Anda di halaman 1dari 21

TEORI KOMUNIKASI

BEYOND HUMAN COMMUNICATION

DOSEN PENGAMPU :
Muhammad Thaufan A, S.Sos, M.A
Yayuk Lestari, S.Sos, M.A

OLEH :
Fahira Herwina 2110861004
Dhuha Asy-syu'ara 2110861006
Fadhillah Maharani 2110862008
Muhammad Dio 2110862014
Muhammad Ihsan Al Amin 2110862020
Riffa Amalia Putri 2110862024
Tasya Maharani Putri 2110863010
Nia Arniati 2110863020

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ANDALAS
2023

i
KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur tak henti-hentinya kami ucapkan atas kehadirat Allah
SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulisan
makalah yang berjudul “Teori Komunikasi Tentang Relasi Manusia dengan Alam,
Teknologi dan Tuhan” dapat rampung dengan tepat waktu.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini utamanya adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Teori Komunikasi. Selain itu, penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Muhammad Thaufan A, S.Sos, M.A selaku dosen pengampu dari
mata kuliah ini yang telah memberi bimbingan serta wawasan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini.

Penulis sudah berusaha untuk menulis makalah ini dengan sebaik mungkin,
tetapi penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari para
pembaca sehingga kedepannya makalah ini akan menjadi semakin lebih baik.
Penghujung kata, penulis mengucapkan terima kasih untuk semua pihak yang telah
memberikan bantuannya dalam penulisan makalah ini.

Padang, Maret 2023


Hormat kami

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................................... ii
BAB I ....................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................................... 1
1.2. Rumusan masalah................................................................................................... 2
1.3. Tujuan ..................................................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 3
2.1. Teori Komunikasi Beyond Human Communication ............................................. 3
BAB III .................................................................................................................................. 17
PENUTUP ............................................................................................................................. 17
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 17
3.2 Saran...................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Komunikasi merupakan kegiatan penting yang dilakukan oleh manusia sebagai


syarat untuk menjalin hubungan sosial agar dapat bertahan dalam hiruk pikuk
kehidupan. Tidak hanya manusia, hewan juga berkomunikasi dengan sesama spesies
menggunakan metode komunikasinya masing-masing.

Komunikasi dapat terjadi jika ada kesamaan makna mengenai pesan yang
disampaikan oleh komunikator (pembawa pesan) dengan apa yang diterima oleh
komunikan (penerima pesan). Hovland mendefinisikan bahwa proses komunikasi
adalah proses yang memungkinkan seseorang menyampaikan rangsangan untuk
mengubah perilaku orang lain. (Mulyana, 2010: 62).

Komunikasi mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia, manusia


melakukan komunikasi dalam berbagai kesehariannya, bukan? Dimanapun, kapanpun,
dan dalam kesadaran atau situasi macam apapun, manusia selalu terjebak dengan
komunikasi. Dengan berkomunikasi manusia dapat memenuhi kebutuhan dan
mencapai tujuan-tujuan hidupnya, hal ini cukup menunjukkan bahwa komunikasi
merupakan salah satu kebutuhan manusia yang amat mendasar.

Oleh karena itu sebagai makhluk sosial, manusia harus berelasi dengan manusia
lainnya. Manusia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin mengetahui
apa yang terjadi dalam dirinya, dan rasa ingin tahu inilah yang memaksa manusia untuk
perlu berkomunikasi. Selain dengan individu lain, dalam berkomunikasi, manusia juga
akan membangun relasi dengan selain manusia, salah satunya adalah relasi dengan
Tuhan dalam ranah komunikasi interpersonal. Tidak hanya Tuhan, tanpa disadari
manusia juga akan membangun hubungan dengan alam, bahkan dengan teknologi.

1
1.2. Rumusan masalah

Adapun rumusan masalah yang akan menjadi bahasan pada makalah ini,
diantaranya:

1. Apa saja teori-teori yang terdapat dalam teori komunikasi tentang beyond
human communication?

1.3. Tujuan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan makalah ini, adalah sebagai
berikut:

1. Mengetahui apa saja teori-teori yang terdapat dalam teori komunikasi tentang
beyond human communication

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Teori Komunikasi Beyond Human Communication

2.1.1 Naturalizing Communication and Culture

Tulisan Donal Carbaugh, “Naturalizing Communication and Culture,” adalah


salah satu tulisan pertama yang membahas bagaimana bahasa membentuk makna
tentang alam. Seperti yang dikonseptualisasikan secara tradisional, bahwa alam dan
budaya adalah suatu hal yang berbeda dan terpisah. Dengan kata lain, alam adalah
lingkungan tanpa budaya, budaya adalah lingkungan tanpa alam, berangkat dari sini,
lahirlah kajian Naturalizing Communication and Culture yang mencoba
menghubungkan alam dan budaya melalui komunikasi. Carbaugh berpendapat bahwa
sistem alam dan budaya saling membantu membentuk satu sama lain dan memiliki
hubungan sebab-akibat. Dengan demikian, komunikasi lingkungan bukanlah jenis
komunikasi yang sengaja diproduksi, melainkan sudah melekat dan menjadi dimensi
dalam semua sistem praktik komunikasi.

Carbaugh, mengatakan terdapat lima tolok ukur yang bisa digunakan manusia
untuk memahami alam yang juga disebut sebagai bumi, antara lain :

1. Lingkungan, berarti tempat manusia berlindung dan bernaung.


2. Aktif, mengacu pada keterlibatan yang disengaja dan tanggap terhadap apa
yang ada di bumi dan penghuninya.
3. Tanggung jawab, artinya mengarah pada kebaikan yang dilakukan oleh
manusia, dimana alam menjadi tolak ukur dari apa yang dikatakan baik dan
buruk.
4. Waktu, dibutuhkan untuk mengetahui apa yang alam sampaikan kepada
manusia, kemudian dijadikan pedoman untuk bertindak secara bertanggung
jawab terhadap alam.
5. Eksplorasi heuristik, diperlukan untuk menghasilkan pengetahuan tentang
komunikasi karena komunikasi menjadi penghubung antara manusia dan
alam, serta menemukan cara baru untuk memahami hubungan antara alam,
budaya dan manusia.

3
Carbaugh mengembangkan metode analisis wacana budaya atau Cultural
Discourse Analysis (CuDA) untuk menjelaskan proses pemahaman budaya dan alam.
(CuDA) adalah sebuah pendekatan komunikasi yang secara khusus mengeksplor
praktik komunikasi budaya. Teori ini didasarkan pada komunikasi yang terdiri dari
orientasi dan makna budaya yang aktif dalam berbagai konteks. Dalam upaya untuk
memahami arti dan makna ini, analis CuDA mempelajari bagaimana orang berbicara
tentang identitas, hubungan, tindakan, perasaan, dan tempat tinggal. Metodologi
penelitian dalam analisis ini terdiri dari empat mode analisis yang berbeda namun saling
melengkapi: deskriptif, interpretatif, komparatif, dan kritis. Selain itu literatur berbasis
lapangan yang empiris juga menghasilkan wawasan tentang komunikasi antar budaya
dan pendekatan budaya untuk komunikasi di seluruh dunia.

2.1.2 The Materiality of Nature

Richard Rogers membahas mengenai manusia dan alam. Menurut Rogers, titik
awal ini ialah realitas sebagai konstruksi sistem simbol manusia. Meskipun alam telah
berguna sebagai kontruksi sosial, namun ada juga sisi negatifnya. Alam menjadi
sesuatu yang pasif, sesuatu untuk dibentuk oleh manusia daripada kekuatan aktif itu
sendiri. Pusat kegiatan dalam pekerjaan lingkungannya adalah bekerja untuk
menciptakan ruang bagi "alam" sebagai peserta aktif dalam membentuk persepsi
manusia, pengalaman.

Untuk mengatasi pemisahan ini, Rogers memulai dengan klaim bahwa kita
melakukannya tidak hanya membentuk alam melalui simbol-simbol. Daripada
menyangkal materialitas alam melihatnya hanya sebagai konstruksi yang alami dunia
dapat berfungsi sebagai sesuatu yang tidak hanya dijiwai dengan makna tetapi juga
dengan sendirinya dapat memberikan pengalaman dengan makna.

Menurut Rogers, teori-teori yang merangkul saling ketergantungan manusia


dengan ketidakterpisahan dari alam daripada teori-teori yang terus berlanjut. Teori
semacam itu tidak akan mengistimewakan pertukaran antar entitas melainkan akan
melihat entitas sebagai "kekuatan fluida" yang saling melibatkan masing-masing
lainnya dalam dialog nonlinier, tertanam, dan tidak dapat diprediksi. Rogers
menjelaskan empat kriteria yang akan mencirikan teori dialogis materialis dan
transhuman :

4
• Dimasukkannya sifat dan struktur dalam teori komunikasi
• Penegasan bahwa manusia adalah makhluk bertubuh tertanam di dunia yang
tidak seluruhnya dari konstruksi mereka sendiri
• Kemungkinan untuk mendengarkan entitas bukan manusia, kekuatan, dan
suara nondominant
• Penggantian binari, seperti subjek/objek, sosial/alam, ideasional/ material,
dengan pandangan manusia dan alam sebagai hubungan yang dialogis, saling
tergantung, dan cair. Hasil dari teori-teori tersebut akan menjadi hubungan
yang lebih berkelanjutan dan menegaskan hubungan dengan lingkungan bagi
manusia.

2.1.3 The Othering of Nature

Milstein prihatin dengan dialektika dalam wacana Barat yang mempromosikan


pemisahan manusia-alam, seperti penguasaan harmoni, lainnya koneksi, dan
eksploitasi vs idealisme. Penguasaan atas alam sering terjadi disertai dengan pernyataan
kemajuan sosial. Menjinakkan alam, di lain kata, berarti kemajuan bagi peradaban
Barat dengan mengorbankan keharmonisasi yang beroperasi di dalam alam.

Point pertama dalam setiap dialektika ialah penguasaan, penyangkalan, dan


eksploitasi yang mendominasi mayoritas wacana Barat, yang berarti tema tandingan
memiliki kurang kesempatan untuk didengar. Menggunakan kebun binatang sebagai
studi kasus, Milstein menunjukkan caranya presentasi eksotis dari hewan "kebun
binatang" mencontohkan tema yang lain. Selain itu, cara kebun binatang menampilkan
hewan dalam pameran “alami” menutupi penguasaan pandangan zoologi. Mengingat
dominasi tema ini dan kebun binatang itu adalah sumber hiburan yang menguntungkan,
sulit membayangkan promosi kebun binatang setiap perubahan sikap tentang hubungan
manusia dengan/sebagai hewan atau alam. Milstein menyarankan agar manusia perlu
melakukan kontak dengan hewan liar dengan cara yang terhormat yang menyaksikan
dan merehabilitasi daripada mengobjektifkan.

Milstein beralih untuk memperluas diskusinya tentang pemisahan simbolik dan


material Barat antara manusia dan alam dengan membongkar pelakunya metafora, di
mana manusia melihat diri mereka tidak hanya sebagai terpisah dari tetapi audience to
nature.19 Menggunakan kasus wisata alam pada umumnya dan wisata paus menonton
khususnya, Milstein mengamati reaksi wisatawan ketika mereka melihat orca yang

5
terancam punah dan hewan liar lainnya. Orca dibicarakan sebagai mengadakan
pertunjukan untuk manusia — menghibur mereka — dan melakukannya dengan
sengaja. Beberapa turis bahkan berbicara tentang orca yang memilih datang ke perahu
mereka, menyediakan cara lain untuk melestarikan keistimewaan dan keterpusatan
manusia.

Dalam studi lain tentang paus sebagai objek wisata, Milstein mengeksplorasi
yang lain semacam reaksi turis terhadap paus. Milstein menemukan bahwa mereka
yang berpartisipasi dalam wisata mengamati paussebagai bagian dari industri atau
sebagai turismengalami dua jenis keheningan. Yang pertama adalah keheningan yang
melampaui kata-kata yaitu reaksi yang tak terlukiskan pada kekuatan perjumpaan itu.
Yang kedua adalah pengakuan tidak memilikikata-kata yang tepat, dalam sebagian
besar bahasa Barat kontemporer, untuk mengungkapkan secara memadai sifat
mendalam dari pengalaman menghubungkan di luar manusia.

2.1.4 Animate Rhetoric

Menurut KBBI animate diartikan sebagai “menghidupkan” dan rhetoric yang


berarti “keterampilan berbahasa”. Bila digabungkan maka didapatkan makna
bahwasannya animate rhetoric adalah cara seseorang dalam menghidupkan
keterampilannya dalam berbahasa atau berkomunikasi. Animate Rhetoric secara garis
besar membahas mengenai bagaimana manusia telah menguasai berbagai simbol –
simbol komunikasi seperti gestur, nada bicara serta bahasa dalam berkomunikasi antar
sesama manusia. Teori ini berpendapat bahwa manusia telah memegang kontrol dalam
berkomunikasi diantara mahluk hidup lainnya (alam dan hewan) dan meminimalisir
lingkup berkomunikasi mahluk lainnya. Maksudnya manusia berusaha memahami
bentuk komunikasi dari alam dan hewan secara sederhana dan mengartikan secara
harfiah. Contoh saat melihat seekor kucing yang lemas di pinggir jalan biasanya
seseorang akan mengasunsikan bahwasannya kucing tersebut sedang lapar atau
kehausan. Contoh lainnya tumbuhan yang sedang memiliki banyak Bunga menandakan
bahwa pohon tersebut subur dan terpenuhi nutrisinya sehinggga mengeluarkan bunga
sebagai bentuk rasa “senangnya”. Hal – hal semacam itulah yang diperhatikan dalam
teori ini. Oleh karena itu kemudian muncul berbagai ilmu yang mempelajari mengenai
pola tingkah laku hewan, melihat alur pertumbuhan suatu tanaman ataupun ilmu – ilmu
lain yang membantu manusia untuk menafsirkan simbol – simbol yang ditunjukkan

6
oleh hewan. Pengembangan ilmu seperti inilah yang dimakasud dengan manusia
menghidupkan keterampilan berbahasanya tadi.

Natasha Seegart (seorang ahli komunikasi dari University of Utah) tidak


menyatakan bahwa segalanya dapat berbicara kepada manusia, namun ia meyakini
bahwa manusialah yang harus mengejar segala kemungkinna alam untuk
berkomunikasi pada manusia. Karena alam hanya dapat mendatangkan simbol – simbol
yang nantinya harus diartikan oleh manusia melalui pemikiran rasional dan
mengkonsepan retorika bentuk simbol – simbol tersebut. Untuk Menyusun konsep
retorika tersebut dibutuhkan prrefektif, pertunjukan (bentuk visual dari simbol yang
ditunjukkan), dan suara yang terkadang mengembalikan kita ke cara-cara kuno dan liar
untuk mengetahui.

2.1.5 Media Equation Theory

Media Equation Theory atau teori persamaan media yang dikembangkan pada
tahun 1990-an oleh Byron reeves dan Clifford Nass menunjukkan bahwa kita
menanggapi dan bereaksi terhadap media komunikasi dengan cara yang sama seperti
yang kita lakukan terhadap orang yang sebenarnya. Dengan kata lain, kita
memperlakukan teknologi kita—komputer, telepon, televisi, dan sejenisnya—bukan
hanya sebagai alat atau peralatan, tetapi sebagai aktor sosial yang nyata. Ini
menjelaskan mengapa, misalnya, komputer Anda mungkin tampak memiliki
kepribadian dan mengapa Anda berbicara dengannya dan menjadi tidak sabar ketika
"berperilaku buruk". Sebagai bagian dari pengembangan hipotesis persamaan media,
Reeves dan Nass mereplikasi studi psikologis yang berurusan dengan aturan dasar
interaksi manusia-ke-manusia tetapi menggantikan media dengan salah satu manusia.
Mereka menemukan bahwa aturan manusiamanusia berlaku untuk interaksi manusia-
media di hampir setiap kasus.

Tata krama, kepribadian, emosi, dan peran sosial termasuk bidang yang diselidiki
oleh Reeves dan Nash. Mereka menemukan, misalnya, bahwa orang bersikap sopan
terhadap komputer yang mereka gunakan secara rutin ketika diminta untuk
mengevaluasi kinerjanya menggunakan komputer yang sama; mereka kurang sopan
dan lebih jujur ketika mereka menggunakan komputer yang berbeda untuk melakukan
evaluasi. Dalam hal kepribadian, mereka mengaitkan ciri-ciri kepribadian dengan
hampir semua hal yang memiliki kemiripan wajah—jeruji dan lampu depan mobil,

7
misalnya. Ketika mobil Neon pertama kali diperkenalkan pada tahun 1995, kampanye
iklan menunjukkan bagian depan mobil yang tampak tersenyum dengan judul, "Sapa
Neon." Maka tidak mengherankan, mereka menganggap ciri-ciri kepribadian pada
komputer, ponsel, dan perangkat mereka yang lain dan menjadi marah ketika Siri (
asisten pribadi yang disertakan dalam iOS) mengklaim mengetahui jalan pulang yang
lebih baik.

Teori persamaan media bukanlah fenomena yang tidak biasa, menurut Reeves
dan Nash. Kecenderungan kita untuk memperlakukan media sebagai salah satu dari
kita—untuk bereaksi terhadap mesin seolah-olah memiliki kehadiran dan sifat
manusia—merupakan respons yang otomatis dan alami. Otak kita tidak dapat
membedakan antara yang nyata dan yang biasa-biasa saja. skenario yang telah
ditentukan, jadi manusia menerapkan aturan hubungan antarpribadi pada interaksi
teknologi manusia. Tiga penjelasan telah dikemukakan mengapa fenomena ini terjadi
— antropomorfisme, komputer (atau perangkat teknologi lainnya) sebagai proksi, dan
kecerobohan. Antropomorfisme menunjukkan bahwa kita menganggap perangkat
teknologi pada dasarnya adalah manusia karena itulah cara kita biasa merespons orang
lain di lingkungan kita. Argumen komputer sebagai proxy menunjukkan bahwa kita
melihat komputer sebagai artefak manusia; itu mewakili manusia karena mewujudkan
tanggapan dari produsen atau pemrogram manusia. Sebaliknya, mindlessness mengacu
pada kecenderungan manusia untuk bertindak dengan autopilot—untuk bereaksi
terhadap isyarat tertentu yang mirip manusia tanpa memikirkan atau menyadari apa
yang sedang kita lakukan.

Dari hubungan manusia-manusia yang dipaksakan pada media teknologi, kini


kita beralih ke hubungan ketergantungan dengan media. Manusia menjadi bergantung
pada media tertentu, yang menentukan bagaimana konten media tersebut memengaruhi
mereka.

2.1.6 Media Dependency Theory

Media dependency theory atau teori ketergantungan media diusulkan oleh Sandra
Ball-Roleach dan Melvin DeFleur untuk mengatasi teori yang secara sederhana
menyarankan media memperkuat sikap yang dipegang sebelumnya. Konsisten dengan
teori kegunaan dan kepuasan, teori ketergantungan menyatakan bahwa khalayak
bergantung pada informasi media untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan untuk

8
mencapai tujuan tertentu. Tetapi seorang individu tidak bergantung pada semua media
secara setara, dan Ball-Rokeach serta DeFleur mengembangkan teori ketergantungan
untuk memilah hubungan antara khalayak, media, dan isu dan kebutuhan sosial yang
lebih luas. Dalam istilah yang paling umum, teori ini menyatakan bahwa semakin
tergantung seseorang pada sumber media tertentu untuk memenuhi kebutuhannya,
semakin penting media itu baginya. Hubungan penonton-media-masyarakat adalah
kunci teori ketergantungan media; masyarakat dipandang sebagai struktur di mana
individu, kelompok, organisasi, dan sistem sosial lainnya saling terkait.

Menurut Ball-Rokeach dan DeFleur, ada dua faktor yang menentukan seberapa
tergantung Anda pada media apa pun. Pertama, Anda akan lebih bergantung pada media
yang memenuhi sejumlah kebutuhan daripada media yang hanya memuaskan sedikit.
Media dapat melayani sejumlah fungsi, seperti memantau kegiatan pemerintah,
melaporkan berita, memungkinkan Anda tetap berhubungan dengan teman, dan
menyediakan hiburan. Untuk sekelompok orang tertentu, beberapa dari fungsi ini lebih
penting daripada yang lain, dan ketergantungan Anda pada informasi dari media
tertentu meningkat ketika menyediakan informasi yang lebih penting bagi Anda. Jika
Anda mengikuti olahraga dengan hati-hati, Anda mungkin akan bergantung pada ESPN
atau SI.com (Sports Illustrated online). Seseorang yang tidak tertarik dengan olahraga
mungkin bahkan tidak akan tahu di saluran mana untuk menemukan ESPN, mungkin
tidak pernah melihatnya Ilustrasi olah Raga, apalagi SI.com, dan biasanya melewatkan
seluruh bagian olahraga di surat kabar.

Sumber ketergantungan kedua adalah stabilitas sosial. Selama masa stabil,


ketergantungan pada media bisa turun drastis. Namun, ketika perubahan sosial dan
konflik tinggi, institusi, keyakinan, dan praktik yang mapan ditantang, memaksa
evaluasi ulang dan mungkin pilihan baru dalam hal konsumsi media. Pada saat seperti
itu, ketergantungan pada media untuk informasi meningkat. Penggunaan dan
ketergantungan pada media sosial sangat penting selama Musim Semi Arab. Ponsel,
Twitter, Facebook, dan email memungkinkan pengunjuk rasa mengorganisir
demonstrasi dengan cepat, memantau lalu lintas dan kegiatan pemerintah, dan
menyebarkan informasi tentang acara ke jaringan luas. Kamera ponsel juga merekam
protes dan secara instan mengirim gambar secara lokal, nasional, dan global,
meningkatkan kesadaran, mendorong percakapan, dan memobilisasi sentimen
revolusioner.

9
Prinsip lain dari teori ketergantungan media adalah bahwa individu yang tumbuh
bergantung pada segmen media tertentu akan cenderung lebih terpengaruh, baik secara
kognitif maupun emosional, oleh konten dari media tempat mereka bergantung. Jika
Anda bergantung pada situs web tertentu untuk mendapatkan berita, Anda akan lebih
terpengaruh oleh informasi dari sumber tersebut daripada dari sumber yang tidak terlalu
penting bagi Anda. Konsekuensinya, orang dipengaruhi dengan cara yang berbeda dan
pada derajat yang berbeda oleh media. Ini adalah fitur penting dari teori ketergantungan
media karena menyarankan kita masing-masing memiliki hubungan yang berbeda
dengan sumber media tertentu, dan tidak mungkin untuk mengatakan bahwa televisi
memengaruhi setiap orang dengan cara yang sama.

Tentu saja, kebutuhan, motif, dan penggunaan media individu bergantung pada
faktor luar yang mungkin tidak berada dalam kendali mereka. Dengan kata lain,
kebutuhan seseorang tidak selalu bersifat pribadi tetapi dapat dibentuk oleh budaya atau
berbagai kondisi sosial. Faktor-faktor luar ini bertindak sebagai kendala pada apa dan
bagaimana media dapat digunakan dan ketersediaan alternatif non-media. Misalnya,
seorang lansia yang tidak mengemudi dan memiliki sedikit teman mungkin bergantung
pada televisi dengan cara yang tidak akan dilakukan oleh orang lain, yang situasi
hidupnya berbeda. Seorang komuter dapat mengandalkan radio untuk informasi dan
berita. Seorang remaja mungkin menjadi tergantung pada iTunes karena norma-norma
tertentu dalam kelompok sosialnya. Secara umum, “semakin mudah tersedia, semakin
besar alat yang dirasakan, dan penggunaan media yang lebih dapat diterima secara
sosial dan budaya.

Selain itu, semakin banyak alternatif yang dimiliki individu untuk memuaskan
kebutuhan, semakin sedikit ketergantungan individu tersebut pada media apa pun.
Jumlah alternatif fungsional, bagaimanapun, bukan hanya soal pilihan individu atau
bahkan ciri-ciri psikologis; itu dibatasi oleh faktor-faktor seperti ketersediaan media
tertentu. Dalam kasus bencana alam seperti gempa bumi, misalnya, ponsel mungkin
tidak berfungsi, dan individu mungkin terpaksa bergantung pada sistem penyiaran
darurat hampir secara eksklusif. Di sisi lain, banyak orang saat ini sangat bergantung
pada ponsel mereka untuk mengelola semua komunikasi mereka, mulai dari panggilan
telepon hingga email hingga teks hingga tweet.

10
2.1.7 Media Play and Media Transference

Digital play and Media Reference Frederik De Grove dan kolega-koleganya


mengemukakan sebuah teori yang berkaitan dengan game digital. Secara sistematis,
teori ini meneliti tentang game digital sebagai salah satu media populer. Fokus
penelitian ini adalah apakah motif seseorang memainkan game digital dan apa yang
membentuk identitas sebagai pemain game.

Terdapat lima karakteristik dari game digital, yaitu (1) permainan (2) terdapat
cerita didalamnya (3) berbasis aturan/regulasi (4) terdapat lingkungan sosial. (5)
pemain dapat memanipulasi aturan sistem, pemain berpartisipasi dalam membentuk
konten game, inilah yang membedakan game dari media hiburan populer lainnya.

Meskipun game digital menjangkau banyak sekali audiens, tapi tidak semua yang
memainkan game akan mengaku sebagai gamers. De Grove dan rekan- rekannya."
Mewawancarai 100 siswa sekolah menengah yang bermain game digital, para peneliti
bertanya tentang frekuensi bermain game , jaringan pertemanan, dan tingkat hubungan
dengan identitas gamer. Hasil dari penelitian itu adalah Jaringan pertemanan memiliki
pengaruh yang cukup besar dalam pelabelan atau orang lain sebagai gamer. Jika
seseorang melihat jaringan pertemanannya terdiri dari gamer, dia cenderung
menganggap dirinya seorang gamer. Frekuensi bermain adalah salah satu faktor paling
menentukan dari kategorisasi diri sebagai seorang gamer. Semakin sering seseorang
memainkan game digital, rata- rata ia akan semakin kuat mengidentifikasi dirinya
sebagai seorang gamer.

Penelitian De Grove menunjukkan pentingnya teori Game Digital sebagai


kontekstual baik dari segi lingkungan sosial dan kelompok pertemanan. Game lebih
dari sekedar hiburan, game tidak jarang memengaruhi jaringan pertemanan, tingkat
status dan harga diri, serta kemampuan untuk terlibat dalam suatu topik atau narasi.
Model game ini kemudian ditransfer atau di adaptasi ke dalam kehidupan nyata atau
offline. Para peneliti seperti Cuihua Shen, Peter Monge, dan Dmitri Williams
menjelajahi struktur jaringan dan modal sosial di dunia virtual, mereka melakukan studi
mengenai bagaimana salah satu elemen jaringan De Grove dapat berfungsi dalam
lingkungan game. Penelitian tersebut memunculkan pertanyaan yaitu apakah teknologi
media baru melemahkan atau memperkuat modal sosial. Putnam (2000: 18- 19)
mengatakan bahwa modal sosial mengacu pada hubungan antara individu-individu

11
serta jaringan sosial dan norma-norma juga kepercayaan sehingga ia beranggapan
bahwa jejaring sosial memiliki nilai dan kontak sosial mempengaruhi produktivitas
individu dan kelompok. Modal sosial terdapat dua macam yaitu Bridging Social Capital
dan Bounding Social Capital.

Secara sederhana Bridging menjembatani hubungan antar kelompok, sedangkan


Bounding mengikat atau memperkuat hubungan di dalam kelompok.

2.1.8 Media Transformation

Perkembangan zaman dan globalisasi mengakibatkan terjadinya perubahan yang


signifikan terhadap beberapa hal, salah satunya perubahan terhadap media. Media telah
berkembang dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan yang ada. Dapat kita
ketahui bahwa dahulu media yang tersedia merupakan media konvensional yang
digunakan untuk tujuan yang telah ditentukan. Namun dengan adanya perkembangan,
media konvensional telah bertransformasi menjadi media digital yang tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan manusia. Hal inilah yang dikatakan sebagai bentuk
transformasi media.

Pada saat ini, media digital tidak dapat dipisahkan dari manusia dikarenakan
kehidupan manusia yang sudah melekat dengan teknologi. Mark Poster dalam bukunya
yang berjudul “Information Please” berpendapat bahwa hubungan manusia yang
semakin kompleks dengan mesin dan teknologi justru dapat mengakibatkan terjadinya
transformasi terhadap manusia. Pernyataan ini memiliki maksud bahwa pada saat
sekarang ini transformasi atau perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia
kebanyakan dipengaruhi oleh teknologi dan media yang ada. Walaupun begitu, media
digital tentunya telah menciptakan symbiosis yang bersifat mutualisme antara manusia
dengan teknologi. Namun, dijelaskan lebih lanjut oleh Poster bahwa hubungan manusia
dengan media digital saat ini lebih dari sebuah ketergantungan.

Media digital dapat mengubah sifat identitas itu sendiri. Hal ini memiliki maksud
bahwa setiap manusia memiliki ciri khas yang menjadi identitas dari manusia tersebut,
namun dengan adanya media digital malah dapat terjadinya perubahan dalam identitas
itu sendiri. Selain transformasi terhadap identitas, media digital juga dapat mengubah
pengguna media menjadi produsen. Hal ini dapat dicontohkan perbedaan bentuk
pemanfaatan media oleh manusia yang dilakukan pada zaman dahulu dan zaman
sekarang. Pada zaman dahulu, manusia memanfaatkan media untuk menerima pesan

12
atau informasi, yang mana manusia pada saat itu dikatakan sebagai individu pasif.
Namun, pada media digital sekarang, manusia justru mendistribusikan ide maupun
karyanya melalui media, yang mana manusia pada saat ini dapat dikatakan sebagai
individu aktif (produsen).

2.1.9 Prayer as Rhetoric

William FitzGerald, dalam bukunya, Spiritual Modalities: Prayer as Rhetoric and


Perfomance, berpendapat jika doa adalah tindakan retoris. Doa adalah bagian dari
retorika atau komunikasi karena itu adalah penggunaan bahasa tertentu dengan tujuan
untuk membujuk. Ini terdiri dari empat tujuan utama: permohonan, pujian, syukur, dan
pengakuan. Ratapan, tuduhan, berkat, dan pengutukan adalah tujuan sekunder yang
juga berfungsi sebagai doa. Pada dasarnya adalah tindakan berbicara yang dilakukan
manusia untuk mengukur situasi, mengurangi krisis eksistensi atau pengalaman yang
mendalam dan memilih untuk menyelesaikannya dengan doa. Dalam pengertian ini,
doa adalah respons terhadap suatu krisis dan secara bersamaan merupakan kesempatan
untuk lebih banyak bertindak supaya bisa mengatasi situasi yang sedang dialami.

Setelah menentukan kapan waktu yang tepat untuk membaca doa, FitzGerald
menggunakan tiga elemen dari Kenneth Burke’s yaitu adegan, tindakan dan perantara
untuk menjelaskan sifat dasar doa juga cara kerjanya. Berdasarkan suasana, FitzGerald
mengacu pada situasi ditempat dan juga fakta bahwa dalam doa itu manusia berusaha
untuk menyapa dan disapa oleh Tuhan. Dan di pemandangan ini, Tuhan diperlakukan
seolah-olah mereka juga manusia yang mampu mendengar dan juga memahami doa
yang disampaikan oleh manusia yang memohon kepada mereka. Karena itu ada asumsi
jika kita memiliki dasar linguistik atau bahasa yang sama antara manusia dan Tuhan.
Dan meskipun doa digambarkan kapasitas bahasanya ke Tuhan, perlu diketahui jika
mereka tidak memiliki bahasa yang sama dengan manusia. Sebaliknya mereka
“mendengar” dan karena inilah yang membuat suatu doa itu berhasil.

Akan tetapi, supaya Tuhan menjadi pendengar, manusia dan Tuhan harus saling
berhadapan satu sama lain, dan ini memperkenalkan bagian kedua dari drama dan
tindakan. Tindakan dasar yang menetapkan batas-batas dari tempat kejadian adalah
suatu panggilan yang menegaskan hubungan antara siapa yang memanggil dan juga
siapa yang dipanggil. Doa ini dengan kata lain mengatakan bahwa Tuhan ialah lawan
bicara dan menetapkan jika ada hubungan di antara manusia dan Tuhan ini. Dan doa

13
ini tidak hanya menetapkan jenis ruang yang berbeda tetapi menunjukkan jika bentuk
komunikasinya akan berbeda dari percakapan lainnya. Jadi doa, bukan hanya sebagai
tindakan permohonan, melainkan supaya menciptakan situasi dan percakapan yang
cocok dengan kondisi yang memiliki kuasa untuk mengubah keadaan yang sudah ada.

Dan terlepas dari keinginan yang ada didalam doa sebaiknya diseimbangkan
dengan skipa khidmat. Cara kerja kekhidmatan ini dinilai sangat penting untuk
keberhasilan doa mengarah pada dua gagasan FitzGerald yang mengenai doa sebagai
komunikasi yaitu ingatan dan penyampaian. Secara tradisoonal , proses retorika atau
komunikasi digambarkan menjadi lima yaitu penemuan, pengaturan, gaya, ingatan dan
penyampaian. FitzGerald berpendapat jika doa adalah alat untuk memperingati. Jadi
jika doa diulangi, maka doa itu akan membentuk dan memperdalam tradisi yang
melahirkannya. Sehingga FitzGerald menegaskan bahwa doa adalah “sesuatu yang
dikatakan dan sesuatu yang dikirim”. Jadi doa sebagai ranah yang penting dari
pengalaman manusia. Di sisi lain, inti dari doa adalah inti dari nasihat apapun untuk
memanggi situasi-situasi dengan kekuatan ucapan atau perkataan.

2.1.10 Interpersonal Christian Prayer

E. James Baesler merupakan salah satu ahli komunikasi yang sebagian besar
penelitiannya berfokus untuk mengeksplorasi doa sebagai sebuah fenomena
komunikasi. Ia mengembangkan apa yang awalnya disebut sebagai model
Interpersonal Christian Prayer menjadi Relational Prayer Theory (RPT). Titik tolak
Baesler adalah pemikiran bahwa setiap agama besar di dunia ini mempunyai berbagai
jenis “doa” yang didefinisikan sebagai jenis komunikasi khusus dalam konteks
hubungan spiritual. Lebih lanjut, menurutnya sebuah model doa bergantung pada
berbagai kondisi batas tertentu: keberadaan Tuhan, keyakinan bahwa komunikasi
dengan Tuhan dimungkinkan melalui doa, dan doa ialah tindakan pribadi bersifat
pribadi antara orang Kristen dengan Tuhan. Untuk model doa relasionalnya, Baesler
meneliti berbagai tipologi doa selama 20 abad dari doa-doa Kristen dan mensintesis
bentuk utama dari doa, meliputi: berbicara kepada Allah, mendengarkan, berdialog
dengan Allah, meditasi, kontemplasi, dan penyatuan mistik. Dalam berbicara dan
mendengarkan Tuhan, diartikan sebagai bentuk komunikasi satu arah. Dialog dengan
Tuhan memperlihatkan perkembangan menuju komunikasi dua arah. Sementara itu,
untuk meditasi bersifat nonverbal (mental) dan kontemplasi dibuat untuk merasakan

14
kehadiran Tuhan berupa perasaan. Kemudian, ungkapan komunikasi secara radikal
dipakai untuk menggambarkan fase terakhir dengan menunjukkan keadaan yang tak
dapat dijelaskan dengan kata-kata yaitu penyatuan dengan ilahi (perasaan mencintai
dan dicintai).

Terdapat dua jenis doa, yaitu aktif dan reseptif. Baesler mengidentifikasikan
bahwa berbicara, mendengarkan, dan berdialog adalah doa yang aktif yaitu seperti
berdoa dengan menjelaskan keinginan dan kebutuhannya, mendengarkan respons
Tuhan, membaca kitab suci, berakhir pada berdialog dengan Tuhan, semuanya
membutuhkan usaha manusia dalam berdoa. Sementara itu, doa reseptif ialah
komunikasi ilahi secara radikal, menunjukkan bahwa komunikasi ini berada di luar
konsep komunikasi tradisional dalam mengutamakan penerimaan kasih, kehadiran,
cinta, kedamaian, dan sejenisnya. Baesler menguraikan tipologi dan fungsinya dalam
kehidupan Kristen yang menyatakan bahwa anak-anak Kristen kemungkinan besar
memulai dengan jenis doa yang aktif, mereka sering memulai doa yang dihafalkan
untuk meminta hal yang konkret. Baesler menyimpulkan bahwa sangat menarik jika
studi tentang doa tidak terlibat dalam bidang komunikasi, mengingat adanya korelasi
yang jelas antara komunikasi manusia dengan komunikasi spiritual. Banyak akademisi
yang merasa tidak nyaman berbicara mengenai iman yang mungkin menjadi salah satu
alasan kurangnya perhatian terhadap doa. Akan tetapi, doa mulai dipelajari secara
ekstensif oleh professional medis sebagai mekanisme penyembuhan bagi pasien yang
kehabisan pengobatan medis tradisional. Pada akhirnya, Baesler mulai menyarankan
kepada para peneliti komunikasi untuk memberikan prioritas lebih kepada doa dalam
penelitian mereka.

Baesler dan Kevin Ladd menyumbangkan studi penelitian doa dalam komunikasi
yang dihubungkan dengan relational prayer theory. Mereka menyelidiki hubungan
antara konteks doa, kesehatan fisik, mental, dan spiritual. Terdapat beberapa definisi
konteks doa, yaitu: satu orang yang berdoa kepada Tuhan (doa pribadi), dua orang yang
berdoa (doa interpersonal), doa kelompok kecil (doa antara tiga hingga 12 orang), dan
doa kelompok besar (lebih dari 12 orang yang biasa dilakukan dalam layanan
keagamaan). Kedua peneliti ini meminta mahasiswa dan orang dewasa paruh baya yang
diidentifikasi sebagai orang Kristen untuk menggambarkan pengalaman doa terbaru
mereka dan menilai kesehatan fisik, mental, serta spiritual mereka secara keseluruhan.
Penelitian ini berusaha meneliti doa sebagai fenomena komunikasi dengan

15
menguraikan konteks di mana doa terjadi dan menghubungkannya pada konseptualisasi
holistik mengenai kesehatan, mencakup dimensi fisik, mental, dan dimensi spiritual.
Lebih lanjut, dalam teori ini doa adalah sebuah mode komunikasi dengan makhluk ilahi
untuk mendapat bantuan dari kekuatan yang lebih tinggi dalam memecahkan masalah
atau memenuhi kebutuhan.

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ketika melakukan interaksi dengan orang lain, sesungguhnya banyak hal yang
dapat kita ketahui dan pelajari. Dengan melakukan interaksi, kita dapat mengetahui arti
gerakan tubuh, mengartikan maksud sebuah pesan, atau menciptakan konotasi baru
dengan bahasa sendiri. Semua itu didapat melalui proses belajar dan pengalaman yang
didapat selama melakukan interaksi.

Manusia yang melakukan interaksi dengan intensitas yang cukup sering dengan
manusia lainnya akan menciptakan sesuatu yang disebut dengan Hubungan. Hubungan
itu dapat berupa Hubungan pertemanan, Hubungan pernikahan, hubungan
kekeluargaan, hubungan antar masyarakat serta berbagai macam hubungan lainnya.
Hubungan diciptakan dan dijaga oleh sesuatu yang disebut dengan komunikasi.

Hubungan adalah sesuatu yang dinamis, suatu saat ia dapat bertambah erat, disaat
yang lain ia dapat berubah menjadi renggang, bahkan terputus. Perubahan itu sangat
dipengaruhi oleh cara berkomunikasi dengan lawan bicara. Dalam sebuah hubungan
akan terbentuk sebuah pola tertentu. reaksi yang terjadi pada sebuah hubungan akan
menghasilkan pola-pola seperti pola complement-simetrical, nyaman-tidak nyaman,
selaras-tidak selaras dll. Pola-pola tersebut nantinya akan berperan dalam menentukan
siapa yang mengambil kendali dalam sebuah hubungan, arah atau kelanjutan hubungan,
pengelolaan privasi dan lain sebagainya.

3.2 Saran

Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penyajian


dan pemaparan materi pada makalah ini. Untuk itu, dengan rendah hati penulis meminta
masukan maupun kritikan yang membangun dari pembaca untuk kesempurnaan
makalah ini. Selanjutnya, saran yang ingin penulis sampaikan kepada pembaca yaitu
melalui penjelasan mengenai pengantar komunikasi politik pembaca hendaknya dapat
lebih memahami komunikasi politik secara menyeluruh lagi agar tidak ada
kemungkinan terjadinya kesalahpahaman.

17
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Littlejohn, Stephen W & Karen A. Foss.2009. Teori Komunikasi, edisi 9. Jakarta:


Salemba Humanika.

Littlejohn, S.W., dkk. (2017). Theories of Human Communication (11th ed). United
States: Waveland Press, Inc.

18

Anda mungkin juga menyukai