Anda di halaman 1dari 13

PERAN, KUALIFIKASI, DAN PROFESIONALISME PENYULUH

Disusun Guna Memenuhi Mata Kuliah


Ilmu Penyuluhan

Dosen Pengampu
Dr.Agus Riyadi S,Sos.I. , M. S. I.

Disusun Oleh :

Aditya Firmansyah (1701046004)

PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM WALISONGO SEMARANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga
makalah ini dapat kami selesaikan. Makalah dengan judul “Peran, Kualifikasi, dan
Profesionalisme Penyuluh” ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Ilmu
Penyuluhan. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak
kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanya milik Allah
SWT, dan mengingat keterbatasan ilmu yang ada. Untuk itu dalam kesempatan ini kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi terwujudnya kesempurnaan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk, atau
pedoman bagi pembaca maupun penulis sendiri.

Pemalang, 1 April 2023


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa awal masuknya islam ke Indonesia penyebaran agama Islam dilaksanakan
oleh para pemuka agama yang menyampaikan langsung kepada masyarakat. Selain
berdakwah para pemuka agama juga menyampaikan masalah kemasyarakatan dan
memberikan bimbingan dalam kehidupan sehari-hari. Pemuka agama selaku pembimbing
masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat, sehingga apa yang dianjurkan dan dimintanya
biasanya dilaksanakan oleh masyarakat. Pada masa kemerdekaan Indonesia usaha bimbingan
kepada masyarakat terus dilaksanakan, baik berupa bimbingan keagamaan maupun
bimbingan dalam bidang kemasyarakatan dalam rangka membangun bangsa yang merdeka
dan sejahtera. Para pemuka agama yang menyelenggarakan bimbingan kepada masyarakat
diangkat oleh pemerintah sebagai penyuluh agama. Pada masa pembangunan dewasa ini
peran penyuluh agama sangat penting, mengingat beberapa hal pokok seperti pembangunan
memerlukan partisipasi seluruh anggota masyarakat dan umat beragama perlu dimotivasi
untuk berperan secara aktif menyelesaikan pembangunan, umat beragama merupakan salah
satu modal dasar pembangunan, agama merupakan motivator pembangunan, dan media
penyuluhan merupakan sarana dan modal penting dalam melaksanakan pendidikan agama.
Dengan kedudukan dan peran yang sangat penting di tengah masyarakat, serta mempunyai
posisi penting dalam pelaksanaan tugas pemerintah di bidang agama, maka sejak tahun 1999
diresmikan adanya Penyuluhan Agama Fungsional sebagai aparat resmi.1

1
Aep Kusnawan, “Urgensi Penyuluhan Agama”, Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 5 No. 17, 2011, h. 275.
B.Rumusan Masalah
1.Apa saja peran penyuluh dalam masyarakat?
2. Bagaimana kualifikasi penyuluh?
3. Bagaimana profesionalisme seorang penyuluh?

C. Tujuan
1. Mengetahui peran penyuluh dalam masyarakat.
2. Mengetahui kualifikasi penyuluh.
3. Mengetahui profesionalisme seorang penyuluh.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Peran Penyuluh dalam Masyarakat

Tugas penyuluh agama adalah melaksanakan bimbingan, penerangan, dan pengarahan


kepada masyarakat dalam bidang keagamaan maupun kemasyarakatan untuk lebih
meningkatkan pengetahuan masyarakat akan ajaran agama kemudian mendorong untuk
melaksanakannya dengan sebaik mungkin. Demikian juga dalam masalah kemasyarakatan,
mereka memberikan bimbingan dan dorongan agar masyarakat mengetahui apa yang harus
dilakukan dan diselenggarakan dalam kehidupan sehari-hari demi kemajuan dan
kesejahteraannya.2
Penyuluh agama mempunyai tugas untuk melakukan kegiatan bimbingan atau
penyuluhan agama dan pembangunan melalui bahasa agama (Keputusan Bersama Menteri
Agama RI Nomor 574 Tahun1999). Dengan demikian wilayah kerjanya tidak hanya aspek
agama, namun juga penyuluhan pembangunan. Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin
mengharap penyuluh agama dapat berperan sebagai juru penerang, pelita di tengah kegelapan
yang memberikan pencerahan dan mengajarkan kearifan bagi masyarakat sekitarnya
(Saifuddin, 2016:1). Bimas Islam Kementrian Agama RI memberi arahan, penyuluhagama
mempunyai tugas untuk melakukan pembimbingan yaitu membimbing, membina,
memberdayakan, dan mengembangkan umat (Editorial Bimas Islam, 2016: 5).3
Dilihat dari latar belakang pendidikan, penyuluh yang ada di Kemenag mempunyai
latar belakang bervariasi. Beberapa penyuluh mempunyai latar belakang yang kompeten.
Sebaian penyuluh agama honorer pada awalnya merupakan guru ngaji di satu lokasi yang
kemudian diberi honor dan diangkat oleh pemerintah sebagai bentuk penghargaan atas

2
Ibid, h. 272.
3
Pajar Hatma Indra Jaya, “Revitalisasi Peran Penyuluh Agama dalam Fungsinya sebagai Konselor dan
Pendamping Masyarakat”, Jurnal Bimbingan Konseling Islam Vol. 8 No. 2, 2017, h. 337.
kinerja dan amal mereka yang selama ini ikhlas mengajar di masyarakat. Ada juga penyuluh
agama yang ditokohkan oleh masyarakat bukan karena penunjukan atau pemilihan, apalagi
diangkat tangan suatu keputusan, akan tetapi dengan sendirinya menjadi pemimpin
masyarakat karena kewibawaannya.4

Berdasarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 97 tahun 1985 penyuluh


agama mempuyai tiga fungsi (trilogi), yaitu:

1. Fungsi informatif edukatif


Penyuluh memposisikan dirinya sebagai da’i yang berkewajiban mendakwahkan agama
islam, membina, masyarakat, dan memberi pesan agama sesuai dengan ajaran agama yang
bersandar pada Al-Qur’an dan sunah.

2. Fungsi konsultatif
Penyuluh menyediakan dirinya untuk memikirkan dan memecahkan masalah, baik
perorangan ataupun kelompok.

3. Fungsi advokatif
Penyuluh melakukan kegiatan pembelaan, pendampingan masyarakat dari segala bentuk
kegiatan yang akan merusak iman dan aturan agama.
Dilihat dari kiprah penyuluh agama secara umum, maka fungsi informatif edukatif
lebih dominan daripada dua fungsi yang lain. Peran dominan ini bisa dipahami karena pada
awalnya fungsi Guru Agama Honorer (GAH) hanya memberikan penerangan kepada
masyarakat yang disana tidak ada da’i lokal. GAH khusus difungsikan untuk meberikan
penerangan agama kepada kelompok masyarakat yang belum tersentuh oleh da’i pada
umumnya, seperti dakwah di panti sosial. Namun, jika melihat praktik sebagian besar
penyuluh agama saat ini, sebagian besar bekerja sebagai penyuluh di komunitas pengajiannya
masing-masing ataupun mengahdiri undangan pembinaan keagamaan dari kelompok
pengajian dan masyarakat.5
Penyuluh agama islam sebagai figur juga berperan sebagai pemimpin masyarakat,
sebagai imam dalam masalah agama dan masalah kemasyarakatan serta masalah kenegaraan
dalam rangka menyukseskan program pemerintah.

4
Ibid, h. 338.
5
Ibid, h. 441-342.
Dengan kepemimpinannya, penyuluh agama islam tidak hanya memberikan
penerangan dalam bentuk ucapan dan kata-kata, akan tetapi bersama- sama mengamalkan dan
melaksanakan apa yang dinjurkan. Keteladanan ini ditanamkan dalam kegiatan sehari-hari,
sehingga masyarakat dengan penuh kesadaran dan keikhlaskan mengikuti petunjuk dan
ajakan pemimpin.

B. Kualifikasi Penyuluh
Terdapat dua kategori penyuluh agama, yaitu:
1. Penyuluh agama fungsional, sebagai pegawai negeri yang mempunyai tugas khusus
penyuluhan.
2. Penyuluh agama honorer, diangkat dari tokoh-tokoh agama yang diminta
kesediaannya secara resmi untuk membantu pemerintah melaksanakan tugastugas
pembangunan dibidang agama dan kemasyarakatan lainnya.6

Untuk menjadi penyuluh yang baik, harus memenuhi kualifikasi yang baik, yaitu:
1. Kemampuan berkomunikasi: verbal dan media
2. Sikap positif: menghayati, meyakini, dan menyukai bidangnya
3. Kemampuan pengetahuan: isi, nilai-nilai, dan situasi serta kondisi masyarakat
4. Karakteristik sosial budaya

C. Profesionalisme Penyuluh
Profesionalisme mangandung pengertian kecakapan, keahlian, dan disiplin.
Profesionalisme penyuluh merupakan kualifikasi yang harus dimiliki oleh para penyuluh.
Secara profesional, penyuluh memiliki kualitas kemampuan untuk memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang baik terhadap masyarakat dan sistem sosialnya, dan mempunyai
kemampuan yang baik tentang proses produksi.7
Menurut Gilley dan Eggland (1989) pengertian profesional dapat didekati dengan
empat prespektif pendekatan, yaitu:

6
Aep Kusnawan, “Urgensi Penyuluhan Agama”, Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 5 No. 17, 2011, h. 278.
7
Sugeng Winaryanto, dkk. “Profesionalisme Penyuluh dan Hubungannya dengan Peran Penyuluh sebagai Agen
Pembaharu. Jurnal Sosiohumaniora”, Jurnal Sosiohumaniora Vol. 6 No. 1, 2004, h. 26.
1. Orientas filosofi
Ada tiga pendekatan dalam orientasi filosofi, yaitu:
a. Lambang keprofesionalan adalah adanya sertifikat, lissensi, dan akreditasi.
b. Pendekatan sikap individu, yaitu pengembangan sikap individual, kebebasan personal,
pelayanan umum, dan aturan yang bersifat pribadi.
c. Electic, yaitu pendekatan yang menggunakan prosedur, teknik, metode, dan konsep
dari berbagai sumber, sistem, dan pemikiran akademis.

2. Orientasi pengembangan
Orientasi pengembangan menekankan pada enam langkah pengembangan
profesionalisasi, yaitu:
a. Dimulai dari adanya asosiasi informal individu yang memiliki minat terhadap profesi
b. Identifikasi dan adopsi pengetahuan tertentu
c. Para praktisi biasanya terorganisasi secara formal pada suatu lembaga.
d. Penyepakatan adanya persyaratan profesi berdasarkan pengamalan atau kualifikasi
tertentu
e. Penentuan kode etk.
f. Revisi persyaratan berdasarkan kualifikasi tertentu dan pengalaman dilapangan.

3. Orientasi karakteristik
Ada delapan karakteristik pengembangan profesionalisasi, yaitu:
a. Kode etik
b. Pengetahuan yang terorganisir
c. Keahlian dan kompetensi yang bersifat khusus
d. Tingkat pendidikan minimal
e. Sertifikat keahlian
f. Proses tertentu sebelum memangku profesi untuk bisa memangku tugas dan tanggung
jawab
g. Kesempatan untuk penyebarluasan dan pertukaran ide diantara anggota
h. Adanya tindakan disiplin dan batasan tertentu jika terjadi malpraktek.
4. Orientasi non tradisional
Orientasi ini menyatakan bahwa seseorang dengan bidang ilmu tertentu diharapkan mampu
melihat dan merumuskan karakteristik yang unik dan kebutuhan dari sebuah profesi. Oleh
karena itu, perlu dilakukan identifikasi elemen penting untuk sebuah profesi, misalnya
pentingnya sertifikasi professional dan perlunya standarisasi profesi untuk menguji
kelayakannya dengan kebutuhsn lapangan.
Mardikanto (1992) menyebutkan beberapa kualitas profesional yang harus dimiliki penyuluh,
yaitu:
1. Memiliki sikap yang baik terhadap pekerjaan
2. Melakukan persiapan kajian lapang
3. Kesediaan untuk belajar
4. Penguasaan terhadap aspek teknis (inovasi) yang akan disuluhkan.

Menurut Martinez (1987), sejauh mungkin penyuluh adalah orang yang memiliki
perhatian, sifat pribadi, keterlatihan, kompetensi, strategi, dan kemampuan persuasi yang
tinggi dalam mempengaruhi perubahan sosial (pembaharuan). Penyuluh harus mempunyai
pengetahuan yang dibutuhkan, keterampilan, dan pengalaman untuk pertimbangan dia
sebagai sumber yang paling dipercaya dalam informasi teknis dan teknologi di pedesaan.

Sistem penyuluhan seharusnya berorientasi pada kegiatan mendalami dan


mengembangkan perubahan perilaku masyarakat dan merupakan proses pendidikan
berkelanjutan yang dilakukan dengan cara persuasif atau membujuk. Namun, hingga saat ini
tidak jarang berubah bentuk menjadi proses instruksi dengan cara paksaan. Hal ini terjadi
karena kegiatan penyuluhan dilakukan dengan cara berorientasi pada kepentingan sektoral
atau target pembangunan tertentu tanpa memikirkan kepentingan dan kesiapan khalayak
dalam menerima berbagai tawaran perubahan tersebut. Sistem penyuluhan yang berorientasi
pada keterpaduan dengan mengutamakan kepentingan khalayak sasaran penyuluhan
seharusnya dijadikan tolok ukur dalam merancang suatu program penyuluhan (Karsidi,
1999). Dalam hal ini etika penyuluhan (kode etik) merupakan suatu hal yang
perlu disepakati keberadaannya sehingga tidak semua orang atau semua pihak merasa mampu
melakukan penyuluhan. Lewat etika penyuluhan sekaligus dapat dipertemukan berbagai
kepentingan dengan beragam kepentingan khalayak sasaran penyuluhan. Dengan demikian
pendekatan pembangunan dari bawah (bottom up) dan pendekatan pembangunan dari atas
(top down) dapat dan mau dipertemukan dalam suasana keakraban. Oleh karenanya,
kerjasama antara pelaku pembangunan dan pelaku penyuluhan harus saling terkait dan saling
memerlukan.8

Kode etik penyuluhan akan berfungsi sebagai norma hukum dan sekaligus sebagai
norma kemasyarakatan. Oleh karenanya kelembagaan profesionalisme penyuluhanpun sangat
diperlukan untuk menghindari penyuluhan yang terkotak-kotak karena alasan struktur
birokratisasi atau kepentingan pembangunan sektoral. Untuk itu, maka setiap penyuluh dan
setiap kelembagaan penyuluhan tidak perlu harus memiliki sistem penyuluhan sendiri dengan
khalayak sasaran penyuluhan yang juga tersendiri. Dengan demikian maka tidak akan terjadi
kebingungan khalayak sasaran penyuluhan dalam menerima informasi yang dirancang dan
disampaikan dengan berbagai gaya dan kemasan yang tidak jarang mengakibatkan timbulnya
salah informasi dan salah pemikiran tentang makna informasi tersebut.

Profesionalisme penyuluhan juga harus didukung oleh kompetensi yang standar yang
harus dikuasai oleh para penyuluh professional. Salah satu dari kompetensi tersebut adalah
mempunyai kemampuan menggunakan teknologi informasi yang terus-menerus berkembang
sesuai dengan kemajuan dan kebutuhan masyarakat. Keahlian yang bersifat khusus, tingkat
pendidikan minimal, dan sertifikat keahlian haruslah dipandang perlu sebagai prasarat untuk
menjadi penyuluh professional. Selain itu, agar profesi penyuluhan dapat berkembang maka
evaluasi dan uji kelayakan profesi harus terus menerus dilakukan. Disinilah peran perguruan
tinggi dibidang penyuluhan dan ikatan penyuluh (Organisasi profesi penyuluhan, seperti
PAPPI) sangat penting. Kerjasama antara keduanya menjadi sangat diperlukan.

8
Dr. Ravik Karsidi, MS., “Peningkatan Profesionalisme dalam Penyuluhan”, 2000, h. 7.
Dengan demikian, maka pengembangan profesionalisme penyuluhan juga harus
mempersyaratkan hidup dan berperanannya organisasi profesi penyuluhan, sehingga terjadi
penyebarluasan dan pertukaran ide diantara anggota dalam menjaga kode etik dan
pengembangan profesi. Melalui cara demikian, maka tindakan penyuluhan akan sesuai
dengan bidang ilmu dari profesi penyuluhan dan mampu mengikuti tuntutan perkembangan
serta perubahan masyarakat penggunanya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tugas penyuluh agama adalah melaksanakan bimbingan, penerangan, dan pengarahan
kepada masyarakat dalam bidang keagamaan maupun kemasyarakatan untuk lebih
meningkatkan pengetahuan masyarakat akan ajaran agama kemudian mendorong untuk
melaksanakannya dengan sebaik mungkin. Demikian juga dalam masalah kemasyarakatan,
mereka memberikan bimbingan dan dorongan agar masyarakat mengetahui apa yang harus
dilakukan dan diselenggarakan dalam kehidupan sehari-hari demi kemajuan dan
kesejahteraannya.
DAFTAR PUSTAKA

Kusnawan, Aep. Urgensi Penyuluhan Agama. Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 5. 2011.

Jaya, Pajar Hatma Indra. Revitalisasi Peran Penuluh Agama dalam Fungsinya sebagai
Konselor dan Pendamping Masyarakat. Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Vol. 8. 2017.

Karsidi, Ravik, Dr. MS. Peningkatan Profesionalisme dalam Penyuluhan. 2000.

Azhari, Rafnel, dkk. Peran Penyuluh dalam Peningkatan Diversifikasi Pangan Rumah
Tangga.

Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 31. 2013.

Jabbar, Abd. Peran Penyuluh Agama dalam Pembinaan Jiwa Keagamaan Masyarakat di
Desa Pattalassang Kecamatan Pattalassang Kabupaten Gowa. 2013.

Muis, Dwi Utami. Peran Penyuluh Agama Islam dalam Mencegah Pernikahan Usia Dini di
Kelurahan Tolo Kecamatan Kelara Kabupaten Jeneponto. 2017.

Winaryanto, Sugeng, dkk. Profesionalisme Penyuluh dan Hubungannya dengan Peran


Penyuluh sebagai Agen Pembaharu. Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 6. 2004.

Anda mungkin juga menyukai