Anda di halaman 1dari 5

TUGAS HUKUM ACARA MK

“ Argumentasi Pro Terhadap Eksistensi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi


yang Tumpang Tindih atau Telah Terjadi Konflik Kewenangan Dengan Komisi
Yudisial (KY) yang juga Berperan Dalam Mewujudkan Legitimasi Institusional dan
Penegakan Etik Dalam Kekuasaan Kehakiman ”

Di Susun Oleh :

1. Meyla Faiza ( D1A021209 )


2. Miftahul Hayati ( D1A021210 )
3. Mirdania Zakiah ( D1A021211 )

Dosen Pengampu : Johannes Johny Koynja, SH, MH

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2023
TOPIK PEMBAHASAN

1. Peranan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam mewujudkan


legitimasi institusional dan penegakan etik di MK demi terwujudnya integritas dan
independensi lembaga peradilan. Benarkah eksistensi MKMK tumpang tindih /
benarkah telah terjadi konflik kewenangan dengan Komisi Yudisial (KY) yang
juga berperan dalam mewujudkan legitimasi institusional dan penegakan etik
dalam kekuasaan kehakiman?

LATAR BELAKANG

Latar belakang terjadinya konflik kewenangan antara MKMK dan KY berkaitan


dengan peran dan fungsi masing-masing lembaga dalam menjalankan tugasnya.
MKMK memiliki tugas dan wewenang untuk memutuskan sengketa yang terkait
dengan undang-undang dan konstitusi, sedangkan KY memiliki tugas dan wewenang
untuk mengawasi perilaku etis hakim dan pengawasan administratif di lingkungan
peradilan.

Konflik kewenangan antara kedua lembaga ini terjadi karena adanya perbedaan
interpretasi mengenai batasan dan ruang lingkup tugas dan wewenang masing-masing
lembaga. Salah satu contoh terjadinya konflik kewenangan adalah ketika KY
memberikan sanksi etik terhadap seorang hakim yang kemudian merasa dirugikan dan
mengajukan gugatan ke MKMK. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai siapa
yang berwenang memutuskan sengketa tersebut, apakah KY atau MKMK.

Konflik kewenangan antara MKMK dan KY juga dapat menimbulkan masalah dalam
mewujudkan legitimasi institusional dan penegakan etik dalam kekuasaan kehakiman.
Karena kedua lembaga tersebut memiliki peran yang penting dalam menjaga keadilan
dan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan, maka konflik antara keduanya
dapat merusak citra dan legitimasi institusi kehakiman.

ARGUMENTASI TIM PRO

Konflik kewenangan yang terjadi antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Konstitusi
terjadi ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 005/PUU/IV-2006. Dalam putusan itu, kewenangan Komisi Yudisial untuk
mengawasi perilaku hakim tetap berlaku pada hakim agung, tetapi tidak berlaku bagi
hakim konstitusi. Dengan putusan ini, maka tidak akan ada pengawasan lembaga
eksternal di Mahkamah Konstitusi. Konteks pengawasan akhirnya hanya dilakukan
oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang berada di internal Mahkamah
Konstitusi.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, objek


pengawasan Komisi Yudisial terkait pengawasan terhadap Hakim Konstitusi
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 yang telah lebih dulu lahir daripada PMK
Nomer 2 Tahun 2014. Oleh karena itu, sejak diucapkannya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 pada tanggal 23 Agustus 2006 dalam sidang
terbuka untuk umum, Hakim Mahkamah Konstitusi sudah tidak lagi menjadi objek
kewenangan dari Komisi Yudisial. Yang mengakibatkan Hakim Mahkamah Konstitusi
tidak memiliki pengawas yang bersifat eksternal, dan hanya diawasi oleh Dewan Etik
Hakim Konstitusi. Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUU-IV/2006
yang membatalkan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim, hakim agung dan
hakim konstitusi, dapat melemahkan kekuasaan kehakiman, karena akan muncul rasa
kurang percaya (distrust) oleh masyarakat terhadap peradilan.

Putusan ini juga menimbulkan kontroversi karena Mahkamah Konstitusi dianggap


tidak bersikap netral (imparsial). Selain itu juga melanggar asas bahwa hakim tidak
boleh mengadili perkara yang terkait dengan dirinya. Imparsialitas hakim harus terlihat
pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-
fakta dipersidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan satu pihak yang berperkara,
bukan pula menjadi pemutus perkaranya sendiri. Imparsialitas proses peradilan hanya
dapat dilakukan, jika hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor
semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang berperkara, karenanya hakim harus
mengundurkan diri dari proses persidangan jika melihat adanya potensi imparsialitas.
Argumentasi ini menegaskan bahwa hakim dalam pelaksanaan peradilan tidak boleh
menyimpangi asas nemo judex idoneus in propria causa

Selain itu memang benar telah terjadi nya tumpang tindih antara MKMK dengan KY,
hal demikian di sebab kan karena berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
1 Tahun 2023Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang di mana mkmk
berwenang menjaga keluhuran martabat dan kehormatan Mahkamah. selain itu pada
pasal 3 ayat (2) mkmk juga berwenang memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran
Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Sedangkan kewenangan komisi yudisial berdasarkan Sesuai Pasal 13 Undang-Undang


Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial, bahwa komisi yudisial berwenang Menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; dan Menetapkan Kode Etik
dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung;
Dari kewenangan antara MKMK dan juga komisi yudisial tersebut dapat kami
simpulkan bahwa memang telah terjadi tumpang tindih dalam mewujudkan legitimasi
institusional dan penegakan etik dalam kekuasaan kehakiman. Komisi yudisial secara
kelembagaan ada akan tetapi kewenangan dan fungsinya menjadi tereleminasi.
Keberadaan Komisi Yudisial hanyalah sebagai pelengkap saja bagi lembaga negara
yang lain dalam lingkup lembaga negara kekuasaan kehakiman, hal ini memang sangat
ironi, sebagai lembaga negara yang keberadaan dan kewenangannya diamanatkan
langsung (atributif) oleh UUD ternyata tidak dapat bekerja secara optimal, dan di
gantikan dengan adanya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

KESIMPULAN

Untuk mengatasi potensi tumpang tindih kewenangan dan konflik antara MKMK dan
KY, diperlukan upaya untuk memperkuat koordinasi dan kerjasama antara kedua
lembaga tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan memperjelas tugas dan fungsi
masing-masing lembaga serta membentuk mekanisme koordinasi yang efektif. Selain
itu, diperlukan juga peningkatan kualitas sumber daya manusia dan penguatan sistem
pengawasan internal di kedua lembaga untuk mencegah terjadinya pelanggaran etik dan
penyalahgunaan wewenang.

Selain itu, pemerintah dan lembaga legislatif juga dapat melakukan reformasi
kelembagaan yang lebih luas untuk memperbaiki sistem peradilan di Indonesia secara
keseluruhan. Reformasi ini dapat meliputi peningkatan kualitas pendidikan dan
pelatihan untuk hakim dan pengawas, peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam
sistem peradilan, serta peningkatan akses masyarakat terhadap sistem peradilan.
Dengan upaya yang terkoordinasi dan berkesinambungan, diharapkan konflik
kewenangan antara MKMK dan KY dapat diminimalkan dan sistem peradilan di
Indonesia dapat semakin efektif dan efisien dalam menjaga keadilan dan kepercayaan
publik.

Anda mungkin juga menyukai