Anda di halaman 1dari 16

Ketentuan Puasa

1.    Pengertian Puasa
Puasa merupakan terjemah dari shoum (bahasa Arab) yang berarti menahan diri dari sesuatu.
Sedangkan menurut istilah puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa
dimulai dari terbit fajar (subuh) sampai terbenam matahari (maghrib).
Pengertian puasa ini telah diterangkan dalam firman Allah surat Al-Baqarah (2) ayat 187:

Artinya:

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah
pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang
kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (Q.S Al-Baqarah [2]: 187)
Dalam Islam ada beberapa macam puasa, yang paling kita kenal adalah puasa Ramadhan. Puasa
Ramadhan hukumnya wajib bagi yang memenuhi syarat wajib. Kewajiban ini beradasarkan firman Allah:

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-
orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Q.S. Al-Baqarah [2]: 183)
Dalam ayat tersebut terkandung tujuan utama dari ibadah puasa, yakni supapa kita bertakwa kepada
Allah Swt.

2.    Rukun Puasa
Puasa merupakan ibadah mahdhah yang pelaksanaannya harus sesuai dengan apa yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Oleh karena itu, kita tidak boleh semaunya sendiri dalam mengerjakan
puasa agar ibadah puasa kita diterima oleh Allah Swt.
Rukun puasa sendiri hanya ada 2, yakni niat dan imsak. 
           a.    Niat
     Niat puasa yaitu adanya suatu keinginan di dalam hati untk menjalankan puasa semata-mata
mengharap ridha Allah swt, karena menjalankan perintah-Nya. Semua puasa, tanpa adanya niat maka
tidak bisa dikatakan sebagai puasa.
Kapankah kita berniat berpuasa?
     Untuk puasa wajib, maka kita harus berniat sebelum datang fajar, sebagaimana disabdakan oleh
Rasulullah saw: Barang siapa tidak berniat puasa sejak makam, maka ia tidak mempunya puasa (H.R. an-
Nasa’i)
          Sementara itu untuk puasa sunnah, kita di bolehkan berniat setelah terbit fajar, dengan syarat kita
belum melakukan perbuatan-perbuatan yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, berhubungan
suami istri, dan lain-lain. Hal ini didasarkan pada Hadist dari Aisyah r.a: “Pada suatu hari, Rasulullah sa
masuk ke rumah, kemudian bersabda, ‘apakah enkau mempunyai makanan?’ Aku enjawab, ‘Tidak’.
Rasulullah saw, bersabda ‘Kalau begitu, aku puasa.” (H.R. An-Nasa’i)

b.    Imsak
Kita sudah terlampau akrab dengan kata imsak, lebih-lebih ketika bulan Ramadhan. Banyak orang
memahami Imsak sebagai waktu menjelang fajar (subuh) dimana seorang muslim yang akan berpuasa
berhenti makan sahur. Padahal makna dari imsak tidaklah sesempit itu. Imsak yaitu menahan diri dari
hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, dan lain-lain dari mulai terbit fajar sampai
terbenam matahari. Jadi, waktu dimulainya puasa bukanlah pada saat sirine atau pengumuman imsak
disuarakan, tetapi dimulai ketika fajar (subuh). Tentang kenapa diperlukan sirine dan jadwal waktu
imsak itu supaya kita berhati-hati dan bersiap-siap karena sebentar lagi (sekitar 5 menit lagi) fajar akan
tiba.
3.    Syarat wajib puasa
Syarat wajib puasa adalah segala sesuatu yang menyebabkan seseorang diwajibkan melakukan puasa.
Muslim yang belum memenuhi syarat wajib puasa maka dia belum dikenai kewajiban untuk
mengerjakan puasa wajib. Tetapi tetap mendapatkan pahala apabila mau mengerjakan ibadah puasa.
Syarat wajib puasa adalah sebagai beriktu:
a.    Beragama Islam
b.    Berakal sehat
c.    Baligh
d.    Suci dari haid dan nifas (khusus bagi kaum wanita)
e.    Bermukim (tidak sedang bepergian jauh)
f.    Mampu (tidak sedang sakit)
      Apabila salah satu dari hal-hal di atas tidak ada pada seorang muslim, maka ia belum/tidak wajib
mengerjakan puasa wajib.

4.    Perbuatan yang disunnahkan ketika puasa


Puasa merupakan ibadah yang langsung untuk Allah swt. Oleh karena itu, sudah semestinya kita mengisi
waktu puasa kita dengan amalan-amalan tertentu agar upaya kita mendengatkan diri kepada Allah
dapat tercapai. Dalam sebuah hadist Qudsi berikut:
“Semua amal anak adam untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan
Akulah yang langsung membalasnya. Puasa itu ibarat perisai. Pada hari kalian puasa, janganlah
mengucapkan hata-kata kotor (tidak enak didengar) dan jangan (pla) bertengkar. Jika seseorang
encaimu atau mengajakmu bertengkar, maka katakan kepadanya: ‘aku sedang puasa (siyam)’.” (H.R.
Muslim)
            Adapun amalan sunnah saat berpuasa adalah sebagai berikut:
           a.    Menyegerakan berbuka
         Dari Annas r.a., ia berkata: “Rasulullah saw. Berbuka sebelum shalat (maghrib) dengan kurma,
kalau tidak ada kurma beliau minum air beberapa teguk.” (H.R. Abu Dawud)
          b.    Makan Sahur
         Meskipun misalkan kita kuat berpuasa tanpa diawali dengan makan sahur, tetapi karena makan
sahur telah dicontohkan oleh Rasulullah, semestinya kita tidak meremehkan/meninggalkan bersantap
sahur.
          Rasulullah bersabda:
         “Makan sahurlah kamu, karena sesungguhnya pada makan sahur itu terdapat berkah.” (H.R.
Bukhari)
          c.  Menggosok gigi pada waktu pagi.
          Rasulullah bersabda:
        “Jika kamu berpuasa, bersiwaklah pada waktu pagi dan jangan bersiwak pada waktu sore” (H.R. at-
Thabrani)
          d.  Membaca dan Mengkhatamkan Al-Qur’an
        Membaca al-Qur’an memang semestinya kita biasakan, lebih-lebih saat kita berpuasa sunnah atau
bahkan di bulan Ramadhan, dimana al-Qur’an diturunkan pada bulan ini. Allah berfirman:

 Artinya:

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Q.S. al-Baqarah [2]: 185) 
        e. Shalat Lail
        Shalat tarawih merupakan bagian dari shalat lail, yakni shalat yang waktu pelaksanaannya ba’da
shalat isya sampai sebelum fajar. Ada sebagian orang menganggap bahwa shalat tarawih itu wajib,
padahal hukumnya adalah sunnah, sebagaimana shalat lail yang lain, seperti witir, dan tahajut. Meski
begitu, sunnah shalat tarawih dan shalat lail yang lain adalah sunnah muakaddah, termasuk amalan yang
jarang sekali ditinggalkan oleh Rasulullah saw. 
          f. Memperbanyak doa
       Orang yang berpuasa ketika berbuka adalah salah satu orang yang doanya mustajab. Oleh karenanya
perbanyaklah berdoa ketika sedang berpuasa terlebih lagi ketika berbuka. Berdoalah untuk kebaikan diri
kita, keluarga, bangsa, dan saudara-saudara kita sesama muslim di belahan dunia.

g. Memberi buka puasa (tafthir shaim)


Hendaknya berusaha untuk selalu memberikan ifthar (berbuka) bagi mereka yang berpuasa walaupun
hanya seteguk air ataupun sebutir korma sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
"Barang siapa yang memberi ifthar (untuk berbuka) orang-orang yang berpuasa maka baginya pahala
seperti orang yang berpuasa tanpa dikurangi sedikitpun". (H.R. Bukhari Muslim) 
         h. Memperbanyak Sedekah
      Rasulullah Saw. Bersabda, yang artinya: “Sebaik-baik sedekah adalah sedekah pada bulan
Ramadhan” (HR. Tirmizi)

         i. I’tikaf
         I’tikaf adalah berdiam diri di masjid untuk beribadah kepada Allah. Rasulullah Saw. selalu beri’tikaf
terutama pada sepuluh malam terakhir dan para istrinya juga ikut I’tikaf bersamanya. Dan hendaknya
orang yang melaksanakan I’tikaf memperbanyak zikir, istigfar, membaca Al-Qur’an, berdoa, shalat
sunnah dan lain-lain.

         j. Umroh
       Ramadhan adalah waktu terbaik untuk melaksanakan umrah, karena umroh pada bulan Ramadhan
memiliki pahala seperti pahala haji bahkan pahala haji bersama Rasulullah Saw. Beliau bersabda:
“Umroh pada bulan Ramadhan seperti haji bersamaku." 
     
         h. Memperbanyak Amal Kebaikan
        Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi dikatakan bahwa amalan sunnah pada
bulan Ramadhan bernilai seperti amalan wajib dan amalan wajib senilai 70 amalan wajib di luar
Ramadhan. Oleh karena itu, raihlah setiap peluang untuk berbuat kebaikan sekecil apapun meskipun
hanya ‘sekedar’ tersenyum di depan orang lain. Ciptakanlah kreasi dan inovasi dalam berbuat kebaikan
agar saldo kebaikan kita terus bertambah. 

5.  Hal-hal yang Dapat Membatalkan Puasa


a. Makan dan minum dengan sengaja. Apabila makan dan minumnya karena lupa atau paksaan maka hal
itu tidak membatalkan puasa.
b. Muntah dengan sengaja. Apabila muntahnya tidak sengaja maka hal itu tidak membatalkan puasa.
c. Berniat berbuka puasa. Sekali berniat berbuka puasa meskipun buka puasa itu tidak dilaksanakan,
puasanya batal.
d.  Megalami haid atu nifas.
e.  Keluar air mani karena memeluk atau mencium isteri/suami atau bermasturbasi.
f.   Bersenggama.
g.  Hilang akal.
h.  Merubah niat.
6. Perbuatan Makruh Ketika Berpuasa.
Perbuatan makruh tidak membatalkan puasa, tetapi sepatutnya untuk dihindari, yaitu:
a. Mandi dengan mengguyur atau berendam. Kalau dalam mandi tersebut secara tidak sengaja tertelan
air, hal itu tidak membatalkan puasa.
b. Melakukan suntikan baik suntikan itu berupa obat atau makanan.
c. Bekam
d. Berkumur-kumur, sikat gigi setelah matahari tergelincir.
e. Memakai parfum
7. Orang yang diperbolehkan tidak berpuasa ramadhan dan cara menggantinya
       Agama Islam adalah agama yang mudah. Demikian juga dalam ketentuan kewajiban puasa. Dalam
Islam ada rukhsah (keringanan) bagi orang-orang yang dalam tertentu diperbolehkan tidak mengerjakan
puasa Ramadhan.  Hal ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an:

Artinya:

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, Maka itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 184)
      Ayat tersebut telah menerangkan orang-orang yang diperbolehkan tidak mengerjakan puasa
Ramadhan dan bagaimana cara menggantinya, yakni sebagai berikut:
a. Orang sakit. Sakit di sini adalah sakit yang apabila dia berpuasa akan mengakibatkan sakitnya tambah
parah. Ia dibolehkan untuk tidak berpuasa Ramadhan dan wajib mengqadha’ di hari lain di luar
Ramadhan sejumlah puasa yang telah ditinggalkan. Mengqadha’ (mengganti) puasa wajib dilakukan
setelah ia sembuh sebelum Ramadhan tahun berikutnya datang. Apabila belum bisa mengqadha’ hingga
Ramadhan berikutnya datang tanpa alasan yang bisa dimaklumi maka orang tersebut selain telah
berdosa, sebagian Ulama memerintahkannya untuk membayar kafarat dengan tetap mengqadha’ puasa
yang ditinggalkan.
b. Wanita yang menyusui dan hamil karena alasan kekhawatiran pada diri sendiri. Mereka dibolehkan
tidak berpuasa karena dapat digolongkan sebagai orang sakit. Orang hamil dan menyusui wajib
mengqadha atau membayar fidyah untuk mengganti puasa yang ditinggalkan.
d. Orang yang bepergian (musafir). Orang yang bepergian mendapat keringanan untuk tidak berpuasa,
tetapi juga harus mengganti di hari lain ketika tidak dalam perjalanan.
e. Orang yang sudah tua dan tidak mampu lagi berpuasa juga diberi keringanan tidak mengerjakan puasa
Ramadhan, dan ia diwajibkan menggantinya dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan sepuluh
orang miskin. 
          Lalu, berapa besar ukuran fidyah itu?
      Sebagian ulama seperti Imam As-Syafi`i dan Imam Malik menetapkan bahwa ukuran fidyah yang
harus dibayarkan kepada setiap satu orang fakir miskin adalah satu mud gandum sesuai dengan ukuran
mud Nabi SAW. Sebagian lagi seperti Abu Hanifah mengatakan dua mud gandum dengan ukuran mud
Rasulullah SAW atau setara dengan setengah sha` kurma/tepung atau setara dengan memberi makan
siang dan makan malam hingga kenyang.

B. Macam-macam Puasa
1.  Puasa wajib
a.  Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan adalah puasa wajib yang dikerjakan bagi setiap muslim pada bulan Ramadhan selama
sebulan penuh.
Allah SWT berfirman:
 Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-
orang sebelum kamu agara kamu bertaqwa. (Q.S. Al-Baqarah[2]: 183) 
Puasa Ramadhan juga termasuk dalam rukun Islam, sebagaimana tersebut dalam hadits Rasulullah yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a:
b.    Puasa Nadzar
Nadzar secara bahasa berarti janji. Puasa nadzar adalah puasa yang disebabkan karena janji seseorang
untuk mengerjakan puasa. Misalkan, Rudi berjanji jika nanti naik kelas 9 ia akan berpuasa 3 hari
berturut-turut, maka apabila Rudi benar-benar naik kelas ia wajib mengerjakan puasa 3 hari berturut-
turut yang ia janjikan itu.
Berkaitan dengan puasa nadzar, Rasulullah saw pernah bersabda:
Barangsiapa bernadzar akan mentaati Allah (mengerjakan perintahnya), maka hendaklah ia kerjakan.
(H.R. Bukhari)
c. Puasa Kafarat
Kafarat berasal dari kata dasar kafara yang artinya menutupi sesuatu. Puasa kafarat secara istilah artinya
adalah puasa untuk mengganti denda yang wajib ditunaikan yang disebabkan oleh suatu perbuatan
dosa, yang bertujuan menutup dosa tersebut sehingga tidak ada lagi pengaruh dosa yang diperbuat
tersebut, baik di dunia maupun di akhirat.
Ada beberapa macam puasa kaffarat, yakni sebagai berikut:
1)    Puasa kafarat dalam ibadah haji
Orang yang melakukan haji tamattuk dan qiran wajib membayar denda menyembelih seekor kambing
yang sah untuk berkurban. Tetapi jika ia tidak mampu maka bisa diganti dengan melakukan puasa
kafarat selama tiga hari di tanah suci dan tujuh hari di tanah asalnya.
2)    Kafarat karena meanggar sumpah.
Apabila seseorang berjanji maka wajib baginya untuk memenuhi janji itu. apabila janji itu dilanggar maka
ia akan berdosa dan karenanya diwajibkan membayar kafarat di antara tiga pilihan berikut:
a)    Memberi amkan sepuluh orang miskin seperti yang biasa dimakan setiap harinya;
b)    Memberi pakaian kepada orang miskin;
c)    Memerdekakan budak; atau,
d)    Puasa kafarat selama tiga hari.
2.    Puasa Sunnah
a.    Puasa enam hari di bulan Syawal.
Baik dilakukan secara berturutan ataupun tidak.
Rasulullah saw bersabda, yang artinya: Keutamaan puasa romadhon yang diiringi puasa Syawal ialah
seperti orang yang berpuasa selama setahun (HR. Muslim).
b.    Puasa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah
Yang dimaksud adalah puasa di sembilan hari yang pertama dari bulan ini, tidak termasuk hari yang ke-
10. Karena hari ke-10 adalah hari raya kurban dan diharamkan untuk berpuasa.
c.     Puasa hari Arafah
Yaitu puasa pada hari ke-9 bulan Dzuhijjah. Keutamaannya, akan dihapuskan dosa-dosa pada tahun lalu
dan dosa-dosa pada tahun yang akan datang (HR. Muslim). Yang dimaksud dengan dosa-dosa di sini
adalah khusus untuk dosa-dosa kecil, karena dosa besar hanya bisa dihapus dengan jalan bertaubat.
d.    Puasa Muharrom
Yaitu puasa pada bulan Muharram terutama pada hari Assyuro’. Keutamaannya puasa ini, sebagaimana
disebutkan dalam hadist riwayat Bukhari, yakni puasa di bulan ini adalah puasa yang paling utama
setelah puasa bulan Romadhon.
e.    Puasa Assyuro’
Hari Assyuro’ adalah hari ke-10 dari bulan Muharram. Nabi shalallahu ‘alaihi wasssalam memerintahkan
umatnya untuk berpuasa pada hari Assyuro’ ini dan mengiringinya dengan puasa 1 hari sebelum atau
sesudahnhya. Hal ini bertujuan untuk menyelisihi umat Yahudi dan Nasrani yang hanya berpuasa pada
hari ke-10. Keutamaan: akan dihapus dosa-dosa (kecil) di tahun sebelumnya (HR. Muslim).
f.    Puasa Sya’ban.
Yang dimaksud puasa Sya’ban adalah memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban. Keutamaan: Bulan ini
adalah bulan di mana semua amal diangkat kepada Rabb semesta alam (HR. An-Nasa’i & Abu Daud,
hasan).
g.    Puasa Senin dan Kamis.
Nabi telah menyuruh ummatnya untuk puasa pada hari Senin dan Kamis. Hari Senin adalah hari
kelahiran Nabi Muhammad sedangkan hari Kamis adalah hari di mana ayat Al-Qur’an untuk pertama
kalinya diturunkan. Perihal hari Senin dan Kamis, Rasulullah juga telah bersabda:
“Amal perbuatan itu diperiksa pada setiap hari Senin dan Kamis, maka saya senang diperiksa amal
perbuatanku, sedangkan saya sedang berpuasa. (HR Tirmidzi)
h.    Puasa Tengah Bulan (tiga hari setiap bulan Qamariyah).
Disunnahkan untuk melakukannya pada hari-hari putih (Ayyaamul Bidh) yaitu tanggal 13, 14, dan 15
setiap bulan qamariyah.
i.    Puasa Dawud
Cara mengerjakan puasa nabi Dawud adalah dengan sehari puasa sehari tidak puasa, atau selang-seling.
Puasa nabi Dawud adalah puasa yang paling disukali oleh Allah swt. (HR. Bukhari-Muslim).
3.    Puasa Makruh
Kapan puasa hukumnya makruh? Puasa yang makruh dilakukan adalah puasa pada hari Jumat dan Sabtu
yang tidak bermaksud mengqadha’ Ramadhan, membayar nadzar atau kafarat, atau tidak diniatkan
untuk puasa sunnah tertentu. Jadi seseorang yang puasa pada hari Jumat atau Sabtu dengan niat
mengqadha’ puasa Ramadhan tidak termasuk puasa makruh. Misal tanggal 9 Dzulhijjah jatuh pada hari
Sabtu maka puasa hari Sabtu pada waktu itu menjadi puasa sunnah bukan makruh. Ada pendapat lain
yang lebih keras bahkan menyatakan bahwa puasa pada hari Jumat tergolong puasa haram  jika
dilakukan tanpa didahului hari sebelum atau sesudahya. 
4.  Puasa Haram
Ada puasa pada waktu tertentu yang hukumnya haram dilakukan, baik karena waktunya atau karena
kondisi pelakukanya.
a.    Hari Raya Idul Fitri
Tanggal 1 Syawwal telah ditetapkan sebagai hari raya sakral umat Islam. Hari itu adalah hari
kemenangan yang harus dirayakan dengan bergembira. Karena itu syariat telah mengatur bahwa di hari
itu tidak diperkenankan seseorang untuk berpuasa sampai pada tingkat haram. Meski tidak ada yang
bisa dimakan, paling tidak harus membatalkan puasanya atau tidak berniat untuk puasa.
b.    Hari Raya Idul Adha
Hal yang sama juga pada tanggal 10 Zulhijjah sebagai Hari Raya kedua bagi umat Islam. Hari itu
diharamkan untuk berpuasa dan umat Islam disunnahkan untuk menyembelih hewan Qurban dan
membagikannya kepada fakir msikin dan kerabat serta keluarga. Agar semuanya bisa ikut merasakan
kegembiraan dengan menyantap hewan qurban itu dan merayakan hari besar.
c.    Hari Tasyrik
Hari tasyrik adalah tanggal 11, 12 dan 13 bulan Zulhijjah. Pada tiga hari itu umat Islam masih dalam
suasana perayaan hari Raya Idul Adha sehingga masih diharamkan untuk berpuasa. Pada tiga hari itu
masih dibolehkan utnuk menyembelih hewan qurban sebagai ibadah yang disunnahkan sejak zaman
nabi Ibrahim as.
d.    Puasa sepanjang tahun / selamanya
Diharamkan bagi seseorang untuk berpuasa terus setiap hari. Meski dia sanggup untuk mengerjakannya
karena memang tubuhnya kuat. Tetapi secara syar`i puasa seperti itu dilarang oleh Islam. Bagi mereka
yang ingin banyak puasa, Rasulullah SAW menyarankan untuk berpuasa seperti puasa Nabi Daud as
yaitu sehari puasa dan sehari berbuka.
C. Cara menentukan awal dan akhir Ramadhan:
Untuk menentukan awal Ramadhan, di antara kalangan muslim terjadi perbedaan pendapat. Tetapi
paling tidak, tiga cara berikut ini adalah cara-cara yang biasa digunakan, yakni:
1.  Dengan Melihat Bulan (Ru`yatul Hilal).
Yaitu dengan cara memperhatikan terbitnya bulan di hari ke 29 bulan Sya`ban. Pada sore hari saat
matahari terbenam di ufuk barat. Apabila saat itu nampak bulan sabit meski sangat kecil dan hanya
dalam waktu yang singkat, maka ditetapkan bahwa mulai malam itu, umat Islam sudah memasuki
tanggal 1 bulan Ramadhan. Jadi bulan Sya`ban umurnya hanya 29 hari bukan 30 hari. Maka ditetapkan
untuk melakukan ibadah Ramadhan seperti shalat tarawih, makan sahur dan mulai berpuasa. 

2. Menggunakan Metode Hisab.


Yaitu dengan cara menghitung peredaran bulan dan matahari menggunakan rumus-rumus ilmu falaq.
3. Istikmal.
Yaitu menggenapkan umur bulan Sya`ban menjadi 30 hari. Ikmal /istikmal ditempuh apabila pada
tanggal 29 Ramadhan bulan sabit tidak tampak karena tertutup awan atau karena memang belum
muncul.
Perintah untuk melakukan ru`yatul hilal dan ikmal ini didasari atas perintah Rasulullah SAW dalam hadits
riwayat Abu Hurairah r.a.:
"Puasalah dengan melihat bulan dan berfithr (berlebaran) dengan melihat bulan, bila tidak nampak
olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya`ban menjadi 30 hari." (HR. Bukhari dan Muslim). 

D. Mempraktekkan Puasa
Setelah kita tahu ilmu perihal puasa maka yang harus kita lakukan kemudian adalah mengamalkan ilmu
tersebut. Berpuasa pada hakikatnya tak sekadar menahan lapar dan haus, tetapi merupakan latihan kita
dalam menundukkan hawa nafsu.
          Barangkali untuk tahap awal kita hanya bisa mengerjakan puasa Ramadhan saja. Tetapi amal
ibadah kita harus kita tingkatkan. Kita sudah sepatutnya mengupayakan untuk juga mengerjakan puasa-
puasa sunnah seperti puasa Senin-Kamis, atau puasa setahun sekali pada tanggal 9 dzulhijjah, syukur-
syukur bisa mengerjakan puasa nabi Dawud yang tergolong puasa yang paling disukai Allah swt.
PUASA

Puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan segala sesuatu yang membatalkannya mulai dari terbit fajar
(Subuh) sampai terbenam matahari (Magrib).
Dalil puasa terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 183 – 185 yang artinya :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang
terdahulu dari kamu supaya kamu bertakwa, yaitu pada beberapa hari yang sudah ditentukan.
Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan, maka (puasalah) bilangan (yang tidak dipuasakan
itu) pada hari-hari yang lain.  Dan terhadap orang-orang yang sangat berat baginya mengerjakan puasa, wajib
membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin, dan barangsiapa yang dengan sukarela mengerjakan
kebaikan, maka itulah yang lebih baik baginya, dan puasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Barangsiapa yang menyaksikan di antara kamu bulan Ramadhan hendaklah dia memuasakannya dan barangsiapa
yang sakit atau dalam perjalanan, maka (puasakanlah) bilangan (yang tidak dipuasakan itu) pada hari-hari yang
lain.  Allah menghendaki kemudahakan bagi kamu dan Dia tidak menghendaki kesualitan bagi kamu, dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangan (harinya) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang telah diberikan kepadamu dan supaya kamu bersyukur.

Kewajiban Puasa Tidak Berlaku Bagi Orang Muslim Dalam Keadaan :

 Masih anak-anak, tetapi baik berpuasa untuk proses belajar untuk membiasakan diri melaksanan
kewajiban.

 Dalam keadaan sakit kronis yang membahayakan bila berpuasa.  Baginya wajib meng-qadha pada hari lain
ketika sudah sembuh.  Jika sakitnya menahun dan sulit untuk sembuh, maka wajib membayar fidyah  yaitu
memberi makan orang miskin dan orang yang membutuhkan sebanyak hari puasa yang ditinggalkan.

 Dalam keadaan sakit mental/ingatan.  Baginya tidak wajib mengganti pada hari lain.

 Perempuan dalam keadaan hamil atau menyusui.  Baginya boleh berpuasa boleh tidak.  Apabila tidak
berpuasa diwajibkan mengganti pada hari lain atau membayar fidyah.

 Perempuan yang sedang haid atau nifas, dilarang berpuasa tetapi wajib mengganti pada hari lain.

 Orang yang dalam perjalanan.  Baginya boleh berpuasa atau tidak.  Apabila tidak berpuasa wajib
menggantinya pada hari lain.

Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa 


- Makan dan minum dengan segaja (bukan karena lupa
- Melakukan hubungan suami istri
- Keluar mani dengan disengaja
- Muntah dengan disengaja
- Haid dan nifas
- Hilang akal (gila)
- Murtad (keluar dari Islam)
- Berniat sengaja akan membatalkan puasa
- Orang yang batal puasa karena hal-hal di atas, wajib menggantinya sebanyak hari puasa yang   ditinggalkan.
- Orang yang betal puasa karena berhubungan suami istri, maka kifarahnya adalah:
o Memerdekakan budak
o Puasa selama dua bulan terus menerus atau
o Memberi makan 60 orang miskin

Hal-Yang Yang Diperbolehkan / Tidak Membatalkan Waktu Puasa 


- Keluar mani tidak disengaja baik karena mimpi atau alasan lain.
-Menyiram air ke kepala atau menyelam karena kehausan dan kepanasan.
- Memakai celak (pemoles bibir mata) atau obat tetes mata.
- Mencium dan bercengkrama dengan istri atau suami.
- Berbekam, pengobatan dengan cara mengeluarkan darah kotor (sebagian ulama menganggap batal)
- Injeksi atau suntikan (sebagian ulama menganggap batal)
- Berkumur-kumur dan memasukkan air ke rongga hidung (waktu berwudhu) asal tidak berlebihan
- Hal-hal yang tidak dapat dihindari seperti menalan ludah, menghisap debu di jalan, tepung dan lain-lain.
-Menangguhkan mandi besar bagi yang junub hingga waktu subuh
-Menangguhkan waktu mandi bersuci dari haid dan nifas hingga waktu subuh
-Menggosok gigi dengan pasta gigi
Puasa Sunnah
- 6 hari pada bulan Syawal (setiap tahun).  Keutamaannya sama dengan puasa seumur hidup.
- 3 hari putih (ayyaamu al-baudh) yaitu tanggal 13, 14, 15 atau 14, 15, 16 setiap bulan pada kalender hijriah.
Keutamannya sama dengan puasa seumur hidup.
- Senin dan Kamis sesuai sunnah Nabi Muhammad SWA.  Karena amalan-amalan diangkat ke langit pada hari Senin
dan Kamis.
- Hari Arafah (9 Dzulhijjah).  Keutamaannya dapat menghapus dosa-dosa kecil selama 2 tahun sebelumnya.
- Hari Asyura (10 Muharam).  Keutamaannya dapat menghapus dosa-dosa kecil selama setahun sebelumnya.
- Puasa Nabi Daud berselang sehari.  Inilah puasa yang paling utama.
- Memperbanyak puasa sunnah pada bulan Syahban.

Puasa Haram
- Puasa hari raya Idul Fitri (1 Syawal) atau Idul Adha (10 Dzulhijah)
- Puasa pada hari Tasriq (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijah)
Puasa Makruh
- Hanya berpuasa sunnah pada hari Jum’at saja.
- Puasa sunnah terus menerus (tidak berbuka) bukan karena nazar.
- Sebelum tibanya bulan Ramadhan (sehari atau dua hari) untuk menyambut kedatangannya.
- Berpuasa hanya pada hari Sabtu.
Tingkatan Orang Berpuasa :
Shaum Umum ►  dapat mencegah dari makan dan minum dan apa yang membatalkannya.
Shaum Khusus ►  dapat mencegah pendengaran, penglihatan, dan perasaan dari perbuatan dosa.
Shaum Sangat Khusus ►  dapat mencegah hati keinginan rendah, memikirkan duniawi, dan tujuan-tujuan lain
selain keridhaan Allah
 
ZAKAT
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat
Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi
syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti sholat, haji, dan puasa yang telah
diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah. Zakat juga merupakan amal sosial kemasyarakatan
dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia dimana pun
dia berada.

Apa saja macam-macam Zakat?


Zakat terdiri dari 2 macam :

1. Zakat fitrah adalah Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan
Ramadan. Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter (2,5 kilogram) makanan pokok yang ada di
daerah bersangkutan.
2. Zakat maal (harta) adalah Zakat hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil
ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya sendiri-
sendiri.

Siapa saja yang berhak menerima Zakat?


Yang berhak menerima Zakat menurut kaidah Islam terdiri dari 8 macam :

1. Fakir : Orang yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
pokok hidup.
2. Miskin : Orang yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk
hidup.
3. Amil : Orang yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Mu'allaf : Orang yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri
dengan keadaan barunya.
5. Hamba sahaya : Orang yang ingin memerdekakan dirinya
6. Gharimin : Orang yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk
memenuhinya
7. Fisabilillah : Orang yang berjuang di jalan Allah.
8. Ibnus Sabil : Orang yang kehabisan biaya di perjalanan.

Dari ulasan di atas kita bisa menyimpulkan dan menyadari sendiri, apakah kita wajib membayar Zakat
atau mungkin menerima Zakat. Dan perlu kita ingat bahwa tidak ada hal baik yang tidak mempunyai
hikmah atau balasan dari Allah SWT. Dengan memenuhi kewajiban kita sebagai umat islam untuk
membayar Zakat, tentu saja akan mendapat hikmah atau manfaat di antaranya yang bisa di ambil dari
ulasan di atas :

 Bisa mempererat tali persaudaraan antara yang miskin dan yang kaya
 Membuang perilaku buruk dari seseorang
 Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan seseorang
 Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan
 Untuk pengembangan potensi ummat
 Memberi dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam
 Menambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi ummat.

Membayar Zakat juga harus memperhatikan siapa yang menerima Zakat atau mungkin yang mengurusi
Zakat ( Amil ). Kita harus benar-benar memahami siapa saja yang berhak menerima Zakat dan jangan
sampai kita salah memberikan Zakat.
Pengertian zakat

Zakat ( Bahasa Arab : ‫ ;ﺯﻛﺎﺓ‬transliterasi: Zakah )


adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam
dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya).
Zakat merupakan rukun ketiga dari Rukun Islam. Zakat dari segi prakteknya
adalah kegiatan bagi-bagi yang diwajibkan bagi umat islam.

Sejarah zakat

Setiap muslim diwajibkan memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah SWT.
Kewajiban ini tertulis di dalam Alquran .
Pada awalnya, Alquran hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian yang
sifatnya
bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk
membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M.
Nabi Muhammad SAW melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bertingkat
bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin.

Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam negara-


negara Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada
kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat tersebut.
Pada zaman khalifah , zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan didistribusikan kepada
kelompok tertentu dari masyarakat.
Kelompok itu adalah orang miskin, janda, budak yang
ingin membeli kebebasan mereka, orang yang
terlilit hutang dan tidak mampu membayar.
Syari’ah mengatur dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus
dibayarkan.

Yang berhak menerima


Ada delapan pihak yang berhak menerima zakat, tertera dalam Surah at-Taubah ayat 60 yakni :

1. Fakir
Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok
hidup.
2. Miskin
Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar
untuk hidup.
3. Amil
Mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Mu’allaf
Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan
keadaan barunya.
5. Hamba sahaya
Budak yang ingin memerdekakan dirinya
6. Gharimin
Mereka yang berhutang untuk
kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk
memenuhinya.
7. Fisabilillah 
Mereka yang berjuang di jalan Allah (misal: dakwah, perang dsb).
8. Ibnus Sabil
Mereka yang kehabisan biaya
di perjalanan

Yang tidak berhak menerima

1. Orang kaya dan orang yang masih memiliki tenaga.


2. Hamba sahaya yang masih mendapat nafkah atau tanggungan dari tuannya.
3. Keturunan Rasulullah ( ahlul bait ).
4. Orang yang dalam tanggungan dari orang
yang berzakat, misalnya anak dan istri .

Hukum zakat

Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya
syariat Islam .
Oleh sebab itu hukum zakat
adalah wajib ( fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti salat ,


haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah.
Zakat juga merupakan sebuah kegiatan sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat
berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia dimana pun.

Zakat dalam Al Qur’an

1. QS (Al-Baqarah (2):43) “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-
orang yang ruku”.
2. QS (At-Taubah (9):35)
” Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi
mereka, lambung dan punggung mereka (lalu
dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu
sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu “.
3. QS (At-Taubah (9):103)
” Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
menyucikan mereka “.
4. QS (6: 141)
” Dan Dialah yang menjadikan
kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima
yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari
buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya (dengan disedekahkan
kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang yang berlebih-lebihan “.

Jenis-jenis zakat

Zakat terbagi atas dua jenis yakni:


1. Zakat fitrah
Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan suci Ramadan .
Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter ( 2,7 kilogram ) makanan pokok yang ada di daerah
bersangkutan.
2. Zakat maal (harta)
Zakat yang dikeluarkan seorang muslim yang mencakup hasil perniagaan, pertanian,
pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta
temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.
A- Pengertian Akidah Akhlak

Menurut bahasa, kata aqidah berasal dari bahasa Arab yaitu [ ‫ َع ْق ًد‬-ُ‫يَ ْعقِد‬-َ‫ ] َعقَد‬artinya adalah mengikat
atau mengadakan perjanjian. Sedangkan Aqidah menurut istilah adalah urusan-urusan yang
harus dibenarkan oleh hati dan diterima dengan rasa puas serta terhujam kuat dalam lubuk jiwa
yang tidak dapat digoncangkan oleh badai subhat (keragu-raguan). Dalam definisi yang lain
disebutkan bahwa aqidah adalah sesuatu yang mengharapkan hati membenarkannya, yang
membuat jiwa tenang tentram kepadanya dan yang menjadi kepercayaan yang bersih dari
kebimbangan dan keraguan.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa aqidah adalah dasar-dasar


pokok kepercayaan atau keyakinan hati seorang muslim yang bersumber dari ajaran Islam yang
wajib dipegangi oleh setiap muslim sebagai sumber keyakinan yang mengikat.

Sementara kata “akhlak” juga berasal dari bahasa Arab, yaitu [‫ ]خلق‬jamaknya  [‫]أخالق‬ yang
artinya tingkah laku, perangai tabi’at, watak, moral atau budi pekerti. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, akhlak dapat diartikan budi pekerti, kelakuan. Jadi, akhlak merupakan sikap
yang telah melekat pada diri seseorang dan secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku
atau perbuatan. Jika tindakan spontan itu baik menurut pandangan akal dan agama, maka disebut
akhlak yang baik atau akhlaqul karimah, atau akhlak mahmudah. Akan tetapi apabila tindakan
spontan itu berupa perbuatan-perbuatan yang jelek, maka disebut akhlak tercela atau akhlakul
madzmumah.

B. Dasar Akidah Akhlak

Dasar aqidah akhlak adalah ajaran Islam itu sendiri yang merupakan sumber-sumber hukum
dalam Islam yaitu Al Qur’an dan Al Hadits. Al Qur’an dan Al Hadits adalah pedoman hidup
dalam Islam yang menjelaskan kriteria atau ukuran baik buruknya suatu perbuatan manusia.
Dasar aqidah akhlak yang pertama dan utama adalah Al Qur’an dan. Ketika ditanya tentang
aqidah akhlak Nabi Muhammad SAW, Siti Aisyah berkata.” Dasar aqidah akhlak Nabi
Muhammad SAW adalah Al Qur’an.”

Islam mengajarkan agar umatnya melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk.
Ukuran baik dan buruk tersebut dikatakan dalam Al Qur’an. Karena Al Qur’an merupakan
firman Allah, maka kebenarannya harus diyakini oleh setiap muslim.

Dalam Surat Al-Maidah ayat 15-16 disebutkan yang artinya “Sesungguhnya telah datang
kepadamu rasul kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan
dan banyak pula yang dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahayadari Allah dan
kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-
orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan izinNya, dan menunjuki
meraka ke jalan yang lurus.”

Dasar aqidah akhlak yang kedua bagi seorang muslim adalah AlHadits atau Sunnah Rasul. Untuk
memahami Al Qur’an lebih terinci, umat Islam diperintahkan untuk mengikuti ajaran Rasulullah
SAW, karena perilaku Rasulullah adalah contoh nyata yang dapat dilihat dan dimengerti oleh
setiap umat Islam (orang muslim).

C. Tujuan Akidah Akhlak

Aqidah akhlak harus menjadi pedoman bagi setiap muslim. Artinya setiap umat Islam harus
meyakini pokok-pokok kandungan aqidah
akhlak tersebut. Adapun tujuan aqidah akhlak itu adalah :

a) Memupuk dan mengembangkan dasar ketuhanan yang sejak lahir. Manusia adalah makhluk
yang berketuhanan. Sejak dilahirkan manusia terdorong mengakui adanya Tuhan. Firman Allah
dalam surah Al-A’raf ayat 172-173 yang artinya “Dan (Ingatlah), ketika Tuhanmu menguluarkan
kehinaan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka, seraya berfirman: “Bukankah Aku ini Tuhanmu? “, mereka menjawab: “Betul (Engkau
Tuhan kami), kami jadi saksi” (Kami lakukan yang demikian itu), agar dihari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(Keesaan tuhan)” atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah
mempersekutukan Tuhan sejak dulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang
(datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan
orang-orang yang sesat dahulu?” Dengan naluri ketuhanan, manusia berusaha untuk
mencari tuhannya, kemampuan akal dan ilmu yang berbeda-beda memungkinkan manusia akan
keliru mengerti tuhan. Dengan aqidah akhlak, naluri atau kecenderungan manusia akan
keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa dapat berkembang dengan benar

b) Aqidah akhlak bertujuan pula membentuk pribadi muslim yang luhur dan mulia. Seseorang
muslim yang berakhlak mulia senantiasa bertingkah laku terpuji, baik ketika berhubungan
dengan Allah SWT, dengan sesama manusia, makhluk lainnya serta dengan alam lingkungan.
Oleh karena itu, perwujudan dari pribadi muslim yang luhur berupa tindakan nyata menjadi
tujuan dalam aqidah akhlak.

c) Menghindari diri dari pengaruh akal pikiran yang menyesatkan. Manusia diberi kelebihan oleh
Allah dari makhluk lainnya berupa akal pikiran. Pendapat-pendapat atau pikiran-pikiran yang
semata-mata didasarkan atas akal manusia, kadang-kadang menyesatkan manusia itu sendiri.
Oleh karena itu, akal pikiran perlu dibimbing oleh aqidah akhlak agar manusia terbebas atau
terhindar dari kehidupan yang sesat.

Aqidah adalah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan yang pasti wajib dimiliki
oleh setiap orang di dunia. Alquran mengajarkan akidah tauhid kepada kita yaitu menanamkan
keyakinan terhadap Allah SWT yang satu yang tidak pernah tidur dan tidak beranak-pinak.
Percaya kepada Allah SWT adalah salah satu butir rukun iman yang pertama. Orang yang tidak
percaya terhadap rukun iman disebut sebagai orang-orang kafir.

Akhlak adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji atau akhlakul
karimah maupun yang tercela atau akhlakul madzmumah. Allah SWT mengutus Nabi Muhammd
SAW tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki akhlaq. Setiap manusia harus
mengikuti apa yang diperintahkanNya dan menjauhi laranganNya.
Akidah adalah gudang akhlak yang kokoh. Ia mampu menciptakan kesadaran diri bagi manusia
untuk berpegang teguh kepada norma dan nilai-nilai akhlak yang luhur. Akan tetapi sebaliknya,
akidah-akidah hasil rekayasa manusia berjalan sesuai dengan langkah hawa nafsu manusia dan
menanamkan akar-akar egoisme dalam sanubarinya.
Akhlak mendapatkan perhatian istimewa dalam akidah Islam.
Rasulullah saww bersabda:
‫ب ُِع ْث ُ ُأل‬
ِ َ‫ار َم اَْأل ْخال‬
‫ق‬ ِ ‫ت ِ تَ ِّم َم َم َك‬
(Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia).
Dalam hadis lain beliau bersabda: “Akhlak yang mulia adalah setengah dari agama”.
Salah seorang sahabat bertanya kepada belaiu: “Anugerah apakah yang paling utama yang
diberikan kepada seorang muslim?” Beliau menjawab: “Akhlak yang mulia”.

Islam menggabungkan antara agama yang hak dan akhlak. Menurut teori ini, agama
menganjurkan setiap individu untuk berakhlak mulia dan menjadikannya sebagai kewajiban
(taklif) di atas pundaknya yang dapat mendatangkan pahala atau siksa baginya. Atas dasar ini,
agama tidak mengutarakan wejangan-wejangan akhlaknya semata tanpa dibebani oleh rasa
tanggung jawab. Bahkan agama menganggap akhlak sebagai penyempurna ajaran-ajarannya.
Karena agama tersusun dari keyakinan (akidah) dan perilaku. Dan akhlak mencerminkan sisi
perilaku tersebut.
Imam Baqir a.s. berkata:
‫ِإ َّن َأ ْك َم َل ْال ُمْؤ ِمنِ ْينَ ِإ ْي َمانًا َأحْ َسنُهُ ْم ُخلُقًا‬
(Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang paling mulia akhlaknya).
Seseorang datang kepada Rasulullah saww dari arah muka dan bertanya: “Wahai Rasulullah,
apakah agama itu?” Rasulullah saww menjawab: ”Akhlak yang mulai”. Kemudian laki-laki itu
mendatangi beliau dari arah kiri dan bertanya: “Apakah agama itu?” Beliau menjawab: “Akhlak
yang mulia”. Lalu laki-laki itu mendatangi beliau dari arah kanan dan bertanya: “Apakah agama
itu?” “Akhlak yang mulia”, jawab beliau untuk yang ketiga kalinya. Akhirnya lali-laki itu
mendatangi beliau dari arah belakang dan bertanya: “Apakah agama itu?” Rasulullah saww
menoleh kepadanya dan bersabda: “Apakah kau tidak memahami agama? Agama adalah
hendaknya engkau jangan suka marah”.
Amirul Mukminin a.s. berkata:
‫ص ِح ْيفَ ِة ْال ُمْؤ ِم ِن ُحسْنُ ُخلُقِ ِه‬َ ُ‫ُع ْن َوان‬
(Sifat utama seorang mukmin adalah kemuliaan akhlaknya).
Allamah Thabathaba’i menulis: “Akhlak tidak akan dapat membahagiakan sebuah masyarakat
dan mengarahkan manusia untuk memperbaiki amalnya kecuali jika akhlak itu bersandar kepada
tauhid. Yaitu keyakinan bahwa alam semesta, termasuk manusia memiliki Tuhan Yang Esa dan
abadi yang segala sesuatu tidak tersembunyi dari ilmu-Nya dan tidak ada kekuatan lain yang
dapat menundukkan kekuasaan-Nya. Ia mencipatakan segala sesuatu dengan aturan yang terbaik,
tidak karena Ia butuh kepadanya. Ia akan membangkitkan mereka kembali dan menghisabnya.
Setelah itu, Ia akan memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik karena perbuatan baik
(yang pernah ia kerjakan di dunia) dan menyiksa orang yang berbuat jelek karena kejelekan
(yang pernah perbuat di dunia). Kemudian mereka akan kekal dalam nikmat atau siksa.
Dan jelas, jika akhlak berlandaskan kepada akidah semacam ini, maka tugas manusia hanyalah
mengharapkan keridlaan Allah dalam segala tingkah lakunya. Taqwa adalah faktor penolak
internal bagi manusia dari mengerjakan dosa. Seandainya akhlak tidak bersandarkan kepada
akidah ini (akidah tauhid), niscaya tujuan utama manusia dalam setiap tingkah lakunya adalah
berfoya-foya dengan kenikmatan dunia yang fana dan tenggelam dalam lautan kehidupan materi.
Akidah-akidah yang memiliki paham Atheisme dengan persepsinya yang memusnahkan rasa
ketergantungan manusia kepada Penciptanya yang maha sempurna dan rasa bertanggungjawab
kepada-Nya, sebenarnya akidah-akidah tersebut telah memusnahkan satu sumber utama nilai-
nilai akhlak (dalam kehidupan manusia), dan ia tidak akan mampu menemukan sumber lain
sekuat sumber itu sebagai gantinya.
Akhlak adalah satu kebutuhan vital masyarakat. Akhlak adalah pengaman dari berkobarnya api
kejahatan yang sudah lama tersimpan dalam diri manusia. Atas dasar ini, membangun sebuah
masyarakat tanpa didukung oleh tuntunan-tuntunan akhlak bagaikan membangun sebuah
bangunan di atas tumpukan pasir.
Amirul Mukminin a.s. berkata:
ِ َ‫ار َم اَْأل ْخال‬
‫ فَِإنَّهَا ِم َّما تَدُلُّ َعلَى َسبِي ِْل‬،‫ق‬ ْ ‫ لَ َكانَ يَ ْنبَ ِغ ْي لَنَا َأ ْن ن‬،‫لَوْ ُكنَّا الَ نَرْ جُوْ َجنَّةً َوالَ ن َْخ َشى نَارًا َوالَ ثَ َوابًا َوالَ ِعقَابًا‬
َ ُ‫َطل‬
ِ ‫ب َم َك‬
‫اح‬
ِ ‫الن َج‬ َّ
(Apabila kita tidak mengharap surga dan tidak takut neraka, dan tidak mengharap pahala dan
siksa, maka sepatutnya kita mencari akhlak yang mulia. Karena akhlak mulia dapat menunjukkan
kepada kita jalan keselamatan).

Metode Akidah dalam Membentuk Manusia Berakhlak

Akhlak memperoleh perhatian khusus dalam ajaran-ajaran akidah Islam. Dengan ini, dalam
usaha membentuk manusia berakhlak mulia dan terselamatkan dari dekadensi moral, akidah
mengikuti metode-metode yang beraneka ragam demi mencapai hal itu. Metode-metode tersebut
antara lain:
1. Menjanjikan Pahala Ukhrawi bagi Orang yang Berakhlak Mulia.
Akidah menjanjikan pahala yang besar dan derajat yang tinggi di akhirat kelak bagi orang yang
berakhlak mulia, dan siksa yang pedih bagi orang yang berakhlak tidak terpuji dan menyembah
hawa nafsunya.
Rasulullah saww bersabda:
‫ض ِعيْفُ ْال ِعبَا َد ِة‬ ِ ‫ف ْال َمن‬
َ َ‫َاز ِل َوِإنَّهُ ل‬ ِ ‫ت ْاآل ِخ َر ِة َو َش َر‬
ِ ‫ِإ َّن ْال َع ْب َد لَيَ ْبلُ ُغ بِ ُح ْس ِن ُخلُقِ ِه َع ِظ ْي َم َد َر َجا‬
(Seorang hamba dengan akhlaknya yang mulia bisa mencapai derajat akhirat yang agung dan
tempat yang mulia kendatipun sedikit ibadahnya).
Dalam hadis yang lain beliau bersabda:
‫ق يَ ْبلُ ُغ َد َر َجةَ الصَّاِئ ِم ْالقَاِئ ِم‬ ِ ُ‫ِإ َّن َح َسنَ ْال ُخل‬
(Orang yang berakhlak terpuji dapat menyamai derajat orang yang berpuasa dan shalat malam).
Beliau berwasiat kepada Bani Abdul Muthalib:
‫ط ِع ُموا الطَّ َعا َم َوطَيِّـبُوا ْال َكالَ َم تَ ْد ُخلُوا ْال َجنَّةَ بِ َسالَ ٍم‬ ْ ‫صلُوا اَْألرْ َحا َم َوَأ‬ ِ ‫ َأ ْف ُشوا ال َّسالَ َم َو‬،‫ب‬ ِ ِ‫يَا بَنِي عَب ِد ْال ُمطَّل‬
(Wahai Bani Abdul Muthalib, sebarkanlah salam, sambunglah tali kekerabatan, berilah makan
(kepada orang-orang fakir) dan bertutur katalah yang baik, niscaya kalian akan masuk surga
dengan selamat).

Beliau juga bersabda:


‫ْث ال َّش ْمسُ ْال َجلِ ْي َد‬
ُ ‫ْث ْالخَ ِطيَْئةَ َك َما تُ ِمي‬
ُ ‫ق ْال َح َسنَ يُ ِمي‬
َ ُ‫ِإ َّن ْال ُخل‬
(Akhlak yang terpuji dapat mencairkan kejelekan sebagaimana matahari mencairkan es).
Imam Ash-Shadiq a.s. juga berkata: “Sesungguhnya Allah SWT akan memberikan pahala
kepada hambanya karena
akhlaknya yang terpuji seperti
Ia memberi pahala kepada
seorang mujahid di jalan
Allah”.
Menjelaskan Efek-efek
Duniawi Akhlak.
Seseorang yang berakhlak
terpuji akan mampu
beradaptasi dengan
sesamanya, hidup bahagia,
tentram dan melangkah
dengan mantap. Adapun orang
yang tidak memiliki nilai dan prinsip-prinsip moral, ia akan jatuh dalam jurang kegelapan, hidup
dalam kecemasan dan kebingungan sehingga dirinya tersiksa, tidak disenangi oleh sesamanya
dan akhirnya akan terjerumus ke dalam jurang kesesatan yang tidak memiliki akibat yang terpuji.
Rasulullah saww bersabda:
َ‫ِّت ْال َم َو َّدة‬ ِ ُ‫ُحسْنُ ْال ُخل‬
ُ ‫ق يُثَب‬
(Akhlak yang terpuji dapat melanggengkan kecintaan).
Imam Ali a.s. berkata:
... ‫اق‬ ِ َ‫ق ُكنُوْ ُز اَْألرْ ز‬ ِ َ‫َوفِي َس َع ِة اَْأل ْخال‬
(...Dan dalam akhlak yang mulia tersembunyi simpanan-simpanan rizki).
Imam Ash-Shadiq a.s. berkata:
‫اخ ُش ْن‬ ْ َ‫ َوِإ ْن ِشْئتَ َأ ْن تُهَانَ ف‬،‫وَِإ ْن ِشْئتَ َأ ْن تُ ْك َر َم فَلِ ْن‬
(Jika engkau ingin dihormati, maka berlemah lembutlah dan jika kau ingin dihina, maka
bersikaplah kasar).

Anda mungkin juga menyukai