Anda di halaman 1dari 18

Daftar Isi

Lembar Judul .......................................................................................................................................... i


Daftar Isi .................................................................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan ................................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang .................................................................................................................. 1
1.2. Kajian Pustaka .................................................................................................................. 2
1.2.1. Rumah Khusus .................................................................................................. 2
1.2.2. Kearifan Lokal dalam Arsitektur ................................................................... 3
Bab II Kondisi Saat Ini ..........................................................................................................................4
2.1. Gambaran Umum Pembangunan Rumah Khusus................................................... 4
2.2. Kelestarian Rumah Tradisional .................................................................................... 6
Bab III Kondisi yang Diharapkan .........................................................................................................7
Bab IV Kajian dan Solusi ......................................................................................................................9
4.1. Kajian Studi Kasus Penerapan Kearifan Lokal......................................................... 9
4.1.1. Profil Pembangunan Rumah Khusus Desa Bajo Pulau .......................... 9
4.1.2. Karakteristik Rumah Tradisional Suku Bajo.............................................. 9
4.1.3. Desain Rumah Khusus Desa Bajo Pulau.................................................. 12
Bab V Penutup .....................................................................................................................................16
Sumber Referensi ...............................................................................................................................17

ii
Bab I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tempat tinggal merupakan salah satu dari tiga kebutuhan primer manusia
yang sering kita sebut dalam “sandang, pangan dan papan”. Selain sebagai
kebutuhan dasar, di Indonesia yang kaya akan suku dan budaya, tempat tinggal
juga menjadi salah satu komponen penting dalam tatanan budaya atau adat yang
dijadikan sebagai simbol atau bahkan tolok ukur di dalam masyarakatnya. Oleh
karena itu, dapat kita lihat sendiri bagaimana rumah atau bangunan adat
tradisional masing-masing daerah memiliki ciri khas atau karakteristik tertentu
yang digambarkan melalui berbagai simbol dan beragam filosofi.
Dalam penyelenggaraan penyediaan perumahan yang dilakukan oleh
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, khususnya melalui
Direktorat Rumah Khusus, masyarakat pulau terluar, daerah terpencil dan
daerah tertinggal menjadi satu dari beberapa target penerima manfaat yang
diutamakan. Dalam hal ini, masyarakat suku anak dalam juga termasuk di
dalamnya karena biasanya masyarakat adat bermukim di daerah-daerah yang
cenderung jauh dari pusat kota sebagai pusat kegiatan ekonomi dan sosial
sehingga kesulitan dalam memenuhi kebutuhan transportasi dan distribusi
barang. Akibatnya, tingkat ekonomi cenderung rendah, sarana dan prasarana
(tempat tinggal, fasilitas MCK, sanitasi, dll) juga kurang layak untuk digunakan.
Namun, yang sangat disayangkan, sebagian besar pekerjaan penyediaan
perumahan yang dilaksanakan, menggunakan satu desain standar yang
mengacu pada standar minimal rumah sehat dengan kapasitas 1 (satu) keluarga
kecil yang dalam pelaksanaannya cenderung bersifat seragam dan monoton.
Walaupun pada beberapa lokasi tertentu sudah terlihat adanya upaya yang
dilakukan pemerintah dalam penerapan kearifan lokal namun, sejauh ini, upaya
yang terlihat sebagian besar hanya sebatas pada tampilan luar atau façade nya
saja. Padahal, nilai-nilai kearifan pada arsitektur tradisional memiliki filosofi-
filosofi budaya yang kompleks dan merangkul banyak aspek tata bangunan,
dimana dasar-dasar pemikirannya sudah teruji oleh zaman mampu
menghasilkan bangunan yang responsif dan adaptif terhadap fenomena dan
kondisi alam lingkungan di sekitarnya.
1
1.2. Kajian Pustaka
1.2.1. Rumah Khusus
Berdasarkan pada Peraturan Menteri PUPR No. 20/PRT/M/2017
tentang Penyediaan Rumah Khusus, yang dimaksud dengan Rumah
Khusus adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kriteria
kebutuhan khusus yang meliputi:
a. Bertempat tinggal di wilayah perbatasan negara;
b. Masyarakat Nelayan – bertempat tinggal di kawasan pesisir pantai
dan bermata pencaharian sebagai nelayan;
c. Korban Bencana – terkena dampak langsung dari bencana skala
dan/atau berdampak nasional;
d. Bertempat tinggal di lokasi terpencar di pulau terluar, daerah
terpencil dan daerah tertinggal;
e. Terkena dampak program pembangunan Pemerintah Pusat
sehingga harus meninggalkan tempat tinggal asalnya akibat dampak
program atau kegiatan pembangunan Pemerintah Pusat;
f. Pekerja Industri – sebagai buruh / pekerja industri yang berada di
kawasan industri;
g. Pekerja Pariwisata – sebagai buruh / pekerja pariwisata yang berada
di daerah tujuan pariwisata atau destinasi pariwisata;
h. Transmigran;
i. Masyarakat Sosial – lansia, miskin, penyandang disabilitas, yatim
piatu dan/atau anak terlantar yang secara sosial memerlukan
perhatian dan bantuan;
j. Masyarakat yang memerlukan penanganan khusus – pemuka adat
atau agam, daerah pedalaman dan suku terasing, kawasan cagar
budaya, petugas medis atau yang bekerja di wilayah pengolahan
sumber daya alam.

Ketentuan pembangunan Rumah Khusus ini selain berdasarkan


pada ketentuan yang berlaku, juga dilaksanakan dengan
mempertimbangkan kondisi tapak, kebutuhan calon penerima manfaat,
ketersediaan lahan dan material, serta ketersediaan anggaran.

2
1.2.2. Kearifan Lokal dalam Arsitektur
Secara umum, kearifan lokal merupakan frasa yang terdiri dari 2
(dua) kata yaitu lokal / local yang artinya setempat atau pembuatan,
produksi, tumbuh, hidup dan sebagainya di suatu tempat sedangkan
kearifan / wisdom yang memiliki arti kebijaksanaan atau bagaimana
manusia merespon atau menyikapi lingkungannya. Menurut Antariksa
(2009), kearifan lokal adalah unsur bagian dari tradisi / budaya
masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang
diaplikasikan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan
(perkotaan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa.
Dalam tatanan adat istiadat pada umumnya, tidak hanya di
Indonesia, bangunan, atau secara lebih spesifik, rumah tinggal menjadi
salah satu elemen kehidupan yang krusial, dengan penataan dan
ketentuan yang kompleks dan beragam sesuai masing-masing budaya.
Tidak hanya berdasarkan pada ornamen atau unsur-unsur fisik yang
kaya akan makna serta legenda, namun hingga ke unsur-unsur
fungsional seperti pengaturan hirarki denah, penentuan orientasi
bangunan atau elemen-elemennya terhadap arah mata angin, detail
struktur dan konstruksi, pemilihan material, dan lain-lain.
Namun, unsur kearifan lokal pada arsitektur tradisional tidak
semata hanya didasarkan pada filosofi dan preferensi subjektif dari
masing-masing leluhur melainkan, sudah berdasarkan pada pemikiran,
perhitungan dan pengalaman yang secara turun-temurun terus
disempurnakan dengan tujuan utama untuk menghasilkan bangunan
atau tempat tinggal yang responsif dan mampu beradaptasi dengan baik
terhadap bermacam fenomena atau kondisi alam lingkungan di masing-
masing daerah, sehingga terkadang konsep-konsep bangunan yang
dihasilkan oleh kearifan lokal ini mampu menunjukkan kinerja bangunan
yang lebih efektif dan efisien terhadap lingkungan sekitarnya jika
dibandingkan dengan konsep bangunan universal di zaman sekarang.
Melihat hal tersebut, memang cukup disayangkan, bagaimana
peran dari konsep dan nilai-nilai arsitekural dari kearifan lokal ini kini
mulai berkurang di tengah masyarakat, digantikan oleh konsep

3
konstruksi universal yang pengaplikasiannya, terutama pada kawasan
kumuh atau masyarakat golongan kecil, cenderung ceroboh dan
seadanya dengan alasan ekonomi dan tuntutan sosial.

Bab II
KONDISI SAAT INI

2.1. Gambaran Umum Pembangunan Rumah Khusus


Semenjak awal dicetuskannya program penyediaan perumahan jenis
Rumah Khusus ini, sudah banyak pembangunan yang diselenggarakan oleh
pemerintah dalam rangka mensejahterakan masyarakat dan upaya penanganan
terhadap angka backlog yang cukup mengkhawatirkan di Indonesia.
Kemungkinan besar, untuk mempercepat dan memberikan kemudahan
dalam proses penyelenggaraannya, pemerintah menentukan sebuah master
design, mengacu pada standar minimal rumah sederhana sehat, yang dijadikan
sebagai standar tipikal utama yang diberlakukan pada seluruh pembangunan
Rumah Khusus di Indonesia.

Gambar IV- 1. Gambar Denah Tipikal Rumah Khusus Tipe 28


Sumber: Review Desain Prototype Rumah Khusus Tipe 28 (Direktorat Rumah Khusus, Ditjen
Penyediaan Perumahan, Kementerian PUPR)

4
Gambar IV- 2. Gambar Tampak Tipikal Rumah Khusus Tipe 28
Sumber: Review Desain Prototype Rumah Khusus Tipe 28 (Direktorat Rumah Khusus, Ditjen
Penyediaan Perumahan, Kementerian PUPR)

Desain ini berlaku pada pembangunan di seluruh Indonesia dengan


pengecualian pada beberapa kasus khusus di daerah dengan kondisi alam dan
budaya yang sulit dan tidak memungkinkan sehingga menghasilkan desain
alternatif tertentu sebagai turunan dari desain tipikalnya. Namun begitu, pada
penyelenggaraan pembangunan ini, penerapan desain tipikal masih terkesan
dipukul rata pada sebagian besar daerah, tanpa memperhatikan kearifan lokal
yang ada. Ketika tidak adanya penolakan yang keras dari masyarakat setempat,
ditambah dengan pola pikir masyarakat berpenghasilan rendah yang cenderung
lebih mengutamakan kebutuhan ekonomi daripada budaya, mengingat kesulitan
yang mereka hadapi sehari-harinya, tentu saja akan lebih mudah untuk
menggunakan desain tipikal yang sudah ada.

5
Gambar IV- 3. Perbandingan Pembangunan Rumah Khusus Tipikal dan Rumah Tradisional
Boyang Khas Sulawesi Barat
Sumber: Dokumentasi Subdit Monev Dir. Rusus, Kementerian PUPR;
https://aminama.com/rumah-adat-sulawesi-barat/

Metode penyelenggaraan ini membawa dampak berkepanjangan di masa


mendatang. Dampak yang dimaksud adalah semakin banyaknya Rumah Khusus
yang disediakan oleh pemerintah untuk menekan angka backlog, maka akan
semakin lumrah bentuk desain tipikal ini di tengah masyarakat untuk
menggantikan bangunan tempat tinggal tradisional mereka sebelumnya yang
tergolong “rumah tidak layak huni”, terutama mengingat penyediaan Rumah
Khusus menargetkan masyarakat berpenghasilan rendah di area yang terpencil
dan terluar. Padahal, masyarakat pada daerah tersebut, notabene masih
memiliki nilai budaya dan adat istiadat yang lebih kental daripada masyarakat
kota. Sehingga, secara tidak langsung, program ini akan berpotensi menggeser
keberadaan nilai kearifan lokal pada aspek arsitektur yang ada di tengah
masyarakat setempat.

2.2. Kelestarian Rumah Tradisional


Seiring dengan perkembangan zaman, terutama dalam hal studi material
dan teknologi, material-material lokal dan konsep-konsep arsitektur dengan
kearifan lokal dalam rumah tradisional semakin tergantikan dengan material dan
konsep arsitektur yang lebih universal dan seragam. Apalagi dengan semakin
meluasnya pengetahuan tersebut, produk-produk baru ini menjadi relatif lebih
murah dan lebih mudah untuk dicari dan diaplikasikan.
Padahal, jika dikaji dengan lebih mendalam, konsep bangunan dengan
kearifan lokal memiliki keunggulan karena sudah teruji secara alami melalui

6
perkembangan zaman serta telah didasari dengan pemikiran dan perhitungan
yang telah dipertimbangkan oleh para leluhur. Ketentuan kearifan lokal ini, tentu
saja dinilai sudah dapat memenuhi aspek-aspek kenyamanan pada penghuni
yaitu:
1. Kenyamanan Psikis
Kaitannya dengan aspek kepercayaan, agama dan adat yang dianut oleh
penghuninya. Sifatnya personal dan kualitatif.
2. Kenyamanan Fisik
Sifatnya universal dan dapat diukur secara kuantitatif, dibagi menjadi 4
(empat), yaitu:
a. Kenyamanan Spatial (Ruang)
b. Kenyamanan Visual (Penglihatan)
c. Kenyamanan Audial (Pendengaran)
d. Kenyamanan Thermal (Termis/Suhu)

Dengan kata lain, konsep arsitektur rumah tradisional yang didasari dengan
kerifan lokal tidak dapat disepelekan begitu saja keberadaannya. Perlu
diadaptasikan dan dijadikan dasar-dasar utama dalam pembangunan di masing-
masing daerah tersebut.

Bab III
KONDISI YANG DIHARAPKAN

Meskipun penggunaan desain modular dalam penyediaan rumah khusus


memiliki keunggulan dari segi tenaga, biaya, dan waktu, model-modelnya yang sangat
seragam, dan didukung oleh kebutuhan penyediaannya yang cukup banyak serta
tersebar di seluruh pelosok Indonesia, dapat menggeser eksistensi rumah-rumah
tradisional yang kaya akan nilai kearifan lokal di masing-masing daerah. Jejak-jejak
budaya ini akan dengan mudah hilang dan terlupakan di masa mendatang.
Rumah khusus memiliki desain yang lebih sederhana jika dibandingkan
dengan tipologi-tipologi bangunan lain yang diselenggarakan oleh pemerintah. Jika
memikirkan permasalahan dari segi sosial dan budaya, nilai dan konsep kearifan lokal

7
wilayah setempat dapat diadopsi untuk dijadikan nilai tambah dari permukiman
tersebut.
Adopsi nilai dan konsep yang dimaksud tidak harus dalam skala keseluruhan
desain rumah. Konsep dan nilai yang sudah baik dan sesuai dengan kondisi
perkembangan jaman dapat dipertahankan dan dikolaborasikan dengan standar
desain rumah khusus. Sedangkan nilai dan konsep yang tidak dapat dipertahankan,
demi keselamatan dan kenyamanan penerima manfaat harus modifikasi atau
dikolaborasikan dengan alternatif teknologi modern untuk menghasilkan hunian yang
kualitasnya lebih baik dari sebelumnya
Penerapan kearifan lokal ini dapat membawa dampak yang baik terhadap
masalah penghunian rumah khusus yang sebelumnya telah terjadi.
1) Aspek Etika dan Kebudayaan
Pada beberapa kasus, rumah khusus yang telah dibangun oleh pemerintah
mengalami kendala yang cukup rumit dalam hal penghuniannya. Tertimbun oleh
kendala administrasi, kendala yang bersifat internal masyarakat luput dalam
pembahasan di lingkup organisasi. Dalam konteks sasaran penerima manfaat,
banyak di antaranya masih memegang teguh etika dan adat istiadat setempat.
Rumah yang tidak sesuai dengan ketentuan adat mereka, akan menimbulkan
perdebatan dan berakibat pada penolakan bantuan.
Permasalahan seperti ini seharusnya sudah dapat dideteksi sedari awal
pengajuan bantuan. Ketentuan adat istiadat yang mengikat ini bisa diatasi dengan
diskusi budaya terhadap desain rumah khusus yang akan diselenggarakan
sehingga dapat ditemukan titik temu di antara kedua belah pihak.
2) Aspek Lingkungan Alam
Di samping keberadaannya sebagai jejak budaya, prinsip kearifan lokal
memiliki konsep-konsep yang telah adaptif terhadap fenomena dan kondisi alam
di sekitarnya. Adopsi prinsip-prinsip struktural dan arsitektural kearifan lokal
memberi nilai tambah dari segi ketahanan terhadap fenomena alam. Apalagi jika
dikombinasikan dengan tepat terhadap teknologi modern yg kini sudah ada.

8
Bab IV
KAJIAN DAN SOLUSI

4.1. Kajian Studi Kasus Penerapan Kearifan Lokal


Pada beberapa kasus pengadaan Rumah Khusus tertentu, sudah dapat kita
lihat upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menerapkan unsur-
unsur kearifan lokal setempat dalam desain Rumah Khusus yang dilaksanakan.
Salah satu yang dapat kita lihat adalah pada pembangunan Rumah Khusus di
Desa Bajo Pulau, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima.

4.1.1. Profil Pembangunan Rumah Khusus Desa Bajo Pulau


Pembangunan Rumah Khusus ini diselenggarakan di Desa Bajo
Pulau, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima dengan jumlah total sebanyak
100 unit Rumah Khusus. Kategori rumah yang diadakan adalah rumah
tipe 36 m2, dengan jenis rumah tapak tembok tunggal. Calon penerima
manfaat yang dituju adalah korban bencana kebakaran.

Gambar IV- 4. Kondisi Permukiman Desa Bajo Pulau setelah Bencana Kebakaran
Sumber: Dokumentasi Subdit Monev Dir. Rusus, Kementerian PUPR

4.1.2. Karakteristik Rumah Tradisional Suku Bajo


Suku Bajo merupakan suku tersohor yang dikenal sebagai pelaut
tertangguh di Nusantara. Sejak dahulu, mereka gemar mengarungi
lautan hingga sukunya tersebar di berbagai pulau seperti di timur
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Filipina bagian selatan.
Seolah-olah keseluruhan hidup mereka menyatu dengan laut, suku ini
pada umumnya menghuni daerah perairan tepi pantai dengan rumah
berpondasi batu dan material kayu.
9
Gambar IV- 5. Karakteristik Rumah Tradisional Suku Bajo
Sumber: http://auteurdelaction.blogspot.com/2014/07/suku-bajo-
arsitektur-sosial.html

Gambar IV- 6. Morfologi Rumah Tradisional Suku Bajo


Sumber: http://auteurdelaction.blogspot.com/2014/07/suku-bajo-
arsitektur-sosial.html

Secara vertikal, rumah tradisional Suku Bajo dibagi menjadi 3 (tiga)


bagian besar yaitu:
a. Rakkeang / Pammakkang / Kepala
Sebagai tempat paling tinggi, melambangkan kesucian. Digunakan
sebagai gudang penyimpanan padi atau tempat penyimpanan atribut
adat kebesaran.
b. Ale Bola / Kale Balla / Badan
Merupakan bagian tengah bangunan, tempat ruang-ruang fungsional
dan pusat aktivitas rumah pada umumnya. Melambangkan
penghidupan sejati yang harus dilindungi.
c. Awaso / Siring / Kaki
Adalah bagian penyangga bangunan yang terdiri dari susunan tiang-
tiang vertikal, digunakan sebagai tempat penyimpanan alat nelayan

10
/ berlaut, alat bertukang, pengandangan ternak, dll. Dianggap
sebagai tempat kotor yang dipenuhi oleh roh jahat dan berfungsi
untuk melindungi bagian badan rumah.

.
Gambar IV- 7. Konsep Pembagian Rumah Suku Bajo secara Vertikal
Sumber: http://auteurdelaction.blogspot.com/2014/07/suku-bajo-
arsitektur-sosial.html

Sedangkan secara horizontal, dibagi pula menjadi beberapa hirarki


dan fungsinya masing-masing:
a. Lego-Lego / Paselo
Sebagai bagian terdepan dari tiap rumah, atau biasa kita sebut
dengan teras.
b. Watangpola
Adalah bagian utama atau badan rumah. Berisi bagian-bagian ruang
tamu atau ruang keluarga dan kamar tidur. Memiliki makna yang
sama dengan ale bola, yaitu sebagai lambang penghidupan sejati
yang harus dilindungi dan ditempatkan di tengah bangunan. Di
dalamnya harus terdapat Pocci Bola atau pusar rumah, sebagai
tempa berkumpul keluarga dan biasanya tiap malam Jumat
digunakan sebagai tempat upacara doa dan ritual adat.
c. Dapureng
Adalah bagian dapur rumah, terletak di bagian paling belakang.

11
Gambar IV- 8. Konsep Pembagian Rumah Suku Bajo secara Horizontal
Sumber: http://auteurdelaction.blogspot.com/2014/07/suku-bajo-
arsitektur-sosial.html

Jika ditinjau dari aspek struktur dan konstruksinya, rumah


tradisional Suku Bajo ini juga memiliki karakteristik yang dipengaruhi oleh
fenomena alam lingkungan hidupnya. Dilatar belakangi dengan profesi
mereka sebagai pelaut dan nelayan, mereka memilih area tepi pantai
atau perairan sebagai area huniannya. Rumah tradisional asli
masyarakat Suku Bajo awalnya menggunakan karang sebagai tapak
tiang rumah karena dianggap sebagai bahan yang paling tepat untuk
rumah yang mengapung di atas laut. Tiang-tiang ini kemudian
menyangga bangunan mereka yang memiliki lantai berpanggung untuk
mengatasi kelembaban dari tanah.
Material penyusun lantai sendiri diputuskan berdasarkan pada
stastus penghuninya. Untuk golongan bangsawan, lantai disusun dari
bahan papan, sedangkan golongan rakyat atau hamba sahaja
menggunakan bambu. Pada dinding, bahan penutup yang digunakan
juga menggunakan papan dengan sistem konstruksi ikat dan jepit.
Bagian paling atas, yaitu atap, umumnya menggunakan material seng
atau rumbia sebagai penutup atap pelana dipadukan dengan sistem
konstruksi ikat.

4.1.3. Desain Rumah Khusus Desa Bajo Pulau


Pasca bencana kebakaran yang melanda Desa Bajo Pulau,
pemerintah mengadakan 100 unit rumah khusus sebagai santunan
terhadap korban bencana. Rumah khusus yang disediakan tidak
menggunakan desain rumah khusus tipikal yang sering digunakan oleh

12
pemerintah. Pemerintah memasukkan beberapa prinsip dalam konsep
kearifan lokal rumah adat Suku Bajo di dalam desainnya.

Gambar IV- 9. Tampak Luar Bangunan Rumah Khusus Desa Bajo Pulau
Sumber: Dokumentasi Subdit Monev Dir. Rusus, Kementerian PUPR

1) Konsep Rumah Panggung


Rumah khusus ini memiliki perbedaan yang sangat mencolok
dengan desain dasar rumah khusus lain pada umumnya.
Mengusung konsep rumah panggung, desain rumah khusus di
daerah ini mengikuti bentuk struktur rumah adat Suku Bajo yang
ada sebelumnya. Hal yang membedakannya dengan rumah adat
asli Suku Bajo adalah pada pemilihan material. Pada bangunan
rumah khusus ini, penopang bangunannya menggunakan struktur
panggung beton bertulang yang cenderung lebih terjamin
kekokohannya dan tidak rentan lapuk oleh air garam jika
dibandingkan dengan penggunaan material kayu. Struktur
bangunan rumah panggung di daerah ini bertujuan untuk
mencegah potensi bahaya atau kerugian akibat naiknya air pasang,
mengingat lokasi permukimannya yang dekat dengan wilayah
perairan.
Dari segi fungsi, kolong bangunan yang terbentuk akibat
struktur rumah panggung juga dapat dimanfaatkan oleh penghuni
sebagai tempat penyimpanan peralatan melaut atau menangkap

13
ikan atau sebagai tambahan ruang fungsional yang belum ada di
lantai atasnya.
2) Bentuk Atap
Bentuk atap yang digunakan tetap mempertahankan bentuk
atap pelana dari rumah tradisional Suku Bajo. Struktur atap
terekspos tanpa tertutup plafond sehingga struktur atap baja ringan
dapat terlihat langsung dari dalam ruangan. Dengan begitu, udara
panas juga dapat mengalir dan berdampak pada suhu dan
kelembaban di dalam ruangan.
3) Material Bangunan
Pemilihan material yang digunakan dalam bangunan rumah
khusus ini ada yang tetap memanfaatkan material asli atau
mendekati model rumah tradisional Suku Bajo dan ada yang diganti
dengan menggunakan material konvensional.
Selain struktur penopang bangunan yang menggunakan
struktur beton bertulang, struktur atap juga menggunakan struktur
kuda-kuda baja ringan. Penutup atap diganti dengan penggunaan
material spandeks, seperti standar rumah khusus pada umumnya.
Pemilihan material konvensional ini dipertahankan karena sifat baja
ringan yang lebih ringan, cenderung lebih baik dalam menghadapi
serangan serangga (rayap) dan kelembaban sehingga tidak mudah
lapuk, mengingat lokasi permukimannya yang dekat dengan
perairan. Waktu pengerjaan juga relatif lebih cepat, serta dapat
dengan mudah dimodifikasi untuk menyesuaikan lingkungan di
sekitarnya.
Berbeda halnya dengan struktur utama rumah dan material
penutup dinding ruang yang menggunakan material kayu lokal
untuk mempertahankan karakteristik visual rumah asli Suku Bajo.
Bagian bangunan ini memang merupakan bagian utama yang
paling penting dalam representasi bentuk rumah tradisional secara
visual. Selain itu, penggunaan papan kayu sebagai penyusun
dinding juga menyediakan pori-pori udara bangunan yang
digunakan sebagai pengontrol suhu ruangan.

14
Gambar IV- 10. Tampak Dalam Rumah Khusus Desa Bajo Pulau
Sumber: Dokumentasi Subdit Monev Dir. Rusus, Kementerian PUPR

4) Penataan Fungsi Ruang


Layout ruang di dalam rumah khusus ini tetap mengikuti
desain standar dari rumah khusus biasa. Aspek ini tidak terlalu
menjadi kekhawatiran karena pada dasarnya layout ruang dalam
rumah adat Suku Bajo juga relatif sederhana dan tidak sekompleks
denah ruang dalam rumah tradisional di daerah lain. Selain itu,
penataan ruangnya juga sudah hampir menyerupai desain denah
rumah modern. Hirarki tiap ruangnya juga tidak mengandung
aspek-aspek etika dan sosial budaya yang berat dalam ketentuan
adatnya.
Pada beberapa rumah juga terlihat bahwa area kamar mandi
diletakkan di kolong rumah. Jika dibandingkan dengan denah ruang
rumah asli Suku Bajo, memang tidak pernah terlihat adanya ruang
basah atau kamar mandi dalam denah ruang utama mereka.
Kemungkinan besar hal ini terjadi karena kegiatan mandi dan
mencuci dahulu biasa dilakukan langsung di perairan terdekat.

15
Gambar IV- 11. Pemanfaatan Kolong Bangunan untuk Fungsi-Fungsi Tertentu
Sumber: Dokumentasi Subdit Monev Dir. Rusus, Kementerian PUPR

Bab V
PENUTUP

Kesimpulan
Tujuan adanya pembangunan Rumah Khusus, secara teoritis adalah untuk
mengurangi total backlog yang ada di Indonesia. Namun di sisi lain, secara sosial, juga
bertujuan untuk membantu masyarakat, terutamanya yang tergolong tidak mampu
dan/atau berpenghasilan rendah agar dapat memiliki tempat tinggal yang layak dan
sehat demi kesejahteraan bersama. Maka dari itu, harapannya, rumah khusus yang
dibangun dan disediakan memang ditempati dan dipakai oleh target penerima manfaat
dan sesuai dengan peruntukan yang seharusnya, memiliki daya tahan yang kuat serta
sungguh dapat memperbaiki keadaan masyarakat yang dituju.
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut adalah
dengan mengkolaborasikan konsep-konsep kearifan lokal dengan desain modern
rumah khusus mengingat kearifan lokal memiliki beberapa keunggulan di antaranya
adalah, kemampuan adaptif terhadap lingkungan, memfasilitasi kebutuhan dasar
budaya masyarakat, dan mendukung terciptanya hunian yang layak dengan nilai
keselamatan dan kenyamanan bagi penghuninya. Selain itu, dengan konsep
kolaborasi ini, pencapaian penyediaan rumah khusus dapat dilakukan sembari
melestarikan keragaman nilai budaya pada tiap daerah.

16
Sumber Referensi

Peraturan Menteri PUPR No. 20/PRT/M/2017 tentang Penyediaan Rumah Khusus.

Rifai, Andi Jiba. 2010. “Perkembangan Struktur dan Konstruksi Rumah Tradisional Suku Bajo
di Pesisir Pantai Parigi Moutong” dalam Jurnal “Ruang” Volume 2 Nomor 1. Palu:
Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Tadulako.

Dharma, I Made Krisna Adhi, Ainussalbhi Al Ikhsan dan La Ode Amrul Hasan. 2017. “Respon
Rumah Tradisional Suku Bajo terhadap Iklim Tropis, Studi Kasus: Permukiman Suku
Bajo – Desa Bajo Indah, Kabupaten Konawe Utara – Sulawesi Tenggara” dalam
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2017 (Hlm. 97-112). Lhokseumawe: Program Studi
Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh.

Gobang, Ambrosius A. K. S., Antariksa dan Agung Murti Nugroho. 2017. “Pola Pemanfaatan
dalam Tata Spasial Hunian Suku Bajo yang Berkembang di Kampung Wuring Kota
Maumere” dalam Jurnal Arsitektur NALARs Volume 17 Nomor 1 Januari 2017 (Hlm. 51-
64). Malang: Universitas Brawijaya.

17

Anda mungkin juga menyukai