Anda di halaman 1dari 22

Makalah Ilmu Agronomi Lanjut

Faktor Genetik, Lingkungan, dan Manajemen yang Mempengaruhi Hasil dari Tanaman
Porang (Amorphophallus muelleri Blume)

Disusun oleh:

Kelompok 6

Chlarissa Bella A 20/471419/PPN/04667


Lukas Priyo P. 21/475861/PPN/04716
Arya Eka Pranata 21/485599/PPN/04762
Arly Najibunniam 21/486708/PPN/04780

Dosen Pengampu Mata Kuliah


Dr. Dyah Weni Respatie, S.P., M.Si

Magister Agronomi
Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
DAFTAR ISI

1
HALAMAN JUDUL1
DAFTAR ISI2
DAFTAR TABEL3
DAFTAR GAMBAR4
I. PENDAHULUAN5
A. Latar Belakang5
B. Tujuan5
II. PEMBAHASAN6
A. Fenologi tanaman porang6
B. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil porang10
C. Gen AmAGP pengatur biosintesis pati dan gen CSLA pengatur biosintesis
glukomannan pada tanaman porang 10
D. Faktor manajemen yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil porang 14
III. KESIMPULAN21
DAFTAR PUSTAKA

2
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kadar glukomannan pada organ penyimpan porang14


Tabel 2. Hasil tanaman porang pada pertanaman sistem agroforestri yang menggunakan
berbagai tegakan18
Tabel 3. Uji lanjut Duncan biomassa porang19
Tabel 4. Uji lanjut Duncan pertumbuhan berat basah19

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Fenologi tanaman porang 5


Gambar 2. Perbedaan morfologi porang antara fase vegetatif dan fase generatif 7
Gambar 3. Tajuk porang yang memiliki bulbil (kiri) dan tajuk porang dewasa (kanan) 7
Gambar 4. Pertumbuhan dan perkembangan pembungaan porang 8
Gambar 5. Termogenesis pada bunga jantan A. titanum 9
Gambar 6. Periode peningkatan suhu dan kaitannya dengan peristiwa penyerbukan bunga
pada tiga spesies Amorphophallus 9
Gambar 7. Jalur biosintesis pati dan glukomannan pada A. konjac 11
Gambar 8. Tingkat transkripsi gen AmAGP pada berbagai organ porang pada fase vegetatif
yaitu tuber/cormus, akar, tangkai daun, dasar tangkai anak daun, daun 12
Gambar 9. (A) Kandungan pati dan glukomannan sel dan (B) Tingkat transkripsi gen
AmAGP di dalam sel di bawah berbagai perlakuan suhu 12
Gambar 10. (A) Kandungan pati dan glukomannan sel dan (B) Tingkat transkripsi gen
AmAGP di dalam periode penanaman 60 hingga 150 hari13

4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanaman porang (Amorphophallus muelleri Blume) merupakan tanaman anggota
famili Araceae dan di beberapa daerah tanaman ini sering dikenal dengan nama iles-iles.
Tanaman porang merupakan tanaman asli Indonesia. Pada umumnya, porang tumbuh
liar di hutan dan sering dijumpai di bawah tegakan pepohonan yang keras dan rindang.
Sejak zaman penjajahan Jepang, tanaman ini mulai dikenal sebagai sumber karbohidrat.
Selain sebagai sumber karbohidrat, porang mengandung lemak, protein, mineral, vitamin,
dan serat pangan. Kandungan glukomanan pada tanaman porang sangat tinggi,
dibandingkan tanaman umbi-umbian lainnya (Sulfiani, 1993 cit. Mulyono, 2010). Hal
tersebut memiliki hasil positif bagi kondisi pertanian di Indonesia. Porang mulai
dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, berupa karbohidrat. Selain itu,
porang juga termasuk dalam tanaman pangan lokal yang memiliki manfaat untuk
ketahanan pangan.
Umbi tanaman porang dapat diolah menjadi chips, tepung porang, dan tepung
glukomanan. Tepung porang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan fungsional,
pakan ternak, pengikat air, bahan pengental, penggumpal atau pembentuk gel, dan
makanan untuk diet (rendah lemak dan kalori) karena sifat kelarutan glukomannya yang
tinggi dalam air (Wang & Johnson, 2003). Sebagai bahan makanan, umbi porang dapat
diolah menjadi konnyaku (tahu) dan shirataki (mie) yang sangat terkenal di daerah
Jepang, Cina, dan Taiwan. Produk glukomanan dari umbi porang dapat juga digunakan
sebagai produk yogurt, pudding, dan es krim.
Manfaat umbi porang yang sangat besar merupakan sebuah peluang terbaik untuk
memaksimalakan hasil produksinya. Tempat tumbuh porang sangat sesuai dengan
kondisi iklim di Indonesia, sehingga sangat memungkinkan untuk membudidyakan
tanaman porang secara optimal. Selain itu, permintaan pasar yang sangat tinggi dari
negara-negara asing akan memberikan keuntungan yang besar bagi Indonesia dalam
memajukan pertanian, khususnya pembudidayaan tanaman porang. Indonesia dapat
mengekspor hasil dari tanaman porang apabila kesempatan ini dimanfaatkan dengan
baik, dikarenakan tanaman porang merupakan salah satu tanaman asli dari Indonesia.
Tanaman dapat memeberikan hasil yang maksimal jika tumbuh pada lingkungan
yang sesuai dengan faktor genetiknya. Penyesuaian faktor genetik dan lingkungan dapat
terwujud jika terdapat manajemen pertanian yang baik, begitu juga dengan tanaman
porang. Pada makalah ini, akan dibahas tentang teknik pembudidayaan tanaman porang,
lingkungan, dan gen yang tepat bagi tanaman porang. Pengetahuan tentang teknik
manajemen lingkungan dan genetik tanaman porang, serta teknik budidayanya, sangat
mendukung untuk memaksimalkan produksi dari tanaman porang, baik dari segi
kuantitas maupun kualitas.

B. Tujuan
Mengingat porang telah menjadi salah satu komoditas unggulan Indonesia, sehingga
pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui faktor lingkungan, genetik, dan
manajemen yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman porang.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Fenologi tanaman porang


Porang (Amorphophallus muelleri), merupakan tanaman tahunan dengan habitus
herba yang termasuk dalam famili Araceae, berkerabat dekat dengan konjac (A. konjac)
dan suweg (A. paeoniifolius) dalam marga yang sama. Ketiganya dimanfaatkan sebagai
sumber pangan karbohidrat bukan biji-bijian melalui organ penyimpan yang disebut
cormus dan bulbil (aerial tuber). Cormus adalah pemendekan batang yang memiliki ruas-
ruas tempat munculnya tunas yang rapat dan membentuk lempeng basal. Bulbil adalah
tuber yang tumbuh pada bagian ketiak dari anak tangkai daun porang, bagian ini
merupakan salah satu karakter yang dapat membedakan habitus vegetatif tanaman
porang dengan anggota Amorphophallus yang lainnya. Pada bagian cormus dan bulbil,
karbohidrat yang dimanfaatkan oleh manusia berupa pati/amilum dan senyawa
glukomannan. Sehingga, kualitas hasil produksi tidak hanya ditentukan dari biomassa
cormus (Lontoh et al., 2019)

Gambar 1. Fenologi tanaman porang (Lontoh et al., 2019)

Peningkatkan produksi cormus porang dipengaruhi pengelolaan yang disesuaikan


dengan fenologi porang (Gambar 1.). Seperti anggota marga Amorphophallus pada
umumnya, porang memiliki dua fase pertumbuhan yaitu vegetatif dan generatif yang
memiliki periode kemunculan yang berbeda. Pergiliran fase pertumbuhan pada porang
dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Porang cenderung membentuk fase vegetatif saat
musim hujan dan mengalami dormansi atau pembungaan saat musim kering.
Pembungaan umumnya muncul di tahun ketiga pertumbuhan porang.
Fase vegetatif ditandai dengan munculnya tajuk apikal dari lempeng basal cormus
yang berfungsi untuk fotosintesis. Fase generatif ditandai dengan munculnya tunas
pembungaan dari lempeng basal cormus yang dilanjutkan dengan pemekaran daun
pemikat (spathe) dan pemasakan bunga tongkol (spadix) hingga pembentukan buah dan
biji. Sturktur pembungaan tersebut merupakan bukti taksonomi anggota famili Araceae.

6
Fase vegetatif mendukung pertumbuhan dan akumulasi karbohidrat di dalam cormus, di
mana simpanan karbohidrat tersebut akan digunakan sebagai sumber energi saat
pertumbuhan dan perkembangan fase generatif atau reproduktif. Dormansi juga terjadi di
antara fase tersebut, atau antarfase vegetatif pada tahun-tahun pertama perkembangan.
Dormansi dapat terjadi pada cormus dan biji porang (Lontoh et al., 2019).
a. Fase vegetatif
Santosa et al. (2016) melaporkan tentang perbedaan fase vegetatif dengan fase
reproduktif pada porang (Gambar 2.). Pada Gambar 2.D., menunjukkan tunas
vegetatif (kiri) dan tunas pembungaan (kanan). Diketahui bahwa pada fase vegetatif,
proses fotosintesis terjadi, sehingga muncul tajuk dan pada cormus tumbuh sistem
perakaran. Pada fase ini, terjadi pertumbuhan cormus dan bulbil yang menyimpan
simpanan karbohidrat (Gambar 3.). Tunas tajuk berbentuk runcing sedangkan tunas
pembungaan berujung tumpul (Gambar 2.A-B). Tunas vegetatif dapat muncul
sebelum dan setelah pembungaan (Gambar E-F) dan pada pergantian fase tersebut,
terjadi perbedaan morfologi dan fitokimia pada cormus porang.

Gambar 2. Perbedaan morfologi porang antara fase vegetatif dan fase generatif; (A) Bentuk
tunas, (B) Tunas pembungaan, (C) Irisan membujur tunas pembungaan, (D) Perbedaan tunas
vegetatif dan reproduktif, (E) Tunas vegetatif pada cormus sebelum pembungaan (F) setelah
pembungaan, (G) Morfologi cormus sebelum pembungaan, (H) Morfologi cormus ketika terjadi
pembungaan (Santosa et al., 2016)

Gambar 3. Tajuk porang yang memiliki bulbil (kiri) dan tajuk porang dewasa (kanan)

7
(Tajuddin et al., 2020; Sumarwoto, 2005)
Bulbil dapat digunakan sebagai unit propagasi porang karena memiliki calon-
calon jaringan meristem pucuk yang dapat tumbuh menjadi tajuk vegetatif baru.
Meskipun memiliki simpanan karbon, akan tetapi cormus merupakan organ yang
dipertimbangkan sebagai hasil panen utama porang. Pertumbuhan cormus dianggap
memenuhi syarat panen apabila berbentuk globular dan morfologi cormus ditentukan
oleh kedalaman penanaman, di mana semakin dalam kedalaman tanah saat
penanaman, menyebabkan cormus berbentuk memanjang (Santosa et al., 2004).
Pertambahan ukuran cormus terjadi selama fase vegetatif masih melangsungkan
fotosintesis. Sehingga, apabila fase vegetatif berhenti tumbuh dan porang mengalami
dormansi atau berganti menjadi fase reproduktif, pertambahan ukuran cormus yang
sejalan dengan biosintesis simpanan karbohidrat akan terhenti (Santosa et al., 2016).
b. Fase reproduktif
Santosa et al., (2016) melaporkan perkembangan pembungaan ditandai dengan
munculnya tunas pembungaan pada cormus yang berlangsung dalam waktu yang
panjang (Gambar 4.) lalu diikuti proses antesis yang cepat dan diakhiri dengan
proses pematangan buah dan biji yang membutuhkan waktu berbulan-bulan.
Sehingga, unit propagasi yang digunakan untuk perbanyakan porang adalah melalui
penanaman klon cormus atau bulbil. Perbanyakan menggunakan biji umumnya
digunakan untuk mempelajari keragaman genetik dari porang. Akan tetapi, telah
ditemukan mekanisme agamospori atau apomiksis pada pembentukan biji porang
yang menyebabkan genotipe yang dihasilkan dari reproduksi generatif tidak jauh
berbeda dengan genotipe parental. Sehingga, penelitian mengenai tingkat
keragaman di bawah spesies porang sulit untuk dilakukan.

Gambar 4. Pertumbuhan dan perkembangan pembungaan porang (Santosa et al., 2016)

Pada Gambar 2.H., dan Gambar 4., dapat diamati perubahan morfologi
cormus ketika fase generatif berlangsung. Simpanan karbohidrat kompleks berupa
pati dan glukomanan digunakan sebagai sumber energi utama karena tunas vegetatif
tidak muncul. Sehingga, morfologi cormus tampak berkerut dan berukuran lebih kecil.
Peristiwa tersebut mempengaruhi pengelolaan dalam penanaman dan pemanenan
porang dalam menghasilkan cormus yang bernilai ekonomi tinggi (Santosa et al.,
2016).

8
Berkurangnya simpanan karbohidrat akibat perkembangan pembungaan
porang juga melibatkan proses termogenesis yang khas pada beberapa anggota
famili Araceae, khususnya anggota marga Amorphophallus. Hal tersebut dilaporkan
oleh Barthlott et al. (2009) pada A. titanum dan Lamprecht dan Seymour (2010) pada
tiga spesies yaitu A. titanum, A. konjac, dan A. paeoniifolius yang berkerabat dekat
dengan porang. Termogenesis pada bunga Amorphophallus terjadi pada spadix
bagian bunga jantan (Gambar 5.) hingga mencapai suhu di atas 30°C, kemudian
menjalar ke bagian bunga lain yang berdekatan seperti pada apendiks dan pada
tudung/daun pemikat (Gambar 6.). Peningkatan suhu terjadi pasca siang hari hingga
malam hari dan terjadi penurunan ketika pagi. Termogenesis berkaitan dengan
adaptasi Amorphophallus dalam menyebarkan atraktan berupa aroma tidak sedap
dan penyebaran serbuk sari. Diduga, peningkatan suhu pada waktu tertentu berkaitan
dengan waktu aktif organisme penyerbuk.

Gambar 5. Termogenesis pada bunga jantan A. titanum (Barthlott et al., 2009)

Termogenesis mengindikasikan adanya peristiwa eksotermik yang terjadi


pada bunga. Panas merupakan bentuk energi yang dilepas sebagai entropi dari
proses metabolisme seperti respirasi. Dimungkinkan Amorphophallus beradaptasi
membentuk cormus dalam ukuran yang besar untuk menyediakan energi yang cukup
untuk mendukung proses termogenesis. Pergiliran fase pertumbuhan menyebabkan
ketika fase generatif tumbuh tidak dibersamai dengan tajuk vegetatif yang dominan.
Sehingga, perubahan bentuk cormus menjadi keriput dan berukuran lebih kecil
mengindikasikan dipakainya cadangan karbohidrat dalam jumlah yang besar tanpa
ada penambahan simpanan karbohidrat dari proses fotosintesis.

Gambar 6. Periode peningkatan suhu dan kaitannya dengan peristiwa penyerbukan bunga
pada tiga spesies Amorphophallus (Lamprecht and Seymour, 2010).

9
Pemahaman terkait fenologi porang dapat membantu dalam menentukan
pengelolaan secara agronomis untuk hasil yang maksimal. Produksi porang dinilai dalam
aspek ukuran cormus dan kandungan karbohidrat berupa pati dan glukomannan.
Sehingga selain mempertimbangan fenologi, juga dipertimbangkan bagaimana perilaku
gen-gen pengatur biosintesis polisakarida terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
regulasinya dan mekanisme hormonal yang ikut serta mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan porang.

B. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil porang


1. Iklim
Faktor iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat penting untuk
pertumbuhan suatu tanaman. Porang termasuk tanaman yang hidup pada daerah
tropis. Porang banyak tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Persyaratan tumbuh dengan ketinggian tempat 0–1000 mdpl. Menurut Alifianto et al.,
(2013) porang dapat ditemukan pada ketinggian 34-931 mdpl dan pada daerah lereng
agak miring hingga daerah lereng curam. Suhu udara yang dibutuhkan tanaman
porang berkisar 25-35 oC, dan curah hujan 1.000-1.500 mm/tahun. Seperti tanaman
penghasil umbi yang lain, porang membutuhkan tanah dengan tekstur tanah gembur,
subur dan kandungan bahan organik yang tinggi (Ermiati dan Laksmanahardja., 1996).
Porang dapat tumbuh sangat subur pada musim penghujan, dan akan mengering
dunnya hingga mati pada musim kemarau. Ubi memasuki masa dormansi hingga 5-6
bulan, kemudian akan tumbuh tunas baru pada musim penghujan berikutnya.
2. Cahaya dan persentase naungan
Faktor cahaya sangat penting untuk mempengaruhi pertumbuhan tanaman, terutama
pada proses fotosintesis. Melalui proses fotosintesis, tanaman mampu menghasilkan
karbohidrat dan gula untuk keberlangsungan hidupnya. Porang termasuk tanaman
yang dapat tumbuh subur pada naungan 40-60 %. Oleh karena itu, tanaman banyak
dibudidayakan secara tumpang sari dengan tanaman keras (tanaman kayu,seperti
sengon, mahoni, dan jati). Porang tidak dapat tumbuh dengan normal pada kondisi
tanpa naungan karena proses evapotranspirasi yang sangat besar, sehingga
menghambat pertumbuhan sel dan pembentukan karbohidrat (Jata et al.. 2009).
Secara alamiah, porang tumbuh di daerah hutan hujan tropis, ternaungi antara
tumbuhan-tumbuhan yang lebat. Menurut Jensen (1996), porang (Amorphophallus
muelleri) dapat tumbuh dengan baik dibawah naungan, seperti tepi hutan jati, di
bawah rumpun bambu, atau disemak belukar dengan persentase peneduh sekitar 50-
60 %.
3. Kondisi tanah
Porang dapat tumbuh subur dan menghasilkan umbi pada tanah yang berteskstur
ringan hingga sedang, gembur, subur, dan kandungan bahan organiknya tinggi.
Meskipun termasuk dalam tanaman yang toleran terhadap genangan, namun apabila
terendam cukup lama, umbinya akan membusuk sehingga metabolisme tanaman
tergangu dan mengakibatkan kematian. Budidaya porang diperlukan drainase yang
baik agar dapat tumbuh dengan normal. Kondisi pH 6-7 merupakan, kondisi ideal bagi
tanaman porang.

C. Gen AmAGP pengatur biosintesis pati dan gen CSLA pengatur biosintesis
glukomannan pada tanaman porang.

10
Pati atau amilum dan glukomannan termasuk dalam karbohidrat polisakarida. Pada
Gambar 7., biosintesis pati dan glukomannan berasal dari senyawa sukrosa yang
merupakan karbohidrat yang bersifat mobile dalam tanaman. Sukrosa dibentuk untuk
translokasi hasil fotosintesis menuju lubuk tanaman. Sehingga, kandungan polisakarida
pada tanaman sangat berkaitan dengan laju fotosintesis yang dilakukan oleh tanaman.
Pada porang, laju fotosintesis berkaitan dengan kondisi lingkungan yang optimum
mendukung pertumbuhan fase vegetatif, yaitu pada suhu 20°C hingga 30°C, berada di
bawah naungan kurang lebih 60%, dan kelembaban tanah yang tinggi pada musim
penghujan. Sehingga, dimungkinkan faktor lingkungan tersebut juga akan mempengaruhi
peningkatan dan penurunan regulasi suatu gen pengatur biosintesis polisakarida dalam
sel.
Baik pati maupun glukomannan merupakan karbohidrat yang berfungsi sebagai
simpanan. Pati banyak disimpan di dalam vakuola sel dalam bentuk butir-butir amilum.
Glukomannan merupakan komponen hemiselulosa yang menyusun serat-serat
pembentuk dinding sel bersama dengan selulosa dan pektin, sehingga dapat berfungsi
sebagai komponen struktural dan simpanan karbohidrat bagi tanaman. Pada Gambar 7.,
dapat diamati perbedaan jalur biosintesis pati dan glukomannan. Pati disintesis dari
sukrosa dan menghasilkan glukosa-1-fosfat untuk kemudian membentuk amilosa sebagai
komponen amilum. Sedangkan glukomannan memiliki dua sumber karbohidrat
sederhana yaitu glukosa-1-fosfat atau glukosa-6-fosfat yang berasal dari glukosa, dan
mannosa-6-fosfat yang berasal dari fruktosa (Gille et al., 2011; Diao et al., 2014)

Gambar 7. Jalur biosintesis pati dan glukomannan pada A. konjac (Gille et al., 2011)

1. Gen AmAGP (Amorphophallus muelleri ADP-glucose phosphorylase)


Shi et al. (2020) melaporkan bahwa AmAGP adalah gen yang meregulasi enzim
AGPase. Enzim AGPase adalah enzim awal yang menjadi kunci dalam regulasi dan
penentuan laju biosintesis pati yang mengubah glukosa-1-fosfat menjadi ADP-glukosa
(Gambar 7.). Enzim tersebut dapat ditemukan di daun untuk meningkatkan biomassa
tanaman dan pada sel-sel endosperm biji untuk meningkatkan pati biji serealia.

11
Akumulasi pati dalam organ tanaman tidak hanya dipengaruhi oleh enzim biosintesis,
tetapi juga dipengaruhi enzim-enzim yang berperan untuk degradasi.

Gambar 8. Tingkat transkripsi gen AmAGP pada berbagai organ porang pada fase vegetatif
yaitu tuber/cormus, akar, tangkai daun, dasar tangkai anak daun, daun (Shi et al, 2020)

Pada porang, biosintesis pati dapat ditemukan di seluruh bagian tanaman pada
fase vegetatif, akan tetapi hasil analisis elektroforesis dan PCR menunjukkan bahwa
gen AmAGP hanya ditranskripsi dalam jumlah besar pada bagian tuber/cormus
(Gambar 8.) Hal tersebut sesuai dengan fungsi cormus porang sebagai organ
penyimpan cadangan pati. Shi et al. (2020) melaporkan percobaan terkait pengaruh
faktor lingkungan berupa temperatur udara di dalam kisaran temperatur tumbu porang
untuk mengetahui kadar pati dan glukomannan pada cormus porang, serta
membandingkannya dengan tingkat transkripsi gen AmAGP yang ada di sel-selnya.
Hasil yang didapatkan menunjukkan gen AmAGP mengalami peningkatan regulasi
dalam sel-sel cormus dengan tingkat transkripsi tertinggi pada suhu 25°C (Gambar
9.B.) yang diikuti dengan kandungan pati tertinggi di suhu yang sama (Gambar 9.A.).
Hal tersebut sesuai dengan kondisi temperatur optimum untuk pertumbuhan porang
yang berada di antara suhu 20°C hingga 30°C. Kandungan pati juga mengalami
persentase tertinggi pada hari penanaman ke-90 hingga ke-120 (Gambar 10A), seiring
dengan regulasi gen AmAGP (Gambar 10B). Meski demikian, penelitian dari Shi et al.
(2020) tidak menunjukkan dinamika laju fotosintesis pada masing-masing perlakuan
suhu.

12
Gambar 9. (A) Kandungan pati dan glukomannan sel dan (B) Tingkat transkripsi gen AmAGP di
dalam sel di bawah berbagai perlakuan suhu (Shi et al. 2020)

Hasil yang berbeda didapatkan pada kandungan glukomannan pada sel-sel cormus
yang masih menunjukkan peningkatan seiring dengan peningkatan suhu (Gambar 9A),
penurunan, peningkatan transkripsi gen AmAGP (Gambar 9B) dan seiring dengan
lama masa pertumbuhan (Gambar 10A). Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh
regulasi gen AmAGP mempengaruhi biosintesis glukomannan melalui regulasi laju
biosintesis pati yang memiliki senyawa awal yang sama dengan biosintesis
glukomannan yaitu glukosa-1-fosfat. Sehingga, meskipun penurunan terjadi pada
biosintesis pati dan regulasi AmAGP, hal tersebut tidak menyebabkan penurunan
pada kandungan glukomannan. Sehingga, terdapat hubungan antara regulasi gen
AmAGP dengan kandungan pati pada sel dan hubungan antara sintesis pati dengan
sintesis glukomannan

Gambar 10. (A) Kandungan pati dan glukomannan sel dan (B) Tingkat transkripsi gen AmAGP
di dalam periode penanaman 60 hingga 150 hari (Shi et al. 2020)

2. Gen CslA (Cellulose synthase-like A)


Gille et al., (2011) melaporkan tentang kelompok gen yang mengatur biosintesis
glukomannan pada cormus dari A. konjac yang termasuk dalam gen CslA yaitu
kelompok csla3. Penelitian tersebut menjadi dasar analisis dari Arumingtyas dan
Fatinah (2015) yang melaporkan adanya kemiripan sekuen gen pada cormus dari A.
muelleri yang juga mengatur sintesis dari senyawa glukomannan. Terdapat beberapa

13
gen anggota kelompok CslA yang dilaporkan oleh Goubet et al. (2009) sebelumnya,
pada mutan csla9 dan mutan triple csla2csla3csla9 pada Arabidopsis thaliana yang
menunjukkan penurunan kandungan glukomannan pada sel-sel batang, sedangkan
kelompok gen csla7 berperan untuk mengatur sintesis glukomannan pada sel-sel
embrio. Penelitian mengenai induksi faktor lingkungan terhadap gen-gen dalam
kelompok CslA salah satunya dilakukan pada Aloe vera untuk menguji ekspresi gen
csla9 yang diberikan perlakuan defisit air (Salinas et al., 2019). Meski demikian,
literatur terkait ekspresi gen dalam kelompok CslA pada porang memerlukan
penelitian lebih lanjut dan spesifik.
Salinas et al. (2019) melaporkan bahwa gen glucomannan manosyltransferase
(gmmt) yang termasuk dalam anggota sub kelompok gen csla9 ditingkatkan
regulasinya dalam sel ketika terjadi cekaman air dan peningkatan regulasi tersebut
seiring dengan peningkatan kandungan asam absisat (ABA) dalam sel. Sementara
penelitian dari Li et al., (2021) melaporkan bahwa peningkatan ABA diikuti dengan
regulasi peningkatan pemecahan sukrosa oleh enzim sucrose synthase yang
dilakukan oleh gen GhSUS2 pada cormus tanaman Gladiolus hybridus. Berdasarkan
Gambar 4., enzim sucrose synthase mengawali reaksi sintesis baik pati maupun
glucomannan pada A. konjac (Gille et al., 2011). Hal tersebut sesuai dengan fase
vegetatif porang yang berlangsung saat musim penghujan hingga dimulainya musim
kering yang ditandai dengan berkurangnya kadar air dalam tanah, fase vegetatif
tersebut memungkinkan cormus porang mengakumulasi polisakarida seiring dengan
pertumbuhan dan perkembangan cormus, di mana pada Gladiolus hybridus
perkembangan cormus juga diinduksi oleh keberadaan ABA. Selain induksi dari ABA,
Li et al. (2021) juga melaporkan bahwa gibberellin (GA3) memberikan induksi
antagonistik terhadap induksi ABA, yaitu menginduksi penurunan regulasi gen
GhSUS2 dalam sel. Dengan kata lain, menghambat proses sintesis polisakarida
dalam sel cormus. Hal tersebut sesuai dengan penelitian dari Santosa et al. (2019) di
mana GA3 mampu menginduksi pembungaan pada A. muelleri, dan Sumarwoto
(2005) melaporkan bahwa pembungaan menyebabkan penurunan kadar glukomannan
pada cormus A. muelleri (Tabel 3.). Sehingga, ekspresi gen CslA berkaitan erat
dengan interaksi antara hormon ABA dengan GA3 serta kandungan air dalam tanah.

Tabel 1. Kadar glukomannan pada organ penyimpan porang (dimodifikasi dari Sumarwoto,
2005)
Organ Fase pertumbuhan Kadar glukomannan (%)
Cormus Satu periode tumbuh 35-39
Dua peridoe tumbuh 46-48
Tiga periode tumbuh 47-55
Bunga muncul (kuncup) 43-49
Bunga mekar 40-45
Masa pengisian biji 32-37
Buah mulai masak 32-35
Bulbil - 25-30

D. Faktor manajemen yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil porang


1. Teknik budidaya dan syarat tumbuh tanaman porang
a. Ketinggian tempat
Porang umumnya terdapat di lahan kering pada ketinggian hingga 800 mdpl ,
namun yang bagus adalah daerah dengan tinggi 100-600 mdpl. Untuk

14
pertumbuhannya memerlukan suhu 25-35 oC, dan curah hujan 1.000- 1.500
mm/tahun dan tersebar rata sepanjang tahun. Pada suhu di atas 35 oC, daun
tanaman akan terbakar sedangkan pada suhu rendah, menyebabkan tanaman
mengalami dorman. Kondisi hangat dan lembab diperlukan untuk pertumbuhan
daun, sementara kondisi kering diperlukan untuk perkembangan umbi pada
porang.
b. Kondisi tanah
Sebagaimana tanaman ubi-ubian yang lain, porang akan tumbuh dan
menghasilkan ubi yang baik pada tanah bertekstur ringan hingga sedang, gembur,
subur, dan kandungan bahan organiknya cukup tinggi karena tanaman porang
menghendaki tanah dengan aerasi udara yang baik. Kondisi lahan yang
cenderung basah hingga menggenang dalam jangka waktu yang lama juga tidak
baik bagi pertumbuhan umbi pada porang. Hal ni dikarenakan tanah yang
menggenang akan merusak umbi pada porang yang akan membuat umbi menadi
busuk.
Kelembaban tanah berpengaruh terhadap perkembangan umbi pada porang.
Apabila sepanjang periode pertumbuhan porang kelembaban tanah dapat
tercukupi, tanaman porang akan menghasilkan umbi yang besar. Hasil penelitian
Santosa et al. (2004) didapati bahwa kandungan air yang kurang dari 40%
kapasitas lapang diperoleh akar yang lebih kering dibandingkan pada kondisi
normal. Tanaman porang masih dapat mentolerir kondisi tercekam kekurangan air
selama 30-60 hari, namun apabila lebih dari periode tersebut, akan dapat
mengurangi hasil dan kualitas umbi.
c. Naungan
Tanaman porang mempunyai sifat khusus yaitu toleran terhadap naungan
antara 40%-60%, oleh karena itu dapat ditumpangsarikan dengan tanaman
pepohonan. Di Indonesia, porang banyak tumbuh liar di pekarangan atau di
pinggiran hutan, di bawah naungan pepohonan lain. Kebanyakan porang yang
tumbuh ini ternaungi oleh tanaman jati, sonokeling, atau mahoni. Pengaruh
tanaman naungan berkaitan dengan intensitas cahaya naungan terhadap
produktivitas ubi. Wijayanto dan Pratiwi (2011) melaporkan bahwa pertumbuhan
tanaman porang di bawah tegakan pohon sengon dengan naungan 30% lebih
baik dibanding pada kondisi naungan 80%.
2. Mekanisme budidaya tanaman porang
a. Persiapan lahan
Pengolahan lahan sebagai persiapan penanaman dilakukan sesuai dengan
bibit yang akan digunakan. Apabila bibit berasal dari umbi maka perlu dibuat
lubang tanam dengan ukuran 60 x 60 x 45 cm, jarak antara lubang tanam 90 x 90
cm. Sebelum pertanaman lubang tanam ditutup dengan lapisan tanah bagian
atas dan pupuk organik. Sedangkan untuk bibit yang berasal dari bulbil, dibuat
guludan setelah tanah diolah intensif dengan jarak antar gulud 90 cm dan bubil
ditanam dalam guludan dengan jarak 90 cm.
b. Penyediaan bibit
Ukuran ubi atau potongan ubi yang dijadikan bibit berpengaruh terhadap
produktivitas tanaman. Makin besar umbi yang digunakan sebagai bibit maka
kemudian akan berdampak pada peningkatkan tinggi tanaman dan hasil umbi.
Menggunakan bibit berupa umbi yang utuh juga menghasilkan umbi 45% lebih
tinggi dibanding apabila menggunakan bibit berupa potongan umbi meski dengan

15
berat yang hampir sama. Hal tersebut diduga terkait dengan perkecambahan
yang lebih awal dan pertumbuhan akar yang lebih baik apabila menggunakan
bibit berupa umbi utuh. Bibit yang berasal dari umbi secara umum digunakan
bibit dengan berat 500 g dengan jarak tanam 90 x 90 cm yang dinilai lebih ideal
dalam pembibitan tanaman porang.
Selain menggunakan umbi, tanaman porang juga dapat diperbanyak
menggunakan umbi katak atau dpat disebut sebagai bulbil. Menurut penelitian
Sumarwoto dan Maryana (2011) bulbil dengan berat 5 g hingga 10 g sangat baik
digunakan sebagai bibit dan dapat langsung ditanam kepada lahan. Selain itu
porang uga dapat dikembangbiakkan menggunakan biji. Biji porang diambil dari
buah yang sudah masak. Kemudian biji disebar rata pada pesemaian dengan
media tanam pasir atau tanah yang cenderung memiliki tekstur yang halus serta
terlindung dari sinar matahari secara langsung dengan menjaga kelembaban
serta penyiraman secara rutin. Pada hanya sekitar 40% biji yang dapat tumbuh
dari perbanyakan biji, tergantung kepada kondisi lingkungan tumbuh dan tingkat
kematangan buah. Apabila bibit telah tumbuh dan mencapai tinggi sekitar 10-15
cm, bibit kemudian dapat dipindahkan ke lahan budidaya.
c. Penanaman dan jarak tanam
Kedalaman tanam berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil umbi.
Secara umum makin dalam bibit ditanam akan menghambat pertumbuhan
anakan ubi. Pada kedalaman 30 cm, sebagian besar dari umbi akan memanjang
menjadi pyriform. Jarak tanam yang digunakan ditentukan umur panen yang
dikehendaki. Apabila akan dipanen pada umur 8 bulan pertama, maka jarak
tanam 30 cm x 30 cm sudah cukup. Tapi apabila dipanen pada periode panen
tahun ke dua digunakan jarak tanam 45 cm x 45 cm. Bila dipanen pada periode
panen tahun ke tiga maka diperlukan jarak tanam yang lebih lebar yakni 60 cm x
60 cm. Namun untuk penanaman secara umum dilakukan pembudidayaan
porang dengan jarak tanam 90 x 90 cm.
d. Perawatan
1) Pemupukan
Pupuk organic yang dapat digunakan pada budidaya tanaman porang
dapat menggunakan pupuk kandang dengan dosis 5 ton/ha. Kemudian untuk
kebutuhan hara makro pada tanaman porang dapat diaplikasikan pupuk NPK
dengan dosis secara normal ialah N 40 kg/ha P 40 kg/ha dan K 80 kg/ha.
Namun hasil umbi dapat meningkat ketika dosis pupuk makro ditingkatkan
sebanyak N 100 – 200 kg dan K 100-150 kg/ha serta penambahan pupuk
kandang 30 ton/ha dengan peningkatan umbi segar sebesar 15%
dibandingkan dengan aplikasi pupuk secara umum.
Pada dasarnya peningkatan unsur K tidak berpegaruh secara nyata
terhadap pertumbuhan umbi yang dihasilkan, yaitu terhadap rata-rata berat
umbi dan juga hasil umbi per ha. Namun kombinasi N dan K memiliki
pengaruh yang beketerkaitan secara nyaa terhadap pertumbuhan danserta
kuantitas umbi/ha (Litbang, 2015).
2) Penyiangan gulma
Penyiangan gulma terutama dilakukan pada musim awal pertumbuhan
tanaman sebelum kanopi tanaman porang menutup dan terlalu lebar.
Penyiangan ini iasa dilakukan secara manual pada umur 30, 60, dan 90 hari
setelah tanam. Penyiangan dilakukan sambil menggemburkan tanah di areal

16
sekitar tanaman. Selain secara manual, pada usahatani skala luas
penyiangan dapat dilakukan dengan penyemprotan herbisida.
3) Pengendalian OPT
Dalam pembudidayaan tanaman tidak terlepas dari yang namanya
organisme pengganggu tanaman atau dapat kita sebut sebagai OPT. OPT ini
dapat berupa hama, jamur, bakteri bahkan virus. Dalam golongan hama
sendiri terdapat beberapa yang sangat mengganggu dalam pembudidayaan
tanaman porang maupun sejenis yaitu Galerucida bicolor (makan daun),
Araecerus fasciculatus (merusak umbi). Kemudian terdapat penyakit yang
disebabkan oleh jamur antara lain penyakit busuk kaki (foot rot) oleh jamur
Rhizoctonia solani, penyakit hawar daun (leaf blight) oleh Phytophthora
colocasiae, busuk batang/ubi oleh Phytium helicoides dan Slerotium rolfsii.
Sedangkan penyakit yang diakibatkan oleh bakteri ialah busuk basah oleh
Erwinia carotovora. Dan penyakit akibat virus disebut sebagai Konjac mosaic
virus dan Dasheen mosaic virus (DMV).
Hama dan penyakit pada tanaman porang emang sangat mengganggu
dan dapat merusak produksi. Namun menurut Litbang (2015) untuk secara
umum maupun skala besar hama dan penyakit bukanlah kendala yang
sangat besar dalam faktor produksi tanaman porang. Hal ini dikarenakan
pada dasarnya tanaman porang merupakan tanaman yang habitusnya hidup
mandiri di hutan dan awal mula diangga tanaman liar. Tanaman ini juga
memiliki ketahanan yang cukup terhadap cekaman baik secara lingkungan
maupun dari OPT. Berdasarkan sebagian besar hama dan penyakit tanaman
yang mengganggu budidaya. Pengendalian yang dapat dilakukan ialah
menggunakan bakterisida dan fungsida yang sesuai. Selain itu dapat juga
menggunakan Trichoderma harzianum sebagai pengendalian hama terpadu
pada penyakit busuk leher yang diakibatkan oleh jamur Sclerotium rolfsii.
4) Pengelolaan air
Tanaman porang pada biasanya dilakukan pembudidayaan di lahan yang
kering. Namun untuk dapat meningkatkan hasil umbi yang optimum
diperlukan tanah dengan kelembaban yang cukup. Tanaman masih dapat
mentolerir kondisi tercekam kekurangan air selama 30-60 hari, namun lebih
dari periode tersebut akan mengurangi hasil ubi. Konservasi kelembaban
dapat dilakukan salah satunya dengan cara pemberian mulsa. Pemberian
mulsa akan menjaga kelembaban tanah yang kemudian dapat mendorong
perkecambahan bibit umbi, pembentukan kanopi yang lebih besar,
memaksimalkan tinggi tanaman dan dapat memperoleh hasil umbi yang lebih
tinggi.
e. Panen
Tanda yang dapat dilihat secara fisiologis ketika porang telah siap untuk
dipanen ialah apabila daun porang sudah mongering dan jatuh ke tanah.
Pemanenan yang optimal baik dilakukan pada musim kemarau yang diantara
bulan mei hingga juni. Umbi porang pada periode panen tahun kedua dari setiap
tanaman dapat dihasilkan umbi porang seberat 0,5-3,0 kg. kemudian jika
dikalkulasikan sebanyak 60.000 populasi tanaman per hektar didapati hasil
bersih umbi mencapai 40 ton. Proses pemanenan sendiri dapat dilakukan
dengan penggalian tanah sekitar tanaman yang kemudian dapat diambil umbi
tanaman tersebut.

17
f. Pascapanen
Selesai panen biasanya umbi porang dilakukan proses pascapanen agar
umur simpan produk menadi lebih lama. Umbi yang disimpan pada suhu ruang
sekitar 27 oC akan mengalami susut berat hingga 25%, tentuya hal tersebut akan
merugikan ketik dilakukan transaksi pada pihak selanutnya. Untuk mengatasi hal
tersebut umbi porang dapat diproses menjadi produk olahan kering seperti chip
dengan bentuk irisan tipis atau juga dapat dijadikan sebagai tepung porang.
Selain memperpanjang umur simpan produk hal ini juga sebagai bentuk
pencegahan kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas enzim pada umbi.
3. Budidaya tanaman porang menggunakan sistem polikultur
Polikultur atau pertanaman berganda yaitu menanam dua atau lebih jenis
tanaman pada lahan yang sama dalam rentang waktu tertentu. Pertanaman
polikultur, atau multiple cropping merupakan pilar penting dalam sistem pertanaman
berkelanjutan baik pada pertanaman semusim (Hossain et al., 2017) maupun
pertanaman keras (Cubillo, 2016). Sistem polikultur merupakan upaya meningkatkan
keragaman spesies di dalam agroekosistem yang umum ditemukan pada sistem
pertanian yang kurang intensif. Pola tumpangsari banyak dipelajari karena
mempunyai berbagai keuntungan baik ekologi, ekonomi maupun sosial (Lithourgidis
et al., 2011).

Tabel 2. Hasil tanaman porang pada pertanaman sistem agroforestri yang menggunakan
berbagai tegakan
Tegakan Tingkat
yang tolerans Hasil Sumber
menaungi i
Jika umbi yang ditanam berbobot 200 s/d (Badan
antara 250 g, maka hasil umbi dapat mencapai 2-3 Penelitian dan
Jati, Mahoni,
40%- kg/pohon per musim tanam, Jika digunakan Pengembanga
dan Sengon
60% bibit dari bulbil/katak maka hasil umbi n Pertanian,
berkisar antara 100-200 g/pohon. 2015)
Batang tegak dapat mencapai 1 - 1,5 meter (Banowati,
Jati 40% sangat tergantung umur dan kesuburan Eva, dkk.,
tanah 2016)
Biomassa pada naungan 30% sebesar
92,20 g (Wijayanto, N
Sengon 30% Pada naungan 30% memberikan dan Emma
pertumbuhan berat basah umbi terbaik Pratiwi, 2011)
sebesar 130,44 g
Biomassa pada naungan 80% hanya
sebesar 10,57 g (Wijayanto, N
Sengon 80% Pada naungan 80% memberikan dan Emma
pertumbuhan berat basah umbi terbaik Pratiwi, 2011)
sebesar 41,31 g

a. Tanaman porang di bawah pohon jati, mahoni, dan sengon


Tanaman porang mempunyai sifat khusus yaitu toleran terhadap naungan antara
40%-60%, oleh karena itu dapat ditumpangsarikan dengan tanaman keras
(pepohonan). Di Indonesia, porang banyak tumbuh liar di pekarangan atau di
pinggiran hutan, di bawah naungan pepohonan lain. Di wilayah Perum Perhutani Unit
I dan II di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tanaman porang dikembangkan di

18
kawasan hutan industri di bawah tegakan pohon jati, sengon, atau mahoni. Pada
tahun 1980an Perum Perhutani KPH Saradan, melalui program Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat (PHBM), bekerjasama dengan Masyarakat Desa Hutan (MDH)
mulai mengembangkan tanaman porang di lahan tegakan hutan industri yang
dikelolanya. (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2015).
Umbi porang merupakan umbi tunggal karena setiap satu pohon porang hanya
menghasilkan satu umbi. Hasil yang didapatkan saat panen yaitu diameter umbi
porang bisa mencapai 28 cm dengan berat 3 kg, permukaan luar umbi berwarna
coklat tua dan bagian dalam berwarna kuning-kuning kecoklatan. Bentuk bulat agak
lonjong, berserabut akar. Bobot umbi beragam antara 50-200 g pada satu periode
tumbuh, 250-1.350 g pada dua periode tumbuh, dan 450-3.350 g pada tiga periode
tumbuh. Berdasarkan pengamatan Perhutani (2013), bila umbi yang ditanam
berbobot 200 s/d 250 g, maka hasil umbi dapat mencapai 2-3 kg/ pohon per musim
tanam. Sementara bila digunakan bibit dari bulbil/ katak maka hasil umbi berkisar
antara 100-200 g/pohon (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2015).
Selain manfaat ekonomi, menanam porang dengan melibatkan masyarakat juga
dapat memberi manfaat ekologi. Permadi dan Latifah (2012) melaporkan bahwa
pada kawasan hutan yang diusahakan porang, tingkat kerawanan kehilangan
kayunya lebih rendah dari pada kawasan yang tidak diusahakan porang. Aksi
penjarahan dan perambahan hutan tersebut sangat merugikan baik dari segi
ekonomi, ekologi, sosial dan budaya. Kerugian dari segi ekologi dikarenakan
pemanfaatan sumberdaya hutan dilakukan tanpa memperhatikan kelestarian hutan
itu sendiri atau fungsi-fungsi lain dari hutan yang lebih strategis dan substantif.
Sedangkan dampak negatif penjarahan terhadap sosial, ekonomi dan budaya adalah
masyarakat cenderung tetap berkutat dengan kemiskinannya karena tidak
mendapatkan manfaat dari hutan yang ada di wilayahnya
b. Tanaman porang di bawah pohon jati
Pada petak hutan di Wilayah Kerja BKPH Regaloh penduduk petani pesanggem
menanam porang (Amarphopallus oncophilus). Bahkan penduduk tidak membeli bibit
karena tumbuh sendiri di habitan hutan tropis. Diketahui porang dapat dimanfaatkan
untuk bahan pangan yakni mempunyai umbi yang kandungan Glucomanan-nya
cukup tinggi barulah penduduk pesanggem mulai membudidayakannya. Di bawah
tegakan Jati di BKPH Regaloh – Wilayah Administrasi Kecamatan Tlogowungu
bertanah latosol, red yellow, mediteran pH 6,7 dengan curah hujan sekitar 1.302 mm
termasuk iklim D2 – suhu 30° C/ 67, ketinggian 20 - 312 mdpl. memungkinkan
tanaman porang dapat tumbuh sangat baik (BPS Kabupaten Pati; 2015).
Tanaman porang mempunyai sifat khusus yaitu mempunyai toleransi yang
sangat tinggi terhadap naungan atau tempat teduh. Tanaman ini membutuhkan
cahaya maksimum hanya sampai 40%, semakin rapat semakin baik/ideal bagi
habitat porang dimana semakin rapat naungan maka pertumbuhan porang semakin
baik. Naungan yang ideal untuk tanaman porang adalah di bawah tegakan hutan jati,
sehingga di musim hujan porang tumbuh subur yang ditandakan batang tegak dapat
mencapai 1 - 1,5 meter sangat tergantung umur dan kesuburan tanah. Termasuk
tumbuhan semak (herba) dengan umbi yang berada di dalam tanah (Banowati, Eva,
dkk., 2016).
c. Tanaman porang di bawah pohon sengon bernaungan 30 % dan 80 %
Pembangunan hutan sengon dilakukan melalui tiga pola tanam, yaitu
monokultur, polikultur dan agroforestri. Pola tanam sengon pada hutan rakyat lebih

19
variatif dibandingkan hutan tanaman industri karena hutan sengon menjadi
penopang kebutuhan harian rumah tangga masyarakat sekitar hutan. Hal tersebut
dijumpai pada pola agroforestri sengon dengan jenis tanaman pangan seperti pola
sengon dengan umbi-umbian (Irawanti et al., 2012) atau umbi alternatif seperti
porang dan ganyong (Wijayanto, N., dan Pratiwi, 2011; Wijayanto & Azis, 2013).

Tabel 3. Uji lanjut Duncan biomassa porang (Wijayanto, N dan Emma Pratiwi, 2011)
Perlakuan Rata-rata Biomasa (g)
Naungan 30% 92,20 a
Naungan 80% 10,57b

Tabel 4. Uji lanjut Duncan pertumbuhan berat basah (Wijayanto, N dan Emma Pratiwi, 2011)
Perlakuan Rata-rata Berat Basah Umbi (g)
Naungan 30% 130,44a
Naungan 80% 41,31b

Pertumbuhan porang lebih baik pada tegakan sengon bernaungan 30% daripada
tegakan sengon bernaungan 80%, baik dari rata-rata biomasa yang dihasilkan
maupun rata-rata berat basah umbi yang dihasilkan. Berdasarkan uji lanjut Duncan,
biomassa terbaik terdapat pada naungan 30% sebesar 92,20 g. Berbeda jauh
dengan biomassa pada naungan 80% hanya sebesar 10,57 g (Tabel 3.). Tanaman
porang di naungan 30% memberikan pertumbuhan berat basah umbi terbaik sebesar
130,44 g ; sedangkan pertumbuhan berat basah umbi porang pada naungan 80%
sebesar 41,31 g (Tabel 4.)

20
BAB III
KESIMPULAN

Porang (Amorphophallus muelleri Blume) adalah salah satu komoditas pertanian yang
potensial dikembangkan di Indonesia. Melalui pemahaman terkait faktor genetik, lingkungan,
dan manajemen budidaya porang, dapat ditentukan usaha-usaha agronomis yang
bermanfaat untuk meningkatkan hasil. Porang diketahui memiliki gen AmAGP yang
berperan untuk sintesis pati dan gen CslA yang berperan untuk sintesis glukomannan, yang
merupakan senyawa polisakarida yang penting dalam umbi porang. Faktor lingkungan yang
mendukung pertumbuhan porang di antaranya, iklim, kondisi tanah, dan yang paling utama
adalah faktor cahaya (naungan). Porang dapat tumbuh dengan ideal pada kondisi naungan
40-60 %. Gen-gen tersebut mengalami peningkatan regulasi dalam sel melalui induksi faktor
lingkungan. Gen AmAGP mengalami peningkatan regulasi saat berada pada suhu 25°C
yang masuk dalam kisaran suhu optimum pertumbuhan porang dan gen CslA berkaitan
dengan peningkatan status ABA dalam umbi yang berkorelasi dengan kondisi lengas tanah.
Berdasarkan faktor genetik dan lingkungan tersebut, maka manajemen yang dilakukan
untuk hasil porang yang optimal adalah penggunaan tanaman tegakan yang berfungsi
sebagai peneduh untuk menyesuaikan faktor lingkungan di bawah tegakan, serta
intensifikasi penanaman sesuai musim agar produktivitas tanaman porang optimal. Salah
satu wujud manajemen tersebut adalah pertanaman porang sistem agroforestri. Selain
mampu mengkondisikan lingkungan porang tumbuh, penerapan agroforestri dapat menjaga
kebermanfaatan lahan baik secara ekonomis maupun ekologis. Hal tersebut penting untuk
dilakukan agar agroekosistem porang tetap berkelanjutan di masa yang akan datang.

21
DAFTAR PUSTAKA

22

Anda mungkin juga menyukai