Anda di halaman 1dari 15

Makalah kekosongan hukum

FAKULTAS HUKUM
PAGI

KELOMPOK 6
DISUSUN OLEH : 1.RIONALDY
SAPUTRA
2.MAHARANI
3.ICHA
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar, serta tepat pada
waktunya. Makalah ini berjudul Penafsiran dan Cara Mengisi Kekosongan
Hukum.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar
Ilmu Hukum. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan
pembaca tentang penafsiran atau interpretasi hukum dan cara mengisi kekosonan
hukum.
Penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam rangka penyusunan makalah ini. Penulis menyadari masih
banyak kekurangan yang terdapat pada makalah ini. Maka dari itu, penulis
memohon maaf atas segala kekurangan dalam penyusunan makalah ini.
Selain itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
sebagai masukan untuk

perbaikan yang akan datang.

Pasuruan,4 desember 2016


DAFTAR ISI

Dafar isi

Kata pengantar………………………………………………………………………….i

Dafar isi…………………………………………………………………………………….ii

BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………………iii

A. Latar belakang……………………………………………………………………..1
B. Rumusan masalah………………………………………………………………..1
C. Tujuan penulisan………………………………………………………………….2
D. Manaat penulisan………………………………………………………………..2

BAB 2 PEMBAHASAN…………………………………………………………………3

a. Penafsiran hukum…………………………………3

b. Metode penafsiran…………………………………3

c. Konstruksi hukum………………………………….9

d. Penghalusan hukum………………………………10

e. Argumentum a contrario………………………….11

Bab 3 penutup

a. Kesimpulan…………………………………………12

b. Saran………………………………………………..13

c. Daftar pustaka…………………………………….13

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam kehidupan sehari-
hari

memiliki banyak aktivitas, tidak dipungkiri bahwa di dalam kehidupan manusia


memiliki banyak sekali masalah yang berhubungan dengan hukum. Namun tidak
semua masalah yang ada di masyarakat sesuai dengan apa yang tercantum dalam
peraturan perundang-undangan, karena masalah yang terjadi bersifat dinamis
artinya selalu berkembang. Sedangkan, peraturan yang mengatur hal-hal yang
terjadi di masyarakat bersifat statis dan formal, maksudnya tidak dapat begitu saja
diganti apabila sudah tidak sesuai lagi. Oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem
yang menjamin kepastian hukum untuk hal-hal yang belum atau tidak lagi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Sistem yang dimaksud adalah penafsiran
hukum yaitu agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum.
Penafsiran hukum dilakukan oleh hakim dalam menyelesaikan
suatu perkara yang dihadapinya, khususnya apabila peraturan perundang-
undangnya sudah ketinggalan zaman dan maamakai istilah-istilah yang tidak jelas
atau dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda. Hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan harus berusaha memberikan keputusan seadil-adilnya,
tentunya dengan mengingat ketentuan hukum tertulis maupun tidak tertulis serta
nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.

Oleh karena itu, kita sebagai generasi muda sangat perlu mempelajari ilmu
hukum untuk kita jadikan landasan dalam menjalani kehidupan sehari-
hari
terutama ketika terjadi peristiwa yang tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan atau tidak diatur juga dalam kebiasaan atau norma-norma yang ada di
masyarakat. Hal itu perlu untuk dipelajari karena menyangkut kehidupan kita di
lingkungan masyarakat yang kebanyakan masyarakatnya kurang mengetahui dan
paham akan hukum.
2

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan penafsiran hukum?
2. Bagaimana metode-metode penafsiran hukum?
3. Bagaimana cara menerapkan metode penafsiran hukum?
4. Bagaimana cara mengisi kekosongan hukum?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari penafsiran hukum.
2. Untuk mengetahui macam-macam metode penafsiran hukum beserta contohnya.
3. Untuk mengetahui dan memahami cara menerapkan metode penafsiran hukum.
4. Untuk mengetahui cara mengisi kekosongan hukum.

D. Manfaat Penulisan
1. Dapat mengetahui pengertian penafsiran hukum.
2. Dapat mengetahui macam-macam metode penafsiran hukum beserta contohnya.
3. Dapat mengetahui dan memahami cara menerapkan metode penafsiran hukum.
4. Dapat mengetahui cara mengisi kekosongan hukum.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum)
1. Definisi Penafsiran Hukum

Penafsiran atau interpretasi hukum peraturan undang-undang ialah mencari


dan menetapkan pengertian asas dalil-dalil yang tercantum dalam undang – undang
sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat
undang- undang (Soeroso, 2006:97).
Menurut Ridwan Halim (2005:81) penafsiran hukum ialah suatu
upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, dan menegaskan, baik
dalam arti memperluas maupun membatasi atau mempersempit pengertian hukum
yang ada, dalam rangka penggunaannya untuk memecahkan masalah atau
persoalan yang sedang dihadapi.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, penafsiran hukum sangat penting
mengingat isi undang-undang yang kadang tidak jelas susunan katanya, dan tidak
jarang mempunyai lebih dari satu arti. Oleh karena itu, penafsiran hukum terhadap
undang-undang merupakan suatu hal yang perlu dilakukan.
2. Metode-Metode Penafsiran Hukum
Terdapat beberapa metode penafsiran atau interpretasi hukum, antara lain
sebagai berikut:
a. Penafsiran Tata Bahasa (Grammatikal)

Penafsiran tata bahasa yang disebut juga penafsiran objektif merupakan


cara penafsiran yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-
undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya.
Ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Hal
ini tidak berarti bahwa hakim terikat erat pada bunyi kata-kata dari
undang- undang, penafsiran menurut bahasa ini juga harus logis.
4
Contohnya, pasal 372 kata “memiliki” dan “menggelapkan” dalam pasal 372 tidak
selalu mengandung sifat bermanfaat bagi diri pribadi. Perbuatan terdakwa tidak
merupakan penggelapan akan tetapi suatu kasus perdata.
b. Penafsiran Sahih (Autentik atau Resmi)
Penafsiran sahih atau autentik adalah penafsiran yang pasti terhadap arti
kata-kata sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang.
Contohnya, pada pasal 98 KUH Pidana : malam berarti waktu antara matahari

terbenam dan matahari terbit dan pada pasal 97 KUH Pidana : hari adalah waktu
selama 24 jam dan yang dimaksud dengan bulan adalah waktu selama 30 hari.
Penafsiran secara resmi berasal dari pembentuk undang-undang itu sendiri,
bukan dari sudut pelaksana hukum yakni hakim. Dalam penafsiran ini, kebebasan
hakim dibatasi.
c. Penafsiran Historis
Penafsiran historis merupakan penafsiran yang dilakukan dengan ketentuan
hukum yang didasarkan pada jalannya sejarah yang mempengaruhi pembentukan
hukum tersebut. Pewarisan historis terdiri atas dua macam, yaitu:
1) Sejarah hukum, yaitu suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memahami
undang-undang dalam konteks sejarah hukum. Pemikiran yang mendasari
ditetapkannya metode ini adalah anggapan bahwa setiap undang-undang selalu
merupakan reaksi dari kebutuhan sosial yang memenuhi pengaturan. Setiap
pengatur dapat dipandang sebagai langkah dalam perkembangan sosial masyarakat
sehingga langkah itu maknanya diketahui. Hal ini meliputi semua lembaga yang
terlibat dalam pelaksaaan undang-undang.
2) Sejarah undang-undang, yaitu penafsiran undang-undang dengan menyelidiki

perkembangan suatu undang-undang sejak dibuat, perdebatan-perdebatan yang


terjadi di legislatif, maksud ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk undang-
undang pada waktu pembentukkannya.
Contohnya, Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang
pembentukan perundang-undangan. Ketika dalam suatu materi undang-undang
membutuhkan interpretasi maka salah satu metode digunakan adalah metode
historis. proses pembentukan undang-undanga .5
d. Penafsiran Sistematis
Penafsiran sistematis merupakan penafsiran yang didasarkan
atas sistematika pengaturan hukum dalam berhubungannya antar pasal atau ayat
dari
peraturan hukum itu sendiri dalam mengatur masalahnya masing-masing.
Contohnya, jika hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan
diluar perkawinan oleh orang tuanya tidak cukup hanya mencari ketentuan-
ketentuan dalam KUHP perdata saja, tetapi harus dihubungkan dengan pasal 278

KUHP, yang berbunyi “barang siapa mengaku seorang anak sebagai


anaknya menurut KUHP perdata, padahal diketahui bahwa ia bukan bapak
dari anak
tersebut, diancam dengan...”
e. Penafsiran Nasional
Penafsiran nasional merupakan penafsiran yang menilik sesuai tidaknya
hukum yang berlaku. Contohnya, hak milik pasal 570 KUHS sekarang
harus ditafsirkan menurut hak milik sistem hukum Indonesia.
f. Penafsiran Teleologis atau Sosiologis
Penafsiran teleologis atau sosiologis merupakan penafsiran berdasarkan
maksud atau tujuan dibuatnya undang-undang tersebut, mengingat
kebutuhan manusia semakin meningkat dan selalu berubah menurut masanya,
sedangkan bunyi undang-undang tetap dan tidak berubah. Contohnya, di
Indonesia masih banyak peraturan yang berlaku dan berasal dari zaman
kolonial sehingga untuk menjalankan perarturan tersebut, hakim harus dapat
menyesuaikan dengan keadaan masyarakat pada saat sekarang ini.
g. Penafsiran Ekstensif (Luas)
Penafsiran eksternsif atau luas merupakan penafsiran yang
bersifat

memperluas isi pengertian suatu ketentuan hukum dengan maksud agar dengan
memperluas tersebut, hal-hal yang tadinya tidak termasuk dalam ketentuan hukum
tersebut dan belum ada ketentuan hukum lain yang mengaturnya, dapat dicakup
oleh hukum yang diperluas tersebut.
Contohnya, pada pasal 492 KUHP Pidana ayat (1) “barang siapa dalam
keadaan mabuk di muka umum merintangi lalu lintas, atau mengganggu ketertiban,
atau mengancam keamanan orang lain, atau melakukan suatu yang harus dilakukan
dengan hati-hati atau dengan mengadakan tindakan penjagaan tertentu lebih dahulu
agar jangan membahayakan nyawa atau kesehatan orang lain, diancam dengan
pidana kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus
tujuh puluh lima rupiah.
h. Penafsiran Restriktif
Penafsiran restriktif atau membatasi merupakan penafsiran yang membatasi

pengertian suatu ketentuan hukum dengan maksud agar dengan pembatasan


tersebut, ruang lingkup pengertian ketentuan hukum tersebut tidak lagi menjadi
terlalu luas sehingga kejelasan, ketegasan, dan kepastian hukum yang terkandung
didalamnya akan lebih mudah diraih.
Contohnya, menurut interpretasi grammatikal kata “tetangga” dalam pasal
666 KUHP Perdata dapat diartikan setiap tetangga termasuk seorang penyewa dari
perkarangan tetangga sebelah. Kalau tetangga ditafsirkan tidak termasuk tetangga
penyewa, ini merupakan interpretasi restriktif.
i. Penafsiran Analogis
Penafsiran analogis merupakan penafsiran yang memberikan tafsiran pada
peraturan hukum dengan mengibaratkan pada kata-kata tersebut sesuai dengan
hukumnya. Sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dimasukkan, lalu
dianggap sesuai dengan peraturan tersebut.
Contohnya, pasal 362 KUH Pidana yakni barang siapa “mengambil”
barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan
maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus

rupiah. Atas kasus pencurian menyambung aliran listrik, maka “menyambung”


aliran listrik dianalogikan atau dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik.
j. Penafsiran a Contrario
Penafsiran a Contrario merupakan penafsiran yang berdasarkan pengertian
atau kesimpulan yang bermakna sebaliknya dari isi pengertian ketentuan hukum
yang tersurat. Contohnya, pasal 34 KUH Perdata menyatakan bahwa
seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum waktu 300 hari
sejak saat perceraian. Apakah seorang laki-laki juga menunggu waktu 300 hari?
Berdasarkan metode a contrario maka dapat dikatakan bahwa ketentuan ini tidak
berlaku bagi seorang laki-laki, karena masalah yang dihadapi tidak diliputi atau
tidak termasuk
dalam pasal atau masalahnya berada di luar pasal 34 KUH Perdata. Pasal 34 KUH
Perdata tidak menyebutkan apa-apa tentang laki-laki tetapi khusus ditunjukkan
untuk wanita.
3. Cara Menerapkan Metode Penafsiran

Dalam melaksanakan penafsiran peraturan perundang-undangan pertama-


tama harus selalu dilakukan penafsiran grammatikal, karena pada hakikatnya untuk
memahami teks peraturan perundang-undangan harus dimengerti lebih dahulu arti
katanya. Apabila perlu dilanjutkan dengan penafsiran otentik atau penafsiran resmi
yang ditafsirkan oleh pembuat undang-undang itu sendiri. Kemudian dilanjutkan
dengan penafsiran historis, penafsiran sistematis, penafsiran nasional, penafsiran
teleologis atau sosiologis, penafsiran ekstensif, penafsiran restriktif, penafsiran
analogis dan penafsiran a contrario.
B. Pengisian Kekosongan Hukum
1. Hakim Memenuhi Kekosongan Hukum
Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan pada kenyataan
memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat peraturan perundang-undangan
tersebut dinyatakan berlaku namun hal-hal atau keadaan yang hendak diatur oleh
peraturan perundang-undangan tersebut justru sudah berubah. Selain itu,
kekosongan hukum dapat terjadi apabila hal-hal atau keadaan belum diatur dalam
peraturan perundang-undangan, atau sudah diatur dalam peraturan perundang-
undangan namun tidak jelas atau tidak lengkap.

Peraturan perundang-undangan yang berlaku disuatu negara dalam suatu


waktu tertentu merupakan suatu sistem yang formal sehingga sulit
untuk
mengubah atau mencabutnya, meskipun hal-hal atau keadaan masyarakat sudah
tidak sesuai lagi dengan peraturan perundang-undangan tersebut.
Penegakan dan penerapan hukum khususnya di Indonesia seringkali
menghadapi kendala dengan perkembangan masyarakat. Berbagai kasus yang
terjadi dimasyarakat, telah menggambarkan sulitnya penegak hukum atau aparat
hukum mencari cara agar hukum dapat sejalan dengan norma yang ada. Namun
perkembangan masyarakat lebih cepat daripada perkembangan peraturan
perundang-undangan. Kenyataannya hukum atau peraturan perundang-undangan
yang dibuat tidak mencakup seluruh masalah yang terjadi dalam masyarakat
sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Berkaitan dengan fenomena tersebut, hakim dituntut untuk memperbaiki
undang-undang tersebut, agar sesuai dengan kondisi riil (kenyataan) kehidupan

yang berkembang dalam masyarakat. Hakim sebagai pemegang


kekuasaan yudikatif berkewajiban memberikan pertimbangan dalam pelaksanaan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagai peraturan umum. Dalam memberikan
pertimbangan, adakalanya hakim menambahkan peraturan perundang-undangan,
maka hal ini berarti hakim memenuhi ruang kosong (leemten) dalam sistem bukum
formal dari Tata Hukum yang berlaku (Kansil, 1989:70). Hal ini mengandung
konsekuensi bahwa hakim dapat dan wajib memenuhi kekosongan yang terjadi
dalam sistem hukum, dengan catatan bahwa perubahan tersebut tidaklah membawa
perubahan yang mendasar (prinsipil) pada sistem hukum yang berlaku.
a. Konstruksi Hukum
Konstruksi hukum dapat dilakukan apabila suatu perkara yang diajukan
kapada hakim, namun tidak ada ketentuan yang mengatur perkara
tersebut meskipun telah dilakukan penafsiran hukum, sekalipun telah ditafsirkan
menurut bahasa, sejarah, sistematis dan sosiologis. Begitu juga apabila perkara
tersebut tidak terselesaikan oleh hukum kebiasaan atau hukum adat. Dalam hal itu,
hakim harus memeriksa kembali sistem hukum yang menjadi dasar lembaga
hukum tersebut, apabila dalam beberapa ketentuan mengandung kesamaan, maka
hakim

membuat suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) yang mengandung persamaan.


Membuat pengertian hukum adalah suatu perbuatan yang bersifat mencari
asas hukum yang menjadi dasar peraturan hukum yang bersangkutan,
adalah konstruksi hukum. Konstruksi hukum tidak dapat diadakan secara
sewenang- wenang, harus didasarkan atas pengertian hukum yang ada dan dalam
undang- undang yang bersangkutan. Konstruksi hukum tidak boleh didasarkan atas
analisir- analisir (elemen-elemen) yang diluar sistem materi positif
(Scholten, dalam Soeroso, 2006:111). Dalam kostruksi hukum terdapat tiga
bentuk yang meliputi analogi, penghalusan hukum dan argumentum a contrario.
1) Konstruksi Hukum atau Penafsiran Analogis
Penafsiran analogi dibutuhkan akibat perluasan hukum dengan
menyesuaikan tempat, waktu, dan situasi. Menganalogi merupakan penciptaan
konstruksi baru, mempunyai prinsip kesamaan permasalahan dengan analisir yang
berlainan. Pada prinsipnya analogi berlaku untuk masalah-masalah hukum perdata.

Sedangkan untuk hukum publik yang sifatnya memaksa tidak boleh dilakukan
analogi karena terikat pada pasal KUH Pidana. Pasal tersebut menegaskan, bahwa
seseorang tidak dapat dihukum, selain atas kekuatan ketentuan pidana
dalam undang-undang.
2) Penghalusan Hukum
Penghalusan hukum dalam bahasa Belanda disebut rechtsverfijning, yang
berasal dari kata fijn yang berarti halus. Menurut bahasa Inggris,
tindakan penghalusan hukum lazim disebutrefinement of the law. Penghalusan
hukum ialah memperlakukan hukum sedemikian rupa (secara halus) sehingga
seolah-olah tidak ada pihak yang disalahkan. Sifar dari penghalusan hukum
adalah tidak mencari kesalahan daripada pihak dan apabila suatu pihak
disalahkan maka akan timbul ketegangan. Namun Prof. Sudikno Mertokusumo
(2006:71) lebih memilih istilah penyempitan hukum. Penyempitan hukum bukan
merupakan argumentasi untuk membenarkan rumusan peraturan perundang-
undangan. Kalau tidak dirumuskan secara halus, maka rumusan dalam peraturan
perundang-undangan terlalu luas.
Berdasarkan tujuannya, hukum tidak boleh menyelesaikan suatu perkara
secara tidak adil atau tidak sesuai dengan realitas sosial. Namun kadang hakim

tidak dapat menerapkan suatu ketentuan tertulis karena jika diterapkan justru
menimbulkan ketidakadilan. Dalam hal ini, hakim terpaksa mengeluarkan perkara
tersebut dari lingkungan peraturan tadi, dan selanjutnya menyelesaikan perkara
menurut kaidah yang ia buat sendiri. Perbuatan mengeluarkan peraturan itulah
yang oleh Utrecht disebut penghalusan hukum. Contohnya, apabila terjadi tabrakan
antara motor dengan motor yang mengakibatkan keduanya mengalami kerusakkan
parah. Keduanya sama-sama salah dan harus membayar ganti rugi sehingga terjadi
suatu kompensasi.
3) Argumentum a Contrario (Pengungkapan secara Berlawanan)
Penafsiran a Contrario adalah penafsiran undang-undang yang didasarkan
atas pengingkaran artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan
soal yang diatur dalam suatu pasal dalam undang-undang.
bedasarkan pengingkaran ini ditarik kesimpulan bahwa masalah perkara yang
dihadapi tidak

termasuk pasal yang dimaksud, masalahnya berada diluar peraturan perundang-


undangan.
Penafsiran a contrario bertolak belakang dengan penafsiran analogis yang
juga merupakan suatu konstruksi hukum dengan maksud mengisi kekosongan
dalam sistem undang-undang. Berikut merupakan perbedaan antara penafsiran a
contrario dan penafsiran analogis.
No
Penafsiran Analogis Penafsiran a Contrario
.
1. Memperoleh hasil yang
posotif Memperoleh hasil yang negatif

2. Mempeluas berlakunya
ketentuan hukum atau Mempersempit berlakunya
peraturan perundang- ketentuan undang-undang.
undangan

Selain itu, ada beberapa persamaan antara penafsiran analogis


dengan penafsiran a contrario yaitu sebagai berikut :
a) Penggunaan undang-undang secara analogi dan argumentum a contrario sama-
sama berdasarkan konstruksi hukum,
b) Kedua cara tersebut sama-sama dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu
masalah,
c) Kedua cara tersebut sama diterapkan sewaktu pasal dalam peraturan perundang-
undangan tidak menyebut masalah yang dihadapi (terdapat leemten di
dalam peraturan perundang-undangan),
d) Maksud dan tujuan antara dua cara tersebut ialah sama untuk mengisi

kekosongan di dalam undang-undang.


Contohnya, Mochtar dan Arief Sidharta memberi contoh pajak bumi dan
bangunan (PBB). Dalam hal-hal tertentu si pemilik tidak mempunyai penghasilan
lain selain tanah dan bangunan. Tanah itu pun tidak bisa digarap karena ia sudah
tua. Mengharuskan ia membayar PBB akan menyebabkan ketidakadilan yang lebih

besar dibanding menerapkan undang-undang PBB secara kaku.


BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penafsiran hukum merupakan suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan,
menjela skan, dan menega skan, baik dalam arti memperluas
maupun mempersempit pengertian hukum yang ada, dalam rangka
penggunaannya untuk

memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi.


2. Penafsiran hukum memiliki beberapa metode yaitu : penafsiran tata bahasa
(garammatikal), penafsiran sahih (autentik/resmi), penafsiran historis, penafsiran
sistematis, penafsiran nasional, penafsiran teleologis/sosiologis, penafsiran
ekstensif (luas), penafsiran restriktif, penafsiran analogis, serta penafsiran
a contrario.
3. Hakim yang memegang kekuasaan yudikatif, ia berkewajiban memberikan
pertimbangan dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Dalam
memberikan pertimbangan, hakim dapat menambahkan peraturan perundang-
undangan. Hal ini berarti bahwa hakim memenuhi kekosongan hukum
dalam sistem hukum formal dari tata hukum yang berlaku.
4. Konstruksi hukum tidak boleh didasarkan atas analisir-analisir yang di
luar sistem materi positif. Konstruksi hukum terdapat tiga bentuk yang
meliputi analogi, penghalusan hukum dan argumentum a contrario.
B. Saran
Hakim merupakan pemegang kekuasaan yudikatif, ia memiliki tanggung
jawab untuk mempertimbangkan pelakasanaan peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu, diharapkan hakim untuk bersikap adil dan lebih bijak
dalam
is t
mmeeaahhaaddaapp s s uu kkaa
uuaa t rj uu i yyaanngg
i s r ee t aadd
t si aakkaa
dd mmaa yyaa
snngg aannppaa
i ili mmeemmaannddaanngg
. aappaa yyaanngg gg dd aadd nnyyaa
eedda
ann

DDAAFFTTAARR PPUUSSTTAAKKAA
Kansil, .SS. TT
.( 11998899
). PPeennggaannttaarr IIllmmuu HHuukkuumm. ddaann
J rt : l i
st TTaattaa
. HHuukkuumm IInnddoonneessiiaa aakkaa aa BBaa aa kkaa
Soeros C , .( 22000066
). . J IIllmmuu
PPeennggaannttaarr rt : i HHuukkuumm
r r fi . aakkaa aa SS nnaa GG aa
RozieC .( kkaa
). fsir . [ li ]. rs i : tt :// li -
r i 1111
PPuu . l s t. PPeennaa
/ / aann
/ fsirHHuukkuumm
- . t l [ OOnnt nnee
r ] TTee eedd aa hh
aa
Lapa nnaannddaa sr YYuu
.( ).
aann l i
22001122 AAnnaa oogg tr ddaann
ri . [ aali ].
CCoonn
rs i : aatt oo
://l i OOnn . nneer r ss. /t / t - str si- l s -
TTee eedd aa hh pp oogg kkaahhuukkuumm wwoo ddpp ee ccoomm aagg mmee
ooddee kkoonn[31 uukk
hukum-yaitu/ ppeenngghhaa
Oktober 2013] uu aann

Anda mungkin juga menyukai