1. orang beragama kerap kali mengatakan bahwa hati nurani adalah suara Tuhan, atau bahwa Tuhan berbicara melalui hati nurani. Bagi orang beragama hati nurani memang memiliki suatu dimensi religius. Kalau ia mengambil keputusan atas dasar hati nurani, artinya kalau ia sungguh-sungguh yakin bahwa ia harus berbuat demikian dan tidak bisa lain tanpa menghancurkan integritas pribadinya, maka ia akan mengambil keputusannya di hadapan Tuhan. Ia insyaf dengan itu akan menaati kehendak Tuhan. Sebaliknya, bertindak bertentangan dengan hati nurani tidak saja berarti mengkhianati dirinya sendiri, melainkan serentak juga melanggar kehendak Tuhan. Mungkin bagi orang beragama malah tidak ada cara lebih jelas untuk menghayati hubungan erat antara moralitas dan agama daripada pengalaman hati nurani ini. Walau demikian, hati nurani tidak melepaskan kita dari kewajiban untuk bersikap kritis dan mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kita secara objektif. Hati nurani tidak merupakan monopoli orang beragama saja. Orang yang tidak mengakui adanya Tuhan pun memiliki hati nurani yang mengikat mereka sama seperti orang beragama. Setiap orang memiliki hati nurani karena ia manusia, bukan karena ia beragama. Kenyataan itu justru menyediakan landasan untuk mencapai persetujuan di bidang etis antara semua manusia, melampauhi segala perbedaan mengenai agama, kebudayaan, posisi ekonomis, dan lain-lain (Bertens, 1997: hal. 58-59). 2. Salah satu bentuk Kerjasama antarumat beragama di Indonesia adalah membangun tempat Ibadah dan Bersedekah. Dialog berarti tindakan komunikasi demi tercapainya saling pengertian atau saling memahami. Dialog mensyaratkan adanya kebebasan, kesetaraan, keterbukaan, dan kejujuran. Tanpa empat syarat ini, dialog untuk mencapai saling pengertian tidak akan terwujud. Dialog terkait erat dengan toleransi – membiarkan segala sesuatu untuk saling mengizinkan atau saling meudahkan. Toleransi berarti membiarkan orang lain dalam kekhasannya (keunikannya). SIkap toleransi disyaratkan oleh pemahaman terhadap orang lain secara lebih inklusif. Toleransi beragama dapat dibangun melalui dialog antar umat beragama. Karena dialog akan menghasilkan saling pengertian di antara umat beragama yang pada gilirannya memunculkan sikap toleran dan rukun. Jadi, toleransi dan kerukunan antar umat beragama merupakan tujuan dialog (Lihat Diktat Matakuliah Character Building Agama, Binus University: 2018). Melalui dialog, agama dapat berpartisipasi dalam menciptakan dunia yang lebih baik, dunia yang lebih adil, dan dunia yang damai. Dialog dapat dilakukan dalam beberapa model seperti dialog kehidupan sehari-hari, dialog melakukan pekerjaan sosial, dialog pengalaman keagamaan, dan dialog pandangan teologis. Dialog paling intens berhubungan dengan pemahaman dan interpretasi atas teks-teks suci. Ada empat prinsip utama dalam dialog seperti ini. Pertama, mengakui dan menerima perbedaan teks Kitab Suci agama lain. Kedua, mengakui dan menghargai perbedaan pemahaman dan interpretasi Kitab Suci agama lain. Ketiga, berdebat secara cerdas, ilmiah, dan berbasis metode ilmu pengetahuan. Keempat,perlu menahan diri untuk tidak mengatakan apa yang tidak perlu dikatakan. 3. Manusia pasti tidak luput dengan kesalahan dan dosa, terlepas dari perbuatan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Bahkan kesalahan yang terus menerus dilakukan seseorang bisa melukai hati dan membekas menjadi luka batin yang sulit disembuhkan, karena berefek pada psikis berupa tekanan batin. Jika berlarut-larut bisa berpengaruh juga pada kondisi fisik. Oleh karena itu perlu ada upaya untuk mengatasi luka batin tersebut, salah satunya bisa dengan terapi memaafkan. Biasanya orang yang sedang marah atau sakit hati susah menerima permintaan maaf dari orang yang menyakiti hatinya. Karena memaafkan bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan, memaafkan memerlukan proses waktu. Memaafkan kesalahan orang lain merupakan kekuatan untuk mencapai ketenangan batin dan kebahagiaan yang akan memengaruhi kesehatan lahir dan batin. Ketika seseorang memaafkan orang lain kemudian mengikhlaskannya, dengan segera ia merasa nyaman, tenang, ringan dan bahagia. Dalam Islam, Allah Swt mencintai orang yang memiliki sifat pemaaf untuk orang lain, sebagaimana tertuang dalam QS. Ali- Imran:134. "... dan orang-orang yang dapat menahan meluapnya kemarahan dan yang suka memaafkan orang lain dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik." 4. melakukan gerakan minimalis, hidup hemat dan sederhana dalam hidup sehari-hari. Gerakan minimalis artinya kita hanya butuh sedikit untuk hidup daripada butuh banyak. Kita tidak perlu hidup maksimalis dalam memperlakukan lingkungan alam. Kita cukup mengambil sedikit manfaat saja dari alam tanpa proyeksi nafsu ekstrim untuk menguasainya, apalagi mengedepankan rasa rakus berlebihan untuk menghisap hasil lingkungan alam (bumi) secara sembarangan dan tidak wajar. Gerakan minimalis membuat kita mencukupkan diri dengan hidup apa adanya, tanpa ambisi untuk menguras alam sebesar-besarnya. Gerakan minimalis harusnya terpancar keluar dalam sikap tidak boros dalam memanfaatkan sumber energi alam misalnya hemat air, hemat listrik, hemat menggunakan minyak bumi, bersepeda saja ke kampus atau tempat kerja dan lain sebagainya. Gerakan minimalis urgen kita hayati secara konsisten dalam hidup kita mulai saat ini. Minimalisme biasanya identik dengan konsep desain interior. Tetapi, minimalisme juga bisa diterapkan sebagai gaya hidup. Gaya hidup seperti ini adalah gaya hidup yang tidak berlebihan, mensyukuri, serta tidak menghambur-hamburkan rezeki yang ada. Allah SWT berfirman dalam QS Al-A’raf: 31, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”. 5. hal yang menjadi masalah di atas adalah pola pikir dalam bekerja, banyak pekerja yang merasa mengapa mereka harus bekerja. Hal ini juga dilihat dari akibat dari mereka yang menjadi malas dalam bekerja karena rasa dalam bekerja yang hilang. Di dalam Islam, bekerja bukan hanya soal urusan mencari uang untuk hidup melainkan sungguh bernilai religius. Islam menekankan pentingnya niat luhur di dalam bekerja sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Rasulullah SAW bahwa setiap amal perbuatan harus diiringi dengan niat dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang sudah diniatkannya. Niat di dalam bekerja itu ditempatkan sesuai dengan perintah atau hukum Allah Swt sendiri. Banyak filsuf Islam misalnya Yusuf Qardhawi mengatakan moral etika dan ekonomi/kerja merupakan hal yang sangat penting dalam Islam dan etika moral itu berlaku di dalam segala aspek kehidupan (kaffah). Hal ini perlu diwujudkan dalam aktivitas ekonomi, bisnis dan pekerjaan setiap umat Islam. Sementara itu Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menekankan pentingnya akhlak di dalam bekerja. Ghazali mengatakan bahwa seorang pedagang tidak boleh hanya memfokuskan pandangannya pada dunia saja dengan melupakan akhirat. Sebab kalau jika demikian maka umurnya sia-sia belaka. Sebaiknya orang yang memiliki akal dianjurkan untuk menjaga modalnya yakni agama dan bisnis berdagang. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt ”Janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan dunia” (al Qashas 28:77). Dengan demikan maka tujuan utama pekerjaan dan aktivitas ekonomi di dalam Islam bertujuan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat (falah). 6. Di dalam Islam, bekerja bukan hanya soal urusan mencari uang untuk hidup melainkan sungguh bernilai religius. Islam menekankan pentingnya niat luhur di dalam bekerja sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Rasulullah SAW bahwa setiap amal perbuatan harus diiringi dengan niat dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang sudah diniatkannya. Niat di dalam bekerja itu ditempatkan sesuai dengan perintah atau hukum Allah Swt sendiri. Banyak filsuf Islam misalnya Yusuf Qardhawi mengatakan moral etika dan ekonomi/kerja merupakan hal yang sangat penting dalam Islam dan etika moral itu berlaku di dalam segala aspek kehidupan (kaffah). Hal ini perlu diwujudkan dalam aktivitas ekonomi, bisnis dan pekerjaan setiap umat Islam. Sementara itu Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menekankan pentingnya akhlak di dalam bekerja. Ghazali mengatakan bahwa seorang pedagang tidak boleh hanya memfokuskan pandangannya pada dunia saja dengan melupakan akhirat. Sebab kalau jika demikian maka umurnya sia-sia belaka. Sebaiknya orang yang memiliki akal dianjurkan untuk menjaga modalnya Di dalam Islam, bekerja bukan hanya soal urusan mencari uang untuk hidup melainkan sungguh bernilai religius. Islam menekankan pentingnya niat luhur di dalam bekerja sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Rasulullah SAW bahwa setiap amal perbuatan harus diiringi dengan niat dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang sudah diniatkannya. Niat di dalam bekerja itu ditempatkan sesuai dengan perintah atau hukum Allah Swt sendiri. 7. Dalam Al-Qur’an reigiusitas ini tersirat di surat Al Baqarah ayat 208 yang menjelaskan tentang himbauan kepada umat Islam untuk beragama secara penuh maksudnya disini adalah tidak setengah-setengah. Seorang muslim yang beragama secara penuh, dalam kegiatan atau aktivitas kesehariannya ia menanamkan nilai- nilai ke Islaman baik dalam ruang lingkup ibadah maupun bermu’amalah. Bunyi surat al-Baqarah (2) ayat 208 sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah- langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu” Searah dengan pandangan Islam, Glock dan Stark menilai bahwa kepercayaan keagamaan adalah jantungnya dimensi keyakinan. Rumusan Glock dan Stark mengenai pembagian dimensi religiusitas menjadi lima dimensi tersebut diatas, menurut Nashori Suroso memiliki kesesuaian dengan Islam. Keberagaman dalam Islam tidak hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja, akan tetapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainya sebagai suatu sistem Islam yang mendorong pemeluknya beragama secara kaffah atau menyeluruh. Nashori Suroso menyatakan bahwa dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan aqidah, dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah dan dimensi pengamalan disejajarkan dengan akhlak, dimensi pengetahuan dengan ilmu dan dimensi pengalaman dengan ihsan (penghayatan). Secara komprehensif, relgiusitas dalam perspektif Islam terdiri dari tiga dimensi dasar, yaitu Islam, Iman, Ihsan. Dari pandangan tersebut saya masih merasa belum memiliki religiulitas karena saya masih memasukkan nafas Islam itu sendiri dalam saya beraktivitas. Masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang saya lakukan dalam beragama. 8. Dalam meningkatkan religiulitas ini bisa dilakukan dengan menyadari dan penghayatan dalam beragama. Menyadari dan menjabarkan ajaran agama yang diyakininya. Mereka mampu menjelaskan agamanya, baik yang masuk akal dan tidak. Dalam setiap agama, termasuk agama yang diyakininya, ada bagian yang rasional dan ada bagian yang dogmatis dalam agama. Dalam ajaran agama ada bagian yang dapat dipahami oleh akal. Sebagian besar ajaran agama masuk dalam wilayah rasional, sesuatu yang mudah diterima oleh umumnya akal manusia. Perlunya berakhlak baik terhadap orangtua, anak, saudara, tetangga, umat manusia pada umumnya adalah contoh ajaran agama yang mudah diterima akal. Namun, agama juga mengajarkan sesuatu yang tidak mudah diterima oleh akal. Kalupun mudah, butuh waktu untuk mencernanya, seperti adanya surga dan neraka, adanya malaikat raqib dan malaikat atid yang selalu mencatat perbuatan kita, adanya jin yang dapat ganggu kehidupan kita, ada arsy Allah, tiap kepak sayap burung ada zikirnya, dan seterusnya. Tidak hanya mempercaya sisi rasional dan sisi dogmatis dalam agama, orang yang matang beragama juga mampu menjabarkan ajaran agamanya. Mereka mampu menerangkan berbagai macam ajaran agama, termasuk bagian agama yang dapat dengan mudah diterima manusia dan bagian agama yang butuh waktu untuk diterima kebanyakan manusia. Lebih lanjut, mereka juga berupaya untuk mengharmoniskan hal yang rasio dan dogmatis.
ILMU PERUBAHAN DALAM 4 LANGKAH: Strategi dan teknik operasional untuk memahami bagaimana menghasilkan perubahan signifikan dalam hidup Anda dan mempertahankannya dari waktu ke waktu