Anda di halaman 1dari 15

4.

Dipylidium caninum

Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo : Cyclophyllidea
Famili : Dipylidiidae
Genus : Dipylidium
Spesies : Dipylidium caninum

A. Pengertian Dipylidium caninum


Dipylidium caninum merupakan parasit yang termasuk dalam kelas cestoda yang
sering menginfeksi anjing dan jarang menginfeksi manusia. Infeksi cacing disebut
dipylidiasis dan sering menginfeksi pada anak-anak terutama yang suka bermain dengan
anjing. Hospes definitif cacing ini adalah anjing dan kucing sedangkan hospes
intermediernya golongan pinjal antara lain Ctenocephalides canis, Ctenocephalides felis,
Pulex irritans, dan kutu anjing Trichodectes canis. Nama lain cacing ini adalah cacing
pita anjing, the double ported dog tape worm, dan Taenia canina.

B. Morfologi Dipylidium caninum

Scolex D. caninum (sumber : http://calu.edu)


Ciri-ciri cacing dewasa Dipylidium caninum:
 Cacing dewasa berukuran panjang 15 – 40 cm dan lebar 2 – 3 mm
 Pada scolex terdapat acetabulum, rostelum yang dapat ditonjolkan dan ditarik ke
dalam, dan kait-kait
 Proglotid membesar ditengahnya berbentuk seperti biji labu atau timun, pada
strobila dijumpai 10 – 175 proglotid
 Mempunyai 2 set alat kelamin masing-masing dengan atrium genitalis yang
bermuara pada porus genitalis
 Porus genitalis dua buah di sisi kanan dan kiri yang letaknya saling berhadapan
(marginal)
 Uterus terletak ditengah
 Pada proglotid gravid berisi kantong telur sebanyak 300 – 400 yang masing-
masing berisi 8 – 15 telur

Telur D. caninum (sumber : https://www.cdc.gov/)

Ciri-ciri telur Dipylidium caninum:

 Telur berbentuk bulat Ukuran 35 – 50 μm


 Dinding dua lapis tipis
 Telur berkelompok dengan tiap kelompok telur berisi 8 – 15 telur yang
terbungkus dalam selaput embrional
 Berisi hexacanth embrio atau onkosfer dengan 6 kait
C. Siklus Hidup Dipylidium caninum

Siklus hidup Dipylidium caninum (sumber : https://www.cdc.gov/)

Proglotid gravid keluar bersama tinja hospes definitif → proglotid gravid


melepaskan telur yang berkelompok → telur yang berembrio tertelan oleh hospes
intermedier (pada stadium larva) → onkosfer menetas, menembus dinding usus dan
tumbuh menjadi cycticercoid → hospes intermedier pada stadium tumbuh menjadi kutu
dewasa → hospes definitif terinfeksi jika menelan pinjal yang mengandung cycticercoid
→ cycticercoid berkembang menjadi cacing dewasa di usus dalam waktu sekitar 1 bulan.

D. Patologi dan Gejala Klinis


Anjing dan kucing tidak menjadi sakit kecuali pada infeksi berat dengan gejala
menjadi lemah, kurus, cerita gangguan saraf dan pencernaan. Manusia yang jarang
mengandung lebih dari satu parasit jarang menunjukkan gejala. Pada anak-anak mungkin
menjelma sebagai gangguan intestinal ringan, sakit pada epigastrium, diare dan kadang-
kadang mengalami reaksi alergi. Jarang seorang penderita menunjukkan rasa sakit yang
nyata di epigastrium, emosi dan pengurangan berat badan.
Sebagian besar infeksi Dipylidium caninum tidak menunjukkan gejala. Hewan
peliharaan dapat menunjukkan perilaku untuk meredakan gatal di dubur dengan cara
menggesek daerah dubur dengan tanah atau rumput. Gangguan gastrointestinal ringan
dapat terjadi. Bagian proglotid dapat ditemukan di daerah perianal, di tinja, popok, dan
kadang-kadang di lantai dan kursi. Proglotid bersifat motil (dapat bergerak dengan
sendirinya) ketika baru dikeluarkan dan sering salah dikira sebagai belatung atau larva
lalat.

E. Habitat, Distribusi, Pencegahan dan Pengobatan


1. Habitat
Habitat pertama organisme ini adalah kotoran inang definitif, di mana mereka
masih bertelur. Selanjutnya mereka hidup dalam kutu , yang memperoleh parasit
dengan memakan kotorannya. Jika kutu dimakan oleh seekor anjing , cacing larva
menemukan dirinya di usus tempat ia menjadi dewasa dan tetap hidup selama sisa
hidupnya. Manusia juga bisa menjadi tuan rumah cacing. Kita memperolehnya
dengan secara tidak sengaja menelan kutu dari hewan peliharaan yang memiliki kutu
yang mengandung cacing remaja.

2. Epidemiologi dan Distribusi Geografis


Cacing ini ditemukan kosmopolit. Sebagian besar infeksi terjadi pada anak yang
berumur kurang dari 8 tahun dan kira-kira sepertiga dari bayi yang berumur kurang
dari 6 bulan. Infeksi ini kebanyakan terjadi karena bergaul dengan anjing sebagai
binatang peliharaan. Penularan terjadi karena secara kebetulan menelan pinjal, tuma
anjing atau dari tangan ke mulut. Presentase anjing yang menderita infeksi cacing ini
tinggi.

3. Pencegahan dan Pengobatan


Pencegahan dipylidiasis:
 Bersihkan hewan peliharaan dari kutu anjing atau kutu kucing.
 Segera ke dokter hewan hewan peliharaan menderita infeksi cacing pita.
 Bersihkan kotoran hewan peliharaan Anda, terutama di taman bermain dan di
tempat umum dengan cara mengubur tinja, atau dengan menaruhnya di
kantong plastik kemudian dibuang di tempat sampah.
 Jangan biarkan anak-anak bermain di tanah yang kemungkinan terdapat
kotoran anjing atau kotoran hewan lainnya.
 Mengajari anak-anak untuk selalu mencuci tangan dengan sabun setelah
bermain dengan anjing dan kucing, dan setelah bermain di luar.
 Anak kecil sebaiknya jangan diperbolehkan mencium anjing dan kucing yang
dihinggapi pinjal atau tuma.
 Kebiasaan mencium kucing dan anjing sebaiknya tidak dianjurkan.
 Binatang peliharaan yang disukai ini sebaiknya diberi obat cacing dan
pengobatan dengan insektisida.
Pengobatan dipylidiasis:
 Praziquantel, pada orang dewasa dengan dosis 5-10 mg/kg secara oral dalam
terapi dosis tunggal. Praziquantel tidak disetujui untuk pengobatan anak-anak
di bawah 4 tahun tetapi obat ini telah berhasil digunakan untuk mengobati
kasus-kasus infeksi D. caninum pada anak-anak semuda 6 bulan.
 Niklosamid, untuk pengobatan ulang jika ditemukan proglotid setelah terapi.
Infeksi sembuh sendiri pada manusia dan biasanya hilang secara spontan
setelah 6 minggu.

5. Taenia saginata

Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo : Cyclophyllidea
Famili : Taeniidae
Genus : Taenia
Spesies : Taenia saginata

A. Pengertian Taenia saginata


Taenia saginata merupakan parasit yang termasuk dalam kelas cestoda yang
hidup dalam usus manusia dan dapat menyebabkan penyakit Taeniasis saginata. Cacing
ini disebut juga dengan Taeniarhynchus saginata dan cacing pita sapi. Hospes definitif
dari parasit ini adalah manusia sedangkan hospes intermediernya adalah sapi.

B. Morfologi Taenia saginata

Scolex Taenia saginata (sumber : http://www.cdc.gov/)

Proglotid gravid Taenia saginata (sumber : http://www.cdc.gov/)

Ciri-ciri cacing dewasa Taenia saginata:


 Cacing dewasa mempunyai panjang 4 – 12 meter
 Cacing ini terdiri dari scolex, leher, dan strobila
 Scolex berbentuk piriform berukuran 1 – 2 mm dilengkapi dengan  4 batil isap
yang menonjol
 Strobila terdiri dari 1000 – 2000 proglotid atau segmen dimana makin ke distal
proglotid semakin matang
 Proglotid gravid berukuran 16 – 20 x 5 – 7 mm dengan cabang uterus berjumlah
15 – 20 buah tiap sisi dimana uterus gravid ini mengandung 80.000 – 100.000
telur
 Lubang kelamin atau porus genitalis terletak di sebelah lateral dan letaknya
berselang-seling di kanan dan kiri tidak teratur

Telur Taenia sp. (sumber : https://www.cdc.gov/)

Ciri-ciri telur Taenia sp.:

 Ukuran : panjang 30 – 40 μm dan lebar 20 – 30 μm


 Berwarna coklat tengguli
 Lapisan embriofore bergaris-garis radier
 Di dalamnya terdapat hexacanth embrio

C. Siklus Hidup Taenia saginata


Siklus hidup Taenia saginata (sumber : https://www.cdc.gov/)
Proglotid yang matang (proglotid gravid) keluar bersama tinja atau bergerak aktif
menuju anus → cabang-cabang uterus anterior pecah dan telur keluar melalui pinggiran
anterior → jika telur termakan hospes intermedier (sapi) di dalam usus embriofore
terdesintegrasi oleh asam lambung → hexacanth embrio meninggalkan kulit telur dan
menembus dinding usus bersama limfe/darah dibawa ke jaringan ikat dialam otot →
tumbuh menjadi cysticercus bovis (cacing gelembung) dalam waktu 12 – 15 minggu,
cysticercus bovis berupa gelembung dengan ukuran 7,5 – 10 mm x 4 – 6 mm dimana
didalamnya terdapat scolex yang mengalami invaginasi → bila cysticercus hidup ditelan
manusia maka di dalam usus scolex mengalami evaginasi dan melekatkan diri pada
mukosa jejunum dan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam waktu 8 – 10 minggu, cacing
dapat hidup lebih dari 25 tahun.

D. Patologi dan Gejala Klinis


Nama penyakit yang disebut taeniasis saginata. Cacing dewasa Taenia saginata,
hanya menyebabkan gejala klinis yang ringan, seperti sakit ulu hati, perut merasa tidak
enak, mual, muntah, mencret, pusing atau gugup. Umumnya gejala tersebut berkaitan
dengan ditemukannya cacing yang bergerak-gerak dalam tinja, atau cacing yang keluar
dari lubang dubur, yang keluar sebenarnya adalah proglotid. Gejala yang lebih berat
dapat terjadi yaitu apabila proglotid menyasar masuk apendiks, atau terdapat ileus yang
disebabkan obstruksi usus oleh strobila cacing. Berat badan tidak jelas menurun dan
banyak di temukannya eosinofil di dalam darah tepi.
E. Habitat, Distribusi, Pencegahan dan Pengobatan
1. Habitat
Habitat cacing dewasa ini hidup di bagian atas jejunum dan mampu bertahan
hidup selama 25 tahun.

2. Epidemiologi dan Distribusi Geografis


Cacing tersebut adalah kosmopolit, didapatkan di Eropa, Timur Tengah, Afrika,
Asia, Amerika Utara, Amerika Latin, Rusia, dan juga Indonesia, yaitu daerah Bali,
Jakarta dan lain-lain. Cacing tersebut sering ditemukan di negara yang penduduknya
banyak makan daging sapi atau kerbau. Cara penduduk untuk memakan daging sapi
tersebut bermacam-macam pula yaitu matang (well done), setengah matang (medium)
atau mentah (rare) dan cara memelihara ternak memainkan peranan. Ternak yang
dilepas di hutan atau padang rumput lebih mudah dihinggapi cacing gelembung
daripada ternak yang di rawat baik di kandang.

3. Pencegahan dan Pengobatan


Pencegahan taeniasis saginata:
 Memasak daging sapi sampai matang sempurna.
 Memeriksa daging sapi akan adanya cysticercosis.
 Menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati dan mencegah kontaminasi
tanah dengan tinja manusia.
 Melakukan pendinginan daging sapi pada suhu -100C selama 5 hari.
 Memasak daging sapi sampai matang diatas suhu 570C.
 Mengasinkan di dalam larutan garam 25% selama 5 hari dapat membunuh
cysticercosis.

Pengobatan Dipylidiasis:
 Praziquantel adalah obat yang paling sering digunakan untuk mengobati
taeniasis. Dosis yang diberikan adalah 5-10 mg/kg secara oral untuk sekali
minum pada orang dewasa dan 5-10 mg/kg pada anak-anak. Jika pasien
memiliki cysticercosis selain taeniasis, praziquantel harus digunakan dengan
hati-hati. Praziquantel adalah obat cysticidal yang dapat menyebabkan
peradangan di sekitar tempat cysticercosis, serta dapat menyebabkan kejang
atau gejala lainnya.
 Obat alternatifnya adalah Niklosamida, yang diberikan pada 2 gram secara
oral untuk sekali minum pada orang dewasa dan 50 mg/kg pada anak-anak.
Setelah pengobatan, tinja harus dikumpulkan selama 3 hari untuk mencari
proglotid cacing pita untuk identifikasi spesies. Pemeriksaan tinja harus dikaji
ulang untuk telur taenia dalam waktu 1 dan 3 bulan setelah pengobatan untuk
memastikan sudah tidak terinfeksi taeniasis.
 Obat tradisional yaitu biji labu merah dan biji pinang.

6. Taenia solium

Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo : Cyclophyllidea
Famili : Taeniidae
Genus : Taenia
Spesies : Taenia solium

A. Pengertian Taenia solium


Taenia solium merupakan parasit yang termasuk dalam kelas cestoda yang hidup
dalam usus manusia dan dapat menyebabkan penyakit Taeniasis solium dan larvanya
menyebabkan penyakit cysticercosis cellulosae. Taenia solium disebut juga dengan the
pork tapeworm atau cacing pita babi. Hospes definitifnya adalah manusia sedangkan
hospes intermediernya adalah babi atau beruang hutan.
B. Morfologi Taenia solium

Scolex Taenia solium (sumber : http://www.cdc.gov/)

Proglotid gravid Taenia solium (sumber : http://www.cdc.gov/)

Ciri-ciri cacing dewasa Taenia solium:


 Cacing dewasa mempunyai panjang 2 – 4 meter, kadang sampai 8 m
 Cacing ini terdiri dari scolex, leher, dan strobila
 Scolex dilengkapi dengan 2 baris kait yang terdiri atas kait panjang dan pendek,
jumlahnya mencapai 25 – 30 buah
 Diameter scolex ± 1 mm terdapat 4 buah batil isap yang berbentuk mangkok
 Mempunyai 800 – 1000 segmen dengan lubang kelamin pada sisi lateral kanan
atau kiri tidak beraturan
 Uterus gravid mempunyai cabang lateral 7-12 buah pada satu sisi dan
mengandung 30.000 – 50.000 butir telur
 Ovarium terdiri atas 2 lobus lateral dan satu lobus kecil
Telur Taenia sp. (sumber : https://www.cdc.gov/)

Ciri-ciri telur Taenia sp.:

 Ukuran : panjang 30 – 40 μm dan lebar 20 – 30 μm


 Berwarna coklat tengguli
 Lapisan embriofore bergaris-garis radier
 Di dalamnya terdapat hexacanth embrio

C. Siklus Hidup Taenia solium

Siklus hidup Taenia solium (sumber : https://www.cdc.gov/)


Proglotid yang matang (proglotid gravid) keluar bersama tinja atau bergerak aktif
menuju anus → cabang-cabang uterus anterior pecah dan telur keluar melalui pinggiran
anterior → jika telur termakan hospes intermedier (sapi) di dalam usus embriofore
terdesintegrasi oleh asam lambung → hexacanth embrio meninggalkan kulit telur dan
menembus dinding usus bersama limfe/darah berbagai organ dalam yang paling sering
adalah otot lidah, masseter diafragma, jantung, juga hati, ginjal, paru-paru, otak dan mata
babi → tumbuh menjadi cysticercus cellulosa (cacing gelembung) dengan ukuran 5 mm x
8 – 10 mm dimana didalamnya terdapat scolex yang mengalami invaginasi, scolex ini
telah dilengkapi dengan kait-kait dan batil isap → bila cysticercus hidup ditelan manusia
maka oleh enzim-enzim pencernaan cysticercus ini dibebaskan →  scolex mengadakan
evaginasi dan menempel pada mukosa jejunum → tumbuh menjadi cacing dewasa dalam
3 bulan, cacing dewasa dapat hidup lebih dari 25 tahun. Pada cysticercus cellulosa infeksi
terjadi karena manusia makan telur Taenia solium atau karena proglotid masuk ke
lambung baik karena regurgitasi (anti peristaltik) maupun sebab ikut bersama makanan.
Di dalam usus hexacanth embrio dibebaskan dan bersama aliran darah atau aliran limfe
ke organ-organ dan membentuk cysticercus cellulosae.

D. Patologi dan Gejala Klinis


Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing dewasa adalah taeniasis solium dan
yang disebabkan oleh stadium larva adalah sistiserkosis. Cacing dewasa yang biasanya
berjumlah seekor, tidak menyebabkan gejala klinis yang berarti. Bila ada, dapat berupa
nyeri ulu hati, mencret, mual, obstipasi dan sakit kepala. Darah tepi dapat menunjukkan
eosinofilia.
Gejala klinis yang lebih berarti dan sering diderita disebabkan oleh larva dan
disebut sistiserkosis. Infeksi ringan biasanya tidak menunjukkan gejala, kecuali bila alat
yang dihinggapi adalah alat tubuh yang penting. Pada manusia, sistiserkus atau larva
Taenia solium sering menghinggapi jaringan subkutis, mata, jaringan otak, otot, otot
jantung, hati, paru dan rongga perut. Walaupun sering dijumpai kalsifikasi (perkapuran)
pada sistiserkus tidak menimbulkan gejala, akan tetapi sewaktu-waktu terdapat
pseudohipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi dan eosinofilia.
Pada jaringan otak atau medula spinalis, sistiserkus jarang mengalami kalsifikasi.
Keadaan ini sering menimbulkan reaksi jaringan dan dapat mengakibatkan serangan ayan
(epilepsi), meningo-ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang
tinggi seperti nyeri kepala dan kadang-kadang kelainan jiwa. Hidrosefalus internus dapat
terjadi bila timbul sumbatan aliran cairan serebrospinal. Sebuah laporan menyatakan
bahwa sebuah sistiserkus tunggal yang ditemukan dalam ventrikel IV dari otak dapat
menyebabkan kematian.

E. Habitat, Distribusi, Pencegahan dan Pengobatan


1. Habitat
Taenia Solium dalam lingkaran hidupnya mempunyai habitat pada usus halus
bagian proximal dan sering ditemukan pada babiyang mengandung larva Taenia
Solium.

2. Epidemiologi dan Distribusi Geografis


Taenia solium adalah kosmopolit, akan tetapi tidak akan ditemukan di negara-
negara Islam. Cacing tersebut banyak ditemukan di negara-negara yang mempunyai
banyak peternakan babi dan di tempat daging babi banyak disantap seperti di Eropa
(Gzech, Slowakia, Kroatia, Serbia), Amerika Latin, Cina, India, Amerika Utara dan
juga beberapa daerah di Indonesia antara lain di Irian Jaya, Bali dan Sumatera Utara.
Frekuensi telah menurun di negara maju karena pemeriksaan daging yang ketat,
kebersihan yang lebih baik dan fasilitas sanitasi yang lebih baik. Distribusi
sistiserkosis sebanding dengan distribusi Taenia solium. Di Ethiopia, Kenya dan
republik demokratik Kongo sekitar 10% dari populasi terinfeksi, di Madagaskar
bahkan 16%. Walaupun cacing ini kosmopolit, kebiasaan hidup penduduk yang
dipengaruhi tradisi kebudayaan dan agama memainkan peranan penting. Penyakit ini
ditemukan pada orang bukan pemeluk agama Islam yang biasanya memakan daging
babi.

3. Pencegahan dan Pengobatan


Pemberantasan infeksi dari Taenia solium terdiri dari:
 Pengobatan orang yang mengandung parasit
Pengobatan penyakit taeniasis solium digunakan prazikuantel. Untuk
sistiserkus digunakan obat prazikuantel, albendazol, atau dilakukan
pembedahan.
 Sanitasi
Di daerah endemik tinja manusia tidak boleh dibuang ke tempat-tempat
yang dimasuki babi.
 Pemeriksaan daging babi
Pemeriksaan daging babi oleh pemerintah mengurangi infeksi pada
manusia di negeri-negeri di mana babi dimakan mentah atau setengah matang,
tetapi sistem pemeriksaan yang manapun tidak dapat memastikan kebebasan
dari infeksi.
 Memasak dan mengolah daging babi dengan sebaik-baiknya
Sistiserkus akan mati dengan pemanasan pada 45-50°C, tetapi daging babi
harus dimasak paling sedikit selama setengah jam untuk tiap pound atau
sampai berwarna kelabu. Sistiserkus akan mati pada suhu di bawah -2°C tetapi
pada 0°C sampai -2°C dia hidup selama hampir 2 bulan dan pada suhu kamar
ia hidup selama 26 hari. Mendinginkan pada suhu -10°C selama 4 hari atau
lebih adalah cara yang efektif. Mengasinkan dengan garam tidak selalu
berhasil.

Kasus Cestoda

Infeksi cestoda usus masih menjadi salah satu permasalahan di Indonesia, karena
Indonesia merupakan salah satu daerah tropis terbesar yang penduduknya terinfeksi Taeniasis
dan Sisterkosis. Di Indonesia sendiri terdapat tiga provinsi yang berstatus endemis penyakit
taeniasis/sisterkosis yaitu Sumatera Utara, Bali dan Papua. Kasus taeniasis juga pernah terjadi di
Jawa Timur, tepatnya di daerah Surabaya. Jumlah prevalensi cestoda usus tercatat masih tinggi
yaitu sekitar 72%, pada Enterobiasis 28%, Ascaris 4%, Hymenolepis 4%, dan taenia saginata
36%. Informasi ini di dapat dari artikel dengan judul “Gambaran Kebersihan Personal Dengan
Prevalensi Infeksi Cestoda Usus Pada Petugas Kebersihan Rumah Potong Hewan Krian” yang
diterbitkan pada tahun 2022 di Jurnal Media Analisis Kesehatan.

Sumber:

https://journal.poltekkes-mks.ac.id/ojs2/index.php/mediaanalis/article/download/2403/1890

Video Cestoda

https://youtu.be/XZ0sHq6VGxQ

Anda mungkin juga menyukai