Anda di halaman 1dari 20

Hipotiroid kongenital

Ghereetha/102013158 (F2)
Email: ghereetha.2013fk158@civitas.ukrida.ac.id

Fakultas Kedokteran Umum Universitas Kristen Krida Wacana

Abstrak: Kretinisme adalah suatu istilah kuno yang telah lama digunakan di Eropa untuk
melukiskan suatu bentuk keterbelakangan dan kekerdilan yang lazim terjadi didaerah gondok
endemis. Istilah kretinisme tetap digunakan untuk mencirikan gondok kongenital endemis,
tetapi istilah hipotiroidisme kongenital sekarang ini lebih digunakan didaerah non endemis.
Hipotiroidisme kongenital nonendemis dapat disebabkan oleh gangguan embriogenesis tiroid,
cacat hipotalamus-hipofisis, cacat bawaan pada sintesa atau kerja hormon tiroid atau
pemajanan intrauterine terhadap zat goitrogenik. Tanda klasik penyakit ini meliputi wajah
yang khas, lidah yang besar dan menonjol keluar, serta retardasi pertumbuhan dan
perkembangan yang berkembang secara progresif selama usia beberapa bulan pertama. Pada
penulisan kali ini, penulis akan menerangkan mengenai definisi, patofisiologi, manifestasi
klinis, langkah mendiagnosis dan terapi anak dengan hipotiroidisme kongenital. Selain itu,
juga akan menjelaskan mengenai syndrom Down yang menjadi diagnosis banding
hipotiroidisme kongenital.

Kata kunci: Hipotiroidisme kongenital, syndrome Down

Abstract: Cretinism is an ancient term that has long been used in Europe to describe a form
of underdevelopment and smallness in prevalent endemic goiter area. Cretinism fixed term
used to characterize the congenital goiter endemic, but the term of congenital hypothyroidism
is now more used non-endemic areas. Non-endemic congenital hypothyroidism can be caused
by disorders of the thyroid embryogenesis, hypothalamic-pituitary defect, congenital defect in
the synthesis of thyroid hormones or work or intrauterine exposure to substances goitrogenik.
Classic signs of the disease include a distinctive face, tongue large and protruding, as well as
retardation of growth and development that evolved progressively during the first few months
of age. At the time of this writing, the author will explain the definition, pathophysiology,
clinical manifestations, diagnosis and treatment measures of children with congenital
hypothyroidism. In addition, it will also explain about the Down syndrome, the differential
diagnosis of congenital hypothyroidism.
Key words: congenital hypothyroidism, Down syndrome.
I Pendahuluan

1.1 Latar belakang

Hipotiroidisme kongenital adalah suatu keadaan dimana kelenjar tiroid mengalami kelainan
pada waktu lahir atau sebelumnya. Pada bayi baru lahir gejala sering belum jelas, baru
sesudah beberapa minggu gejala lebih menonjol. Bayi dengan kelainan ini jarang menangis,
banyak tidur, dan kelihatan sembab, biasanya ada obstipasi, abdomen besar dan ada hernia
umbilicalis, ada hipotermia, nadi lambat dan kulitnya kering dam dan dingin. Dalam
penulisan kali ini penulis akan membahas mengenai Hipotiroidisme kongenital dan beberapa
penyakit lain yang berhubungan seperti Down syndrome.

I.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah memudahkan pembaca dalam mengenal, mengerti dan
memahami mengenai hipotiroidisme kongenital.

I.3 Skenario 6

Seorang ibu membawa bayinya yang berusia 2bulan ke Puskesmas karena jarang menangis,
lebih sering tidur dan malas menyusu. Bayi lahir cukup bulan dan dilahirkan secara normal
tanpa ada komplikasi. Kelainan ini disertai sering konstipasi dan suara serak.

I.4 Rumusan Masalah

Bayi (2bln) dibawa oleh ibunya dengan gejala jarang menangis, lebih sering tidur, malas
menyusu dan disertai sering konstipasi dan suara serak.

I.5 Sasaran Pembelajaran


Sasaran pembelajaran dalam kegiatan PBL ini adalah sebagai berikut:
a. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami mengenai etiologi dari hipotiroid
kongenital
b. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami mengenai patofisiologi terjadinya
hipotiroid kongental.
c. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami mengenai gejala klinis hipotiroidisme
kongenital, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan edukasinya.
II Pembahasan

Identifikasi istilah tak diketahui

Konstipasi. Kata konstipasi atau constipation berasal dari bahasa Latin constipare yang
mempunyai arti bergerombol bersama. Konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan
evakuasi tinja secara sempurna yang tercermin dari berkurangnya frekuensi berhajat dan
biasanya tinja lebih keras, lebih besar dan nyeri dibandingkan sebelumnya serta pada
perabaan perut teraba massa tinja (skibala). Secara umum definisi konstipasi menurut The
North American Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition (NASPHGAN) adalah
kesulitan atau keterlambatan melakukan defekasi selama dua minggu atau lebih dan mampu
menyebabkan stres pada pasien.1

.      Anamnesis
Tanpa adanya skrining pada bayi baru lahir, pasien sering datang terlambat dengan
keluhan retardasi perkembangan disertai dengan gagal tumbuh atau perawakan pendek. Pada
beberapa kasus pasien datang dengan keluhan pucat. Pada bayi baru lahir sampai usia 8
minggu keluhan tidak spesifik. Perlu ditanya riwayat gangguan tiroid dalam keluarga,
penyakit ibu saat hamil, obat anti tiroid yang sedang  diminum dan terapi sinar.2
Selain itu, dapat digali berbagai gejala yang mengarah kepada hipotiroid kongenital
seperti ikterus lama, letargi, konstipasi, nafsu makan menurun dan kulit teraba dingin. Selain
itu, didapat pertumbuhan anak kerdil, ekstremitas pendek, fontanel anterior dan posterior
terbuka lebih lebar, mata tampak berjauhan dan hidung pesek, mulut terbuka, lidah yang tebal
dan besar menonjol keluar, gigi terlambat tumbuh. Leher pendek dan tebal, tangan besar dan
jari-jari pendek, kulit kering, miksedema dan hernia umbilikalis, perkembangan terganggu,
otot hipotonik kadang dapat ditemukan hipertrofi otot generalisata sehingga menghasilkan
tampakan tubuh berotot.3
Tanyakan juga mengenai riwayat penyakit keluarga dengan hipothyroidisme, terutama
kedua orang tua. Evaluasi juga riwayat kehamilan untuk mengetahui pengobatan yang
mungkin didapat ibu selama hamil, terutama yang bekerja mempengaruhi sintesis dan kerja
hormon thyroid atau kelainan lainnya.3
Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada bayi terdiri atas beberapa hal yang menyangkut fungsi pada
sistem tubuh bayi. Pemeriksaan fisik pada bayi adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh
bidan, perawat atau dokter untuk menilai status kesehatan yang dilakukan pada saat bayi baru
lahir, 24jam setelah lahir, dan pada waktu pulang dari rumah sakit. Dalam melakukan
pemeriksaan ini sebaiknya bayi dalam keadaan telanjang dibawah lampu terang, sehingga
bayi tidak mudah kehilangan panas. Tujuan pemeriksaan fisik secara umum pada bayi adalah
menilai status adaptasi atau penyesuaian kehidupan intrauteri kedalam kehidupan extrauteri
serta mencari kelainan pada bayi.4

A. Pemeriksaan fisik tanda-tanda vital yang dapat dilakukan pada bayi antara lain:
1. Hitung frekuensi napas
Pemeriksaan frekuensi napas ini dilakukan dengan menghitung rata-rata
pernapasan dalam satu menit. Pemeriksaan ini dikatakan normal pada bayi baru
lahir apabila frekuensinya antara 30-60kali per menit, tanpa adanya retraksi dada
dan suara merintih saat ekspirasi, tetapi apabila bayi dalam keadaan lahir kurang
dari 2.500gr atau usia kehamilan kurang dari 37minggu, kemungkinan terdapat
adanya retraksi dada ringan. Jika pernapasan berhenti beberapa detik secara
sporadik, maka masih dikatakan dalam batas normal.
2. Hitung denyut jantung bayi dengan menggunakan stetoskop
Pemeriksaan denyut jantung untuk menilai apakah bayi mengalami gangguan
yang menyebabkan jantung dalam keadaan tidak normal, seperti suhu tubuh yang
tidak normal, perdarahan atau gangguan napas. Pemeriksaan denyut jantung ini
dikatakan normal apabila frekuensinya antara 100-160kali per menit. Masih dalam
keadaan normal apabila diatas 60kali per menit dalam jangka waktu yang relatif
pendek, beberapa kali per hari, dan terjadi selama beberapa hari pertama jika bayi
mengalami distres.
3. Ukur suhu aksila
Lakukan pemeriksaan suhu melalui aksila untuk menentukan apakah bayi dalam
keadaan hipo atau hipertermi. Dalam keadaan normal, suhu bayi antara 36.5-37.5
derajat celcius.
B. Pemeriksaan kepada dan Leher
Pemeriksaan bagian kepada yang dapat diperiksa antara lain sebagai berikut:
1. Pemeriksaan rambut dengan menilai jumlah dan warna, adanya lanugo terutama
pada daerah bahu dan punggung
2. Pemeriksaan wajah dan tengkorak, dapat dilihat dengan adanya maulage, yaitu
tulang tengkorak yang saling menumpuk pada saat lahir untuk dilihat simetris atau
tidak. Ada tidaknya caput succedaneum (edema pada kulit kepala, llunak dan
tidak berfluktuasi, batasnya tidak tegas serta menyebrangi sutura dan akan hilang
dalam beberapa hari). Adanya caput hematum terjadi sesaat setelah lahir dan tidak
tampak pada hari pertama karena tertutup oleh caput succedaneum, konsistensinya
luak, berfluktuasi, berbatas tegas pada tepi tulang tengkorak, batasnya tidak tegas
sehingga bentuk kepala tampak asimetris. Pemeriksaan selanjutnya adalah menilai
fontanella dengan cara melakukan palpasi menggunakan jari tangan, kemudian
fontanel posterior dapat dilihat proses penutupannya setelah usia 2bulan, dan
fontanel anterior menutup saat usia 12-18bulan.
3. Pemeriksaan mata
Pemeriksaan mata untuk menilai adanya strabismus atau tidak, yaitu koordinasi
gerakan mata yang belum sempurna. Cara memeriksanya adalah dengan
menggoyangkan kepala secara perlahan-lahan, sehingga mata bayi akan terbuka,
kemudian baru diperiksa. Apabila ditemukan jarang berkedip atau sensivitas
terhadap cahaya berkurang, maka kemungkinan mengalami kebutaan. Apabila
ditemukan adanya epicantus melebar, maka kemungkinan anak mengalami
sindrom Down.
4. Pemeriksaan telinga
Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk menilai adanya gangguan pendengaran,
dilakukan dengan membunyikan bel atau suara jika terjadi refleks terkejut, apabila
tidak terjadi refleks, maka kemungkinan akan terjadi gangguan pendengaran
5. Pemeriksaan hidung
Pemeriksaan hidung dapat dilakukan dengan cara melihat pola pernapasan,
apabila bayi bernapas melalui mulut, maka kemungkinan bayi mengalami
obstruksi jalan napas karena adanya atresia koana bilateral atau fraktur tulang
hidung atau ensefalokel yang menonjol ke nasofaring. Sedangkan pernapasan
cuping hidung akan menunjukkan gangguan pada paru, lubang hidung kadang-
kadang banyak mukosa. Apabila sekret mukopurulent dan berdarah, perlu
dipikirkan adanya penyakit sifilis kongenital dan kemungkinan lain.
6. Pemeriksaan mulut
Pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat adanya kista yang ada pada mukosa
mulut. Pemeriksaan lidah dapat dinilai melalui warna dan kemampuan refleks
menghisap. Apabila ditemukan lidah yang menjulur keluar, dapat dilihat adanya
kemungkinan kecacatan kongenital. Adanya bercak pada mukosa mulut, palatum
dan pipi biasanya disebut monilia albicans, gusi juga perlu diperiksa untuk
melihat adanya pigmen pada gigi, apakah terjadi penumpukan pigmen yang tidak
sempurna.
7. Pemeriksaan leher
Dapat dilakukan dengan melihat pergerakn, apabila terjadi keterbatasan dalam
pergerakannya, maka kemungkinan terjadi kelainan pada tulang leher, misalnya
kelainan tiroid, hemangioma, dll.4
C. Pemeriksaan Antropometri
Pada bayi baru lahir, perlu dilakukan pengukuran antropometri seperti berat badan,
dimana berat badan yang normal sekitar 2500-3500gram, apabila ditemukan berat
badan kurang dari 2500gr, maka dapat dikatakan bayi dengan berat badan lahir
rendah. Akan tetapi, apabila ditemukan bayi dengan berat badan lahir lebih dari
3500gr, maka bayi dimasukkan kedalam kelompok makrosomia. Pengukuran
antropometri lainnya adalah pengukuran panjang badan secara normal, panjang badan
bayi baru lahir adalah 40-50cm, pengukuran lingkar kepala normalnya adalah 33-
35cm, pengukuran lingkar dada normalnya adalah 30-33cm. Apabila ditemukan
diameter kepada lebih besar dari 3cm dari lingkar dada, maka bayi mengalami
hidrosefalus dan apabila diameter kepada lebih kecil 3cm dari lingkar dada, maka
bayi tersebut mengalami mikrosefalus.4
D. Skoring untuk pemeriksaan Tiroid (APGAR Score Tiroid)

Indeks hipotiroidisme kongenital merupakan ringkasan tanda dan gejala yang paling
sering terlihat pada hipotiroidisme kongenital. Dicurigai adanya hipotiroid bila skor
indeks hipothyroid kongenital > 5. Tetapi, tidak adanya gejala atau tanda yang tampak
tidak menyingkirkan kemungkinan hipotiroid kongenital.

Tabel 1. Skoring hipotiroid kongenital3

Gejala Klinis
Hernia umbilicalis                                           2
Kromosom Y tidak ada (wanita) 1
Pucat, dingin, hipotermi                      1
Tipe wajah khas edematus                  2
Makroglosi                                                      1
Hipotoni          1
Ikterus lebih dari 3 hari                                   1
Kulit kasar, kering                               1
Fontanella posterior terbuka (>3cm) 1
Konstipasi                                                       1
Berat badan lahir > 3,5 kg                  1
Kehamilan > 40 minggu          1
Total 15

Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium
BMR (Basal Metabolic Rate), pemeriksaan ini sukar dan kurang dipercaya pada anak.
Kolesterol serum meninggi, alkalin fosftase rendah dan kadar karoten plasma
meninggi. Pemeriksaan khusus meliputi Protein Bound Iodine (PBI) menurun,
hormon tiroid T3 dan T4 menurun, TSH meningkat dan radio iodine uptake menurun.
Bila perlu dapat dilakukan tes percholerat discharge dan tes TRH.
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan maturasi tulang dan umur tulang. Didapatkan disgenesis epifise,
keterlambatan yang menyeluruh dalam osifikasi, dan pada beberapa kasus terdapat
deformitas dari L1/L2 sehingga menjadi kifosis.
3. EKG menunjukkan voltase rendah
4. EEG juga menunjukkan voltase rendah
5. Refleksogram (tendon achilles), menunjukkan refleks tendon yang meningkat.3
Working Diagnosis: Hipotiroid kongenital

Hipotiroidisme

Diagnosis hipotiroidisme dibuat berdasarkan penurunan kadar T4 bebas.


Hipotiroidisme ini dapat disebabkan oleh kelainan kelenjar tiroid (primer), abnormalitas
kelenjar pituitari (sekunder) atau abnormalitas hipotalamus (tersier).5

Hipotiroidisme kongenital terjadi pada 1 per 4000 kelahiran hidup dan dapat
disebabkan oleh disgenesis tiroid, kelainan embriogenesis (agenesis, aplasia, ektopik) dan
dishormongenesis (misalnya defek enzim). Disgenesis tiroid dan kelainan embriogenesis
lebih sering dijumpai daripada dishormongenesis. Jaringan tiroid biasanya tidak dapat diraba
pada pemeriksaan palpasi. Dishormogenesis, suatu kelainan metabolisme intratiroid atau
dikenal dengan hipotiroidisme kongenital goitrogenik terjadi pada 1 per 30000 kelahiran
hidup. Struma menunjukkan adanya inborn error of metabolism pada jalur inkorporasi iodida
atau biosintesis hormon tiroid atau menunjukkan adanya obat antitiroid dari ibu yang
melewati sirkulasi transplasental. Kadar T4 bebas rendah, dan kadar TSH meningkat.
Program skrining neonatal rutin untuk mengukur kadar TSH tali pusat atau tusukan pada
tumit dilakukan disetiap negara bagian Amerika. Pemeriksaan diagnostik perlu dilakukan
pada semua bayi dengan hasil pemeriksaan skrining tiroid yang positif. Kadar T 4 yang rendah
dan TSH yang tinggi menegakkan diagnosis hipotiroidisme.5

Hipotiroidisme sekunder atau tersier terisolasi, terjadi pada 1 per 100.000 kelahiran
hidup; kadar T4 normal atau rendah. Jika terdapat hipotiroidisme sekunder atau tersier, perlu
dilakukan evaluasi terhadap hormon pituitari yang lain dan juga evaluasi anatomi
hipotalamus-pituitari dengan magnetic resonance imaging (MRI). Meskipun tidak termasuk
dalam hipotiroidisme, defisiensi T4-binding globulin kongenital timbul pada 1 per 10.000
kelahiran hidup dan ditandai dengan kadar T4 total serum yang rendah, kadar TSH dan T 4
bebas normal, dan secara klinis eutiroid. Kondisi ini tidak memerlukan terapi karena murni
hanya kelainan pada binding protein. Kelainan ini biasanya diturunkan secara X-linked
dominan.5

Manifestasi klinis hipotiroidisme kongenital pada periode neonatus biasanya tidak


jelas tetapi kemudian menjadi semakin jelas dalam beberapa bulan atau beberapa minggu
setelah lahir. Pada saat itu, sudah cukup terlambat untuk memastikan tidak terdapat gangguan
perkembangan kognitif pada bayi. Skrining neonatus sangat penting untuk diagnosis dini dan
memulai terapi substitusi tiroid pada usia kurang dari satu bulan. Manifestasi klinis yang
ditemukan setelah lahir meliputi usia gestasi lebih dari 42minggu, berat badan lahir lebih dari
4kg, hipotermia, akrosianosis, distress pernapasan, ubun-ubun posterior yang lebar, distensi
abdomen, letargis, asupan makan sulit, ikterik yang berlangsung lebih dari 3hari setelah lahir,
edema, hernia umbilikus, kulit mottled, konstipasi, makroglosia, kulit kering dan suara tangis
yang serak.5,6 Hormon tiroid penting untuk maturasi dan diferensiasi berbagai jaringan seperti
tulang (usia tulang biasanya terlambat saat lahir karena hipotiroidisme intrauterine) dan otak
(sebagian besar maturasi otak yang tergantung hormon tiroid terjadi pada usia 2 sampai
3tahun setelah lahir).5

Jika terapi dimulai pada usia kurang dari satu bulan, maka prognosis untuk
perkembangan intelektualnya baik. Program skrining neonatus memungkinkan pemberian
terapi dimulai setelah usia 6bulan, saat tanda hipotiroidisme klasik muncul, fungsi intelektual
biasanya sudah menurun secara bermakna. Pertumbuhan akan membaik setelah terapi
substitusi hormon tiroid. Dosis tiroid berubah dengan bertambahnya usia; dosis tiroksin 10-
15mg/kg biasanya diberikan pada saat usia neonatus, menurun menjadi 3mg/kg pada anak
besar. Tujuan terapi pada hipotiroidisme kongenital adalah untuk meningkatkan T 4 bebas
secepat mungkin menjadi setengah nilai normal ke atas. Supresi TSH tidak terjadi pada
semua kasus dan tidak semua kasus perlu supresi TSH karena untuk mensupresi TSH
terkadang diperlukan tiroksin dalam dosis besar.5

Hipotiroidisme kongenital dibagi menjadi 3 tipe, yaitu: (a) hipotiroid neonatal yang
jelas (type kongenital), (b) tipe infantil, yang menampakkan gejalanya dalam bulan pertama
(delayed onset). Pada sebagian besar bayi hipotiroid kongenital, akan lahir dengan
sedikit/bahkan tanpa gejala klinis. Oleh karena itu diagnosis yang hanya berdasarkan keluhan
dan gejala klinis sering terlambat 6minggu-8bulan atau bahkan lebih lama, (c) tipe juvenile,
timbulnya gejala lebih lambat dari tipe infantil, sehingga diagnosisnya lebih sulit.3

Agar pengaruh dampak negatif dari hipotiroid neonatal dapat dihambat, maka
diperlukan skrining dengan pemeriksaan TSHs dan bagi yang positif diberikan pengobatan
segera. Karena makin awal pengobatan akan makin baik prognosisnya. Bahkan dengan feta;
USG dan pemeriksaan TSH cairan amnion dapat ditegakkan hipotiroid intrauterine. Apabila
memang ada, dapat disuntikkan 500µg sodium T4 tiap 2minggu lewat cairan amnion. Hati-
hati penggunaan cairan povidone untuk antiseptik topikal selama persalinan pada neonatus,
karena dapat berakibat “transient hypothyroidsm” (Povidone induced hypothyroidism).3
Secara garis besarnya, gangguan tumbuh kembang pada hipotiroid kongenital adalah
sebagai berikut:

1. Gangguan terhadap pertumbuhan fisik


Defisiensi hormon tiroid yang berat, yang terjadi pada masa fetus akhir (trimester III
kehamilan) dan pada masa neonatal, akan menyebabkan bentuk tubuh anak
mengalami retardasi, sehingga anak menjadi kerdil. Hal ini disebabkan karena:
- Rendahnya metabolisme tubuh, retensi nitrogen berkurang dan fungsi sebagian
besar sistem organ dibawah normal
- Jaringan tulang masih tetap tidak matang/immature karena terlambatnya maturasi
epifise, sehingga mengakibatkan terlambatnya pertumbuhan tulang-tulang
panjang. Demikian pula pertumbuhan tulang tengkorak dan penutupan sutura
tulang tengkorak akan mengalami keterlambatan, sehingga ubun-ubun terkmbat
menutup.

Semula dikatakan bahwa baik T3 maupun T4 tidak dapat melewati plasenta, tetapi kini
diketahui bahwa hormon ini dapat lewat placenta meskipun dalam jumlah yang amat
sedikit. Sehingga sebelum kelejar tiroid janin berfungsi, sebagian harus dibantu dari
ibu. Hal ini dapat dibuktikan bahwa hanya sekitar 60-70% kasus terdapat gangguan
maturasi tulang. Mediator efek hormon tiroid maternal (meskipun dalam jumlah
sedikit) pada perkembangan otak anak diduga melalui “growth factor”, seperti: nerve
growth factor, epidermal growth factor, insulin-like growth factor.

2. Gangguan terhadap pertumbuhan dan kematangan SSP


Hipotiroid kongenital dapat menyebabkan keterlambatan yang menyolok pada SSP.
Hal ini disebabkan karena pertumbuhan dan arborisasi dari sel-sel saraf terlambat,
interaksi aksodendrik dan konektivitas berkurang, vaskularisasi dan mielinisasi terjadi
pada kecepatan dibawah normal. Terdapat mental retardasi dengan/tanpa disertai
gangguan pendengaran tipe perseptif sampai tuli-bisu, gangguan neuromotor seperti
gangguan bicara, cara jalan yang aneh yang tidak dapat dipulihkan, terjadi apabila
pengobatan terlambat. Periode ketergantungan SSP terhadap hormon tiroid
berlangsung mulai dari masa kehamilan sampai umur 2-3tahun.
Menurut Porterfield 1993 (dikutip dari Djokomoelyanto), pada dasarnya
ketergantungan SSP terhadap hormon tiroid dari janin sampai lahir dibagi menjadi
3fase, yaitu:
- Fase I, 10-12minggu gestasi merupakan periode perkembangan sebelum hormon
tiroid diproduksi oleh fetus (sumber masih dari ibu). Pada fase ini terjadi
perkembangan khusus brainstem, migrasi neuron dan neurogenesis perifer.
- Fase II periode tiroid fetus memproduksi hormon. Pada fase ini pertumbuhan otak
dipengaruhi hormon tiroid yang berasal dari fetus dan mungkin juga dari ibu.
Dimana terjadi maturasi neuron, formasi neurit, perkembangan sinaps di
forebrain.
- Fase III periode sesudah lahir. Otak tergantung hanya pada hormon yang
dihasilkan oleh neonatus. Pada fase ini terjadi proliferasi neuron serebelu,, migrasi
dan diferensiasi terjadi baik pada fase II atau III namun gliogenesis dan
mielinisasi khusus pada fase III.
3. Gangguan terhadap proses kedewasaan (Puberty)
Kalau penderita tidak diobati, maka akan terjadi kegagalan pertumbuhan seksual atau
pertumbuhan seks terlambat dan tidak sempurna (sexual infantilism). Pada penderita
yang lebih besar terdapat amenore/gangguan spermatogenesis.3

Patofisiologi

Fungsi tiroid janin

Kelenjar tiroid dan kelenjar hipofisis janin terbentuk sempurna pada usia gestasi 10-
12minggu. Pada saat tersebut, kelenjar tiroid sudah dapat mengumpulkan iodida dan
mensintesis hormon, dan kelenjar hipofisis sudah mengandung TSH. Konsenterasi TSH, T 4
dan T3 serum janin tidak dapat dideteksi atau berada dalam kadar yang sangat rendah
sebelum pertengahan masa gestasi. Plasenta relatif tidak bersifat permeabel terhadap hormon
tiroid. Bukti pada tikus dan manusia menunjukkan adanya transfer T4 dari ibu ke janin dalam
jumlah yang kecil tapi bermakna, dan terdapat T4 dengan kadar rendah dalam darah tali pusat
janin atiroid, yang berkisar antara 30-70nmol/L (2.3-5.4µg/dL). Sebagian besar hormon tiroid
yang melewati plasenta mengalami deiodinasi. Plasenta memiliki iodotironin deiodinase
cincin-dalam aktif, yang mengubah T4 menjadi rT3 dan T3 menjadi T2 (juga suatu metabolit
inaktif). Kadar rT3 yang tinggi dalam cairan amnion, dan sebagian yang berada dalam darah
fetus mungkin disebabkan oleh aktivitas monodeiodinasi plasenta.2

Plasenta bersifat tidak permeabel terhadap TSH. Pada usia kehamilan 18-24minggu,
terjadi peningkatan progresif kandungan dan konsenterasi TSH hipofisis serta peningkatan
progresif konsenterasi TSH serum janin, sehingga pada usia kehamilan 24minggu, kadar TSH
serum janin melebih kadar pada ibu. Ambilan idoium radioaktif oleh kelenjar tiroid janin
mengalami peningkatan paralel. Stimulasi mendadak terhadap sintesis dan sekresi TSH ini
pada pertengahan kehamilan tampaknya berkorelasi dengan pematangan sistem pembuluh
darah portal hipotalamus-hipofisis dan peningkatan produksi TRH hipotalamus.2

Diantara masa midgestasi dengan kehamilan cukup bulan, konsenterasi TSH serum
janin tetap relatif tinggi dan merangsang peningkatan progresif T4 serum janin pada paruh
kedua kehamilan. Selain itu, juga terjadi peningkatan progresif konsenterasi TBG serum pada
usia kehamilan antara 10-15 dan 30-35minggu, tetapi peningkatan progresif T4 bebas
megindikasikan saturasi progresif lokasi pengikatan protein. Jika semua dikumpulkan, data
ini mengesankan peningkatan sekresi T4 janin pada trimester akhir kehamilan. Kelenjar tiroid
janin dapat memekatkan iodida selama kehamilan trimester kedua, tetapi mekanisme transpor
iodida masih imatur dan tidak mengalami supresi akibat pemajanan idodida plasma berkadar
tinggi. Dengan demikian, janin rentan terhadap hipotiroidisme yang diinduksi iodida (efek
Wolff-Chaikoof).2

Fungsi tiroid neonatus

Melalui proses kelahiran, bayi baru lahir dipindahkan dari keadaan defisiensi T 3
kimiawi menjadi tiroksikosis T3 kimiawi. Meningkatnya kadar T3 serum pada bayi aterm
terjadi dalam dua fase. Selama periode prapersalinan hampir aterm, kadar T3 serum janin
meningkat sedikit, dari 15 sampai sekitar 50ng/dL (0.23-0.76nmol/L). Segera setelah
pelahiran, kadar T3 dalam serum janin meningkat secara tiba-tiba (dalam 2-8jam), yang
disebabkan oleh meningkatnya sekresi sekresi T3 tiroid dan meningkatnya konversi T4
menjadi T3. Setelah lahir, konsenterasi TSH serum meningkat cepat hingga mencapai kadar
puncak rata-rata sebesar 80-90 µU/mL (80-90U/L) dalam waktu 30menit, mungkin
distimulasi oleh pendinginan neonatus dalam lingkungan ekstrauterine. Akibatnya, kadar T3,
T4, T4 bebas dan T3 bebas dalam serum meningkat seketika. Sebaliknya, konsenterasi TBG
serum tetap tidak berubah pada kadar sekitar 2.5mg/dL (25mg/L) dan kadar T 3 serum yang
tinggi hanya berkurang secara bertahap menjadi nilai dewasa selama 2-3minggu pertama.
Kadar konjugat sulfat iodotironin cepat menurun setelah lahir akibat peningkatan aktifitas
iodotironin monodeiodinase cincin luar jaringan. Produksi T3 lokal dari T4 dalam jaringan
adiposa cokelat meningkatkan produksi termogenin, yaitu protein mitokondria yang
merangsang fosforilasi oksidatif dan meningkatkan termogenesis lemak cokelat yang
dirangsang oleh norepinefrin.2

Gangguan embriogenesis tiroid (disgenesis tiroid)

Disgenesis tiroid menyebabkan menurunnya fungsi tiroid pada sebagian besar bayi
dengan hipotiroidisme kongenital menetap yang terdeteksi pada program uji tapis. Prevalensi
kelainan ini adalah sekitar 1 dari 4000bayi baru lahir. Istilah disgenesis menggambarkan bayi
dengan kelenjar ektopik atau hipoplastik (atau kedua-duanya) termasuk bayi dengan agenesis
tiroid total. Mungkin terdapat sebagian jaringan tiroid pada 40-60% bayi-bayi ini.
Pemindaian tiroid dan uji ambilan tiroid mungkin tidak cukup peka untuk mendeteksi
sejumlah kecil sisa jaringan tiroid fungsional. Patogenesis pada sebagian besar pasien masih
tidak jelas. Disgenesis tiroid lebih sering terjadi pada bayi perempuan daripada bayi laki-laki,
rasio perempuan terhadap laki-laki adalah sekitar 2:1. Sebagian besar bayi dengan disgenesis
tiroid tidak menunjukkan gejala, dan hanya sedikit yang memperlihatkan tanda
hipotiroidisme pada usia minggu-minggu pertama. Konsekuesinya, jumlah bayi hipotiroid
yang terdeteksi berdasarkan kriteria klinis sebelum diagnosis ditegakkan dari uji tapis
kimiawi hanya kurang dari 5%. Sebagian besar bayi yang terkena gangguan ini memiliki
konsenterasi T4 serum rendah dan konsenterasi TSH tinggi yang terdapat dalam darah tali
pusat atau dalam bercak darah pada kertas saring yang dikumpulkan pada usia 1-5hari.2

Pengobatan

1. Pengobatan yang dianjurkan tergantung pada sebabnya. Pada umumnya seseorang


dengan hipotiroid kongenital perlu mendapat substitusi dengan hormon tiroid selama
hidupnya, yang dosisnya disesuaikan dengan kebutuhan dan usianya. Tentu tidak
perlu segera diberikan substitusi hormon pada kasus “transient hypothyroidsm”.
Sedangkan pada GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) cukup hanya
diberikan iodium. Walaupun demikian, kalau gangguan akibat GAKI sudah lama dan
memberi atrofi pada kelenjar tiroid, maka perlu dipertimbangkan diberi tiroksin.3

Tabel 2. Dosis Levotyroxyn (L-tyroxin) menurut umur anak3

Umur Dosis
0-1tahun 9µg/kgBB/hari
1-5tahun 6 µg/kgBB/hari
6-10tahun 4 µg/kgBB/hari
11-20tahun 3 µg/kgBB/hari
Cara pemberian dimulai dengan dosis kecil 6-8 µg/kgBB pada bayi (pada anak yang
lebih besar 4 µg/kgBB) selama 1-2minggu, lalu dosis dinaikkan sampai mendekati dosis
toksis (gejala hipertiroid), lalu diiturunkan lagi sampai dosis diperkirakan optimal. Penilaian
dosis yang tepat ialah dengan menilai gejala klinis dan hasil laboratorium yaitu serum T 3 dan
T4. Tanda dosis berlebihan adalah anak tidak bisa tidur, banyak berkeringat, gelisah, poliuri,
takikardi, hipertensi, muntah dan diare. biasanya perbaikan tampak setelah 7-12hari. Dosis
inisial pada umumnya 100-150 µg/hari jarang yang melebihi 200 µg/hari. Bila sampai

melebihi 200 µg/hari, maka diagnosis perlu dipertanyakan.

2. Makanan yang adekuat, cukup kalori dan protein


3. vitamin dan mineral
4. stimulasi perkembangannya.3

Uji tapis hipotiroidisme kongenital pada bayi baru lahir

Uji tapis untuk hipotiroidisme kongenital dilakukan dengan kombinasi pengujian T4


dan TSH atau hanya dengan pengujian TSH. Sekitar 1 dari 4000 bayi baru lahir
memperlihatkan hipotiroidisme kongenital. Data uji tapis menunjukkan bahwa bayi baru lahir
dengan hipotiroidisme primer memiliki kadar T4 serum yang rendah dan konsenterasi TSH
yang tinggi. Sebagian besar program uji tapis hanya melaporkan bayi-bayi yang memiliki
konsenterasi TSH yang tinggi pada bercak darah kertas saringnya. Oleh karena itu 10-15%
bayi dengan hipotiroidisme kongenital memiliki kadar T4 dalam rentang normal, akan baik
dalam program yang menggunakan T4 dilanjutkan dengan uji tapis TSH, untuk
mempertahankan nilai cutoffT4 (untuk pengujian TSH) pada kadar percentil 10. Pada program
uji tapis baik T4/TSH maupun TSH, 8-10% bayi dengan hipotiroidisme kongenital akan
memiliki kadar uji tapis TSH yang kurang dari 50µU/ml (50 U/L). Satu dari 20-30 bayi
hipotiroid (sekitar 1dalam 100.000- 1dalam 150.000 bayi baru lahir) akan memiliki kadar
TSH uji tapis kurang dari 20µU/ml (20U/L) dan tidak dapat dideteksi sebagai abnormal.2

Diagnosis hipotiroidisme kongenital dapat ditegakkan dengan mengukur konsenterasi


T4 dan TSH serum dalam sampel darah tali pusat atau sampel darah neonatus individual.
Kadar T4 serum tali pusat sebesar 6.0µg/dL (77nmol/L) atau kurang menggunakan
radioimmunoassay, dengan TSH lebih dari 30 µU/mL (atau 30 U/L) diusulkan
hiopotiroidisme. Kadar T3 serum tali pusat yang diukur mengginakan radioimmunoassay
tidak bermanfaat dalam menegakkan diagnosis hipotiroidisme saat lahir. Kadar T4 serum
yang rendah, jika berdiri sendiri, tidak cukup untuk menegakkan diagnosis; suatu uji ambilan
resin T3, penentuan konsenterasi T4 bebas atau pengukuran TBG, atau ketiganya perlu
dilakukan untuk menyingkirkan kadar TBG serum yang rendah oleh sebab apapun.
Pengukuran TSH serum merupakan uji yang paling sensitif untuk hipotiroidisme primer,
tindakan ini harus dilakukan pada setiap pasien yang memiliki kadar T4 rendah atau normal
rendah. Diagnosis hipotiroidisme kongenital harus dipastikan melalui pengukuran
konsenterasi T4 dan TSH serum pada setiap bayi dengan hasil uji tapis yang mencurigakan.2

Pencegahan

Untuk mencegah terjadinya kretinisme sebagai akibat defisiensi iodium yang berat, di
Indonesia dibagikan garam beriodium/kapsul idoium didaerah rawan gondok. Bila diinginkan
pencegahan yang lebih efektif dapat dicapai dengan suntikan larutan iodium dalam
minyak/lipiodol intramuskular. Dianjurkan untuk memberi suntikan pada semua orang
sampai usia 20tahun sedangkan pada wanita sampai umur 45tahun (usia subur). Suntikan
diberikan setiap 3-5tahun sekali.3

Tabel 3. Anjuran dosis yang digunakan dalam program pencegahan3

Umur Kandungan iodium Dosis (ml)


0-6bulan 95.0-180.0 0..2-0.4
6-12bulan 142.5-285.0 0.3-0.6
1-6tahun 232.5-465.0 0.5-1.0
6-45tahun 475.0-950.0 1.0-2.0

Prognosis
Prognosis meningkat secara dramatis dengan adanya neonatal screening program.
Diagnosis yang cepat dan pengobatan yang adekuat dari minggu pertama kehidupan dapat
memberikan pertumbuhan yang normal termasuk intelegensi dibandingkan dengan lainnya
yang tidak mendapatkannya. Tanpa pengobatan, infant yang mengalaminya akan ditemukan
defisensi mental dan retardasi pertumbuhan. Hormone thyroid sangat penting untuk
pertumbuhan otak, maka diperlukan diagnosis biokimia untuk mengetahui apakah ada
kelainan atau tidak agar dapat segera di tatalaksana untuk mencegah kerusakan otak yang
irreversible.3
Diagnosis banding
Down syndrome
Anak dengan syndrom Down adalah individu yang dapat dikenali dari fenotipenya dan
mempunyai kecerdasan yang terbatas, yang terjadi akibat adanya jumlah kromosom 21 yang
berlebih. Diperkirakan bahwa materi genetik yang berlebih tersebut terletak pada bagian
lengan bawah dari kromosom 21 dan interaksinya dengan fungsi gen lainnya menghasilkan
suatu perubahan homeostasis yang memungkinkan terjadinya penyimpangan perkembangan
fisik dan susunan saraf pusat.3

Epidemiologi

Sindrom Down merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling banyak terjadi
pada manusia. Diperkirakan angka kejadiannya terakhir adalah 1.0-1.2 per 1000kelahiran
hidup, dimana 20tahun sebelumnya dilaporkan 1.6 per 1000. Penurunan ini diperkirakan
berkaitan dengan menurunnya kelahiran dari wanita yang berumur. Diperkirakan 20% anak
dengan sindrom Down dilahirkan dari ibu yang berumur lebih dari 35 tahun.3

Sindrom Down dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan bahwa angka kejadiannya
pada bangsa kulit putih lebih tinggi daripada kulit hitam, tetapi perbedaan ini tidak bermakna.
Sedangkan angka kejadian pada berbagai golongan sosial ekonomi adalah sama.3

Etiologi

Selama satu abad sebelumnya banyak hipotesis tentang penyebab sindrom Down yang
dilaporkan. Tetapi semenjak ditemukan adanya kelainan kromosom pada sindrom Down pada
tahun 1959, maka sekarang perhatian lebih dipusatkan pada kejadian “non-disjunctional”
sebagai penyebabnya yaitu:

1. Genetik
Diperkirakan terdapat predisposisi genetik terhadap “non-disjunctional”. Bukti yang
mendukung teori ini adalah berdasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang
menyatakan adanya peningkatan resiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak
dengan sindrom Down.
2. Radiasi
Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya “non-disjunctional”
pada sindrom Down ini. Uchida 1981 menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang
melahirkan anak dengan sindrom Down, pernah mengalami radiasi didaerah perut
sebelum terjadinya konsepsi. Sedangkan peneliti lain tidak mendapatkan adanya
hubungan antara radiasi dengan penyimpangan kromosom.
3. Infeksi
Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya sindrom Down. Sampai
saat ini belum ada peneliti mampu memastikan bahwa virus dapat mengakibatkan
terjadinya “non-disjunctional”.
4. Autoimun
Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid. Penelitian
Fialkow 1966 (dikutip dari Pueschel dkk) secara konsisten mendapatkan adanya
perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan sindrom Down
dengan ibu kontrol yang umurnya sama.
5. Umur ibu
Apabila umur ibu diatas 35tahun, diperkirakan terdapat perubahan hormonal yang
dapat menyebabkan “non-disjunction” pada kromosom. Perubahan endokrin seperti
meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hipoepiandrosteron, menurunnya
konsenterasi estradiol sistemik, perubahan konsenterasi reseptor hormon dan
peningkatan secara tajam kadar LH dan FSH secara tiba-tiba sebelum dan selama
menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya “non-disjunction”.
6. Umur ayah
Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom Down, juga dilaporkan adanya pengaruh
dari umur ayah. Penelitian sitogenetik pada orangtua dari anak dengan sindrom Down
mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya,
tetapi korelasinya tidak setinggi dengan umur ibu.3

Faktor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nukleolus, bahan kimia dan frekuensi
koitus masih didiskusikan kemungkinan sebagai penyebab dari sindrom Down.3

Gambaran klinis

Penderita mempunyai banyak karakteristik gambaran klinis dan manifestasi sistemis


yang bervariasi. Pada umumnya, sosok tubuh penderita sindrom Down pendek dengan leher
pendek dan bungkuk. Telapak tangan penderita hanya memiliki satu garis tangan melintang
dengan jari pendek dan lebar yang dinamakan simian crease. Wajah penderita sindrom Down
lebih ke arah bentuk bulat dengan kepala brachiocephalic serta pangkal hidung lebar dan
datar. Rambut terlihat jarang dan halus. Telinga pendek dan letak agak rendah. Tulang
oksipital penderita datar dan dahinya menonjol. Sebanyak sepertiga atau seperempat fontanel
tampak, semua fontanel besar dan meluas. Sutura sagital yang melebar lebih dari 5mm
ditemukan pada 98% kasus. Mata berbentuk almond dengan fisura palpebra miring kearah
atas, ada bercak brushfield pada iris mata. Penderita memiliki lipatan mata epikantus karena
bagian luar kantus lebih tinggi daripada bagian dalam.3

Sifat penderita sindrom Down biasanya menyenangkan, meski ada yang perhatiannya
kurang, selalu gelisah dan bersifat perusak. Kelainan pada sistem saraf memengaruhi
kemampuan bicara dan tingkah laku penderita. Kelainan perkembangan gigi termasuk
malformasi mahkota dan akar sering ditemukan. Hampir 50% kasus menunjukkan 3 atau
lebih anomali gigi. Hipokalsifikasi email gigi terjadi pada 20% penderita. Ketidakharmonisan
oklusi berupa mesioklusi dengan sedikit prognatisme, gigitan silang posterior dan gigi
anterior yang sangat berjejal, umum ditemukan. Gigitan silang posterior berasal dari tulang
basal maksila dengan gigitan terbuka anterior disebabkan oleh ketidakseimbangan dento
alveolar.3

Terapi dan prognosis

Sindrom ini tidak dapat diobati, namun dukungan dari orangtua dan orang sekitar
dapat membantu penderita menjalankan aktivitas hidupnya secara optimal. Bayi sindrom
Down yang disertai penyakit jantung kongenital mempunyai prognosis buruk. penyebab
kematian yang sering terjadi adalah komplikasi kardiopulmonal, malformasi gastrointestinal
dan leukimia limfositik akut. Teknik baru dalam mendiagnosis kardiovaskular membuat
kemajuan dalam prognosis. Bayi baru lahir perlu diperiksa rongga dadanya oleh radiologis,
juga harus dilakukan EKG, ECG dan konsultasi jantung pediatrik bila ditemukan kelainan
kadiovaskular kongenital. Pemeriksaan mata dan telinga secara sporadik sangat penting
dilakukan sehingga dapat mendeteksi anomali awal dari gangguan mata dan telinga yang
dapat menghambar proses belajar. Terapi dental langsung ditujukan untuk pencegahan karies
gigi dan penyakit periodontal. Pemeriksaan lanjut dan perawatan dirumah sangat penting.7

Hipotiroidisme kongenital sementara


Ingesti bahan goitrogenik oleh ibu dapat menimbulkan gondok janin dan
hipotiroidisme neonatal. Obat ingesti yang paling sering adalah iodida, biasanya diresepkan
dalam ekspektoran untuk pengobatan asma atau sebagai pengobatan tirotoksikosis maternal.
Banyak obat bagi penderita asma merupkan formulasi kompleks yang mengandung berbagai
senyawa yang secara potensial dapat memengaruhi fungsi tiroid. Ibu bayi-bayi ini biasanya
telah menggunakan iodida selama bertahun-tahun, tanpa mengalami pembentukan gondok
yang besar dan sudah menjadi eutiroid selama kehamilan. Janin menjadi sangat sensitif
terhadap terjadinya hipotiroidisme yang diinduksi iodida, mungkin karena mekanisme
pengurangan ambilan iodida tiroid guna mengompensasi kadar tinggi iodida plasma masih
immature. Obat goitrogen lain yang menimbulkan gondok pada neonatus adalah tiourea,
sulfonamid, dan preparat hematinik yang mengandung Cobalt. Gondok nenatus yang
disebabkan Propiltiuourasil (PTU) jarang ditemukan kecuali jika PTU atau obat lain
diberikan pada ibu dalam dosis besar. Hipotiroidisme sementara juga dihasilkan oleh
autoantibody maternal penyekat reseptor TSH yang didapat secara transplasenta. Pengukuran
dapat dilakukan sebagai antibodi penghambat pengikatan TSH atau sebagai antibodi penyekat
cAMP. Ibu-ibu ini biasanya memiliki tiroiditis atrofik. Waktu paruh antibodi pada neonatus
adalah sekitar 2minggu dan hipotiroidismenya dapat menetap selama 2-4bulan, dengan
demikian dianjurkan untuk terapi. Pada serangkaian bayi seperti ini yang mendapatkan
pengobatan T3 (5µg/kg/hr dalam 3dosis terbagi), kadar T4 serum meningkat secara spontan
selama periode pengobatan T3; hal ini menunjukkan perbaikan spontan pada kapasitas
fungsional tiroid. Waktu rata-rata yang dibutuhkan bagi pemulihan fungsi tiroid dan
penghentian pengobatan adalah 50hari. Prevalensi hipotiroidisme sementara banyak terjadi
pada daerah yang asupan iodiumnya rendah (gondok endemis). Suplementasi iodium
neonatus didaerah yang kekurangan iodium akan mencegah hipotiroidisme sementara.2

Didaerah cukup iodium prevalensi hipotiroidisme kongenital sementara rendah,


mungkin 1 diantara 40.000 bayi, biasanya terjadi pada neonatus perempuan dibandingkan
laki-laki.2

Hipotesis

Bayi 2 bulan ini mengalami hipotiroid kongenital.


Penutup

Kesimpulan

Bayi 2 bulan ini mengalami hipotiroid kongenital yang dapat dilihat berdasarkan
gejala klinis dan diperkuat dengan hasil pemeriksaan penunjang berupa permeriksaan
laboratorium. Bayi ini sebaiknya segera diterapi supaya tidak mengalami retardasi mental.
Hipotesis diterima.

Daftar pustaka

1. Diunduh dari: http://idai.or.id/artikel/klinik/keluhan-anak/sembelit-konstipasi-pada-


anak pada 23 November 2015
2. Alpers, Ann. Buku ajar pediatrik Rudolph. Jakarta: EGC, 2006.p.1930-5 (jd no.2)
3. Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC, 1995.p.203-9. (jd no.3)
4. Hidayat, A. Pengantar ilmu kesehatan anak untuk pendidikan kebidanan. Jakarta:
Salemba Medika, 2008.p.66-9 (jadi no.4)
5. Jospe, Nicholas. Nelson ilmu kesehatan anak esensial edisi keenam. Jakarta: Elsevier,
Singapore, 2011.p.711-14.
6. Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6
volume 2. Jakarta: EGC, 2014.p.1231
7. Sudiono, Janti. Gangguan tumbuh kembang dentokraniofasial. Jakarta: EGC,
2008.p.84-92.

Anda mungkin juga menyukai