Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH PSIKOLOGI FORENSIK

PSIKOLOG SEBAGAI SAKSI AHLI DAN MALINGERING


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Forensik

Dosen Pengampu:
Dr.phil. Dian Veronika Sakti Kaloeti, S.Psi., M.Psi.

Disusun Oleh:
Kelompok 6
Aloysius Adriputratama (15000119130264)
Audrey Larasati Putrinima (15000119130155)
Cynthia Clara Putri (15000119130167)
Fadilla Risa Damayanti (15000119140091)
Fitria Maulida (15000119130099)
Patricia Olivia (15000119130165)
Reynata Aurelie Putri R. (15000119130215)
Syiffani Gita Ramadhan (15000119130089)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan rahmatnya yang telah
diberikanNya atas kemudahan dan kelancaran bagi penulis dalam menyusun makalah Psikologi
Forensik dengan judul “Psikolog sebagai Saksi Ahli dan Malingering” sehingga dapat
terselesaikan dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu
mata kuliah Psikologi Forensik yaitu Dr.phil. Dian Veronika Sakti Kaloeti, S.Psi., M.Psi. 
Kami juga menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna dan kekurangan di
dalamnya. Maka dari itu, penulis mengharapkan adanya kritik maupun saran dari pembaca yang
bersifat membangun agar makalah ini nantinya dapat lebih baik lagi. Sekian dari penulis dan
apabila terdapat kekurangan dari makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, kritik
dan saran sangat terbuka untuk menyempurnakan makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat. 

Semarang, 2 Maret 2022

Penyusun

1
DAFTAR ISI

BAB I 3
PENDAHULUAN 3
LATAR BELAKANG 3
RUMUSAN MASALAH 4
TUJUAN 4
BAB II 5
PEMBAHASAN 5
DEFINISI SAKSI AHLI 5
TANTANGAN SAKSI AHLI 5
KREDIBILITAS SAKSI AHLI 7
KRITIK BAGI PSIKOLOG SEBAGAI SAKSI AHLI 8
SYNDROME EVIDENCE 10
CONTOH KASUS 20
CONTOH VIDEO KASUS PSIKOLOG SEBAGAI SAKSI AHLI 21
BAB III 24
PENUTUP 24
KESIMPULAN 24
SARAN 24
DAFTAR PUSTAKA 25

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kasus pidana maupun perdata yang diproses dalam pengadilan memerlukan
adanya bukti yang konkret untuk mendukung persidangan. Untuk dapat menemukan
bukti tersebut, pihak penggugat maupun tergugat dapat menghadirkan saksi ahli untuk
mendukung argumentasi mereka. Saksi ahli adalah seseorang yang memiliki pengetahuan
atau pengalaman khusus, dimana pengetahuan dan pengalaman tersebut seringkali tidak
tersedia dalam pengadilan (Canter, 2010).
Saksi ahli yang dapat dihadirkan salah satunya adalah psikolog forensik. Dalam
persidangan, psikolog forensik biasanya dipanggil oleh pengacara ataupun jaksa untuk
memberikan keterangan sebagai saksi ahli di dalam persidangan yang berguna untuk
menjelaskan analisis perkara yang terjadi dalam perspektif psikologi (dalam Kaloeti,
Indrawati, & Alfaruqy, 2019). Psikolog forensik sebagai saksi ahli memiliki keahlian
spesifik dalam kasus hukum dibandingkan dengan psikolog pada umumnya. Misalnya di
lembaga pemasyarakatan (lapas) dibutuhkan kemampuan terapi psikologi klinis, dalam
penggalian kesaksian dibutuhkan pemahaman psikologi kognitif, pada penanganan kasus
yang melibatkan anak-anak dibutuhkan pemahaman psikologi perkembangan, dan dalam
menjelaskan relasi antara hakim, pengacara, saksi, dan terdakwa dibutuhkan pemahaman
tentang psikologi sosial. Psikolog forensik harus memiliki pemahaman yang luas tentang
semua mekanisme hukum dan prosedural agar kredibilitasnya tetap terjaga (Sopyani &
Edwina, 2021)
Kontribusi keterangan psikolog forensik dalam pemeriksaan perkara pidana, baik
terhadap korban maupun pelaku tindak pidana berperan penting dalam menentukan
adanya kesalahan dan sifat melawan hukumnya perbuatan. Dalam kasus kejahatan
tertentu, diperlukan pemeriksaan psikolog forensik, baik terhadap pelaku maupun korban
untuk menentukan hakikat dari perbuatan dan akibatnya. Eksistensi keterangan psikolog
forensik berkorelasi dengan penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana
(Ohoiwutun & Surjanti, 2018).

3
Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis melihat pentingnya peran psikolog
forensik sebagai saksi ahli dalam suatu persidangan. Oleh karena itu, penulis tertarik
membuat makalah berjudul “Psikolog Sebagai Saksi Ahli dan Malingering”.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan saksi ahli?
2. Apa saja tantangan saksi ahli?
3. Bagaimanakah kredibilitas saksi ahli?
4. Apa saja kritik psikolog sebagai saksi ahli?
5. Apa yang dimaksud dengan syndrom evidence?
6. Bagaimana contoh kasus psikolog sebagai saksi ahli dan malingering?
7. Bagaimana contoh kasus psikolog sebagai saksi ahli dan malingering dalam
video?

C. TUJUAN
1. Menjelaskan yang dimaksud dengan saksi ahli.
2. Menjelaskan tantangan saksi ahli.
3. Menjelaskan kredibilitas saksi ahli.
4. Menjelaskan Kritik psikolog sebagai saksi ahli.
5. Menjelaskan yang dimaksud dengan syndrom evidence.
6. Menjelaskan contoh kasus psikolog sebagai saksi ahli dan malingering.
7. Menjelaskan contoh kasus psikolog sebagai saksi ahli dan malingering dalam
video.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI SAKSI AHLI


Canter (2010) menjelaskan bahwa seorang saksi ahli adalah seseorang yang
memiliki pengetahuan atau pengalaman khusus, dimana pengetahuan dan pengalaman
tersebut seringkali tidak tersedia dalam pengadilan. Saksi ahli adalah saksi seperti setiap
individu yang bersaksi dalam pengadilan dan memberikan bukti. Namun, status mereka
sebagai seorang ‘ahli’ memungkinkan mereka untuk menyampaikan lebih dari sekedar
sebuah pernyataan, tapi fakta-fakta yang diketahui oleh sang ahli. Saksi ahli, dapat
memberikan interpretasi dari fakta-fakta yang ada, sesuai dengan bidang keahliannya.
Martone et al. (dalam Shipley, 2012) mendefinisikan saksi ahli sebagai individu
yang merupakan sebuah hasil dari pendidikan, profesi, juga pengalaman yang dianggap
memiliki pengetahuan khusus mengenai sebuah subjek, lebih dari pengetahuan rata-rata
orang, sehingga tidak sedikit individu yang mengandalkan pendapat saksi ahli.
Dari kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa saksi ahli adalah seseorang
yang memiliki pengetahuan atau pengalaman khusus, lebih dari pengetahuan rata-rata
individu pada umumnya, dimana saksi ahli dapat memberikan interpretasi dari fakta yang
sudah tersedia, sesuai dengan bidang keahliannya.

B. TANTANGAN SAKSI AHLI


Sebelum melakukan penelitian forensik, seorang psikolog maupun ilmuwan
psikologi forensik harus memahami psikologi dan hukum, yang mana kedua ilmu ini
memiliki budaya yang berbeda (Constanzo, dalam Probowati, 2006). Perbedaan ilmu
psikologi dan hukum dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Weiner & Heis, 2005):

Dimensi Psikologi Hukum

Epistemologi Usaha terus-menerus untuk Kebenaran ditentukan oleh


mencapai kebenaran. Bias advokasi yang penuh
yang terjadi pada teori semangat tentang fakta

5
diasumsikan dapat menjadi kuat sesuai dengan hukum
kebenaran jika ada yang berlaku (advokasi)
penelitian replikasi, kritik,
dan persaingan teori secara
terus menerus (objektif).

Pengetahuan Berdasarkan nomotetik Berdasarkan idiografik atau


atau pada data normatif detail kasus dengan kasus
yang diperoleh lewat lain yang disusun logika
metode penelitian yang dengan dukungan argumen
sesuai (empiris) hukum (rasional)

Metodologi Kontrol melalui desain Analisis pada sebuah kasus


eksperimen dan statistik (metode kasus)
(eksperimen)

Ruang gerak di peradilan Terbatas dan sangat Tidak terbatas, yang


dibatasi membatasi adalah aturan
dan prosedur pengadilan

Berikut tantangan psikolog atau ilmuwan psikologi sebagai saksi ahli:


a. Cross Examination
Pemeriksaan silang merupakan tantangan yang sangat berat bagi psikolog yang
menjadi saksi ahli, sebab saksi akan dicecar oleh pihak oposisi. Dalam beberapa
kasus, publikasi ilmiah saksi dapat dicecar oleh pengacara yang bersangkutan
sehingga mampu mematahkan kesaksian saksi dalam persidangan.
b. Opposing Expert
Pertentangan antar pakar umumnya memakan biaya dan waktu yang lebih banyak
dalam persidangan. Bahkan tidak jarang, masing-masing ahli telah bersepakat
dalam suatu kasus sehingga keberadaan saksi ahli lainnya dianggap tidak perlu
dihadirkan.

6
c. Judicial Instruction
Instruksi peradilan yang diberikan oleh hakim terkadang menjadi tantangan bagi
saksi ahli sebab kemungkinan dapat salah diinterpretasi oleh hakim dan
menyebabkan adanya bias saat berdiskusi.

C. KREDIBILITAS SAKSI AHLI


Psikolog forensik dalam menjalankan peran sebagai saksi ahli di persidangan
dipandang memiliki sumber informasi yang dapat membantu dalam memutus suatu
perkara dalam penegakkan pengadilan. Saksi ahli atau expert witness dikatakan sebagai
individu yang karena pendidikan serta pengalaman spesialiasinya memiliki pengetahuan
yang superior mengenai suatu topik dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki
pengalaman atau latihan, sehingga tidak bisa memberikan pendapat yang akurat atau
menarik kesimpulan yang tepat (Sadarjoen, 2020).
Seseorang dapat menjadi saksi ahli apabila memiliki keahlian khusus di bidangnya
baik dari pendidikan formal atau pun nonformal serta nantinya pertimbangan hakim
berdasarkan pertimbangan hukum yang akan menyatakan seseorang dapat menjadi saksi
atau tidak (Soni & Sudyana, 2020). Keterangan saksi ahli akan sangat berguna untuk
berjalannya persidangan dan akan menjadi pertimbangan hakim dalam pertimbangan
keputusan. Huss (dalam Kaloeti, Indrawati, & Alfaruqy, 2019) menyatakan bahwa
terdapat beberapa faktor pembentuk kredibilitas dan tingkat kepercayaan individu
menjadi saksi ahli, yaitu jenjang pendidikan, kepakaran, publikasi ilmiah, jam terbang
dalam melakukan proses forensik serta telah terbiasa dan tenang dalam melewati proses
persidangan, serta gestur nonverbal serta cara berpakaian.
Debra Shinder (dalam Soni & Sudyana, 2020) menyatakan beberapa faktor serta
kriteria yang harus dimiliki oleh seorang saksi ahli, yaitu :
1. Memiliki gelar pendidikan tinggi atau pelatihan di bidang tertentu
2. Memiliki spesialisasi tertentu
3. Pengakuan sebagai guru, dosen, atau pelatih di bidang tertentu
4. Lisensi profesional

7
5. Ikut dalam keanggotan suatu organisasi profesi
6. Publikasi artikel
7. Sertifikasi teknis
8. Penghargaan dan pengakuan
Huss (dalam Kaloeti, Indrawati, & Alfaruqy, 2019) berpendapat bahwa terdapat
juga beberapa faktor yang membuat kredibilitas seorang ahli diragukan yaitu adanya
kurang pengetahuan terhadap kasus yang diperkarakan, membicarakan hal yang tidak
relevan serta adanya inkonsistensi dalam memberikan kesaksian dalam persidangan yang
sama atau persidangan sebelumnya, serta bentuk publikasi ilmiah saksi.

D. KRITIK BAGI PSIKOLOG SEBAGAI SAKSI AHLI


Psikolog forensik yang berperan sebagai saksi ahli kerap kali berhadapan dengan
isu-isu kritis yang merupakan bagian integral dari konflik antara psikologi dan hukum.
Sebagai seorang saksi ahli, psikolog forensik diperhadapkan pada isu-isu kritis yang
sering dijumpai. Berikut merupakan isu-isu kritis dalam praktik psikologi forensik
sebagai saksi ahli (Huss dalam Kaloeti, Indrawati, & Alfaruqy, 2019) :
a. Pengambilan Alih Persidangan
Psikolog yang bertugas sebagai saksi ahli dalam proses persidangan terkadang
berujung mengambil alih persidangan. Pengambilan alih dalam proses sidang
berupa tindakan psikolog yang melewati tugasnya dan mendorong pengambilan
keputusan berdasarkan pertimbangan psikologis. Padahal keputusan akhir ada di
ranah hukum. Tindakan pengambilalihan ini kerap kali membuat citra psikolog
sebagai saksi ahli menjadi negatif karena sidang harus tetap berada dalam jalur
legal.
b. Kesaksian mengenai Pendapat Utama (Ultimate Opinion)
Ultimate opinion memiliki arti bahwa hanya hakim atau juri yang berhak
membuat pendapat bersifat yuridis dan diakhiri keputusan utama. Psikolog
sebagai saksi ahli hanya dapat menyampaikan pendapat tentang keadaan mental,
motif, kepribadian, inteligensi, dan domain psikologis lainnya. Biasanya saksi ahli
diberikan kesempatan dalam memberikan kesimpulan saja dan pembuatan
keputusan merupakan bagian hakim atau juri. Tindakan psikolog berupa

8
memberikan keputusan tersebut menjadi kritik bagi para psikolog dalam
persidangan.
c. Kecurangan dalam Ilmu Pengetahuan (Corruption of Science)
Pihak pengadilan atau kejaksaan dapat menugaskan psikolog forensik untuk
menjadi saksi ahli dan dapat juga dipekerjakan oleh pengacara. Sehingga
pemberian kesaksian oleh psikolog cenderung bias, tergantung pada pihak mana
yang mengundangnya sebagai saksi ahli. Bias yang disampaikan psikolog sebagai
saksi ahli dapat didukung oleh berbagai kebohongan ilmiah. Terdapat beberapa
faktor pemicu kecurangan ilmiah pada psikolog forensik sebagai saksi ahli, yaitu
(Huss dalam Kaloeti, Indrawati, & Alfaruqy, 2019):
1) Insentif
Pemberian insentif pada psikolog sebagai saksi ahli tidak memiliki
batasan, sehingga pemberian insentif yang berlebih sering dikaitkan
dengan suap supaya psikolog dapat bersaksi sesuai dengan pihak yang
memanggilnya.
2) Hubungan psikolog di luar persidangan (Extra-forensic Relationship)
Hubungan atau kekerabatan yang terjalin dapat membuat psikolog
memberikan kesaksian yang bias atau tidak sesuai dengan keadaan asli.
3) Tekanan yang diberikan oleh pengacara
Terkadang saksi ahli dari kubu lawan (cross examination) dihujani dengan
banyak pertanyaan oleh pengacara. Sejumlah pertanyaan tersebut secara
tidak langsung cukup mengintimidasi saksi ahli yang membuat psikolog
goyah. Psikolog diharapkan tetap teguh dengan sikap ilmiahnya karena hal
tersebut merupakan tugas pengacara.
4) Sikap politik dan moral
Pada beberapa kasus peradilan terdapat persoalan yang berkaitan dengan
isu politik dan moral. Latar belakang psikolog (politik, etnis, ideologi, dan
agama) berpotensi dalam pemberian kesaksian yang bias. Pelaku
kejahatan yang memiliki sikap politis dan sentimen moral yang berbeda
dapat memberikan sumbangan terhadap kesaksian psikolog yang tidak
seimbang dan ilmiah.

9
5) Kepopuleran saksi ahli
Psikolog dengan nama besar terkadang bias dengan memberikan saran
yang mendramatisasi kasus. Tindakan tersebut dilakukan bertujuan untuk
popularitas pribadi dan menarik perhatian masyarakat dan media.
6) Persaingan kedua pihak
Pandangan psikolog yang bias dapat terjadi karena persaingan antara dua
pihak (jaksa, pengacara, maupun ahli lain) untuk mempengaruhi
keputusan hakim.
7) Kesadaran psikolog yang rendah terhadap bias
Psikolog yang tidak sadar akan bias merupakan hal yang sangat berbahaya
karena bias akan terus berlanjut sampai pengambilan keputusan. Hal
tersebut tentunya membahayakan sistem peradilan dan seluruh pihak yang
ada dalam pengadilan.
E. SYNDROME EVIDENCE
Syndrome Evidence adalah sindrom yang merupakan gambaran gejala-gejala
psikologis yang terjadi akibat suatu kejahatan. Pada awalnya, sindrom ini digunakan di
pengadilan untuk menjelaskan perilaku pada seorang korban trauma khusus yang
tampaknya tidak biasa, contohnya seperti kekerasan seksual atau jenis kekerasan lainnya.
Beberapa sindrom yang termasuk ke dalam Syndrome Evidence, yaitu :
a. Battered Woman Syndrome (BWS)
Battered Woman Syndrome adalah sekumpulan gejala atau respon dugaan
terhadap penganiayaan, baik fisik maupun psikologis yang dialami oleh
perempuan. Menurut Walker (dalam Fulero & Wrightsman, 2009), Battered
Woman Syndrome adalah reaksi wanita terhadap pola pelecehan fisik dan
psikologis terus-menerus yang dilakukan oleh pasangannya.
Pada situasi pengadilan, saksi ahli seringkali memberikan kesaksian
tentang sifat kekerasan fisik dan memberikan penjelasan atas perilaku korban
yang membingungkan dan perilaku yang mungkin telah diajukan oleh penuntut

10
untuk menunjukkan bahwa wanita yang dipukul bukanlah wanita yang “biasa”
(misalnya, prostitusi, pelecehan anak-anaknya, reaksi kekerasannya).
Menurut Walker (dalam Fulero & Wrightsman, 2009), peneliti telah
memformulasikan komponen yang secara umum terjadi pada Battered Woman
Syndrome, yaitu :
1) Learned helplessness, yaitu respon terhadap rangsangan yang
menyakitkan di mana korban tidak punya kendali dan menemukan bahwa
tidak ada jalan untuk melarikan diri atau memiliki kesempatan untuk
keluar dari permasalahan tersebut.
2) Menurunkan harga diri, yaitu respon terhadap perilaku merendahkan yang
dilakukan oleh pelaku.
3) Gangguan fungsi psikologis, yaitu termasuk ketidakmampuan untuk
terlibat dalam perilaku terencana.
4) Hilangnya perasaan terlindungi dan aman, yaitu keyakinan yang
sebelumnya berkata "segalanya akan baik-baik saja" atau "ini tidak akan
terjadi pada saya" menghilang dalam serangan pelecehan dan kekerasan.
5) Ketakutan dan teror, yaitu sebagai reaksi terhadap pelaku berdasarkan
pengalaman masa lalu.
6) Kemarahan, yaitu reaksi terhadap pelaku.
7) Alternatif solusi yang kurang
Menurut penelitian, dari hasil wawancara Walker pada tahun 1993 kepada
400 wanita yang dipukuli, 85% merasa mereka bisa atau akan dibunuh di
beberapa titik. Wanita yang dipukuli memfokuskan energi mereka pada
kelangsungan hidup dalam hubungan daripada mengeksplorasi pilihan di
luar sebagai bagian dari reaksi responsif yang berkurang.
8) Lingkaran kekerasan (the circle of abuse or violence)
Pada kasus-kasus pernikahan antara korban dan pelaku, biasanya terjadi
lingkaran kekerasan (the circle of abuse or violence). Pada awalnya,
seorang suami yang merupakan pelaku kekerasan melakukan tugasnya
dengan baik, seperti mengasihi, merawat, dan menafkahi istrinya yang
merupakan korban. Namun seiring berjalannya waktu, dalam keberjalanan

11
waktu pernikahan, pasangan mulai berada pada masa tension-building
phase, dimana pada fase ini konflik-konflik mulai terasa dan biasanya
masih ada di dalam konteks konflik verbal. Akibat dari fase ini, maka
muncul acute battering incident, yaitu keadaan dimana kekerasan sudah
mulai tidak terkontrol dan disertai dengan kekerasan kepada perempuan.
Ketika konflik terasa sudah terlalu meluas dan perempuan melakukan
perlawanan, maka laki-laki sebagai pelaku biasanya akan mengakui
kesalahan dan meminta maaf kepada perempuan sebagai korban serta
berusaha meyakinkan perempuan bahwa hal yang sama tidak akan terjadi,
setelah hal itu terjadi maka konflik (tension) akan menurun dan keadaan
seperti awal lagi. Lalu siklus ini akan terus berulang mulai dengan
tension-building phase kembali hingga ke tahap-tahap berikutnya.
9) Kewaspadaan yang berlebihan (hypervigilance) terhadap isyarat bahaya
Akibat dipukuli, wanita memperhatikan hal-hal halus yaitu hal-hal yang
tidak dikenali orang lain sebagai hal yang berbahaya. Wanita dengan
sindrom ini mungkin memperhatikan kata-kata suaminya datang lebih
cepat, atau dia mungkin mengklaim bahwa matanya menjadi lebih gelap.
Dia mungkin melakukan serangan pendahuluan sebelum pelaku
benar-benar menimbulkan banyak kerusakan.
10) Toleransi tinggi untuk inkonsistensi kognitif
Wanita yang dipukuli sering mengungkapkan dua ide yang tampaknya
tidak konsisten satu sama lain. Misalnya, seorang wanita yang dipukuli
mungkin berkata “Suami saya hanya memukul saya ketika dia mabuk”
tetapi kemudian menggambarkan sebuah episode di mana dia tidak mabuk
dan masih kasar.
b. Rape Trauma Syndrome (RTS)
Rape Trauma Syndrome (RTS) didefinisikan oleh Burgess dan Holmström
(dalam Fulero & Wrightsman, 2009) sebagai sindrom trauma psikologis pasca
pemerkosaan dialami oleh korban pemerkosaan yang berpengaruh terhadap
keadaan fisik, emosi, kognitif dan perilaku interpersonal korban. Burgess dan

12
Holmstrom (dalam Fulero & Wrightsman, 2009) membagi Rape Trauma
Syndrome (RTS) menjadi dua fase, yaitu :
1) Fase 1 : Fase Krisis Akut (Acute Crisis Phase)
Fase pertama umumnya berisi reaksi yang berlangsung selama
berhari-hari atau berminggu-minggu, dan ini mungkin cukup parah.
Mereka dapat mempengaruhi semua aspek kehidupan penyintas, termasuk
aspek fisik, psikologis, sosial, dan seksual. Dimulai segera setelah
tindakan, fase krisis akut adalah salah satu dari banyak disorganisasi
dalam gaya hidup korban, ini sering digambarkan oleh para penyintas
sebagai keadaan syok, di mana mereka melaporkan bahwa semuanya telah
hancur di dalam. Banyak yang mengalami serangan berulang-ulang dalam
pikiran mereka. Bahkan tidur, ketika akhirnya tiba, tidak memberi energi
kembali; sebaliknya, itu adalah kendaraan untuk mimpi buruk tentang
pemerkosaan.
Contoh fisiologis ketakutan atau kecemasan yang dialami adalah :
a) gemetar atau gemetar
b) jantung berdebar kencang
c) nyeri
d) otot tegang
e) napas cepat
f) mati rasa
Allison dan Wrightsman (dalam Fulero & Wrightsman, 2009)
mengklasifikasikan reaksi fase satu ini sebagai berikut :
a) Penolakan, keterkejutan, dan ketidakpercayaan
Penolakan, keterkejutan, dan ketidakpercayaan adalah respons
yang umum dialami oleh penyintas. Para penyintas mungkin
bertanya kepada keluarga dan teman-teman mereka tentang
bagaimana pemerkosaan itu bisa terjadi.
b) Gangguan
Beberapa gangguan dialami oleh pada penyintas, seperti hal yang
khas dialami yaitu perubahan pola tidur dan makan. Untuk

13
berbagai tingkat, orang yang selamat mungkin menunjukkan
disorganisasi kepribadian. Beberapa mungkin akan tampak
bingung dan disorientasi sementara yang lain tidak menunjukkan
gejala perilaku yang mudah diamati, Tetapi, tipe yang terakhir
dialami oleh penyintas yaitu linglung dan mati rasa, karena hal
tersebut penyintas menjadi tidak responsif terhadap lingkungan
mereka.
c) Rasa bersalah, permusuhan, dan menyalahkan
Ketika mengetahui bahwa seorang teman telah diperkosa,
orang lain mungkin bereaksi dengan menyalahkan korban, atau
dengan berasumsi bahwa pemerkosaan dapat dihindari atau dengan
cara lain memberikan tanggung jawab atas pemerkosaan kepada
orang yang diperkosa. Sayangnya, (Bond & Mosher (dalam Fulero
& Wrightsman, 2009) mengatakan teori psikoanalitik mengusulkan
bahwa esensi feminitas termasuk masokisme, dan kepercayaan
tetap ada bahwa wanita tidak hanya mengundang, tetapi juga
menikmati, agresi seksual. Oleh karena itu, tidak mengherankan
jika para korban pun menanggapinya dengan rasa bersalah dan
menyalahkan diri sendiri.
Janoff-Bulman (dalam Fulero & Wrightsman, 2009)
mengemukakan bahwa respons menyalahkan diri sendiri mungkin
merupakan respons yang paling sering dialami setelah respon rasa
takut. Pada beberapa korban, menyalahkan diri sendiri bisa begitu
kuat sehingga mereka percaya bahwa pemerkosaan adalah
kesalahan mereka atau bahwa pria itu merawat mereka. Orang
yang telah diperkosa seringkali melaporkan perasaan bahwa
mereka tidak lagi menjadi individu yang mandiri. Rasa otonomi
atau kompetensi diganti dengan keraguan diri. Orang yang selamat
diliputi perasaan bahwa mereka tidak lagi memiliki kendali atas
hidup mereka dan apa yang terjadi pada mereka. Mereka harus

14
bergantung pada orang-orang yang dekat dengan mereka untuk
membuat keputusan yang paling tidak penting sekalipun.
d) Persepsi yang terdistorsi
Ketidakpercayaan dan pesimisme hingga paranoia adalah reaksi
yang sering terjadi karena menjadi penerima serangan seksual.
Penyintas merasa dunia menjadi tempat yang menakutkan untuk
ditinggali. Koss (dalam Fulero & Wrightsman, 2009) mengatakan
bahwa dalam satu survei, 41% dari mahasiswa yang merupakan
korban perkosaan kenalan percaya bahwa mereka akan diperkosa
lagi.
2) Fase 2 : Fase Reaksi Jangka Panjang (Long-Term Reactions)
Fase kedua adalah fase rekonstruktif dan mencakup penyintas yang
menerima reaksi mereka dan mencoba menangani luka dan kesedihan
dengan cara yang efektif. Menurut Burgess & Holmstrom (dalam Fulero
& Wrightsman, 2009), pada fase kedua dari sindrom ini, penyintas
menghadapi tugas memulihkan ketertiban hidup mereka dan membangun
kembali rasa keseimbangan dan perasaan menguasai dunia mereka.
Tugasnya tidak mudah; jika, memang, penyelesaian tugas terjadi, biasanya
memakan waktu dari beberapa bulan hingga tahun.
Burgess dan Holmstrom (1985) melaporkan bahwa 25% wanita
yang mereka teliti belum pulih secara signifikan beberapa tahun setelah
pemerkosaan. Kemunduran dapat terjadi, dengan beberapa pelaporan
menjadi lebih buruk pada beberapa tindakan setahun setelah pemerkosaan,
dibandingkan dengan enam bulan sesudahnya. Di antara respons yang
mungkin muncul kembali adalah kecemasan khusus, rasa bersalah dan
malu, fantasi bencana, perasaan kotor, tidak berdaya atau terisolasi, dan
gejala fisik.
Allison dan Wrightsman (1993) menggambarkan hal berikut
sebagai salah satu gejala utama dari fase kedua ini:
a) Fobia

15
Fobia adalah ketakutan irasional, yang kepemilikannya
mengganggu adaptasi afektif terhadap lingkungan seseorang.
Pemerkosaan dapat dilihat sebagai stimulus pengkondisian klasik,
dan dengan demikian segala sesuatu yang berhubungan dengan
pemerkosaan akan ditakuti. Penerima serangan seksual mungkin
menjadi takut sendirian atau keluar di malam hari.
Allison dan Wrightsman (dalam Fulero & Wrightsman,
2009) mengamati ketakutan ini dapat memaksa korban ke dalam
situasi yang tampaknya tidak menguntungkan. Jika dia tinggal di
rumah sendirian, dia takut. Jika dia keluar, dia juga takut. Banyak
korban membiarkan lampu menyala di rumah mereka 24 jam
sehari. Jelas, sifat dari asosiasi bersyarat terhadap pemerkosaan
menyebabkan korban mengubah hidup mereka dalam banyak cara.
b) Gangguan dalam fungsi umum
Pada penyintas, perubahan pola makan dan pola tidur tetap
menjadi masalah yang dialami oleh mereka. Bagi beberapa orang,
kualitas hubungan intim dapat menjadi lebih buruk, karena
penyintas membatasi kesempatan untuk memanfaatkan apa yang
sebelumnya dianggap sebagai pengalaman positif.
c) Masalah seksual
Pemerkosaan memiliki efek negatif yang kuat pada kehidupan
seksual penyintas. Tetapi beberapa penelitian menyimpulkan
bahwa perbedaan antara perempuan yang telah diperkosa dan
kelompok yang tidak diperkosa bukanlah frekuensi aktivitas
seksualnya, melainkan kualitas subjektif dari pengalaman tersebut.
d) Perubahan gaya hidup
Beberapa orang yang selamat dari serangan seksual mungkin
merestrukturisasi aktivitas mereka dan mengubah pekerjaan dan
penampilan mereka, contohnya seperti mengubah nomor telepon
mereka, atau bahkan pindah ke tempat tinggal lain hingga pindah
ke kota lain.

16
c. Postpartum Depression
Postpartum Depression (PPD) (dalam Fulero & Wrightsman, 2009) secara
teknis bukanlah diagnosis ini adalah penentu untuk diagnosis DSM-IV utama dari
Major Depressive Disorder (MDD). Jadi, ketika seorang wanita didiagnosa
menderita Postpartum Depression (PPD), maka diagnosa yang diberikan akan
disebut dengan “Gangguan Depresi Mayor dengan Onset Pasca Melahirkan.”.
Tiga tingkat keparahan yang dikaitkan dengan PPD adalah sebagai berikut :
1) Postpartum Blues atau Baby Blues
2) Depresi Postpartum
3) Psikosis Postpartum
Baik Postpartum Blues maupun Depresi Postpartum melibatkan gangguan
suasana hati dan fungsi terkait, tetapi tidak kehilangan kontak dengan kenyataan.
Sebaliknya, Psikosis Postpartum tidak termasuk defisit dalam memahami realitas,
dan termasuk ke dalam halusinasi dan delusi. Penelitian tentang prevalensi dan
perjalanan gangguan pasca melahirkan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil
dari wanita yang terkena mengalami psikosis pasca persalinan.
Seorang ahli yang bersaksi bahwa seorang terdakwa kriminal menderita
psikosis pasca persalinan pada saat dia melakukan kejahatan akan memiliki dasar
ilmiah untuk membahas tingkat akurasi dan kesalahan dalam menetapkan
diagnosis kepada ibu baru. Berbeda dengan Battered Woman Syndrome (BWS)
dan Rape Trauma Syndrome (RTS) dimana perempuan dikelompokkan secara
diagnostik karena mengalami pemukulan atau pemerkosaan, ibu baru tidak
dikelompokkan secara diagnostik karena peristiwa persalinan; melainkan
diagnosa mereka didasarkan pada perbandingan gejala mereka dengan set kriteria
yang terdefinisi dengan baik dan divalidasi secara ilmiah. Terlepas dari
kelangkaan psikosis pasca persalinan, itu telah diangkat sebagai pembelaan
terhadap pembunuhan. Sementara hakim tampaknya menerima bukti ilmiah
sebagai memenuhi standar ilmiah untuk keterangan ahli, juri tidak selalu
menerima diagnosis sebagai alasan untuk melakukan tindak pidana, terutama di
mana ibu telah membunuh anak mereka sendiri.
d. Premenstrual Syndrome

17
Premenstrual Syndrome (PMS) bukanlah entitas diagnostik psikiatris yang
diakui dan juga tidak ditemukan dalam DSM-IV. Namun, sindrom terkait seperti
Premenstrual Dysphoric Disorder (PMDD), ditemukan di DSM-IV. Sindrom ini
bukan sebagai diagnosa yang ditetapkan, tetapi sebagai kumpulan gejala yang
diamati yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut.
Menurut American Psychiatric Association (dalam Fulero & Wrightsman,
2009), daftar gejalanya meliputi :
1) Suasana hati yang sangat tertekan
2) Kecemasan yang nyata
3) Labilitas afektif yang nyata
4) Kemarahan atau lekas marah yang persisten atau nyata
5) Penurunan minat dalam aktivitas
6) Kesulitan berkonsentrasi
7) Lesu
8) Perubahan nafsu makan
9) Insomnia
10) Perasaan kewalahan
11) Gejala fisik seperti sebagai nyeri payudara
Menurut Dixon & Dixon (dalam Fulero & Wrightsman, 2009),
berdasarkan sifat gejala yang disarankan untuk diagnosis PMDD, gangguan ini
tidak mungkin akan menjadi relevan untuk menjelaskan atau membenarkan
perilaku seorang wanita dalam persidangan pidana, bahkan jika perkembangan di
masa depan dalam kejelasan dan keandalan diagnostik menjadikannya entitas
klinis yang valid. Pencarian Dixon dan Dixon atas kasus hukum dari 1993 hingga
2003 mengungkapkan tidak ada kasus banding yang melaporkan penggunaan
PMDD dalam hubungannya dengan istilah kunci "pembunuhan" atau "pembelaan
diri.". Sebaliknya, hal ini telah diangkat dalam setidaknya dua kasus pidana.
e. Child Sexual Abuse Accommodation Syndrome
Sindrom ini pertama kali diperkenalkan oleh Summit pada tahun 1983 sebagai
perilaku yang terjadi pada anak yang menjadi korban pelecehan seksual oleh
anggota keluarga atau orang dewasa yang dipercaya (Bartol & Bartol, 2019).

18
Pelaku pelecehan seksual pada anak ini kerap kali memberi ancaman dan tekanan
sedemikian rupa sehingga anak kemudian percaya jika pengetahuan "pribadi" ini
diketahui maka sesuatu yang buruk akan terjadi (mungkin pada anggota keluarga).
Oleh karena itu, anak yang menjadi korban pelecehan seksual akan merasa dalam
posisi bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarga.
Dampak lain pada anak tersebut adalah perasaan tidak berdaya
menghentikan “aktivitas” tersebut. Sehingga pada akhirnya, anak harus
“menampung” rahasia-rahasia ini dan memasukkannya ke dalam pola kehidupan
sehari-harinya. Anak-anak korban pelecehan seksual yang tidak mendapatkan
dukungan tersebut akan merasa malu, gagal melaporkan pelecehan, dan
menyangkal bahwa itu terjadi ketika ditanyai. Oleh karena itu untuk anak-anak
yang menyangkal telah dilecehkan harus dikejar dengan pertanyaan sugestif tanpa
henti karena jika tidak, mereka tidak akan mengungkapkan rincian pelecehan
mereka (Bunk & Ceci, dalam Bartol & Bartol, 2019).
f. Munchausen Syndrome By Proxy
Munchausen syndrome by proxy (MSBP) adalah bentuk kekerasan anak yang
jarang terjadi di mana orang tua (hampir selalu ibu) secara konsisten dan kronis
mengarahkan anak ke perhatian medis tanpa ada kondisi atau gejala medis yang
"sesungguhnya" (Bartol & Bartol, 2019). Davies & Beech (2018) menjelaskan
MSBP sebagai pola perilaku di mana pengasuh mengarang, membesar-besarkan
atau menyebabkan masalah kesehatan mental atau fisik pada mereka yang berada
dalam perawatan mereka. Istilah sindrom MSBP dalam DSM-5 ini disebut
factitious disorder imposed on another sebab orang tua atau pengasuh
memalsukan gejala pada anak-anak mereka (Pozzulo, Bennel, & Forth, 2018).
Tujuan perilaku ini adalah agar orang tua mendapatkan perhatian dan simpati
orang lain.

19
F. CONTOH KASUS
Salah satu contoh kasus yang melibatkan psikolog sebagai saksi ahli adalah kasus
penculikan, kekerasan seksual dan pemerkosaan yang dilakukan oleh Josef Fritzl. Josef
Fritzl adalah seorang pria kelahiran Amstetten, Austria. Ia tumbuh dan besar sebagai anak
tunggal dari pasangan Josef Fritzl Sr. dan Maria Fritzl. Pada tahun 1956, Josef Fritzl yang
berusia 21 tahun menikahi Rosemarie yang berusia 17 tahun. Josef dan Rosemarie
dikaruniai 2 putra dan 5 putri, yang salah satunya bernama Elisabeth.
1. Kronologi Kasus
Kronologi kasus dimulai pada bulan September 1984 ketika Elisabeth menghilang
dan ditemukannya tulisan tangan Elisabeth yang meminta orangtuanya berhenti untuk
mencarinya. Pada bulan Mei tahun 1993, surat dari Elisabeth kembali ditemukan di depan
rumahnya bersama dengan seorang bayi berusia 9 bulan. Pada bulan Desember tahun
1994, seorang bayi bersama surat dari Elisabeth kembali ditemukan di depan rumah
keluarga Josef. Orangtua Elisabeth, Josef dan Rosemarie kemudian menjadi orangtua
angkat bagi bayi tersebut. Pada tahun 2003, ditemukan kembali surat dari Elisabeth yang
menjelaskan kelahiran anaknya yang bernama Felix yang dibesarkan olehnya di ruang
bawah tanah. Pada tanggal 26 Maret 2008, Josef dan Elisabeth terlihat mengunjungi
rumah sakit bersama. Polisi kemudian menangkap Josef karena dicurigai telah menculik
Elisabeth. Josef didakwa melakukan penyekapan kepada Elisabeth selama 24 tahun
(1984-2008) di ruang bawah tanah rumahnya dan memperkosanya berulang kali hingga
melahirkan 7 orang anak, serta pembunuhan kepada anaknya atas kelalaian. Persidangan
dilaksanakan pada tanggal 16 Maret 2009 dan berlangsung selama 4 hari, dan Josef Fritzl
kemudian mengaku bersalah atas dakwaan tersebut dan dijatuhi hukuman penjara seumur
hidup.
2. Keterangan Saksi Ahli
Sebelumnya polisi telah mendampingi Elisabeth dan melakukan wawancara
kepadanya untuk memberikan kesaksian dan direkam untuk diputarkan pada pengadilan.
Hasil wawancara itu tertuang dalam rekaman kesaksian berdurasi sebelas jam dan diputar
pada saat persidangan. Jaksa kemudian menghadirkan Adelheid Kastner yang merupakan
seorang psikolog sebagai saksi ahli yang memberatkan Josef Fritzl. Kastner memberikan
kesaksian berdasarkan observasi pada perilaku Josef dan menyesuaikannya dengan

20
catatan pengalaman masa kecilnya serta kesaksian yang disampaikan oleh Elisabeth.
Josef tercatat tumbuh dewasa dengan mendapat perlakuan kekerasan, kekurangan kasih
sayang, dan sering diabaikan oleh ibunya. Pada masa Perang Dunia II, Josef mengungsi
di ruang bawah tanah untuk berlindung dari serangan bom sekutu di kota Amstetten
sendirian tanpa ditemani ibunya. Dalam persidangan diungkap pula rekam jejak kriminal
Josef yang sebelumnya ditangkap pada tahun 1967 karena mendobrak rumah seorang
perawat dan melakukan percobaan pemerkosaan. Atas tindakan tersebut, Josef dipenjara
selama 18 bulan.
Dengan akumulasi pengalaman masa lalunya, Kastner berpendapat bahwa Fritzl
kesulitan untuk membangun hubungan yang baik dan rasa percaya kepada ibunya sendiri,
dan melakukan penyekapan pada Elisabeth sebagai bentuk balas dendam pada perlakuan
yang diterima dari ibunya semasa kecil. Josef tumbuh menjadi pribadi yang ingin
mendominasi orang lain karena pola asuh yang diterimanya semasa kecil. Rekam jejak
kriminal yang dilakukannya menguatkan perilaku dominasi Josef. Josef juga mengadopsi
pola asuh dengan kekerasan ketika membesarkan anak-anaknya. Menurut Huss dalam
Kaloeti (2019), kesaksian saksi ahli dikatakan reliabel dan valid bila; teori atau teknik
yang dipakai dalam penjelasan di persidangan sudah diakui melalui riset-riset, teori atau
teknik telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, potensi error yang terjadi ketika
menggunakan teori atau teknik disebutkan, dan secara umum diterima oleh komunitas
ilmiah. Kesaksian yang dikemukakan oleh Kastner dalam pengadilan berpedoman kepada
struktur kepribadian dalam perspektif teori psikoanalisis, dimana melihat akumulasi
pengalaman masa kecil Josef yang bersifat traumatis ditekan ke alam tidak sadar dan
timbul dalam bentuk perilaku menyimpang seperti mendominasi dan melakukan
kekerasan. Teori psikoanalisis dikembangkan oleh tokoh Sigmund Freud dan telah
dijadikan sebagai acuan dalam dunia psikologi serta diakui oleh komunitas ilmiah.

G. CONTOH VIDEO KASUS PSIKOLOG SEBAGAI SAKSI AHLI


1. Kasus Jessica Wongso “Kopi Sianida”
https://youtu.be/UF5gCD3Bflw
Antonia Ratih Andjayani Ibrahim atau yang lebih dikenal dengan Ratih Ibrahim
merupakan psikologi klinis yang diminta untuk menjadi saksi ahli untuk memberikan

21
informasi dan analisa terkait sikap yang ditunjukkan oleh Jessica Wongso pada saat
kejadian. Selain memberikan keterangan berupa informasi, Ratih Ibrahim juga menjalani
cross examination yang dilakukan oleh pengacara Jessica Wongso. Pada cross
examination ini pernyataan dan informasi yang diberikan oleh Ratih Ibrahim. Kembali
dipertanyakan maksud dan konteksnya oleh pengacara Jessica Wongso. Dalam sesi cross
examination ini terlihat Ratih Ibrahim berusaha untuk dapat menjelaskan mengenai
pendapatnya dengan kosa kata yang dapat dipahami secara umum terutama oleh
pengacara Jessica Wongso.

2. Kasus Perebutan Hak Asuh di Amerika


https://www.youtube.com/watch?v=uwrHZRRy1L4&list=PLMuFXyE6dS0jyvmikRl
FQXPuTHKch-Fm9&index=7
Dr. Pablo Marshall, merupakan seorang psikolog klinis di Colorado yang juga
merupakan dosen di University of Colorado, Denver. Beliau telah beberapa kali menjadi
saksi ahli dalam persidangan dan kali ini menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus hak
asuh anak dengan orang tua tuli. Dr. Pablo Marshall secara khusus menangani kasus
psikologi dewasa dan anak dan selama hampir tujuh telah aktif memberikan konseling
pada anak tuli.
Sebagai saksi ahli dalam kasus ini, Dr. Pablo Marshall melakukan evaluasi
psikiatris pada kedua orang tua dan anak. Dilakukan rangkain tes baterai pada orang tua
dan anak. Untuk orang tua, baterai tes yang dilakukan yaitu Draw A Picture, Wechsler
Adult Intelligence Scale (WAIS), Story Recall Test, The Bender Gestalt, Rorschach Test,
TAT, Word Association Test, The Concept Sorting Test, MMPI, The Sentence
Completion Test, serta wawancara wawancara dengan kedua orang tua bersama
penerjemah bersertifikasi. Sedangkan untuk sang anak, dilakukan baterai tes seperti Draw
A Picture, Wechsler Intelligence Scale (WIS Revised), The Bender Gestalt, Rorschach
Test, CAT, Concept Scoring Test, Diagnostic Play Interview.
Serangkaian tes yang dilakukan pada orang tua digunakan untuk mengetahui
kepribadian dan kondisi psikologis pada Ayah dan Ibu pada kasus ini yang kemudian
dapat menjadi pertimbangan terkait keputusan hak asuh anak. Dr. Pablo Marshall selama
persidangan menjelaskan masing-masing tes yang dilakukan dan hasil yang didapatkan

22
dari tes-tes tersebut berupa kepribadian dan kondisi psikologis dari Ayah dan Ibu
berdasarkan masing-masing tes yang dilakukan. Dr. Pablo Marshall selain menjelaskan
hasil asesmen, juga menjawab pertanyaan dari pengacara dalam cross examination.

23
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Saksi ahli adalah seseorang yang memiliki pengetahuan atau pengalaman khusus,
lebih dari pengetahuan rata-rata individu pada umumnya, dimana saksi ahli dapat
memberikan interpretasi dari fakta yang sudah tersedia, sesuai dengan bidang
keahliannya. Psikolog forensik sebagai saksi ahli diharuskan menghadapi tantangan
seperti Cross Examination, Opposing Expert, dan Judicial Instruction. Kredibilitas saksi
ahli adalah penting karena keterangan saksi ahli akan digunakan untuk persidangan dan
akan menjadi pertimbangan hakim dalam pertimbangan keputusan. Faktor pembentuk
kredibilitas adalah jenjang pendidikan, kepakaran, publikasi ilmiah, jam terbang dalam
melakukan proses forensik serta telah terbiasa dan tenang dalam melewati proses
persidangan, serta gestur nonverbal serta cara berpakaian. Gejala-gejala psikologis yang
terjadi akibat suatu kejahatan disebut dengan Syndrome Evidence yang dapat digunakan
untuk menjelaskan perilaku pada seorang korban trauma khusus yang tampaknya tidak
biasa, contohnya seperti kekerasan seksual atau jenis kekerasan.

B. SARAN
Penyusunan makalah ini tentunya masih terdapat banyak kesalahan serta jauh dari kata
sempurna. Kritik dan saran yang membangun dari para pembaca tentunya dapat
membangun kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis akan segera melakukan perbaikan
pada makalah ini dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang
bisa membangun dari para pembaca.

24
DAFTAR PUSTAKA

Bartol, C. R., & Bartol, A. M. (2019). Introduction to Forensic Psychology (5th ed.). Sage.

BBC. (2009, Maret 18). Psychiatrist to testify on Fritzl. BBC News. Diakses pada 15 Maret
2022, dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/7949795.stm

Canter, D. (2010). Forensic psychology: A very short introduction. USA: Oxford University
Press
Davies, G. M., & Beech, A. R. (2018). Forensic Psychology: Crime, Justice, Law, Interventions
(3rd ed.). Wiley.
Fulero, S. M., & Wrightsman, L. S. (2009). Forensic Psychology : Third Ed.
Huss, M. T. (2014). Forensic Psychology: Research, Clinical Practice, and Applications. USA:
Wiley.

Josef Fritzl. Crime+Investigation UK. (n.d.). Diakses pada 15 Maret 2022, dari
https://www.crimeandinvestigation.co.uk/crime-files/josef-fritzl

Kaloeti, D.V.S., Indrawati, E.S.,& Alfaruqy, M.Z. (2019). Buku ajar psikologi forensik. Jakarta:
Grasindo
Ohoiwutun, Y. T., & Surjanti, S. (2018). Urgensi pemeriksaan ahli jiwa dalam kasus kekerasan
psikis dalam rumah tangga. Jurnal Yudisial, 11(3), 327-345.
Pozzulo, J., Bennel, C., & Forth, A. (2018). Forensic Psychology (5th ed.). Pearson.
Probowati, Y. (2008). Psikologi Forensik: Tantangan Psikolog sebagai Ilmuwan dan Profesional.
Anima: Indonesian Psychological Journal 23(4): 338-353
Shipley, S. (2012). Introduction to Forensic Psychology. USA: Academic Press.
Sopyani, F. M., & Edwina, T. N. (2021). Peranan psikologi forensik dalam hukum di Indonesia.
Journal Psikologi Forensik Indonesia, 1(1), 46-49.

25
LEMBAR PARTISIPASI

No. Nama NIM Partisipasi

1. Patricia Olivia 15000119130165 Mengerjakan bab 2 bagian


Tantangan Saksi Ahli

2. Fadilla Risa Damayanti 15000119140091 Mengerjakan bab 2 bagian


Syndrome Evidence

3. Cynthia Clara Putri 15000119130167 Mengerjakan bab 2 bagian kritik


bagi psikolog sebagai saksi ahli

4. Syiffani Gita Ramadhan 15000119130089 Mengerjakan bab 2 bagian


kredibilitas saksi ahli

5. Fitria Maulida 15000119130099 Mengerjakan bab 1 dan 3

6. Reynata Aurelie P R 15000119130215 Mengerjakan bab 2 bagian video


kasus psikolog sebagai saksi ahli
dan CSAAS - MSBP

7. Aloysius Adriputratama 15000119130264 Mengerjakan bagian contoh


kasus psikolog sebagai saksi ahli

8. Audrey Larasati Putrinima 15000119130155 Mengerjakan bab 2 bagian


definisi saksi ahli

26

Anda mungkin juga menyukai