Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Mahasiswa secara harafiah adalah orang yang belajar di perguruan tinggi,

baik di universitas, institute, atau akademi. Mereka yang terdaftar sebagai murid di

perguruan tinggi disebut sebagai mahasiswa. Tetapi pada dasarnya makna mahasiswa

tidak sesempit itu. Terdaftar sebagai pelajar di sebuah perguruan tinggi hanyalah

syarat administratife menjadi mahasiwa. Menjadi mahasiswa mengandung

pengertian yang lebih luas dari sekedar masalah administratife (Bagus, 2008)

Seorang mahasiswa dilihat dari usia dan secara psikologis sudah tergolong

dewasa, karena dianggap telah mempunyai kemampuan berpikir yang matang.

Mahasiswa sudah dianggap mempunyai paradigma berpikir yang kompleks karena

sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Sehingga tidak ada alasan untuk

menyalahkan orang lain selain dirinya sendiri. Walaupun demikian, masih banyak

mahasiswa yang tidak mampu lepas dari gejolak hasrat dan birahinya, hal ini dapat

dilihat dari hasil Survey Kesehatan Remaja Indonesia (SKRRI) bahwa dari laki-laki

berusia 15-24 tahun belum menikah sekitar 29,6 % menyatakan bahwa perilaku seks

boleh dilakukan jika pasangan tersebut akan menikah dan 26,5 % menyatakan bahwa

perilaku seks boleh dilakukan jika pasangan tersebut saling mencintai. Di satu sisi

perkembangan seksual itu muncul sebagai bagian dari proses pertumbuhan yang

harus mereka jalani. Namun, di sisi lain, penyaluran hasrat seksual yang belum

semestinya mereka lakukan. (Syahriyanti, 2009)


Sejalan perkembangan zaman yang semakin pesat lingkungan sangat

berperan terhadap perkembangan remaja. Adanya sikap yang salah dari lingkungan

keluarga dan sosial budaya yang menganggap seksualitas adalah sesuatu yang

dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka hal ini menjadi salah satu penyebab

terjadinya perilaku seks bebas. Seks bebas merupakan fenomena sosial yang

menonjol akhir-akhir ini. Tingginya aktifitas pergaulan bebas memacu remaja untuk

melakukan seks bebas. Kurangnya pelajaran dan penyuluhan tentang kesehatan

reproduksi, lingkungan pergaulan yang semakin pesat mempengaruhi gaya

berpacaran dan pergaulan. Apabila remaja tidak mendapatkan pemahaman yang

benar, serta lingkungan yang tidak baik maka remaja akan terjerumus pada prilaku

seks bebas. (Admin, 2008).

WHO memperkirakan 10-50% kematian ibu disebabkan oleh aborsi

tergantung kondisi masing-masing negara. Diperkirakan diseluruh dunia setiap tahun

dilakukan 20 juta aborsi tidak aman, 70.000 wanita meninggal akibat aborsi tidak

aman dan I dari 8 kematian ibu disebabkan oleh aborasi tidak aman. Di wilayah Asia

Tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya,

diantaranya 750.000 sampai 1,5 juta terjadi di Indonesia. Perkiraan jumlah aborsi di

Indonesia setiap tahunnya cukup beragam. Hull, Sarwono dan Wdyantoro (1993)

memperkirakan antara 750.000 hingga 1 juta kejadian atau dengan perkiraan 18

aborsi per 100 kehamilan. Sedangkan sebuah studi yang diselenggarakan oleh pusat

penelitian kesehatan Universitas Indonesia memperkirakan angka kejadian aborsi di

Indonesia 2 juta pertahunnya (Utomo dkk, 2001).

Tingginya aktifitas seksual remaja dilaporkan dari beberapa penelitian

diantara Survey Kesehatan Remaja Indonesia (SKRRI) 2002 – 2003 yang dilakukan

BPS menyebutkan laki-laki 20-24 tahun belum menikah yang memiliki teman pernah
melakukan hubungan sexual sebanyak 57,5% dan yang berusia 15-19 tahun sebanyak

43,8%. Sedangkan perempuan berusia 20-24 tahun belum menikah memiliki teman

pernah melakukan hubungan sex sebanyak 63 persen. Perempuan berusia 15-19

tahun belum menikah yang memilki teman pernah melakukan hubungan seksual

sebanyak 42,3 persen, adapun bentuk aktivitas seks yang mereka lakukan (dihitung

dari yang sudah pernah pacaran) 2,28% sudah melakukan hubungan intim, 0,57%

sudah melakukan salah satu dari petting, anal sex, oral seks. Ciuman bibir sudah

dilakukan oleh 13,12% responden yang sudah pernah pacaran, ciuman kening/pipi

(26,24%), masturbasi dilakukan oleh 51,63% laki-laki dan pada perempuan 3,32%

(SKRRI, 2002).

Sementara itu menurut survey yang dilakukan oleh Centra Cita Remaja

Rafflesia (CCRR) kota Bengkulu tahun 2008 menunjukkan bahwa perilaku remaja

dalam relasi heteroseksual cenderung lebih berisiko dengan tindakan interaksi

sebagai berikut; 53% telah melakukan cium pipi dalam pacaran, 23% melakukan

cium leher, 21% mengaku telah melakukan raba-rabaan dalam pacaran, dan 9%

diantaranya mengaku telah melakukan hubungan seksual.( Misnita, 2008)

Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti terhadap 10 orang

mahasiswa pada empat perguruan tinggi yang berorientasikan kesehatan yakni Stikes

Trimandiri Sakti, Akkes Sapta Bakti, Stikes Bakti Husada dan Stikes Dehasen, dari

keempat sekolah tinggi tersebut hanya informan dari Stikes Dehasen mengaku

pernah melakukan hubungan seks dan selebihnya mengaku belum pernah melakukan

hubungan seks.

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Dehasen (Stikes Dehasen) Bengkulu

merupakan salah satu dari beberapa perguruan tinggi yang ada di kota Bengkulu,

berada di lokasi yang strategis dan kooperatif. Di Stikes Dehasen tersedia fasilitas
yang mendukung penelitian yaitu tersedianya fasilitas internet dan kemudahan dalam

mendapatkan data dan informasi – informasi yang aktual. Stikes Dehasen memiliki

keragaman mahasiswa, hal ini dapat tercermin dari asal daerah dan latar belakang

pendidikan mereka yang berbeda. Mahasiswa Stikes Dehasen berasal dari berbagai

daerah yang ada di provinsi Bengkulu seperti Muko-Muko, Bengkulu Selatan, Kaur,

Bengkulu Tengah, Lebong, Bengkulu Utara, Rejang Lebong, Kepahyang dan Kota

Bengkulu sendiri, sementara itu latar belakang pendidikan mereka berasal dari

SLTA sederajat.

Stikes Dehasen memilki program studi (prodi) sebanyak 3 prodi yaitu prodi D

III keperawatan, prodi kesehatan masyarakat dan prodi S1 keperawatan dengan

jumlah mahasiswa 352 orang yang terbagi atas 246 orang untuk D3 keperawatan, 25

orang untuk kesehatan masyarakat dan 81 orang S1 keperawatan. Umur dari

mahasiswa rata-rata 17-24 tahun yang dalam fase perkembangan manusia adalah fase

remaja akhir. Dari data bagian kemahasiswaan Stikes Dehasen yang penulis dapatkan

pada tahun 2006 terdapat 2 orang mahasiswa cuti untuk menikah dengan berbagai

alasan diantaranya hamil di luar nikah, tahun 2007 sebanyak 6 orang, tahun 2008

sebanyak 6 orang dan 2009 sebanyak 6 orang. Dari hasil survey awal yang dilakukan

peneliti terhadap 10 orang mahasiswa didapatkan 1 orang (10%) mengaku pernah

melakukan hubungan intim sebelum pernikahan, 5 orang (50%) pernah scubir, 2

orang (20%) cium pipi dan kening, 2 orang (20%) pegangan tangan. Berdasarkan

data di atas penulis tertarik untuk meneliti “Hubungan Tingkat Pengetahuan Seks

Dengan Perilaku Seksual Pada Mahasiswa Stikes Dehasen Bengkulu”.


B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang diatas, maka masalah yang akan dibahas dalam

penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara Pengetahuan Seks Dengan Perilaku

Seksual Pada Mahasiswa Stikes Dehasen Bengkulu.

C. TUJUAN PENELITIAN

a. Tujuan umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

Hubungan Pengetahuan Seks Dengan Perilaku Seksual Pada Mahasiswa

Stikes Dehasen Bengkulu.

b. Tujuan khusus

a. Diketahui gambaran pengetahuan seks pada mahasiswa Stikes De-

hasen

b. Diketahui gambaran perilaku seksual mahasiswa Stikes Dehasen

Bengkulu.

c. Diketahui hubungan antara pengetahuan seks dengan perilaku seksual

pada mahasiswa.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi akademik

Dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan landasan dasar

bagi pihak pengelola dan kemahasiswaan dalam membenahi sikap dan

perilaku mahasiswa yang ada dalam kalangan kampus Stikes Dehasen dan
jadi bahan rujukan dalam membimbing mahasiswa untuk menjadi berper-

ilaku lebih baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

2. Bagi peneliti lain

Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dan bahan ru-

jukan untuk penelitian selanjutnya khusus mengenai kesehatan repro-

duksi, perilaku seksual remaja dan penularan penyakit kelamin.

E. KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian ini pernah di teliti oleh:

1. Widyianti (2007),dengan judul, Hubungan pengetahuan seksual dengan

perilaku seksual remaja SMUN2 kelas 11 kota Bengkulu tahun 2007 den-

gan kesimpulan ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku sek-

sual remaja.

2. Vevi (2008) Hubungan teknologi informasi terhadap sikap perilaku sek-

sual remaja di SMA negeri 5 kota Bengkulu

Perbedaan dengan penelitian ini dalah tempat penelitian dan sasaran dari

penelitian dimana pada penelitian ini peneliti melakukan penelitian di kampus

Stikes Dehasen dengan sasaran mahasiswa Stikes Dehasen.


BAB II

TINJAUN PUSTAKA

A. Konsep pengetahuan

1. Defenisi pengetahuan

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1991), pengetahuan adalah

sesuatu yang diketahui berkenaan dengan mata pelajaran. Pengetahuan

merupakan pengakuan hubungan sesuatu terhadap sesuatu yang lain.

Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu, penginderaan terjadi melalui

panca indera, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

Pengetahuan (kognitif) merupakan domonin sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang. Sebagian besar pengetahuan manusia

diperoleh melalui mata dan telinga ( Notoatmodjo, 2003).

Menurut Meliono (2007), bahwa pengetahuan adalah berbagai

gejala yang ditemui dan diperoleh oleh manusia melalui pengamatan

inderawi, pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indera atau

akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum

pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Pengetahuan yang lebih

menekankan pengalaman inderawi dikenal sebagai pengetahuan empiris.

Selain pengetahuan empiris, ada pula pengetahuan yang didapatkan

melalui akal budi yang kemudian dikenal sebagai rasionalisme.

Dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa


pengetahuan adalah hasil dari tahu yang berkenaan dengan hal pelajaran

dan diperoleh oleh manusia melalui pengamatan inderawi atau akal budi.

Untuk mengetahui benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat

atau dirasakan sebelumnya terhadap suatu objek tertentu, penginderaan

terjadi melalui panca indera, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan raba.

2. Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang

1. Pendidikan.

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian

dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur

hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi

pendidikan seeorang makin mudah orang tersebut untuk menerima

informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung

untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media

massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula

pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat

kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan

pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula

pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang

berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah

pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan

formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal.

Pengetahuan seseorang tentang sesuatu obyek juga mengandung dua

aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang

akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap obyek tertentu.


Semakin banyak aspek positif dari obyek yang diketahui, akan

menumbuhkan sikap makin positif terhadap obyek tersebut .

2. Mass media / informasi.

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non

formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate

impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan

pengetahuan. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya,

media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang

dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai

sesuatu hal  memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya

pengetahuan terhadap hal tersebut.

3. Sosial budaya dan ekonomi.

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui  

penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian

seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak

melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan

tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu,

sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan

seseorang.

4. Lingkungan.

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik

lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh

terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang

berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya

interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai


pengetahuan oleh setiap individu.

5. Pengalaman.

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali

pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang

dihadapi masa lalu.

6. Usia.

Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.

Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap

dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin

membaik. Pada usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam

masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan

persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua,

selain itu orang usia madya akan lebih banyak menggunakan banyak

waktu untuk membaca. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah,

dan kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada

usia ini.

B. Konsep perilaku seksual

1. Perilaku

Perilaku dalam pandangan biologis adalah merupakan suatu

kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia

pada hakikatnya adalah suatu aktivitas pada manusia itu sendiri

(Notoatmodjo,2003)

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri


seperti: berjalan, berbicara, dan menangis. Dari uraian ini dapat disimpulkan

bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas

manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh

pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus

atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses

adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut

merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus –

Organisme – Respon.(Skinner, 2003) Perilaku kesehatan merupakan suatu

respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan

dengan sakit atau penyakit, sistim pelayanan kesehatan, makanan, dan

minuman, serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003).

Dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku

adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung,

maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar, perilaku juga merupakan

respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan, dan yang

dapat mempengaruhi perilaku antara lain ras, jenis kelamin, sifat fisik, sifat

kepribadian

Sementara itu menurut Coni asriza (2009) factor yang dapat mempengaruhi

perilaku adalah:

a. Jenis ras

Setiap ras didunia memiliki perilaku yang spesifik saling berbeda.

Tiga kelompok ras yaitu :

1) Ras kulit putih atau ras Kaukasia


Ciri-ciri fisik : warna kulit putih, bermata biru, berambut pirang.

Perilaku yang dominan :kurang ramah, terbuka, individual

2) Ras kulit hitam atau ras negroid

Cirri-ciri fisik : berkulit hitam, berambut keriting den bermata

gelap

Perilaku yang dominan ; keramah-tamahan, suka gotong royong,

tertutup.

b. Jenis Kelamin
Perbedaan perilaku pria dan wanita dapat dilihat dari cara berpakaian

dan melakukan pekerjaan sehari-hari, pria berperilaku atas dasar

pertimbangan rasional atau akal, sedangkan wanita atas dasar

pertimbangan emosional atau perasaan.

c. Sifat fisik
Kalau kita amati perilaku individu berbeda-beda karena sifat fisiknya,

misalnya perilaku individu yang pendek dan gemuk berbeda dengan

individu yang memiliki fisik tinggi kurus.

d. Sifat kepribadian
Salah satu pengertian kepribadian yang dikemukakan oleh Maramis

(1999) adalah : “keseluruhan pola pikiran, perasaan dan perilaku yang

sering digunakan oleh seseorang dalam usaha adaptasi yang terus

menerus terhadap hidupnya”

e. Bakat bawaan
Bakat merupakan interaksi dari faktor genetik dan lingkungan serta

bergantung pada adanya kesempatan untuk pengembangan (Wiliam

B.M, 1960)
f. intelegensi

Intelegensi adalah : “kemampuan untuk berfikir abstrak” (Sukardi,

1997). Sedangkan Ebbieghous mendefenisikan intelegensi adalah :

“kemampuan untuk membuat kombinasi” (Notoatmodjo, 1997).

2. Seksual

Seksualitas adalah hasil dari penjumlahan dari factor biologis,


psikologis, social ekonomi, budaya, etik dan agama. (PAHO/ WHO.
Promotion of sexual Healt: recommendations for Action,
Guatemala,2000)

Perilaku seksual adalah segala tindakan yang diarahkan atau

dilakukan untuk memenuhi dorongan seksual. Perilaku seksual ini

berbagai macam jenisnya. Ada yang dilakukan sendiri seperti fantasi

seksual, masturbasi, onani. Ada juga yang dilakukan pada orang lain

misalnya berciuman, bercumbu, berhubungan seks dan sebagainya

(Rahman, 1999)

Perilaku seksual yang normal ialah yang dapat menyesuaikan diri

bukan saja dengan ketentuan masyarakat, tetapi juga dengan kebutuhan

individu mengenai kebahagiaan dan pertumbuhan, yaitu perwujudan dari

diri sendiri atau penigkatan kemampuan individu untuk mengembangkan

kepribadiannya menjadi lebih baik (Gail, 1998)

Perilaku seksual adalah perilaku yang mengungkapkan dengan

tindakan apa yang dirasakan erotik oleh individu. Ungkapan ini bervariasi

mulai dari membelai, memegang tangan, memeluk, mencium, sampai

dengan meraba bagian tubuh yang paling sensitive, menggesekkan alat


kelamin dan berhubungan kelamin (Minista, 2006)

Menurut Sarwono (2006), sebagian besar perilaku seksual disebabkan

oleh :

a. Meningkatnya libido seksual

Didalam upaya mengisi peran sosial seorang remaja

mendapatkan motivasinya dari meningkatnya energi seksual.

b. Penundaan usia perkawinan

Dengan meningkatnya taraf pendidikan masyarakat, dengan

makin banyaknya anak-anak perempuan yang bersekolah, makin

tertunda kebutuhan untuk mengawinkan anak-anaknya untuk

bersekolah dulu sebelum mengawinkan mereka tertunda.

c. Tabu / larangan

Sementara usia perkawinan ditunda, norma-norma agama

tetap berlaku dimana orang tidak boleh melakukan hubungan seksual

sebelum menikah. Pada masyarakat modern bahkan larangan tersebut

berkembang lebih lanjut pada tingkat yang lain seperti berciuman dan

masturbasi, untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan

mempunyai kecenderungan melanggar larangan tersebut.

d. Kurangnya informasi tentang seks

Remaja sudah berkembang kematangan seksualnya secara

lengkap, jika hal ini kurang mendapat pengarahan dari orang tua maka

pengendalian perilaku seks akan sulit. Mereka sulit mengendalikan

rangsangan-rangsangan dan banyak kesempatan membuat mereka

melakukan perilaku seksual secara bebas.


e. Pergaulan semakin bebas

Gejala ini banyak terjadi di kota-kota besar. Semakin tinggi

pemantauan orang tua terhadap anak, semakin rendah kemungkinan

perilaku menyimpang menimpa anak (Forehand, 1997)

Sementara itu menurut Soetjiningsih (2004), faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku seksual adalah sebagai berikut:

a. Perubahan Biologik dan Psikologik

Adanya perubahan-perubahan biologik dan psikologik akan

memberikan dorongan-dorongan tertentu, yang sering kali tidak

diketahui.

b. Institusi pendidik langsung dan pengetahuan tentang sksual

Institusi pendidikan langsung, yaitu orang tua dan guru

sekolah kurang siap untuk memberikan informasi yang benar dan

tepat waktu. Berbagai kendala diantaranya adalah ketidak tahuan dan

anggapan sebagian besar masyarakat bahwa pendidikan seks adalah

tabu. Hal ini menyebabkan pengetahuan remaja tentang seksual tidak

benar.

c. Status gizi

Perbaikan gizi yang menyebabkan umur haid pertama

menjadi lebih dini. Kesenjangan antara umur haid pertama dan umur

perkawinan dalam suasana pergaulan yang lebih bebas seringkali

menimbulkan akses-akses dalam masalah seksual.

d. Perkembangan teknologi informatika


Semakin majunya teknologi dan membaiknya sarana

komunikasi mengakibatkan membanjirnya arus informasi dari luar

yang sangat sulit untuk diseleksi. Hal ini menjadi suatu ancaman bagi

remaja karena remaja sering kali menganggap segala hal yang berasal

dari negara maju perlu dicontoh karena dianggap lebih baik termasuk

perilaku seksual yang berisiko.

e. Pengaruh teman sebaya

Remaja memiliki kecenderungan yang lebih kuat untuk

berada diantara teman sebaya di luar rumah. Dalam bicara atau

berkata-kata, bersikap, minat, keterampilan maupun perilaku

umumnya remaja lebih dipengaruhi oleh kelompok sebaya. Mereka

akan merasa aman dan merasa diterima oleh kelompok apabila

memilki kesamaan perilaku baik itu perilaku yang mengikuti norma

maupun perilaku yang menyimpang.

f. Hubungan dengan orang tua

Orang tua tidak hanya berkewajiban memenuhi kebutuhan

jasmani akan tetapi perhatian, kasih sayang, dan komunikasi yang

baik sangat menjunjung jiwa dan kepribadian anak.

Menurut Eliawati (2004) pola–pola perilaku seksual dapat dibedakan sbagai

berikut:

a. Masturbasi

Perilaku masturbasi ini sendiri secara psikologis

menimbulkan kontroversi perasaan antara perasaan "bersalah" dan

perasaan "puas". Masturbasi itu sendiri bila dilakukan secara

proporsional sebenarnya memiliki beberapa nilai positif, yaitu:


melepaskan tekanan seksual yang menghimpit, mengendalikan

dorongan seksual yang tidak terkontrol.

b. Petting

Definisi petting adalah upaya membangkitkan dorongan

seksual antar jenis kelamin dengan tanpa melakukan tindakan

intercourse.

c. Oral-genital seks

Tipe ini saat sekarang banyak dilakukan oleh remaja untuk

menghindari terjadinya kehamilan. Tipe hubungan seksual model

oral-genital ini merupakan alternatif aktivitas seksual yang dianggap

aman oleh remaja masa kini.

d. Sexual intercourse

Ada dua perasaan yang saling bertentangan saat remaja

pertama kali melakukan sexual intercourse. Pertama muncul perasaan

nikmat, menyenangkan, indah, intim dan puas. Pada sisi lain muncul

perasaan cemas, tidak nyaman, khawatir, kecewa dan perasaan

bersalah.

e. Pengalaman homo seksual

Adakalanya perilaku homoseksual bukan terjadi pada remaja

yang orientasi seksualnya memang homo, namun beberapa kasus

menunjukkan bahwa homoseksual dijadikan sebagai sarana latihan

remaja untuk menyalurkan dorongan seksual yang sebenarnya di masa

yang akan datang.


C. Konsep Mahasiswa

1. Pengertian Mahasiswa

Mahasiswa secara harafiah adalah orang yang belajar di

perguruan tinggi, baik di universitas, institute atau di akademi. Mereka

yang terdaftar sebagai siswa di perguruan tinggi di sebut mahasiswa. Tapi

pada dasarnya makna mahasiswa tidak sesempit itu. Terdaftar sebagai

pelajar di sebuah perguruan tinggi hanyalah syarat administrative menjadi

mahasiswa (Bagus , 2008)

Mahasiswa adalah kelompok masyarakat yang sedang menekuni

bidang ilmu tertentu dalam lembaga pendidikan formal. Kelompok ini

sering juga disebut sebagai golongan intelektual muda yang penuh bakat

dan potensi. Posisi yang demikian ini sudah tentu bersifat sementara

karena di kemudian hari mereka tidak lagi menjadi mahasiswa dan

mereka justru menjadi pelaku-pelaku intim dalam kehidupan suatu negara

atau masyarakat (Geowana, 2008). Menurut kamus besar bahasa

Indonesia (1991) mahasiswa adalah pelajar perguruan tinggi.

Masa remaja secara global berlangsung antara usia 13 sampai

dengan 21 tahun. Masa remaja ini dibagi menjadi dua, yaitu masa remaja

awal usia 13-18 tahun dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun (Hurlock,

1992). Pertumbuhan dan perkembangan fisik dan seksual berlangsung

sekitar usia 12 tahun. Pada remaja awal khususnya bagi remaja putri

rahimnya sudah bisa dibuahi karena ia sudah mendapatkan menstruasi

(datang bulan) yang pertama (Zulkifli, 1986). Seorang remaja akhir


mengalami kematangan seksual (dalam kondisi seks yang optimum) dan

telah membentuk pola-pola kencan yang lebih serius dan mendalam

dengan lawan jenis atau berpotensi aktif secara seksual, terutama remaja

putri akan lebih sensitif dorongan seksualnya dan memiliki rasa ingin

tahu sangat besar dari pada remaja putra (Mappiere, 1982).

Mahasiswa yang merupakan bagian dari remaja dan memiliki

tanggung jawab di kampus pun lebih banyak tidak peduli akan kondisi

yang terjadi, apabila tidak terjadi kasus besar dan tidak menjadi berita

besar, aktivitas seksual dianggap hal biasa yang terjadi seiring

perkembangan mahasiswa. Padahal kondisi mahasiswa semakin hari

semakin membawa perubahan cukup mencengangkan, terutama pada

aktivitas seksual yang semakin hari menunjukkan jumlah dan dampak

negatif yang signifikan (Krisanto, 2008).

2. Fungsi mahasiswa

Berdasarkan tugas perguruan tinggi yang diungkapkan M. Hatta

yaitu membentuk manusia susila dan demokrat yang:

a. Memiliki keinsafan tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat

b. Cakap dan mandiri dalam memelihara dan memajukan ilmu

pengetahuan

c. Cakap memangku jabatan atau pekerjaan di masyarakat

Berdasarkan pemikiran M. Hatta tersebut, dapat kita

sederhanakan bahwa tugas perguruan tinggi adalah membentuk insan

akademis, yang selanjutnya hal tersebut akan menjadi sebuah fungsi bagi

mahasiswa itu sendiri. Insan akademis itu sendiri memiliki dua ciri yaitu:

memiliki sense of crisis, dan selalu mengembangkan dirinya.


Insan akademis harus memiliki sense of crisis yaitu peka dan

kritis terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya saat ini. Hal ini

akan tumbuh dengan sendirinya bila mahasiswa itu mengikuti watak ilmu,

yaitu selalu mencari pembenaran-pembenaran ilmiah. Dengan mengikuti

watak ilmu tersebut maka mahasiswa diharapkan dapat memahami

berbagai masalah yang terjadi dan terlebih lagi menemukan solusi-solusi

yang tepat untuk menyelesaikannya.

Insan akademis harus selalu mengembangkan dirinya sehingga

mereka bisa menjadi generasi yang tanggap dan mampu menghadapi

tantangan masa depan. Dalam hal insan akademis sebagai orang yang

selalu mengikuti watak ilmu, ini juga berhubungan dengan peran

mahasiswa sebagai penjaga nilai, dimana mahasiswa harus mencari nilai-

nilai kebenaran itu sendiri, kemudian meneruskannya kepada masyarakat,

dan yang terpenting adalah menjaga nilai kebenaran tersebut.

3. Peran mahasiswa

Menurut geowana (2008), berdasarkan berbagai potensi dan

kesempatan yang dimiliki oleh mahasiswa, tidak sepantasnyalah bila

mahasiswa hanya mementingkan kebutuhan dirinya sendiri tanpa

memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negaranya. Mahasiswa sudah

bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan pula rakyat, bukan pula

pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan

masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat. Oleh

karena itu perlu dirumuskan peran mahasiswa untuk menentukan arah

perjuangan dan kontribusi mahasiswa tersebut.

a. Mahasiswa Sebagai “Iron Stock”


Mahasiswa dapat menjadi Iron Stock, yaitu mahasiswa

diharapkan menjadi manusia-manusia tangguh yang memiliki

kemampuan dan akhlak mulia yang nantinya dapat menggantikan

generasi-generasi sebelumnya.

Dalam konsep Islam sendiri, peran pemuda sebagai

generasi pengganti terdapat dalam Al-Quran surat Al-Maidah:54,

yaitu pemuda sebagai pengganti generasi yang sudah rusak dan

memiliki karakter mencintai dan dicintai, lemah lembut kepada orang

yang beriman, dan bersikap keras terhadap kaum kafir.

b. Mahasiswa Sebagai “Guardian of Value”

Mahasiswa sebagai Guardian of Value berarti mahasiswa

berperan sebagai penjaga nilai-nilai di masyarakat. Sedikit sudah

jelas, bahwa nilai yang harus dijaga adalah sesuatu yang bersifat benar

mutlak, dan tidak ada keraguan lagi di dalamnya. Nilai itu jelaslah

bukan hasil dari pragmatisme, nilai itu haruslah bersumber dari suatu

dzat yang Maha Benar dan Maha Mengetahui.

D. Hubungan pengetahuan seks dengan perilaku seksual pada mahasiswa

Faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seks remaja menurut

Soetjiningsih (2004), antara lain disebabkan karena adanya perubahan

biologik dan psikologik, institusi pendidikan langsung dan pengetahuan

mengenai seksual. Sedangkan menurut Green faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi perilaku adalah: a. Faktor predisposisi, yakni faktor pencetus

timbulnya perilaku seperti pikiran dan motivasi untuk berperilaku yang

meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai, dan presepsi

yang berhubungan dengan memotivasi individu untuk berperilaku. b. Faktor


pendukung, yakni faktor yang mendukung timbulnya perlaku sehingga

motivasi atau pikiran menjadi kenyataan. Termasuk didalamnya adalah

lingkungan fisik dan sumber-sumber yang ada di masyarakat. Faktor

pendorong, yakni faktor yang merupakan sumber pembentukan perilaku

yang berasal dari orang lain yang merupakan kelompok ferefensi, seperti

keluarga, teman, guru atau petugas kesehatan.(Notoatmodjo,1998)

Banyak remaja mengetahui tentang seks akan tetapi faktor budaya

yang melarang membicarakan mengenai seksualitas didepan umum dan juga

karena adanya pemahaman yang salah mengenai pendidikan seks, sehingga

melarang membicarakan mengenai seksualitas di depan umum karena

dianggap sesuatu yang tabu. Pada gilirannya akan menyebabkan

pengetahuan remaja tentang seks tidak lengkap, dimana para remaja hanya

mengetahui cara dalam melakukan hubungan seks tetapi tidak mengetahui

dampak yang akan muncul akibat perilaku seks tersebut. Hal ini justru

menyesatkan atau mungkin pengetahuan yang setengah-setengah, justru

mendorong gairah seks tidak dapat dikendalikan, yang pada gilirannya akan

memperbesar kemungkinan dibuatnya tingkah laku seksual yang dapat

menjurus pada senggama. Untuk itu perlu adanya pendidikan seks bagi

remaja, baik disekolah, lingkungan maupun keluarga (Pratiwi, 2004).

Karena meningkatnya minat remaja pada masalah seksual dan

sedang berada dalam potensi seksual yang aktif, maka remaja berusaha

mencari berbagai informasi mengenai hal tersebut. Dari sumber informasi

yang berhasil mereka dapatkan, pada umumnya hanya sedikit remaja yang

mendapatkan seluk beluk seksual dari orang tua. Oleh karena itu remaja

mencari atau mendapatkan berbagai sumber informasi yang dapat di peroleh,


misalnya seperti di sekolah atau perguruan tinggi, membahas dengan teman-

teman, buku-buku tentang seks, media masa atau internet (zainun,2002)

Memasuki millennium baru ini sudah selayaknya bila orang tua

dan kaum pendidik bersikap lebih tanggap dalam menjaga dan mendidik

anak dan remaja agar ekstra hati-hati terhadap gejala-gejala social.terutama

yang berkaitan dengan masalah seksual. Seiring peerkembangan yang terjadi

sudah saatnya pemberian penerangan dan pengetahuan masalah seksualitas

pada anak dan remaja di tingkatkan. Pandangan sebagaian masyarakat yang

menganggap seksualitas merupakan suatu hal yang alamiah, yang nantinya

diketahui dengan sendirinya setelah mereka menikah sehingga dianggap

suatu hal yang tabu untuk di bicarakan secara terbuka. Sudah saatnya

pandangan semacam ini harus diluruskan agar tidak terjadi hal-hal yang

tidak diinginkan dan membahayakan bagi remaja sebagai generasi penerus

(Zainun, 2002)

Perilaku seksual remaja dapat dikatakan masih dalam batas wajar

bila mereka hanya melakukan pegangan tangan, pergi berduaan

(Triayaningsih,2007). Sedangkan perilaku seksual remaja yang tidak wajar

antara lain masturbasi atau onani,berbagai kegiatan yang mengarah pada

pemuasan sekssual seperti berciuman pipi, mulut, bibir, memegang dan

meraba payudara atau kelamin, berhubungan seksual, hamil sampai

melakukan aborsi (Mu’tadin, 2009).

Menurut Profesor Gawshi (2009), pendidikan seks diberikan

bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang benar kepada anak dan

menyiapkannya untuk beradaptasi secara baik dengan sikap-sikap seksual

dimasa depan kehidupannya, dan pemberian pengetahuan ini menyebabkan


anak memperoleh kecenderungan logis yang benar terhadap masalah-

masalah seksual dan reproduksi.

Menurut Admin (2007), adanya kesadaran dan agama merupakan

suatu landasan untuk mengontrol sikap seseorang. Kesadaran itu akan

mengawasi segala tindakan, perkataan bahkan perasaan. Pada saat seseorang

tertarik pada sesuatu yang tampaknya menyenangkan, maka keimanannya

akan bertindak, menimbang dan meneliti apakah hal tersebut boleh atau

tidak boleh dilakukan.

F. Hipotesis

Ada hubungan antara pengetahuan seks dengan perilaku seksual pada

mahasiswa Stikes Dehasen Bengkulu.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain penelitian

Jenis penelitian analitik dengan desain cross sectional dimana

variable indevenden (pengetahuan) serta variable dependen (perilaku

seksual mahasiswa) diukur pada waktu bersamaan. Desain penelitian ini

dapat digambarkan sebagai berikut:

Perilaku seks relative baik

Baik
Perilaku sek relative kurang baik

Perilaku seks relative baik

Pengetahuan Seks Cukup


Perilaku sek relative kurang baik

Perilaku seks relative baik


Kurang
Perilaku sek relative kurang baik

Bagan 3.1 Desain Penelitian


B. Variable penelitian

Perilaku seksual dipengaruhi oleh berbagai faktor, namun karena

berbagai keterbatasan dalam penelitian ini maka peneliti hanya

membatasi perilaku seksual sebagai variable terikat (dependen),

pengetahuan sebagai pariabel bebas (independen)

Independen Dependen

Pengetahuan seks Perilaku seksual mahasiswa

Bagan 3.2 Variabel Penelitian

Definisi Operasional

a. Variable independen

Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

kepandaian yang dimiliki oleh responden dalam mengenal dan

memahami masalah yang berkaitan dengan seksualitas.

Cara ukur : Mengisi kuisioner

Hasil ukur : Baik 76-100%

Cukup 55-75 %

Kurang < 55 %

Alat ukur : Kuesioner

Skala ukur : Ordinal


b. Variable dependen

Perilaku seksual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah semua

reaksi atau tindakan responden yang terkait dengan afeksi seksual

terhadap lawan jenis.

Cara ukur : Mengisi koesioner

Alat ukur : Kuesioner

Hsil ukur : Baik, kurang

Skala : Ordinal

C. Populasi dan sampel

a. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Sekolah

Tinggi Ilmu kesehatan Dehasen Bengkulu yang berjumlah 352 orang.

D3 keperawatan terdiri dari tinkat I sebanyak 64 orang, tingkat II

sebanyak 96 orang, tingkat III sebanyak 86 orang, sI keperawatan

tingkat I sebanyak 43 orang, tingkat II sebanyak 38 orang, S1

kesehatan masyarakat tingkat I sebanyak 16 orang dan tingkat II

sebanyak 9 orang.

b. Sampel

Sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus didalam buku

Notoatmodjo (2003).

n= N ket:
1+ N (d)2 n = sampel
N = populasi
d2= derajat keprcayaan 95 %
n= 352 = 187 orang
1+352 (0,05) 2

Dari hasil perhitungan rumus diatas didapat besar sampel 187 orang,

untuk mengambil sampel agar terwakili dari 7 kelas tersebut memakai

tehnik stratified profosional random sampling memakai rumus

sebagai berikut :

n1= N1
N (n)

Ket:

n = besar sampel

N = populasi

n1 = sub sampel

N1= sub populasi

Selanjutnya dari hasil perhitungan diatas dapat dilihat pada table di


bawah ini:

KELAS SUB POPULASI SAMPEL


Tingkat I D3 keperawatan 64 34

Tinakat II D3 keperawaan 96 51

Tingkat III D3 keperawata 86 46

Tingkat I S1 keperawatan 43 23

Tingkat II S1 Keperawatan 38 20

Tinkat I kesehatan masyarakat 16 8

Tingkat II kesehatan masyarakat 9 5

TOTAL 352 187

Untuk menentukan siapa yang dijadikan responden, maka dilakukan

pengambilan secara random dengan cara undian absen sehingga terpilih


responden sebagai sampel.

Untuk mendapatkan jawaban yang valid dan proporsional maka jumlah

responden laki – laki dan perempuan diambil hampir berimbang.

D. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Dehasen

(Stikes Dehasen) pada bulan Mei-Juni 2010.

E. Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data

a. Pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari

responden mahasiswa Stikes Dehasen Bengkulu dalam mengisi

kuesioner. Untuk menjamin dan menjaga privasi responden maka

dalam pengumpulan data penulis melakukannya di dalam ruangan

yang tertutup, menjelaskan manfaat penelitian, menginstruksikan

responden untuk tidak mencantumkan identitas, setelah diisi

kuesioner langsung ditutup untuk diserahkan pada peneliti dalam

amplop yang tertutup.

b. Pengolahan data

Data yang telah terkumpul diolah dengan menggunakan program

computer dengan tahap-tahap sebagai berikut (Notoatmojo, 2002):

1. Editing

Pada tahap ini dilakukan pemeriksaaan terlebih dahulu apakah

sesuai seperti yang diharapkan atau tidak, yaitu :

a. Pemeriksaan dan mengamati semua jawaaban yang telah ada

atau belum

b. Pemeriksaan semua jawaban dapat nilai atau tidak


c. Pemeriksaan apakah ada kesalahan

2. Coding

Memberikan kode setiap jawaban yang telah dibuat pada lembar

jawaban yang tersedia data dikelompokkan atau digolongkan

berdasatrkan kategori yang di buat berdasarkan justifikasi atau

pertimbangan peneliti sendiri.

3. Tabulating

Setelah dilakukan coding kemudian data tersebut dimasukkan

kedalam master table menurut sifat-sifat yang di miliki sesuai

dengan tujuan peneliti dengan menggunakan komputerisasi.

4. Entri

Data yang telah dikoding selanjutnya dimasukkan kedalam

komputer.

5. Cleaning data

Mengecek kembali data yang telah di roses apakah ada kesalahan

atau tidak pada masing-masing variable yang sudah diproses

sehingga dapat diperbaiki dan dinilai (score)

c. Analisa data

1. Analisa univariat

Untuk melihat distribusi dan frekuensi dari masing-masing

variabel yang diteliti dengan menggunakan rumus :

P= f X 100%
n

Keterangan :

P= Jumlah persentase yang dicari

f= Jumlah frekuensi untuk setiap alternative jawaban


n= Jumlah, sampel

2. Analisa bivariat

Adalah metode yang digunakan untuk melihat adakah pengaruh

antara variabel independen dan variabel dependen. Dengan

melihat faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual remaja

maka data dianalisis dengan Chi Square dengan rumus :

Λ2 = Σ (fo-fh)2
fh

Keterangan:

Λ2 = Chi-Kuadrat

fo = frekuensi yang diperoleh dari (diobservasi dalam) sampel

fh = frekuensi yang diharapkan dalam sampel sebagai

pencerminan dari frekuensi yang diharapkan dalam populasi

(frekuensi yang diharapkan merupakan perkalian antara jumlah

baris dengan lajur dibagi jumlah total).

Untuk mempermudah analisa Chi – Square dengan derajat

kepercayaan 95 % α = 0,05, nilai data variabel disajikan dalam

bentuk table 3 x 2

Tabel 1. hubungan pengetahuan dengan perilaku seksual

Variabel Perilaku seksual total


penelitian Relative baik Relative kurang
baik
Baik A B A+B
Cukup C D C+D
Kurang E F E+F
total A+C+E B + D +F N
Keterangan :

A : pengatahuan yang baik dengan perilaku yang baik

B ; pengetahuan yang baik dengan perilaku seksual relative

kurang baik

C : pengetahuan yang cukup dengan perilaku seksual relative baik

D : pengetahuan yang cukup dengan perilaku seksual relative

kurang baik

E : pengetahuan yang kurang dengan perilaku seksual relative baik

F : pengetahuan yang kurang dengan perilaku seksual relative

kurang baik

Uji hipotesis

1. Bila ρ ≤ 0,05 Ho ditolak maka Ha diterima berarti ada hubungan antara

pengetahuan seksual dengan perilaku seksual pada mahasiswa

2. Bila ρ > 0,05 Ho diterima maka Ha ditolak yang berarti tidak ada hubungan

antara pengetahuan seksual dengan perilaku seksual remaja.

Arikunto(1999)
BAB 1V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian

1. Jalannya penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Dehasen (STIKES Dehasen ) Bengkulu mulai tanggal 29 Mei – 5 Juni

2010. Pengumpulan data dengan menggunakan data primer yang

diperoleh langsung dari seluruh mahasiswa Stikes Dehasen mulai dari

tingkat I – tingkat III dengan mengisi kuesioner. Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Stikes Dehasen Bengkulu yang

berjumlah 352 orang, sedangkan besar sampel 187 orang. Untuk

mengambil sampel agar terwakili dari 7 kelas memakai teknik stratified

profosional random sampling, dengan cara undian yaitu memasukkan

nomor absen ke dalam wadah dan diambil secara acak, untuk menjamin

dan menjaga privasi responden maka dalam pengumpulan data penulis

melakukannya di dalam ruangan tertutup, menjelaskan manfaat

penelitian, menginstruksikan responden untuk tidak mencantumkan

identitas, dan setelah diisi lembar kuesioner langsung dilipat. Penelitian

ini memiliki kelemahan yaitu pada pemberian nilai pada setiap jawaban

pada variabel dependen (perilaku seks) pada saat penghitungan data

diberikan nilai yang sama pada setiap jawaban yakni satu poin setiap

jawaban benar dan nol pada setiap jawaban yang salah.


2. Hasil penelitian

a. Analisis Univarat

Dalam penelitian ini penulis mengelompokkan pengetahuan

menjadi 3 kelompok, yaitu: pengetahuan kurang, cukup, dan baik,

sedangkan perilaku seksual dikelompokkan menjadi 2, yaitu perilaku

seksual relatif baik dan perilaku seksual yang relatif kurang baik.

Secara keseluruhan data dapat dilihat pada tabel berikut:

Table 4.1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Seks Pada Mahasiswa


STIKES Dehasen kota Bengkulu tahun 2010
No Pengetahuan Frekuensi (F) Presentase (%)
1 Kuarang 35 18,7
2 Cukup 89 47,6
3 Baik 63 33,7
Jumlah 187 100

Berdasarkan table 4.1, diatas dapat terlihat bahwa sebagian besar

mahasiswa mempunyai pengetahuan tentang seksual cukup (47,6%)

Table 4.2 Distribusi Frekuensi Perilaku Seksual Pada Mahasiswa


Stikes Dehasen Bengkulu Tahun 2010.
No Perilaku seksual Frekuensi (F) Presentase (%)
1 Relatif kurang baik 116 62,0
2 Relatif baik 71 38,0
Jumlah 187 100

Berdasarkan table 4.2, diatas dapat terlihat bahwa sebagian besar

mahasiswa mempunyai perilaku seksual kurang baik yaitu 116 (62%).


b. Analisis Bivariat

Untuk mengetahui hubungan pengetahuan seksual dengan

perilaku seks pada Mahasiswa dilakukan uji statistic Chi-squqre ( X2).

Adapun hasil analisisnya dapat dilihat dari table berikut:

Table 4.3 Hubungan Pengetahuan Seks Dengan Perilaku Seksual Pada


Mahasiswa Stikes Dehasen Bengkulu
Perilaku seksual total
Pengetahu Relative Relative F % X2 p
an kurang baik
F % F %
Kurang 32 91,4 3 8,6 35 100 75,71 0,00
Cukup 72 80,9 17 19,1 89
Baik 12 19,0 51 81,0 63
Jumlah 116 62,0% 71 38,0% 187

Berdasarkan table 4.3 diatas terlihat bahwa dari 63 Mahasiswa

yang berpengetahuan baik memiliki perilaku seksual yang relative

baik sebesar (81,0%) dan yang berperilaku relative kurang 19,0%.

Untuk Mahasiswa yang berpengetahuan cukup 89 orang yang

berperilaku seksual relative baik sebesar (19,1%) dan berperilaku

relative kurang 80,9%. Sedangkan mahasiswa yang berpengetahuan

kurang sebanyak 35 orang yang berperilaku seksual baik (8,6%) dan

berperilaku kurang baik 91,4%. Hasil uji Chi-square didapatkan nilai

X2 hitung = 75,716 dengan P= 0,00 ini artinya terdapat hubungan

yang bermakna antara pengetahuan Mahasiswa dengan perilaku

seksual pada Mahasiswa Stikes Dehasen.


B. Pembahasan

Berdasarkan penelitian didapatkan hasil bahwasanya dari 187

responden 63 orang mahasiswa mempunya pengetahuan yang baik mengenai

seks, 89 orang mahasiswa memiliki pengetahuan yang cukup dan 35 orang

berpengetahuan kurang mengenai seksual. Dari data diatas maka dapat

disimpulkan bahwa Mahasiswa di Stikes Dehasen rata –rata memiliki

pengetahuan seks cukup, hal ini kemungkinan dapat terjadi karena beberapa

faktor yang dapat secara langsung mempengaruhi kematangan jiwa mereka

untuk bertindak diantaranya sosial budaya, lingkungan, pengalaman, serta

usia dari mahasiswa.

Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Notoadmodjo (2003) yang

mengatakan pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh pendidikan, mass

media/informasi, social budaya dan ekonomi, lingkungan, pengalaman, serta

usia. Hal senada juga diungkapkan oleh Pratiwi (2004) yang mengatakan

banyak remaja mengetahuai tentang seks akan tetapi factor budaya yang

melarang membicarakan mengenai seksualitas di depan umum dan juga

adanya pemahaman yang salah mengenai pendidikan seks, sehingga melarang

membicarakan seksualitas di depan umum karena dianggap sesuatu yang

tabu. Pada gilirannya akan menyebabkan pengetahuan remaja tentang seks

tidak lengkap, para remaja hanya mengetahui cara dalam melakukan

hubungan seks tetapi tidak mengetahui dampak yang akan muncul akibat

perilaku seks yang salah tersebut.

Berdasarkan penelitian juga dapat diketahui bahwa dari 187 orang

Mahasiswa, didapatkan jumlah siswa yang dengan perilaku seksual kurang


baik 116 orang dan mahasiswa yang berperilaku baik 71 orang. Perilaku

seksual yang dikatakan kurang baik dari 116 orang tersebut antara lain

dimanamahasiswa mengaku pernah melakukan berbagai aktifitas seksual

yang mengarah pada pemuasan dorongan seksual. Sedangkan perilaku

seksual yang dikatakan relative baik dari 71 orang tersebut antara lain

mahasiswa mengaku pernah mempunyai fantasi seks semata, bepergian dan

berpegangan tangan dengan pacar.

Penelitian ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Mu’tadin (2002), ia

mengatakan bahwa perilaku seksual pada remaja yang tidak wajar antara lain

masturbasi dan onani, berbagai kegiatan yang mengarah pada pemuasan

dorongan seksual hingga sampai berhubungan seksual, hamil dan akhirnya

melakukan aborsi. Perilaku seksual pada remaja dapat dikatakan masih dalam

batas wajar bila mereka hanya melakukan pegangan tangan dan pergi berduan

(Trisnaningsih,2007)

Berdasarkan penelitian diketahui bahwa dari 116 mahasiswa yang

berperilaku kurang baik, 12 orang berpengetahuan baik, 72 orang

berpengetahuan cukup, 3 orang berpengetahuan kurang dan dari 71

mahasiswa yang berperilaku baik, 51 orang berpengetahuan baik, 17 orang

cukup, 3 orang berpengetahuan kurang. Dari data diatas dapat dilihat

Mahasiswa dengan perilaku seksual kurang rata-rata memilki pengetahuan

yang cukup dan kurang, sedang Mahasiswa yang berperilaku baik rata-rata

berpengetahuan baik pula, hal ini dapat disimpulkan bahwa pengetahuan

yang kurang dan hanya setengah dapat mempengaruhi perilaku seksual

seseorang.

Penelitian ini sesuai dengan yang dikemukan oleh pratiwi (2004) yang
mengatakan pengetahuan yang setengah justru mendorong gairah seks tidak

dapat dikendalikan yang pada gilirannya akan memperbesar kemungkinan

dibuatnya tingkah laku seksual yang dapat menjurus pada senggama, hal itu

perlu adanya pendidikan seks bagi remaja, baik di sekolah, lingkungan

maupun keluarga. Soedjiningsih (2004) mengatakan bahwa institusi

pendidikan langsung, yaitu orang tua dan guru sekolah kurang siap untuk

memberikan informasi yang benar dan tepat waktu. Berbagai kendala

diantaranya adalah ketidak tahuan dan anggapan sebagian masyarakat bahwa

pendidikan seks adalah tabu. Hal ini menyebabkan pengetahuan remaja

tentang seksual tidak benar. Maraknya pergaulan seks dikalangan remaja

adalah salah satu akibat yang disebabkan oleh kurang matangnya

pengetahuan remaja tentang seksualitas. Remaja sudah berkembang

kematangan seksualnya secara lengkap, jika hal ini kurang mendapat

pengarahan dari orang tua maka pengendalian perilaku seks akan sulit.

Mereka sulit mengendalikan rangsangan-rangsangan dan banyak kesempatan

membuat mereka melakukan perilaku seksual secara bebas (Sarwono, 2006)

Hasil uji Chi-Square pada penelitian ini didapatkan nilai X2 hitung

75,716 dengan ρ=0,00 ini artinya ada hubungan yang bermakna antara

pengetahuan seks terhadap perilaku seksual pada mahasiswa.

Penelitian ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Soetjiningsih

(2004), dalam penelitiannya, ia mengatakan bahwa perilaku seksual

seseorang dapat dipengaruhi oleh perubahan biologik dan psikologik, institusi

pendidik langsung dan pengetahuan tentang seksual, status gizi,

perkembangan informatika, pengaruh teman sebaya serta hubungan dengan

orang tua.
Pendidikan seks diberikan bertujuan untuk memberikan pengetahuan

yang benar kepada anak dan menyiapkannnya untuk beradaptasi secara baik

dengan sikap-sikap seksual dimasa depan kehidupannya, dan pemberian

pengetahuan ini menyebabkan anak memperoleh kecenderungan logis yang

benar terhadap masalah-maslah seksual dan reproduksi (gawshi, 2009).

Hal senada juga dikemukan oleh Zainun (2002), mengemukakan

bahwa meningkatnya minat remaja pada masalah seksual dan sedang berada

dalam potensi seksual yang aktif, maka remaja berusaha mencari berbagai

informasi mengenai hal tersebut. Dari sumber informasi yang berhasil mereka

dapatkan, pada umumnya hanya sedikit remaja yang mendapatkan seluk

beluk seksual dari orang tua. Oleh karena itu remaja mencari atau

mendapatkan berbagai informasi yang dapat diperoleh, misalnya seperti

sekolah atau perguruan tinggi, mendiskusikan dengan teman-teman, buku-

buku tentang seks, media masa atau internet.

Mahasiswa yang merupakan bagian dari remaja dan memiliki

tanggung jawab di kampus lebih banyak tidak peduli akan kondisi yang

terjadi, apabila tidak terjadi kasus besar dan tidak menjadi berita besar,

aktivitas seksual dianggap hal biasa yang terjadi seiring perkembangan

mahasiswa. Padahal kondisi mahasiswa semakin hari semakin membawa

perubahan cukup mencengangkan, terutama pada aktivitas seksual yang

semakin hari menunjukkan jumlah dan dampak negative yang signifikan

(Krisanto, 2008)
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data tentang hubungan

pengetahuan seks dengan perilaku seksual pada mahasiswa maka dapat di

tarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Hampir seluruh mahasiswa Stikes Dehasen Bengkulu mempunyai

pengetahuan yang cukup mengenai seksual (47,6%)

2. Sebagian besar mahasiswa Stikes Dehasen Bengkulu perilaku seksualnya

kurang baik (62,0%)

3. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan seks dengan perilaku

seksual pada mahasiswa.

B. Saran

Berdasarkan penelitian ini, peneliti ingin memberikan saran kepada

beberapa pihak yang terkait :

1. Bagi akademik

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber

pengetahuan untuk meningkatkan pemahaman tentang pengetahuan

seksual sehingga dapat memberi bimbingan dan konseling pada remaja

serta dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan landasan dasar bagi

pihak pengelola dan bidang kemahasiswaan dalam membenahi perilaku

seksual mahasiswa yang ada dalam kalangan kampus Stikes Dehasen.


2. Bagi peneliti lain

Hendaknya dapat mengembangkan ruang lingkup penelitian ini lebih

lanjut dengan penambahan variabel penelitian dan mengetahui faktor

yang paling dominan dalam mempengaruhi perilaku seksual remaja

seperti meneliti faktor-faktor yang mendukung terjadinya perilaku seks

yang bebas ( pengaruh teman sebaya, keterpaparan media massa) dengan

analisis dan desain yang berbeda.


Lampiran 1

ORGANISASI PENELITIAN

1. Pembimbing yang terdiri dari :

a. Nama : Halimah, SSi, MKM

Pekerjaan : Kepala prodi Kesling Poltekkes Depkes Bengkulu

Jabatan : Pembimbing I

Alamat :-

b. Nama : Ns. Lusyefrida Yanti, S.kep

Pekerjaan : Kepala Prodi SI Keperawatan Stikes Dehasen Bnegkulu.

Jabatan : Pembimbing II

Alamat :-

2. Peneliti

Nama : Yayan Wira Saputra

NIM : 072426093

Pekerjaan : Mahasiswa Stikes Dehasen Bengkulu

Alamat : Jl. Wr. Supratman No.27 Rt.3 pematang gubernur Bengkulu


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Jalannya penelitian

Penelitian ini dilakukan diruang rawat inap RSUD M. Yunus

Bengkulu pada tanggal 2 s.d 5 Agustus 2010. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan pendidikan terhadap

sikap perawat dalam upaya pencegahan infeksi nasokomial di ruang rawat

inap B2 ( Seruni) RSUD M. Yunus Bengkulu 2010. Populasi adalah seluruh

perawat di ruang rawat inap B2 RSUD. Dr, M.Yunus Bengkulu yang

berjumlah 40 orang, sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah total

populasi yakni 40 orang.

Pengumpulan data menggunakan data primer. Data diambil dengan

cara menyebarkan kuesioner kepada seluruh responden yakni sebanyak 40

buah kuesioner. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dilakukan

pengolahan data yang kemudian hasilnya disajikan dalam bentuk tabel

distribusi frekuensi kemudian di interprestasikan kemudian diberi

kesimpulan.

B. Hasil penelitian

1. Analisis univariat

Dalam penelitian ini penulis mengelompokkan penegetahuan menjadi

tiga kelompok yaitu kurang, cukup, baik dan pendidikan menjadi dua

kelompok yaitu rendah dan tinggi sedangkan untuk sikap penulis

mengelompokkan menjadi dua kelompok yaitu tidak mendukung dan

mendukung. Adapun hasil dari pengolahan data dapat dilihat pada tabel
berikut:

Tabel 4.1

Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan perawat tentang pencegahan


infeksi nasokomial di ruang rawat inap B2 RSUD.Dr, M. Yunus
Bengkulu 2010
No Tingkaty pengetahuan Frekuensi Persentase
1 Baik 11 27,5
2 Cukup 16 40,0
3 Kurang 13 32,5
Total 40 100%
Dari tabel diatas terlihat bahwaa dari 40 responden terdapat 11 responden

((27,5%) yang mempunyai pengetahuan infeksi nasokomial kurang, 16

responden (40,0%) mempunyai pengetahuan infeksi nasokomial cukup dan

13 responden (32,5%) mempunyai pengetahuan infeksi nasokomial baik.

Tabel 4.2
Distribusi frekuensi tingkat pendidikan perawat dalam upaya pencegahan
infeksi nasokomial di ruang rawat inap B2 RSUD Dr, M. Yunus
Bengkulu 2010
No Tingkat pendidikan Frekuensi Persen
1 Rendah 29 72,5
2 Tinggi 11 27,5
Total 40 100%
Dari tabel diatas terlihat bahwa dari 40 responden terdapat 29 responden

(72,5%) yang mempunyai pendidikan rendah dan 11 responden (27,5%) yang

mempunyai pendidikan tinggi.

Tabel 4.3
Distribusi frekuensi sikap perawat dalam upaya pencegahan infeksi
nasokomial di ruang rawt inap B2 RSUD Dr, M. Yunus Bengkulu 2010
No Sikap perawat frequensi Persen
1 Tidak mendukung 19 47,5
2 Mendukung 21 52,5
Total 40 100
Dari tabel diatas terlihat bahwa dari 40 reponden terdapat 19 responden

(47,5%) mempunyai sikap tidak mendukung dalam pencegahan infeksi

nasokomial dan 21 responden (52,5%) yang mempunyai sikap

mendukung dalam pencegahan infeksi nasokomial.


2. Analisis bivariat

Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan pendidikan terhadap sikap

perawat dalam upaya pencegahan infeksi nasokomial maka dilakukan uji

statistic Chi Square (X2) adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.4
Hubungan pengetahuan dengan sikap perawat dalam pencegahan infeksi
nasokomial
Pengetahuan Sikap perawat Total X2 P C
Tidak Mendukung F %
mendukun
F % F %
Kurang 10 90,9 1 9,1 11 100 12,063 0,002 0,481
Cukup 6 37,5 10 62,5 16 100
Baik 3 23,1 10 76,9 13 100
Total 19 47,5% 21 52,5% 40 100%

Tabel di atas merupakan tabulasi silang antara pengetahuan infeksi

nasokomial dengan sikap perawat dalam pencegahan infeksi nasokomial.

Ternyata dari 11 responden dengan pengetahuan infeksi nasokomial

kurang terdapat 10 responden (90,9%) mempunyai sikap tidak

mendukung dalam pencegahan infeksi nasokomial dan 1 responden

(9,1%) mempunyai sikap mendukung dalam pencegahan infeksi

nasokomial, dari 16 responden dengan pengetahuan infeksi nasokomial

cukup terdapat 6 responden (37,5%) mempunyai sikap tidak mendukung

dalam pencegahan infeksi nasokomial dan 10 responden (62,5%)

mempunyai sikap mendukung dalam pencegahan infeksi nasokomial dan

dari 13 responden dengan pengetahuan infeksi nasokomial baik yerdapat

3 responden (23,1%) mempunyai sikap tidak mendukung dalam

pencegahan infeksiu nasokomial dan 10 responden (76,9%) mempunyai

sikap mendukung dalam pencegahan infeksi nasokomial.


Hasil uji pearson chi-square didapat nilai X2 = 12,063 dengan nilai p =

0,002 < α = 0,05 berarti signifikan. Kesimpulannya ada hubungan yang

signifikan antara pengetahuan dengan sikap perawat dalam upaya

pencegahan infeksi nasokomial. Sedangkan hasil uji C didapat nilai 0,481

dengan approx. sig = 0,002 < 0,05 berarti signifikan.

Tabel 4.5
Hubungan pendidikan perawat dalam upaya pencegahan infeksi
nasokomial
pengetahuan Sikap perawat Total X2 P C
Tidak Mendukung F %
mendukun
F % F %
Renadah 18 62,1 11 37,9 29 100 6,977 0,008 0,428
Tinggi 1 9,1 10 90,9 11 100
Total 19 47,5 21 52,5 40 100

Tabel diatas merupakan tabulasi silang antara pendidikan dengan sikap

perawat dalam pencegahan infeksi nasokomial. Ternyata dari 29

responden dengan pendidikan rendah terdapat 18 responden (62,1%)

mempunyai sikap tidak mendukung dalam pencegahan inkfeksi

nasokomial dan 11 responden (37,9%) mempunyai sikap mendukung

dalam pencegahan infeksi nasokomial dan dari 11 responden dengan

pendidikan tinggi terdapat 1 responden (9,1%) mempunyai sikap tidak

mendukung dalam pencegahan infeksi nasokomial dan 10 responden

(90,9%) mempunyai sikap mendukung dalaam pencegahan infeksi

nasokomial. Hasil uji Chi-square (continuity correction) didapat nilai X2

= 6,977 dengan nilai p = 0,008 < α = 0,05 berarti signifikan.

Kesimpulannya ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan

sikap perawat mdalam pencegahan infeksi nasokomial. Hasil uji

contingency coefficient didapat nilai C = 0,428 dengan approx. sig =

0,003 < 0,05 bearti signifikan.


C. Pembahasan

1. Tingkat pengetahuan perawat dengan sikap dalam pencegahan infeksi

nasokomual

Dari tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 40 orang responden, sebagian

besar berpengetahuan cukup yaitu 16 orang (40%) dan terdapat 11 orang

responden (27,5%) berpengetahuan kurang mengenai infeksi nasokomial.

Infeksi nasokomial adalah infeksi yang didapat dirumah sakit yang

terjadi selama tiga kali 24 jam setelah perawatan. Pasien, petugas

kesehatan, pengunjung dan keluarga pasien merupakan kelompok yang

berisiko terkena infeksi nasokomial karna infeksi nasokomial merupakan

masalah yang nyata diseluruh dunia (Alvarado 2006).

Menurut WHO yang dikutup Notoatmojo (2007) pengetahuan

seseorang tentang satu objek mengandung dua aspek positif dan negatif,

kedua aspek ini akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek

positif dan objek yang diketahui maka akan menimbulkan sikap makin

positif terhadap objek tertentu.

Semakin tinggi tingkat pengetahuan petugas kesehatan dalam

pencegahan infeksi nasokomial di rumah sakit akan dapat meminimalkan

penyebaran infeksi nasokomial. Pengetahuan petugas kesehatan akan

mempengaruhi dalam pemilihan metode perawatan dan tindakan yang

tepat untuk klien agar tercapai pelayanan yang bermutu, (Sarjito, 2009)
2. Tingkat pendidikan perawat dengan sikap perawat dalam upaya

pencegahan infe3ksi nasokomial

Tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa dari 40 orang responden,

sebagian besar 29 orang (72,5%) berpendidikan rendah dan terdapat 11

orang responden (27,5%) berpendidikan tinggi.

Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003), yang

menyatakan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin

mudah menerima informasi, sehingga banyak pula pengetahuan yang

dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat

perkermbangan sikap seseorang terhadap perubahan hidup sehat. Dari

adanya pengetahuan dan pendidikan tentang infeksi nasokomial ini maka

diharapkan perawat dapat mengupayakan agar kejadian infeksi

nasokomial tidak terulang lagi.

Tingkat pendidikan petugas kesehatan berpengaruh terhadap

pengetahuan tentang pencegahan infeksi sangat penting untuk petugas

rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya. Kemampuan untuk mencegah

tranmisi dirumah sakit, dan upaya pencegahan infeksi adalah tingkatan

pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu, (Sueroso, 2008)

Apabila tingkat pendidikan perawat tentang infeksi nasokomial tinggi

maka ia akan selalu menanamkan dan melaksanakan tindakan yang steril

pada setiap tindakan dari pendidikan yang diterimanya. Tetapi apabila

pendidikan perawat rendah dapat menyebabkan jumlah penderita infeksi

nasokomial bertambah banyak.


3. Sikap perawat dalam upaya pencegahan infeksi nasokomial

Dari tabel 4.3 didapatkan 21 orang responden (52,5%) mempunyai

sikap mendukung dalam pencegahan infeksi nasokomial sedangkan 19

orang responden (47,5%) mempunyai sikap tifakmendukung dalam

pencegahan infeksi nasokomial.

Sikap perawat akan berpengeruh terhadap pelayanan keperawatan

kepada klien, sikap yang baik dari perawat akan memberikan pelayanan

yang lebih baik untuk klien. Begitu pula dengan sikap perawat dalam

pencegahan infeksi nasokomial, jika sikap perawat kurang baik kepada

klien dalam pencegahan infeksi nasokomial akan lebih cenderung

menyebabkan infeksi nasokomial. Sikap perawat yang kurang baik dalam

pencegahan infeksi nasokomial ini dapat dicermin dalam penggunaan alat

yang tidak steril, kurang memahami penularan penyakit, kurang

memperhatikan kebersihan, kuramng memperhatikan teknik aseptic dan

antiseptic, tidak mencucitangan sebelum dan sesudah melakukan

tindakan, dan tidak memperhatikan keluhan-keluhan klien dengan baik,

(Hermawan, 2008)
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian tentang tingkat pengetahuan dan pendidikan perawat

tentang infeksi nasokomial di ruang B2 RSUD Dr, M.Yunus tahun 2010

didapat kesimpulan

1. Tingkat pengetahuan perawat tentang infeksi nasokomial di ruang B2

rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M.Yunus Bengkulu sebagian

besar berpengetahuan cukup (40,0%).

2. Tingkat pendidikan perawat tentang infeksi nasokomial di ruang B2 rawat

inap Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. Yunus Bengkulu sebagian besar

berpendidikan rendah (72,5%).

3. Sikap perawat dalam upaya pencegahan infeksi nasokomial di ruang B2

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. Yunus Bengkulu sebagian besar

mendukung (52,5%).

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah di kemukakan maka penulis memberikan

saran sebagi berokut :

1. Tempat penelitian

Diharapkan kepada perawat khususnya perawat ruang B2 Rumah Sakit

Umum Daerah Dr. M. Yunus Bengkulu agar dapat meningkatkan lagi

kinerja perawat agar infeksi nasokomial di ruang B2 dapat diminimalkan

2. Bagi institusi pendidikan

Agar kiranya dapat menambah sumber-sumber pustaka tentang infeksi


nasokomial.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan dapat mengembangkan lebih lanjut penelitian ini dengan

teknik analisis yang berbeda.


DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………………...…………………..…………… i
PERNYATAAN PERSETUJUAN……….……………………..…... ii
ABSTRAK………………………..….…..………………………….... iii
KATA PENGANTAR…………………..………………………...….. iv
DAFTAR ISI………….……………......……………………………... v
DAFTAR TABEL………,……………......……………………….….. vi
DAFTAR BAGAN….………………………...……………………... .vii
DAFTAR LAMPIRAN….……………...………………………….… iv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang………………………………………………….. 1
B. Rumusan masalah………………………………………………. 2
C. Tujuan penelitian……………………………………………..… 5
D. Manfaat penelitian……………………………………………… 5
E. Keaslian penelitian…………………………………………..…. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep pengetahuan……………..………………………..…… 7
B. Konsep perilaku seksual………………………………………... 13
C. Konsep mahasiswa……………...……………………………… 21
D. Hubungan tingkat pengetahuan………………………………… 25

BAB III METODELOGI PENELITIAN


A. Jenis dan desain penelitian..…………………………………… 28
B. Variabel penelitian……….…………………………………….. 29
C. Definisi operasional….............................................................. 29
D. Populasi dan sampel……………………………………….…… 30
E. Tempat dan waktu penelitian………………………………...… 32
F. Pengumpulan,pengolahan dan analisa data………………..…… 32

BAB IV HASIL PENELLITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian……….……………………………………...… 33
B. Pembahasan……...……………………………………………... 35

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan………………………………………………..…… 40
B. Saran………………………………………………………..….. 40

DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 41
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai