Anda di halaman 1dari 15

Laporan Kasus Kimia Klinik Putaran II

Nama : Made Rahayu Suryapramita Dusak


Pembimbing : Dr. dr. I Nyoman Wande, Sp.PK(K)
Presentasi : 7 Oktober 2022

LAPORAN KASUS

SIROSIS HEPATIS DEKOMPENSATA

MADE RAHAYU SURYAPRAMITA DUSAK


NIM: 2071142001

PEMBIMBING :
Dr. dr. I Nyoman Wande, Sp.PK(K)

PROGRAM STUDI SPESIALIS PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA /
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PROF. DR. I. G. N. G. NGOERAH
DENPASAR
2022
I. PENDAHULUAN
Definisi sirosis berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah suatu
proses difus yang ditandai dengan fibrosis dan perubahan arsitektur hati normal
menjadi struktur nodul dan organisasi lobular yang abnormal. Hasil akhirnya adalah
penghancuran hepatosit dan penggantian dengan jaringan fibrosa (WHO, 2002).
Gambaran ini terjadi akibat jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit
jaringan ikat, distorsi jaringan vaskuler, regenerasi nodularis parenkim hati, dan
pembentukan hubungan vaskular intrahepatik antara pembuluh darah hati aferen
(vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika) (Dipiro, 2012).
Diseluruh dunia sirosis hati menempati urutan ketujuh penyebab kematian.
Umur rata-rata penderitanya terbanyak golongan umur 30–59 tahun dengan
puncaknya sekitar umur 40–49 tahun. Penderita sirosis hati lebih banyak laki-laki,
jika dibandingkan dengan wanita dengan rasio sekitar 1,6:1. Penyebab sirosis hati
sebagian besar adalah penyakit hati alkoholik dan non alkoholik steatohepatitis
serta hepatitis C. Di daerah Asia Tenggara, penyebab utama sirosis hati adalah
hepatitis B (HBV) dan hepatitis C (HCV). Angka kejadian sirosis hati di Indonesia
akibat hepatitis B berkisar antara 21,2–46,9% dan hepatitis C berkisar 38,7–73,9%
(Nurdjanah, 2014).

II. KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : NMW
No.RM : 22043929
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 67 tahun
Tanggal lahir : 31 Desember 1954
Alamat : Br. Pahang Penatih Denpasar
Tanggal dirawat : 02 September 2022

1
B. Keluhan Utama
Sulit bernafas.

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD dengan keluhan sulit bernafas sejak kurang lebih 6 hari
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan ini mulai dirasakan setelah perut pasien
membesar, memberat ketika pasien makan. Sulit bernafas dikatakan mengganggu
aktifitas dan istirahat pasien. Perut pasien membesar sejak 3 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Penurunan nafsu makan dirasakan oleh pasien, karena setelah
makan pasien akan merasa kembung dan penuh. Ada penurunan berat badan,
namun pasien tidak menghitung berapa banyak. Mual, muntah dan demam
disangkal oleh pasien. Buang air besar dikatakan tidak setiap hari. BAB hitam
disangkal oleh pasien. Buang air kecil normal, sempat berwarna pekat seperti teh,
saat ini dikatakan sudah tidak ada. Batuk kadang-kadang disertai dengan dahak
putih yang susah keluar. Pasien tidak mengkonsumsi obat untuk keluhan ini.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah terdiagnosis hepatitis B dan tuberkulosis paru beberapa tahun
yang lalu, namun pengobatan sudah tuntas untuk tuberkulosisnya. Riwayat
penyakit sistemik seperti hipertensi, kencing manis, penyakit jantung disangkal
oleh pasien.

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat hipertensi, kencing manis, penyakit jantung, asma dan alergi pada
keluarga disangkal.

F. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 110/90 mmHg
Nadi : 98x/menit

2
Pernafasan : 18x/menit
Suhu : 36o celcius
Kepala : Normal
Mata : Anemis +/+, ikterus +/+, edema palpebra -/-
THT : Dalam batas normal
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Cor : S1-S2 normal, regular, murmur (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, ronki -/-, mengi -/-
Abdomen :Distensi (+), bising usus (+) normal, nyeri tekan (-), undulasi
(+), hepar teraba keras 12cm dibawah arcus costae,
permukaan ireguler, tepi tumpul, ruang traube limpa redup,
spleen tidak teraba atau sulit dievaluasi
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)
Rectal Touche : TSA (+), mukosa licin, massa (-), ampula recti, collaps (-),
handschoen feses (+), melena (-)

G. Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang diantaranya :
1. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi
Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan hasil anemia dan
trombositopenia seperti terlihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1
Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap
02/09/
Parameter Nilai Rujukan
2022
WBC (10³/µL) 7,07 4.1-11.0
% Neu 72,70 47-80
% Lym 12,9 13-40
% Mono 10,8 2.0-11.0
% Eos 1,80 0.0-5.0
% Baso 0,40 0.0-2.0
RBC (106/µL) 3,09 4.5-5.9
HGB (g/dL) 10,60 13.5-17.5
HCT (%) 30,90 41.0-53.0
MCV (fL) 100 80.0-100.0

3
MCH (pg) 34,30 26.0-34.0
MCHC (g/dL) 34,30 31-36
RDW (%) 18,40 11.6-14.8
PLT (10µ/µL) 100,00 150-440
MPV (fL) 11,80 6.80-10.0

Pada pemeriksaan faal hemostasis didapatkan hasil pemanjangan PT


dan APTT seperti terlihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2
Hasil Pemeriksaan Faal Hemostasis
Nilai
Parameter 02/09/2022 07/09/2022
Rujukan
PPT (detik) 24.2 15.6 10,8-14,4
INR 1.73 1.41 0,9-1,1
APTT (detik) 37.2 35.1 24-36

2. Pemeriksaan Laboratorium Kimia Klinik


Pada pemeriksaan kimia klinik didapatkan hasil peningkatan kadar
AST, ALT, Bilirubin Total, Bilirubin Direk, ALP, Globulin dan AFP.
Selain itu terjadi penurunan kadar albumin, e-LFG dan natrium, seperti
yang tampak pada tabel 2.3.
Tabel 2.3
Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik
Parameter 02/09/ 03/09/ 06/09/ 08/09/ 13/09/ Nilai
2022 2022 2022 2022 2022 Rujukan
AST (U/L) 221.9 180.5 160.7 204.5 11 – 33
ALT (U/L) 163.10 119.2 111.5 152.20 11 – 50
Glukosa sewaktu (mg/dL) 115 70 – 140
BUN (mg/dL) 10.50 8.0 - 23.0
Kreatinin (mg/dL) 0.77 0.70 - 1.20
e-LFG (ml/min/1,73 m2) 79.90
Kalium (mmol/L) 4,16 3.50 3.50 - 5.10
Natrium (mmol/L) 134 136 – 145
Bilirubin Total (mg/dL) 6.40 3.70 3.60 0,30 – 1,10
Bilirubin Direk (mg/dL) 4.53 2.60 2.55 0,00 – 0,30
Bilirubin Indirek (mg/dL) 1.87 1.10 1.05
ALP (U/L) 123 42 – 98
Protein Total (g/dL) 7.19 6,40 – 8,30
Albumin (g/dL) 1.76 0.40 2.68 3.40-4.80
Globulin 5.43 3.2-3.7

4
LDH (U/L) 322 240-480
AFP (ng/mL) 37.86 <5,8

Pada pemeriksaan cairan asites tampak rivalta positif. Tampak juga


sel mono lebih tinggi daripada poly pada cairan ascites seperti yang
ditunjukan pada tabel 2.4.
Tabel 2.4
Hasil Pemeriksaan Cairan Ascites
03/09
Parameter Nilai Rujukan
/2022
Glukosa Cairan Tubuh 131.00
(mg/dL)
Rivalta Positif
Jumlah Sel Cairan Ascites :
Mono (%) 96.1
Poly (%) 3.9
Cairan Ascites :
Globulin 0.40 3.2-3.7
Cell (Lekosit/mm3) 103
Makroskopis :
Warna Kuning
Darah Negatif
Bekuan Negatif
Mikroskopis :
Eritrosit (Eritrosit/mm3) 0
Bentuk -
pH 7.0

3. Pemeriksaan Laboratorium Imunoserologi


Pada pemeriksaan imunoserologi tampak hasil reaktif pada
parameter HBsAg, seperti yang ditunjukan pada tabel 2.5.
Tabel 2.5
Hasil Pemeriksaan Imunoserologi
Parameter 02/09/2022 Nilai Rujukan

HBsAg Reaktif Non reaktif


Anti HCV Non Reaktif Non reaktif

5
4. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Thorax AP (04/03/2020)
Kesan : TB paru lama aktif dengan schwarte disertai infeksi
sekunder, aortosclerosis dan spondylosis thoracalis.
b. USG Abdomen (07/09/2022)
Kesan : Mengesankan gambaran chronic liver disease, saat ini tak
tampak tanda-tanda hipertensi porta, nefritis bilateral dengan
contracted kidney kiri, simple cyst renal kanan, suspect Cystitis,
Ascites. GB, pankreas dan uterus tak tampak kelainan.
c. Laboratorium Patologi Anatomi (05/09/2022)
Kesan :
• Cairan ascites; cell block : Aseluler, tidak tampak proses
spesifik maupun sel ganas pada sediaan ini.
• Ascites ; sitologi : Sitomorfologi menunjukan Reactive
mesothelial cell hyperplasia, tidak tampak sel ganas pada
sediaan ini.
d. Gen Expert Sputum (04/09/2022)
Kesan : MTB not detected.
e. Endoskopi (08/09/2022)
Kesan : Varises Esofagus, gastropati hipertensi portal berat dan ulkus
gaster.

H. Diagnosis Kerja
1. Sirosis hati Child-Turcotte-Pugh (CTP) C dengan kecurigaan
degenerasi karsinoma sel hati karena hepatitis B
2. Ascites grade 2

I. Manajemen Terapi
1. IVFD NaCl 0,9% : aminofusin hepar 1:1 12 tetes per menit
2. Diet dengan Branch Chain Amino Acid (BCAA) 1900 kkal/hari
3. Drip albumin 1 flash/hari sampai albumin >2.5 gr/dL

6
4. Furosemide 40mg setiap 24 jam intra oral
5. Spironolakton 100mg setiap 24 jam intra oral
6. Laktulosa 15 cc tiap 18 jam intra oral
7. Tenofovir 300mg tiap 24 jam intra oral
III. PEMBAHASAN
Sirosis adalah cedera difus ke hati yang ditandai dengan fibrosis dan
konversi dari arsitektur hepar normal menjadi nodul struktural yang abnormal.
Hasil akhirnya adalah penghancuran hepatosit dan penggantian dengan jaringan
fibrosa. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang
luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul (Dipiro, 2012). Sirosis
bisa timbul akibat endogen yang bersifat toksik (alkohol). Di Eropa penyebab
tersering sirosis hati adalah akibat perlemakan hati dan infeksi virus hepatitis B atau
C (Wiegand, et al, 2013). Diketahui bahwa pasien pernah menderita hepatitis B
sebelumnya. Infeksi virus hepatitis B dapat menimbulkan sirosis melalui proses
inflamasi kronis akibat replikasi virus yang melebihi kemampuan pertahanan
imunologis tubuh. Pada sel yang mengalami infeksi kronis, DNA virus dapat
berintegrasi dengan sel DNA host yang akhirnya bisa menimbulkan karsinoma sel
hati (WHO, 2002).
Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium akhir dari penyakit hati
kronis dan terjadinya pengerasan dari hati yang akan menyebabkan penurunan
fungsi hati, bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya penekanan
pada pembuluh darah serta terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya
menyebabkan hipertensi portal (Nurdjanah, 2014).
Pada sirosis dini biasanya hati membesar, teraba kenyal, tepi tumpul, dan terasa
nyeri bila ditekan. Gejala yang timbul bisa diakibatkan oleh sirosis hati ataupun
komplikasinya antara lain, edema tungkai, asites, spider nevi, pembesaran vena
kolateral, ikterus, jaundice, kebingungan, lemah, kehilangan nafsu makan, tinja
hitam, mual, dan muntah (Nurdjanah, 2014). Pada anamesis pasien, didapatkan
mengalami perut membesar sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit, penurunan
nafsu makan, penurunan berat badan, buang air besar dikatakan tidak setiap hari,
buang air kecil sempat berwarna kuning pekat seperti teh.

7
Pemeriksaan fisik pada pasien ini menunjukan adanya sklera ikterik, distensi
pada abdomen, undulasi dan teraba pembesaran hati dengan konsistensi keras,
permukaan ireguler, tepi tumpul dan ruang traube limpa redup. Hal ini sesuai
dengan manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada penyakit sirosis hati yaitu
adanya edema tungkai, asites dan splenomegali yang ditandai dengan adanya
shifting dullness, spider nevi, caput medusae, pembesaran vena kolateral, jaundice,
palmar eritema, perubahan ukuran hati, dan ikterus (McCormick, 2019).
Dari aspek laboratorium, pemeriksaan darah lengkap pasien ini didapatkan
adanya anemia dan trombositopenia. Pada penyakit hati, anemia dapat terjadi akibat
gangguan hemostasis yang menimbulkan perdarahan gastrointestinal, pecahnya
varises esophagus atau gaster, hemolisis akibat hipersplenisme, kekurangan nutrisi
yaitu defisiensi asam folat akibat konsumsi alkohol, penekanan sumsum tulang
akibat virus hepatitis dan efek samping pengobatan hepatitis misalnya terapi
pegylated interferon dan ribavirin (Patel, et al, 2018). Penyebab terjadinya
trombositopenia pada kasus sirosis hati adalah penurunan produksi trombopoetin di
hati, penurunan produksi trombosit sebagai akibat penekanan virus, alkohol, atau
pengobatan, sequestrasi pada limpa, dan meningkatnya penghancuran trombosit
akibat shear stress, antibodi antiplatelet, peningkatan fibrinolisis, dan hepatitis C
kronis (Mitchell, et al, 2016).
Pada pemeriksaan faal hemostasis didapatkan adanya pemanjangan pada PPT
dan APTT. Pemeriksaan PPT merupakan marker untuk menilai fungsi sintesis hati
karena hampir semua faktor koagulasi disintesis di hati kecuali faktor VII. Pada
pasien dengan kerusakan hati berat maka sintesis faktor koagulasi oleh hati
berkurang sehingga PPT akan memanjang, kemudian bersamaan dengan
memburuknya penyakit, maka APTT akan memanjang juga (Tambunan, 2014).
Pemerksaan kimia klinik pasien, didapatkan peningkatan kadar AST, ALT,
Bilirubin Total, Bilirubin Direk, ALP, Globulin dan AFP. Selain itu terjadi
penurunan kadar albumin, e-LFG dan natrium. Peningkatan AST dan ALT
disebabkan oleh karena kerusakan hepatosit. Peningkatan AST lebih tinggi
daripada ALT menandakan bahwa proses kerusakan berlangsung kronis. AST

8
terdapat pada mitokondria dan sitosol hepatosit, sedangkan ALT terdapat hanya
pada sitosol hepatosit (Chrostek, et al, 2014).
Peningkatan total bilirubin dan bilirubin direk karena bilirubin dihasilkan dari
katabolisme eritrosit dan hemoprotein lainnya (Samir, 2004). Pada sirosis hati,
pemeriksaan bilirubin berguna untuk evaluasi fungsi detoksifikasi dan ekskresi hati
yang berasosiasi dengan derajat keparahan penyakit. Hipertensi porta pada sirosis
hati menyebabkan gangguan bersihan bilirubin pada hati sehingga kadar bilirubin
akan cenderung meningkat (Minemura, 2016).
Pada penyakit hati kadar alkalin fosfatase darah akan meningkat karena
ekskresinya terganggu akibat obstruksi saluran bilier. Alkali fosfatase (ALP) di sel
hati terdapat di sinusoid dan membran saluran empedu. Secara klinis, peningkatan
ALP biasanya berasal dari hepatobilier atau tulang. Pada sirosis hati, ALP
mengalami peningkatan kurang lebih 2 sampai 3 kali batas atas normal (Desai,
2006).
Pada pasien ini juga didapatkan peningkatan AFP dan globulin, dimana AFP
merupakan suatu protein yang normalnya dihasilkan oleh hati pada fetus.
Peningkatan AFP umumnya terjadi pada penyakit hati kronis seperti hepatitis,
sirosis, hepatoseluler karsinoma, kanker pankreas, tumor gaster, tumor bilier dan
tumor sel germinal (Liu, et al, 2014). Sedangkan globulin merupakan unsur dari
protein tubuh yang terdiri dari globulin alpha, beta dan gama. Pada sirosis, sel hati
mengalami kerusakan arsitektur hati, penimbunan jaringan ikat, dan terdapat nodul
pada jaringan hati. Peningkatan globulin terutama gama dapat disebabkan karena
peningkatan sintesis antibodi (Rosida, 2016).
Selain terjadi peningkatan pada parameter kimia klinik, terdapat penurunan
pada beberapa parameter seperti albumin, e-LFG dan natrium. Penurunan albumin
atau hipoalbumin dapat disebabkan oleh adanya gangguan fungsi sintesis sel hati,
maka kadar albumin serum akan menurun terutama apabila terjadi lesi sel hati yang
luas dan kronik. Penyebab lain hipoalbuminemia diantaranya terdapat kebocoran
albumin di tempat lain seperti ginjal pada kasus gagal ginjal, intake yang kurang,
peradangan atau infeksi (Rosida, 2016). Aktivasi sistem neurohormonal (sistem
renin angiotensin aldosteron, sistem saraf simpatis, hormon vasopresin) pada sirosis

9
hati menyebabkan retensi cairan dan garam, akibatnya terjadi asites, hiponatremia,
dan penurunan laju filtrasi glomerulus (gagal ginjal akut) (Low, et al, 2015). Gagal
ginjal akut merupakan komplikasi yang umum terjadi pada sirosis hati lanjut, dan
sindrom hepatorenal merupakan salah satu penyebab terjadinya gagal ginjal akut
(Baraldi, et al, 2015).
Pada pemeriksaan analisa cairan ascites didapatkan warna kuning, tidak
terdapat darah dan bekuan, jumlah sel 103 lekosit/mm3, dimana dengan jumlah
leukosit dibawah 1000 lekosit/mm3 menandakan cairan ascites transudat. Transudat
dihasilkan dari penyakit sistemik yang menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik atau penurunanan tekanan onkotik plasma dan sering dihubungkan
dengan sirosis hati, gagal jantung dan sindrom nefrotik. Dikatakan apabila transudat
tidak lagi membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut. Pada pemeriksaan analisa cairan
asites didapatkan dominan sel mononuklear (>90%) menunjukkan bahwa terdapat
kecurigaan adanya tuberkulosis, keganasan dan penyakit sistemik (Nurdjanah,
2014).
Pada pemeriksaan imunoserologi, tampak adanya reaktif pada parameter
HBsAg. Berdasarkan konsensus hepatitis B, nilai HbsAg seropositif >6 bulan,
DNA virus hepatitis B >20000 IU/mL, dan peningkatan ALT yang persisten atau
intermiten merupakan kriteria diagnosis hepatitis B kronis (PPHI, 2017). Diagnosis
sirosis hepatis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. Perjalanan penyakit sirosis hepatis lambat, asimtomatis
dan seringkali tidak dicurigai sampai munculnya komplikasi penyakit hati yang
lain. Secara klinis sirosis hepatis dibagi menjadi sirosis hepatis kompensata yaitu
belum ada gejala klinis yang nyata dan dekompensata apabila telah tampak gejala
klinis yang nyata (Nurdjanah, 2014).
Baku emas diagnosis sirosis hati adalah dengan biopsi jaringan hati. Biopsi hati
tidak diperlukan jika secara klinis, pemeriksaan laboratorium dan radiologi sudah
menunjukkan kecenderungan sirosis hati. Skor Child Turcotte Pugh digunakan
untuk menilai tingkat keparahan, menilai kondisi umum dan prognosis pasien
sirosis hepatis (Nurdjanah, 2014).

10
Tabel 2.6
Kriteria Child-Turcotte-Pugh (CTP) (Nurdjanah, 2014).
Nilai
Parameter
1 2 3
Ensefalopati - Ringan-Sedang Sedang-Berat
Asites - Ringan Sedang-Berat
Bilirubin (mg/dL) <2 2-3 >3
Albumin (g/dL) >3,5 2,8-3,5 <2,8
Prothrombin time 1-3 4-6 >6
(detik)
CTP-A : 5-6 poin (prognosis baik)
CTP-B : 7-9 poin (prognosis sedang)
CTP-C : 10-15 poin (prognosis buruk)
Gejala klinis utama dan lanjut dari sirosis hepatis ini terjadi akibat dua tipe
gangguan fisiologis, yaitu gagal sel hati dan hipertensi portal. Manifestasi gagal sel
hati mencakup ikterus, gangguan endokrin, gangguan hematologik, edema perifer,
fetor hepatikum, dan ensefalopati hepatik, sedangkan manifestasi yang berkaitan
dengan hipertensi portal yaitu splenomegali, varises esofagus dan lambung, serta
manifestasi sirkulasi kolateral lain (Wiegand, et al, 2013). Pada pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjuang lainnya, pasien memiliki gejala ikterus dan terdapat
beberapa komplikasi lainnya seperti hipertensi portal, varises esofagus dan ulkus
gaster.
Pasien juga datang dengan keluhan utamanya yaitu sulit bernafas karena perut
mengalami pembesaran selama 3 minggu sebelum masuk rumah sakit. Asites
merupakan suatu komplikasi yang dapat ditemukan pada pasien sirosis hati. Asites
adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritonium. Pada dasarnya
penimbunan cairan di rongga peritonium dapat terjadi melalui 2 mekanisme dasar
yakni transudasi dan eksudasi. Asites yang ada hubungannya dengan sirosis hati
dan hipertensi porta adalah salah satu contoh penimbunan cairan di rongga
peritonium yang terjadi melalui mekanisme transudasi. Penyebab asites yang paling
banyak pada sirosis hati adalah hipertensi porta, disamping adanya
hipoalbuminemia (penurunan fungsi sintesis pada hati) dan disfungsi ginjal yang
akan mengakibatkan akumulasi cairan dalam peritonium. Asites merupakan tanda
prognosis yang kurang baik pada beberapa penyakit. Infeksi pada cairan asites akan

11
lebih memperberat perjalanan penyakit dasarnya oleh karena itu asites harus
dikelola dengan baik (Hirlan,2014).
Pada pasien ini diberikan Tenofovir untuk mengurangi progresifitas dari virus
hepatitis B. Diberikan juga laktulosa untuk membantu ekskresi amonia yang berasal
dari saluran cerna (Nurdjanah, 2014). Diet dengan Branch Chain Amino Acid
(BCAA) dan cairan infus berguna untuk membantu defisit kalori protein yang
terjadi pada penyakit hati kronis. BCAA adalah sumber nitrogen untuk sintesis
glutamat, yang dapat mendetoksifikasi amonia pada otot skeletal serta bahan
esensial untuk sintesis protein pada tubuh (Park, et al, 2017). Pada pasien ini
diberikan transfusi albumin 20% intravena yang bertujuan untuk menangani
hipoalbuminemia dan mencegah terjadinya periotonitis bakterial spontan pada
pasien sirosis hati (Nurdjanah, 2014). Pemberian furosemide untuk memobilisasi
cairan udem, mengubah keseimbangan cairan sehingga volume cairan ekstra sel
kembali menjadi normal. Pemberian spironolakton (aldosteron antagonis) untuk
mereabsorpsi natrium di tubulus distal dan pengumpul duktus. Pilihan utama dalam
pengobatan asites karena sirosis hati. Kelas aldosteron antagonis kecil dan hemat
kalium natriuretik. Ada dua terapi yang bisa dimanfaatkan yaitu spironolakton
tunggal atau kombinasi dari spironolakton dengan furosemid (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

IV. KESIMPULAN
Laporan kasus ini menggambarkan penyakit sirosis hati pada pasien
dewasa. Sirosis dekompensata muncul disertai dengan gejala kegagalan
hepatoseluler dan hipertensi porta. Tanda dari kegagalan hepatoseluler yaitu
ikterus, perdarahan, anemia, dan edema. Pada kondisi hipertensi porta dapat
ditemukan gejala varises esofagus, melena, ulkus peptikum, splenomegali, asites,
caput medusae, dan hemoroid. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi yang diberikan sesuai
dengan penyebab penyakit dan komplikasinya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Baraldi, O., Valentini, C., et al. 2015. Hepatorenal syndrome: Update on diagnosis
and treatment. World Journal of Nephrology, 4(5):511-522.
Chrostek, L., Supronowicz, L., Panasiuk, A., Cylwik, B., Gruszewska, E., Flisiak,
R. The effect of the severity of liver cirrhosis on the level of lipids and
lipoprotein. Clin Exp Med. 14:417-21.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi
Edisi 5. Jakarta: Bagian Farmakologi FK UI.
Desai, S. P. 2004. Liver Function Test. In: Desai, S.P., editors. Clinician’s Guide
to Laboratory Medicine: A Practical Approach. Third edition. Houston,
Lexicomp. p. 605-620.
DiPiro, T., Wells, G., Schwinghammer, L. 2015, Pharmacotherapy Handbook,
Ninth Edit., Inggris: McGraw-Hill Education Companies.
Hirlan. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam, 6th ed. Jakarta pusat: Interna
Publishing. p.1984-86.
Liu, Y.R., Lin, B.B., et al. 2014. Alpha-fetoprotein level as a biomarker of liver
fibrosis status: a cross-sectional study of 619 consecutive patients with chronic
hepatitis B. BMC Gastroenterology, 14:145.
Low, G., Alexander, M., Lomas, J. 2015. Hepatorenal syndrome: Aetiology,
Diagnosis, and Treatment. Gastroenterology Research and Practice, 1-11.
McCormick, P.A. 2011. Hepatic Cirrhosis. In: Dooley, J.S., Lok, A.S.F.,
Burroughs, A.K., Heathcote, E.J., editors. Sherlock’s Disease of Liver and
Biliary System. Twelveth Edition. UK: Blackwell Publishing. p. 103-118.
Mitchell, O., Sigal, S., Feldman, D., Diakow, M. 2016. The pathophysiology of
thrombocytopenia in chronic liver disease. Hepatic Medicine: Evidence and
Research. 8:39-50.
Nurdjanah, S. 2014. Sirosis Hati. In: Setiati, S., Alwi, I., et al., editors. Buku Ajar
Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing. p. 1978-1983.
Park, J.G., Tak, W.Y., et al. 2017. Effects of branched-chain amino acids (BCAAs)
on the progression of advanced liver disease. Medicine, 96(24):1-7.
Patel, Y.A., Kappus, M.R., Muir, A.J., 2017. Anemia in Liver Disease.
Management of Anemia, 129-142.
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI). 2017. Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Hepatitis B. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. p.
1-12.
Rosida. 2016. Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Hati. Jurnal Kedokteran. 12
(1):123-131.
Suk, T. K. 2012. Revision and update on clinical practice guideline for liver
cirrhosis. The Korean Journal of Hepatology. 18:1-21.
Tambunan, K.L. 2014. Gangguan Hemostasis Pada Sirosis Hati. In: Setiati, S.,
Alwi, I., et al., editors. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
p. 2800-2806.
WHO. 2002. Hepatitis B. Genewa: WHO. p. 29-30.

13
Wiegand, J., Berg, T. 2013. The etiology, diagnosis, and prevention of liver
cirrhosis. Dtsch Arztebl Int, 110(6): 85-91.
Wolf DC. Cirrhosis of the Liver. eMedicine Specialities. 20 September 2022.
http://www.emedicine.com/med/topic3183.htm

14

Anda mungkin juga menyukai