Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN DIAGNOSA MEDIS HIPOSPADIA


DIRUANG ARMINA RSI FATIMAH

Disusun Oleh :

IZZA KHILYATUZ ZUHRO (1440121023)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RUSTIDA

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

KRIKILAN-GLENMORE-BANYUWANGI

2023
A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Hipospadia berasal dari istilah yunani, hipo (dibawah) dan spadon (celah).
Hipospadia merupakan anomali kongenital pada genitalia eksterna laki-laki yang
sering terjadi. Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa muara uretra
yang terletak di sebelah ventral penis dan sebelah prokimal ujung penis
(Widjajana, 2017)
Hipospadia dapat didefinisikan sebagai adanya muara uretra yang terletak di
ventral atau proksimal dari lokasi yang seharusnya. Kelainan terbentuk pada masa
embrional karena adanya gangguan pada masa perkembangan alat kelamin dan
sering dikaitkan dengan gangguan pembentukan seks primer maupun gangguan
aktivitas seksual saat dewasa (Brush, 2016)
2. Etiologi
Penyebab hipospadia sangat bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor, namun
belum ditemukan penyebab pasti dari kelainan ini. Beberapa kemungkinan
dikemukakan oleh para peneliti mengenai etiologi hipospadia. Faktor risiko yang
mempengaruhi terjadinya hipospadia yaitu :
a. Faktor genetik dan embrional
Genetik merupakan faktor risiko yang diduga kuat mempengaruhi
proses terjadinya hipospadia. Penelitian menyebutkan bahwa anak laki-laki
yang memiliki saudara yang mengalami hipospadia beresiko 13,4 kali lebih
besar mengalami hipospadia, sedangkan anak yang memiliki ayah dengan
riwayat hipospadia beresiko 10,4 kali mengalami hal yang sama (Van der
Zaden et al., 2012). Selama masa embrional, kegagalan dalam pembentukan
genital folds dan penyatuanya diatas sinus urogenital juga dapat menyebabkan
terjadinya hipospadia. Biasanya semakin berat derajat hipospadia ini, semakin
besar terdapat kelainan yang mendasari. Kelainan kromosom dan ambigu
genitalia seperti hermafrodit maupun pseudohermafrodit merupakan kelainan
yang kerap kali ditemukan bersamaan dengan hipospadia (Krisna & Maulana,
2017).
b. Faktor hormonal
Perkembangan genitalia pada laki laki merupakan proses yang
kompleks dan melibatkan berbagai gen serta interaksi hormon yang ada pada
ibu hamil. Proses pembentukan saluran uretra ini terjadi pada minggu ke-6
trimester pertama dan bersifat androgendependent, sehingga ketidak normalan
metabolisme 8 androgen seperti defisiensi reseptor androgen di penis,
kegagalan konversi dari testosteron ke dihidrotestoteron, serta penurunan
ikatan antara dihidrostestoteron dengan reseptor androgen mungkin dapat
menyebabkan terjadinya hipospadia (Noegroho et al., 2018).
c. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan dicurigai sebagai salah satu faktor penyebab
hipospadia seperti terdapat paparan estrogen atau progestin pada ibu hamil di
awal kehamilan, paparan estrogen tersebut biasanya terdapat pada pestisida
yang menempel pada buah, sayuran, tanaman, dan obat obatan yang
dikonsumsi oleh ibu hamil. Pada ibu hamil yang mengkonsumsi obat-obatan
anti epilepsi seperti asam valporat juga diduga meningkatkan resiko
hipospadia tetapi untuk pil kontrasepsi yang mengandung hormon estrogen
dan progestin diketahui tidak menyebabkan hipospadia (Krisna & Maulana,
2017).
d. Lain-lain
Pada anak laki-laki yang lahir dengan program Intra-cystolasmic sperm
Injection (ICSI) atau In Vitro Fertilization (IVF) memiliki insiden yang tinggi
pada hipospadia (Krisna & Maulana, 2017). Selain itu faktor ibu yang hamil
dengan usia terlalu muda atau terlalu tua juga sangat berpengaruh, diketahui
bayi yang lahir dari ibu yang berusia >35 tahun beresiko mengalami
hipospadia berat. Kelahiran prematur serta berat bayi lahir rendah, bayi
kembar juga sering dikaitkan dengan kejadian hipospadia (Widjajana, 2017).
3. Tanda dan Gejala
Menurut Nurrarif & Kusuma (2015) yang sering muncul pada penyakit
hipospadia sebagai berikut :
1. Tidak terdapat preposium ventral sehingga prepesium dorsal menjadi
berlebihan (dorsal hood).
2. Sering disertai dengan korde atau penis melengkung ke arah bawah.
3. Lubang kencing terletak dibagian bawah dari penis.
4. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk dibagian
punggung penis
5. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan
membentang hingga ke glans penis, terasa lebih keras dari jaringan
sekitmeatus pada dasar dari glans penis
6. Kulit penis bagian bawah sangat tipis. Tunika dartos, fasia Buch dan korpus
spongiosum tidak ada
7. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis
8. Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis bengkok
9. Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum)
10. Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal

4. Patofisiologi

Hipospedia dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti embriologi, lingkungan,


genetik . Pada embriologi minggu ke 2 akan terbentuk lapisan ectorderm dan
endoderm sehingga akan terbentu lengkungan ditengahnya (mesoderm) dan akan
bermigrasi ke perifer dan bagian kaudal membentuk membrane kloaka, minggu ke
6 terbentuk tuberkel genital sehingga dibagian tengah terdapat lekukan dimana sisi
lateralnya terdapat 2 lipatan memanjang (genital fold) dan minggu ke 7 genital
tuberkel membentuk glans pada laki -laki penis pada perempuan klirotis. Genital
fold membentuk sisi-sisi dari sinus, genital fold gagal bersatu diatas sinus
urogenital.

Pada faktor lingkungan disebabkan terpapar zat polutan yang bersifat


tetragonik dan terjadinya mutasi sehingga perkembangan fusi dari garis tengah
lipatan uretra tidak lengkap dan tuberkel genital membentuk lipatan uretra
dibagian anterior, skrotum menonjol dan bergerak ke kaudal.

Pada genetik akan bermutasi gen yang mengkode sintesis androgen sehingga
androgen tidak terbentu dan diferesiensi uretra pada penis tidak terbentuk. Pada
hormonal tidak ada sintesis hormon androgen lalu berhentinya sel-sel penghasil
androgen yang menyebabkan kekuranganya androgen sehingga testosterone tidak
dapat diubah menjadi dihidrotestosteron yang menyebabkan gangguan tuberkel
genital. (Widjajana, 2017)
PATHWAY
Faktor Risiko Hipospadia

Genetik
Lingkungan Hormonal
Mutase gen yang
mengkode sintesis Tidak ada sintesis
Terpapar zat polutan
androgen hormon androgen
yang bersifat tetragonik

Androgan tidak Testosterone tidak


Mutasi terbentuk dapat diubah menjadi
dihidrotestosteron

Diferesiensi uretra
Perkembangan fusi dari Gangguan
pada penis tidak
garis tengah lipatan pembentukan tuberkel
terbentuk
genital

Diferesiensi uretra
pada penis tidak
terbentuk

HIPOSPADIA

Chordee

Urin tidak memancar dengan


sempurna dan merembes ke Gangguan
iritasi
perianal Integritas Kulit

Pembedahan

Pre operasi Post operasi

Kurangnya pengetahuan Terputusnya kontunitas jaringan


tentang kondisi dan penyakit

Merangsang saraf nyeri di radix


Ansietas
dorsal medulla spinal

Nyeri Akut
5. Klasifikasi
Menurut Orkiszewski (2012) terdapat beberapa tipe hipospadia berdasarkan
letak orifisium uretra eksternum atau meatus diantaranya sebagai berikut:
1. Tipe sederhana/ Tipe anterior
Tipe ini terdapat di anterior, pada tipe ini meatus terletak pada pangkal
glands penis. Sebenarnya kelainan ini bersifat asimtomatik dan tidak tidak
memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat dilakukan dilatasi
atau meatotomi. Yang termasuk golongan hipospadia tipe ini adalah
hipospadia sub coronal atau lubang kencing berada pada sulcus coronarius
penis (cekungan kepala penis), dan hipospadia tipe granular yaitu lubang
kencing sudah terdapat di kepala penis namun posisinya berada di bawah
kepala penisnya.
2. Tipe Penil/ Tipe Middle
Pada tipe ini, meatus terletak antara glands penis dan skrotum.
Biasanya disertai dengan kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit
prepusium bagian ventral, sehingga penis terlihat melengkung ke bawah atau
glands penis menjadi pipih. Pada kelainan tipe ini, diperlukan intervensi
tindakan bedah secara bertahap, mengingat kulit di bagian ventral prepusium
tidak ada maka sebaiknya pada bayi tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa
kulit yang ada dapat berguna untuk tindakan bedah selanjutnya. Terdapat
beberapa tipe hipospadia yang termasuk dalam tipe middle diantaranya yaitu
hipospadia tipe penoscrotal atau lubang kencing terletak di antara skrotum dan
batang penis, hipospadia tipe peneana proksimal yaitu lubang kencing berada
di bawah pangkal penis, hipospadia tipe mediana yaitu lubang kencing berada
di bawah bagian tengah dari batang penis, serta hipospadia tipe distal peneana
yaitu lubang kencing berada di bawah bagian ujung batang penis.
3. Tipe Posterior
Pada tipe posterior biasanya akan mengakibatkan terganggunya
pertumbuhan penis, seringkali disertai dengan skrotum bifida, meatus uretra
terbuka lebar dan umumnya testis tidak turun. Yang termasuk hipospadia
posterior dianataranya yaitu hipospadia tipe 10 perenial, lubang kencing
berada di antara anus dan skrotum, dan hipospadia tipe scrotal, lubang kencing
berada tepat di bagian depan skrotum.
6. Komplikasi
1. Tampilan penis yang tidak normal
2. Lengkungan penis yang tidak normal saat ereksi
3. Gangguan ejakulasi
4. Alami gangguan psikologis karena tidak percaya diri dengan alat
kelaminya
7. Penatalaksanaan
Dikenal banyak tehnik operasi hipospadia, yang umumnya terdiri dari beberapa
tahap yaitu :
1. Operasi pelepasan chordee dan tunnelin
Dilakukan pada usia 1,5-2 tahun. Pada tahap ini dilakukan
operasieksisi chordee dari muara uretra sampai ke glands penis.
Setelaheksisi chordee maka penis akan menjadi lurus tetapi meatus
uretramasih terletak abnormal. Untuk melihat keberhasilan eksisidilakukan
tes ereksi buatan intraoperatif dengan menyuntikkan NaCL 0,9% kedalan
korpus kavernosum.
2. Operasi uretroplast
Biasanya dilakukan 6 bulan setelah operasi pertama. Uretra
dibuatdari kulit penis bagian ventral yang di insisi secara longitudinal
pararel di kedua sisi. Tujuan pembedahan yaitu membuat normal fungsi
perkemihan dan fungsi sosial.

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sangat jarang diperlukan kecuali pada kasus
hipospadia yang berat dan disertai dengan kelainan lainya seperti undencensus
testis. Pemeriksaan yang diperlukan biasanya berupa pemeriksaan USG, dan
kromosom. Manajemen operasi pada kelainan hipospadia bertujuan untuk:
1. Merekonstruksi penis menjadi terlihat normal baik penampakan ini maupun
fungsinya terutama saat ereksi yaitu tegak lurus kembali
2. Reposisi muara urethra ke ujung penis agar memungkinkan pasien berkemih
secara normal
3. Adanya neourethra yang adekuat dan lurus
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pada klien dengan hipospadia setelah tindakan post operasi pengkajian yang
penting dilakukan yaitu mengkaji adanya pembengkakan atau tidak, adanya
perdarahan, dan disuria (Mendri & Prayogi, 2017)
a. Identitas
Hipospadia berisiko pada laki-laki, penyakit ini merupakan kondisi kelainan
bawaan lahir yang menyebabkan letak lubang kencing (uretra) laki-laki tidak
ada pada posisi yang seharusnya
b. Status Kesehatan Saat Ini
1) Keluhan utama
Biasanya orang tua klien mengeluh dengan kondisi anaknya karena penis
yang tidak sesuai dengan anatomis penis biasa karena melengkung
kebawah dan terdapat lubang kencing yang tidak pada tempatnya.
2) Riwayat penyakit sekarang
Pada klien dengan hipospadia ditemukan adanya lubang kencing yang
tidak pada tempatnya sejak lahir dan belum diketahui dengan pasti
penyebabnya
c. Riwayat Kesehatan terdahulu
1) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat ketidakseimbangan hormon dan faktor lingkungan yang
mempengaruhi kehamilan ibu, seperti 13 terpapar dengan zat atau polutan
yang bersifat tertogenik yang menyebabkan terjadinya mutasi gen yang
dapat menyebabkan pembentukan penis yang tidak sempurna
2) Riwayat penyakit keluarga
Terdapat riwayat keturunan atau genetik dari orang tua atau saudara
kandung dari klien yang pernah mengalami hipospadia.

d. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Keadaan umum klien adalah keadaan yang paling umum terjadi pada klien
yang meliputi keadaan klien baik,lemah,atau sedang.
2) Tanda –tanda vital ( TTV) yang meliputi : tekanan darah, nadi, dengan suhu
39-40 derajat celcius, respirasi.
3) Pemeriksaan Fisik
a) Pemeriksaan mata
Inspeksi : mata simetris, tidak ada benjolan, tidak ada lesi
Palpasi : palpasi pada daerah mata untuk meraba apakah ada
benjolan atau nyeri tekan.

b) Pemeriksaan Hidung
Inspeksi: kondisi hidung simetris tepat ditengah, tidak ada benjolan
(polip)
Palpasi : palpasi dilakukan untuk memastikan ada tidaknya oedema
dan nyeri tekan pada daerah hidung.

c) Pemeriksaan Mulut
Inspeksi : mukosa bibir lembab, tidak ada perdarahan gusi
Palpasi : ada tidaknya oedema atau nyeri teka pada area mulut.

d) Pemeriksaan thorak
Inspeksi : melihat bentuk thorak normal atau tidak.
Palpasi : memastikan tidak ada nyeri tekan pada thorak.

e) Pemeriksaan paru
Inspeksi: bentuk dada simetris
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Perkusi : terdengar sonor
Auskultasi : tidak ada suara napas tambahan
f) Pemeriksaan jantung
Inspeksi: simetris, ictus cordis teraba
Palpasi: ictus cordis teraba
Perkusi: terdengar pekak
Auskultasi: BJI dan BJII terdengar tunggal “lupdup”

g) Pemeriksaan abdomen
inspeksi : bentuk abdomen simetris atau tidak, ada lesi atau tidak
pada area abdomen.
Auskultasi : auskultasi dilakukan untuk mengetahui bising usus.
Palpasi : ada atau tidaknya nyeri tekan pada abdomen.
Perkusi : suara normal timpani
h) Genetalia
Penis bengkok kebawah dan lubang kencing penis dibagian bawah
i) Kulit dan Kuku
Inspeksi: persebaran kulit merata, kuku bewarna merah muda
Palpasi: crt <2detik

2. Diagnosa Keperawatan
A. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur
operasi)
dengan tanda dan gejala yang mungkin muncul yaitu tampak meringis,
bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri), gelisah,
frekuensi nadi meningkat, sulit tidur, tekanan darah meningkat, pola napas
berubah, nafsu makan 15 berubah, proses berpikir terganggu, menarik diri,
berfokus pada diri sendiri, diaforesis.
B. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulas
dengan tanda dan gejala yang mungkin muncul yaitu kerusakan jaringat atau
lapisan kulit, perdarahan, kemerahan, hematoma, dan nyeri.
C. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional
dengan tanda dan gejala yang mungkin muncul yaitu merasa bingung, merasa
khawatir dengan akibat, sulit berkonsenstrasi, tampak gelisah, tampak
tegang, sulit tidur
3. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi (SIKI)


(SDKI) Hasil (SLKI)
Nyeri akut berhubungan Tingkat nyeri (L08066) Manajemen nyeri (L08238)
dengan agen pencedera Setelah dilakukan Observasi :
fisik (prosedur operasi) Tindakan asuhan 1. Identifikasi lokasi,
(D0077) keperawatan selama karakteristik, durasi, frekuensi,
2x24 jam, diharapkan kualitas, intensitas nyeri
nyeri akut teratasi 2. Identifikasi nyeri
dengan kriteria hasil: Teraupetik
1. Nyeri berkurang dari 3. Berikan teknik
4 menjadi 2 nonfarmakologis untuk
2. Meringis berkurang mengurangi rasa nyeri
dari 4 menjadi 2 4. Kontrol lingkungan yang
3. Gelisah berkurang memperberat rasa nyeri (misal
dari 5 menjadi 2 kompres hangat / dingin)
4. Frekuensi nadi 5. Pertimbangkan jenis dan
normal 70-120x/menit sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
Edukasi
6. Jelaskan penyebab, periode,
dan periode nyeri
7. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
8. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri

Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Gangguan Integritas Kulit/ Integritas Kulit dan Perawatan Luka (L14564)
Jaringan berhubungan Jaringan (L14125) Observasi :
dengan perubahan sirkulasi Setelah dilakukan 1. Monitor tanda-tanda infeksi
(D0129) asuhan keperawatan Teraupetik
selama 2x24 jam 2. Bersihkan luka dengan cairan
diharapkan deficit NaCl
perawatan diri teratasi 3. Pertahankan teknik steril saat
dengan kriteria hasil: melakukan perawatan luka
1. Keluhan nyeri 4. Ganti balutan sesuai jumlah
menurun dari 3 menjadi jenis luka
5 Edukasi
2. Perdarahan menurun 5. Anjurkan klien untuk
dari 3 mmenjaddi 5 mengonsumsi makanan tinggi
3. Kemerahan menurun kalori dan protein
dari 3 menjadi 5 Kolaborasi
6. Kolaborasi dengan dokter
terkait pemberian antibiotik
Ansietas berhubungan Tingkat Ansietas Reduksi Ansietas (L09314)
dengan krisis situasional (L09093) Observasi
(D0080) Setelah dilakukan 1. Identifikasi saat tingkat
asuhan keperawatan ansietas berubah (mis. Kondisi,
selama 3x24 jam waktu, stressor)
diharapkan ansietas 2. Identifikasi kemampuan
teratasi dengan kriteria mengambil keputusan
hasil: 3. Monitor tanda ansietas (verbal
1. Perilaku gelisah dan nonverbal)
menurun dari 3 menjadi Terapeutik
5 4. Ciptakan suasana terapeutik
2. Perilaku tegang untuk menumbuhkan
menurun dari 3 menjadi kepercayaan
5 5. Pahami situasi yang membuat
3. Frekuensi nadi normal ansietas
70-120x/menit 6. Motivasi mengidentifikasi
4. Pola tidur membaik situasi yang memicu kecemasan
dari 3 menjadi 5 Edukasi
7. Informasikan secara factual
mengenai diagnosis,
pengobataan, dan prognosis
8. Anjurkan keluarga untuk tetap
bersama pasien, jika perlu
9. Latih kegiatan pengalihan,
untuk mengurangi ketegangan
10. Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
11. Kolaborasi pemberian obat
anti anxietas, jika perlu

4. Implementasi
Menurut Mufidaturrohmah (2017) implementasi merupakan pelaksanaan
tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana perawatan. Tindakan tersebut
mencakup tindakan mandiri keperawatan dan tindakan kolaborasi. Tindakan
mandiri dilakukan perawat sendiri dan bukan merupakan petunjuk maupun
perintah dari petugas kesehatan lain. Bentuk dari implementasi keperawatan yaitu
mulai dari pengkajian untuk mengidentifikasi masalah, pendidikan kesehatan
pada klien untuk membantu menambah pengetahuan tentang kesehatan,
konseling, penatalaksanaan atau tindakan keperawatan untuk memecahkan
masalah kesehatan, membantu memandirikan klien, konsultasi dan diskusi
dengan tenaga kesehatan lainnya.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan implementasi yaitu
tindakan keperawatan yang dilakukan harus sesuai dengan intervensi yang telah
direncanakan, dilakukan dengan cara aman serta sesuai dengan kondisi klien,
harus dievaluasi terkait keefektifan dan pendokumentasian keperawatan yang
benar. Kegiatan yang dilakukan pada tahap implementasi dimulai dari pengkajian
lanjutan, membuat prioritas masalah, menghitung alokasi tenaga, membuat
intervensi keperawatan dan melakukannya, serta mendokumentasikan tindakan
beserta respon klien terhadap tindakan yang telah dilakukan (LeMone et al.,
2016).
5. Evaluasi
Menurut Mufidaturrohmah (2017) tujuan dan evaluasi adalah untuk mengetahui
sejauh mana perawatan dpat dicapai dan memberikan umpan balik terhadap asuhan
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Brush. (2016). Keperawatan Anak. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan.
Krisna & Maulana. (2017). Pedoman Keterampilan Medik 2. Airlangga University.
Le Mone et.al. (2016). Asuhan Keperawatan Hipospadia Pada Anak Diruang Ika 1 Rspad
Gatot Soebroto,27.
Mendri & Prayogi. (2017). Karakteristik Pasien Hipospadia Di Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung tahun 2015-2017, (38), 10-12
Mufidaturrohmah. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: Fajar Interpratama
Nurarif & Kusuma. (2015). Pathofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC
Noegroho et.al. (2018). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:EGC
Orkiszweski. (2012). Nursing Intervensions Classification (NIC). Mosby
Van der Zaden et.al. (2012). Nursing Outcomes Classification (NOC). Mosby
Widjajana. (2017). Konsep dan Proses Keperawatan Keluaarga. Sulawesi Selatan: Pustaka
As Salam

Anda mungkin juga menyukai