8 meter ditetapkan
sekurang-kurangnya :
1/2 tinggi bangunan (H) - 1 meter
Bila bangunan yang berdampingan itu tidak sama tingginya, jarak antar
bangunan tersebut ditetapkan sekurang-kurangnya :
1/2 tinggi bangunan A + 1/2 tinggi bangunan B - 1 meter
2
Rumus tersebut merupakan penggunaan untuk kondisi ideal bagi penentuan
sempadan bangunan pada kawasan yang masih tersedia dan belum terbangun.
Pada kawasan yang telah dibangun, perencanaan sempadan jalan dan
bangunan harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan jaringan yang telah
terbentuk, sehingga dengan demikian harus dilakukan penyesuaian jarak
sempadan dengan bangunannya.
IV-16
IV-17
IV-18
1
h 1 d
2
Dimana:
h = tinggi puncak bangunan maksimum.
d = jarak antara proyeksi puncak bangunan pada lantai dasar terhadap
sumbu jalan yang berdampingan.
- Jika lebar jalan yang berdampingan < 20 m maka titik sudut ditetapkan
pada as jalan.
- Jika lebar jalan yang berdampingan > 20 m maka titik sudut ditetapkan 10
m dari garis sempadan pagar ke jalan.
IV-19
Area terbangun
KDB
Luas kapling
IV-20
IV-21
Dalam menata besaran KLB dan KDB juga perlu disepakati hal-hal antara
lain :
Dalam menghitung luas bangunan, luas lantai dijumlahkan sampai batas
dinding terluar.
Luas ruangan beratap yang berdinding lebih dari 1,2 m di atas lantai
ruangan tersebut dihitung penuh (100 %).
Luas ruang beratap yang bersifat terbuka atau berdinding tidak lebih tinggi
dari 1,2 M di atas lantai ruang tersebut dihitung 50 %-nya, selama tidak
melebihi 10 % dari luas denah dasar bangunan yang diperkenankan
IV-23
sesuai dengan hitungan KDB. Bila luasan melebihi angka toleransi (10
%) maka hitungan luas bangunan dianggap 100 %.
Luas overstek yang kurang dari 1,2 m2 tidak dimasukkan dalam perhitungan
sebagaimana di atas.
Luas ruangan yang berdinding lebih dari 1,2 M namun tidak beratap
diperhitungkan 50 % selama tidak melebihi 10 % dari luas denah yang
ditetapkan dalam KDB. Bila melebihi hitungan 10 %, dianggap dalam
hitungan penuh (100 %).
Teras-teras tidak beratap yang berdinding tidak lebih dari 1,2 M di atas lantai
teras tersebut tidak diperhitungkan.
Lantai bangunan yang berada di bawah permukaan tanah tidak dimasukkan
dalam perhitungan KDB.
Ramp dan tangga terbuka dihitung setengahnya selama tidak melebihi 10
% dari luas denah dasar yang diperkenankan.
Bangunan yang didirikan harus memenuhi persyaratan KDB dan KLB, sesuai
dengan rencana yang ditetapkan.
Kepala Daerah dapat memberikan kelonggaran ketentuan ini untuk
bangunan perumahan dan bangunan sosial dengan memperhatikan
keserasian dan arsitektur lingkungan.
Setiap bangunan yang didirikan harus sesuai dengan rencana penggunaan
lahan mikro dan syarat peruntukan kawasan. Apabila tidak dipenuhi atau
tidak ditetapkan maka KDB dan KLB diperhitungkan berdasarkan luas tanah
di belakang Garis Sempadan Jalan yang dimiliki.
Untuk tanah yang belum atau tidak memenuhi persyaratan luas minimum
perpetakan menurut peraturan ini, Kepala Daerah dapat menetapkan lain
dengan memperhatikan keadaan lapangan, keserasian dan keamanan
lingkungan serta memenuhi persyaratan teknis yang telah ditetapkan.
IV-24
atau peresapan air terhadap luas tanah/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai
rencana tata ruang. Ketentuan umum mengenai KDH adalah sebagai berikut:
1) Koefisien dasar hijau (KDH) ditetapkan sesuai dengan peruntukkan dalam
rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan. KDH minimal 10% pada
daerah sangat padat/padat. KDH ditetapkan meningkat setara dengan naiknya
ketinggian bangunan dan berkurangnya kepadatan wilayah.
2) Untuk perhitungan KDH secara umum, digunakan rumus: 100 % - (KDB +
20%KDB)
3) Ruang Terbuka Hijau yang termasuk dalam KDH sebanyak mungkin
diperuntukkan bagi penghijauan/penanaman di atas tanah. Dengan demikian
area parkir dengan lantai perkerasan masih tergolong RTH sejauh ditanami
pohon peneduh yang ditanam di atas tanah, tidak di dalam wadah/container
kedap air.
4) KDH tersendiri dapat ditetapkan untuk tiap-tiap klas bangunan dalam
kawasan-kawasan bangunan, dimana terdapat beberapa klas bangunan dan
kawasan campuran.
IV-25
IV-26
IV-27
5 METER
Pagar Pagar
1,5 METER
2. Sistem Parkir
Masalah utama pada perparkiran di kota adalah fasilitas jalan telah
dimanfaatkan sebagai fasilitas parkir. Pemakaian jalan sebagai tempat parkir
karena belum cukupnya sarana parkir. Terutama gedung-gedung besar yang
memerlukan areal parkir yang belum cukup menyediakan areal parkirnya.
Berikut ini adalah tabel kebutuhan tempat parkir:
Tabel 4.5. Kebutuhan tempat parkir
No Penggunaan Lokasi dan luas bangunan
Bangunan Pusat kota Daerah pinggiran
(m2) (m2)
1. Perkantoran 60 100
2. Pergudangan 40 60
3. Apotik 30 30
4. Praktik dokter 15 30
5. Audotorium 10 30
Restauran 20 30
Club 20 25
6. Hiburan 40 20 20
7. Kolam ren30ang 40 60
8. Lapangan tenis 60 80
IV-28
IV-29
Gambar 4.13 Disain Geometri Parkir Sisi Jalan (On street parking)
0 ,03
0,03
a. Zebra Cross
IV-32
b. Pelican Crossing
Pelican Crossing adalah fasilitas penyeberangan pejalan kaki yang
dilengkapi dengan lampu lalu lintas untuk menyeberang jalan dengan
aman dan nyaman. Pelican Crossing harus dipasang pada lokasi-lokasi
sebagai berikut :
Pada kecepatan lalu lintas kendaraan dan arus penyeberang tinggi
Lokasi pelikan dipasang pada jalan dekat persimpangan
Pada persimpangan dengan lampu lalu lintas, dimana pelican cross
dapat dipasang menjadi satu kesatuan dengan rambu lalu lintas (traffic
signal ).
c. Jembatan Penyeberangan
Pembangunan jembatan penyeberangan disarankan memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
Bila fasilitas penyeberangan dengan menggunakan zebra cros dan
Pelican Cros sudah mengganggu lalu lintas yang ada.
Pada ruas jalan dimana frekwensi terjadinya kecelakaan yang
melibatkan pejalan kaki cukup tinggi.
Pada ruas jalan yang mempunyai arus lalu lintas dan arus pejalan kaki
yang tinggi.
4.3.5 Analisis Jaringan Prasarana dan Utilitas
Sistem prasarana dan utilitas lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik
suatu lingkungan yang pengadaannya memungkinkan suatu lingkungan dapat
beroperasi dan berfungsi sebagaimana semestinya. Sistem prasarana dan utilitas
lingkungan mencakup :
1. Jaringan air bersih;
2. Jaringan air limbah;
IV-33
3. Jaringan drainase;
4. Jaringan persampahan;
5. Jaringan gas;
6. Jaringan listrik;
7. Jaringan telepon;
8. Sistem jaringan pengamanan kebakaran; dan
9. Sistem jaringan jalur penyelamatan atau evakuasi.
IV-35
ii. Penciptaan suatu sistem yang terpadu dan terkait dengan sistem
dan kapasitas prasarana/infrastruktur wilayah/kawasan secara
lebih luas.
2. Secara Fisik, meliputi : Aspek estetika, karakter dan citra kawasan
a. Penataan elemen prasarana dan utilitas diselesaikan dengan
mempertimbangkan aspek estetika baik pada bagian dari perabot jalan,
public art, maupun elemen lansekap.
b. Penempatan elemen utilitas yang terlihat dari ruang luar atau di muka
tanah diupayakan menjadi bagian dari elemen wajah kawasan atau
wajah jalan dan dikaitkan dengan pembentukan karakter khas.
3. Secara Lingkungan, meliputi :
a. Lingkungan yang berlanjut
Penetapan sistem yang sekaligus menerapkan proses daur ulang untuk
mewujudkan keberlanjutan sistem ekologis, khususnya pada sistem
persampahan dan air limbah;
b. Keseimbangan jangka waktu pembangunan
Penetapan sistem pelaksanaan konstruksi/pembangunan yang
berimbang dan bertahap;
c. Keseimbangan daya dukung lingkungan
Penetapan keseimbangan antara kebutuhan dan daya dukung
lingkungan secara lebih luas.
4. Dari Sisi Pemangku Kepentingan, meliputi : Keseimbangan kepentingan
bersama antar pelaku kota
a. Penetapan sistem yang dikelola berdasarkan kesepakatan dari, oleh dan
untuk masyarakat;
b. Penetapan kewenangan yang jelas pada saat penyediaan, pengelolaan,
dan perawatan, yang terkait dengan peraturan daerah dan instansi
ataupun pemangku kepentingan terkait.
City Using :
View : eksistensinya
Tipologi berdasarkan
sebagai aspek visual kota
pemanfaatan ruang terbuka
(berkaitan dengan
keindahan kota)
IV-37
Cemara (Cassuarina-
equisetifolia)
Angsana (Pitherocarphus indicus
Tanjung (mimusops elengi)
Kiara Payung (Filicum decipiens)
Kembang sepatu (Hibiscus rosa
sinensis)
IV-40
2) Kriteria Kawasan II
a. Lokasi yang kepadatan bangunan bertingkat dan bangun-bangunan
kurang padat.
b. Penempatan titik lokasi menara telekomunikasi pada permukaan tanah
dapat dilakukan untuk menara rangka dan menara tunggal.
c. Menara telekomunikasi dapat didirikan di atas bangunan jika tidak
dimungkinkan didirikan di atas permukaan tanah dengan memperhatikan
keamanan, keselamatan, estetika dan keserasian lingkungan.
3) Kriteria Kawasan III
a. Lokasi dimana kepadatan bangunan bertingkat dan bangun-bangunan
tidak padat.
b. Penempatan titik lokasi menara telekomunikasi pada permukaan tanah
dapat dilakukan untuk menara rangka dan menara tunggal.
c. Menara telekomunikasi di atas bangunan bertingkat tidak diperbolehkan
kecuali tidak dapat dihindari karena terbatasnya pekarangan tanah
dengan ketentuan ketinggian disesuaikan dengan kebutuhan frekuensi
telekomunikasi dengan tinggi maksimum 52 meter dari permukaan tanah
dengan memperhatikan keamanan, keselamatan, estetika dan keserasian
lingkungan.
Menara telekomunikasi dibangun sesuai dengan kaidah penataan ruang kota,
keamanan dan ketertiban, lingkungan, estetika dan kebutuhan telekomunikasi
pada umumnya. Seperti disebutkan diatas, menara telekomunikasi
diklasifikasikan dalam dua bentuk, yaitu menara tungal dan menara rangka.
Menara telekomunikasi untuk mendukung sistem transmisi radio microwave,
apabila merupakan menara rangka yang dibangun di permukaan tanah
maksimum tingginya 72 meter, ditentukan hanya dapat dibangun dalam
peruntukkan tanah II dan peruntukkan tanah III. Dilarang membangun menara
telekomunikasi pada:
IV-41
IV-42
IV-43
Pembagian zona dengan pertimbangan batasan fisik jalan Pembagian zona dengan pertimbangan batasan fisik
(termasuk 1 blok dengan batas jalan), gang, branchgang, sungai, lapis bangunan, rencana jalan jalan), gang,
batas kapling dan orientasi bangunan, lapis bangunan. batas kapling dan orientasi bangunan.
IV-44
2. Penandaan (Signage)
Suatu tulisan (huruf, angka atau kata), gambar (ilustrasi/dekorasi), lambang
(simbol atau merk dagang), bendera (spanduk atau umbul-umbul) atau sesuatu
yang :
Ditempelkan atau digambarkan pada suatu bangunan atau struktur lainnya
Digunakan sebagai pemberitahuan, penarik perhatian, atau iklan
Terlihat dari luar bangunan
Tanda harus selalu menunjukkan kepada sesuatu yang riil atau nyata.
IV-45
IV-47
4. Sirkulasi (Circulation)
Sirkulasi sebagai pengorganisasi dan pembentuk ruang perkotaan.
Prinsip pertama : jalan harus merupakan elemen ruang terbuka yang secara
visual bersifat positif. Hal ini dapat dicapai melalui :
1) Penutupan dan perlakuan lansekap atas elemen visual yang tidak
dikehendaki.
2) Penetapan pemunduran dan ketinggian bangunan sepanjang jalur jalan.
3) Penanaman pohon dan tanaman pada median dan bahu (ROW) jalan.
4) Meningkatkan kualitas elemen natural yang terlihat dari jalan.
Prinsip kedua : jalan harus membantu pemberian orientasi pada pengendara
dan membuat lingkungannya mudah dipahami (ligible). Hal ini dapat dicapai
melalui :
1) Pembuatan lansekap tertentu yang meningkatkan kualitas lingkungan dan
kawasan sepanjang jalan.
2) Meningkatkan kualitas perlengkapan dan penerangan jalan.
3) Pembentukan sistem vista dan referensi visual yang terkait dengan
Pemanfaatan ruang dan landmark setempat.
4) Pembedaan hirarki jalan dengan menggunakan pengolahan streetscape,
pemunduran bangunan, lebar bahu jalan, dsb.
IV-48
5. Parkir (Parking)
Vitalitas kawasan pusat kota akan meningkat dengan adanya ruang parkir.
Dampak visual yang buruk pada bentuk fisik kota dan lansekap kota. Efek ruang
parkir terhadap kualitas lingkungan kota :
IV-49
Pembangunan gedung parkir pada kawasan yang parkir jenuh, muncul isu
keterkaitan fasilitas dengan kegiatan pejalan kaki disekitarnya.
Multiple use program: memaksimalkan penggunaan lahan parkir eksisting,
misalnya dengan penggunaan bersama lahan parkir oleh kegiatan-kegiatan
yang berbeda (parkir untuk kantor pada siang hari dan teater pada malam
hari).
Package-plan parking: beberapa kegiatan usaha dengan kebutuhan parkir
besar dapat menyewa lahan pada suatu lokasi yang tidak padat lalulintas
sebagai lahan parkir privat sepanjang hari kerja.
Urban-edge parking: penyediaan fasilitas parkir masal di pinggiran CBD.
IV-50
IV-51
IV-52
IV-53
Pemerintah
Swasta
Masyarakat
Sistem Sistem
b. Konsep Kelembagaan
Suatu strategi yang efektif untuk pembangunan bangunan dan
lingkungan tergantung pada keberhasilan penataan pola-pola kewenangan
kelembagaan yang digunakan pada seluruh proses penataan ruang tersebut
(lihat Gambar 4.13). Pada saat ini peran masing-masing pemangku kepentingan
IV-54
Pemerintah
Swasta
Masyarakat
IV-55