Anda di halaman 1dari 21

BORANG PORTOFOLIO KASUS MEDIK

Topik : Medikolegal
Tanggal MRS : -
Presenter : dr. Rangga P. Lazuardi
Tanggal Periksa : 23 November 2019
Tanggal Presentasi : Desember 2019 Pendamping : dr. Yopie Ibrahim
Tempat Presentasi :
Objektif Presentasi :
□ Tinjauan
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran
Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
□ Deskripsi : Perempuan 19 th dengan keluhan terdapat benjolan yang nyeri di bibir vagina
□ Tujuan : Penegakkan diagnosa dan pengobatan yang tepat.
Bahan
□ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan :
Cara
□ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Membahas :
Data Pasien : Nama :Ny. S, 19 th No. Registrasi : 190201xxxx
Nama RS : RSUD SIMO Telp : Terdaftar sejak:
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
Pasien datang dengan keluhan benjolan di bibir vagina bagian kiri sejak 4 hari,
benjolan terasa nyeri, awalnya benjolan sebesar kelereng dan nyeri dirasakan hanya
pada saat kencing, lama kelamaan benjolan semakin membesar dan merah serta nyeri
disakan terus menerus.
2. Riwayat Pengobatan : Belum menggunakan obat-obatan apapun sebelum dibawa ke
IGD
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit: Pasien sedang hamil anak pertama dengan usia
kehamilan 29 minggu. Pasien sudah pernah mengalami keluhan serupa di bibir vagina
bagian kanan, sudah pernah dioperasi dan sembuh.
4. Riwayat Keluarga : Riwayat keluhan serupa disangkal.
5. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik :Status ekonomi keluarga pasien termasuk
menengah.
6. Lain-lain :
Sosial ekonomi menengah, pasien menggunakan biaya sendiri
Daftar Pustaka :
1. Saeed Nermin Kamal, Al-Jufairi ZA. Bartholin’s Gland Abscesses Caused by
Streptococcus pneumoniae in a Primigravida. JLP. 2013;5:130-2.

2. Yuk JS, Kim YJ, Hur JY, Shin JH. Incidence of Bartholin duct cysts and abscesses in
the Republic of Korea. IJGO. 2013;122:62-4.

3. Donato VD, Bellati F, Casorelli A, Giorgini M, Perniola G, Marchetti C, et al. CO2 Laser
Treatment for Bartholin Gland Abscess: Ultrasound Evaluation of Risk Recurrence. JMIG.
2012;20:346-52.

4. Omole F, Simon BJ, Hacker Y. Management of Bartholin’s Duct Cyst and Gland Abscess.
AFP. 2003;68:135-60.

5. Berger MB, Betschart C, Khandwala N, DeLancey JO, Haefner HK. Incidental


Bartholin Gland Cysts Identified on Pelvic Magnetic Resonance Imaging. NIH-PA.2013;120

6. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology.


8, editor. USA: Blackwell Publishing; 2010. 71.68 p.

7. R R, Torgerson, Edwards L. Disease and Disorder of Female Genitalia. In: Wolff K,


A.Goldsmith L, I.Katz S, A.Gilhrest B, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General
Medicine. 7 ed. London: The MacGraw-Hill; 2008. p.682.

8. Tuggy ML. Bartholin’s Cyst And Abscess: Word Catheter Insertion,


Marsupialization. Gynecology And Female Reproductive System Procedures. p. 893-6

9. Lee JH, Chung SM. Large Vulvar Lipoma in an Adolescent: A Case Report. JKMS.
2008;23:744-6.

Hasil Pembelajaran :
1. Medikolegal melalui persetujuan pemasangan kateter urin
Keterangan Umum :
Nama : Ny. S
Usia : 19 tahun
No RM : 190201xxxx
Alamat : Titang, Simo
Agama : Islam
Suku : Jawa
Warga Negara : Warga Negara Indonesia (WNI)
A. ANAMNESIS
SUBJEKTIF
Keluhan Utama : benjolan di bibir vagina bagian kiri
Pasien datang dengan keluhan benjolan di bibir vagina bagian kiri
sejak 4 hari, benjolan terasa nyeri, awalnya benjolan sebesar kelereng dan
nyeri dirasakan hanya pada saat kencing, lama kelamaan benjolan semakin
membesar dan merah serta nyeri disakan terus menerus. Pasien sedang
hamil anak pertama dengan usia kehamilan 29 minggu. Pasien sudah pernah
mengalami keluhan serupa di bibir vagina bagian kanan, sudah pernah
dioperasi dan sembuh.
B. PEMERIKSAAN FISIK
OBJECTIVE
PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan Umum : Sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Vital sign
o TD : 108/71 mmHg
o Nadi: 106x/menit
o RR: 20x/menit
o Temp: 36 C
 Kepala leher:
o Mata : Reflek pupil +/+ , Pupil isokor 2mm/2mm , konjunctiva anemis
-/-, ikterus -/-.

o THT :
 Telinga: sekret (-)
 Hidung : nafas cuping hidung (-)
 Tenggorokan : dbn

o Bibir: sianosis (-)


o pembesaran KGB (-)
o tiroid dalam batas normal
 Thorax:
o Pulmo:
 Inspeksi : simetris, retraksi (-)
 Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri
 Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi: Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-,

o Cor:
 Inspeksi: tidak tampak ictus cordis
 Palpasi: ictus cordis tidak kuat angkat
 Perkusi:batas jantung normal
 Auskultasi: s1 s2 tunggal, murmur -, gallop-

 Abdomen: sesuai status obstetrikus


 Ekstremitas : anemia -/-, edema -/-, Capillary Refill Time < 2
 Status obstetrikus: janin tunggal, puka, preskep, TFU 22 cm, his tidak ada,
DJJ 165x/menit, VT tidak dilakukan
Kondisi Pasien

Status Lokalis:
I/ Tampak benjolan di labia mayor sinistra dengan ukuran 8x5 cm
Hiperemis (+)
P/ Nyeri (+)
Teraba hangat, konsistensi kenyal
C. DIAGNOSIS BANDING
Kista Bartholini
D. DIAGNOSIS KERJA
Abses Bartholini Sinistra
E. PENATALAKSANAAN
a) Planning Therapy (Advis dr. Nurul, Sp.OG)
1. Inf RL 20 tpm
2. Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
3. Inj. MgSO4 4gr loading dose iv, lanjut 1 gr/ jam s/d 24 jam
4. Pemasangan kateter tinggal
5. Kalk 1x500 mg
6. SF 2x1 tab
7. Nifedipine 3x10 mg
8. Rencana operasi insisi drainase

F. PEMBAHASAN KASUS
Pada kasus ini diagnosa pasien ditegakkan berdasarkan hasil anamnesa dan
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Setelah dilakukan anamnesis
kepada pasien, keluhan tersebut mengarah kepada diagnosis abses bartholini
sinistra. Pasien perempuan datang dengan keluhan benjolan di bibir vagina bagian
kiri sejak 4 hari, benjolan terasa nyeri, awalnya benjolan sebesar kelereng dan
nyeri dirasakan hanya pada saat kencing, lama kelamaan benjolan semakin
membesar dan merah serta nyeri disakan terus menerus. Pasien sedang hamil anak
pertama dengan usia kehamilan 29 minggu. Pasien sudah pernah mengalami
keluhan serupa di bibir vagina bagian kanan, sudah pernah dioperasi dan sembuh.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan pasien sedang dan
composmentis. Pada pemeriksaan lokal didapatkan tampak benjolan di labia
mayor sinistra, nyeri tekan (+), perabaan hangat dan konsistensi kenyal.
Pasien kemudian dikonsulkan ke Dokter Spesialis Obsgyn, dengan advis
rawat inap, pemasangan kateter urin dan pemberian obat-obatan intravena.
Hal tersebut dengan mempertimbangkan :
- Kondisi pasien yang sudah lama mengalami keluhan tersebut, serta muncul
ketidaknyamanan dan nyeri yang timbul akibat keluhan tersebut
- Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang :
 Darah rutin untuk mengetahui apakah ada infeksi sekunder pada
pasien.
 Rencana operasi insisi drainase
Dari pertimbangan kondisi pasien yang seperti ini, pasien harus rawat inap
dan melakukan pemasangan kateter urin sebagai prosedur operatif. Dan pasien
setuju untuk dilakukan pemasangan kateter dengan alasan mengikuti prosedur
yang ada. Oleh dokter sudah dijelaskan mengenai kondisi pasien yang diharuskan
untuk melakukan tindakan operatif berupa insisi drainase dan pasien pun setuju.
Dokter pun sudah menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi jika
pasien tidak dirawat inap. Pasien serta keluarga pun sudah mengerti dan setuju.
Kemudian pasien kami minta untuk menandatangani pernyataan persetujuan
pemasangan caterer urin.
Berdasarkan kasus diatas terdapat hak dan kewajiban untuk pasien maupun
dokter. Hak dan kewajiban tersebut bertujuan untuk menyelaraskan dan
menyeimbangkan persepsi antara hak dan kewajiban serta mencegah terjadinya
perbedaan. Pada sebagian besar hak dan kewajiban seorang tenaga medis
tercantum dalam perundang – undangan kesehatan dan praktik kedokteran. Pada
kasus ini pasien memiliki hak dan kewajiban sebagai seorang pasien. Pasien
mempunyai hak untuk mendapatkan pengobatan dan pelayanan kesehatan
komprehensif dari pusat pelayanan kesehatan maupun tenaga medis. Sedangkan
seorang tenaga medis berkewajiban untuk melakukan pelayanan kesehatan sesuai
dengan strandar profesi dan kemampuan yang dimiliki untuk memberikan
pelayanan kesehatan terhadap seseorang pasien sesuai dengan kebutuhan medis
pasien.
Seorang pasien memiliki hak dan kewajiban, dimana hak pasien tercantum
dalam UU No.29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pasal 52 serta tertuang
juga dalam UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 4 dan 5. Hak – hak
pasien antara lain pasien berhak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang
tindakan medis yang akan dilakukan, pasien mempunyai hak untuk mendapatkan
pelayanan medis sesuai kebutuhan medisnya, pasien memiliki hak untuk menolak
tindakan medis, pasien memiliki hak untuk meminta pendapat dokter lain dan
pasien memiliki hak untuk mengetahui isi rekam medisnya. Selain itu seorang
pasien juga memiliki suatu kewajiban yang tertuang dalam pasal 53 UU No.29
tahun 2004 tentang praktik kedokteran dan pasal 9 serta 10 UU No.36 tahun 2009
tentang kesehatan, dimana seorang pasien memiliki kewajiban untuk mematuhi
ketetntuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan, pasien memiliki kewajiban
untuk memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya dan pasien memiliki kewajiban untuk mematuhi nasihat petunjuk
dari dokter.
Sebagai seorang dokter , dokter memiliki hak dan kewajiban yang tertuang
dalam pasal 50 dan 51 UU No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran. Hak
sesbagai seorang dokter diantara lain dokter memiliki hak untuk memberikan
pelayanan medis menurut standar profesi dan standar operasional prosedur dan
dokter memiliki hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam menjalankan
tugasa sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional. Selain itu dokter
juga memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan medis sesuai standar
profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
Dalam hal ini pasien sudah mendapatkan haknya untuk menerima pelayanan
tatalaksana awal di IGD. Sedangkan dokter juga sudah melakukan kewajiban
berupa memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar prosedur
operasional sesuai kebutuhan medis pasien.
Kaedah etika yang sesuai dengan masalah ini adalah otonomi. Otonomi
berarti menghormati martabat manusia (respect for person/autonomy).
Menghormati martabat manusia. Setiap individu (pasien) harus diperlakukan
sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri
sendiri) dan dalam hal ini hak orang tua untuk menentukan nasib pasien.
TINJAUAN PUSTAKA

A. KISTA DAN ABSES BARTOLINI


I. Definisi
Kista dan abses kelenjar bartolini merupakan permasalahan yang sering
pada wanita selama masa reproduksi mereka. Abses terbentuk karena cairan
infeksi yang menumpuk di dalam saluran tersumbat. Cairan bisa menumpuk
selama bertahun-tahun sebelum membentuk abses. Sebagian besar
penyebab abses kelenjar bartolini telah ditemukan yang diketahui
disebabkan oleh mikroorganisme yang mengkolonisasi daerah perineum.(1)
II. Epidemiologi
Beberapa studi telah melaporkan bahwa kista dan abses kelenjar bartolini
mencapai sebanyak 2% dari semua kunjungan ginekologi per tahun. Namun,
perkiraan ini didasarkan pada data yang tidak lengkap dan asalnya sulit
untuk ditentukan. Relatif sangat sedikit yang diketahui tentang angka
kejadian dan faktor risiko kista dan abses kelenjar bartolini. Dengan
Insidensi yang meningkat seiring dengan usia sampai menopause, dan
setelah itu menurun.(2)
Berdasarkan suatu penelitian di Korea, angka kejadian ada 587 kista
kelenjar bartolini dan 757 abses kelenjar bartolini selama tahun 2009.
Dengan total insidensi masing-masing adalah 0,55 per 1.000 orang-tahun dan
0,95 per 1000 orang-tahun. Pada wanita yang berusia 35-50 tahun,
insidensinya masing-masing 1,21 per 1.000 orang-tahun dan 1,87 per 1000
orang-tahun. Dalam analisis regresi logistik multivarian, insidensi kista dan
abses kelenjar bartolini dikaitkan dengan usia (P<0,01), tetapi tidak dengan
musim atau status sosial ekonomi, di antara wanita berusia 15-50 tahun.
Operasi utama yang dilakukan adalah marsupialization (45,2%) untuk
kista dan insisi (71,5%) untuk abses kelenjar bartolini.(2)
Abses kelenjar bartolini merupakan kondisi yang sering terjadi pada
sekitar 2% wanita. Dengan puncak serangan antara usia 20 dan 29 tahun,
dan gejala atau lesi yang timbul memberikan keadaan yang tidak nyaman.(3)
III. Anatomi
Kelenjar bartolini (kelenjar vestibular yang lebih besar) pada wanita
homolog dengan kelenjar Cowper pada laki-laki. Pada masa pubertas, mulai
berfungsi untuk memberikan kelembaban terhadap vulva dan vestibuler
serta berfungsi sebagai pelumas selama melakukan hubungan seksual.
Kelenjar ini berkembang dari ujung dalam epitel daerah posterior dari
vestibuler dan terletak bilateral di dasar labia minor, mengalir melalui
saluran kosong dan sempit ke vestibuler yang panjangnya 2-2,5 cm dengan
posisi sekitar pukul 4 dan pada pukul 8. Ukurannya biasa seperti ukuran
kacang polong dan jarang melebihi 1 cm. Mereka tidak teraba kecuali
terdapat penyakit atau infeksi. (4),(5)

Gambar 1. Anatomi kelenjar bartolini

IV. Etiologi
Mikroorganisme umum yang menyebabkan abses kelenjar bartolini
(AKB) adalah organisme aerobik dan anaerobik yang terdiri dari flora vagina
dan serviks yang normal.(2)Infeksi ini biasanya polimikrobial, dengan
organisme penyebab yang paling sering adalah Bacteroides spp. dan
Escherichia coli.(6)
Mycoplasma hominis dan Ureaplasma urealyticum ditemukan di vagina
dan jarang menyebabkan suatu penyakit. Ada laporan yang jarang
mengenai M. hominis yang diisolasi dari kasus AKB. AKB dapat pula
disebabkan oleh organisme pyococcal, gonokokal dan Chlamydia
trachomatis.(7)
Meskipun Neisseria gonorrhoeae merupakan isolat aerobik yang
dominan, tetapi isolat anaerob menjadi patogen yang paling sering menjadi
penyebabnya. Chlamydia trachomatis juga dapat menjadi organisme
penyebab. Namun, kista dan abses kelenjar bartolini tidak lagi dianggap
sebagai suatu yang berarti dari penyakit infeksi menular seksual. Operasi
vulvovaginal dapat pula menjadi penyebab dari kista dan abses kelenjar
bartolini. Dalam sebuah penelitian, hanya 21 dari 109 kasus disebabkan oleh
stafilokokus, sedangkan 50 disebabkan oleh Escherichia coli dan 46 oleh
Streptococcus faecalis.(2)
V. Patofisiologi
Adanya peradangan pada kelenjar bartolini disebabkan oleh bakteri
Gonococcus atau bakteri lainnya yang menyebabkan terjadinya infeksi. Ada
kalanya bartolinitis menjadi abses karena duktus kelenjar tertutup dan terjadi
proses penahanan di dalam kelenjar tersebut. Kista bartolini terjadi karena
adanya sumbatan pada salah satu duktus sehingga mukus yang di hasilkan
tidak dapat di sekresi. Sumbatan dapat disebabkan oleh mukus yang
mengental, infeksi, inflamasi kronik, trauma, atau gangguan kongenital. Jika
terjadi infeksi pada kista bartolini maka kista ini dapat berubah menjadi abses,
yang ukurannya dapat meningkat setiap hari dan sangat nyeri. Namun kista
tidak harus selalu ada mendahului terbentuknya abses.(4)
VI. Gejala Klinis
Jika kista kelenjar bartolini tetap mengecil dan tidak terjadi peradangan,
gejala bisa saja tidak timbul. Namun, kista biasanya muncul sebagai massa
kecil yang menonjol dalam introitus posterior di daerah di mana saluran
terbuka ke vestibuler. Jika kista mengalami infeksi, maka abses dapat
terbentuk di kelenjar. Pembesaran biasanya terlihat disekitar kelenjar, saat
berjalan, duduk, atau hubungan seksual dapat menyebabkan nyeri pada
vulva. Kista dan abses kelenjar bartolini harus dibedakan dengan massa
vulva lainnya. Karena kelenjar bartolini biasanya mengecil selama
menopause, pertumbuhan vulva pada wanita postmenopause harus dievaluasi
untuk menilai adanya keganasan, terutama jika massa tidak teratur, nodular,
dan terus- menerus membesar.(2) Pasien datang dengan demam, malaise
dan pembengkakan yang lunak timbul pada posterior labium manus.(6) Abses
terjadi pada penyakit Crohn dan gonore, di mana kelenjar bartolini bengkak,
berfluktuasi, dan sangat menyakitkan. Abses tersebut terletak di labium
yang agak dekat dengan fourchette posterior. Nyeri dapat terjadi dengan
hebat sehingga mengganggu saat berjalan.(7)
VII. Diagnosa Banding
1. Kista kelenjar bartolini
Sering terjadi di vestibuler, di sebabkan oleh trauma atau tersumbatnya

duktus polisebaseus. Dengan karakteristik yang biasanya unilateral,


asimptomatik jika tumor kecil, bergerak, tidak lunak.(4)
2. Lipoma
Merupakan yang berasal dari sel-sel mesenkim dan sangat jarang terjadi
pada vulva. Meskipun lipoma adalah tumor lemak yang terkenal baik
secara klinis maupun patologis, faktor penyebab belum diketahui secara
pasti. Namun, salah satu faktor etiologi yang paling sering terlibat
adalah trauma. Terjadi didaerah labia mayor dan klitoris. Karakteristik
tumor dengan pertumbuhan yang lambat.(4)
VIII. Penatalaksanaan
Tujuan penanganan dari AKB adalah untuk mempertahankan kelenjar
bartolini dan fungsinya jika memungkinkan. Prosedur dasar memasukan
kateter Word untuk kista dan abses kelenjar bartolini, dan marsupilisasi pada
kista. Terapi antibiotik spektrum luas hanya diperlukan ketika terjadi selulitis.
Biopsi eksisi tersendiri digunakan pada luar garis adenokarsinoma pada
wanita menopause atau perimenopause dengan tidak berketentuan, massa
noduler kelenjar bartolini.(4)
1. Kateter Word
Sebuah Word kateter umumnya digunakan untuk mengobati kista
saluran bartolini dan abses kelenjar. Batang kateter karet ini memiliki
panjang 1 inci dan diameter no.10 French Foley kateter. Yang kecil, ujung
balon karet dari kateter Word dapat menyimpan sekitar 3 mL saline.(4)
Setelah melakukan persiapan secara steril dan pemberian anestesi
lokal, dinding kista atau abses dijepit dengan forsep kecil, dan sebuah
pisau no.11 digunakan untuk membuat sayatan (tusukan) 5 mm ke
dalam kista atau abses. Hal ini penting untuk memahami dinding kista
sebelum melakukan insisi; jika kista dapat pecah, dan sebuah saluran
yang salah dapat terbentuk. Sayatan harus dalam introitus eksternal dari
lingkaran himen di daerah duktus orifisium. Jika sayatan terlalu besar,
kateter Word akan jatuh keluar.(4)
Setelah dibuat sayatan kateter word dimasukkan dan ujung balon
dikembungkan 2-3 ml dengan menyuntikan larutan garam melalui pangkal
kateter. Balon yang mengembung memungkinkan kateter tetap berada
didalam rongga kista atau abses. Ujung kateter yang bebas ditempatkan
dalam vagina. Untuk memungkinkan epitelisasi dari saluran yang dibuat
ketika operasi, kateter Word dibiarkan pada tempatnya selama empat
sampai enam minggu, meskipun epitelisasi dapat terjadi segera setelah tiga
sampai empat minggu.(4)

Gambar 4. Kateter Word yang digelembungkan. (dikutip dari kepustakaan 4)

2. Marsupialisasi
Sebuah alternatif selain penempatan kateter Word adalah
marsupialisasi dari kista bartolini. Prosedur ini sebaiknya tidak digunakan
bila terdapat abses. Marsupialisasi dapat dilakukan di kantor atau, jika
kista muncul dalam, dilakukan di kamar bedah rawat jalan.(4)

Gambar 5. Marsupialisasi dari kista kelenjar bartolini. (Kiri) Sebuah insisi vertikal dibuat
di atas bagian tengah kista untuk membebaskan kista dari mukosa. (Kanan) Dinding
kista yang eversi dan diperkirakan ke tepi mukosa vestibular dengan jahitan terputus.
(dikutip dari kepustakaan 4)
3. Eksisi
Eksisi kelenjar bartolini harus dipertimbangkan pada pasien yang
tidak merespon terhadap upaya konservatif untuk membuat saluran
drainase, tetapi prosedur eksisi harus dilakukan ketika tidak ada infeksi
yang aktif. Jika beberapa upaya telah dilakukan untuk menguras kista atau
abses, perlekatan dapat terjadi. Membuat eksisi sangat sulit dan dapat
mengakibatkan jaringan parut pasca operasi dan rasa sakit kronis di daerah
yang dieksisi.(5)

IX. Prognosis
Kesempatan untuk pulih sepenuhnya sangat baik. Sekitar 10% dari kasus
abses rekuren. Merupakan hal penting untuk mengobati pasien yang
didiagnosa dengan infeksi vagina sedini mungkin.(3)
B. ASPEK MEDIKOLEGAL
I. Hak dan Kewajiban Dokter
Dalam melaksanakan praktik kedokteran, Dokter atau dokter gigi
mempunyai hak serta kewajiban yang harus diperhatikan. Hak dan kewajiban
ini diatur dalam Paragraf 6 Pasal 50-51 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran. Adapun hak dan kewajiban tersebut ialah :
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
hak :
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional;
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya; dan
d. Menerima imbalan jasa.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dlam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban :
a. Memberikan pelayanan medis
b. sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta
kebutuhan medis pasien;
c. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian
atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan;
d. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan
juga setelah pasien itu meninggal dunia;
e. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila
ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
f. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteranatau kedokteran gigi.
II. Hak dan Kewajiban Pasien
Dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, pasien pun
mempunyai hak serta kewajiban yang harus diperhatikan. Hak dan kewajiban
ini diatur dalam Paragraf 7 Pasal 52-53 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran. Adapun hak dan kewajiban tersebut ialah :
Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapatkan isi rekam medis.
Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
kewajiban;
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya;
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
III. Kaedah Etik
1. Beneficence
Tindakan berbuat baik (beneficence). Terdapat dua macam klasifikasi
beneficence, yaitu:
 General beneficence :
a. melindungi & mempertahankan hak yang lain
b. mencegah terjadi kerugian pada yang lain,
c. menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain,

 Specific beneficence :
a. menolong orang cacat,
b. menyelamatkan orang dari bahaya.
c. Mengutamakan kepentingan pasien
d. Memandang pasien/keluarga/sesuatu tak hanya sejauh
menguntungkan dokter/rumah sakit/pihak lain
e. Maksimalisasi akibat baik (termasuk jumlahnya > akibat-buruk)
f. Menjamin nilai pokok : “apa saja yang ada, pantas (elok) kita
bersikap baik terhadapnya” (apalagi ada yg hidup).
Kaidah beneficence menegaskan peran dokter untuk menyediakan
kemudahan dan kesenangan kepada pasien mengambil langkah positif untuk
memaksimalisasi akibat baik daripada hal yang buruk. Prinsip- prinsip yang
terkandung didalam kaidah ini adalah;
a. Mengutamakan Altruisme
b. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
c. Memandang pasien atau keluarga bukanlah suatu tindakan tidak hanya
menguntungkan seorang dokter
d. Tidak ada pembatasan “goal based”
e. Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak
dibandingkan dengan suatu keburukannya
f.Paternalisme bertanggung jawab/kasih sayang
g. Menjamin kehidupan baik-minimal manusia
h. Memaksimalisasi hak-hak pasien secara keseluruhan
i. Menerapkan Golden Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik seperti
yang orang lain inginkan
j. Memberi suatu resep berkhasiat namun murah
k. Mengembangkan profesi secara terus menerus
l. Minimalisasi akibat buruk
2. Non Maleficence
Tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence).Praktik Kedokteran
haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar
manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan harus
diikuti. Sisi komplementer beneficence dari sudut pandang pasien, seperti :
a. Tidak boleh berbuat jahat (evil) atau membuat derita (harm) pasien
b. Minimalisasi akibat buruk
c. Kewajiban dokter untuk menganut ini berdasarkan hal-hal :
Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya sesuatu
yang penting :
Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut
Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
Manfaat bagi pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko
minimal).
Norma tunggal, isinya larangan.
3. Justice
Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik,
agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status
perkawinan, serta perbedaan gender tidak boleh dan tidak dapat mengubah
sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain
kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter.
a. Treat similar cases in a similar way = justice within morality.
b. Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagai fairness)
yakni :
1) Memberi sumbangan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur dari
kebutuhan mereka (kesamaan sumbangan sesuai kebutuhan pasien
yang memerlukan/membahagiakannya)
2) Menuntut pengorbanan relatif sama, diukur dengan kemampuan
mereka (kesamaan beban sesuai dengan kemampuan pasien).
Jenis keadilan :
a. Komparatif (perbandingan antar kebutuhan penerima)
b. Distributif (membagi sumber)
Kebajikan membagikan sumber-sumber kenikmatan dan beban bersama,
dengan cara rata/merata, sesuai keselarasan sifat dan tingkat perbedaan
jasmani-rohani; secara material kepada setiap orang andil yang sama,
sesuai dengan kebutuhannya, sesuai upayanya, sesuai kontribusinya,
sesuai jasanya, sesuai bursa pasar bebas.
4. Autonomy
Menghormati martabat manusia (respect for
person/autonomy).Menghormati martabat manusia.Pertama, setiap individu
(pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak
untuk menentukan nasib diri sendiri), dan kedua, setiap manusia yang
otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan perlindungan.
a. PandanganKant : otonomi kehendak = otonomi moral yakni :
kebebasan bertindak, memutuskan (memilih) dan menentukan diri
sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya yang ditentukan
sendiri tanpa hambatan, paksaan atau campur-tangan pihak luar
(heteronomi), suatu motivasi dari dalam berdasar prinsip rasional atau
self-legislation dari manusia.
b. PandanganJ. Stuart Mill : otonomi tindakan/pemikiran = otonomi
individu, yakni kemampuan melakukan pemikiran dan tindakan
(merealisasikan keputusan dan kemampuan melaksanakannya), hak
penentuan diri dari sisi pandang pribadi.
c. Menghendaki,menyetujui, membenarkan, mendukung, membela,
membiarkan pasien demi dirinya sendiri = otonom (sebagai mahluk
bermartabat).
d. Didewa-dewakan di Anglo-American yang individualismenya tinggi.
e. Kaidahikutannya ialah : Tell the truth, hormatilah hak privasi, lindungi
informasi konfidensial, mintalah consent untuk intervensi diri pasien;
bila ditanya, bantulah membuat keputusan penting.
f. Eratterkait dengan doktrin informed-consent, kompetensi (termasuk
untuk kepentingan peradilan), penggunaan teknologi baru, dampak
yang dimaksudkan (intended) atau dampak tak laik-bayang (foreseen
effects), letting die.

DAFTAR PUSTAKA
Saeed Nermin Kamal, Al-Jufairi ZA. Bartholin’s Gland Abscesses Caused by
Streptococcus pneumoniae in a Primigravida. JLP. 2013;5:130-2.
Yuk JS, Kim YJ, Hur JY, Shin JH. Incidence of Bartholin duct cysts and
abscesses in the Republic of Korea. IJGO. 2013;122:62-4.
Donato VD, Bellati F, Casorelli A, Giorgini M, Perniola G, Marchetti C, et al.
CO2 Laser Treatment for Bartholin Gland Abscess: Ultrasound Evaluation
of Risk Recurrence. JMIG. 2012;20:346-52.
Omole F, Simon BJ, Hacker Y. Management of Bartholin’s Duct Cyst and
Gland Abscess. AFP. 2003;68:135-60.
Berger MB, Betschart C, Khandwala N, DeLancey JO, Haefner HK.
Incidental Bartholin Gland Cysts Identified on Pelvic Magnetic Resonance
Imaging. NIH-PA. 2013;120:1-8.
Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of
Dermatology. 8, editor. USA: Blackwell Publishing; 2010. 71.68 p.
R R, Torgerson, Edwards L. Disease and Disorder of Female Genitalia. In:
Wolff K, A.Goldsmith L, I.Katz S, A.Gilhrest B, editors. Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine. 7 ed. London: The MacGraw-Hill;
2008. p.682.
Tuggy ML. Bartholin’s Cyst And Abscess: Word Catheter Insertion,
Marsupialization. Gynecology And Female Reproductive System
Procedures. p. 893-6
Lee JH, Chung SM. Large Vulvar Lipoma in an Adolescent: A Case
Report. JKMS. 2008;23:744-6.

Anda mungkin juga menyukai