Anda di halaman 1dari 4

Pengaruh PMS Pada Emosional Remaja

Nada Fathiyyah Rani1


nadafathiyyahr@gmail.com
ABSTRAK
Menstruasi adalah gejala periodik pelepasan darah dan mukosa jaringan dari
lapisan dalam rahim melalui vagina. Menstruasi diperkirakan terjadi setiap bulan
selama masa reproduksi, dimulai saat pubertas (menarche) dan berakhir saat
menopause, kecuali selama masa kehamilan. Berdasarkan pengertian klinik,
menstruasi dinilai berdasarkan 3 hal : Siklus menstruasi, lama menstruasi, dan
jumlah darah yang keluar. Sindrom premenstruasi adalah kumpulan gejala tidak
menyenangkan berupa gejala fisik, emosional dan psikologis yang terkait dengan
siklus menstruasi wanita. Biasa muncul 7-14 hari sebelum haid. Gejala tersebut
akan menghilang setelah haid muncul beberapa hari (Nourjah, 2008 dalam
Nurmiaty dkk, 2011). PMS menimbulkan tanda gejala tidak hanya secara fisik
namun juga secara psikologis. Beberapa penelitian menemukan adanya
keterkaitan antara gangguan psikologis seperti depresi dan menstruasi yang
dialami oleh remaja. Sindrom pra menstruasi (PMS) yang dialami seseorang
terkadang mempengaruhi kecakapan seseorang dalam kehidupan sehari-hari
hingga mempengaruhi produktivitasnya, hal tersebut terjadi karena PMS
menimbulkan tanda gejala tidak hanya secara fisik namun juga secara psikologis.
Keyword: Pra-menstruation syndrome, PMS, Emosional, Remaja

Pendahuluan
Menstruasi adalah penumpahan lapisan uferus yang terjadi pada setiap
bulan yang berupa darah dan jaringan, juga perdarahan vagina secara berkala akibat
terlepasnya lapisan endometrium uferus. Kata menstruasi diambil dari kata menis,
Menis adalah istilah latin yang berarti bulan. Proses ini dimulai pada masa pubertas
ketika seseorang perempuan memproduksi cukup hormon tertentu. Menstruasi
merupakan sebuah perdarahan periodik pada uterus yang dimulai sekitar 14 hari
setelah ovulasi (lmam, 2010)
Pre Menstrual Syndrome (PMS) merupakan kumpulan gejala fisik,
psikologis, dan emosi yang terkait dengan siklus menstruasi wanita dan secara
konsisten terjadi selama tahap luteal dari siklus menstruasi akibat perubahan
hormonal yang berhubungan dengan siklus saat ovulasi (pelepasan sel telur dari
ovarium) dan menstruasi (Laili & Dewi, 2014). Penyebab dari adanya PMS ini
diperkirakan karena adanya efek progesteron dalam neurotransmitter seperti pada

1
Jurusan Kebidanan, Universitas Andalas, Indonesia.

1
seorotonin, opioid, katekolamin dan GABA (Gamma Aminobutyric Acid),
peningkatan sensitifitas akibat peningkatan level prolaktanin, resistensi insulin dan
defisiensi nutrisi (Kalium, Magnesium, dan B6) (Firoozi et.al., 2012).
Sepanjang periode menstruasi awal, gejala yang sering dialami remaja putri
adalah sakit kepala, sakit punggung, kejang dan sakit perut yang terkadang dapat
diikuti dengan gejala pingsan, mual, muntah, gangguan kulit, pembengkakan
tungkai kaki dan pergelangan kaki. Akibat timbul rasa lelah, tertekan, cemas, dan
mudah marah (Al-Mighwar, 2007). Berbagai gejala emosional yang paling umum
dialami wanita saat PMS salah satunya timbul suatu kecemasan ketika menghadapi
PMS (Laili & Dewi, 2014).

I. Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif. Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis di mana pada topik ini berdasarkan literature
review topik yang telah diteliti sebelumnya yaitu pencegahan masalah kesehatan ibu
dan anak pada pernikahan dini. Pendekatan deskriptif merupakan pendekatan
penelitian yang berdasarkan pada fakta yang ada. Penelitian ini tidak
mempertimbangkan benar ataupun salah.

II. Hasil
Pre-menstrual syndrome (PMS) adalah sekumpulan gejala yang tidak
menyenangkan, baik fisik maupun psikis, yang dialami oleh perempuan menjelang
masa haid, yaitu sekitar satu atau dua minggu sebelum haid (American Congress of
Obstetricians and Gynecologists/ACOG, 2016). Sindroma atau gejala PMS ini akan
hilang begitu haid mulai atau bahkan 1-2 hari menjelang menstruasi. Tidak ada tes
atau pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan lain yang dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosis PMS.2
Sebagian besar perempuan pernah mengalami satu atau beberapa gejala
yang umum disebutkan sebagai gejala PMS, walaupun tingkat keparahannya sangat
bervariasi, dari yang sangat ringan sampai sangat berat. Ada yang mengalaminya
sekali sekali saja, tidak setiap kali menjelang menstruasi. Ini tidak dapat
dikatagorikan sebagai PMS. Gejala tidak menyenangkan yang dialami menjelang
PMS baru dapat dikatorikan PMS, apabila Anda mengalaminya hampir setiap kali,
paling tidak tiga kali berturut-turut, sebelum masa menstruasi.3
Berdasarkan laporan WHO (World Health Organization), prevalensi PMS
cenderung lebih tinggi di beberapa negara Asia dibandingkan dengan negara-negara
Barat (Mohamadirizi & Kordi, 2013). Hasil penelitian American College
Obstetricians and Gynecologists (ACOG) di Sri Lanka tahun 2012, melaporkan

2
Ernawati Sinaga dkk. Manajemen Kesehatan Reproduksi (Jakarta: Global One: 2017), hal. 35.
3
Ibid.

2
bahwa gejala PMS dialami sekitar 65,7 remaja putri. Hasil studi Mahin Delara di
Iran tahun 2012, ditemukan sekitar 98,2% perempuan yang berumur 18-27 tahun
mengalami paling sedikit 1 gejala PMS derajat ringan atau sedang. Prevalensi PMS
di Brazil menunjukkan angka 39%, dan di Amerika 34% wanita mengalami PMS.
Prevalensi PMS di Asia Pasifik, di ketahui bahwa di Jepang PMS dialami oleh 34%
populasi perempuan dewasa, Hongkong 17%, Pakistan 13%, Australia 44%
perempuan dewasa (Basir dkk., 2011).
Kecemasan merupakan gejala yang tidak spesifik yang sering di temukan
dan sering kali merupakan suatu emosi yang normal. Remaja yang mengalami
pubertas akan lebih cepat murung, khawatir, cemas, marah, dan menangis hanya
karena hasutan yang sangat kecil (Al – Mighwar, 2007). Pada awal siklus
menstruasi, remaja akan lebih rentan untuk mengalami PMS. Hal ini dapat diperkuat
dengan adanya penurunan serotonin saat fase luteal yang dapat menstimulasi
gangguan mood (Firoozi et al., 2012). Selain itu, tingkat gangguan mood akan
cenderung meningkat dengan adanya perubahan hormon pada remaja (Anggrajani
& Muhdi, 2011).4
Gejala PMS dapat menjadi penyebab perubahan persepsi terhadap
menstruasi dan perubahan persepsi menstruasi tersebut dapat menyebabkan gejala-
gejala PMS dirasakan semakin berat. Penelitian lain mengungkapkan bahwa ada
korelasi negatif yang signifikan antara skor subskala depresi perasaan, kelelahan,
lekas marah, depresi pikiran dan skor total dalam penelitian. Sejalan dengan
penelitian tersebut, diungkapkan bahwa sikap seorang remaja terhadap menstruasi
berhubungan dengan gejala fisik, kognitif, perilaku, dan psikologis selama masa
pramenstruasi dan menstruasi.5
Saat mengalami Premenstrual Syndrome (PMS) terdapat gejala fisik dan
suasana hati yang dialami oleh remaja, yaitu malas beraktivitas dan sulit dalam
mengendalikan emosi. Emosi adalah suatu keadaan yang mencakup perubahan-
perubahan yang disadari, yang sifatnya berasal dari perubahan perasaan seseorang
(Manizar, 2016). Regulasi emosi sebagai salah satu pemikiran atau perilaku yang
dipengaruhi oleh emosi. Oleh karena itu, ketika mengalami emosi yang berlebihan,
seseorang seringkali tidak dapat berpikir positif dan tidak menyadari apa yang
mereka lakukan karena emosi berkaitan dengan bagaimana seseorang dapat
memahami dan mengendalikan pikiran, dan perilakunya dalam berbagai emosi, baik
negatif maupun positif. Jika seseorang dapat mengatur emosinya dengan baik, maka
dia akan dapat mengontrol emosinya. Hal ini membuat seseorang menjadi lebih
sensitif dan emosional ketika tingkat produksi estrogen pada wanita bervariasi, dan
salah satu fungsinya adalah untuk meningkatkan kadar serotonin dalam suasana hati
atau emosi. “Saat emosi tersebut datang kepada seseorang maka diperlukan
pengelolaan emosi dengan baik sehingga dapat berdampak positif dalam

4
Henny Susanti, dkk. Hubungan antara tingkat kualitas keparahan PMS dengan tingkat
kecemasan dan kualitas tidur pada remaja putri (Malang:2017) hal 24.
5
Ibid.

3
melaksanakan tugas, peka terhadap kata hati sehingga dapat mencapai tujuannya
“(Goleman, 2009).

III. Kesimpulan
Premenstrual syndrome (PMS) merapakan kumpulan gejala fisik,
psikologis dan emosi yang terkait dengan siklus menstruasi wanita; gejala
biasanyatimbul 6-10hari sebelum menstruasi dan menghilang ketika menstruasi
dimulai. Saat mengalami Premenstrual Syndrome (PMS) terdapat gejala fisik dan
suasana hati yang dialami oleh remaja, yaitu malas beraktivitas dan sulit dalam
mengendalikan emosi. Jika seseorang dapat mengatur emosinya dengan baik, maka
dia akan dapat mengontrol emosinya. Hal ini membuat seseorang menjadi lebih
sensitif dan emosional ketika tingkat produksi estrogen pada wanita bervariasi, dan
salah satu fungsinya adalah untuk meningkatkan kadar serotonin dalam suasana hati
atau emosi.

Daftar Pustaka
Sinaga, Ernawati, dkk. 2017. Manajemen Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Global
One.
Rahayu, Atika, dkk. 2017. Buku Ajar Kesehatan Reproduksi Remaja dan Lansia.
Surabaya: Universitas Airlangga Press.
Rodiani & Rusfiana, Annisa. 2016. HubunganPremenstrual Syndrome
(PMS)terhadap Faktor Psikologis pada Remaja
Saryono, Sejati, W. 2009. Sindrom Premenstruasi (1st ed.)". Yogyakarta: Nuha
Medika. Hal 7-8, hal 2-3, hal 21-22, dan hal 51-69.
Hasanah, H (2016). Pemahaman Kesehatan Reproduksi bagi Perempuan.
Ramadani, Mery. 2021. Premenstrual Syndrome (PMS), Volume 7 Nomor 1
Rianti, Dia. 2019. Hubungan antara Kecemasan dan Kadar Kortisol terhadap
Kejadian Premenstrual Syndrom.
Henny Susanti, dkk. 2017. Hubungan antara tingkat kualitas keparahan PMS dengan
tingkat kecemasan dan kualitas tidur pada remaja putri

Anda mungkin juga menyukai