Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

“Subjek HI Dan Perjanjian Internasional Sebagai Sumber HI”


Dosen Pembimbing : Rizqi Nurul Fadhilah, SH.MH

Di Susun Oleh :
Afif Fadhil (200101005)
Rima Afrida (200101063)
Khairin Munawar Suku (200101058)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

BANDA ACEH

2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadhirat Allah SWT yang telah memberikan
kesempatan dan kesehatan, sehingga telah dapat melaksanakan tugas Makalah Perbandingan
Hukum Keluarga Islam dengan judul “Subjek HI Dan Perjanjian Internasional Sebagai
Sumber HI” dengan selamat dan berhasil dengan baik.

Hasil yang telah kami laksanakan, kami sampaikan dalam bentuk tertulis, dengan
mengharap agar mendapatkan nilai yang semaksimal mungkin, agar lebih dapat meningkatkan
pengetahuan kami. Dalam menyusun tugas kami sangat mengharapkan adanya kritik dan
perbaikan yang bersifat membangun, serta kami mohon maaf yang sebesar-besarnya jika
sekiranya terdapat kekurangan dan kekeliruan dalam tugas ini.

Pada kesempatan ini, kami ucapkan terima kasih kepada bapak Rizqi Nurul Fadhilah,
SH.MH sebagai dosen mata kuliah hukum internasional yang telah memberikan tugas ini kepada
kami sehingga dapat selesai tanpa hambatan.

Demikian tugas ini yang telah kami susun untuk menjadi masukan dalam pembelajaran
dimasa yang akan datang.

Banda Aceh, 2 Mei 2023

Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2

DAFTAR ISI...................................................................................................................................3

BAB I...............................................................................................................................................4

PENDAHULUAN..........................................................................................................................4

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................5

1.3 Tujuan...............................................................................................................................5

BAB II.............................................................................................................................................6

PEMBAHASAN.............................................................................................................................6

2.1 Belligerent (Belligerensi)..................................................................................................6

2.2 Individu.............................................................................................................................7

2.3 Subjek HI lainnya..............................................................................................................7

2.4 Sumber Hukum Pada Umumnya.....................................................................................10

2.5 Sumber-sumber HI dalam arti formal.............................................................................11

2.6 Macam-macam perjanjian internasional.........................................................................12

2.7 Pembentukan perjanjian internasional............................................................................17

2.8 Persyaratan (Reservation)...............................................................................................19

2.9 Berakhirnya Perjanjian Internasional..............................................................................21

BAB III.........................................................................................................................................23

PENUTUP....................................................................................................................................23

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Subjek Hukum Internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban yang telah
ditentukan di dalam Hukum Internasional itu sendiri. Subjek Hukum Internasional dapat pula
diartikan sebagai pengemban hak-hak dan kewajiban- kewajiban yang diatur di dalam suatu
kaidah Hukum Internasional.

Salah satu yang menjadi subjek Hukum Internasional adalah negara yang merdeka dan
berdaulat, artinya haruslah negara yang berdiri sendiri dan tidak tergantung kepada keberadaan
negara lain. Namun dikarenakan oleh zaman yang selalu mengalami perubahan dan
perkembangan, maka baik secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan pengaruh
pula terhadap subjek Hukum Internasional. Pengaruh yang dimaksud tersebut adalah munculnya
berbagai macam subjek Hukum Internasional selain negara (non-state actor).

Sebagai pengemban hak dan kewajiban yang bersifat internasional, maka para subjek
Hukum Internasional sekiranya harus memberikan perhatian yang cukup serius terhadap
pemahaman mengenai apa yang menjadi haknya dan apa pula yang menjadi kewajibannya.
Pemahaman mengenai hak dan kewajiban tersebut dirasakan sangat penting terkait dengan dalam
hal pada saat para subjek Hukum Internasional mengadakan hubungan dengan negara-negara
lain.

Hak dan kewajiban para subjek Hukum Internasional merupakan salah satu persoalan
yang cukup penting, dikarenakan hal ini dalam rangka upaya pencegahan terjadinya suatu
sengketa/konflik internasional diantara para subjek Hukum Internasional. Konflik yang bersifat
intemasional tersebut dapat terjadi kapanpun dan dimanapun, baik antara negara yang satu
dengan negara yang lain, antara negara dengan subjek Hukum Internasional selain negara,
maupun antar subjek Hukum Internasional selain negara.
1.2 Rumusan Masalah
1. Belligerensi?
2. Individu?
3. Subjek HI lainnya?
4. Sumber Hukum pada umumnya?
5. Sumber-sumber HI dalam arti formal?
6. Macam2 perjanjian internasional?
7. Pembentukan perjanjian internasional?
8. Persyaratan (reservations)?
9. Berakhirnya perjanjian internasional?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui ruang lingkup Subjek Hukum Internasional Dan Perjanjian
Internasional Sebagai Sumber Hukum internasional
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Belligerent (Belligerensi).
Pada prinsipnya insurgent merupakan kualifikasi pemberontakan dalam Suatu negara
namun secara de facto belum mencapai tingkat keteraturan Sebagai organisasi yang terpadu
dalam melakukan perlawanan. Dalam hal ini, Kedudukan pemberontak belum dapat diakui
sebagai pribadi internasional Yang menyandang hak dan kewajiban menurut hukum
internasional.1 Namun Apabila pemberontakan insurgent semakin memperlihatkan
perkembangan Yang signifikan, meliputi wilayah yang semakin luas dan menunjukkan
Kecenderungan pengorganisasian semakin teratur serta telah menduduki Beberapa wilayah
dalam satu negara secara efektif, maka hal ini menunjukkan Pemberontak telah berkuasa secara
de facto atas beberapa wilayah.2Menurut Hukum internasional tahapan tersebut mengindikasikan
keadaan Pemberontakan telah mencapai tahap belligerent.Setiap pemberontak (insurgent) untuk
dapat diakui sebagai belligerent Sebagai subjek hukum internasional harus memenuhi syarat-
syarat3Sebagaimana berikut:

a. Pemberontakan telah terorganisasi dalam satu kekuasaan yang Benar-benar


bertanggungjawab atas tindakan bawahannya dan Memiliki organisasi pemerintahannya
sendiri;
b. Kekuatan militernya telah menduduki wilayah tertentu;
c. Pemberontak mempunyai kontrol efektif secara de facto dalam Penguasaan atas beberapa
wilayah;
d. Pemberontak memiliki seragam dengan tanda-tanda khusus dan Peralatan militer yang
cukup;
e. Pemberontak menaati hukum dan kebiasaan perang (seperti Melindungi penduduk sipil
dan membedakan diri dari penduduk Sipil).

Sesuai dengan syarat-syarat untuk dapat diakui sebagai subyek hukum Internasional,
dapat dikatakan bahwa kelompok pemberontak ISIS belum bisa Dikategorikan sebagai
belligerent atau pemberontak yang sudah diakui sebagai Subyek hukum internasional. Hingga

1
Bima Ari Putri Wijata, Insurgency and Belligerency, Semarang, 2013, hlm. 25.
2
Bima Ari Putri Wijata, Op.Cit., hlm. 27.
3
Bima Ari Putri Wijata, Insurgency and Belligerency, Semarang, 2013, hlm.27.
saat ini, ISIS memang dapat dikatakan Sebagai golongan kaum pemberontak yang kuat dan
memiliki susunan Organisasi yang tetap, dan mapan dari segi politik namun hal tersebut tidak
Cukup karena kaum pemberontak harus memiliki komandan yang Bertanggungjawab terhadap
anak buahnya, melakukan aksi dalam wilayah Tertentu dan memiliki sarana untuk menghormati
dan menjamin penghormatan Terhadap Konvensi Jenewa agar dapat menjadi belligerent.

2.2 Individu
Individu merupakan subjek internasional yang utama berdasarkan pendapat dari Hans
Kelsen karena memiliki kapasitas aktif maupun pasif. Kapasitas aktif bearti ilmu hukum
memberikan peran terhadap individu sebagai aktor atau pelaku dari ketentuan normative yang
dihasilkan dari Hukum Internasional itu sendiri. Dalam kapasitas aktif tersebut, seorang individu
dapat diminta pertanggungjawabannya atas perbuatan atau tindakannya secara hukum. Kapasitas
pasif bearti individu atau kelompok individu merupakan sasaran atau target dari ketentuan
keempat cabang ilmu hukum tersebut, dan juga posisi individu sebagai korban dari pelanggaran
ketentuan normative yang ada.

Kebebasan bertanggung jawab bagi setiap individu telah di berikan oleh negara, dimana
setiap individu berhak menetukan nasibnya sendiri sesuai dengan konstitusi atau undang-undang
yang berlaku di negara tersebut. Perlindungan bagi kaum minoritas telah di atur di dalam UU
No. 39 huruf (d) Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia : bahwa bangsa Indonesia sebagai
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk
menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang
ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya
mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia. Hal tersebut
menunjukan bahwa setiap orang wajib mendapatkan perlindungan hukum oleh negara. LGBT
adalah kaum minoritas yang berada di dalam sebuah organisasi atau institusi yang disebut
negara, dimana kaum seperti ini berhak mendapatkan perlindungan hukum dari negara tempat
mereka berada.

2.3 Subjek HI lainnya


1. Negara
Hukum internasional baik ditinjau secara historis maupun secara faktual. Secara historis,
yang pertama-tama merupakan subyek hukum internasional pada awal mula lahir dan
pertumbuhan hukum internasional adalah negara

Peranan negara sebagai subyek hukum internasional lama kelamaan juga semakin
dominan oleh carena bagian terbesar dari hubungan-hubungan internasional yang dapat
melahirkan prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum internasional dilakukan oleh negara-
negara.

Di antara unsur-unsur negara tersebut sebenarnya unsur kemampuan untuk mengadakan


hubungan dengan negsara-negara lain kurang penting, karena negara mungkin dapat berdiri
tanpa adanya kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain, sehingga
disebut juga dengan unsur non phisik. Mengenai kemampuan mengadakan hubungan dengan
negara lain ini ada kaitannya dengan pengakuan baik hukum nasional maupun internasional
mengakui adanya kekuasaan dan kewenangan tersebut.

2. Organisasi Internasional

Organisasi internasional dalam arti yang luas pada hakikatnya meliputi tidak saja
organisasi internasional public (Public International Organization) tetapi juga organisasi privat
(Privat International Organization). Organisasi semacam itu meliputi juga organisasi regional dan
organisasi sub-regional. Ada pula organisasi yang bersifat universal (organization of universal
character).

3. Palang Merah Internasional

Palang Merah Internasional berkendudukan di Jenewa (austria) memiliki tempat tersendir


dalam sejarah hukum internasional. Bahkan dapat dikatakan bahwa Palang Merah Internasional
sebagi subjek hukum (dalam arti terbatas) lahir karena sejarah; walaupun pada akhirnya badar ini
keberadaannya dan statusnya dikukuhkan dengan suatu perjanjian Internasional (konvensi). yang
sekarang adalah konvensi-konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan korban perang
Berdasarkan pada konvensi-konvensi Jenewa 1949 ini Palang Merah Internasioanl memiliki
kedudukan sebgai subjek hukum internasional, sekalipun dengan ruang lingkup terbatas
4. Tahta Suci atau Vatikan

Tahta Suci (Vatican) merupakan suatu contoh dari suatu subjek hukum internasional yang
telah ada disamping negara. Hal ini merupakan peninggalan/kelanjutan sejarah sejak jaman
dahulu, ketika Paus bukan hanya bertindak sebagai kepala gereja Roma tetapi memiliki pula
kekuasaan duniawi. Walaupun hanya berkaitan dengan persoalan keagamaan (katolik), Tahta
Suci merupakan subjek hukum dalam arti penuh dan kedudukan sejajar dengan negara.

Hal ini terjadi terutama setelah dibuatnya perjanjian antar Italia dan Tahta Suci pada di
Roma kepada Tahta Suci yang selanjutnya dengan perjanjian ini dibentuk negara Vatikan,
sekaligus di akui oleh Italia. Hingga sekarang Tahta Suci memiliki perwakilan diplomatic yang
kedudukannya sejajar dengan perwakilan diplomatic suatu negara di berbagai negara penting
didunia, termasuk di Indonesia

5. Perusahaan Sebagai Badan Hukum Internasiona

Pada hakikatnya perusahaan multinasional itu merupakan badan hukum(nasional) yang


terdaftar disuatu negara, maka sebenarnya perusahaan multinasional hanya merupakan subyek
hukum nasional, dan bukan subyek hukum internasional. Badan hukum internasional Otorita
merupakan subjek hukum internasional. Sebab ia memiliki status hukum (pribadi hukum
Internasional), memiliki hak-hak istimewa dan kekebalankekebalan didalam wilayah negara-
negara peserta otorita, memiliki kapasitas membuat kontrakkontrak dan perjanjian-perjanjian
dengan negara-negara dan organisasi-organisasi internasional, serta ia dapat menjadi pihak dalam
proses hukum.

6. Pihak Berperang

Berperang tidak semata-semata karena pernyataan suatu pihak untuk melakukan perang,
namun lebih identik dengan suatu "pemberontakan" terhadap Negara tertentu. Dalam lingkungan
hukum Internasional kata "pemberontakan" dalam bahasa Inggris terdapat tiga istilah, yaitu
insurrection.rebellion dan revolution. dapat diambil suatu kesimpulan bahwa timbulnya suatu
pihak berperang (belligerent) dalam suatu negara didahului dengan adanya insurrection
(pemberontakan), yang kemudian meluas menjadi rebellion (rebelli) selanjutnya rebelli ini untuk
dapat berubah statusnya menjadi pihak berperang harus memenuhi syarat-syarat (obyektif).
7. Individu

Individu Sebagai Subyek Hukum Internasional Individu sebagai subyek hukum


internasional dikenal sejak terjadinya Perang Dunia I atas dasar perjanjian perdamaian, sesua
dengan yang dikemukakan oleh Chairul Anwar sebagai berikut:

Individu biasanya tersangkut secara tidak langsung dalam hukum internasional.


Hubungan individu dengan hukum internasional biasanya dilakukan melalui negara di mana
individu tersebut menjadi warga negara. Individu diberikan hak untuk mengajukan
tuntutantuntutan yang timbul dari Perjanjian Perdamaian Perang Dunia I, pada berbagai
pengadilan yang didirikan atas dasar perjanjian perdamaian tersebut Apabila memperhatikan
uraian Chairul Anwar di atas menunjukkan bahwa individu sebagai subyek hukum internasional
merupakan pengembangan dari negara sebagai subyek hukum internasional. Hal ini nampak dari
kalimat “hubungan individu dangan hukum internasional biasanya dilakukan melalui negara di
mana individu tersebut menjadi warga negara”. Sebagai individu mempunyai hak untuk
mengajukan tuntutan-tuntutan yang timbul akibat dari perjanjian perdamaian pada pengadilan-
pengadilan yang didirikan atas dasar perjanjan internasional. Kedudukan individu sebagai
subyek hukum internasional merupakan suatu perkembangan lebih lanjut dari negara sebagai
subyek hukum intermasional

2.4 Sumber Hukum Pada Umumnya


Sumber-sumber hukum internasional dapat kita bagi atau kelompokkan berdasarkan 2
buah metode dan cara pandang kita. Metode tersebut adalah:
1. Legalitas
Sumber hukum dibedakan menjadi dua yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum
material.
a. Sumber hukum formal adalah sumber hukum yang dilihat dari bentuknya hukum.
b. Sumber hukum material hukum internasional diartikan sebagai bahan-bahan aktual
yang digunakan oleh para ahli hukum intrenasional untuk menetapkan hukum yang
berlaku bagi suatu peristiwa atau situasi tertentu.
2. Penggolongan
Sumber hukum internasional dapat dibedakan berdasarkan  penggolongannya
menjadi dua yaitu:
a. Penggolongan menurut Pendapat Para sarjana Hukum Internasional
Para sarjana Hukum Internasional menggolongkan sumber hukum internasional yaitu,
meliputi:
 Kebiasaan
 Traktat
 Keputusan Pengadilan atau Badan-badan Arbitrase
 Karya-karya Hukum
 Keputusan atau Ketetapan Organ-organ Lembaga Internasional
b. Penggolongan menurut Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional

Sumber Hukum Internasional menurut ketentuan Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah


Internasional terdiri dari :
 Perjanjian Internasional (International Conventions)
 Kebiasaan International (International Custom)
 Prinsip Hukum Umum (General Principles of Law) yang diakui oleh negara-
negara beradab.
 Keputusan Pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah
diakui kepakarannya (Theachings of the most highly qualified publicists).
3. Berdasarkan sifat daya ikatnya:
Sumber hukum Internasional jika dibedakan berdasarkan sifat daya ikatnya maka
dapat dibedakan menjadi sumber hukum primer dan sumber hukum subsider. Sumber
hukum primer adalah sumber hukum yang sifatnya paling utama artinya sumber hukum
ini dapat berdiri sendiri-sendiri meskipun tanpa keberadaan sumber hukum yang lain.
Sedangkan sumber hukum subsider merupakan sumber hukum tambahan yang baru
mempunyai daya ikat bagi hakim dalam memutuskan perkara apabila didukung oleh
sumber hukum primer. Hal ini berarti bahwa sumber hukum subsider tidak dapat berdiri
sendiri sebagaimana sumber hukum primer.

2.5 Sumber-sumber HI dalam arti formal


Sumber hukum formal, yaitu sumber darimana kita mendapatkan atau menemukan
ketentuanketentuan hukum internasional. Menurut pasal 38 Piagam mahkamah Internasional,
sumber hukum formal terdiri dari:
1) Perjanjian Internasional, (traktat/Treaty).

merupakan sumber hukum utama apabila perjanjian tersebut ber bentuk Law MakingTreaties,
yaitu perjanjian internasional yang berisikan prinsip-prinip dan ketentuan-ketentuan yang
berlaku secara umum, Misalnya:

1. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 1945;


2. Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik 1961, Konsuler 1963.
3. Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, dll

2) Kebiasaan-kebiasaan internasional yang terbukti dalam praktek umum dan diterima sebagai
hukum.

Hal ini berasal dari praktek negara-negara melalui sikap dan tindakan yang diambilnya terhadap
suatu persoalan. Contoh hasil kodifikasi hukum kebiasaan adalah Konvensi Hubungan
Diplomatik, Konsuler, Hukum Laut tahun 1958, dan Hukum Perjanjian tahun 1969.

3) Asas-asas umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab.

Asaa-asas umum hukum nasional yang dapat mengisi ke kosongan dalam hukum internasional.
Misalnya : Praduga tak Bersalah, dıl.

4) Yurisprudency, yaitu keputusan hakim hukum internasional yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap.

Keputusan-Keputusan Peradilan:

a. Memainkan peranan yang cukup penting dalam pembentukan norma-norma baru dalam
hukum intermasional, misalnya dalam sengketa ganti rugi dan penangkapan ikan.

b. Mahkamah diperbolehkan memutuskan suatu perkara secara "ex aequo et bono" yaitu
keputusan yang bukan atas pelaksanaan hukum positif tetapi atas dasar prinsip keadillan dan
kebenaran.

5) Doktrin, yaitu pendapat para ahli hukum internasional.


2.6 Macam-macam perjanjian internasional
Macam-macam perjanjian internasional dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang
diantaranya yaitu:4

1. Perjanjian internsional ditinjau dari jumlah negara yang menjadi pihakdalam perjanjian
internasional
a. Perjanjian internasional bilateral, yaitu suatu perjanjian internasional yang pihak-pihak
atau negara pesertanya terdiri hanya dua pihak atau dua negara saja, perjanjian
internasional ini biasa disebut bipartite treaty. Contoh nya timor gap treaty antara
Indonesia dengan Australia tahun 1989, perjanjian antara Indonesia dengan Malaysia
tentang sengketa pulau sipadan dan Ligitan. Dari contoh-contoh perjanjian
internasional bilateral tersebut, maka terlihat bahwa perjanjian internasional bilateral
itu dibuat oleh dua negara yang ingin meningkatkan atau mengatur kepentingan atau
masalah-masalah yang menjadi kepentingan tertentu bagi kedua negara itu sendiri.
b. Perjanjian internasional multilateral, yaitu suatu perjanjian internasional yang pihak-
pihak atau subjek-subjek hukum internasional yang menjadi peserta pada perjanjian itu
lebih dari dua. Perjanjian internasional multilateral ini ada dua macam, yakni umum
dan terbatas. Perjanjian multilateral umum merupakan perjanjian internasional yang
bersifat global, terbuka diikuti oleh negara maupun, tanpa dibatasi oleh sistem
pemerintahan dan politik suatu negara atau batas-batas wilayah. Sedangkan perjanjian
internasional multilateral terbatas adalah perjanjian internasional yang diikuti lebih
dari dua negara atau lebih, tetapi dibatasi oleh kawasan atau regional tertentu, dengan
kata lain perjanjian internasional yang diadakan di antara beberapa negara dalam satu
wilayah tertentu, misalnya perjanjian internasional antara negara-negara anggota
ASEAN.

2. Perjanjian internasional ditinjau dari segi kesempatan yang diberikan kepada negara-negara
untuk menjadi pihak atau peserta
a. Perjanjian internasional khusus/tertutup

4
Sukarni dkk, Pengantar Hukum Perjanjian Internasional (Malang:UB Press, 2019) Hal 30
Perjanjian internasional khusus adalah perjanjian internasional yang substansinya
merupakan kaidah hukum yang khusus berlaku bagi para pihak yang bersangkutan
saja, karena memang mengatur hubungan hukum antara para pihak, dengan kata lain
substansinya berisi kepentingan dari para pihak yang bersangkutan saja. perjanjian
internasional semacam ini disebut juga sebagai perjanjian internasional tertutup,
karena pihak ketiga tidak diperkenankan atau tidak memiliki kesempatan untuk
menjadi pihak atau peserta dalam perjanjian internasional tersebut.
Tidak diperkenankannya pihak ketiga dalam perjanjian khusus atau tertutup ini karena
memang tidak ada kepentingan apapun dari pihak ketiga untuk ikut serta dalam
perjanjian internsional khusus tersebut, misalnya perjanjian perdagangan antara dua
negara dan sebagainya.
b. Perjanjian internasional umum/terbuka
Perjanjian internasional umum atau terbuka adalah perjanjian internasional yang
terbuka bagi negara-negara yang semula tidak ikut dalam proses perundingan yang
melahirkan perjanjian tersebut.
Jika negara itu ingin menjadi pihak atau peserta, dapat dilakukannya dengan jalan
menyatakan persetujuan untuk terikat pada perjanjian internasional itu. Demikian pula
negara-negara yang melakukan perundingan memang bermaksud untuk menjadikan
perjanjian internasional itu sebagai suatu perjanjian internasional yang diharapkan
dapat berlaku tidak saja terbatas pada negara-negara yang terlibat dalam proses
perundingan, tetapi juga kepada negara-negara yang tidak ikut dalam perundingan,
dengan jalan memberikan kesempatan kepadanya untuk menjadi pihak perjanjian
internasional tersebut.
Sifat perjanjian internasional yang umum dan terbuka semacam ini akan melahirkan
kaidah hukum yang berlakunya bukan saja bagi negara-negara yang terlibat dalam
perundingan, tetapi juga bagi negara-negara yang semula tidak ikut dalam proses
perundingan, namun kemudian ikut serta mengikatkan diri dalam perjanjian
internasional itu.

3. Perjanjian internasional ditinjau dari kaidah hukumnya


a. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang khusus berlaku bagi para
pihak yang terikat
Merupakan perjanjian internasional yang karena berlakunya hanya terbatas bagi para
pihak yang melakukan perundingan dan kemudian terikat pada perjanjian tersebut.
Dengan demikian, kaidah hukum yang dilahirkan pun berlaku hanya khusus bagi pihak-
pihak yang bersangkutan saja.
b. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang berlaku terbatas dalam
suatu kawasan.
Yakni merupakan perjanjian internasional terbuka seperti telah dikemukakan dalam
pembahasan sebelumnya. Hanya saja sifat keterbukaannya hanya berlaku bagi negara-
negara dalam satu kawasan saja, misalnya perjanjian internasional yang dibuat oleh
negara-negara anggota ASEAN adalah termasuk jenis perjanjian internasional yang
melahirkan kaidah hukum yang berlaku dalam satu kawasan. Negara-negara yang tidak
berada dalam kawasan yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk menjadi pihak
dalam perjanjian internasional tersebut.
c. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang berlaku umum
Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang berlaku umum ini pada
umumnya berkenaan dengan masalah yang menyangkut kepentingan seluruh negara di
dunia. Dalam perjanjian internasional semacam ini setiap negara tanpa memandang letak
geografisnya, sistem pemerintahannya dan ideologinya dapat menjadi pihak didalamnya.
Dengan semakin banyaknya negara-negara dari seluruh penjuru dunia ini menjadi pihak
dalam perjanjian internasional semacam ini, maka semakin besarlah kemungkinan
perjanjian internasional tersebut melahirkan kaidah hukum yang berlaku umum.

4. Perjanjian internasional ditinjau dari segi bahasa yang digunakan untuk merumuskan pasal-
pasal
Apabila ditinjau dari segi bahasa yang digunakan untuk merumuskan pasal-pasal dalam
perjanjian internasional, maka dapat dibedakan dalam tiga macam perjanjian internasional, yaitu
(1) perjanjian internasional yang dirumuskan dalam satu bahasa; (2) perjanjian internasional
yang dirumuskan dalam dua bahasa atau lebih tetapi hanya yang dirumuskan dalam satu bahasa
tertentu saja yang sah dan mengikat para pihak; (3) perjanjian internasional yang dirumuskan
dalam lebih dari dua bahasa atau lebih dan semuanya merupakan naskan yang sah dan otentik
dan memiliki kekuatan mengikat yang sama.

Perjanjian internasional yang dirumuskan dalam satu bahasa, maka bahasa yang dipilih
adalah bahasa yang disepakati oleh para pihak, misalnya bahasa Inggris atau bahasa Prancis,
Spanyol dan sebagainya. Ketika sudah disepakati oleh para pihak untuk menggunakan satu
bahasa, maka bahasa itulah yang sah,otentik dan mengikat.

Sementara itu, perjanjian internasional yang dirumuskan dalam dua bahasa atau lebih,
namun hanya satu bahasa yang dianggap sah, otentik dan mengikat, yaitu yang ditentukan
didalam salah satu pasal dalam perjanjian internasional itu sendiri, sedangkan naskah perjanjian
internasional yang dirumuskan dalam bahasa lainnya, tidak mengikat para pihak.

Selanjutnya, perjanjian internasional yang dirumuskan dalam dua bahasa atau lebih dan
semuanya dianggap merupakan naskah yang sah, otentikdan mengikat, dan jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka semua naskah perjanjian internasional yang dirumuskan
dalam dua bahasa atau lebih itu semuanya dapat digunakan acuan untuk menyelesaikan
perselisihan. Contoh dari perjanjian internasional semacam ini adalah United Nation Charter
(UN Charter),atau piagam PBB, yang dirumuskan dalam lima bahasa, yaitu inggris, Prancis,
Spanyol, Rusia dan China.

5. Perjanjian internasional ditinjau dari substansi hukum yang dikandungnya


Secara garis besar, dapat dikemukakan ada tiga macam perjanjian internasional ditinjau
dari segi kaidah hukum yang dirumuskan didalamnya atau substansi hukum yang
dikandungnya yaitu:
1) Perjanjian internasional yang seluruh pasalnya merupakan perumusan dari kaidah-
kaidah hukum kebiasaan internasional dalam bidang yang bersangkutan
2) Perjanjian internasional yang rumusan pasal-pasalnya melahirkan kaidah hukum yang
sama sekali baru. Perjanjian semacam ini biasanya berkenaan dengan masalah-
masalah yang sama sekali baru yang kaidah hukumnya sama sekali belum ada
sebelumnya
3) Perjanjian internasional yang substansinya merupakan perpaduan antara kaidah-
kaidah hukum kebiasaan internasional dan kaidah-kaidah hukum internasional yang
baru sama sekali

6. Perjanjian internasional ditinjau dari pemrakarsanya


Perjanjian internasional yang pembuatannya diprakarsai ole negara atau negara-negara
khususnya mengenai objek yang secara khusus hanya menyangkut kepentingan dari
negara-negara yang bersangkutan. Perjanjian internasional semacam ini lazimnya
berbentuk perjanjian internasional multilateral terbatas maupun multilateral umum.
Sedangkan perjanjian internasional yang diprakarsai oleh organisasi internasional,
lazimnya merupakan perjanjian multilateral, yang biasanya diprakarsai oleh organisasi
antar pemerintah atau Inter Govermental Organization (IJO), baik organisasi internasional
dalam kerangka PBB, seperti International Labour Organization (ILO), World Health
Organization (WHO), United Nation Economis and Social Council Organization
(UNESCO) dan sebagainya, maupun organisasi internasional yang berada diluar kerangka
PBB, seperti Organization Of Petroleum Economis Council (OPEC), International
Committe Of The Red Cross (ICRC) dan lain-lain.

7. Perjanjian internasional ditinjau dari segi ruang lingkup berlakunya


Jika ditinjau dari segi ruang lingkup berlakunya, perjanjian internasional dapat dibagi
menjadi:
1. Perjanjian internasional khusus, merupakan perjanjian internasional yang berlakunya
khusus bagi negara-negara yang terikat didalamnya tanpa memandang letak geografis,
sistem pemerintahan atau ideologi dari negara-negara itu masing-masing.
2. Perjanjian internasional regional atau kawasan, adalah perjanjian internasional yang
ruang lingkup berlakunya terbatas pada suatu region atau kawasan tertentu. Misalnya,
perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara dikawasan ASEAN, Eropa,
Afrika dan Timur Tengah
3. Perjanjian internasional umum, adalah perjanjian internasional yang substansi dan ruang
lingkup berlakunya diseluruh dunia ini. Perjanjian internasional semacam ini merupakan
perjanjian internasional yang bersifat Law Making Trtaty, yaitu perjanjian internsional
yang melahirkan kaidah hukum bagi keseluruhan masyarakat internasional, misalnya
konvensi hukum laut 1982, konvensi wina 1961 tentang hubungan diplomatik dan
sebagainya.
2.7 Pembentukan perjanjian internasional
1. Proses pembentukan perjanjian internasional
Cara pembuatan perjanjian internasional pada umumnya masih tergantung pada
kebiasaan masing-masing negara dengan ketentuan-ketentuan konstitusinya masing-
masing, sampai saat ini belum dapat keseragaman tentang tata cara pembentukan
perjanjian internasional yang dimaksud. 5
Tahapan pembentukan perjanjian internasional menurut konvensi wina 1969
secara teperinci, prosedur atau tahapan dari suatu perjanjian pembentukan perjanjian
internasional adalah sebagai berikut:
a. Prosedur penyusunan naskah perjanjian internasional dalam konvensi wina 1969
mengenai masalah pembentukan perjanjian ini mengikuti pola yang tertentu dan
disertai persyaratan yang harus dipenuhi.
1. Harus dilakukan oleh wakil yang berkuasa penuh untuk dapat berunding,
menerima dan mengesahkan suatu perjanjian atas nama negara yang mewakili
2. Perundingan (negotiation), merupakan tahapan awal dari pembuatan
perjanjian internasional yang dilakukan oleh wakil negara yang telah
ditunjukan dan dilengkapi dengan dokumen full power. Dokumen ini tidak
menjadi penting untuk diberikan kepada wakil negara apabila perwakilan
negara tersebut adalah orang yang memiliki posisi atau jabatan yang memang
mempunyai wewenang untuk menjadi perwakilan negaranya dalam tahap
perundingan. Cara perundingan dalam perjanjian internasionala dengan
bilateral dilakukan dengan cara pourpalers sedangkan untuk perjanjian
multilateral biasanya dengan cara konferensi diplomatik yang kemudian hasil
akhir dari negosiasi ini akan dilakukan penerimaan dan pengadopsian naskah
perjanjian ini sesuai dengan pasal 9 ayat 1 konvensi wina 1969 yang mana
penerimaan dan pengadopsian perjanjian dilakukan berdasarkan persetujuan
para pihak yang ikut merumuskan naskah perjanjian tersebut.
5
https://opac.fhukum.unpatti.ac.id, Bab II Tinjauan Pustaka A. Hukum Internasional Dalam Perspektif Hukum
Umum. Dikutip pada 07 Mei 2023 Hal 12
3. Penandatanganan (signatur), sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 12
konvensi wina 1969. Penandatangan bagi perjanjian internasional yang dua
tahap berfungsi sebagai tanda terikatnya para pihak terhadap perjanjian
internasional sedangkan perjanjian internasional yang tiga tahap merupakan
bentuk otentikasi terhadap naskah perjanjian, sehingga perjanjian
internasional tersebut dapat langsung berlaku namun para pihak belum
terikat.
4. Pengesahan (ratification), istilah pengesahan merupakan istilah yang
digunakan di Indonesia untuk menyebut suatu ratifikasih akan tetapi
pengesahan dapat dilakukan melalui beberapa cara dan pengesahan
merupakan langkah dari pengikatan negara-negara terhadap perjanjian
internasional.
b. penerimaan naskah perjanjian internasional (adoption of the text)
Naskah suatu perjanjian diterima dengan suatu bulat yakni persetujuan penuh
dari suatu negara yang turut serta dalam perjanjian, ketentuan suara bulat berlaku
mutlak dalam perjanjian bilateral.
Penerimaan naskah suatu perjanjian dalam komperensi perjanjian
internasional yang dihadiri oleh banyak negara biasanya dilakukan dengan dua
per tiga suara dari peserta komperensi, kecuali bila peserta komperensi
menentukan lain. Penerimaan naskah perjanjian sebenarnya merupakan tindakan
untuk menyetujui garis-garis besar isi perjanjian namun belum memuat isi
perjanjian secara detail.
Pasal 9 konvensi wina 1969 menentukan:
1) Penerimaan naskah ditentukan dengan persetujuan dari semua peserta
(secara bulat) atau
2) Mayoritas dua per tiga dari peserta yang hadir akan menentukan suara.
c. Pengesahan bunyi naskah (authentication of the text)
Pengesahan bunyi naskah yang diterima sebagai naskah yang terakhir,
dilakukan dengan cara yang disetujui antara negara-negara peserta yang
mengadakan perundingan. Pengesahan bunyi naskah adalah suatu tindakan dalam
proses pembuatan perjanjian yang mengakhiri definitf naskah yang sudah dibuat.
Dan naskah itu tidak boleh dirubah-rubah lagi. Menurut pasal 10 konvensi wina
1969, pengesahan bunyi naskah suatu perjanjian dilakukan melalui prosedur yang
terdapat dalam naskah perjanjian itu sendiri atau sesuai dengan apa yang
diputuskan oleh wakil-wakil yang ikut dengan komprensi.

2.8 Persyaratan (Reservation)


Membahas mengenai pensyaratan atau reservasi tentu tak dapat dilepaskan dengan
perjanjian internasional yang bersifat multilateral karena ketentuan mengenai reservasi adalah
salah satu ketentuan spesifik yang hanya berlaku bagi perjanjian multilateral. Relevansi dari
masalah reservasi terkait dengan perjanjian multilateral, sedangkan masalah ini tidak relevan
untuk suatu perjanjian bilateral sebab sekalipun tidak ada larangan bagi salah satu atau kedua
belah pihak untuk melakukan reservasi pada perjanjian bilateral, namun hal seperti ini tidak
lazim digunakan mengingat pada akhirnya hanya ada dua kemungkinan yang bisa terjadi kalau
reservasi digunakan. Perjanjian bilateral baik yang sudah ada atau berlaku sebelumnya maupun
yang belum ada menjadi batal atau gugur dalam hal pihak lain tidak setuju dengan reservasi yang
diajukan salah satu pihak. Sebaliknya kalau reservasi itu diterima pihak lain, maka perjanjian
bilateral tersebut secara pasti mengalami perubahan atau dengan lain perkataan kedua belah
pihak mencapai kesepakatan dengan membuat perjanjian bilateral baru sehingga dengan
demikian reservasi tidak memiliki relevansi dalam hubungan dengan perjanjian bilateral.6

Berbeda halnya dengan perjanjian multilateral yang jumlah pesertanya banyak, mungkin
puluhan bahkan mungkin saja ratusan jumlahnya, di mana di dalamnya diatur berbagai macam
kepentingan dari negara-negara dalam hubungan dengan berbagai masalah. Dapat dikatakan
adalah sesuatu yang tidak mungkin atau hampir tidak mungkin suatu negara atau beberapa
negara akan selalu menyetujui seluruh pasal-pasal yang terdapat dalam suatu perjanjian
multilateral sebab bagaimanapun kepentingan di antara berbagai negara tidak selalu sama dalam
masalah-masalah tertentu, kepentingan nasional mereka sering berbeda dan bahkan bertentangan
satu sama lain. Mereka tidak akan setuju dengan pasal atau pasal tertentu dari perjanjian
multilateral yang bertentangan dengan kepentingan nasionalnya. Oleh karena itu apabila seluruh

6
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, Bandung, Alumni, tahun 2000, hlm. 107.
materi atau ketentuan pasal dari perjanjian tersebut diterima, maka sudah barang tentu
kepentingan nasional dari negara-negara peserta akan dirugikan.7

           Sesuai dengan pengertian reservasi yang terdapat dalam ketentuan Pasal 2d dari Konvensi
Wina 1969. Maka Pasal 1e dan 1f dari Undang - Undang Perjanjian Internasional (UU No. 24
Tahun 2000) mengemukakan istilah pensyaratan (reservation) dan pernyataan (declaration) yang
pada dasarnya memiliki tujuan yang sama dalam menerima perjanjian secara bersyarat.
Pensyaratan (reservation) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima
berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika
menandatangani, menerima, menyetujui atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang
bersifat multilateral. sedangkan pengertian Pernyataan (declaration) adalah pernyataan sepihak
suatu negara tentang pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian
internasional, yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui atau mengesahkan
perjanjian internasional yang bersifat multilateral guna memperjelas makna ketentuan tersebut
dan tidak dimaksudkan untuk memengaruhi hak dan kewajiban negara dalam perjanjian
internasional. Dengan demikian sesungguhnya pengertian pernyataan (declaration) merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian pensyaratan (reservation) karena walaupun istilah
yang dipakai berbeda, tetapi mempunyai tujuan yang sama dimana suatu negara dalam menerima
dan mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian internasional melalui suatu cara tertentu
bermaksud untuk mengesampingkan berlakunya ketentuan tertentu dan/atau memberikan
penafsiran tersendiri terhadap ketentuan itu.8

2.9 Berakhirnya Perjanjian Internasional


Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional
mengatakan bahwa suatu perjanjlan berakhir apabila:

a. Telah tercapainya tujuan perjanjian,


b. Masa berlakunya perjanjan internasional sudah habis.
c. Salah satu pihak peserta perjanjian internasional menghilang, atau punahnya obyek
perjanjian internasional.

7
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta, PT Tatanusa, Indonesia,
tahun 2008, hlm. 53
8
BPHN, Naskah Akademi Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembuatan dan Ratifikasi
Perjanjian Internasional, Tahun 1979–1980, hlm. 35.
d. Adanya persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian.
e. Adanya perjanjian baru antara peserta yang kemudian meniadakan perjanjian yang
terdahulu.
f. Syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian sudah
terpenuhi.
g. Perjanjian secara sepihak diakhiri oleh salah satu peserta dan pengakhiran itu diterima
pihak lain.

Berdasarkan pasal 18 UU No 24 Tahun 2000, perjanjian internasional berakhir apabila:

a. Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
b. Tujuan perjanjian tersebut telah selesai
a. Terdapat perubahan yang mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;
b. Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar perjanjian internasional;
c. Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
d. Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
e. Obyek perjanjian hilang;
f. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

Pengakhiran / Berakhirnya Perjanjian Internasional

Hal-hal yana dapat menyebabkan perianiian internasional berakhir adalah sebagai berikut.

1. Telah ada kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian.
2. Tujuan perjanjian telah tercapai.
3. Terdapat perubahan mendasar yang memengaruhi pelaksanaan perjanjian.
4. Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian.
5. Telah dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama
6. Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional
7. Objek perjanjian hilang.
8. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
Pembatalan Perjanjian Internasional

Berdasarkan konvensi Wina tahun 1969, suatu perianiian intemasional dapat batal karena
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut

 Negara peserta atau wakil kuasa penuh melanggar ketentuan-ketentuan hukum


nasionalnya.
 Adanya unsur kesalahan (error ) pada saat perjanjian dibuat.
 Adanya unsur penipuan dari negara peserta tertentu terhadap negara peserta lain waktu
pembentukan perjanjian.
 Terdapat penyalahgunaan atau kecurangan (corruption ), baik melalui kelicikan atau
penyuapan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai
macam subjek Hukum Internasional selain negara (non-state actor). Subjek Hukum Internasional
selain negara yang dimaksud antara lain, yaitu Organisasi Internasional, Palang Merah
Internasional, Takhta Suci (Vatikan), Individu, serta Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa.
Munculnya para subjek Hukum Internasional selain negara ini antara lain dikarenakan adanya
perubahan serta perkembangan zaman yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Selain itu perlu
diketahui bahwa untuk menentukan dapat tidaknya digolongkan sebagai subjek Hukum
Internasional, tentunya harus memenuhi persyaratan agar dapat digolongkan ke dalam subjek
Hukum Internasional.

Adanya perubahan dan perkembangan zaman dalam kehidupan masyarakat tersebut,


sehingga menyebabkan munculnya berbagai organisasi dan pribadi Hukum Internasional lain
yang secara aktif terlibat dalam hubungan-hubungan internasional, kemudian menjadikan
hubungan internasional mengalami pergeseran yang cukup fundamental sehingga secara otomatis
membutuhkan prinsip serta kaidah hukum Internasional baru untuk mengaturnya. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa hubungan hukum internasional semakin lama semakin luas dan
kompleks sehingga pandangan yang mengatakan bahwa negara sebagai satu-satunya subjek
Hukum Internasional harus sudah ditinggalkan.
DAFTAR PUSTAKA

Bima Ari Putri Wijata, Insurgency and Belligerency, Semarang, 2013, hlm. 25.

Sukarni dkk, Pengantar Hukum Perjanjian Internasional (Malang:UB Press, 2019) Hal 30

https://opac.fhukum.unpatti.ac.id, Bab II Tinjauan Pustaka A. Hukum Internasional Dalam


Perspektif Hukum Umum. Dikutip pada 07 Mei 2023 Hal 12

Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, Bandung, Alumni, tahun 2000, hlm. 107.

Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta, PT Tatanusa, Indonesia,


tahun 2008, hlm. 53

Anwar, Chairul. Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Jakarta: Djambatan,


1988

G Starke, J. Pengantar Hukum Internasional Jilid I. Jakarta: Sinar Grafika, 1992.

Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Binacipta, 1997 Wayan, I


Parthiana. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju, 1990.

Buku

Boer Mauna. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Globa., Bandung: PT Alumni. 2001.
Huala Adolf. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Bandung: Keni Media. 2011.

I Wayan Phartiana. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju. 2003.


Malcolm N. Shaw. International Law. New York: Cambridge University Press. 2008.

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT


Alumni,.2003.

Anda mungkin juga menyukai