Di Susun Oleh :
Afif Fadhil (200101005)
Rima Afrida (200101063)
Khairin Munawar Suku (200101058)
BANDA ACEH
2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadhirat Allah SWT yang telah memberikan
kesempatan dan kesehatan, sehingga telah dapat melaksanakan tugas Makalah Perbandingan
Hukum Keluarga Islam dengan judul “Subjek HI Dan Perjanjian Internasional Sebagai
Sumber HI” dengan selamat dan berhasil dengan baik.
Hasil yang telah kami laksanakan, kami sampaikan dalam bentuk tertulis, dengan
mengharap agar mendapatkan nilai yang semaksimal mungkin, agar lebih dapat meningkatkan
pengetahuan kami. Dalam menyusun tugas kami sangat mengharapkan adanya kritik dan
perbaikan yang bersifat membangun, serta kami mohon maaf yang sebesar-besarnya jika
sekiranya terdapat kekurangan dan kekeliruan dalam tugas ini.
Pada kesempatan ini, kami ucapkan terima kasih kepada bapak Rizqi Nurul Fadhilah,
SH.MH sebagai dosen mata kuliah hukum internasional yang telah memberikan tugas ini kepada
kami sehingga dapat selesai tanpa hambatan.
Demikian tugas ini yang telah kami susun untuk menjadi masukan dalam pembelajaran
dimasa yang akan datang.
Kelompok 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..........................................................................................................................4
1.3 Tujuan...............................................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.............................................................................................................................6
2.2 Individu.............................................................................................................................7
BAB III.........................................................................................................................................23
PENUTUP....................................................................................................................................23
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu yang menjadi subjek Hukum Internasional adalah negara yang merdeka dan
berdaulat, artinya haruslah negara yang berdiri sendiri dan tidak tergantung kepada keberadaan
negara lain. Namun dikarenakan oleh zaman yang selalu mengalami perubahan dan
perkembangan, maka baik secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan pengaruh
pula terhadap subjek Hukum Internasional. Pengaruh yang dimaksud tersebut adalah munculnya
berbagai macam subjek Hukum Internasional selain negara (non-state actor).
Sebagai pengemban hak dan kewajiban yang bersifat internasional, maka para subjek
Hukum Internasional sekiranya harus memberikan perhatian yang cukup serius terhadap
pemahaman mengenai apa yang menjadi haknya dan apa pula yang menjadi kewajibannya.
Pemahaman mengenai hak dan kewajiban tersebut dirasakan sangat penting terkait dengan dalam
hal pada saat para subjek Hukum Internasional mengadakan hubungan dengan negara-negara
lain.
Hak dan kewajiban para subjek Hukum Internasional merupakan salah satu persoalan
yang cukup penting, dikarenakan hal ini dalam rangka upaya pencegahan terjadinya suatu
sengketa/konflik internasional diantara para subjek Hukum Internasional. Konflik yang bersifat
intemasional tersebut dapat terjadi kapanpun dan dimanapun, baik antara negara yang satu
dengan negara yang lain, antara negara dengan subjek Hukum Internasional selain negara,
maupun antar subjek Hukum Internasional selain negara.
1.2 Rumusan Masalah
1. Belligerensi?
2. Individu?
3. Subjek HI lainnya?
4. Sumber Hukum pada umumnya?
5. Sumber-sumber HI dalam arti formal?
6. Macam2 perjanjian internasional?
7. Pembentukan perjanjian internasional?
8. Persyaratan (reservations)?
9. Berakhirnya perjanjian internasional?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui ruang lingkup Subjek Hukum Internasional Dan Perjanjian
Internasional Sebagai Sumber Hukum internasional
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Belligerent (Belligerensi).
Pada prinsipnya insurgent merupakan kualifikasi pemberontakan dalam Suatu negara
namun secara de facto belum mencapai tingkat keteraturan Sebagai organisasi yang terpadu
dalam melakukan perlawanan. Dalam hal ini, Kedudukan pemberontak belum dapat diakui
sebagai pribadi internasional Yang menyandang hak dan kewajiban menurut hukum
internasional.1 Namun Apabila pemberontakan insurgent semakin memperlihatkan
perkembangan Yang signifikan, meliputi wilayah yang semakin luas dan menunjukkan
Kecenderungan pengorganisasian semakin teratur serta telah menduduki Beberapa wilayah
dalam satu negara secara efektif, maka hal ini menunjukkan Pemberontak telah berkuasa secara
de facto atas beberapa wilayah.2Menurut Hukum internasional tahapan tersebut mengindikasikan
keadaan Pemberontakan telah mencapai tahap belligerent.Setiap pemberontak (insurgent) untuk
dapat diakui sebagai belligerent Sebagai subjek hukum internasional harus memenuhi syarat-
syarat3Sebagaimana berikut:
Sesuai dengan syarat-syarat untuk dapat diakui sebagai subyek hukum Internasional,
dapat dikatakan bahwa kelompok pemberontak ISIS belum bisa Dikategorikan sebagai
belligerent atau pemberontak yang sudah diakui sebagai Subyek hukum internasional. Hingga
1
Bima Ari Putri Wijata, Insurgency and Belligerency, Semarang, 2013, hlm. 25.
2
Bima Ari Putri Wijata, Op.Cit., hlm. 27.
3
Bima Ari Putri Wijata, Insurgency and Belligerency, Semarang, 2013, hlm.27.
saat ini, ISIS memang dapat dikatakan Sebagai golongan kaum pemberontak yang kuat dan
memiliki susunan Organisasi yang tetap, dan mapan dari segi politik namun hal tersebut tidak
Cukup karena kaum pemberontak harus memiliki komandan yang Bertanggungjawab terhadap
anak buahnya, melakukan aksi dalam wilayah Tertentu dan memiliki sarana untuk menghormati
dan menjamin penghormatan Terhadap Konvensi Jenewa agar dapat menjadi belligerent.
2.2 Individu
Individu merupakan subjek internasional yang utama berdasarkan pendapat dari Hans
Kelsen karena memiliki kapasitas aktif maupun pasif. Kapasitas aktif bearti ilmu hukum
memberikan peran terhadap individu sebagai aktor atau pelaku dari ketentuan normative yang
dihasilkan dari Hukum Internasional itu sendiri. Dalam kapasitas aktif tersebut, seorang individu
dapat diminta pertanggungjawabannya atas perbuatan atau tindakannya secara hukum. Kapasitas
pasif bearti individu atau kelompok individu merupakan sasaran atau target dari ketentuan
keempat cabang ilmu hukum tersebut, dan juga posisi individu sebagai korban dari pelanggaran
ketentuan normative yang ada.
Kebebasan bertanggung jawab bagi setiap individu telah di berikan oleh negara, dimana
setiap individu berhak menetukan nasibnya sendiri sesuai dengan konstitusi atau undang-undang
yang berlaku di negara tersebut. Perlindungan bagi kaum minoritas telah di atur di dalam UU
No. 39 huruf (d) Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia : bahwa bangsa Indonesia sebagai
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk
menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang
ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya
mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia. Hal tersebut
menunjukan bahwa setiap orang wajib mendapatkan perlindungan hukum oleh negara. LGBT
adalah kaum minoritas yang berada di dalam sebuah organisasi atau institusi yang disebut
negara, dimana kaum seperti ini berhak mendapatkan perlindungan hukum dari negara tempat
mereka berada.
Peranan negara sebagai subyek hukum internasional lama kelamaan juga semakin
dominan oleh carena bagian terbesar dari hubungan-hubungan internasional yang dapat
melahirkan prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum internasional dilakukan oleh negara-
negara.
2. Organisasi Internasional
Organisasi internasional dalam arti yang luas pada hakikatnya meliputi tidak saja
organisasi internasional public (Public International Organization) tetapi juga organisasi privat
(Privat International Organization). Organisasi semacam itu meliputi juga organisasi regional dan
organisasi sub-regional. Ada pula organisasi yang bersifat universal (organization of universal
character).
Tahta Suci (Vatican) merupakan suatu contoh dari suatu subjek hukum internasional yang
telah ada disamping negara. Hal ini merupakan peninggalan/kelanjutan sejarah sejak jaman
dahulu, ketika Paus bukan hanya bertindak sebagai kepala gereja Roma tetapi memiliki pula
kekuasaan duniawi. Walaupun hanya berkaitan dengan persoalan keagamaan (katolik), Tahta
Suci merupakan subjek hukum dalam arti penuh dan kedudukan sejajar dengan negara.
Hal ini terjadi terutama setelah dibuatnya perjanjian antar Italia dan Tahta Suci pada di
Roma kepada Tahta Suci yang selanjutnya dengan perjanjian ini dibentuk negara Vatikan,
sekaligus di akui oleh Italia. Hingga sekarang Tahta Suci memiliki perwakilan diplomatic yang
kedudukannya sejajar dengan perwakilan diplomatic suatu negara di berbagai negara penting
didunia, termasuk di Indonesia
6. Pihak Berperang
Berperang tidak semata-semata karena pernyataan suatu pihak untuk melakukan perang,
namun lebih identik dengan suatu "pemberontakan" terhadap Negara tertentu. Dalam lingkungan
hukum Internasional kata "pemberontakan" dalam bahasa Inggris terdapat tiga istilah, yaitu
insurrection.rebellion dan revolution. dapat diambil suatu kesimpulan bahwa timbulnya suatu
pihak berperang (belligerent) dalam suatu negara didahului dengan adanya insurrection
(pemberontakan), yang kemudian meluas menjadi rebellion (rebelli) selanjutnya rebelli ini untuk
dapat berubah statusnya menjadi pihak berperang harus memenuhi syarat-syarat (obyektif).
7. Individu
merupakan sumber hukum utama apabila perjanjian tersebut ber bentuk Law MakingTreaties,
yaitu perjanjian internasional yang berisikan prinsip-prinip dan ketentuan-ketentuan yang
berlaku secara umum, Misalnya:
2) Kebiasaan-kebiasaan internasional yang terbukti dalam praktek umum dan diterima sebagai
hukum.
Hal ini berasal dari praktek negara-negara melalui sikap dan tindakan yang diambilnya terhadap
suatu persoalan. Contoh hasil kodifikasi hukum kebiasaan adalah Konvensi Hubungan
Diplomatik, Konsuler, Hukum Laut tahun 1958, dan Hukum Perjanjian tahun 1969.
Asaa-asas umum hukum nasional yang dapat mengisi ke kosongan dalam hukum internasional.
Misalnya : Praduga tak Bersalah, dıl.
4) Yurisprudency, yaitu keputusan hakim hukum internasional yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap.
Keputusan-Keputusan Peradilan:
a. Memainkan peranan yang cukup penting dalam pembentukan norma-norma baru dalam
hukum intermasional, misalnya dalam sengketa ganti rugi dan penangkapan ikan.
b. Mahkamah diperbolehkan memutuskan suatu perkara secara "ex aequo et bono" yaitu
keputusan yang bukan atas pelaksanaan hukum positif tetapi atas dasar prinsip keadillan dan
kebenaran.
1. Perjanjian internsional ditinjau dari jumlah negara yang menjadi pihakdalam perjanjian
internasional
a. Perjanjian internasional bilateral, yaitu suatu perjanjian internasional yang pihak-pihak
atau negara pesertanya terdiri hanya dua pihak atau dua negara saja, perjanjian
internasional ini biasa disebut bipartite treaty. Contoh nya timor gap treaty antara
Indonesia dengan Australia tahun 1989, perjanjian antara Indonesia dengan Malaysia
tentang sengketa pulau sipadan dan Ligitan. Dari contoh-contoh perjanjian
internasional bilateral tersebut, maka terlihat bahwa perjanjian internasional bilateral
itu dibuat oleh dua negara yang ingin meningkatkan atau mengatur kepentingan atau
masalah-masalah yang menjadi kepentingan tertentu bagi kedua negara itu sendiri.
b. Perjanjian internasional multilateral, yaitu suatu perjanjian internasional yang pihak-
pihak atau subjek-subjek hukum internasional yang menjadi peserta pada perjanjian itu
lebih dari dua. Perjanjian internasional multilateral ini ada dua macam, yakni umum
dan terbatas. Perjanjian multilateral umum merupakan perjanjian internasional yang
bersifat global, terbuka diikuti oleh negara maupun, tanpa dibatasi oleh sistem
pemerintahan dan politik suatu negara atau batas-batas wilayah. Sedangkan perjanjian
internasional multilateral terbatas adalah perjanjian internasional yang diikuti lebih
dari dua negara atau lebih, tetapi dibatasi oleh kawasan atau regional tertentu, dengan
kata lain perjanjian internasional yang diadakan di antara beberapa negara dalam satu
wilayah tertentu, misalnya perjanjian internasional antara negara-negara anggota
ASEAN.
2. Perjanjian internasional ditinjau dari segi kesempatan yang diberikan kepada negara-negara
untuk menjadi pihak atau peserta
a. Perjanjian internasional khusus/tertutup
4
Sukarni dkk, Pengantar Hukum Perjanjian Internasional (Malang:UB Press, 2019) Hal 30
Perjanjian internasional khusus adalah perjanjian internasional yang substansinya
merupakan kaidah hukum yang khusus berlaku bagi para pihak yang bersangkutan
saja, karena memang mengatur hubungan hukum antara para pihak, dengan kata lain
substansinya berisi kepentingan dari para pihak yang bersangkutan saja. perjanjian
internasional semacam ini disebut juga sebagai perjanjian internasional tertutup,
karena pihak ketiga tidak diperkenankan atau tidak memiliki kesempatan untuk
menjadi pihak atau peserta dalam perjanjian internasional tersebut.
Tidak diperkenankannya pihak ketiga dalam perjanjian khusus atau tertutup ini karena
memang tidak ada kepentingan apapun dari pihak ketiga untuk ikut serta dalam
perjanjian internsional khusus tersebut, misalnya perjanjian perdagangan antara dua
negara dan sebagainya.
b. Perjanjian internasional umum/terbuka
Perjanjian internasional umum atau terbuka adalah perjanjian internasional yang
terbuka bagi negara-negara yang semula tidak ikut dalam proses perundingan yang
melahirkan perjanjian tersebut.
Jika negara itu ingin menjadi pihak atau peserta, dapat dilakukannya dengan jalan
menyatakan persetujuan untuk terikat pada perjanjian internasional itu. Demikian pula
negara-negara yang melakukan perundingan memang bermaksud untuk menjadikan
perjanjian internasional itu sebagai suatu perjanjian internasional yang diharapkan
dapat berlaku tidak saja terbatas pada negara-negara yang terlibat dalam proses
perundingan, tetapi juga kepada negara-negara yang tidak ikut dalam perundingan,
dengan jalan memberikan kesempatan kepadanya untuk menjadi pihak perjanjian
internasional tersebut.
Sifat perjanjian internasional yang umum dan terbuka semacam ini akan melahirkan
kaidah hukum yang berlakunya bukan saja bagi negara-negara yang terlibat dalam
perundingan, tetapi juga bagi negara-negara yang semula tidak ikut dalam proses
perundingan, namun kemudian ikut serta mengikatkan diri dalam perjanjian
internasional itu.
4. Perjanjian internasional ditinjau dari segi bahasa yang digunakan untuk merumuskan pasal-
pasal
Apabila ditinjau dari segi bahasa yang digunakan untuk merumuskan pasal-pasal dalam
perjanjian internasional, maka dapat dibedakan dalam tiga macam perjanjian internasional, yaitu
(1) perjanjian internasional yang dirumuskan dalam satu bahasa; (2) perjanjian internasional
yang dirumuskan dalam dua bahasa atau lebih tetapi hanya yang dirumuskan dalam satu bahasa
tertentu saja yang sah dan mengikat para pihak; (3) perjanjian internasional yang dirumuskan
dalam lebih dari dua bahasa atau lebih dan semuanya merupakan naskan yang sah dan otentik
dan memiliki kekuatan mengikat yang sama.
Perjanjian internasional yang dirumuskan dalam satu bahasa, maka bahasa yang dipilih
adalah bahasa yang disepakati oleh para pihak, misalnya bahasa Inggris atau bahasa Prancis,
Spanyol dan sebagainya. Ketika sudah disepakati oleh para pihak untuk menggunakan satu
bahasa, maka bahasa itulah yang sah,otentik dan mengikat.
Sementara itu, perjanjian internasional yang dirumuskan dalam dua bahasa atau lebih,
namun hanya satu bahasa yang dianggap sah, otentik dan mengikat, yaitu yang ditentukan
didalam salah satu pasal dalam perjanjian internasional itu sendiri, sedangkan naskah perjanjian
internasional yang dirumuskan dalam bahasa lainnya, tidak mengikat para pihak.
Selanjutnya, perjanjian internasional yang dirumuskan dalam dua bahasa atau lebih dan
semuanya dianggap merupakan naskah yang sah, otentikdan mengikat, dan jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka semua naskah perjanjian internasional yang dirumuskan
dalam dua bahasa atau lebih itu semuanya dapat digunakan acuan untuk menyelesaikan
perselisihan. Contoh dari perjanjian internasional semacam ini adalah United Nation Charter
(UN Charter),atau piagam PBB, yang dirumuskan dalam lima bahasa, yaitu inggris, Prancis,
Spanyol, Rusia dan China.
Berbeda halnya dengan perjanjian multilateral yang jumlah pesertanya banyak, mungkin
puluhan bahkan mungkin saja ratusan jumlahnya, di mana di dalamnya diatur berbagai macam
kepentingan dari negara-negara dalam hubungan dengan berbagai masalah. Dapat dikatakan
adalah sesuatu yang tidak mungkin atau hampir tidak mungkin suatu negara atau beberapa
negara akan selalu menyetujui seluruh pasal-pasal yang terdapat dalam suatu perjanjian
multilateral sebab bagaimanapun kepentingan di antara berbagai negara tidak selalu sama dalam
masalah-masalah tertentu, kepentingan nasional mereka sering berbeda dan bahkan bertentangan
satu sama lain. Mereka tidak akan setuju dengan pasal atau pasal tertentu dari perjanjian
multilateral yang bertentangan dengan kepentingan nasionalnya. Oleh karena itu apabila seluruh
6
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, Bandung, Alumni, tahun 2000, hlm. 107.
materi atau ketentuan pasal dari perjanjian tersebut diterima, maka sudah barang tentu
kepentingan nasional dari negara-negara peserta akan dirugikan.7
Sesuai dengan pengertian reservasi yang terdapat dalam ketentuan Pasal 2d dari Konvensi
Wina 1969. Maka Pasal 1e dan 1f dari Undang - Undang Perjanjian Internasional (UU No. 24
Tahun 2000) mengemukakan istilah pensyaratan (reservation) dan pernyataan (declaration) yang
pada dasarnya memiliki tujuan yang sama dalam menerima perjanjian secara bersyarat.
Pensyaratan (reservation) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima
berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika
menandatangani, menerima, menyetujui atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang
bersifat multilateral. sedangkan pengertian Pernyataan (declaration) adalah pernyataan sepihak
suatu negara tentang pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian
internasional, yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui atau mengesahkan
perjanjian internasional yang bersifat multilateral guna memperjelas makna ketentuan tersebut
dan tidak dimaksudkan untuk memengaruhi hak dan kewajiban negara dalam perjanjian
internasional. Dengan demikian sesungguhnya pengertian pernyataan (declaration) merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian pensyaratan (reservation) karena walaupun istilah
yang dipakai berbeda, tetapi mempunyai tujuan yang sama dimana suatu negara dalam menerima
dan mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian internasional melalui suatu cara tertentu
bermaksud untuk mengesampingkan berlakunya ketentuan tertentu dan/atau memberikan
penafsiran tersendiri terhadap ketentuan itu.8
7
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta, PT Tatanusa, Indonesia,
tahun 2008, hlm. 53
8
BPHN, Naskah Akademi Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembuatan dan Ratifikasi
Perjanjian Internasional, Tahun 1979–1980, hlm. 35.
d. Adanya persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian.
e. Adanya perjanjian baru antara peserta yang kemudian meniadakan perjanjian yang
terdahulu.
f. Syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian sudah
terpenuhi.
g. Perjanjian secara sepihak diakhiri oleh salah satu peserta dan pengakhiran itu diterima
pihak lain.
a. Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
b. Tujuan perjanjian tersebut telah selesai
a. Terdapat perubahan yang mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;
b. Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar perjanjian internasional;
c. Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
d. Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
e. Obyek perjanjian hilang;
f. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
Hal-hal yana dapat menyebabkan perianiian internasional berakhir adalah sebagai berikut.
1. Telah ada kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian.
2. Tujuan perjanjian telah tercapai.
3. Terdapat perubahan mendasar yang memengaruhi pelaksanaan perjanjian.
4. Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian.
5. Telah dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama
6. Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional
7. Objek perjanjian hilang.
8. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
Pembatalan Perjanjian Internasional
Berdasarkan konvensi Wina tahun 1969, suatu perianiian intemasional dapat batal karena
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut
Bima Ari Putri Wijata, Insurgency and Belligerency, Semarang, 2013, hlm. 25.
Sukarni dkk, Pengantar Hukum Perjanjian Internasional (Malang:UB Press, 2019) Hal 30
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, Bandung, Alumni, tahun 2000, hlm. 107.
Buku
Boer Mauna. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Globa., Bandung: PT Alumni. 2001.
Huala Adolf. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Bandung: Keni Media. 2011.