Anda di halaman 1dari 107

COVER

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah saya ucapkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, hanya


berkat taufiq dan hidayah Allah semata penulis dapat menyusun modul mata kuliah Tingkah
Laku Manusia dan Lingkungan Sosial ini. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan
kepada Nabi besar Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Modul ini adalah materi kuliah
dari mata kuliah Laku Manusia dan Lingkungan Sosial untuk mahasiswa program studi
Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara.
Modul mata kuliah ini sangat diperlukan bagi perkuliahan Laku Manusia dan
Lingkungan Sosial di perguruan tinggi. Apalagi mata kuliah ini merupakan salah satu mata
kuliah di program studi Kesejahteraan Sosial FISIP UMSU, maka penulis merasa mempunyai
tanggung jawab yang cukup besar dalam menanamkan dan memupuk nilai serta merupakan
dasar yang essensial.
Tentu dalam penyusunan ini memiliki kekurangan dan kelemahan, akhirnya kepada
bapak/ibu dosen dan para pembaca kiranya dapat memberikan masukan dan saran untuk lebih
baik kedepannya.

Penulis

Sahran Saputra

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ i


DAFTAR ISI..................................................................................................................................... ii
I. IDENTITAS ............................................................................................................................ 1
II. PENDAHULUAN ................................................................................................................... 2
A. Deskripsi Mata Kuliah ............................................................................................................. 2
B. Capaian Pembelajaran Mata Kuliah .......................................................................................... 2
C. Sub Capaian Pembelajaran Mata Kuliah ................................................................................... 2
III. PEMBELAJARAN .................................................................................................................. 4
A. Kegiatan Pembelajaran ke 1 : Manusia sebagai Makhluk Individu dan Makhluk Sosial ............ 4
B. Kegiatan Pembelajaran ke 2 : Dilema Antara Kepentingan Individu dan Kepentingan Sosial .. 11
C. Kegiatan Pembelajaran ke 3 : Hubungan Manusia dengan Alam ............................................. 14
D. Kegiatan Pembelajaran ke 4 : Lingkungan: Alam Dan Kesadaran ........................................... 24
E. Kegiatan Pembelajaran ke 5 : Struktur Sosial ......................................................................... 30
F. Kegiatan Pembelajaran ke 6 : Keunikan Evolusi Manusia ....................................................... 34
G. Kegiatan Pembelajaran ke 7 : Kelompok Etnik dan Ras Manusia ........................................... 40
H. Kegiatan Pembelajaran ke 8 : Masyarakat, Kebudayaan dan Adaptasi Manusia ...................... 50
I. Kegiatan Pembelajaran ke 9 : Konsepsi Dinamis tentang Manusia dan Masyarakat................. 61
J. Kegiatan Pembelajaran ke 10 : Masyarakat dan individu ........................................................ 66
K. Kegiatan Pembelajaran ke 11 : Masyarakat Terdiri dari Perilaku Manusia .............................. 78
L. Kegiatan Pembelajaran ke 12 : Unsur-Unsur Mekanis di Dalam Individu yang Menegakkan
Sistem Sosial dan Melandasi Keseimbangannya........................................................................... 80
M. Kegiatan Pembelajaran ke 13-14 : Sejarah Sebagai Produk Manusia ....................................... 90
IV. PENUTUP ........................................................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................................

ii
I. IDENTITAS

a. Nama mata kuliah


LAKU MANUSIA DAN LINGKUNGAN SOSIAL
b. Kode mata kuliah
IKS630233
c. Jumlah sks
3 SKS
d. Nama dosen / team teaching
Sahran Saputra, S.Sos, M.Sos

1
II. PENDAHULUAN

A. Deskripsi Mata Kuliah

Pada matakuliah ini mahasiswa belajar tentang manusia sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial, dilema antara kepentingan individu dan kepentingan sosial, hubungan
manusia denga alam, memahami lingkungan sebagai alam dan kesadaran, struktur sosial,
evolusi manusia, kelompok etnik dan ras manusia, memahami masyarakat, kebudayaan dan
adaptasi manusia, konsepsi dinamis tentang manusia dan masyarakat, keterkaitan masyarakat
dan individu, prilaku manusia, memahami unsur-unsur mekanis di dalam individu yang
menegakkan sistem sosial dan melandasi keseimbangannya, dan memahami sejarah sebagai
produk manusia. Metode pembelajaran yang digunakan antara lain berpikir kritis, inquiry,
small group discussion, cooperative learning, mind mapping, problem based learning, dan
studi kasus. Evaluasi mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

B. Capaian Pembelajaran Mata Kuliah

Mahasiswa mampu memahami perbedaan dasar antara manusia sebagai makhluk individu
dan manusia sebagai makhluk sosial, dilema antara kepentingan individu dan kepentingan
sosial, hubungan manusia denga alam, memahami lingkungan sebagai alam dan
kesadaran, struktur sosial, evolusi manusia, kelompok etnik dan ras manusia, memahami
masyarakat, kebudayaan dan adaptasi manusia, konsepsi dinamis tentang manusia dan
masyarakat, keterkaitan masyarakat dan individu, prilaku manusia, memahami unsur-
unsur mekanis di dalam individu yang menegakkan sistem sosial dan melandasi
keseimbangannya, dan memahami sejarah sebagai produk manusia.

C. Sub Capaian Pembelajaran Mata Kuliah

1. Mahasiswa mampu memahami perbedaan dasar antara manusia sebagai makhluk individu
dan manusia sebagai makhluk sosial.
2. Mahasiswa mampu memahami realitas antara kepentingan individu dan kepentingan
sosial
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan terkait hubungan manusia dengan alam
dalam kehidupan
4. Mahasiswa mampu memahami keselarasan sosial yang diletakkan dalam dua lingkungan ;
alam dan kesadaran.

2
5. Mahasiswa mampu memahami karakteristik dari struktur sosial dalam sistem sosial
masyarakat manusia.
6. Mahasiswa mampu memahami karakteristik dari proses evolusi masyarakat manusia.
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pandangan tentang kelompok etnik dan
ras manusia.
8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pandangan tentang konsep dasar
masyarakt, kebudayaan dan adaptasi manusia.
9. Mahasiswa mampu memahami konsepsi dinamis tentang manusia dan masyarakat.
10. Mahasiswa mampu memahami keterkaitan antara masyarakat dan individu.
11. Mahasiswa mampu memahami, menganalisis, dan mengkritisi prilaku-prilaku individu
manusia yang ada di masyarakat.
12. Mahasiswa mampu memahami, menganalisis, dan unsur-unsur mekanis di dalam individu
yang menegakkan sistem sosial dan melandasi keseimbangannya.
13. Serta mahasiswa mampu memahami bagian dari perubahan sosial, termasuk transformasi
historis berskala luas sebagai prestasi aktor manusia dan hasil tindakan mereka.

3
III. PEMBELAJARAN

A. Kegiatan Pembelajaran ke 1 : Manusia sebagai Makhluk Individu dan Makhluk


Sosial

1) Tujuan Materi Pembelajaran

Agar mahasiswa mampu memahami perbedaan dasar antara manusia sebagai makhluk
individu dan manusia sebagai makhluk sosial

2) Materi Pembelajaran

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk individu, manusia merupakan bagian dan unit
terkecil dari kehidupan sosial, namun manusia juga sebagai makhluk sosial yang
membentuk suatu kehidupan masyarakat. Masyarakat merupakan kumpulan dari berbagai
individu yang hidup di alam dan lingkungan.

a) Manusia sebagai Makhluk Individu

Kata "individu" berasal dari kata latin, yaitu individuum, berarti "yang tak terbagi".
Dalam bahasa Inggris individu berasal dari kata in dan divided. Kata in salah satunya
mengandung pengertian tidak, sedangkan divided artinya terbagi. Jadi, individu artinya
tidak terbagi, atau suatu kesatuan (Elly, 2006).

Dalam ilmu sosial, paham individu menyangkut tabiatnya dengan kehidupan jiwanya
yang majemuk, memegang peranan dalam pergaulan hidup manusia. Dalam ilmu
sosial, individu menekankan penyelidikan pada kenyataan-kenyataan hidup istimewa,
yang tak seberapa memengaruhi kehidupan manusia (Soelaeman, 2011).

Individu bukan berarti manusia sebagai suatu keseluruhan yang tak dapat dibagi,
melainkan sebagai kesatuan yang terbatas, yaitu sebagai manusia perseorangan.
Dengan demikian, sering digunakan sebutan “orang-seorang" atau “manusia
perseorangan". Orang-orang di sekitar kita adalah makhluk-makhluk yang kadang
berdiri sendiri, kadang dalam hal lain bersama-sama satu sama lain, tetapi banyak
perbedaannya. Sejenis tapi tak sama, makin tua semakin maju dan semakin banyak
pula perbedaannya. Pada setiap anggota suatu bangsa yang bermacam-macam tingkat
peradabannya, terjadi diferensiasi dengan corak sifat dan tabiat beraneka macam
(Soelaeman, 2011).

4
Timbulnya diferensiasi bukan hanya pembawaan, tetapi melalui kaitan dengan dunia
yang telah mempunyai sejarah dengan peradabannya. Hal ini memberikan keuntungan
rohani bagi individu, seperti bahasa, agama, adat istiadat, dan kebiasaan, paham-paham
hukum, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Semuanya telah ditata dan dipakai oleh
generasi sebelumnya. Namun, betapapun besarnya pengaruh lingkungan sosial
terhadap individu, manusia tetap mempunyai watak dan sifat tertentu, yang aktif di
tengah-tengah sesama manusia lainnya. Sadar akan "aku"-nya dan insaf, serta
mengumpulkan kekuatan rohani untuk bertindak sendiri. Bahkan individu yang
mempunyai aktivitas sadar lebih dari ukuran rata-rata kebanyakan orang disebut orang
yang mempunyai kepribadian istimewa (Soelaeman, 2011).

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa individu adalah seorang manusia yang
tidak hanya memiliki peranan khas di dalam lingkungan sosialnya, melainkan juga
mempunyai kepribadian serta pola tingkah laku spesifik dirinya. Persepsi terhadap
individu atau hasil pengamatan manusia dengan segala maknanya merupakan suatu
keutuhan ciptaan Tuhan yang mempunyai tiga aspek melekat pada dirinya, yaitu aspek
jasmaniah, aspek psikis-rohaniah, dan aspek sosial kebersamaan. Ketiga aspek tersebut
saling memengaruhi, keguncangan pada satu aspek akan membawa akibat pada aspek
Iainnya.

Makna manusia menjadi individu apabila pola tingkah lakunya hampir identik dengan
tingkah laku massa yang bersangkutan. Proses yang meningkatkan ciri-ciri
individualitas pada seseorang sampai ia adalah dirinya sendiri, disebut proses
individualisasi atau aktualisasi diri. Individu dibebani berbagai peranan yang berasal
dari kondisi kebersamaan hidup, maka muncul struktur masyarakat yang akan
menentukan kemantapan masyarakat. Konflik mungkin terjadi karena pola tingkah
laku spesifik dirinya bercorak bertentangan dengan peranan yang dituntut oleh
masyarakat dari dirinya (Soelaeman, 2011).

Individu dalam bertingkah laku menurut pola pribadinya, ada tiga kemungkinan, yaitu
menyimpang dari norma kolektif, kehilangan individualitasnya atau takluk terhadap
kolektif, dan memengaruhi masyarakat seperti adanya tokoh pahlawan atau pengacau.
Mencari titik optimum antara dua pola tingkah laku (sebagai individu dan sebagai
anggota masyarakat) dalam situasi yang senantiasa berubah, memberi konotasi

5
"matang” atau "dewasa" dalam konteks sosial. Sebutan "baik” atau “tidak baik"
pengaruh individu terhadap masyarakat adalah relatif.

Selain itu, manusia sebagai makhluk individu memiliki keunikan atau ciri khas
masing-masing, tidak ada manusia yang persis sama meskipun terlahir kembar. Secara
fisik mungkin manusia akan memiliki banyak persamaan, tetapi secara psikologis akan
banyak menunjukkan perbedaan. Ciri khas dan perbedaan tersebut sering disebut
dengan kepribadian. Kepribadian seseorang akan sangat dipengaruhi oleh faktor
bawaan dan lingkungannya.

Menurut Nursid Sumaatmadja (Effendi, 2010), kepribadian adalah keseturuhan


perilaku individu yang merupakan hasil interaksi antara potensi-potensi bio-psiko-
fisikal (fisik dan psikis) yang terbawa sejak lahir dengan rangkaian situasi lingkungan,
yang terungkap pada tindakan dan perbuatan serta reaksi mental psikologisnya jika
mendapat rangsangan dari lingkungan. Dia menyimpulkan bahwa faktor lingkungan
(fenotipe) ikut berperan dalam pembentukan karakteristik yang khas dari seseorang.
Secara normal, setiap manusia memiliki potensi dasar mental yang berkembang dan
dapat dikembangkan yang meliputi:

1) minat (sense of interest),


2) dorongan ingin tahu (sense of curiousity),
3) dorongan ingin membuktikan kenyataan (sense of reality),
4) dorongan ingin menyelidiki (sense of inquiry), dan
5) dorongan ingin menemukan sendiri (sense of discovery).

Potensi ini berkembang jika adanya rangsangan, wadah dan suasana kondusif. Jika
fenomena sosial di lingkungannya telah tumbuh potensi-potensi mental yang
normalnya akan terus berkembang.

Berawal dari potensi-potensi tersebut, manusia sebagai makhluk individu ingin


memenuhi kebutuhan dan kehendaknya masing-masing, ingin merealisasikan dan
mengaktualisasikan dirinya. Dalam arti ia memiliki kemampuan untuk
mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Setiap individu akan berusaha
semaksimal mungkin untuk menemukan jati dirinya yang berbeda dengan yang
lainnya, tidak ada manusia yang betul-betul ingin menjadi orang Iain, dia tetap ingin
menjadi dirinya sendiri sehingga dia selalu sadar akan keindividualitasannya.

6
Menurut Zanti Arbi dan Syahrun (Sadulloh, 2003), setiap orang bertanggung jawab
atas dirinya, atas pikiran, perasaan, pilihan, dan perilakunya. Orang yang betul-betul
manusia adalah orang yang bertanggung jawab penuh. Tidak ada orang Iain yang
mengambil alih tanggung jawab dalam hidupnya. Kata hatinya adalah kata hatinya
sendiri.

Satu hal yang harus difahami bahwa anak memiliki potensi untuk berkembang ingin
menjadi pribadinya sendiri. Anak dalam perkembangannya akan memperoleh
pengaruh dari luar, baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja, tetapi anak akan
mengambil jarak terhadap pengaruh-pengaruh tersebut. Dia akan memilihnya sendiri.
Pengaruh tersebut akan dia olah secara pribadi sehingga apa yang dia terima akan
merupakan bagian dari dirinya sendiri sehingga anak menjadi pribadi individu yang
berbeda dan tidak sama dengan yang Iainnya.

Selain itu, pendidik harus sadar bahwa anak bukan satu-satunya manusia yang berhak
untuk mendidik anak tersebut. Pendidikan tidak boleh memaksa anak untuk mengikuti
atau menuruti segala kehendaknya karena dalam diri anak ada suatu prinsip
pembentukan dan pengembangan yang ditentukan oleh dirinya sendiri.

b) Manusia sebagai Makhluk Sosial

Menurut kodratnya manusia selain sebagai makhluk individu, mereka juga merupakan
makhluk sosial. Adapun yang dimaksud istilah "sosial" berasal dari akar kata bahasa
Latin "socius", yang artinya berkawan atau masyarakat. Sosial memiliki arti umum,
yaitu kemasyarakatan dan dalam arti sempit mendahulukan kepentingan bersama atau
masyarakat. Adapun dalam hal ini yang dimaksud manusia sebagai makhluk sosial
adalah makhluk yang hidup bermasyarakat, dan pada dasarnya setiap hidup individu
tidak dapat lepas dari manusia Iain.

Manusia adalah "makhluk sosial". Ayat kedua dari wahyu pertama yang diterima Nabi
Muhammad, dapat dipahami sebagai salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut.
Khalaqal insana min 'alaq bukan saja diartikan sebagai "menciptakan manusia dari
segumpal darah" atau "sesuatu yang berdempet di dinding rahim", tetapi juga dapat
dipahami sebagai "diciptakan dinding dalam keadaan selalu bergantung pada pihak
Iain atau tidak dapat hidup sendiri." Ayat lain dalam konteks ini adalah surah Al-
Hujurat ayat 13. Dalam ayat tersebut secara tegas dinyatakan bahwa manusia
diciptakan terdiri dari lelaki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar

7
mereka saling mengenal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa menurut Al-Quran,
manusia secara fitrah adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat merupakan satu
keniscayaan bagi mereka (Shihab, 2007).

Selama manusia hidup, ia tidak akan terlepas dari pengaruh masyarakat, di rumah, di
sekolah, dan di lingkungan yang lebih besar manusia tidak lepas dari pengaruh orang
Iain. Oleh karena itu, manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang
di dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia Iain (Elly, 2006).

Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon), artinya manusia sebagai individu
tidak akan mampu hidup sendiri dan berkembang sempurna tanpa hidup bersama
dengan individu manusia Iainnya (Sudibyo, 2013). Manusia sebagai makhluk sosial
membutuhkan interaksi dengan sesamanya untuk berbagi rasa, bertukar pikiran dan
kehendak, baik secara langsung maupun tidak langsung, verbal maupun nonverbal. Hal
ini secara alami tertanam dalam diri setiap individu, dan secara alami pula dilakukan
sejak Iahir. Dengan berkomunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain
baik secara individu maupun kelompok dalam kehidupan sehari-hari. Hakikat
komunikasi adalah proses pernyataan antarmanusia (Effendy, 2002).

Di dalam konteks sosial, manusia sering disebut masyarakat, setiap orang akan
mengenal orang lain. Oleh karena itu, perilaku manusia selalu terkait dengan orang
lain, ia melakukan sesuatu dipengaruhi faktor dari luar dirinya, seperti tunduk pada
aturan, tunduk pada norma masyarakat, dan keinginan mendapat respons positif dari
orang lain.

Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial karena pada diri manusia ada dorongan
untuk berhubungan (berinteraksi) dengan orang lain. Ada kebutuhan sosial untuk hidup
berkelompok dengan orang lain. Kebutuhan untuk berteman dengan orang lain, sering
kali didasari atas kesamaan ciri atau kepentingannya masing-masing. Misalnya, orang
kaya cenderung berteman lagi dengan orang kaya. Orang yang berprofesi sebagai artis,
cenderung untuk mencari teman sesama artis lagi. Dengan demikian, akan terbentuk
kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang didasari oleh kesamaan ciri atau
kepentingan.

Pada umumnya di tengah-tengah masyarakat pasti akan muncul suatu masalah atau
gejala sosial. Masalah sosial merupakan realitas sosial yang kompleks sehingga
sumber masalahnya juga bersifat kompleks. Masalah sosial terjadi karena ada sesuatu

8
yang "salah" dalam kehidupan sosial. Dengan demikian, mendiagnosis masalah sosial
berarti mencari apa dan siapa yang dianggap "bersalah" dalam realitas kehidupan
sosial tersebut (Soetono, 2011: 3).

Oleh sebab itu, sumber penyebab masalah dapat berasal dari level individu maupun
sistem. Guna penanganan masalah sosial yang lebih komprehensif, kedua pendekatan
tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dalam mendiagnosis masalah. Apabila
sumber masalahnya berasal pada level sistem, maka pemecahan masalahnya tidak akan
efektif jika hanya merupakan penanganan pada individu penyandang masalah.

Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup
bersama dengan manusia Iainnya. Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan
selalu menampakkan dirinya dalam berbagai bentuk sehingga dengan sendirinya
manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya.

Seperti kita ketahui bahwa sejak bayi lahir sampai usia tertentu manusia adalah
makhluk yang tidak berdaya, tanpa bantuan orang-orang di sekitar ia tidak dapat
berbuat apa-apa dan untuk segala kebutuhan hidup bayi sangat bergantung pada luar
dirinya seperti orang tuanya khususnya ibunya. Bagi si bayi keluarga merupakan
segitiga abadi yang menjadi kelompok sosial pertama dikenalnya.

Pada perjalanan hidup yang selanjutnya keluarga akan tetap menjadi kelompok
pertama tempat meletakkan dasar kepribadian dan proses pendewasaan yang di
dalamnya selalu terjadi "sosialisasi" untuk menjadi manusia yang mengetahui
pengetahuan dasar, nilai-nilai, norma sosial, dan etika-etika pergaulan.

Manusia dapat dikatakan makhluk sosial karena pada dirinya terdapat dorongan untuk
berhubungan atau berinteraksi dengan orang Iain, di mana terdapat kebutuhan untuk
berteman dengan orang Iain yang sering didasari atas kesamaan Ciri atau kepentingan
masing-masing. Manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup
di tengah-tengah manusia. Tanpa bantuan manusia Iainnya, manusia tidak mungkin
bisa berjalan dengan tegak.

Dengan bantuan orang Iain, manusia bisa menggunakan tangan, bisa berkomunikasi
atau bicara, dan bisa mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya. Makhluk
sosial adalah makhluk yang terdapat dalam beragam aktivitas dan lingkungan sosial.

9
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial,
karena beberapa alasan seperti berikut ini:

1) Manusia tunduk pada aturan, norma sosial.


2) Perilaku manusia mengharapkan suatu penilaian dari orang lain.
3) Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain.
4) Potensi manusia akan berkembang bila ia hidup di tengah-tengah manusia
(Effendi, 2010).

Perbedaan manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dapat dibedakan
sebagaimana pada tabel berikut ini :

Tabel 1.1 Perbedaan manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial

No Makhluk Individu Makhluk Sosial

1 Timbul dengan sendirinya Terdapat unsur jasmani dan rohani, unsur fisik
dan psikis, unsur raga dan jiwa. Ada dorongan
dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi)
dengan orang lain, menyatukan antara diri
pribadi dengan lingkungannya

2 Berorientasi pada kebebasan Memerlukan sesamanya untuk bekerja sama


diri sendiri dalam hidupnya, manusia memerlukan
sesamanya untuk berbagi

3 Memiliki keunikan dan Ciri Menyatukan beberapa keunikan menuju suatu


khas tersendiri setiap individu kecocokan dalam bersosial

4 Tidak berbagi Cenderung berbagi dan mengikuti masyarakat

5 Diri sendiri yang akan Berlaku aturan, nilai-nilai, dan norma yang
memimpin ke mana ia harus mengikat
berlaku

3) Tugas / Latihan
Diberikan tugas menyusun resume tentang perbedaan manusia sebagai makhluk individu
dan makhluk sosial.

10
B. Kegiatan Pembelajaran ke 2 : Dilema Antara Kepentingan Individu dan
Kepentingan Sosial

1) Tujuan Materi Pembelajaran

Agar mahasiswa mampu memahami realitas antara kepentingan individu dan kepentingan
sosial.

2) Materi Pembelajaran

Manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial selalu terdiri dari dua
kepentingan, yaitu kepentingan individu yang termasuk kepentingan keluarga, kelompok,
atau golongan dan kepentingan masyarakat yang termasuk kepentingan rakyat. Dalam diri
manusia, kedua kepentingan itu satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Apabila salah satu
kepentingan tersebut hilang dari diri manusia, akan terdapat satu manusia yang tidak bisa
membedakan suatu kepentingan, jika kepentingan individu yang hilang dia menjadi lupa
pada keluarganya, jika kepentingan masyarakat yang dihilangkan dari diri manusia
banyak timbul masalah kemasyarakatan contohnya korupsi. Inilah yang menyebabkan
kebingungan atau dilema manusia jika mereka tidak bisa membagi kepentingan individu
dan kepentingan masyarakat. Persoalan pengutamaan kepentingan individu atau
masyarakat ini memunculkan dua pandangan yang berkembang menjadi paham/aliran
bahkan ideologi yang dipegang oleh suatu kelompok masyarakat. Adapun Ariska
mengemukakan dua pandangan, yaitu pandangan individualisme dan pandangan
sosialisme.

a) Pandangan Individualisme

Individualisme berpangkal dari konsep bahwa manusia pada hakikatnya adalah


makhluk individu yang bebas. Paham ini memandang manusia sebagai makhluk
pribadi yang utuh dan lengkap terlepas dari manusia yang lain. Pandangan
individualisme berpendapat bahwa kepentingan individulah yang harus diutamakan.
Yang menjadi sentral individualisme adalah kebebasan seorang individu untuk
merealisasikan dirinya. Paham individualisme menghasilkan ideologi liberalisme.
Paham ini bisa disebut juga ideologi individualisme liberal.

Paham individualisme liberal muncul di Eropa Barat (bersama paham sosialisme) pada
abad ke-18-19, yang dipelopori oleh Jeremy Betham, John Stuart Mili, Thomas

11
Hobben, John Locke, Rousseau, dan Montesquieu. Beberapa prinsip yang
dikembangkan ideologi liberalisme adalah sebagai berikut :

1) Penjaminan hak milik perorangan. Menurut paham ini, pemilikan sepenuhnya


berada pada pribadi dan tidak berlaku hak milik berfungsi sosial, mementingkan
diri sendiri atau kepentingan individü yang bersangkutan.
2) Pemberian kebebasan penuh pada individu. Persaingan bebas untuk mencapai
kepentingannya masing-masing. Kebebasan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
diri bisa menimbulkan persaingan dan dinamika kebebasan antarindividu.
Menurut paham liberalisme, kebebasan antarindividu tersebut bisa diatur melalui
penerapan hukum. Jadi, negara yang menjamin keadilan dan kepastian hükum
mutlak diperlukan dalam rangka mengelola kebebasan agar tetap menciptakan
tertibnya penyelenggaraan hidup bersama.
b) Pandangan Sosialisme

Paham sosialisme ditokohi oleh Robert Owen dari Inggris (1771-1858). Lousi Blanc,
dan Proudhon. Pandangan ini menyatakan bahwa kepentingan masyarakatlah yang
diutamakan. Kedudukan individü hanyalah objek dari masyarakat. Menurut pandangan
sosialis, hak-hak individü sebagai hak dasar hilang. Hak-hak individü timbul karena
keanggotaannya dalam suatu komunitas atau kelompok.

Sosialisme adalah paham yang mengharapkan terbentuknya masyarakat yang adil,


selaras, bebas, dan sejahtera, bebas dari penguasaan individü atas hak milik dan alat-
alat prodüksi. Sosialisme muncul dengan maksud kepentingan masyarakat secara
keseluruhan terutama yang tersisih oleh sistem liberalisme, mendapat keadilan,
kebebasan, dan kesejahteraan. Untuk meraih hal tersebut, sosialisme berpandangan
bahwa hak-hak individü harus diletakkan dalam kerangka kepentingan masyarakat
yang lebih luas. Dalam sosialisme yang radikal/ekstrem (Marxisme/komunisme) cara
untuk meraih hal itü adalah dengan menghilangkan hak pemilikan dan penguasaan
alat-alat prodüksi oleh perorangan. Paham Marxisme/ komunisme dipelopori oleh Karl
Marx (1818-1883).

Paham individualisme liberal dan sosialisme saling bertolak belakang dalam


memandang hakikat manusia. Dalam Declaration of Independent Amerika Serikat
1776, orientasinya lebih ditekankan pada hakikat manusia sebagai makhluk individü
yang bebas merdeka, manusia adalah pribadi Yang memiliki harkat dan martabat yang

12
luhur, sedangkan dalam Manifesto Komunisme Karl Marx dan Engels, orientasinya
sangat menekankan pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial semata. Menurut
paham ini manusia sebagai makhluk pribadi yang tidak dihargai. Pribadi dikorbankan
untuk kepentingan negara.

Dari kedua paham tersebut terdapat kelemahannya masing-masing. Individualisme


liberal dapat menimbulkan ketidakadilan, berbagai bentuk tindakan tidak manusiawi,
imperialisme, dan kolonialisme. Liberalisme mungkin membawa manfaat bagi
kehidupan politik, tetapi tidak dalam lapangan ekonomi dan sosial. Sosialisme dalam
bentuk yang ekstrem, tidak menghargai manusia sebagai pribadi sehingga bisa
merendahkan sisi kemanusiaan. Dalam negara komunis mungkin terjadi kemakmuran,
tetapi kepuasan rohani manusia belum tentu terjamin.

Negara Indonesia berfalsafahkan Pancasila, hakikat manusia dipandang memiliki sifat


pribadi sekaligus sosial secara seimbang. Menurut filsafat Pancasila, manusia adalah
makhluk individu sekaligus makhluk sosial, yang secara hakikat bahwa kedudukan
manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Bangsa Indonesia
memiliki prinsip penempatan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan
golongan. Namun, demi kepentingan bersama tidak harus dengan mengorbankan hak-
hak dasar setiap warga negara.

c) Peranan Manusia sebagai Makhluk Individu dan Sosial

Sebagai makhluk hidup yang berada di muka bumi ini keberadaan manusia adalah
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, dalam arti manusia senantiasa
bergantung dan atau berinteraksi dengan sesamanya. Dengan demikian, maka dalam
kehidupan lingkungan sosial manusia senantiasa terkait dengan interaksi antara
individu manusia, interaksi antarkelompok, kehidupan sosial manusia dengan
lingkungan hidup dan alam sekitarnya, berbagai proses sosial dan interaksi sosial, dan
berbagai hal yang timbul akibat aktivitas manusia seperti perubahan sosial.

Secara sosial sebenarnya manusia merupakan makhluk individu dan sosial yang
mempunyai kesempatan yang sama dalam berbagai hidup dan kehidupan dalam
masyarakat. Artinya, setiap individu manusia memiliki hak, kewajiban, dan
kesempatan yang sama dalam menguasai sesuatu, misalnya bersekolah, melakukan
pekerjaan, bertanggung jawab dalam keluarga, serta berbagai aktivitas ekonomi,
politik, dan bahkan beragama. Meskipun demikian, kenyataannya setiap individu tidak

13
dapat menguasai atau mempunyai kesempatan yang sama. Akibatnya, masing-masing
individu mempunyai peran dan kedudukan yang tidak sama atau berbeda. Banyak
faktor yang menyebabkan itu bisa terjadi, misalnya kondisi ekonomi (ada si miskin dan
si kaya), sosial (warga biasa dengan Kepala daerah, dan Iain-lain), politik (aktivis
partai dengan rakyat biasa), budaya (jago tari daerah dengan tidak) bahkan individu
atau sekelompok manusia itu sendiri. Dengan kata Iain, stratifikasi sosial mulai muncul
dan tampak dalam kehidupan masyarakat tersebut..

3) Tugas / Latihan

Diberikan tugas menyusun resume tentang realitas antara kepentingan individu dan
kepentingan sosial.

C. Kegiatan Pembelajaran ke 3 : Hubungan Manusia dengan Alam

1) Tujuan Materi Pembelajaran

Agar mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan terkait hubungan manusia dengan
alam dalam kehidupan.

2) Materi Pembelajaran

Secara ekologis, manusia pada hakikatnya merupakan makhluk lingkungan (homo


ekologis), artinya dalam melaksanakan fungsi dan posisinya sebagai salah satu sub dari
ekosistem, manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan untuk selalu mencoba
dan mengerti akan lingkungannya. Kecenderungan seperti ini akan menjadi salah satu ciri
utama manusia sebagai makhluk berakal sehat.

Meskipun secara naluri memiliki potensi kepedulian ekologis, pada tingkat aktualitasnya,
kepedulian ekologis manusia justru dikuasai oleh akalnya sehingga pengembangan
potensi ekologis pada dirinya tersebut memiliki kementakan, probability untuk bervariasi.
Secara faktual perilaku ekologis manusia bukan bersifat eksklusif melainkan bersifat
universal. Maksudnya, perilaku ekologis bukan milik masyarakat tertentu melainkan
milik manusia. Hanya saja kadarnya berbeda-beda pada setiap komunitas (kelompok).
Pada komunitas masyarakat yang belum maju, baik sains dan teknologinya, serta
perindustriannya, tampak lebih kuat perilaku ekologis dan kearifan lingkungannya

14
sehingga mereka dikatakan sebagai masyarakat berimbang, equilibrium society,
dibandingkan dengan komunitas masyarakat maju (industrialized). Pada komunitas maju,
sifat kontraekologis dan ketidakarifan lingkungan jauh lebih terlihat sehingga menjadi
masyarakat yang kurang (tidak) seimbang.

"Problem lingkungan yang sudah setua umur dunia memang sangat kompleks, tetapi jika
diteliti secara saksama sebenarnya bersumber pada 5 aspek, yaitu aspek dinamika
kependudukan; pengembangan sumber daya alam dan energi; pertumbuhan ekonomi;
perkembangan science dan teknologi; benturan terhadap lingkungan. Kelima persoalan
tersebut saling kait satu dengan Iainnya sehingga menjadi problem serius." (M.T.Zen,
1980).

Manusia bertindak sosial dengan cara memanfaatkan alam dan lingkungan untuk
menyempurnakan serta meningkatkan kesejahteraan hidupnya demi kelangsungan hidup
sejenisnya. Manusia mempunyai pengaruh penting dalam kelangsungan ekosistem habitat
manusia itu sendiri, tindakan-tindakan yang diambil atau kebijakan-kebijakan tentang
hubungan dengan lingkungan akan berpengaruh bagi lingkungan dan manusia itu sendiri.
Kemampuan kita untuk menyadari hal tersebut akan menentukan bagaimana hubungan
kita sebagai manusia dengan lingkungan kita. Hal ini memerlukan pembiasaan diri yang
dapat membuat kita menyadari hubungan manusia dengan lingkungannya.

Secara bahasa manusia berasal dari kata "manu" yang merupakan bahasa sansekerta dan
mens adalah bahasa latinnya, yang berarti berpikir. Namun, secara istilah manusia dapat
diartikan sebagai sebuah konsep, fakta, gagasan, ataupun realitas. Dalam hubungan
dengan lingkungannya manusia merupakan suatu organisme hidup. Terbentuknya pribadi
seseorang dipengaruhi oleh lingkungannya. Oleh karena itu, lingkungan mempunyai
pengaruh besar terhadap manusia itu sendiri.

a) Lingkungan alam yang berfungsi sebagai sumber daya alam.


b) Lingkungan manusia yang berfungsi sebagai sumber daya manusia itu sendiri.
c) Lingkungan buatan yang berfungsi sebagai sumber daya buatan.

Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan segala fungsi dan potensinya yang
tunduk pada aturan hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan dan
mati, dan seterusnya, serta terkait serta berinteraksi dengan alam dan lingkungannya
dalam sebuah hubungan timbal balik itu positif maupun negatif.

15
Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT.
Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan
tugas mereka sebagai khalifah di muka bumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia
berasal dari tanah dengan mempergunakan bermacam-macam istilah, seperti Turab,
Thien, Shal-shal, dan Sualalah.

Manusia sebagai makhluk hidup membutuhkan lingkungan abiotik dan lingkungan biotik.
Selain kebutuhan pokok primer dan sekunder manusia, yaitu makan, minum, dan tempat
tinggal, manusia juga membutuhkan sosialisasi.

Manusia mempunyai kelebihan dari makhluk hidup yang Iain, yaitu dalam perkara
(noosfir/akal). Oleh karena itu, dalam pemanfaatan sumber alam, manusia dapat
mengelolanya secara lebih efisien dan efektif dibandingkan makhluk hidup yang Iain.

Dengan adanya saling ketergantungan di antara manusia di dalam memanfaatkan dan


mengelola sumber alam, maka terjadi kehidupan berkelompok sesuai dengan pembagian
kerja dan aktivitas kerja sama kesatuan hidup manusia yang ditandai dengan hidup yang
berkelompok menimbulkan keterikatan manusia pada norma-norma, aturan-aturan, dan
adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu, sehingga membentuk masyarakat.

Tidak bisa disangkal bahwa walaupun manusia hanya merupakan salah satu bagian dari
keseluruhan ekosistem, manusia merupakan satu-satunya makhluk yang paling dinamis.
Manusia memiliki otak yang lebih besar, kehendak bebas, dan memiliki perasaan.
Kualitas-kualitas iłu membuat manusia lebih adaptabel dibandingkan dengan makhluk
lainnya, terutama dengan makhluk primata nonmanusia. Manusia dengan demikian tidak
hanya dideterminasi oleh lingkungannya, tetapi juga dapat merekayasa lingkungannya
sesuai dengan kehendaknya sehingga manusia memiliki pengaruh yang begitu besar
terhadap ekosistem baik secara positif maupun negatif.

Manusia di dalam aktivitasnya tidak mempedulikan keseimbangan dan keserasian


lingkungan. Manusia selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya,
dengan tidak mempertimbangkan bahwa aktivitas yang berlebihan dalam mengeksploitasi
lingkungan guna memenuhi kebutuhan dan keinginannya, akan melampaui kemampuan
lingkungan dalam mendukung perikehidupan. Aktivitas berupa eksploitasi yang
berlebihan, itulah yang menyebabkan terganggunya keseimbangan dan keserasian
lingkungan (Harun M. Husein,1993: 19).

16
Manusia mendapatkan unsur-unsur yang diperlukan dalam hidupnya dari lingkungan.
Makin tinggi budaya makin beragam kebutuhan hidupnya. Makin besar kebutuhannya
yang diambil dari lingkungan, maka berarti makin besar perhatian manusia terhadap
lingkungan. Perhatian dan pengaruh manusia terhadap lingkungan makin meningkat pada
zaman teknologi maju. Masa ini manusia mengubah lingkungan hidup alami menjadi
lingkungan hidup binaan. Eksploitasi sumber daya alam makin meningkat untuk
memenuhi kebutuhan dasar industri. Sebaliknya hasil sampingan dari industri seperti asap
dan limbah mulai menurunkan kualitas lingkungan hidup. Manusia merupakan komponen
biotik lingkungan yang memiliki daya pikir dan daya nalar tertinggi dibandingkan
makhluk lainnya. Di sini terlihat jelas bahwa manusia merupakan komponen biotik
lingkungan yang aktif. Hal ini disebabkan oleh manusia dapat secara aktif mengelola dan
mengubah ekosistem sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Kegiatan manusia ini dapat
menimbulkan bermacam-macam gejala.

a) Peran manusia yang bersifat negatif adalah sebagai berikut:


1) berkurangnya sumber daya alam karena eksploitasi terus-menerus;
2) berubahnya profil permukaan bumi yang dapat menganggu kestabilan tanah;
3) punahnya jumlah spesies tertentu yang merupakan sumber plasma nutfah.
b) Peran manusia yang bersifat positif :
1) melakukan eksploitasi sumber daya alam secara tetap;
2) mengadakan penghijauan dan reboisasi;
3) melakukan proses daur ulang serta pengolahan limbah

Pembangunan berkelanjutan yang selama ini didefinisikan, sifatnya sangat antroposentris.


Hal ini dapat dimengerti karena pembangunan merupakan konsep manusia, yaitu dari
manusia untuk manusia. Karena pembangunan memerlukan sumber daya alam, definisi
tersebut secara implisit mengandung arti bahwa sumber daya alam itu adalah untuk
memenuhi kebutuhan manusia, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan
datang.

Berdasarkan konsep di atas, secara lebih luas dapat juga dikatakan, bahwa alam
diciptakan untuk manusia. Oleh karena itu, manusia berdiri di atas alam yang merupakan
ekosistem biogeofisik. Arus energi, materi, dan informasi dari sistem sosial ke ekosistem
biogeofisik merupakan sasaran untuk eksploitasi biogeofisik dengan tujuan
memaksimalkan arus energi, materi, dan informasi ke sistem sosial. Arus yang terakhir

17
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Terutama kebutuhan hidup untuk
kehidupan manusiawi yang memberi keuntungan ekonomi dan status sosial. Karena
manusia merasa berdiri di luar ekosistem, ia tidak peduli akan terjadinya kerusakan
ekosistem itu. Kerusakan itu dianggapnya tidak akan memengaruhi dirinya.

Sikap ini berbeda dengan sikap tradisional yang masih banyak dianut oleh masyarakat di
negara sedang berkembang. Menurut mereka, sistem biogeofisik merupakan sumber daya
bagi manusia, tetapi manusia merasa ada hubungan fungsional antara dirinya menjadi satu
kesatuan ekosistem dengan biogeofisik tersebut yang membentuk ekosistem sosio-
biogeofisik. Karena manusia adalah bagian dari ekosistem itu, kerusakan pada ekosistem
akan memengaruhi kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, arus energi, materi, dan
informasi dari sistem sosial ke sistem biogeofisik, bukanlah hanya untuk mengeksploitasi
sistem biofisik, melainkan lebih ditujukan untuk menjaga keserasian antara sistem sosial
dan sistem biogeofisik sehingga keutuhan sistem sosial/biogeofisik dapat terpelihara.

Dari segi ekologi, manusia memang merupakan bagian ekosistem tempat hidupnya,
seperti halnya makhluk hidup lainnya, manusia merupakan bagian jaring-jaring
kehidupan dan juga salah satu komponen dalam daur materi. Manusia hidup dari
komponen lainnya dalam ekosistemnya, oksigen, air, tumbuhan, dan hewan. Sebaliknya
manusia juga menghidupi komponen hayati lainnya. Manusia merupakan makhluk bumi
yang hidupnya sangat bergantung pada makhluk lainnya, seperti tumbuhan dan hewan,
sedangkan tumbuhan dan hewan masih tetap dapat hidup tanpa ada manusia. Oleh karena
itu, manusia yang merasa dirinya sebagai makhluk terpenting dan paling berkuasa di
bumi, sebenarnya adalah yang paling lemah. Apabila tidak hati-hati dia dapat membuat
dirinya punah.

Manusia merupakan salah satu komponen biotik dalam suatu ekosistem yang mempunyai
peranan dan tanggung jawab dalam pengelolaan ekosistem. Sehingga ekosistem dapat
dilestarikan fungsinya demi kesejahteraan manusia, baik secara materiil maupun spiritual.

Manusia mampu menciptakan ekosistem baru, misalnya dengan mengubah padang pasir
yang tandus menjadi suatu perkebunan yang subur. Manusia juga mampu menghancurkan
ekosistem, misalnya dengan penyemprotan Obat antihama yang berlebihan sehingga
menyebabkan hewan-hewan turut terbasmi.

Manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang memiliki daya pikir dan penalaran
yang tinggi. Di samping itu, manusia memiliki budaya, pranata sosial dan pengetahuan

18
serta teknologi yang makin berkembang. Peranan manusia dalam lingkungan ada yang
bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Peranan manusia yang bersifat negatif
adalah peranan yang merugikan lingkungan. Kerugian ini secara langsung ataupun tidak
langsung timbul akibat kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, Peranan
manusia yang bersifat positif adalah peranan yang berakibat menguntungkan lingkungan
karena dapat menjaga dan melestarikan daya dukung lingkungan.

a) Peranan manusia yang bersifat negatif, antara lain sebagai berikut.


1) Eksploitasi yang melampaui batas sehingga persediaan sumber daya alam makin
menciut (depletion).
2) Punah atau merosotnya jumlah keanekaan jenis biota yang juga merupakan
sumber plasma nutfah.
3) Berubahnya ekosistem alami yang mantap dan seimbang menjadi ekosistem
binaan yang tidak mantap karena terus-menerus memerlukan subsidi energi.
4) Berubahnya profil permukaan bumi yang dapat mengganggu kestabilan tanah
hingga menimbulkan longsor.
5) Masuknya energi bahan atau senyawa tertentu ke dalam lingkungan yang
menimbulkan pencemaran air, udara, dan tanah. Hal ini berakibat menurunnya
kualitas lingkungan hidup. Pencemaran dapat menimbulkan dampak negatif pada
lingkungan dan terhadap manusia itü sendiri.
b) Peranan manusia yang menguntungkan lingkungan, antara lain sebagai berikut.
1) Melakukan eksploitasi sumber daya alam secara tepat dan bijaksana terutama
SDA yang tidak dapat diperbarui.
2) Mengadakan penghijauan dan reboisasi untuk menjaga kelestarian aneka jenis
flora serta untuk mencegah terjadinya erosi dan banjir.
3) Melakukan proses daur ulang serta pengolahan limbah agar kadar bahan pencemar
yang terbuang ke dalam lingkungan tidak melampaui nilai ambang batasnya.
4) Melakukan sistem pertanian secara tumpang sari atau multikultur untuk menjaga
kesuburan tanah. Untuk tanah pertanian yang miring dibuat sengkedan guna
mencegah derasnya erosi serta terhanyutnya lapisan tanah yang mengandung
humus.
5) Membuat peraturan, organisasi atau undang-undang untuk melindungi lingkungan
dan keanekaan jenis makhluk hidup.

19
Perilaku manusia terhadap lingkungan disebabkan oleh perilaku manusia dipengaruhi
oleh beberapa faktor dasar, pendukung, pendorong, dan persepsi, serta faktor lingkungan
baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Di antara faktor-faktor pengaruh adalah
faktor dasar, yang meliputi pandangan hidup, adat istiadat, kepercayaan dan kebiasaan
masyarakat. Faktor pendukung meliputi pendidikan, pekerjaan, budaya, dan strata sosial.
Sebagai faktor pendorong meliputi sentuhan media massa baik elektronik maupun
tertulis, penyuluhan, tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Sejauh mana penyerapan
informasi oleh seseorang bergantung pada dimensi kejiwaan dan persepsi terhadap
lingkungan, untuk selanjutnya akan direfleksikan pada tatanan perilakunya (Ritohardoyo,
2006: 51).

Pada dasarnya manusia sebagai anggota masyarakat sangat bergantung pada lahan dan
tempat tinggalnya. Di sini terdapat perbedaan antara lahan dan tempat tinggal. Lahan
merupakan lingkungan alamiah, sedangkan tempat tinggal adalah lingkungan buatan
(binaan). Lingkungan binaan dipengaruhi oleh daur pelaku dan sebaliknya.

Dalam pengelolaan lingkungan hidup kita juga membutuhkan moralitas yang berarti
kemampuan kita untuk dapat hidup bersama makhluk hidup yang lain dalam suatu tataran
yang saling membutuhkan, saling tergantung, saling berelasi, dan saling
memperkembangkan sehingga terjadi keutuhan dan kebersamaan hidup yang harmonis.
Refleksi moral akan menolong manusia untuk membentuk prinsip-prinsip yang dapat
mengembangkan relasi manusia dengan lingkungan hidupnya. Manusia harus menyadari
kebergantungannya pada struktur ekosistem untuk dapat mendukung kehidupannya itu
sendiri. Mateus Mali dalam Sunarso (2008) menyebutkan bahwa manusia harus dapat
beradaptasi dengan lingkungan hidup yang menjadi tempat ia hidup dan berkembang.

Manusia dan perilakunya merupakan bagian dari lingkungan hidup yang memengaruhi
kelangsungan dan kesejahteraan hidup manusia serta makhluk-makhluk lainnya,
sedangkan manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan sebuah ekosistem, yaitu
tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang
saling memengaruhi. Interaksi di antara sistem tersebut pada gilirannya akan berpengaruh
terhadap keseluruhan sistem tersebut.

Hubungan tersebut menurut Sumarwoto, pada awalnya tidak didasarkan pada kaitan
eksploitasi, tetapi lebih pada saling melengkapi. Apabila lingkungan hidup dapat
dikelompokkan ke dalam dua bagian besar, yakni sistem sosial budaya (kepadatan

20
biosfer) dan sistem biogeofisik (daya dukung biosfer), pada awalnya keseimbangan di
antara dua sistem tersebut terjaga karena manusia hanya memanfaatkan sistem
biogeofisik secukupnya sehingga tidak mengganggu hubungan tersebut.

Seberapa jauh hubungan antara sistem sosial budaya (kepadatan biosfer) dengan sistem
biogeofisik (daya dukung biosfer) dapat pula dilihat dari sikap manusia terhadap
lingkungannya. Triandis menyatakan bahwa sikap (attitude) merupakan suatu kesediaan
manusia di dalam bereaksi terhadap suatu objek.

Sikap tersebut terdiri atas 3 komponen, sebagai berikut :

a) Komponen kognitif merupakan pengetahuannya terhadap objek.


b) Komponen afeksi merupakan hubungan emosinya terhadap objek yang dapat dirasakan
sebagai sesuatu yang disukai atau tidak sehingga tumbuh perasaan positif maupun
negatif terhadap objek.
c) Komponen tingkah laku merupakan kecenderungannya untuk bertindak sesuai dengan
komponen kognitif dan komponen afeksi.

Dalam kaitannya dengan sikap tersebut, Suwandhini menyatakan bahwa faktor sosial
ekonomi dan pengetahuan lingkungan menentukan sikap seseorang karena apa yang
didengar dan dilakukan seseorang tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan dengan
orang-orang di lingkungannya.

Intinya bahwa status sosial ekonomi dan pengetahuan seseorang tentang lingkungan akan
memengaruhi sikap orang tersebut. Sikap tersebut pada gilirannya akan memengaruhi
tindakan manusia di dalam memanfaatkan sumber daya alam maupun sumber daya
manusia itu sendiri. Dalam hal ini bisa diinterpretasikan bahwa status sosial ekonomi dan
pengetahuan seseorang tentang lingkungan memengaruhi sikap seseorang di dalam
kepedulian lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan fisik.

Sebagaimana kita maklumi bahwa manusia dalam pengertian ekologi manusia merupakan
sosok yang memegang fungsi dan peranan penting dalam konteks lingkungan hidupnya.
Namun, perlu diingat pula bahwa manusia secara fisik merupakan makhluk yang lemah.
Perikehidupan dan kesejahteraannya sangat bergantung pada komponen lain. Artinya,
keberhasilan manusia dalam mengelola rumah tangganya dengan baik, ditentukan oleh
berhasilnya manusia dalam mengelola makhluk hidup lainnya secara keseluruhan dengan
baik pula.

21
Untuk memperkuat kelemahan manusia, ia diberi kelebihan akal atau alam pikiran
(noosfer). Dengan akal pikirannya manusia memiliki budaya serta dengan budayanya
(yang disebut extra somatic tool) manusia mampu menguasai dan mengalahkan makhluk
yang lebih besar dan menaklukkan alam yang dahsyat.

Masalahnya apabila noosfer dengan perilakunya digunakan untuk kepentingan


kesejahteraan diri dan makhluk hidup lainnya dan didukung oleh rasa tanggung jawab
terhadap kelestarian kemampuan daya dukung lingkungannya, maka sejahteralah manusia
dan makhluk hidup lainnya. Sebaliknya dengan noosfer (extra somatic tool) yang
dikembangkan manusia dalam mempermudah hidup dan memenuhi kebutuhan pokok
(primary biological needs) manusia dapat bersifat tamak, egois, serakah mengeksploitasi
sumber daya alam dengan semena-mena, tanpa pertimbangan dampak yang akan terjadi
kelak. Bahkan merasa dirinyalah yang paling memerlukan, dengan memanfaatkan sumber
daya alam itu yang pada gilirannya mereka terancam hidupnya dan makhluk hidup lain,
kini dan generasi mendatang.

Inti etika lingkungan hidup yang baru adalah sikap tanggung jawab terhadapnya (Franz
Magnis Suseno, 1993: 151). Tanggung jawab itu memiliki dua acuan. Pertama, Keutuhan
biosfer yang berarti campur tangan manusia dengan alam yang memang harus berjalan
terus selalu dijalankan dalam tanggung jawab terhadap kelestarian semua proses
kehidupan yang sedang berlangsung. Terutama manusia, akhirnya menjadi peka terhadap
keseimbangan suatu ekosistem. Campur tangan manusia bernapaskan tanggung jawab
terhadap kelangsungan semua proses kehidupan. Bagaimanapun, manusia tidak
mengurangi kadar kehidupan lingkungan. (Franz Magnis Suseno, 1993: 152). Kedua,
Generasi yang akan datang yang sudah disadari keberadaannya dan hak-haknya sebagai
tanggung jawab manusia. Setiap orang tua yang baik berusaha untuk menjaga rumah,
perabot, dan tanah yang dimiliki sebagai warisan bagi anak cucu mereka. Sikap ini harus
menjadi sikap umum manusia terhadap generasi yang akan datang. Manusia diberi beban
berat untuk mewariskan ekosistem bumi ini dalam keadaan baik dan utuh pada anak cucu
nanti. Sikap tanggung jawab itu dapat dirumuskan dalam prinsip tanggung jawab
lingkungan seperti berikut: dalam segala usaha bertindaklah sedemikian rupa sehingga
akibat-akibat tindakannya tidak merusak, bahkan tidak dapat membahayakan atau
mengurangi kemungkinan-kemungkinan kehidupan manusia dalam lingkungannya, baik
yang hidup masa sekarang, maupun generasi yang akan datang (Franz Magnis Suseno,
1993: 152).

22
Tuntutan suatu etika lingkungan hidup baru dapat dirangkum sebagai berikut :

a) Manusia harus belajar untuk menghormati alam. Alam dilihat tidak semata-mata
sebagai sesuatu yang berguna bagi manusia, melainkan yang mempunyai nilai sendiri.
Kalau terpaksa manusia mencampuri proses-proses alam, maka tidak seluruhnya dan
dengan terus-menerus menjaga keutuhannya.
b) Manusia harus memberikan suatu perasaan tanggung jawab khusus terhadap
lingkungan lokal. Agar lingkungan manusia bersih, sehat, alamiah, sejauh mungkin
diupayakan agar manusia tidak membuang sampah seenaknya, hendaknya manusia
meninggalkan setiap tempat dalam keadaan bersih, tanpa meninggalkan berbagai
macam kotoran.
c) Manusia harus merasa bertanggung jawab terhadap kelestarian biosfer. Untuk itu,
diperlukan sikap peka terhadap kehidupan. Sekaligus perlu dikembangkan kesadaran
mendalam dan permanen, bahwa manusia sendiri termasuk biosfer, merupakan bagian
dari ekosistem, bahwa ekosistem adalah sesuatu yang halus keseimbangannya, yang
tidak boleh diganggu dengan campur tangan dan perencanaan kasar. Karena menyadari
dirinya sebagai partisipan dalam biosfer, manusia tidak akan melakukan apa pun yang
mengancam penyebaran dan kelangsungan hidupnya.
d) Etika lingkungan hidup baru menuntut larangan keras untuk merusak, mengotori, dan
meracuni. Terhadap alam atau bagiannya, manusia tidak mengambil sikap yang
merusak, mematikan, menghabiskan, mengotori, menyia-nyiakan, melumpuhkan,
ataupun membuang. Bukan hanya di hutan dan di taman, melainkan juga di rumah, di
sekitar rumah, di jalan, di tempat kerja, di tempat rekreasi, manusia tidak membuang
kertas, plastik, ataupun puntung rokok.
e) “Kerugian materi yang ditimbulkan api selama delapan bulan sungguh memilukan.
Intensitas kematian pohon mencapai 50 persen. Yang tragis, pohon-pohon dari kerabat
Meranti, yang berkualitas bagus paling tak tahan api."(Tempo, 19 September 1987:
42).
f) Semboyan etika lingkungan hidup baru adalah membangun, tetapi tidak dengan
merusak. Suatu rencana yang hanya dapat terlaksana dengan menimbulkan kerusakan
suatu ekosistem yang tidak terpulihkan, perlu diurungkan.
g) Solidaritas dengan generasi-generasi yang akan datang. Harus menjadi acuan tetap
dalam komunikasi dengan lingkungan. Seperti kakek dan nenek tidak mungkin
mengambil tindakan terhadap milik yang mereka kuasai tanpa memperhatikan nasib

23
anak cucunya, begitu pula tanggung jawab manusia untuk meninggalkan ekosistem
bumi secara utuh dan baik kepada generasi yang akan datang harus menjadi kesadaran
yang tetap pada manusia modern (Franz Magnis Suseno, 1993: 154).

3) Tugas / Latihan

Diberikan tugas berdiskusi dalam kelompok, menyusun resume, menganalisis contoh


kasus, dan menyampaikan hasil analisis di kelas.

D. Kegiatan Pembelajaran ke 4 : Lingkungan: Alam Dan Kesadaran

1) Tujuan Materi Pembelajaran

Agar mahasiswa mampu memahami keselarasan sosial yang diletakkan dalam dua
lingkungan ; alam dan kesadaran

2) Materi Pembelajaran

Skema keselarasan sosial yang dibangun sedemikian jauh masih tergantung dalam ruang
vakum. Langkah berikutnya haruslah menyediakan suasana yang Iebih luas. Keselarasan
(harmoni) sosial harus diletakkan dalam lingkungan. Ada dua jenis lingkungan. Pertama,
Iebih intuitif, yakni lingkungan alam. Kedua, kurang intuitif, yakni kesadaran. Berbeda
dari penampilannya, di antara keduanya terdapat kesamaan mencolok. Karena manusia
adalah makhluk berkebutuhan jasmani, hidup dalam ruang dan waktu, memanfaatkan
sumber daya alam, memengaruhi kondisi alam dan sebagainya, maka alam adalah tempat
kehidupan sosial berlangsung. Orang tak dapat hidup di luar alam. Karena itu alam adalah
lingkungan utama yang diperlukan kehidupan sosial. Tetapi manusia juga adalah makhluk
yang berpikir, menggunakan simbol-simbol, berkomunikasi dengan manusia Iain,
merumuskan keyakinan, dan sebagainya. Manusia selalu terbenam dalam lingkungan
idenya sendiri maupun ide yang berasal dari moyang mereka. Manusia juga tak
terbayangkan berada di luar lingkungan ide itu. Karena itu kesadaran dapat dipandang
sebagai lingkungan kedua yang diperlukan masyarakat. Singkatnya, karena dua sifat
manusia (sebagai obyek alamiah dan subyek yang sadar) maka ia pun memerlukan dua
jenis lingkungan yang mengitarinya.

24
Bahasannya dimulai dari sisi yang lebih nyata, yakni dari lingkungan alam. Lingkungan
alam muncul dalam dua bentuk. Pertama sebagai kondisi alam eksternal, tempat agen dan
struktur bertindak dan beroperasi. Kedua sebagai kondisi internal, yakni ciri-ciri
individual yang menjadi substratum masyarakat. Lingkungan alam pertama adalah,
misalnya, iklim, topografi, ekologi, geologi; dan sebagainya. Lingkungan ini jelas sekali
kaitannya dengqn tindakan manusia; juga berkaitan dengan operasi struktur. Jaringan
hubungan tertentu dimungkinkan bahkan dipaksakan dan jaringan hubungan yang lain
dihalangi oleh kondisi alam. Bayangkan rute migrasi dan perdagangan, jaringan
komunikasi atau pola pemukiman di kawasan pegunungan dibandingkan dengan di
dataran rendah, di lembah atau di sepanjang aliran sungai, yang dibangun di pantai atau di
pulau. Atau bayangkan tingkat ketimpangan kemakmuran atau ketimpangan kekuasaan di
kawasan miskin sumber daya dibandingkan dengan di kawasan yang sumber daya
alamnya berlimpah. Alam memengaruhi masyarakat tidak hanya dari luar, tetapi juga dari
dalam melalui faktor biologis dan genetik manusia. Kebanyakan dari apa yang terjadi
dalam suatu masyarakat, tergantung pada bakat bawaan, keterampilan mental, kekuatan
fisik, ketahanany kesehatan dan kesegaran jasmani masing-masing anggotanya maupun
pada penyebaran dan distribusi ciri-ciri biologis seperti itu di kalangan berbagai segmen
penduduk. Meski pengaruhnya beroperasi dari dalam diri individu, namun masih dapat
dilihat sebagai lingkungan dalam artian lebih abstrak.

Dalam kedua bentuk pengaruhnya itu (eksternal dan internal) lingkungan alam dapat
berpengaruh negatif (rintangan, hambatan) atau berpengaruh positif (sumber daya,
kemudahan). Persoalannya makin sulit karena hubungan antara alam dan masyarakat itu
harus dilihat secara timbal balik dari dua sisi. Alam menyediakan kondisi parametrik,
namun pada waktu bersamaan menyediakan kondisi interaktif bagi keagenan dan praxis
manusia. Alam menetapkan bidang peluang untuk mewujudkaan keagenan, tetapi melalui
praxis alam dapat dibentuk dan karena itu bidangnya dapat diubah. Di satu pihak, alam
dapat dikembangkan. Berkat teknologi dan peradaban, alam dapat 'dimanusiakan'.
Lingkungan internal (warisan biologis atau psikologis) pun dapat dikembangkan melalui
tindakan. Inilah yang dimaksud dengan latihan jasmani, latihan mental, peningkatan diri,
dan pengembangan kebugaran. Di lain pihak, pengaruh praxis atas lingkungan tak selalu
positifatau menguntungkan. Pengaruhnya mungkin saja mempersempit peluang untuk
melaksanakan keagenan. Kita baru akhir-akhir ini saja menyadari dampak merusak
bahkan bencana dari tindakan (praxis) manusia terhadap alam. Polusi, penipisan sumber

25
daya alam, kekurangan energi, kerusakan ekologi, dan sebagainya adalah contoh dampak
negatif tindakan manusia terhadap lingkungan eksternal nonmanusia. Sedangkan
kemerosotan kesehatan, stamina, atau kesejahteraan psikologis penduduk, menunjukkan
betapa lingkungan internal (unsur bawaan) individu dapat dirusak oleh tindakan manusia
sendiri.

Kini kita beralih ke tipe lingkungan kedua yakni kesadaran sosial atau lingkungan
ideologi, tempat beroperasi tindakan sosial. Seperti dinyatakan Jarvie ...

Kehidupan sosia/ memiliki kekhasan kesatuannya, mengandung proses


dan hubungan timbal balik dari, dan dibentuk oleh, tindakan anggotanya,
dan inilah gambaran yang mereka punyai dari waktu ke waktu. (1972: IO)

Boulding menyatakan ...

Sistem sosialadalah ”citra ”, dalam arti anggotanya menyadari bah wa


dirinya adalah bagian penting dari dinamika sistem mereka sendiri dan
karena itu menyadari sistem. (1964: 7)

Kesadaran terjelma dengan sendirinya di berbagai tingkat skema kita. Kesadaran terutama
adalah tanda dari aktor individual. Giddens menyebutnya ”kemampuan untuk menyadari”

Agen atau aktormemiliki aspek ba waan tentangapa yangia kerjakan,


yakni kemampuan untuk memahami apa yang ia kerjakan ketika ia
mengerjakannya. (1984: xxii)

Manusia adalah agen yang memiliki tujuan, mempunyai alasan atas


aktivitasnya, dan, jika ditanya, ia mampu menjelaskan alasannya secara
terpisah, termasuk dengan berbohong. (ibid: 3)

Giddens membedakan dua bentuk kesadaran: praktis dan yang tak bersambungan. Aktor
tidak hanya mampu memahami aktivitasnya dan aktivitas orang lain dalam keteraturan
tindakan sehari-hari, tetapi juga mampu memonitor sesuatu yang dimonitor dalam
kesadaran yang tak bersambungan (ibid: 29). Inilah faktor sosiologis fundamental yang
harus diperhatikan dalam melukiskan realitas sosial. Kesadaran dalam hal ini tak hanya
terdapat pada aktor individual tetapi juga pada jenis agen lain, yakni agen kolektif. Ketika
berbicara tentang "kultur kelompok", "ideologi kelompok" (Ridgeway, 1983: 252) , kita
ingat tentang adanya ciri-ciri gagasan bersama dalam kelompok, suatu keyakinan rata-

26
rata, dominan, dan yang tersebar di kalangan anggota kelompok. Semuanya ini agak
berbau intuitif tetapi kita harus beralih ke konsep yang lebih abstrak.

Bila kita beralih dari tingkat bawah ke tingkat atas dalam skema kita, akan ditemukan
kesadaran yang kurang bersifat individual. Kesadaran tak Iagi sebagai isi pikiran
individual tetapi sebagai jaringan hubungan supra individual yang mengikat gagasan,
keyakinan, konsep dalam bangunan luas ideologi, doktrin, kepercayaan, teori, dan tradisi.
Kesadaran ini hidup lebih lama daripada usia individu, direkam dalam ingatan, dan
adakalanya dituliskan dan digunakan sebagai pembatas atau sebagai sumber pemikiran
individual. Kesadaran juga mempunyai dinamika dan prinsip kelestariannya sendiri.
Dalam makna inilah kesadaran yang dimaksud Durkheim sebagai "cerminan kehidupan
kolektif" atau "fakta sosial" sui generis atau yang disebut Popper "alam ketiga" (1982:
180).

Kesadaran dari kedua sisi ini bersinggungan dengan tingkat inti ontologi keagenan dan
praxis. Kemampuan berpikir dan keyakinan aktor dibentuk baik oleh apa yang dipikirkan
dan diyakini masyarakatnya (dalam kesadaran individual atau kesadaran kolektifmereka)
maupun oleh ideologi (ideologi, keyakinan, dan tradisi yang tertanam dalam kesadaran
sosial). Kesadaran individual dianggap sebagai lingkungan internal agen yang terletak di
benaknya. Ideologi dianggap sebagai lingkungan eksternal agen, keberadaannya terletak
di luar pikiran individual. Keduanya membatasi bidang perwujudan agen; menyediakan
hambatan dan kemudahan dengan menetapkan jenis praxis apa yang mungkin dan yang
tak mungkin; cara yang boleh dan yang tak boleh; serta tujuan yang layak dan yang
utopia. Batasan yang ditetapkan alam adalah keras, material; sedangkan batasan yang
ditetapkan kesadaran adalah lunak, bersifat ideologis. Ini tak berarti bahwa batasan
ideologis ini tak kuat pengaruhnya terhadap aktor. Riwayat rezim totaliter, despotisme
dogmatis, fundamentalis religius, dan sebagainya telah menunjukkan seberapa jauh rakyat
diperbudak oleh doktrin dan ideologi yang berkuasa. Berbagai fenomena yang dilukiskan
sebagai "penawanan pikiran" (Milosz, 1953) , "pengekangan pikiran" (Koestler, 1975)
atau "kekuasaan dimensi ketiga" (Lukes, 1978) jelas mengacu pada jenis hambatan
ideologis ini. Selanjutnya, praxis, melalui sejenis umpan balik, akan sangat memengaruhi
kesadaran. Di dalam dan melalui praxislah orang mendapat keyakinan maupun
mengujinya, menyalahkan atau membenarkan pernyataan, menegaskan, atau menolak
gagasan yang semula mereka hargai. Di dalam dan melalui praxis pulalah struktur doktrin
dan ideologi hancur atau punah, gagasan utopia tak dipercaya, dan dogma runtuh,

27
meskipun hal ini łnemerlukan jangka waktu satu generasi atau seabad, karena di sini
berlaku prinsip kelambanan.

Kenyataan bahwa beroperasinya agen dan praxis dibenamkan dalam "lautan


kesadaran”—lingkungan eksternal dan internal pikiran, kepercayaan dan gagasan—
mengandung implikasi penting. Kesadaran tak hanya mendesakkan dirinya sendiri
tetapijuga menengahi pengaruh yang didesakkan oleh lingkungan lain. Orang tak hanya
bereaksi secara pasif tetapi juga menyadari kenyataan dengan sikap mengantisipasinya
secara aktif. Orang membuat definisi, interpretasi dan menyeleksi faktor yang
memengaruhi situasinya dan bertindak atas dasar penilaian dan persepsi mereka. Seperti
dinyatakan Merton...

Kita tak hanya merespon situasi objektiĺtetapijuga memberi makna situasi


itu menurut kepentingan kita. (1982b: 249)

Kesadaran individual, kolektif, dan sosial merupakan tumpukan sumber daya (konsep,
simbol, kode, kerangka, dan sebagainya) bagi interpretasi seperti itu. Kesadaran dapat
membutakan atau membukakan mata orang terhadap hambatan atau peluang tertentu.
Kesadaran dapat menipu orang, menyediakan peralatan intelektual yang tak memadai
untuk memahami realitas, atau bisa juga melenyapkan khayalan dan menyodorkan
gagasan kritis yang tajam. Jadi pengaruh menghambat atau mendorong kondisi alamiah
terhadap agen dimediasi oleh lingkungan ideologis. Agen harus "disadarkan” terhadap
ancaman atau harapan yang berasal dari alam agar tetap terlibat dalam praxis yang
relevan. Atau agen mungkin tetap tertidur, tak menyadari hambatan dan nnengabaikan
peluang selama mereka tidak membayangkannya. Contoh, bayangkan "kesadaran
lingkungan” yang baru muncul akhir-akhir ini saja dan łuendorong massa untuk bertindak
menentang pencemaran, meski kenyataannya bumi ini telah tercemar sejak lama,
sekurangnya sejak menurunnya era industri. Atau, bayangkan gerakan aerobik,
keranjingan latiban kesehatan jasmani, yang baru saja muncul ketika orang mulai
menyadari manfaat latihan fisik, meski kebiasaan duduk terus-menerus dan tak bekerja
secara fisik telah memperpendek umursekurangnya sejak awal peradaban urban.

Kesadaran tak hanya memperantarai dampak lingkungan alam. Mekanisme serupa juga
muncul ketika sejenis kondisi struktur sosial menyatu dengan sifat agen di tingkat
keagenan dan praxis. Struktur sosial tidak menghambat atau memberi peluang individu
secara langsung atau secara mekanik. Contoh, rakyat mungkin dieksploitasi atau ditindas

28
berabadabad dan baru memberontak ketika ideologi persamaan lahir dengan konsepnya
tentang hak manusia, kemerdekaan, ketidakadilan, dan sebagainya (Tocqueville, 1955).
Singkatnya, praxis revolusioner rakyat hanya muncul jika "kesadaran revolusioner"
mereka dibangunkan. Selama ribuan tahun wanita telah didominasi oleh lelaki dan baru
akhir-akhir ini saja mereka bergerak menentang penaklukan mereka. Kondisi yang sangat
diperlukan dalam hal ini adalah artikulasi "kesadaran kewanitaan". Rintangan dan
hambatan struktural hanya akan menimbulkan reaksi keagenan jika disadari. Begitu pula
peluang, sumber daya, dan kemudahan struktural hanya akan ditanggapi jika disadari
sebagaimana mestinya. Struktur perekonomian pasar atau struktur politik demokrasi telah
membuktikan nilainya di berbagai belahan bumi selama berabad-abad, namun
penerimaannya di Eropa Timur hanya mungkin ketika konsensus demokratis muncul
disertai dengan meluasnya persetujuan mengenai pentingnya inisiatif, kompetisi,
pluralisme, perwakilan dan sebagainya. Sebelum peluang demokrasi benar-benar dapat
dimanfaatkan, ideologi tersebut harus disadari atau diakui sebagaipeluang.

Dengan mengakui pentingnya peran kesadaran dalam pelaksanaan fungsi masyarakat


berarti pula kita harus mencegah absolutisasi satu sisi. Menganggap bahwa semua yang
terjadi dalam masyarakat disengaja dan disadari sepenuhnya oleh anggotanya adalah
anggapan kosong. Banyak pakar yang menekankan pentingnya dimensi tersembunyi
(latent) dalam kehidupan sosial. Ada berbagai dimensi yang tak disadari oleh aktor
individual, antara lain: struktur, kondisi lingkungan, dan bahkan bakat mereka sendiri.
Aktor sering tak mampu membayangkan hasil tindakan mereka sendiri, terutama hasil tak
langsung atau hasil jangka panjang. Inilah yang ditegaskan analisis Popper mengenai
logika situasional (1982: 117). Menurut Merton, ini adalah akibat yang tak diharapkan
dan tak disadari dari tindakan yang bertujuan, yang dilihat sebagai sasaran sentral studi
sosiologi. Merton menyatakan ...

Sumbangan intelektual menonjol sosiolog terutama terletak dalam studi


tentang akibat yang tak diharapkan (antara lain fungsi tersembunyi) dan
akibatyangdiharapkan (fungsinyata) dari tindakan sosial. (1968: 120)

Dalam nada serupa Giddens menyatakan ...

Kemampuan mengetahuimanusia se/alu terbatas. Rangkaian tindakan


terus-menerus menimbulkan akibat rang tak diharapkan Oleh pelakunya,

29
Dan akibat inipun adalah akibat tak disadarinya kondisi tindakan itu"
(1984:27).

Keterbatasan agen dan tindakannya ini tercermin di tingkat menengah skema kita, yakni
dalam ciri-ciri peluang keagenan dan praxis yang disebabkan isolasi kesadaran terhadap
lingkungan eksternal dan internalnya. Dengan demikian orang boleh mendalilkan adanya
spektrum situasi, mulai dari agen yang "buta" dan "praxis spontan" di satu titik ujung,
hingga agen yang sadar" dan "praxis yang terkendali secara rasional" di titik ujung Iain.
Di sepanjang skala ini dapat disusun semua tingkat pengaruh kesadaran terhadap
pelaksanaan fungsi masyarakat.

3) Tugas / Latihan

Diberikan tugas berdiskusi dalam kelompok, menyusun resume, menganalisis contoh


kasus, dan menyampaikan hasil analisis di kelas.

E. Kegiatan Pembelajaran ke 5 : Struktur Sosial

1) Tujuan Materi Pembelajaran

Agar mahasiswa mampu memahami karakteristik dari struktur sosial dalam sistem sosial
masyarakat manusia

2) Materi Pembelajaran

Tiap-tiap sistem sosial terdiri dari pola-pola perilaku tertentu. Perilaku itu mempunyai
suatu struktur dalam dua arti. Pertama, relasi-relasi sendiri antara orang bersifat agak
mantap dan tidak cepat berubah; kedua, mereka mempunyai corak atau bentuk yang
relatif tetap juga.

Dalam Bab II bukunya The social System dan dalam buku Toward a General Theory of
Action, Parsons menginventarisasikan kategorikategori yang harus kita pakai untuk
analisis sistem-sistem sosial, pengelompokan mereka dan pembandingan mereka satu
sama lain. Kategori-kategori itu menggambarkan ciri-ciri pokok relasi-relasi dalam proses
interaksi. Ciri-ciri itu diistilahkan dalam bentuk lima pasang yang masing-masing terdiri
dari dua alternatif yang bertentangan satu terhadap yang lain. Sebetulnya individu yang
berinteraksi tidak perlu memutuskan sendiri alternatifmana yang akan dipakai.

30
Masyarakatlah atau kebudayaan setempat telah memilih untuk dia dan telah
melembagakan salah satu alternatif yang menentukan corak interaksi.

Kelima pasang itu dinamakan oleh Parsons:

a) Perasaan (affectivity) atau netral perasaan (affective neutrality);


Dengan affectivity affective neutrality dimaksudkan bahwa tiap-tiap pelaku dalam
proses interaksi harus menentukan apakah ia harus bertindak atas cara impulsif yang
langsung menyenangkan, atau atas cara menahan diri dan menurut prinsip dengan
tidak mengindahkan soal senang tidaknya, gampang tidaknya, dan sebagainya. Tiap-
tiap situasi memberi kesempatan kepada orang untuk berkompromi dengan
kewajibannya agar dapat menambah kenikmatan dan mengurangi bebannya. Namun
demikian, sistem sosial menentukan kapan dan dalam situasi manakah orang
diperbolehkan mengikuti perasaan spontan mereka, dan kapan serta dalam situasi
manakah perasaan itu perlu ditekan. Misalnya, serdadu-serdadu di medan perang akan
langsung menambahkan kenikmatan mereka, seandainya mereka meninggalkan pos
mereka. Tetapi kalau mereka berbuat demikian, tindakan mereka akan dicela sebagai
desersi. Tiap-tiap situasi yang melibatkan orang dari kedua jenis kelamin, mengandung
kemungkinan untuk kenikmatan seksual, tetapi masyarakat telah memutuskan sikap
manakah diharapkan dari anggotanya. Tiap-tiap orang dapat menambahkan
kesenangannya dengan bermalas dan tidak bangun pagi pada waktunya, tetapi
masyarakat telah menentukan kapan boleh dan kapan tidak. Dengan memakai kedua
variabel tersebut kita mampu membedakan tipe-tipe masyarakat. Misalnya tipe yang
disiplinnya keras dan meliputi banyak bidangnya, dapat kita bedakan dari tipe. yang
agak santai atau liberal.
b) Arah diri (self-orientation) atau arah kolektivitas (collectivity orientation)
Dengan self-orientation versus collectivity-orientation dimaksudkan bahwa si pelaku
harus memilih antarabertindak demi kepentingan pribadi atau demi kepentingan
umum. Kedua altematiftidak sama dengan egoisme atau altruisme, yang bersifat
psikologis. Dalam konteks sosiologisituasi sosial menentukan apakah seseorang dapat
diandaikan bertindak demi kepentingannya ser-diri atau demi kepentingan orang-orang
lain. Semua dokter, guru, pejabat, dan sebagainya diandaikan oleh lembaga profesi
mereka untuk mendahulukan kepentingan orang yang dipercayakan kepada mereka di
atas kep%ltingan mereka sendiri, sedangkan seorang pelanggan di toko diandaikan
pertama-tama memperlihatkan kepentingannya sendiri. Jadi masyarakatlah

31
menentukan apa yang harus dibuat, dan bukan ciri-ciri kepribadian seseorang. Ada
situasi di mana yang bersangkutan harus bertanya "apa yang paling baik untuk saya?",
dan ada situasi lain di mana ia harus bertanya "apa yang paling baik untuk dia atau
untuk mereka?"
c) Partikularisme atau universalisme;
Kedua alternatif "universalisme" versus "partikularisme" menyangkut soal apakah
seseorang harus bertindak atas dasar prinsip-prinsip umum yang selalu berlaku tanpa
pilih kasih, atau atas dasar relasi-relasi khusus (partikuler) dengan beberapa orang
tertentu. Kedua variabel ini mempertentangkan dua macam kesusilaan (moral), yaitu
kesusilaan yang berpegang pada prinsip dan kesusilaan yang berpegang pada
kesetiakawanan. Partikularisme akan membuat orang berkata: Right or wrong My
country! Sedang universalisme akan mengatakan may she ever be right, if she wants
my support. Guru yang . memberi nilai dengan tidak memandang bulu, pejabat yang
melayani rakyat tanpa pilih kasih tapi dengan berpedoman pada peraturan-peraturan
umum, bertindak universalistis. Sebaliknya guru yang memberi nilai bagus kepada
murid tertentu karena dia anaknya sendiri atau karena telah menerima pungli dari dia,
bertindak partikularistis. Sekali lagi, sebelum seseorang bertindak, ia harus mer-
entukan corak tindakannya. Entah begini atau begitu! Apakah ia harus bersikap dan
bertindak dengan hanya berpedoman pada instruksi, peraturan, dan kaidah-kaidah
umum, ataukah ia harus memperhatikan relasi khusus antara dia dengan orang lain,
seperti relasi famili, teman kelas, sahabat, penderma, dan sebagainya? Dalam hal ini
masyarakat akan mengatakan apa yang baik dan diharapkan. Misalnya kalau seorang
suami menyelamatkan istrinya lebih dulu, baru kemudian mencoba untuk menolong
orang lain, ia tidak akan dipersalahkan, karena hal itu dianggap sebagaimana mestinya.
Tetapi kalau ia lebih dulu mengamankan hartanya, baru kemudian menolong orang, ia
akan dicela oleh masyarakat yang menjunjung tinggi perikemanusiaan.
d) Status bawaan (ascription) atau status perolehan sendi:i (achievement) yang perlu
diperhitungkan;
Kedua variabel berikut, yaitu ascription versus achievement, penting dan perlu juga
dalam menentukan corak relasi antara Ego dengan Alter. Kebudayaan setempat
menetapkan aspek-aspek manakah dalam diri orang lain, yang perlu dipertimbangkan
oleh Ego sebelum bertindak. Apakah sikapnya harus ditentukan oleh ciri-ciri kualitas
yang merupakan bawaan orang lain dan diakui resmi oleh masyarakat, ataukah
olehjasa-jasa, bakat, prestasi, pelayanan, dan sebagainya yang dapat diberi orang lain

32
itu? Apakah orang lain dihormati, ditaati, dilayani, karena statusnya, senioritasnya,
jabatannya, ataukah karena dia orang berbakat? Prajurit-prajurit belajar untuk memberi
hormat kepada perwira karena keperwiraannya dan lepas dari soal apakah ia pandai
dan berbudi baik, atau tidak. Namun ada situasi-situasi lain di mana sikap seseorang
terhadap orang lain ditentukan oleh ketrampilan orang lain itu dan tergantung dari itu.
Orang akan mengatakan "saya tidak mempedulikan siapakah dia (ascribed status),
tetapi saya pentingkan apa yang dapat dibuat olehnya untuk saya" (achieved status).
e) Campur-baur (diffuseness) atau tertentu (speciftcity).
Akhirnya sipelaku dalam proses interaksi menghadapi dilema apakah ia harus
menghubungi alter dalam fungsinya atau peranannya yang khusus (specificity) —
misalnya dia selaku pejabat, selaku kepala sekolah, selaku perwira dan sebagainya—,
atau sebagai sesama manusia dan teman saja yang fungsinya atau peranannya tidak
relevan pada saat interaksi (diffuseness). Apakah relasinya bersifat specified, yaitu
khusus dan hanya terbatas dan terarahkan kepada satu segi saja dari Alter, ataukah
diffused, yaitu campur-baur, tidak terarah kepada satu segi saja, tetapi kepada
keseluruhan diri pribadi Alter?. Kalau suatu relasi bersifat spesifik atau khas, maka
hal-hal yang boleh diharapkan dari pihak lain telah dirumuskan dan diperinci lebih
dahulu oleh masyarakat. Misalnya, saya boleh mengharapkan dari pengantar pos
bahwa ia akan mengantar surat-surat ke rumah saya, tetapi saya tidak boleh
mengharapkan hal-hal lain. Saya tidak boleh mengharapkan bahwa ia akan berbelanja
juga untuk saya atau menjadi baby-sitter. Kewajibannya adalah terbatas dan terperinci.
Relasi saya dengan dia adalah dengan seorang pengantar pos. Lain tidak. Ada situasi-
situasi interaksi lain di mana orang yang berinteraksi mengarahkan diri satu kepada
yang lain dengan tidak mempersempit atau membatasi arah relasi mereka. Kepribadian
orang, bukan peranannya, merupakan sasaran. yang didahulukan dan diutamakan.
Dalam situasi itu ----- misalnya di antara sahabat-sahabat — orang yang terlibat akan
dapat diminta apapun dan diharapkan •berbuat apa pun. Dalam masyarakat-masyarakat
agraris yang ma'ih kecil hubungan antara penduduk-penduduk sekampung bersifat
informal dan kekeluargaan, sehingga tiap-tiap orang boleh minta pertolongan dari
siapa pun. Situasi itu sering diinginkan oleh orang yang sepanjang hidup mereka
biasanya dihubungi dalam jabatan mereka. Setelah mendapat pensiun, mereka kembali
ke kampung asal mereka untuk menjadi rakyat dengan rakyat. Mereka mengganti suatu
pola interaksi yang khusus dengan pola yang diffuse atau campur-baur.

33
Inilah ringkasan dari bagaimana caranya Parsons menyusun variabel-variabel yang dalam
analisis akan menerima isi kongkret mereka dari sistem sosial yang sedang dipelajari.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa masyarakat-masyarakat yang oleh Toennies disebut
Gemeinshaft dicirikhaskan oleh Parsons oleh "perasaan", "arah kolek:ivitas",
partikularisme' status bawaan' dan "relasi campur-baur", sedangkan masyarakat modern,
khususnya masyarakat industri dan birokrasi, atau Gesellschaft makin banyak
dicirikhaskan oleh "sikap netral", 'arah diri", ' universalisme" 'status prestasi", dan "relasi-
relasi khusus'.

Perlu kita memberi perhatian kepada perbedaan antara Max Weber dengan Talcott
Parsons dalam mengartikan kedua konsep Toennies, yaitu "Gemeinschaft" dan
"Gesellschaft". Nominalisme yang dianut Mak Weber, menyebabkan bahwa ia. tidak
memikirkan keduanya sebagai dua realitas yang dari "luar" berpengaruh atas interaksi,
melainkan sebagai pröses-proses antara individu-individu yang bermasyarakat. Mereka
entah "vergemeinschaften entah "vergesellschaften"! Berlainan dan bertentangan dengan
Weber, Parsons merumuskan ciri-ciri Gemeinschaft dan Gesellschaft atas cara abstrak
dan lepas dari individu-individu kongkret. Kemudian ia menciptakan dan
memproyeksikan tiga puluh dua sistem sosial yang mungkin ada, namun mereka tidak
ditunjuk atas dasar penelitian empiris (Goddijn, 1968: 87).

3) Tugas / Latihan

Diberikan tugas berdiskusi dalam kelompok, menyusun resume, menganalisis contoh


kasus, dan menyampaikan hasil analisis di kelas.

F. Kegiatan Pembelajaran ke 6 : Keunikan Evolusi Manusia

1) Tujuan Materi Pembelajaran

Agar mahasiswa mampu memahami karakteristik dari proses evolusi masyarakat manusia

2) Materi Pembelajaran

Perkembangan terpenting dalam evolusi hominid adalah perkembangan kebudayaan,


yang kehadirannya membedakan manusia dari semua makhluk lainnya. Munculnya
kebudayaan jelas sangat berkaitan dengan evolusi otak dan perkembangan kemampuan
belajar. Namun, lebih khusus lagi, kebudayaan dimungkinkan berkembang oleh

34
perkembangan pola komunikasi manusia yang unik: komunikasi simbolik. Walaupun
semua makhluk melakukan komunikasi — yakni, mentransmisikan informasi tertentu
secara behavioral — hanya manusia yang melakukannya dengan menggunakan simbol-
simbol.

a) Komunikasi Simbolik dan Bahasa Manıısia

Sistem komunikasi non-manusia sangat bervariasi dan menggunakan berbagai organ


tubuh. Sebagaimana komunikasi manusia, komunikasi binatang terdiri dari unsur vokal
dan non-vokal. Pada tingkat non-vokal, komunikasi terjadi melalui penggunaan indera
pencium, peraba dan penglihatan. Lebah madu mengkomunikasikan informasi adanya
sumber makanan baru dengan melakukan "tarian mengibas-ngibas” yang membentuk
angka delapan (Wilson, 1975). Sejumlah primata dan mamalia lainnya menandai
daerah teritorial mereka dengan mengencinginya untuk mengecilkan hati makhluk lain
yang bermaksud merambahnya. Simpanse saling bertepuk tangan dan muka serta
berciuman dengan penuh perasaan (Jolly, 1972). Pada tingkat vokal, beberapa primata
dan mamalia lainnya mengeluarkan berbagai suara yang masing-masing mengandung
informasi.

Walaupun sangat bervariasi, semua sistem komunikasi non-manusia memiliki satu ciri
dasar : Semua didasarkan atas penggunaan tanda (sign) dan isyarat (signal). Ciri
terpenting sebuah tanda adalah hubungan antara tanda tersebut dengan makna yang
ingin disampaikannya dilekatkan secara genetik. Tarian lebah madu, dengkur dubuk
dan teriakan hyena semuanya merupakan tindakan komunikasi yang terprogram secara
genetik dengan batas-batasnya yang ketat, hubungan satu-dengan-satu antara tindakan
dan maknanya. Dengan demikian, tanda merupakan mekanisme komunikasi yang
bersifat tertutup, atau non-produktif: maknanya telah ditentukan secara ketat
sebelumnya, dan tidak ada makna baru yang dapat ditambahkan.

Komunikasi manusia berbeda karena ia didasarkan atas simbol-simbol. Simbol


berbeda dengan tanda karena maknanya yang bersifat arbitrer. Makna sebuah simbol
ditentukan oleh mereka yang menggunakannya dengan cara tertentu, dan dengan
demikian simbol tidak terlalu terbatas sebagaimana tanda. Berlawanan dengan tanda,
simbol bersifat terbuka dan produktif. Simbol-simbol dapat memiliki makna yang baru
atau berbeda (bahkan mempunyai beberapa makna sekaligus) tergantung kepada
penggunaan dalam konteks apa pemakainya meletakkannya. Baik tanda maupun

35
simbol keduanya menyampaikan informasi, tetapi karena sifatnya yang terbuka,
produktif, maka simbol dapat menyampaikan informasi secara lebih efisien. Simbol
bukan hanya membuat komunikasi semakin efisien, ia juga dapat mengkomunikasikan
informasi dalam jumlah yang lebih banyak dan lebih kompleks dibandingkan dengan
yang dapat dilakukan oleh tanda.

Simbol-simbol tertentu memberikan unsur pembentuk bagi kepandaian yang khas


manusia, kepandaian berbahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai penataan berbagai
simbol yang kompleks. Dengan perkembangan bahasa, manusia melintasi sebuah pintu
gerbang evolusioner.

Hockett dan Ascher (1964) mencirikan empat karakteristik utama bahasa yang
sebenarnya (true-language). Pertama, bahasa mengandung kualitas keterbukaan
(openness). Simbol-simbol yang merupakan unsur pembentuk bahasa dapat mengambil
makna yang baru dan bermacam-macam, sebagai lawan dari sistem tanda yang
maknanya sudah ditentukan sebelumnya. Di samping itu, pembicara dapat
mengutarakan ungkapan-ungkapan baru yang belum pernah diucapkan atau terdengar
sebelumnya. Ini membuat bahasa menjadi produktif karena ia mampu melahirkan
ungkapan-ungkapan baru, makna-makna baru dan kombinasi baru dari berbagai
ungkapan dan makna yang baru. Kedua, bahasa dikarakterisasikan dengan ciri yang
disebut displacement. Displacement merujuk kepada kemampuan membicarakan
sesuatu yang tidak ada di depan mata, sesuatu yang ada di masa lalu atau masa depan,
atau untuk sesuatu yang tidak pernah ada. Sebaliknya, tanda terikat kepada situasi
tertentu yang relevan dengan pengungkapannya. Hockett dan Ascher mencatat,
misalnya, bahwa siamang tidak mengeluarkan panggilan untuk makan kecuali bila
mereka sudah menemukan makanan. Ketiga, dualitas susunan merupakan karakteristik
khusus bahasa. Di satu pihak, bahasa merupakan susunan serangkaian unit suara dasar,
masing-masing tak bermakna bila tidak dihubungkan dengan yang lain. Dan di pihak
lain, merupakan susunan yang mengkombinasikan unit-unit suara yang terpisah itu ke
dalam urutan yang telah disepakati sehingga membuatnya bermakna. Sistem tanda
jarang mempunyai dualitas seperti ini, dan setiap pengungkapan mengandung satu
makna, yang sudah ditentukan sebelumnya. Terakhir, bahasa ditransmisikan dengan
belajar. Transmisi ini jelas bertolak belakang dengan transmisi sistem simbol yang
berlangsung secara genetik.

36
b) Asal-Usul Bahasa

Tidak diketahui dengan pasti kapan dan bagaimana bahasa muncul untuk pertama
kalinya. Para ahli bahasa banyak berbeda pendapat tentang sejak kapan bahasa mulai
tercipta. Sebagian memandangnya sebagai perkembangan evolusioner yang relatifbaru
munculnya, barangkali tidak lebih dari 100.000 tahun yang lalu, sementara sebagian
lainnya yakin bahwa bahasa telah berkembang sejak sejuta tahun yang lalu.

Karya terkenal yang berusaha mengetahui asal-usul bahasa adalah karya Hockett dan
Ascher (1964). Kedua ilmuwan ini berusaha mendeskripsikan proses tahap-demi-tahap
melalui mana sistem penyebutan tertutup nenek moyang pra-manusia berkembang
menjadi bahasa yang sebenamya. Mereka memulai dengan mendeskripsikan ciri-ciri
dasar yang terkandung dalam sebuah sistem penyebutan. Sistem tersebut terdiri dari
sejumlah kecil tanda yang berbeda, yang masing-masing ada hubungannya dengan
situasi yang terjadi secara berulang-ulang dan penting secara biologis. Situasi tersebut
meliputi, antara lain, penemuan makanan, pendeteksian bahaya, keinginan berkawan,
penunjukkan tempat tinggal seseorang, hasrat seks, dan terjadinya penderitaan. Ketika
nenek moyang kita keluar dari hutan dan mulai hidup di alam datar, maka tangan, yang
sebelumnya diperlukan untuk memanjat dan berayun di hutan, dapat dimanfaatkan
untuk keperluan lain. Tangan dipergunakan untuk berbagai tujuan, seperti membuat
dan membawa senjata dan peralatan kasar, membawa makanan yang diperoleh.
Selanjutnya, ini mengakibatkan mulut, yang semula digunakan untuk membawa
sesuatu, dapat digunakan untuk sesuatu pekerjaan yang lain. Hockett dan Ascher
berpendapat bahwa kegunaan baru mulut adalah berbicara.

Pada titik evolusioner sejarah inilah Hockett dan Ascher memandang awal munculnya
bahasa. Mereka memandang bahasa muncul dari "pembukaan" sistem penyebutan.
Adalah memungkinkan, misalnya, membayangkan sebuah situasi di mana urutan
huruf, katakanlah ABCD, memberikan makna "ada makanan di sini", sementara
rangkaian EFGH berarti "ada bahaya". Dapat dipahami bahwa dalam satu situasi di
mana ada makanan dan juga bahaya, hominid awal mungkin melahirkan ungkapan
yang baru, ABGH, yang berarti ”makanan dan bahaya”. Hockett dan Ascher
menyatakan bahwa ini sangat menyerupai tahap awal yang diperlukan dalam
pembukaan sistem penyebutan, dan dengan demikian merupakan tahap awal ke arah
bahasa yang sebenarnya.

37
Tentu saja, ungkapan baru, ABGH, itu sendiri hanyalah sebuah sebutan baru dan
bukan simbol (mungkin dapat disebut penyebutan gabungan). Namun, sebutan baru
tersebut adalah sebutan yang lebih rumit : Ia mentransmisikan lebih banyak informasi
dengan cara yang lebih efisien. Akhirnya, Hockett dan Ascher berpendapat bahwa
seluruh sistem penyebutan gabungan tersebut pasti berkembang, sistem tersebut pasti
telah ditransmisikan kepada generasi baru dengan mengandalkan pengajaran. Sistem
tersebut yang disebut Hockett dan Ascher sebagai pra-bahasa, pasti telah berfungsi
sebagai tali penghubung antara sistem penyebutan yang tertutup pada masa yang lebih
awal dengan bahasa yang sebenarnya.

Pra-bahasa ini, walaupun melahirkan sejenis "sistem penyebutan terbuka”, tidak


mengandung salah satu unsur penting bahasa yang sebenarnya: dualitas susunan.
Akhirnya, dengan perkembangan lebih lanjut dari sistem penyebutan dalam kaitannya
dengan jumlah dan kerumitan penyebutan, ini juga berkembang. Ciri-ciri dasar suara
menunjukkan serangkaian komponen fonologis dasar yang dapat dikombinasikan dan
direkombinasikan ke dalam susunan yang telah disepakati dan memberikan makna-
makna yang telah dilekatkan secara arbitrer. Hockett dan Ascher memandang bahwa
yang terpenting dalam proses ini adalah bahwa ini telah tercapai sekitar sejuta tahun
yang lalu. Dengan mengembangkan sebuah sistem bahasa yang sebenarnya, umat
manusia telah melintasi apa yang hanya dapat dianggap sebagai ambang Pintu
perjalanan evolusioner yang kritis.

c) Signifikansi Fungsional Bahasa

Evolusi bahasa merupakan evolusi yang mempunyai signifikansi krusial bagi umat
manusia karena ia meratakan jalan bagi munculnya kebudayaan, sehingga sistem
peralatan, pikiran dan tindakan kompleks yang telah memberikan kepada manusia
cara-cara adaptasi yang sangat efektif. Sebagaimana dikatakan White (1949) :

semua kebudayaan (peradaban) tergantung kepada


simbol.Kemampuan penggunaan simbollah yang melahirkan
kebudayaan dan penggunaan simbollah yang dapat mempertahankan
kebudayaan. Tanpa simbol, tidak akan ada kebudayaan, dan manusia
hanyalah binatang, dan bukan manusia.

Kebudayaan memerlukan kemampuan simbolisasi sebab ia sangat tergantung kepada


sebuah alat untuk menyimpan dan mentransmisikan sejumlah besar informasi yang

38
disampaikan dalam kehidupan sosialnya sebuah sistem simbol yang komplek — yakni
bahasa —yang memberikan alat tersebut.

Sebagian ilmuwan menyatakan bahwa penekanan kepada simbolsimbol sebagai basis


kebudayaan ini merefleksikan bentuk tersembunyi dari idealism (Sahlins, 1976).
Carolyn Fluehr-Lobban (1986), misalnya, menghadapkan penekanan kepada simbol
yang diberikan White dengan argumen Friedrich Engels tentang peranan buruh —
manipulasi lingkungan alam melalui penggunaan alat-alat — dalam penciptaan
kebudayaan. Dia menegaskan bahwa teori Engels adalah teori materialis yang
mengungguli posisi idealis White. Ini adalah argumen yang meragukan. Teori White
tidak berada dalam posisi idealis. Posisi idealis adalah posisi yang menyatakan bahwa
kandungan khas konstruksi simbolik manusia bentuk tertentu yang diambilnya dalam
waktu dan tempat tertentulah yang membentuk kebudayaan. Walaupun posisi White
adalah bahwa kapasitas general manusia untuk melakukan simbolisasilah yang
memungkinkan munculnya kebudayaan. Kapasitas untuk menyimpan dan
mentransmisikan informasilah yang memungkinkan kebudayaan muncul dan
terakumulasi sepanjang waktu. Posisi ini benar-benar konsisten dengan penekanan
Engels kepada peranan buruh dan pembuatan peralatan. Dalam kenyataannya,
sebagaimana telah kami tegaskan, pembuatan alat manusiawilah yang menggerakkan
sebuah rantai peristiwa dalam evolusi manusia yang akhirnya mengakibatkan
munculnya kemampuan melakukan simbolisasi.

d) Apakah Komunikasi Simbolik Khas Milik Manusia?

Hasil usaha mengajarkan dasar-dasar bahasa kepada kera yang dilakukan baru-baru ini
telah melahirkan keraguan akan keunikan kapasitas manusia dalam melakukan
simbolisasi. Banyak ilmuwan menyimpulkan dari hasil pengajaran tersebut bahwa
komunikasi simbolik tidaklah monopoli manusia, dan karena itu j arak lebar antara
manusia dan makhluk hidup lainnya tidaklah selebar yang dulu diyakini orang.

David Premack (1970) mengajarkan sejenis sistem simbol kepada seekor simpanse
muda yang bernama Sarah. Sarah diminta untuk meletakkan sejumlah potongan plastik
pada sebuah papan tulis bermagnet, masing-masing potongan plastik tersebut berisi
satu kata, dan rangkaiannya akan menyajikan sebuah kalimat. Sarah tampaknya dapat
menggunakan sekitar 130 kata. Lebih dari itu, dalam sebuah eksperimen jangka
panjang yang terkenal dalam pengajaran bahasa, Gardner and Gardner (1969) berusaha

39
mengajar simpanse Washoe sebuah sistem yang lebih rumit dan rinci. Washoe diajari
penggunaan Bahasa Tanda Amerika untuk Deaf (Ameslan). Dia diajari bahasa ini
dengan sistem hadiah dan melalui bimbingan langsung, dan diajuga mencari sejumlah
kata dengan observasi langsung. Dia akhirnya mampu menguasai kosa-kata lebih dari
seribu buah; disamping itu, dia menguntai banyak kata-kata ini menjadi satu ke dalam
sejumlah kalimat pendek. Beberapa eksperimen yang lebih baru mengajarkan dasar-
dasar kemampuan berbahasa kepada gorilla. Psikolog Francine Paterson dari
Universitas Stanford sangatberhasil mengajari KOKO, seekor gorilla betina muda,
Ameslan. Pada laporan terakhir, Koko telah menguasai hampir 300 kosa-kata dan
mampu mengkombinasikannya ke dalam beberapa kalimat panjang (Hill, 1978).

Hasil dari berbagai eksperimen ini nampak bertentangan dengan argumen bahwa
simbolisasi, dan dengan demikian juga bahasa, adalah kapasitas unik manusia. Semua
kera besar jelas mampu menggunakan, secara terbatas, dasar-dasar sistem komunikasi
simbolik. Namun nampaknya tidaklah bijaksana terlampau cepat membuat kesimpulan
yang tergesa-gesa dan dramatis dengan mendasarkan diri kepada temuan-temuan
tersebut. Harus diingat bahwa kera-kera ini diajari penggunaan simbol-simbol oleh
manusia, bukan oleh kera yang lain. Walaupun kera sudah belajar menggunakan
sebagian kecil simbol, mereka tidak menciptakannya. Sejauh yang kami ketahui, hanya
manusialah yang menemukan simbol-simbol.

3) Tugas / Latihan

Diberikan tugas berdiskusi dalam kelompok, membuat peta konsep teori, menganalisis
teori, menyampaikan hasil analisis teori.

G. Kegiatan Pembelajaran ke 7 : Kelompok Etnik dan Ras Manusia

1) Tujuan Materi Pembelajaran

Agar mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pandangan tentang kelompok etnik
dan ras manusia.

40
2) Materi Pembelajaran
a) Kelompok etnik;
Kelompok etnik dikenal sebagai populasi yang secara biologis mampu berkembang
biak dan bertahan. Ciri-ciri tertentu pada kelompok etnik, yaitu:
1. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dałam
suatu bentuk budaya;
2. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri;
3. Menentukan ciri kelompok sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat
dibedakan dari kelompok populasi lain.

Ciri-ciri kebudayaan khusus pada kelompok etnik antara lain:


1. Keabadian unit-unit budaya;
2. Faktor-faktor yang memengaruhi terbentuknya unit budaya.

Pada kelompok etnis, unit budaya akan memersatukan pengelompokannya karena


keanggotaan kelompok etnis bergantung pada kemampuan kelompok memperlihatkan
sifat budaya kelompoknya. Para pengamat etnografi di daerah budaya yang ditelitinya
mengabaikan berbagai kategori dan anggapan tentang anggota kelompok etnik
tersebut. Perbedaan yang terdapat antara kelompok mengakibatkan berbedanya cara
untuk mengumpulkan sifat-sifat budaya dengan mengonsentrasikan pada analisis
budaya, bukan pada łatanan etnisnya. Jadi, kebudayaan menjadi penentu utama
keabadian kelompok etnis.

Dalam perkembangan berikutnya, hubungan antar kelompok terjadi karena adanya


akulturasi yang berhubungan dengan sejarah pembentukan sifat budaya yang
beragam. Akulturasi membangun pengelompokan etnis yang berbeda, baru, dan lebih
menonjol karena unit budaya yang telah berubah. Bentuk-bentuk budaya yang tampak
menunjukkan adanya pengaruh ekologi dan kedatangan budaya ekternal, sehingga
akulturasi dibangun oleh budaya yang lebih dominan, sedangkan budaya yang lemah
akan meleburkan diri begitu saja hingga akhirnya hilang. Kelompok etnis yang tinggal
tersebar di daerah dengan lingkungan ekologi yang bervariasi akan memperlihatkan
perilaku yang berbeda, sesuai dengan daerah tempat tinggalnya, meskipun tidak
mencerminkan orientasi budaya yang berbeda. Dalam menentukan sifat budaya
kelompok, kita perlu mengetahui bentuk tatanan budaya yang tampak dan pengaruh
ekologis yang memengaruhi berubahnya kebudayaan asli etnis tertentu.

41
Pada prinsipnya, kelompok etnis dapat dipandang sebaga tatanan sosial. Ciri asalnya
bersifat kategoris (categorical ascription) dan mendasar, yang secara umum
menentukan seseorang termasuk kelompok etnis tertentu. Misalnya, bahasa yang
dipergunakan, wilayah tempat tinggal, kesenian tradisional, dan yang lainnya.

Tatanan sosial membangun batas-batas kelompok etnis, sebagaimana disebut "orang


Sunda”, "orang Batak”, "orang Jawa”, dan sebutan lainnya, menunjukkan batas
kelompok etnis dan batas sosial, meskipun awalnya hanya ditentukan oleh batas
wilayah. Akan tetapi, secara antropologis, sebutan etnis menunjukkan sifat
kebudayaan tertentu yang hanya berlaku pada dan untuk etnis tertentu pula.

Pada dasarnya, kelompok etnis bukan semata-mata ditentukan oleh wilayah tempat
tinggalnya. Ada berbagai cara yang digunakan untuk mempertahankan kelompok
etnis, di antaranya karena adanya sikap budaya asimilatif dari berbagai etnis dan
pengembangan interaksi melalui adaptabilitas dari kelompok ekternal etnis, misalnya
di wilayah Jawa Barat dengan etnis Sunda ditemukan setiap hari penduduk baru
dengan etnis yang beragam, yaitu etnis Batak, Arab Cina, Jepang, Jawa, Madura,
Solo, Pekalongan, Yogyakarta, dan lainlain. Dengan adanya keragaman etnis, terjadi
ikatan positif yang menjalin hubungan antar-beberapa kelompok etnis dalam sistem
sosial yang luas. Hal itu pun bergantung pada sifat budayanya yang saling
melengkapi. Pada wilayah tertentu, kondisi demikian dapat menimbulkan saling
kebergantungan, misalnya muncul sikap mutual simboisis antara orang Jawa dengan
orang Batak. Jika tidak ada kondisi saling membutuhkan, pengaturan batas etnis pun
tidak akan ada, artinya tidak akan pernah terjadi interaksi. Mungkin interaksi yang
dilakukan tidak berjalan atas nama kerja sama antaretnis.

Hal yang penting dari kelompok etnis adalah sikap solidaritas sosial terhadap
kelompoknya. Hal tersebut dilandasi oleh ikatan emosional yang kuat. Menurut
Durkheim, solidaritas sosial merupakan keadaan hubungan antara individu atau
kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut
bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Dengan adanya
pengalaman emosional bersama, setiap kelompok etnis saling membantu dan rasa
kesetiaan terhadap kelompoknya, tanpa ada desakan dari luar.

42
Solidaritas kelompok etnis diperkuat oleh adanya rasa takut yang datang dari berbagai
perasaan kelompok tertentu. Misalnya, ketakutan karena ancaman perebutan wilayah,
penghancuran budaya, diskriminasi sosial, marginalisasi, dan tekanan-tekanan yang
datang dari dan atas nilai-nilai keyakinan tertentu. Oleh karena itu, solidaritas etnis
terbangun dan semakin kukuh.

Perbedaan suku bangsa, agama, regional, dan pelapisan sosial menjadi dasar
terjadinya pengelompokan masyarakat. Jalinan tersebut menghasilkan kelompok dan
golongan yang sekaligus menjadi sumber kelompok kepentingan dan juga dianggap
menjadi sumber timbulnya konflik sosial. Pembagian otoritas dapat menimbulkan
kepentingan yang berlawanan satu dan lainnya. Pembagian otoritas mengakibatkan
kekuasaan yang berbeda dan praktik kepemimpinan Yang didasarkan pada
kepentingan masing-masing. Pemegang otoritas pun dapat dengan mudah mengatur
kepentingannya. Karl Marx (Magnis Suseno, 1997: 45) menegaskan adanya hubungan
antara common situation dan common interest, bahwa pada setiap masyarakat selalu
terdapat konflik antar kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan otoritatif,
yaitu berupa kepentingan untuk memelihara dan mengukuhkan status quo dari pola
hubungan kekuasaan yang ada dengan kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan
otoritatif, yaitu berupa kepentingan mengubah atau merombak status-quo dari pola
hubungan tersebut. Kepentingan-kepentingan yang tidak selalu disadari itu disebut
sebagai kepentingan-kepentingan yang bersifat latent (latent interest), sementara
mereka yang memilikinya disebut sebagai kelompok semu (quasi groups), mengingat
kenyataan bahwa pola hubungan sosial yang berkembang di antara para anggotanya
terbentuk melalui proses yang tidak mereka sadari. Dengan demikian, kepentingan
yang beragam dapat dipersatukan jika kelompok yang berbeda menyadari tujuan
bersama, tetapi jika tidak muncul kesadaran etnis dan kesadaran kepentingan bersama,
yang muncul adalah konflik kepentingan.

b) Ras Manusia
Ras (dari bahasa Prancis race dan dari bahasa Latin radix, "akar") adalah suatu sistem
klasifikasi yang digunakan untuk mengategorikan manusia dalam populasi atau
kelompok besar dan berbeda melalui ciri fenotipe, asal-usul geografis, tampang
jasmani, dan kesukuan yang terwarisi. Pada awal abad ke-20, istilah ini sering
digunakan dalam arti biologis untuk menunjuk populasi manusia yang beragam dari

43
segi genetik dengan anggota yang memiliki fenotipe (tampang luar) yang sama. Arti
"ras" ini masih digunakan dalam antropologi forensik (dalam menganalisis sisa
tulang), penelitian biomedis, dan kedokteran berdasarkan asal-usul.

Di Amerika Serikat misalnya, penegak hukum menggunaka istilah "ras" dalam


menentukan profil tersangka dan penggambaran kembali tampang sisa yang belum
diidentifikasi. Selain itu, karena banyak masyarakat, pengelompokan berdasarkan
"ras" mengikuti pola pelapisan sosial. Bagi ilmuwan sosial yang meneliti kesenjangan
sosial, "ras" dapat menjadi variabel yang berarti. Sebagai faktor sosiologis, kategori
"ras" dapat secara terbatas mencerminkan penjelasan yang subjektif mengenai jati diri
dan lembaga sosial.

Oleh karena itu, paradigma "ras" yang digunakan dalam berbagai disiplin menekan
dengan cara yang beragam pada sifat biologis atau pada segi konstruk sosial.
Walaupun para biologis terkadang menggunakan paham "ras" untuk membuat
pembedaan antara kumpulan ciri-ciri yang rancu, ilmuwan Iain mengajukan wawasan
bahwa paham "ras" sering digunakan secara naif atau terlalu sederhana. "Ras" tidak
memiliki arti taksonomis untuk manusia: semua manusia adalah anggota dari
subspesies hominid yang sama, yaitu Homo sapiens sapiens. Paham sosial dan
pengelompokan ras berubah dengan waktu, termasuk taksonomi awam yang
menentukan tipe orang yang bersifat esensialisme berdasarkan ciri-ciri yang terlihat.
Para ilmuwan menganggap esensialisme biologis sudah tertinggal zaman dan pada
umumnya tidak mendukung penjelasan berdasarkan ras untuk pembedaan kelompok,
baik dari segi ciri-ciri jasmani maupun kelakuan.

Saat orang menentukan dan menggunakan satu paham tertentu untuk "ras", mereka
menciptakan suatu kenyataan sosial tempat diterapkannya suatu kategorisasi sosial
tertentu. Oleh sebab itu, "ras" dipandang sebagai konstruk sosial. Konstruk tersebut
berkembang dalam berbagai konteks hukum, ekonomi, sosio-politik, dan boleh jadi
Iebih merupakan akibat dari kenyataan sosial. Walaupun banyak ilmuwan
berpandangan bahwa "ras" adalah konstruk sosial, kebanyakan pakar setuju bahwa
"ras" memiliki dampak materiel yang nyata dalam diskriminasi perhunian, proses
hukum, praktik politik, pendidikan, dan Iain-lain. Teori Omi dan Winant, mengenai
pembentukan ras, mengatakan bahwa "ras adalah suatu konsep yang mengartikan
serta melambangkan pertentangan dan kepentingan sosial melalui pengacuan pada

44
tipe jasmani manusia yang berbeda." Arti dan maksud istilah "ras" dihasilkan dan
digunakan oleh lembaga sosial melalui pandangan bersifat kebudayaan. Sejak Omi
dan Winant, para akademisi telah menyusun dan meninjau kembali maksud "ras"
sebagai konstruksi sosial dengan meneliti cara, gambaran, paham, dan asumsi
mengenai "ras" dirumuskan dalam kehidupan sehari-hari. Angela Davis, Ruth
Gilmore, dan Imani Perry menelusuri hubungan antara paham "ras" dari segi sejarah
dengan social production dalam bahasa hukum dan pidana, dampaknya atas kebijakan
terhadap orang Hitam di Amerika, dan jumlah mereka dalam penjara yang sudah tidak
proporsional lagi.

Diskriminasi rasial sering bertepatan dengan pola pikir yang rasis, yaitu para individu
dan ideologi satu kelompok melihat anggota dari kelompok Iain sebagai suatu "ras"
tertentu yang Iebih rendah secara moral. Akibatnya, kelompok yang tidak banyak
berkuasa sering terasing atau tertindas, sedangkan individu dan lembaga yang
dominan dituduh bersikap rasis. Rasisme berakibatkan banyak contoh tragedi,
termasuk perbudakan dan genosid.

1. Paham Modern Pertama tentang "Ras"


Tiga "ras" besar menurut buku Meyers Conversations Lexicon dari Jerman tahun
1885-1890. Subtipe "ras Mongoloid" ditandai dengan warna kuning dan jingga,
"ras Kaukasoid" dalam warna keabuabuan, dan "ras Negroid" dalam warna
cokelat. Orang Dravida dan Singhala diwarnai hijau zaitun dan klasifikasi mereka
dinyatakan sebagai kurang menentu. "Ras Mongoloid" adalah yang terluas
penyebarannya, termasuk Amerika, Asia Utara, Asia Timur, Asia Tenggara, dan
keseluruhan Arktik yang dihuni manusia.

Boleh jadi, kelompok manusia dari dulu selalu menentukan diri sendiri sebagai
berbeda dari kelompok lain. Akan tetapi, perbedaan tersebut belum tentu
dipandang sebagai sesuatu yang alami, tidak terubahkan, dan menyeluruh.
Pandangan ini merupakan ciri khas paham "ras" yang digunakan pada masa kini.

Pada awalnya, kata "ras" dipakai untuk menunjuk suatu bangsa atau kelompok
etnis. Marco Polo misalnya, dalam bukunya yang ditulis pada abad ke-13,
menguraikan "ras Persia". Paham "ras" masa kini baru muncul pada abad ke-17.
Paham Eropa tentang "ras", sejalan dengan sejumlah paham yang sekarang

45
dikaitkan dengan istilah tersebut, muncul pada saat revolusi ilmiah yang
mengutamakan penelitian alam dan masa imperialisme serta kolonialisme Eropa,
yang menciptakan hubungan politik antara orang Eropa dengan bangsa yang
memiliki tradisi kebudayaan dan politik yang berbeda. Dengan bertemunya orang
Eropa dengan bangsa dari berbagai bagian dunia, mereka membahas perbedaan
jasmani, sosial, dan kebudayaan di antara berbagai kelompok manusia.
Munculnya perniagaan budak di Atlantik, yang secara berangsur menggantikan
perniagaan budak yang lebih lama di seluruh dunia, semakin mendorong untuk
mengategorikan kelompok manusia demi membenarkan ditundukkannya budak
asal Afrika. Dengan mengacu pada sumber klasik mereka dan hubungan antar
bangsa Eropa sendiri —misalnya, permusuhan bebuyutan antara Inggris dan
Prancis yang sangat berpengaruh atas pemikiran Eropa awal mengenai perbedaan
antar bangsa— orang Eropa mulai mengotakkan mereka sendiri dan bangsa lain
dalam kelompok berdasarkan tampang jasmani, melekatkan pada individu dalam
kelompok tersebut, serta perilaku dan kemampuan yang dianggap mengakar
dalam-dalam. Berkembanglah sejumlah kepercayaan yang mengaitkan perbedaan
jasmani antarkelompok yang terwarisi dengan sifat intelektual, perilaku, dan
moral yang juga dikira terwarisi.

Paham serupa ditemukan pada kebudayaan lain, misalnya di Tiongkok, ketika


suatu konsep yang diterjemahkan dengan istilah "ras" dikaitkan dengan yang
dipercayai, yaitu keturunan bersama dari Kaisar Kuning dan digunakan untuk
menegaskan kesatuan para kelompok etnis di Tiongkok Cina. Pertikaian penuh
kekerasan antarkelompok etnis sempat terjadi di sepanjang sejarah dan di seluruh
dunia.

Klasifikasi pasca klasik yang pertama manusia dalam "ras" diketahui adalah
Nouvelle division de la terre par les différents espèces ou races qui l'habitent
(Pembagian baru bumi oleh spesies atau ras yang menghuninya) oleh Francois
Bernier dari Prancis yang diterbitkan pada tahun 1684. Pada abad ke-18,
perbedaan antara kelompok manusia menjadi bahan penyelidikan ilmiah. Akan
tetapi, klasifikasi ilmiah mengenai variasi fenotipe sering disertai gagasan rasis
mengenai kemampuan yang dianggap melekat pada berbagai kelompok yang
selalu memberi ciri-ciri paling bagus kepada orang Eropa atau orang kulit putih

46
dan memperingkatkan "ras" lain dalam suatu kontinum ciri-ciri yang secara
berangsur-angsur menjadi kurang bagus. Carolus Linnaeus, pencipta taksonomi
zoologis tahun 1755, membagi ras manusia Homo Sapiens dalam varietas
Europaeus, Asiaticus, Americanus, dan Afer, yang masing-masing dikaitkan
dengan watak yang berbeda: sanguine, melancolis, choleric, dan bilious. Homo
Sapiens Europeaus dikatakan aktif, cerdas, dan petualang, sedangkan Homo
Sapiens Afer dikatakan licik, pemalas, dan sembrono.

Dalam bukunya berjudul The Natural Varieties of Mankind, Johann Friedrich


Blumenbach yang diterbitkan tahun 1775 mengajukan lima kelompok besar, yaitu
ras Kaukasoid, ras Mongoloid, ras Etiopia (yang kemudian dinamakan ras
Negroid), ras Indian, dan ras Melayu, tetapi ia tidak mengusulkan peringkat apa
pun antara para ras.

Dari abad ke-17 sampai 19, pelemburan kepercayaan orang awam mengenai
perbedaan antar kelompok, dengan penjelasan ilmiah mengenai perbedaan ini,
menghasilkan "ideologi tentang ras". Menurut ideologi ini, ras adalah mendasar,
alami, lestari, dan terpisah. Di Amerika Serikat, teori ras Thomas Jefferson sangat
berpengaruh. Ia melihat orang Afrika lebih rendah daripada orang kulit putih,
khususnya dari segi kecerdasan dan memiliki nafsu seksual yang lebih, tetapi
menganggap orang Indian setara dengan orang kulit putih.

Pada dua dasawarsa terakhir abad ke-18, poligenisme, yaitu kepercayaan bahwa
"ras" yang berbeda telah berkembang secara terpisah di setiap benua dan tidak
memiliki moyang yang sama, diajukan di Inggris oleh sejarawan Edward Long
dan anatomis Charles White, di Jerman oleh etnograf Christoph Meiners dan
Georg Forster, di Prancis oleh Julien Virey, serta di Amerika Serikat oleh Samuel
Morton, Josiah Nott, dan Louis Agassiz. Poligenisme popular dan paling
menyebar pada abad ke-19 dan memuncak dengan didirikannya Anthropological
Society of London selama American civil war, bertentangan dengan Ethnological
Society of London yang anti perbudakan.

2. Model Evolusi Manusia


Dalam suatu artikel pada tahun 1995, Leonard Lieberman dan Fatimah Jackson
menyatakan bahwa dukungan baru mana pun untuk suatu paham biologis tentang

47
"ras" kemungkinan besar datang dari penelitian tentang evolusi manusia. Menurut
mereka, pertanyaannya adalah mengenai akibat model evolusi manusia yang ada
sekarang atas paham "ras" yang berdasarkan biologi.

Saat ini, semua manusia diklasifikasi sebagai anggota spesies Homo sapiens dan
subspesies Homo sapiens sapiens. Akan tetapi, manusia bukan spesies homininae
pertama. Sebab, spesies pertama berasal dari genus Homo adalah Homo habilis
yang diperkirakan muncul di Afrika Timur paling sedikit 2 juta tahun lalu.
Anggota spesies ini menghuni berbagai bagian wilayah Afrika dalam waktu yang
agak singkat. Homo erectus diteorikan berkembang lebih dari 1,8 juta tahun silam
dan sekitar 1,5 juta tahun silam tersebar di Eropa dan Asia. Hampir semua
antropolog fisik setuju bahwa Homo sapiens berkembang dari Homo erectus
Afrika (sensu lato atau Homo ergaster). Kebanyakan antropolog berpikir bahwa
Homo sapiens berkembang di Afrika Timur, dan kemudian bermigrasi keluar dari
Afrika menggantikan populasi Homo erectus di Eropa dan Asia (model "asalusul
manusia modern dari Afrika).

3. Ras sebagai Konstruksi Sosial


Para antropolog dan ilmuwan evolusi lain beralih dari istilah "ras" ke istilah
"populasi" untuk membahas perbedaan genetika. Para sejarawan, antropolog
kebudayaan, dan ilmuwan sosial memahamkan kernbali istilah "ras" sebagai
kategori kebudayaan atau konstruksi sosial serta suatu cara tertentu orang bicara
tentang mereka dan tentang orang lain.

Banyak ilmuwan sosial menggantikan istilah "ras" dengan kata "kelompok etnik"
untuk menunjuk kelompok yang mengidentifikasi diri-sendiri berdasarkan
kepercayaan mereka mengenai kebudayaan, asal-usul, dan sejarah bersama. Selain
masalah empiris dan konseptual yang dibawa paham "ras," setelah Perang Dunia
Kedua, para ilmuwan bidang evolusi dan sosial sangat menyadari bahwa
kepercayaan mengenai "ras" diperalat untuk membenarkan diskriminasi,
apartheid, perbudakan, dan genosid. Pertanyaan ini bertambah ramai pada tahun
1960-an dengan gerakan hak sipil di Amerika Serikat dan munculnya banyak
gerakan anti-kolonial di seluruh dunia. Para ilmuwan akhirnya berpikir bahwa
"ras" adalah suatu konstruksi sosial, suatu paham yang menyebabkan orang

48
percaya adalah kenyataan objektif, tapi sebetulnya mendapat kepercayaan karena
fungsi sosialnya.

Tahun 2000, Craig Venter dan Francis Collins dari National Institute of Health
(lembaga kesehatan nasional) di Amerika Serikat mengumumkan pemetaan dari
genom manusia. Setelah meneliti data dari pemetaan genom tersebut, Venter
melihat bahwa walaupun besaran variasi genetik dalam spesies manusia adalah
sekitar I-3% (yaitu lebih dari 1 % yang diperkirakan semula), tipe variasi tersebut
tidak mendukung paham "ras" dalam arti genetik. Venter mengatakan bahwa "Ras
adalah suatu konsep sosial, bukan konsep ilmiah. Tidak ada garis yang jelas (yang
akan muncul), seandainya kita membandingkan semua genom bersekuensi dari
semua orang di atas planet ini." "Apabila kita coba menerapkan ilmu untuk
mencoba menyusun perbedaan sosial tersebut, runtuh semuanya."

Stephan Palmié menegaskan bahwa "ras" "bukan suatu benda, melainkan suatu
hubungan sosial", yang menurut Katya Gibel Mevorach, "suatu metonim," yaitu
"karangan manusia yang kriteria pembedaannya tidak universal dan tidak tetap,
tetapi selalu digunakan untuk mengatur perbedaan." Dengan demikian,
penggunaan kata 'ras" perlu dianalis. Lebih dari itu, Palmié dan Mevorach
mengatakan bahwa biologi tidak akan dapat menjelaskan mengapa atau
bagaimana orang menggunakan paham "ras". Sebab, yang akan menjelaskannya
adalah sejarah dan tatanan sosial.

Evolusi manusia atau anthropogenesis merupakan bagian dari evolusi biologi


yang mengenai munculnya Homo sapiens. Ini merupakan subjek yang luas
penyelidikan ilmiah yang berusaha memahami dan menjelaskan cara perubahan
ini terjadi. Studi dari evolusi manusia meliputi berbagai ilmu pengetahuan,
terutama fisik antropologi, linguistik, dan genetika.

Beberapa typological spesies Homo telah berkembang, termasuk Homo erectus


yang menghuni Asia, Homo neanderthalensis yang menghuni Eropa, dan Archaic
Homo sapiens berevolusi antara 400.000 dan 250.000 tahun yang lalu.

Humanoid adalah istilah yang dibentuk dari bahasa Latin Hummt yang berarti
manusia dan Bahasa Yunani -oeides yang berarti kesamaan ekspresi. Istilah ini
disebutkan pada tahun 1918 untuk menunjuk pada fosil yang dianggap dekat

49
dengan spesies manusia, tetapi sebenarnya bukan manusia, termasuk spesies yang
diklasifikasikan sebagai Homo seperti Neanderthal.

3) Tugas / Latihan

Diberikan tugas berdiskusi dalam kelompok, mecari tulisan sanggahan terhadap materi
ajar dengan beberapa pendekatan teori serta menyampaikan hasil di kelas.

H. Kegiatan Pembelajaran ke 8 : Masyarakat, Kebudayaan dan Adaptasi Manusia

1) Tujuan Materi Pembelajaran

Agar mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pandangan tentang konsep dasar
masyarakt, kebudayaan dan adaptasi manusia.

2) Materi Pembelajaran
a) Pola Organisasi Masyarakat

Suatu species makhluk hidup bersifat sosial apabila para anggotanya hidup bersama,
berinteraksi dan tergantung satu sama lain untuk mempertahankan hidupnya. Manusia
adalah makhluk sosial karena mereka hidup bersama dalam berbagai kelompok yang
terorganisasi yang kita sebut masyarakat. Namun ini bukanlah khas manusia saja,
karena banyak sekali species makhluk hidup yang hidup bermasyarakat, dan pola
organisasi masyarakat tersebut tidak terbatas pada species yang disebut lebih maju.
Banyak serangga yang hidup bersama dalam kelompok-kelompok sosial yang
kompleks, masingmasing anggotanya sangat saling tergantung satu sama lainnya
dalam mempertahankan hidup. Ringkas kata, kehidupan sosial merupakan gejala yang
sangat umum dalam kehidupan makhluk hidup.

Meski demikian, kehidupan sosial tidaklah terdistribusi secara acak di antara berbagai
species makhluk hidup. Status evolusioner suatu species melahirkan hubungan
langsung dengan kelaziman pola organisasi masyarakat. Semakin suatu species
bertahan hidup dalam skala kehidupan phylogenetic, semakin besar kemungkinan
memperlihatkan kehidupan sosial yang terorganisasi. Dengan demikian, walaupun
hanya sebagian serangga yang hidup bermasyarakat, kebanyakan binatang mamalia

50
bersifat sosial dan semua primata menjalankan kehidupan mereka dalam kerangka
kemasyarakatan.

Namun, adalah kesalah serius, menganggap bahwa masing-masing masyarakat lebah,


simpanse dan manusia sama secara fundamental. Sifat khas dari dan dasar berbagai
kehidupan sosial menunjukkan perbedaan yang mencolok satu sama lainnya.
Kehidupan sosial lebah, semut dan tawon bersifat kompleks dan rumit, tetapi perilaku
sosial species tersebut sepenuhnya diatur Oleh mekanisme instinktual. Kehidupan
sosial serangga terprogram dengan serangkaian respons perilaku yang sudah baku.
Belajar sebenarnya tidak berperan sama sekali dalam tindakan mereka.

Deskripsi tentang dasar perilaku sosial semacam itu tidak berlaku bagi primata non-
manusia. Sebagai contoh, walaupun kebanyakan kehidupan sosial simpanse ditentukan
secara genetik, penelitian baru-baru ini menunjukkan dengan jelas bahwa belajar
memainkan peranan yang signifikan dalam perilaku sosial mereka. Peranan belajar
dalam hal ini merupakan sebuah ilustrasi dari prinsip umum bahwa semakin besar
kompleksitas evolusioner sebuah organisme, semakin besar pengaruh belajar (Van Den
Berghe, 1978).

Prinsip ini membantu memahami dasar kehidupan sosial manusia, karena dalam
species manusialah peranan belajar melebihi peranan yang dimainkan faktor-faktor
biologis dalam pembentukan perilaku sosial. Tetapi tidaklah cukup sekadar mengklaim
bahwa perilaku sosial manusia sangat ditentukan oleh kegiatan belajamya. Perlu
ditegaskan bahwa perilaku manusia dipelajari melalui kebudayaan, dan dengan
demikian, masyarakat manusia, berbeda dengan masyarakat berbagai species lainnya,
merupakan sistem yang diatur secara kultural.

b) Kebudayaan dan Adaptasi Manusia

Konsep kebudayaan tidak dapat diabaikan dalam pengkajian perilaku manusia dan
masyarakat manusia. Sayangnya, tidak ada kesepakatan universal tentang makna
konsep ini. Sebagian ilmuwan sosial yang menggunakannya merujuk kepada makna
simbolik yang dilekatkan individu kepada perilaku mereka, sehingga tidak
mempertimbangkan perilaku itu sendiri sebagai satu bagian dari kebudayaan
(Goodenought, 1969). Buku ini mengambil posisi bahwa konseptualisasi semacam itu
terlalu sempit, karena ia terbatas hanya kepada salah satu dari semua aspek yang
relevan dengan kehidupan sosial manusia. Dengan demikian, kami akan

51
mendefinisikan kebudayaan secara lebih luas sebagai seluruh karakteristik para
anggota sebuah masyarakat, termasuk peralatan, pengetahuan, dan cara berpikir dan
bertindak yang telah terpolakan, yang dipelajari dan disebarkan serta bukan merupakan
hasil dari pewarisan biologis.

Definisi kebudayaan ini menekankan bahwa sebuah totalitas kompleks yang memuat
tiga rangkaian gejala yang saling berhubungan: peralatan dan teknik-ringkasnya,
teknologi — yang telah ditemukan manusia untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya; pola perilaku yang diikuti para individu sebagai anggota masyarakat;
dan berbagai kepercayaan, nilai dan aturan yang diciptakan manusia sebagai alat untuk
mendefinisikan hubungan mereka satu dengan lainnya dan dengan lingkungan
alamnya.

Ada empat karakteristik utama kebudayaan. Pertama, kebudayaan mendasarkan diri


kepada sejumlah simbol. Simbol sangat essensial bagi kebudayaan karena ia
merupakan mekanisme yang diperlukan untuk menyimpan dan mentransmisikan
sejumlah besar informasi yang membentuk kebudayaan. Kedua, kebudayaan itu
dipelajari dan tidak tergantung kepada pewarisan biologis dalam transmisinya. Ketiga,
Kebudayaan adalah sistem yang dipikul bersama oleh para anggota suatu masyarakat;
yakni, ia merupakan representatif dari para anggota masyarakat yang dipandang lebih
secara kolektif daripada secara individual. Walaupun ada perbedaan tingkat
penerimaan berbagai anggota masyarakat terhadap pola kebudayaan mereka,
kebudayaan secara definisi adalah representatif dari para anggota masyarakat yang
dipandang secara kolektif. Terakhir, kebudayaan cenderung terintegrasi. Berbagai
bagian atau komponen kebudayaan cenderung menyatu sedemikian rupa sehingga
konsisten satu dengan lainnya, disamping konflik, friksi dan kontradiksi yang juga ada.

Perhatian yang besar telah diberikan baik oleh sosiolog maupun antropolog untuk
membedakan antara konsep masyarakat dan konsep kebudayaan. Secara umum,
masyarakat digunakan untuk menunjukkan kepada "hubungan-hubungan yang
terpolakan yang dicapai di antara orang-orang", sementara kebudayaan seringkali
dianggap sebagai "hasil dari hubungan yang terpolakan tersebut" (yakni, berbagai
teknologi, kepercayaan, nilai dan aturan yang berfungsi sebagai pedoman, sekaligus
sebagai hasil dari, hubungan yang terpolakan tersebut).

52
Walaupun pembedaan ini mungkin berguna untuk berbagai tujuan analisis, ia sangat
artifisial dan sangat terpisah dari realitas kongkret kehidupan manusia. Karena itu,
pembedaan ini tidak banyak menolong, dan barangkali lebih membahayakan daripada
mendatangkan kebaikan. Dengan demikian, ada gunanya menghindari pembedaan ini
untuk selanjutnya mengikuti mereka yang menggunakan istilah baru, sistem sosio-
kultural (Harris,1985b; Lenski and Lenski, 1987). Keuntungan nyata dari istilah ini
adalah karena ia akan menolong menunjukkan semua faktor yang membentuk "sistem"
di dalam mana para individu menjalani hidup mereka.

Signifikansi riel kebudayaan adalah sifat adaptifnya. Kebudayaan telah menciptakan


bagi manusia sebuah alat adaptasi baru terhadap kondisi kehidupannya, dan pola
adaptasi ini jauh melebihi adaptasi biologis. Pada tingkat phylogenetik yang lebih
rendah, masyarakat itu sendiri merupakan mekanisme adaptif yang berkembang dari
proses evolusi biologis yang panjang. Ketika masyarakat berkembang ke tingkat
kompleksitas yang lebih tinggi, dan ketika berbagai kondisi dikembangkan untuk
lahirnya sistem simbol dari sistem penyebutan, kebudayaan itu sendiri muncul sebagai
sebuah hasil evolusioner. Ketika semua ini terjadi, tahapan telah sampai kepada
perkembangan sosiokultural di mana kebudayaan menyaingi, dan akhirnya
menggantikan, biologi sebagai basis utama adaptasi manusia.

c) Apakah Kebudayaan Itu Khas Manusia?

Penemuan baru-baru ini, yang menunjukkan bahwa sebagian primata nonmanusia


seringkali menggunakan berbagai bentuk alat yang sangat sederhana, membuat
sejumlah pengamat untuk menentang sebuah kebijaksanaan (wisdom) konvensional
bahwa kebudayaan adalah milik khas manusia. Simpanse, misalnya, telah
menunjukkan bahwa mereka menggunakan sebilah rumput sebagai alat sederhana
untuk mengeluarkan anai-anai dari lobang mereka. Bahkan, ternyata simpanse
membuat atau membentuk alat ini sebelum menggunakannya (Jolly,1972). Telah
ditemukan bahwa kelompok-kelompok kera macaque Jepang telah mengembangkan
praktek menyuci kentang segar dan gandum sebelum mereka memakannya. Praktek-
praktek ini dipelajari Oleh anggota kelompok Iain, walaupun dengan cara pengamatan
dan bukan dengan cara pengajaran langsung (Jolly,1972). Siamang telah menggunakan
batu sebagai senjata, dan simpanse tampak benar-benar bermaksud mencapai
tujuannya dan mendekati obyek-obyeknya (Jolly,1972).

53
Bentuk penggunaan alat yang sangat sederhana ini harus dipandang sebagai bentuk
awal kebudayaan. Bentuk penggunaan tersebut berbeda pada kelompok-kelompok
yang ada dalam species yang sama, dan karena itu mereka belajar dan mengikuti pola
perilaku yang tidak dapat dianggap sebagai hasil pewarisan biologis. Namun, tidaklah
tepat untuk menarik kesimpulan dramatis tentang kebudayaan "non-manusia".
Walaupun primata non-manusia memiliki beberapa unsur awal kebudayaan, dan
dengan demikian pembedaan antara manusia dengan primata Iainnya harus dianggap
sebagai pembedaan kuantitatif, perbedaan kuantitatif ini begitu besar sehingga layak
untuk mengatakan bahwa kebudayaan adalah hasil manusia yang unik untuk semua
tujuan praktis. Dalam pengertian teknis, manusia bukan hanya makhluk yang
berkebudayaan, tetapi mereka tentu saja mempunyai kelebihan luar biasa dalam
menciptakannya dibandingkan dengan makhluk hidup Iainnya. Tidak ada peneliti yang
pernah menemukan sekelompok simpanse yang menyembah dewa-dewa, melamar
penganten perempuan dengan membayar sesuatu, atau membuat lukisan pada dinding-
dinding gua.

d) Transmisi Kebudayaan: Konsep Sosialisasi

Karena kemampuan khas manusia untuk belajar, kebanyakan sosiolog dan antropolog
sangat menekankan proses sosialisasi. Sosialisasi adalah proses di mana manusia
berusaha menyerap isi kebudayaan yang berkembang di tempat kelahirannya.
Kebanyakan ilmuwan sosial ini percaya bahwa proses inilah, di mana generasi tua
banyak sekali menghabiskan waktunya untuk mentransmisikan kebudayaan kepada
generasi penerusnya, dan generasi penerusnya biasanya banyak sekali menerima kesan
dari berbagai upaya pengajaran tersebut. Karena itu, sulit menolak bahwa proses
sosialisasi merupakan aspek krusial pengalaman manusia di mana saja, dan dengan
demikian konsep sosialisasi adalah konsep yang penting secara sosiologis.

Namun, mengakui semua ini tidak sama artinya dengan menyetujui bahwa konsep
tersebut mempunyai nilai teoritis yang penting, paling tidak bagi sosiolog makro.
Dengan kata Iain, walaupun sosialisasi merupakan bagian fundamental dari kehidupan
manusia di mana saja, mengandalkan adanya proses ini tidak dapat banyak membantu
menjelaskan kenapa sistem kultural bertahan sepanjang waktu. Dan ia tidak membantu
kita sama sekali menjelaskan bagaimana dan kenapa kebudayaan mengalami
perubahan, atau tegasnya, bagaimana ia muncul pertama kalinya.

54
Masalah yang rumit dan agak kabur ini memerlukan beberapa penjelasan. Cara yang
sangat menyenangkan dalam mendekati masalah ini adalah cara yang dilakukan oleh
George Homans (1984). Sebagaimana ditunjukkan Homans, banyak sosiolog yang
menjelaskan perilaku manusia sebagai "akibat kebudayaan". Mereka berpendapat
bahwa orang bertindak dan berpikir dengan cara tertentu karena mereka telah
disosialisasi ke dalam kebudayaan tertentu yang mereka terima sebagai sesuatu yang
benar, tepat dan wajar. Walaupun penjelasan ini benar dalam kadar tertentu, namun ia
terlalu menyederhanakan masalah. Homans menyebut mereka yang mengandalkan
penjelasan tentang perilaku manusia dengan cara semacam itu sebagai "penipu
kebudayaan (culture vulture)". Keberatannya kepada "penipu kebudayaan" sangat
berdasar dan jelas. Sebagaimana yang ia katakan, apa yang diabaikan penjelasan ini
adalah apa yang benar-benar ingin kita jelaskan terlebih dahulu: kenapa kebudayaan
secara orisinal mengambil bentuk tertentu. Dengan kata lain, tidaklah baik mengatakan
bahwa orang menyerap isi kebudayaan mereka, ketika yang perlu dijelaskan adalah
bagaimana ia menjadi jenis kebudayaan tertentu yang kepadanya manusia menjadi
terikat secara emosional dan memandang sangat perlu ditransmisikan.

Keberatan Homans kepada penipu kebudayaan sangat beralasan ketika kita menyadari
bahwa masalah paling fundamental yang ingin dijelaskan oleh sosiolog adalah
bagaimana dan kenapa kebudayaan berubah. Apakah kita dapat mengandalkan proses
sosialisasi ? Bagaimanapun juga, perubahan sebenarnya terjadi tanpa adanya
sosialisasi: la lebih merupakan modifikasi, ketimbang pemeliharaan, isi kebudayaan
tertentu. Bagaimana kita dapat menjelaskan perubahan dengan menggunakan sebuah
konsep yang secara eksplisit dirancang untuk menjelaskan tidak adanya perubahan?

Tetapi ketika kita membahas tentang kontinuitas dan stabilitas pun, bukan perubahan,
maka konsep sosialisasi tersebut nampaknya tidak membantu. Sebagaimana diakui
Homans dan banyak sosiolog dan antropolog, yang sebenarnya menjelaskan
kontinuitas kebudayaan dari satu generasi ke generasi selanjutnya bukanlah proses
sosialisasi, tetapi kenyataan bahwa anggota masyarakat penerusnya memberikan
respons danberadaptasi dengan sejumlah kenyataan historis yang sama dengan
kenyataan yang dihadapi generasi sebelumnya. Ketika kenyataan-kenyataan historis ini
berubah, maka orang akan mengubah cara mereka memberikan respons dan
beradaptasi, walaupun berhadapan dengan tekanan keras dari para pendahulu mereka
agar mempertahankan pola-pola responsi lama.

55
Dengan demikian, sosialisasi merupakan bagian pengalaman manusia yang senantiasa
ada dan bersifat universal. Dengan menggunakan konsep sosialisasi kita dapat belajar
tentang keinginan kuat generasi tua untuk mentransmisikan isi kebudayaan kepada
keturunan mereka. Pada tingkat kehidupan sehari-hari dan saling interaksi antar
individu yang bersifat mikrososiologis, konsep ini mungkin sangat bernilai. Tetapi
bagi Sosiolog Makro, ia tidak membantu sama sekali secara teoritis dan dalam
menjelaskan sesuatu. la tidak dapat menjelaskan tentang struktur makro masyarakat
dan transformasi struktur makro sepanjang zaman.

e) Etnosentrisme dan Relativisme Kultural

Ciri dasar kehidupan manusia yang dengan segera disadari oleh para antropolog dan
sosiolog yang serius adalah tingkat diversitas yang luar biasa banyaknya dalam sistem
sosio-kultural. Para ilmuwan sosial seringkali berhadapan dengan berbagai kebudayaan
yang sangat berbeda dengan kebudayaan mereka sendiri. Perasaan takut dan shock
yang sering dialami oleh para antropolog yang bekerja di lapangan ketika pertama kali
berhadapan dengan kebudayaan yang sangat berbeda dideskripsikan secara gamblang
oleh Napoleon Chagnon ketika ia pertama kali bertemu dengan Suku Indian
Yanomamo di Amerika Selatan ( Chagnon , 1983: 10-11) :

Aku tertegun dan terengah-engah ketika menyaksikan lusinan


manusia yang besar dan tegap, telanjang, berkeringat dan
menyeramkan membidikkan anak panah mereka kepada kami!
Gumpalan tembakau yang besar sekali terselip antara gigi bawah
dan bibir mereka membuat mereka tampak semakin menyeramkan,
dan untaian kotoran berwarna hijau-gelap mengalir atau
menggantung dari hidung mereka — kotoran yang sangat panjang
yang melengket pada otot-otot dada atau menggantungi dagu
mereka. Kami datang ke tempat tersebut ketika para lelaki
menghembuskan ramuan halosinogenik dari hidung mereka. Salah
satu efek dari ramuan tersebut adalah hidung yang selalu
mengeluarkan ingus. Ingus tersebut selalu dipenuhi dengan bubuk
berwarna hijau dan mereka biasanya membiarkannya mengalir dari
lobang hidung mereka.... Pengalamanku berikutnya adalah
berhadapan dengan puluhan anjing sangat ganas dan kurang makan

56
yang menggigit lenganku, mengelilingiku seolah-olah aku adalah
santapan berikutnya. Aku hanya berdiri sambil memegang buku
catatan, merasa tak berdaya dan sedih. Kemudian bau busuk yang
berasal dari makanan yang sudah membusuk dan kotoran binatang
menyergapku dan aku hampir sakit. Aku merasa tercekam.
Sambutan macam inikah bagi orang yang datang ke sini untuk hidup
bersama kalian dan belajar tentang kehidupan kalian, menjadi
teman kalian?

Ketika kami turun ke sampan, aku merenungkan apa untungnya


menghabiskan waktu selama setahun setengah bersama suku ini
padahal aku belum pernah bertemu sama sekali dengan mereka. Aku
tidak malu mengakui bahwa seandainya aku menemukan jalan
diplomatik, maka aku mengakhiri tugas lapanganku pada saat itu
juga.

Kejutan budaya yang dialami Chagnon tidak terbatas bagi ilmuwan sosial profesional
saja. Ia dapat saja, dan memang telah, dialami oleh semua orang yang tiba-tiba
menghadapi cara hidup yang sangat berbeda dengan cara hidupnya sendiri. Reaksi
yang lahir dari gejala ini adalah apa yang dikenal dengan etnosentrisme:
kecenderungan seseorang untuk memandang cara hidupnya sendiri sebagai cara hidup
yang paling unggul dari semua cara hidup yang Iain. Jadi, Chagnon tercekam atas apa
yang ia saksikan karena kebudayaan Industrial Barat hampir tidak membekalinya
untuk menghadapi gejala semacam: busur ditarik, ketelanjangan, hijau yang mengalir
dari hidung dan kekotoran ketika dia mendatangi stiku tersebut sebagai seorang tamu.
Pada tingkat yang sangat substansial, kita adalah hasil dari kebudayaan kita sendiri,
dan sebenarnya semua kita dikondisikan untuk menganggap cara hidup kita sendiri
sebagai cara yang paling menyenangkan dan kebudayaankebudayaan Iain dipandang
memberikan gaya hidup yang kurang menyenangkan.

Etnosentrisme adalah gejala universal manusia. Suku Yanomamo sendiri tidak terlepas
dari hal ini. Chagnon melaporkan bahwa karena dia bukan orang Yanomamo, mereka
cenderung menganggapnya kurang manusiawi. Yanomamo adalah salah satu dari
banyak masyarakat dunia yang suka bermusuhan dan perang, namun ketika Chagnon
menceritakan kepada mereka tindakan orang Amerika dałam perang Vietnam mereka

57
secara morał merasa jijik dan menganggap perilaku semacam iłu sebagai biadab dan
tidak manusiawi.

Etnosentrisme melahirkan problem khusus dałam melakukan penelitian pada


kebudayaan lain karena, jika cukup kuat, ia akan menjadi penghalang yang serius
untuk dapat melakukan kajian yang obyektif dan akurat. Seandainya Chagnon tidak
dapat mengendalikan etnosentrismenya, dia tidak akan pernah mampu menyelesaikan
proyek penelitiannya dengan baik. Antropolog dan sosiolog telah melawan masalah ini
dengan mengembangkan doktrin yang berlawanan yang dikenal dengan relativisme
kultural. Relativisme kultural merupakan doktrin yang menyatakan bahwa tidak ada
kebudayaan yang secara inheren lebih superior atau inferior dari kebudayaan yang lain,
tetapi karena setiap kebudayaan merupakan solusi adaptif terhadap problem-problem
fundamental manusia, maka semua kebudayaan "sama-sama sah".

Penganut relativisme kultural percaya bahwa standard suatu kebudayaan tidak dapat
digunakan untuk mengevaluasi kebudayaan yang lain, dan karena iłu standard untuk
mengevaluasi kebudayaan hanyalah standard yang dimiliki kebudayaan itu sendiri.
Jika doktrin ini kita terapkan untuk menilai nilai susila pembunuhan terhadap
perempuan (pembunuhan secara selektif terhadap anak-anak perempuan) di kalangan
suku Yanomamo, semua kita dapat berkata ,"walaupun salah menurut kita, iłu betul
menurut mereka, dan tidak dapat dikutuk secara kategoris”. Dan kita akan memberikan
pengakuan bahwa pembunuhan tersebut tbenar" bagi suku Yanomamo karena ia
menyajikan solusi adaptif atas problem eksistensi manusia.

Sebagai sebuah perspektif morał atau etis, relativisme kultural telah banyak menerima
kritik keras, dan ia tidak membentuk sebuah sistem etika yang memuaskan (Kohlberg,
1971; Patterson, 1977). Problem-problem yang menyertainya sudah banyak diketahui.
Sebagai salah satu contohnya, ia dapat dengan cepat jatuh ke dałam "penyakit yang
sekaligus merupakan obatnya” (Kohlberg, 1971). Yakni, ia akan mengakibatkan
adanya "persetujuan terhadap praktek-praktek yang pada dasarnya tidak manusiawi"
(Hatch, 1983;81). Misalnya, perspektif penganut relativisme kultural yang ketat akan
mendesak kita mengesahkan praktek-praktek seperti pengusiran yang dilakukan Nazi
terhadap bangsa Yahudi, Soviet yang memaksa kamp-kamp buruh, perbudakan pada
zaman Romawi atau perbudakan bangsa kulił hitam di Dunia Baru, Gang pemerkosa
wanita pada suku Yanomamo, dan banyak lagi gejala kultural yang secara morał terasa

58
menjijikkan jika dipandang dengan standard yang masuk akal — semuanya atas nama
toleransi terhadap cara hidup yang lain. Di samping iłu, relativisme kultural tampak
mengekalkan semacam "tirani adat” dengan meninggalkan sedikit sekali atau tidak ada
sama sekali ruang bagi otonomi individu (Hatch, 1983).

Dałam kenyataannya, batas-batas relativisme kultural nampak jelas hanya bagi banyak
relativis kultural sendiri saja, sebagian mereka melanggar prinsip mereka sendiri dałam
praktek yang mereka lakukan, walaupun mereka secara formal mengakui relativisme
kultural. Misalnya, Ruth Benedict, salah seorang arsitek ułama relativisme kultural
pada dekade awal abad ini, secara konsisten mengurangi pendirian relativismenya
sendiri (Hatch, 1983). Dałam bukunya yang terkenal Pattern of Culture (1943)
Benedict dengan jelas menunjukkan preferensinya kepada sifat-sifat kultural tertentu,
di antara yang lainnya, dengan memperlihatkan rasa tidak suka tertentu kepada
berbagai kebudayaan yang di dalamnya kekuatan memainkan peranan penting.

Elvin Hatch (1983) menganjurkan suatu cara bagi relativisme kultural untuk mengatasi
kekurangan-kekurangan dasarnya sambil mempertahankan apa yang
dipandangbernilai: dalih umumnya untukmengembangkan toleransi. Hatch
mengajukan apa yang dia sebut "prinsip humanistik” sebagai alat untuk menilai
kebudayaan lain. Prinsip ini menyatakan bahwa berbagai kebudayaan dapat dievaluasi
dałam kaitannya dengan apakah ia membahayakan orang atau tidak, baik dengan cara
penyiksaan, pengorbanan, perang, represi politik, eksploitasi dan seterusnya. Prinsip
inijuga menilai kebudayaan dengan melihat seberapa baik ia menyediakan keperluan
materiał bagi para anggotanya : Sejauh mana manusia bebas dari kemiskinan,
kekurangan gizi, penyakit, dan sejenisnya. Terlepas dari pertimbangan ini, kebudayaan
tidak dapat dinilai bermakna (Hatch, 1983) :

Relativisme berlaku dałam hubungannya dengan institusi-institusi


yang berada di luar orbit prinsip humanistik, karena di sini
diversitas nilai yang murni ditemukan dan tidak ada standard lintas-
budaya yang cocok untuk mengevaluasinya. Penalaran terbaik yang
kami atau orang lain dapat capai tidak akan menunjukkan secara
decisif kepada superioritas pola perkawinan, kebiasaan makan,
institusi hukum Barat dan sejenisnya. Kita harus menunjukkan
toleransi terhadap berbagai institusi serupa yang ada dałam

59
masyarakat lain dengan dalih bahwa orang harus diberi hak bebas
untuk hidup sebagaimana yang mereka pilih.

Walaupun usulan Hatch nampak merupakan perbaikan terhadap relativisme kultural,


sayangnya persoalan etis yang rumit iłu tidak dapat dipecahkan dengan mudah. Sangat
diragukan bahwa versi relativisme kulturalnya Hatch yang sudah banyak dimodifikasi
tersebut ini pun dapat diambil sebagai filsafat etis yang dapat diterima sebagai yang
benar. Namun disamping penolakan kami kepada kedua versi relativisme kultural ini,
kami harus mengakui bahwa relativisme kultural ada gunanya dan diperlukan sebagai
semacam premis yang secara praktis memberikan panduan dałam melakukan
eksplorasi sifat berbagai sistem sosio-kultural. Karena itu ia mempunyai nilai
metodologis, jika tidak etis.la mempunyai nilai metodologis karena ia mengharuskan
pengujian terhadap pola-pola budaya dałam kaitannya dengan karakter adaptifnya.
Tanpa relativisme kultural sebagai alat metodologis, kita akan berhadapan dengan
berbagai budaya lain yang mempunyai serangkaian penyangga kultural, yang hasilnya
pasti akan mengekalkan ketidaktahuan, daripada menerangkan cara kerja dasar dari
berbagai sistem sosio-kultural.

f) Kebudayaan, Sub-Kultur dan Budaya Tandingan

Istilah kebudayaan (culture) biasanya digunakan untuk menyebut seluruh cara hidup
suatu masyarakat yang dipandang sebagai sebuah keutuhan. Namun, dalam sistem
sosio-kultural masyarakat yang sangat kompleks, seperti masyarakat industrial Barat,
penting untuk mengakui sifat pola-pola budaya yang beragam yang ada dalam
masyarakat tersebut. Untuk alasan ini, para sosiolog mengembangkan konsep sub-
kultur dan budaya tandingan.

Sub-kultur adalah budaya yang lebih kecil yang ada dalam kerangka kebudayaan yang
lebih besar. Anggota sub-kultur mengikuti pola budaya khas yang dalam beberapa hal
berbeda dengan budaya yang ada dalam kerangka budayanya yang lebih besar, namun
pada saat yang sama umumnya menerima dan mengikuti pola budaya yang lebih besar.
Para mahasiswa Amerika, misalnya, membentuk sebuah sub-kultur dalam arti bahwa
mereka bertindak dan berpikir dengan cara yang berbeda dalam beberapa hal dari
kebudayaan Amerika sebagai sebuah keseluruhan. Kelompok-kelompok etnis yang
beragam dalam masyarakat industrial yang kompleks — kelompok-kelompok yang
dibedakan atas dasar asal budaya dan suku bangsa — memperlihatkan pola-pola

60
subkultur yang berbeda karena mereka mengikuti cara berpikir dan bertindak yang
agak unik. Para profesor, dokter, penambang minyak dan atlet profesional juga
membentuk perbedaan-perbedaan subkultur tertentu, perbedaan-perbedaan ini muncul
karena perbedaan pekerjaan. Banyak sub-kultur yang lain terdapat dalam masyarakat
yang kompleks, tentu saja, dengan dipengaruhi berbagai faktor, seperti ras, agama,
wilayah dan kelas sosial yang berfungsi sebagai kriteria penting untuk pembedaan sub-
kultural.

Sebagaimana sub-kultur, budaya tandingan memiliki pola budaya berbeda yang ada
dalam kebudayaan yang lebih luas. Namun, berbeda dengan subkultur, anggota budaya
tandingan biasanya tidak mengikuti pola budaya yang dominan. Sebagai gantinya,
budaya tandingan cenderung didasarkan atas perlawanan terhadap, atau penolakan
terhadap pola yang dominan tersebut. Sebagian budaya tandingan pada dasarnya
bersifat revolusioner sehingga mereka dianggap sebagai usaha melakukan perubahan
fundamental dalam kebudayaan yang dominan. Namun, kebanyakan budaya tandingan
tidak diilhami oleh maksud-maksud revolusioner semacam itu, sebaliknya , mereka
pada umumnya merupakan lingkaran terorganisasi yang menarik diri dari arus utama
kehidupan budaya. Dalam kategori ini dapat dimasukkan kelompok-kelompok seperti
"beatnik" pada tahun 1950-an dan "hippies" pada tahun 1960-an. Salah satu budaya
tandingan yang paling baru muncul di masyarakat barat adalah kelompok "berambut
punk" pada tahun 1980-an.

I. Kegiatan Pembelajaran ke 9 : Konsepsi Dinamis tentang Manusia dan Masyarakat

1) Tujuan Materi Pembelajaran

Agar mahasiswa mampu memahami konsepsi dinamis tentang manusia dan masyarakat

2) Materi Pembelajaran
Veblen membenarkan bahwa dalam diri manusia ada "naluri-naluri" yang berpengaruh
atas kelakuannya, tetapi tidak menentukan kelakuan itu. Kelakuan manusia tidak bersifat
mekanis dan deterministis. Manusia sendiri menentukan apa yang dibuat olehnya. Jadi
istilah "naluri" atau instinct tidak dimengerti dalam arti suatu strukturisasi biologis,
terhadap mana manusia tidak bebas, seperti dikatakan oleh Pareto. Naluri-naluri hanya
membentuk suatu predisposisi dan menggairahkan manusia agar memikirkan dan

61
mengusahakan tujuan-tujuan tertentu. Tetapi manusia tidak disetarafkan dengan mereka.
Akal-budinya dan ciri-ciri kepribadiannya selaku suatu daya kreatif menentukan corak
hidupnya di dunia ini. Naluri-naluri bersifat sekunder saja dan berfungsi sebagai
perangsang. Demikian juga lingkungan fisik tidak memaksakan suatu pola perilaku
tertentu kepadanya sebagaimana dikatakan oleh Le Play, tetapi merupakan kondisi saja
yang selalu harus dipikirkan dan diperhitungkan.

Veblen membedakan empat naluri yang berpengaruh atas kelakuan orang, yaitu:
a) kecenderungan untuk tahu (idle curiosity),
b) kecenderungan untuk menjadi produktif, yaitu menghasilkan sesuatu (naluri kerja,
instinct of workmanship),
c) kecenderungan untuk membajak (predatory instinct, yang mendorong orang untuk
menikmati barang tanpa bekerja), dan
d) kecenderungan untuk bersikap baik terhadap kaum kerabat dan sesama.

Terutama naluri kerja menggairahkan manusia untuk memberi bentuk kepada hidup
bersama. Katanya, "man is an agent. He is, in his own aprehension, a center ofunfolding
impulsive activity: teleological activity. By force ofhis being such an agent, he is
possessed ofa tastefor effective work and a distaste for futile effort". Paham inilah
menjadi sebabnya Veblen disebut di antara mereka yang memandang masyarakat sebagai
proses interaksi. Man is an agent!

Meskipun pada dasarnya manusia bebas untuk menentukan isi hidupnya, namun
umumnya ia bertindak karena rutin saja. Sebagian besar kelakuannya disebabkan oleh
kebiasaan (habit). la tidak berefleksi atas dirinya. Perbuatan-perbuatan yang
permulaannya masih disadari dan dikehendaki, lambat-laun mengalami suatu erosi dan
menjadi rutin atau tradisi saja, yang seolah-olah dipaksakan dari generasi yang satu
kepada generasi yang lain.

Bertalian dengan itu Veblen menyebut pranata sebagai "pola-pola perilaku yang telah
diciptakan, disepakati, dan kemudian diwajibkan oleh masyarakat" Semua pranata
berfungsi sebagai sarana yang diharapkan memantapkan kelakuan. Fungsi ini tidak
menceraikan mereka dari kuasa manusia atas masyarakatnya. Mereka selalu dapat
ditinjau kembali dan apabila perlu, diubah atau diganti. Proses perubahan sosial adalah
perubahan yang diusahakan orang sehubungan dengan pranata mereka. Proses itu tidak

62
berasal dari suatu hukum, melainkan dilandasi oleh sifat manusia untuk memikirkan
keadaan dan tujuannya, dan mengadaptasikan diri dengan lebih baik. Kalau suatu pranata
atau tradisi lama dirasa tidak cocok Iagi dengan situasi baru, manusia merencanakan
sesuatu yang baru. Jadi perubahan sosial bukan proses alam sebagaimana dikatakan
Herbert Spencer. Misalnya, sebelum tahun 1850 kaum buruh Prancis tidak pernah
memasalahkan struktur sosial yang tradisional, di mana keadaan mereka dihayati sebagai
tergantung dari kelas-kelas sosial lain, tanpa hak politik atau kemungkinan untuk
mengubah masyarakat. Tetapi di bawah pengaruh Sosialisme mentalitas mereka berubah.
Lalu mentalitas baru itu membuat mereka melawan kelas borjuis dan menuntut
perombakan struktur sosial-ekonomi. Ini bukan proses alam, melainkan proses interaksi.

Sehubungan dengan proses evolusi sosial, Veblen membedakan dua tahap, yang tidak
bersifat historis dalam arti bahwa mereka pernah sungguh susul-menyusul dalam sejarah.
Maksudnya, bahwa selalu ada dua tipe masyarakat yang mungkin terbentuk oleh manusia.
Ada dua kemungkinan spekulatif!

a) Masyarakat masih dirangsang oleh naluri keempat dan bersikap baik terhadap
sesamanya.

Masyarakat suka kerja sama! Tidak ada negara, kelas sosial, persaingan dan organized
warfare (perang resmi). Tiap-tiap orang dianggap bebas dan berkedudukan sama. Juga
naluri kerja (instinct of workmanship) amat berperan. Barang sederhana, namun
berguna, memberikan suatu kepuasan yang bertumpuan pada "kerja". Barang yang
tidak berguna menimbulkan rasa enggan dan dianggap tidak cocok. Ada perbedaan
yang menyolok antara tipe orang, yang hidup dalam persekutuan dengan alam, dengan
tipe orang yang hidup dalam suatu dunia buatan, yang sebetulnya berlawanan dengan
alam. Orang yang hidup dekat dengan alam akan menikmati semua hal yang
menunjang dan mengembangkan hidup sebagai baik dan indah.

Petani yang selalu sibuk dengan pekerjaan produktif, senang dengan apa saja yang
membantu pertumbuhan hidup. la tidak muak akan bau pupuk kandang! Bau keringat
merangsang dia! Tangan yang berkulit keras dan kasar akibat kerja berat yang lama,
dianggap bagus. Keelokan wanita diukur olehnya dengan berpedoman pada
kemampuannya untuk melahirkan dengan mudah, dan pada kekuatan fisik dalam
bekerja di ladang atau kebun. Sebaliknya tubuh yang langsing dah halus, tangan kecil

63
dengan kuku yang berkilap, kosmetika, dan Iain sebagainya, dianggap jelek sebab
menghambat perkembangan hidup. atau menjadi tanda kemundurannya. Bekerja itulah
kecenderungan alami dalam tiap-tiap orang dan merupakan tanda bukti kesehatannya
atau terapi yang paling baik, kalau ia mengalami gangguan psikis. Masyarakat damai
adalah masyarakat di mana orang suka bekerja. Mereka terdahulu dituntun Oleh naluri
kerja dalam mengatur kehidupan bersama. Tiga hal dihasilkan oleh kerja, yaitu:

1. kepuasan, sebab si pekerja mendobrak keadaannya yang tertutup di mana ia selalu


sibuk dengan diri sendiri, dan menjadi kreatif;
2. penghasilan, dan
3. kehormatan, sebab masyarakat menghormati mereka yang berhasil.

Unsur ketiga ini dapat membawa masalah juga. Orang yang berhasil sering menjadi
sombong. Sama sebagaimana kerjasama dengan orang lain menghasilkan kepuasan
dan kerukunan, demikian kehormatan dan gengsi menceraiberaikan orang dan menjadi
sumber ketidakpuasan dan kecemasan. Orang yang lebih berhasil merasa diri lebih
baik daripada orang Iain. Perlombaan dan persaingan memasuki masyarakat damai.

Lalu timbul pikiran, bahwa orang dapat menjadi kaya dan terhormat tidak hanya
melalui kerja keras, melainkan juga dengan korupsi dan merampas milik orang Iain.
Umumnya mata rakyat biasa disilaukan oleh kekayaan yang dipamerkan seseorang.
Mereka tidak mempersoalkan asal-usulnya. Rakyat mengagumi orang yang
mempunyai barang yang mereka sendiri tidak miliki. Dengan masuknya unsur ketiga
ini, masyarakat beralih kepada tahap kedua atau tipe kedua, yaitu masyarakat yang
mencari penghasilan dengan memakai jalan agresi, pengisapan, korupsi, dan Iain
sebagainya.

b) Masyarakat yang dirangsang oleh predatory instinct.

Kerja produktif diganti dengan gaya hidup komsumtif. Kerja tangan dianggap "kasar",
"rendah", dan "melelahkan". Di zaman primitif, yaitu zaman barbarisme, pemerasan
dilakukan oleh serdadu-serdadu dan golongan imam. Sgbetulnya tidak ada perbedaan
prinsip antara hidup berburu dengan hidup berperang. Baik pemburu maupun serdadu
hendak menuai di mana mereka tidak menabur. Penghasilan berasal dari pemakaian
senjata. Kaum wanita, yang masih dihormati di masyarakat damai, dianggap lebih
rendah daripada kaum pria di masyarakat di mana predatory instinct menyolok. Ada

64
suku pemburu di mana orang laki-laki tidak mau membawa hasil buruannya ke rumah,
sebab pekerjaan semacam itu memalukan. Untuk itu perempuan disuruh!

Di zaman modern, yaitu sesudah abad pertengahan, pemerasan dilakukan dengan


memakai metoda-metoda damai yang nampaknya lebih halus. Dunia perbankan dan
perniagaan dicirikhaskan oleh naluri perampasan. Berlainan dari Karl Marx, Veblen
menggambarkan konflik masyarakat bukan antara modal dan kerja, melainkan antara
business yang mencari keuntungan, dan industri, yaitu produksi maksimal barang dan
jasa. Di zaman primitif pihak saingan atau musuh dibunuh saja oleh pihak yang lebih
kuat; kemudian dari ramalan itu pihak itu ditangkap menjadi budak; di zaman industri
modern mereka dijadikan buruh. Sistem ekonomi modern dilihat sebagai metoda yang
lebih praktis dan lebih efisien untuk menggerogoti kekayaan, yakni dengan
memperdayakan pihak yang lemah.

Perkembangan ini dari keadaan damai kepada keadaan yang bercirikan pemerasan dan
pengisapan tidak bersifat biologis atau mekanis, seperti diajarkan oleh organisisme dan
mekanisisme. Veblen yakin, bahwa peralihan dari masyarakat damai ke masyarakat
agresif, dan kemajuan tipe kedua ini, ada hubungannya dengan kebudayaan yang
diciptakan manusia sendiri. 'Dua mentalitas yang berbeda dinyatakan oleh kedua tipe
masyarakat tersebut di atas. Sikap orang terhadap sesamanya dan caranya ia menilai
dia memainkan peranan yang menentukan bagi tipe masyarakat.

Veblen mempunyai pendapat amat negatif mengenai masyarakat modern, yang


menonjolkan naluri agresif manusia. Kita tidak boleh lupa, bahwa Veblen mengarang
bukunya di waktu kondisi kaum buruh amat menyedihkan. Di tengah-tengah
kemiskinan yang merajalela hiduplah segelintir oknum yang oleh Veblen dinamakan
The leisure class.

3) Tugas / Latihan

Diberikan tugas berdiskusi dalam kelompok, mengidentifikasi, menganalisis


permasalahan serta menyampaikan hasil di kelas.

65
J. Kegiatan Pembelajaran ke 10 : Masyarakat dan individu

1) Tujuan Materi Pembelajaran

Agar mahasiswa mampu memahami keterkaitan antara masyarakat dan individu

2) Materi Pembelajaran
Ditegaskan oleh Cooley, bahwa masyarakat dan individu bukan dua realitas yang berdiri
terpisah, melainkan dua sisi atau segi dari realitas yang satu dan sama. Keduanya adalah
bagaikan kedua sisi keping uang, yang tidak mungkin terpisahkan. Realitas tunggal itu
adalah hidup manusia. Hidup itu dapat dipandang dari segi individualitasnya, atau dari
segi sosialitasnya, dari segi keunikannya sejauh pada tiap-tiap orang ada hal-hal yang
tidak ada pada orang lain, atau dari segi kesamaannya dengan orang lain. Pembedaan
antara individualitas dan sosialitas dilakukan oleh akal-budi manusia. Manusia membuat
abstraksi dan menuangkan hasilnya ke dalam konsep-konsep seperti "individu" dan
"masyarakat". Konsep-konsep abstrak itu hanya mewakili salah satu aspek saja, yaitu
aspek yang secara analistis, bukan secara ontologis, diceraikan dari suatu kesatuan yang
tak terbagikan. Aspek mana ditinjau oleh akal-budi itu tergantung dari orang yang
meninjau. Tetapi dalam kenyataannya di luar kesadaran, hidup manusia tidak bersifat
mendua. Individu dengan pikirannya, kemauannya, perasaannya, tutur-katanya, dan
masyarakat dengan kebudayaannya saling menghidupi dan saling bergantungan
sedemikian rupa, hingga yang satu tidak mungkin ada tanpa yang lain. Mereka saling
mengandaikan dan saling menunjang. Dengan kata lain, di luar masyarakat individu tidak
mempunyai eksistensi sebagai manusia, sama seperti di luar individu-individu tidak ada
masyarakat. Sosialitas bukan suatu ekstra yang ditambah pada hidup individual,
melainkan jiwanya. Individu tidak dilengkapi oleh masyarakat, melainkan dijadikan
manusia. Hidup pribadi manusia bercorak sosial, sama seperti kehidupan sosial bercorak
pribadi, yaitu terjalin Iahir batin dengan pikiran, kemauan, dan perbuatan pribadi-pribadi.
Kesatuan hakiki ini akan diuraikan di bawah ini dengan judul mind is social dan society is
mental.

Dengan menekankan kesatuan tersebut Cooley menjauhkan diri dari pandangan sosial,
yang kemudian dikenal dalam Sosiologi dengan nama Solidarisme Klasik. Sebelum tahun
1940 pandangan ini dikemukakan oleh beberapa filsuf seperti Welty, Weve, von Nell-
Breuning, Angelinus e. a. Menurut mereka kesosialan manusia dalam arti ikatannya
dengan orang lain, harus dilihat sebagai SARANA, yang dibutuhkan oleh individu supaya
66
dapat maju dikatakan bahwa individu mempunyai kewajiban-kewajiban untuk
menegakkan masyarakat dan mengabdi kepadanya, supaya dengan berbuat demikian, ia
mengembangkan diri. Hidup sebagai seorang pribadi diandaikan sudah ada. Kemudian
masyarakat datang sebagai badan pelengkap! Masyarakat dianggap perlu supaya diri
pribadi orang mampu mencapai tujuannya di dunia! Pahan Solidarisme ini masih tampak
dengan jelas dalam buku berjudul "Sosiologi", yang oleh Lembaga Kader di Jakarta
disusun dan diterbitkan dalam tahun lima puluhan. Antara lain ditulis, "Dibakati dengan
akal-budi itu manusia .menanam padi, menyediakara makanan, mengurus pakaian,
perumahan, dan sebagainya. Manusia tak dapat mengusahakan semuanya itu seorang
diri. Karena usaha itu harus dilakukan oleh lebih dari satu orang. Untuk ini diperlukan
pembagian kerja yang baik. Harus ada segolongan yang mengtirus pertanian,
segolongan lain mengurus pakaian, yang lain bahan pembangunan dan pemeliharaan
kesehatan, dan sebagainya. Dan harus pula ada golongan-golongan yang mengajarkan
kepada yang lain bagaimana melakukan semuanya itu” (hlm. 18). Jadi individu-individu
harus solider, yaitu bekerja sama dan saling bantu-membantu.

Perumusan Solidarisme ini merupakan kemunduran dari apa yang dirumuskan oleh
Cooley. Solidarisme tidak hanya membeda-bedakan antara individu dan masyarakat,
tetapi membuat pemisahan antara keduanya. Kendati akal-budinya, manusia sebagai
individu tidak menanam padi, menyediakan makanan, mengurus pakaian, perumahan, dan
sebagainya, ia melakukan semua kegiatan itu sebagai masyarakat, yaitu sejauh ia
mengambil bagian dalam suatu hidup yang dibagi bersama. Solidarisme tidak melihat
kesatuan hakiki antara individu dan masyarakat. Individu, yang diandaikan berdiri
sendiri, diingat akan kewajiban-kewajiban sosialnya demi penyempurnaannya. Walaupun
Solidarisme tidak membenarkan individualisme sebagai sikap moral, namun sebagai
filsafat individualisme dibenarkan.

Menurut Cooley, sifat dasar kesosialan manusia mengandung arti yang lebih mendalam.
Bukan saja "manusia harus solider" supaya dapat mencapai kepenuhan kemanusiaannya,
melainkan "manusia adalah solider". Maksudnya ialah bahwa nilai-nilai yang membentuk
kemanusiaannya dan tujuan-tujuan yang diusahakannya, tidak bersifat milik pribadi,
melainkan milik bersama. Tiap-tiap individu menimba dari suatu khazanat umum yang
mengungguli individualitasnya.

67
Apa yang dikenal, diketahui, dicita-citakan, dicintai, atau dibenci dan membentuk inti
kepribadian seseorang, dibagi dengan orang lain. Ucapan "manusia adalah makhluk
sosial" tidak hanya berarti, bahwa manusia harus hidup bersama dengan orang lain, atau
mempunyai relasi-relasi dengan orang lain, melainkan juga bahwa apa yang dimiliki
olehnya sebagai seorang diri (self), dimiliki oleh orang lain juga. Bahkan harus dikata,
bahwa justru oleh karena ia ambil bagian, ia dapat mempunyai suatu individualitas.
Bagaimana eratnya kesatuan antara masyarakat dengan individu, dapat kita lihat dari
contoh bahasa. Bahasa merupakan pengungkapan sosialitas dan individualitas manusia
sekaligus. Sejauh satu bahasa dimiliki dan dipakai bersama, ia mengungkapkan
kesosialan manusia, memampukan orang untuk berkomunikasi dan bertindak sebagai
manusia, tetapi sejauh tiap-tiap orang memakai bahasa itu dengan nada, variasi, dan
modifikasi pribadi, ia membuktikan individualitas manusia juga. Hanya istilah-istilah
saja, yaitu "individu" dan "masyarakat", yang memberi kesan seolah-olah ada dua
kesatuan yang tidak hanya terpisah, melainkan bertentangan satu terhadap yang lain.
Tetapi refleksi yang lebih lanjut segera akan menyingkapkan, bahwa antara keduanya
tidak ada pertentangan sama sekali. Dalam bukunya "Human Nature and the Social
Order" Cooley menguraikan dengan panjang lebar beberapa istilah yang hanya dalam
penampakannya saling menolak. Misalnya, kemauan sendiri (free choice, pilihan bebas)
dan "peraturan masyarakat" (social suggestion, kewajiban sosial). Kedua istilah ini
memberi kesan seolah-olah ada oposisi antara. Kebebasan dengan kewajiban, antara
otonomi individu dengan hegemoni struktur-struktur sosial. Bahasa yang kita pakai
memberi kesan seolah-olah di luar masyarakat Inasih ada bidang kehidupan yang semata-
tnata bebas, Tetapi dalam kenyataan tidak ada bidang atau wilayah yang lepas bebas dari
masyarakat, Kehidupan bersama meresapi seluruh kehidupan individu, Juga kalau
individu diperkenankan menentukan sendiri tindakannya dan ia tidak diwajibkan oleh
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan salah satu pola institusional, pilihannya akan
dilakukan seperti telah diajarkan oleh orang lain dan berdasarkan nilai-nilai yang telah
diterima dari mereka dan dibagi bersama. Sama sebagaimana kebebasan individual tidak
dapat kita ceraikan dari kemauan masyarakat, demikian juga kemauan masyarakat, yaitu
adatnya, hukumnya, tata sopan-santunya, dan sebagainya tidak dapat kita ceraikan dari
kemauan individu. Juga dalam masyarakat yang paling kolektivistis dan mekanis
individu-individu akan mewarnai tingkah laku mereka menurut individualitas mereka.
Individu dan masyarakat saling isi-mengisi. Kehidupan masyarakat berasal dari kemauan

68
individu-individu, sama seperti kehidupan individu-individu berasal dari kemauan
masyarakat.

Keduanya merupakan sebab dan akibat sekaligus. Umumnya orang tidak menyadari dan
memikirkan ketergantungan erat hidup mereka sebagai perseorangan dari masyarakat.
Mereka menyangka diri berdiri sendiri, padahal apa yang dipikirkan dan dilakukan
bercorak sosial, yaitu merupakan pengungkapan kebersamaan dan kebersatuan mereka.
Tidak ada kelakuan yang tumbuh dalam suatu vakum sosial.

Cooley menarik kesimpulan bahwa pembedaan antara kemauan masyarakat dengan


kemauan sendiri tidak bersifat antitesa. Tidak boleh dikata, bahwa suatu perbuatan atau
dikehendaki masyarakat, atau dikehendaki sendiri. Sebaliknya, social suggestion dan free
Choice saling mengandaikan dan hanya merupakan saat-saat yang berlainan dalam proses
kelahiran perbuatan manusia. Perbuatan itu tidak pernah suatu creatio ex nilhilo, tetapi
selalu suatu penyusunan unsur-unsur sosial yang sudah ada sebelumnya.

Di antara istilah-istilah lain yang hanya atas cara konseptual (dengan memakai abstraksi)
saling menolak, tetapi dalam kenyataan kongkret saling mengandaikan dan melengkapi,
Cooley menyebut "egoisme" dan "altruisme". Yang satu selalu mengandung yang lain
dan sebaliknya. Egoisme yang mutlak dan menyeluruh tidak ada! Egoisme atau sikap
mental, yang menolak apa pun yang bukan dari diri orang sendiri, tidak mungkin ada.
Pertama, kesadaran diri sebagai ego berasal dari kontak dengan orang Iain. Kedua, apa
saja yang ada pada diri orang, telah diterima dari orang Iain dan masih tetap dibagi
bersama. Jadi egoisme mutlak itu sama dengan keadaan kosong! Juga gejala egoisme
seperti sikap sombong yang umumnya dianggap sebagai sikap yang terlalu individualistis,
mengandung banyak aspek kolektivistis. Antara lain disebut keinginan agar diakui dan
dihormati orang lain.

Begitu juga altruisme yang mutlak dan menyeluruh tidak ada. Seandainya ada, orang
yang bersangkutan tidak hanya menjadi budaknya orang Iain, tetapi juga tidak akan
menyadari diri sebagai budak. la tidak hanya akan hidup untuk orang lain, tetapi sendiri
menjadi orang Iain. Ingatlah bahwa kata "altruisme" berasal dari kata "alter" yang berarti
"yang lain". Kiranya mustahil kita memikirkan suatu keadaan normal bagi manusia, kalau
orangnya tidak menyadari diri sebagai pribadi yang berpikir dan bertanggung jawab
sendiri. Altruisme mesti bercampur dengan egoisme. Misalnya, sikap belaskasih, yang

69
disebut sebagai salah satu sikap altruistis, mengandaikan bahwa orang yang berbelaskasih
terhadap orang Iain, merasa diri lebih beruntung. Cooley menyebut kasih ibu sebagai
contoh, tiap-tiap ibu sebenarnya mencintai hidupnya sendiri di dalam anaknya. Justru
oleh karena altruisme selalu tercampur dengan egoisme, maka kasih dapat berubah
menjadi sikap iri hati dan cemburu. Maka sebaiknya kita mengatakan bahwa egoisme dan
altruisme merupakan dua tingkatan cinta, di mana unsur cinta-diri lebih besar pada
egoisme, sedangkan unsur cinta akan orang lain akan lebih besar pada altruisme. Tidak
ada orang yang memisahkan sama sekali dan secara menyeluruh keprihatinan terhadap
kepentingan umum dari kepribadian terhadap kepentingannya sendiri. Keduanya selalu
terjalin! Dengan membuat diri berguna atau berjasa bagi orang lain, orang selalu akan
melayani kepentingannya sendiri juga. Lagi pula, orang yang mengabdikan diri kepada
kebutuhan orang lain, hanya akan dapat berbuat demikian, kalau mereka mengembangkan
diri dengan sebaik-baiknya dan melayani kepentingan mereka sendiri juga.

Banyak analisis yang sejenis itu disajikan oleh Cooley. Selalu ia hendak membuktikan
kesatuan antara individu dan masyarakat dengan bertitik pangkal dari kesatuan hidup
manusia. Sekalipun benar dan tepat titik pangkal ini, Cooley tidak dapat dikatakan telah
berhasil dalam menguraikan relasi kesatuan ini atas cara yang memuaskan.
Ketidakberhasilan ini disebabkan oleh tekanannya yang terlalu besar atas peranan
kesadaran manusia, sehingga kekangan struktur-struktur masyarakat atas kesadaran itu
tidak diberi sorotan yang semestinya. Menurut dia, jaringan relasi-relasi antara para
anggota masyarakat harus dilihat sebagai pengungkapan atau manifestasi keinsyafan atau
ketahuan mereka. Menurut pengertiannya, saya berlaku atas cara tertentu, sebab saya tahu
apa yang diharapkan dari saya oleh orang lain, dan mereka tahu apa yang saya harapkan
dari mereka. Jadi keinsyafanlah membuat semua pihak menyesuaikan diri. Suatu
keserasian pikiran antara para anggota masyarakat membentuk dasar bagi tiap-tiap
kehidupan bersama dan mendasari kesatuan antara individu dan masyarakat.

Cooley amat menekankan aspek batiniah, yaitu consensus atau kesesuaian paham dalam
hal nilai-nilai yang dibagi bersama. Alam pikiran (mind) memainkan peranan utama
dalam hidup berkelompok atau masyarakat, hal mana dirumuskan dengan kata-kata "alam
pikiran bersifat sosial" (mind is social) dan "masyarakat bercirikan mental" (society is
mind). Kita akan mengritik keberatsebelahan ini.

70
a) Alam pikiran bersifat sosial
Alam pikiran seseorang menerima isinya dari orang-orang lain. Proses perkembangan
kepribadian disebabkan oleh pengalaman dan kontak dengan orang lain. Pada awal
hidupnya kesadaran anak kecil masih dalam keadaan melebur menjadi satu dengan
lingkungannya, yang dialami sebagai arus gambar-gambar dan sumber perangsang-
perangsang yang entah menyenangkan, atau menyakitkan. Namun demikian gambar-
gambar dan perangsang-perangsang itu tidak atau belum dikenal atau digolong-
golongkan ke dalam kategori-kategori yang berbeda. Misalnya, orang yang berpaling
kepada dia, tidak dibedakan dari benda. Entah makhluk hidup atau tidak, entah dia
sendiri atau orang lain, entah bunyi lonceng kecil atau kata manusia, entah wajah ibu
atau muka dinding, entah puting susu ibu atau botol, semuanya adalah satu dan sama.
la hanya mampu mengalami rasa enak yang berlainan dari rasa tidak enak. Walaapun
orang tua selalu cenderung untuk percaya bahwa si bayi tersenvum kepada mereka dan
mengenal mereka sebagai ibu-bapanya, namun kita harus mengatakan bahwa tanda-
tanda yang menurut penampakannya merupakan tanda pertama sosialitas, sebenarnya
tidak lebih daripada reaksi mekanis atas suatu perangsang dari luar. Proses diferensiasi
belum dimulai, dan kelak akan makan waktu lama (Cooley, 1902:1.90). Bayi yang
baru lahir sama sekali asosial dan tanpa kebudayaan. Tetapi pada suatu saat anak kecil
itu akan mempertentangkan makhluk hidup terhadap benda mati. Ini diferensiasi
pertama! la mulai memperhatikan, bahwa makhluk hidup berubah terus, sedangkan
benda mati selalu sama dan kurang menarik karenanya. Wajah orang Iebih menarik
daripada wajah dinding. Sehubungan dengan hal ini Cooley mengatakan, bahwa mata
orang yang hidup-hidup memainkan peranan penting.

Selanjutnya, apabila anak berumur satu tahun, ia mampu membedakan manusia dan
bukan manusia, manusia adalah lain dan khusus bagi dia! Pengalaman itu tidak ada
hubungan dengan rasa enak atau rasa tidak enak, yang disebabkan oleh kontaknya
dengang orang. Kendati demikian, ia belum juga mampu mengadakan pembedaan
antara "aku" atau "ego" dengan "kamu" atau "alter". Belum ada kesadaran akan suatu
identitas pribadi. Maka dari itu ia tidak akan mengatakan "aku lapar!", melainkan
"Johny Apabila kemudian pengertian akan "diri aku" muncul, itu hasil kontak sosial,
khususnya dalam situasi konflik yang dialaminya. Misalnya, kalau di waktu ia asyik
bermain-main, tiba-tiba mainannya diambil, pertentangan terhadap lingkungannya
terjadi. Pengalaman semacam itu akan melahirkan kata-kata "aku punya, bukan kamu!"

71
Perampasan barangnya oleh orang lain menyebabkan dia mulai melihat dan mengalami
diri dalam relasinya dengan suatu benda. Relasi itu dibedakan dari relasi orang lain
dengan benda itu. Ucapannya tadi mengawali proses penyadaran hidup sebagai
seorang "diri", yang beroposisi terhadap orang lain. Pada suatu tahap dalam
perkembangannya ia akan berkata "AKU, bukan dia!" atau "AKU lebih besar daripada
dia" dan sebagainya.

Kata Cooley, "the sentiments of selfdevelop by imperceptible gradation' out of the


crude appropriatit'c instinct of new born babes" perasaan-perasaan diri berkembang
secara bertahap dan tidak terlihat, keluar dari naluri pemilikan kasar yang ada pada
bayi-bayi yang baru lahir (Cooley. 1902:49), Perkembangan kesadaran diri
selanjutnya, yaitu dalam tahap ketiga, terjadi apabila tidak hanya situasi-situasi konflik
merangsang anak, tapi tiap-tiap situasi interaksi dan kontak dengan orang lain
membantu dia dalam menyadari identitasnya. la belajar siapakah dia--misalnya anak
laki-laki dan bukan perempuan, rnasih anak dan bukan orang dewasa — daripada dan
melalui orang lain. Pihak “kamu" merumuskan bagi dia "siapakah aku?' Orang tua dan
orang lain mengatakan kepada “aku" baru ini, bahwa ia mempunyai nama, menjadi
anggota keluarga, beragama, berkebangsaan. dan seterusnya. Lingkungan sosial
memberi isi kongkret kepada kepribadian dan identitasnya, Sepanjang proses ini “aku"
dan “masyarakat” lahir bersarna sebagai anak kembar.

Ajaran Cooley, bahwa perkembangan seluruh alam pikiran anak merupakan proses
sosial, dibenarkan dan diterima di mana-mana Oleh Sosiologi. Kata Goethe. "Der
Mensch etkennt sich nur im Menschen; nur das Leben lehret jedem was er sei"
(manusia mengenal dirinya hanya dalam orang; hanya hidup mengajar tiap-tiap orang
siapakah dia). Cooley mengumpamakan masyarakat dengan sebuah looking glass
(kaca cermin) yang dipakai orang untuk belajar siapa dia. Sama sebagaimana tanpa
kaca cermin orang tidak dapat tahu raut mukanya, demikian juga tanpa masyarakat ia
tidak akan tahu identitasnya. la akan tidak bernama, tidak berpribadi, tanpa pikiran,
bahasa, pegangan dan arah tujuan; dia makhluk, tapi bukan manusia; ia akan
menghadapi suatu keadaan kacau-balau baik di luar maupun di dalam dia, yang tidak
bermakna dan tak dapat ditafsirkan olehnya. Tanpa "kamu" hampir seluruh "aku"
hilang. Tinggal badan, tetapi badan saja bukan manusia yang berpribadi.

72
Ucapan René Descartes, yaitu "Cogito, ergo sum!" (saya berpikir,jadi SAYA ada) itu
salah! Sebab tanpa orang lain -"saya" tidak dapat berpikir. Kalau saya punya pikiran,
itu berati bahwa KITA, yaitu masyarakat ada. Tanpa pengaruh apa pun dari
masyarakat, orangnya akan mempunyai sedikit perasaan instingtif tentang dirinya,
tetapi itu samar-samar dan kabur. Jadi kita mengenal diri kita, karena kita melihat diri
dalam orang-orang lain.

b) Masyarakat bersifat mental


Masyarakat dimengerti oleh Cooley sebagai suatu coherence of minds yaitu suatu
kebersamaan dan kebersatuan antara banyak alam pikiran yang pada dasarnya searah,
atau suatu hidup berbagi di bidang spiritual. Kita akan melihat bahwa di sini
terletaklah keberatsebelahan Cooley. Menurut dia, masyarakat dengan nilai-nilai
budaya, perasaan, keyakinan, dan struktur-strukturnya ada di dalam kepala para
anggotanya. Walaupun manusia dipisahkan dari orang lain oleh badannya, namun oleh
pikirannya ia bersatu dengan mereka. Boleh jadi, bahwa pikiran seseorang diwarnai
oleh individualitasnya dan menunjukkan suatu kombinasi dan intensitas yang
istimewa, tetapi variasi itu tidak dapat membenarkan kesimpulan, bahwa ia tidak
mengambil bagian dalam suatu hidup spiritual bersama. Justru kesamaan dengan orang
lain memberi kemungkinan bahwa ia mengenal mereka, memahami maksud mereka,
dan dapat bekerja sama dengan mereka.

Hakikat kehidupan sosial adalah corak mentalnya. Ide-ide merembes dan menembus
ke dalam semua bidang kehidupan, Di sini terletaklah perbedaan antara perilaku
manusia dengan perbuatan binatang. Perilaku manusia berasal dari pikiran dan
dilatarbelakangi oleh suatu alam pikiran. Alam pikiran itu dapat dibayangkan bagaikan
semacam bahan yang di mana-mana ada dan pada saat tertentu membeku, menjadi
tersusun, dan menjelma ke dalam pribadi-pribadi, kelompok-kelompok, lembaga-
lembaga, dan apa yang disebut pendapat umum. Baik sejarah suatu bahasa maupun
sejarah seorang makhluk manusia sama-sama merupakan contoh kegiatan alam
pikiran. Kedua-duanya mengungkapkan atau menyatakan keluar hal-hal yang
dipikirkan. Pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok hanya saling menganggap sejauh
mereka dipikir, dan interaksi mereka hanya berlangsung di dalam pikiran. Alam
pikiran sosial itu telah dibentuk di dalam suasana akrab "kelompok primer" (kelompok
utama). Institusi atau lembaga kemasyarakatan didefinisikan oleh Cooley sebagai

73
tahap tertentu dalam perkembangan pikiran umum, Pikiran manusia disusun secara
teratur berkenaan dengan suatu kebutuhan atau pekerjaan. Negara dilihat sebagai
badan pelaksanaan praktis dari ide-ide manusia di bidang pemerintahan.

Kita boleh bertanya sampai sejauh mana pandangan Cooley berbeda dari organisisme
dan mekanisisme. Kedua paham itu telah mencari jawaban atas pertanyaan yang sama,
yaitu: ada apa di dalam diri manusia yang membuat dia bermasyarakat? Organisisme
mengembalikan kesatuan masyarakat kepada suatu hukum alam atau suatu etos
kolektif, seperti misalnya jiwa bangsa, yang dari luar individu mempersatukan mereka
kedalam satu badan. Akibat pengaruh hukum atau etos kolektif itu masyarakat
berevolusi. Individu diikutsertakan atau diseret oleh arusnya. la tidak bebas dan
otonom! Khususnya mengenai teori "jiwa bangsa" dapat dikatakan, bahwa teori ini
bersifat spekulatif dan metafisik, sehingga apriori sudah akan ditolak oleh mereka yang
hanya mau bertolak dari data empiris saja.

Mekanisisme telah mengambil sebagai titik tolaknya pengandaian, bahwa sama sekali
tidak ada "jiwa nasional", melainkan banyak jiwa-jiwa, yaitu sebanyak individu yang
ada di suatu masyarakat. Individu ada lebih dulu daripada masyarakat. Masyarakat
lahir aposteriori sebagai hasil kata sepakat antara individu-individu. Paham inijuga
menimbulkan kesulitan besar. Sebab kalau hanya ada pikiran yang terpencar dan
terpisah satu dari yang lain, dan kalau orde sosial hanya suatu ikatan lahiriah (dari luar)
saja, bagaimanakah interaksi dan kerja sama antara individu-individu mungkin terjadi?
Kita bertanya ada apakah yang menjembatani pikiran mereka dan merangkaikan orang
dengan orang, ego dengan alter, dan diri; saya dengan masyarakat?

Teori Cooley, yang bertitik tolak dari intersubyektivitas manusia, menempati


kedudukan tengahan. Di satu pihak masyarakat adalah realitas dan bakan istilah saja,
di lain pihak tempat temu masyarakat harus dicari pertama-tama di dalam alam pikiran
individu-individu. Tiap-tiap individu membawa dalam kepalanya gambaran-gambaran
dan ide-ide mengenai siapakah dia dan siapakah orang lain. Gambaran-gambaran itu
dapat dikelompokkan menurut beberapa variabel seperti umur, jenis kelamin,
pendidikan, ciri etnis, agama, pekerjaan, dan lain sebagainya. Gambaran-gambaran itu
dilengkapi dengan pikiran tentang sikap dan perilaku manakah yang diharapkan dari
tiap-tiap kategori, termasuk diri sendiri juga.

74
Kata Cooley, "masyarakat ada di dalam pikiranku bagaikan sejumlah pengertian
partikuler, yang berhubungan erat satu sama lain, yang namanya aku, Thomas, Henri,
Susan, Bridget, dan lain-lain. Nama-nama itu mewakili saya sejauh saya mengenal
diri aku, anak saya, saudara saya, istri saya, ibu saya, majikan saya, tetangga saya,
dan seterusnya. Demikian juga dalam pikiran orang lain masyarakat ada bagaikan
sejumlah pengertian yang sama”

Interaksi lahiriah yang berlangsung dalam hidup sehari-hari, mengejawantahkan dan


mengungkapkan interaksi antara pengertian-pengertian di dalam kepala tiap-tiap orang.
Jadi masyarakat bersifat mental! Kelakuan orang ditentukan oleh ide-ide yang mereka
punya tentang diri mereka sendiri dan orang lain. Alam pikiran individu merupakan
bagian dari kehidupan budaya, yang dimiliki bersama, dibagi bersama, dan karena itu
mempersatukan mereka. Pikiran saya mencerminkan pikiran orang lain! Kesadaran diri
saya hanya berarti bahwa saya menghayati hidup saya secara khusus, yaitu sebagai
pusat di tengah arus kehidupan budaya yang umum. Begitu juga orang lain berbuat
yang samar. Tiap-tiap orang mengalami hidupnya sebagai pusat kegiatan! Kita saling
mengenal, memahami maksud orang lain, dan mampu bekerja sama, karena satu
kehidupan budaya menjadikan kita satu. Kita dapat berkomunikasi karenanya. Satu
arus kebudayaan mengalir melalui orang banyak, sehingga mereka menjadi tunggal
dalam keanekaan mereka. Jadi masyarakat adalah satu dan banyak sekaligus!

Kata Cooley, “konsep kepribadian yang dimengerti dalam arti materiil yang agak
kabur dan tidak menghadapi kenyataan sosial, melainkan mengandaikan saja bahwa
konsep itu analog dengan benda fisik, merupakan sumber utama pemikiran salah
tentang hidup sosial dan hidup pribadi. Kalau pribadi-pribadi pertama-tama
dipikirkan bagaikan bentuk-bentuk materiil terpisah, yang berisi pikiran dan
perasaan, yang juga secara analog disangka sama-sama terpisah, maka satu-satunya
jalan untuk memahami masyarakat ialah dengan menambahkan suatu prinsip baru
atau sifat sosial bawaan atau yang semacam itu. Tetapi kalau kita bertolak dari
pengertian bahwa diri pribadi sosial pertama-tama merupakan sesuatu hal dalam
alam pikiran dan kita mengamati dia di situ, kita akan langsung mengerti bahwa ia
tidak mempunyai eksistensi yang lepas dari suatu keseluruhan mental, yang
merupakan aspek partikuler masyarakat. Banyak orang merasa heran, kalau kita
katakan, bahwa pribadi-pribadi, sejauh kita mengenal mereka, tidak dapat dipisahkan

75
satu dari yang lain dan tidak saling menolak seperti halnya dengan badan-badan
fisik.. tetapi bahwa mereka saling merembes, sehingga unsur yang sama dimiliki oleh
orang yang berbeda di waktu yang berbeda atau bahkan di waktu yang sama. Namun
hal ini dapat diuji kebenarannya. Itu bukan hal yang luar biasa!" (Cooley, 1902;89-
90).

c) Catatan kritik
Individu dan masyarakat merupakan kesatuan yang erat. Kedua-duanya tidak
terpisahkan! Inilah sumbangan besar Cooley bagi perkembangan Sosiologi. Namun
demikian, ajarannya mempunyai kekurangan juga. Manusia didefinisikan olehnya atas
cara yang terlalu berat sebelah. Seolah-olah manusia hanya alam pikiran saja! Padahal
ia adalah badannya juga. Ketubuhannya termasuk hakikatnya.

Cooley menggambarkan hubungan antara jiwa dengan badan sebagai hubungan


lahiriah yang seumpama antara pengemudi dengan kendaraannya. Sama sebagaimana
pengemudi menentukan jalan dan arah kendaraannya, demikian juga jiwa atau alam
pikiran memerintah atas badan. Badan hanya melaksanakan apa yang dikehendaki oleh
jiwa. Seandainya benar demikian dan badan manusia hanya sarana atau alat biologis
saja, pikiran menjadi satu-satunya unsur konstitutif masyarakat. Pengertian dan
keinsyafan para anggotanya akan dianggap cukup untuk hidup bermasyarakat.

Kehidupan bersama akan mengungkapkan kemauan anggotanya sama seperti jalannya


kendaraan mengungkapkan keluar kemauan sopirnya. Seandainya manusia adalah
pikirannya saja, masyarakat akan dapat dimengerti secukupnya dari idc-ide yang
menuntun manusia. Tetapi Cooley lupa, bahwa pikiran dan kemauan baik tidak
mernbentuk seluruh manusia dan tidak menjadi satu-satunya sumber dan pusat tingkah
lakunya. Badan fisik manusia tidak hanya pelaksana saja. Teori-teori Sigmund Freud
telah menarik perhatian kepada hal ini. Menurut pandangannya yang ekstrem juga,
kelakuan manusia tidak dikuasai oleh pikiran, melainkan oleh naluri-naluri biologis.
Walaupun kami tidak membenarkan faham ekstrem ini yang tidak mengakui
kebebasan manusia, namun kita harus mengatakan juga bahwa badan tidak langsung
takluk kepada pikiran bagaikan kendaraan kepada sopirnya. Badan dapat menentang,
sehingga belum pasti manusia berlaku menurut keyakinannya. Misalnya, karena
kemalasannya ia tidak melaksanakan hal yang dikenal sebagai kewajibannya. ltu

76
sebabnya kelakuan sosial manusia tidak dapat dimengerti hanya dari nilai-nilai budaya
yang dibatinkan olehnya selama masa pendidikan dan pembinaannya.

Di samping nilai-nilai batiniah ada faktor-faktor lahiriah juga. Selain keyakinan dan
motivasi masih harus ada hal-hal Iain yang menjamin kehidupan sebagai masyarakat.
Hal-hal yang diperlukan juga ialah KONTROL SOSIAL, KEPEMIMPINAN, TATA
TERTIB, SISTEM IMBALAN DAN HUKUMAN, SERTA STRUKTUR-
STRUKTUR LAHIRIAH, yang seolah-olah dari luar memaksa orang. Kita semua tahu
dari pengalaman, bahwa melemahnya kekangan dari luar sering menyebabkan
kelalaian, pelanggaran, dan penyelewengan. Kelakuan negatif ini tidak disebabkan
oleh ketidaktahuan pihak orang yang bersangkutan, melainkan oleh kelemahan
aparatur kontrol sosial.

Jadi citra manusia dari Cooley terlalu idealistis dan optimistis. Ia menyangka bahwa
proses pendidikan dan sosialisasi yang baik akan menegakkan kehidupan sosial yang
baik. Kita tahu dari pengalaman bahwa kenyataan tidak membenarkan optimisme ini.
Misalnya, apabila orang berpindah ke dalam situasi dan lingkungan baru yang
berlainan dari lingkungan lama yang telah menopang dia, suatu krisis dapat timbul.
Nilai-nilai yang dahulu dihayati dan didukung oleh situasi dan lingkungan, dapat
kehilangan daya pengaruh mereka dalam lingkungan baru, sehingga ada bahaya bahwa
nilai-nilai sendiri juga tidak dihayati lagi. Hal sama terjadi, apabila orang jadi jujur
selama ada kontrol dan pemeriksaan, tetapi menjadi tidak jujur, apabila tidak ada
kontrol atau pemeriksaan. Sama sebagaimana manusia adalah kesatuan yang beraspek
batin dan beraspek lahir, demikian juga sosialitasnya mempunyai dua aspek. Ia
menjadi orang sosial, baik karena nilai-nilai batiniah maupun karena faktor-faktor
lahiriah. Aspek psikis dijelaskan oleh Cooley dengan baik sekali, tetapi aspek lahiriah
kehidupan masyarakat diabaikan. Aspek kedua ini akan disoroti oleh Sumner, seorang
sosiolog yang justru menguraikan peranan adat, hukum, kepemimpinan, tata tertib, dan
sebagainya dalam menegakkan kehidupan masyarakat. Ajarannya akan mengimbangi
ajaran Cooley yang berat sebelah.

3) Tugas / Latihan

Diberikan tugas berdiskusi dalam kelompok, mengidentifikasi, menganalisis


permasalahan serta menyampaikan hasil di kelas.

77
K. Kegiatan Pembelajaran ke 11 : Masyarakat Terdiri dari Perilaku Manusia

1) Tujuan Materi Pembelajaran

Agar mahasiswa mampu memahami, menganalisis, dan mengkritisi prilaku-prilaku


individu manusia yang ada di masyarakat.

2) Materi Pembelajaran

Pareto menekankan bahwa hidup bermasyarakat terdiri dari apa yang dilakukan oleh
anggota-anggota individual. Mereka merupakan the material points or molecules dari
sistem yang disebut masyarakat. Perhatikanlah, bahwa Pareto tidak memakai kata
“badan” melainkan “sistem”. Suatu sistem dibentuk dari bagian-bagian yang tergantung
satu dari yang lain karena dikonstruksi demikian. Untuk sebagian terbesar kelakuan
manusia bersifat mekanis atau otomatis. Sehubungan dengan hal itu, ia membedakan
antara perbuatan logis dan perbuatan nonlogis.

Perilaku disebut logis, kalau direncanakan oleh akal budi dengan berpedoman pada tujuan
yang mau dicapai, dan menurut kenyataan mencapai tujuan itu. Tindakan atau langkah-
langkah yang diambil oleh orang yang bersangkutan semuanya tepat dan secara obyektif
sesuai dengan tuntutan-tuntutan rasional yang perlu dipenuhi demi tercapainya suatu
tujuan. Misalnya, dokter yang memberi resep antibiotika untuk membasmi infeksi
(tujuannya), lalu pasiennya sembuh karena obat itu, melakukan logis. Perilaku Iain, yang
tidak berpedoman secara rasional pada tuiuan, atau tidak mencapai tujuannya, disebut
nonlogis.

Menurut Pareto, hampir seluruh kehidupan masyarakat terdiri dari perbuatan-perbuatan


nonlogis. Antara Iain ia menyebut proses pengambilan keputusan oleh hakim. Untuk
sebagian besar keputusan-keputusannya dipengaruhi oleh kepentingan dan sentimen-
sentimen yang sedang berpengaruh di dalam masyarakat. Hal sama harus dikatakan
tentang hampir semua tindakan dan kegiatan politik, pembangunan masyarakat,
kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan lain-lain, yang diresapi unsur-unsur yang nonlogis.
Dua tipe perilaku yang nonlogis paling sering menonjol, yaitu :

a) Orangnya menyangka secara subyektif bahwa suatu langkah tertentu perlu diambil
untuk mencapai suatu tujuan, padahal tidak ada hubungan obyektif antara langkah itu
dengan tujuan itu. Misalnya, orang menginginkan kesembuhan, lalu ia pergi ke dukun,

78
bertahayul, atau sembahyang saja. Banyak orang jatuh kurban dari suatu kepercayaan
naif. Mereka salah pilih tindakan, oleh karena mereka dipengaruhi oleh salah satu
sentimen yang mengaburkan pikiran. Misalnya, karena terlalu rakus dan gila uang
mereka memberanikan diri untuk memborong suatu pekerjaan yang melampaui
kemampuan mereka. Atau mereka berbuat demikian karena sombong! Atau mereka
bertindak akibat pengaruh orang lain, yang memuji atau membuiuk mereka. Pokoknva,
kenyataan di luar berlainan dari apa yang dibayangkan mereka. Orang main judi untuk
memperoleh rezeki! la mengikuti mode supaya tidak ketinggalan zaman! la membeli
barang tertentu karena soal gengsi saja! la menikah agar berbahagia! la
mempersalahkan orang Iain supaya dengan berbuat demikian ia sendiri akan
dinyatakan benar! la menjadi pejuang revolusi supaya negerinya bebas! la menerima
nasib malang dengan sabar supaya masuk surga! Tiap-tiap kali kita melihat, bahwa
suatu tujuan hendak dicapai dengan menempuh jalan yang tidak tepat, yaitu melalui
perbuatan-perbuatan yang nonlogis.
b) Ada perbuatan Iain, yang mencapai sasaran mereka sesuai dengan perhitungan dan
perencanaan rasional sebelumnya, dan semestinya disebut “logis”. Tetapi sesudah
tercapainya tujuan itu, timbul suatu keadaan yang merupakan kebalikan dari apa yang
diharapkan. Sejauh akibat-akibat negatif itu tidak diduga dan dipikir sebelumnya,
perbuatan itu bersifat nonlogis juga. Pareto menyebut sebagai contoh pemimpin
revolusi yang berhasil dalam mengerahkan potensi rakyat demi kebebasan atau
keselamatan negara, tetapi setelah ia berhasil menggulingkan rezim lama, ia sendiri
juga — barangkali terpaksa — mulai memerintah secara otoriter dan totaliter.
Teristimewa perilaku nonlogis merupakan obyek Sosiologi.

Sistem sosial atau masyarakat yang ditegakkan oleh individu-individu senantiasa


mengarah kepada keseimbangan, yaitu pemeliharaan keseimbangan atau pemulihan
keseimbangan setelah terjadi pergolakan. Individu-individu saling mempengaruhi, agar
suatu ekuilibrium (keseimbangan) tercapai. Dalam diri mereka ada perasaan-perasaan
otomatis yang aktif menentang setiap hal yang mengancam atau mengganggu kestabilan.
Keseimbangan adalah akibat proses mekanis! Seandainya perasaan otomatis itu tidak ada,
tiap-tiap usaha untuk merombak atau mengubah sistem sosial, tidak akan menghadapi
perlawanan yang berarti. Masyarakat akan goyah terus-menerus, tidak akan memberi
kepastian, dan menghancurkan diri sendiri. Akibat adanya “stabilizing forces”, yaitu
perasaan-perasaan tadi, suatu bentuk atau konfigurasi masyarakat dipertahankan dan

79
pembangunannya dimungkinkan. Itulah sebabnya; bahwa revolusi dan peperangan pada
umumnya bersifat sementara saja. Warisan generasi-generasi pendahulu berupa struktur-
struktur dasar masyarakat tidak dilepaskan dengan mudah. Mereka dijaga dan dipelihara,
sehingga penggantiannya selalu sukar dan memakan waktu lama. Menurut Pareto, pada
dasarnya masyarakat bersifat konservatif.

Kecenderungan ke arah kestabilan dan keseimbangan tidak ada hubungannya dengan


kesadaran dan kebebasan manusia. Manusia tidak bebas! Ia dikodratkan untuk
menegakkan keadaan seimbang itu. Kalau terjadi pergolakan, itu hanya untuk sementara
dan merupakan masa peralihan, di mana masyarakat beralih dari keadaan seimbang yang
satu kepada keadaan seimbang yang lain. Ini disebutnya sebagai dynamic equilibrium.
Diantara stabilizing force Pareto menyebutkan :

a) kondisi-kondisi geografis berupa tanah, flora, dan fauna;


b) unsur-unsur pengaruh baik dari masyarakat-masyarakat luar maupun dari tradisi lama
masyarakat sendiri, seperti misalnya pengaruh feodalisme di masa lampau;
c) unsur-unsur mekanis di dalam diri manusia yang tadi disebut perasaan-perasaan", yaitu
naluri-naluri, residu-residu, derivasi-derivasi, kepentingan, dan faktor-faktor rasial, dan
etnis. Khususnya unsur-unsur sosio-psikologis inilah yang menggerakkan mesin
masyarakat, menghasilkan perilaku yang nonlogis dan oleh karenanya dinamakan
olehnya "karburator masyarakat" Unsur-unsur ini dibahas dengan panjang lebar dalam
Treatise on General Sociology.

3) Tugas / Latihan

Diberikan tugas berdiskusi dalam kelompok, mengidentifikasi, menganalisis


permasalahan serta menyampaikan hasil di kelas.

L. Kegiatan Pembelajaran ke 12 : Unsur-Unsur Mekanis di Dalam Individu yang


Menegakkan Sistem Sosial dan Melandasi Keseimbangannya

1) Tujuan Materi Pembelajaran

Agar mahasiswa mampu memahami, menganalisis, dan unsur-unsur mekanis di dalam


individu yang menegakkan sistem sosial dan melandasi keseimbangannya.

80
2) Materi Pembelajaran

Pada materi sebelumnya telah disampaikan bahwa, menurut Pareto perilaku nonlogis
merupakan sumsum kehidupan bersama dan obyek utama Sosiologi. Perilaku itu tidak
berasal dari akal-budi yang berpikir rasional, melainkan dari sentimen-sentimen yang
umumnya tidak disadari secara eksplisit oleh para pelaku. Kita akan menguraikan
sentimen-sentimen itu yang sebelumnya disebut di point (c). Mereka merupakan bagian
utama mekanisme masyarakat!

a) Residu-residu
Dengan istilah "residu" (arti harafiah: endapan) dimaksudkan struktur-struktur dasar
manusia yang selalu sama, mantap, dan tidak berubah sepanjang peredaran zaman.
Struktur dasar ini melandasi dan menguntukan perilaku. Kodrat manusia telah disusun
sedemikian rupa, hingga dengan sendirinya cenderung ke arah pola perilaku tertentu
yang selalu sama. Walaupun susunan dasar itu tidak langsung dapat diamati, namun
disposisi bio-psikis itu tampak pada perbuatanperbuatan Iahiriah, sehingga dapat
dikenal dengan tidak langsung.

Dalam mempelajari tingkah laku manusia, kita menghadapi kenyataan bahwa semua
perbuatan manusia dapat digolongkan menurut beberapa jenis. Jenis-jenis ini
membuktikan adanya unsur-unsur struktural yang berbeda di dalam diri manusia. Di
satu pihak unsur-unsur ini harus dibedakan dari naluri-naluri biologis, di lain pihak
mereka menghasilkan sikap kelakuan yang otomatis. Jadi mereka mirip dengan naluri-
naluri. Mereka disebut "residu-residu" yang membentuk "kepribadian" seseorang.

Di antara banyaknya residu-residu — Pareto menyebut 50!. — ada enam yang


menonjol sebab paling menentukan.

Pertama. Pada tiap-tiap orang tampak kecenderungan untuk menggabungkan hal-hal


yang tidak ada hubungan satu sama Iain, sehingga menjadi kombinasi baru. Hal-hal
yang berlainan diceraikan dari konteks atau kombinasi lama mereka dan disatukan
kembali ke dalam kombinasi baru. Misalnya, manusia cenderung untuk
menggabungkan gagasan-gagasan yang berbeda atau kejadian-kejadian yang berbeda.
la mengasosiasikan suatu malapetaka yang menimpa dia, dengan kesalahannya yang
pernah dibuat, dan mencari suatu hubungan kausal antara keduanya. Gejala yang hanya
kebetulan saja terjadi di waktu sama, dihubungkan satu sama Iain. Begitu juga orang

81
menarik kesimpulan dari premis-premis yang isinya ditetapkan sendiri sebelumnya. la
menyatukan apa yang tercerai! la merangkaikan kata yang satu dengan kata yang Iain!
la bertutur entah dengan baik atau jelek. Keunggulan si demagog atau si pengkhotbah
tidak ditentukan oleh keyakinannya, melainkan oleh kemahirannya dalam membuat
kombinasi dan asosiasi. Dari residu pertama untuk mengkombinasikan hal-hal yang
berbeda berasal baik omong kosong si pelawak, desas-desus, dan dongeng, maupun
semua teori ilmiah, sistem filsafat, agama, dan sastra. Residu ini oleh Pareto disebut
the instinct of combination, menerangkan tiap-tiap perkembangan di bidang
intelektual, tiap-tiap struktur politik dan kemajuan teknik. Manusla tidak pernah
berhenti mencari kombinasi baru. Di mana residu ini paling aktif dan berperan,
masyarakat nampaknya dinamis dan berubah. Perlu kita perhatikan bahwa perubahan
sosial di sini dimengerti dalam arti variasi dalam menyusun unsur-unsur lahiriah, hal
mana terjadi sebagai reaksi spontan dari suatu residu yang tidak sadar atau bebas.
Kecenderungan untuk mencari kombinasi baru mengandaikan suatu gambaran dunia
dan gambaran manusia yang mekanis.

Kedua adalah kecenderungan untuk mempertahankan dan melestarikan kombinasi


yang telah dibuat. Residu ini disebut The persistence of aggregates. la
melatarbelakangi sikap konservatif manusia. Lembaga-lembaga sosial-politik yang
pernah dibentuk, dianggap seolah-olah abadi adanya. Orang yang pernah bersemangat
revolusioner menjadi konservatif. Orang yang pernah mendobrak suatu tradisis suci,
menjadi orang yang konformistis. Akibat pengaruh residu ini, pada dasarnya mereka
segan akan adanya perubahan yang terus-menerus. Residu ini menerangkan
bertahannya adat-istiadat, moral, agama, dan struktur perkawinan. Residu ini
mengimbangi keecenderungan ke arah perubahan dan pencarian kombinasi baru, dan
merupakan salah satu mekanisme penting bagi keseimbangan masyarakat.

Ketiga adalah kecenderungan untuk mengungkapkan emosi secara lahiriah melalui


tangisan, teriakan, tepuk tangan, demonstrasi, aksi mogok, atau boycott, upacara
bendera, pawai, aktivisme politik yang menantang bahaya, dan Iain sebagainya.

Keempat ialah sosialitas atau kecenderungan untuk bersatu dengan orang Iain. Residu
ini mendorong orang untuk mendirikan masyarakat dan bermacam-macam
perkumpulan di samping keluarga. Orang cenderung untuk meneladani dan mengikuti
mayoritas, menyesuaikan diri dengan apa yang umum, bahkan membebek atau

82
membeo, dan menaklukkan diri kepada suatu tata tertib yang menyeragamkan.
Organisasi dan perkumpulan yang didirikan mereka, membangkitkan perasaan-
perasaan para anggota seperti kesetiakawanan, pengabdian, semangat berkorban demi
kepentingan umum (asketisme) dan sikap serta sifat tertentu terhadap mereka yang
berkedudukan lebih tinggi dalam organisasi, seperti ketaatan, kultus individu, sifat
budak (yes-man, sifat menjilat), atau — kalau dilihat dari segi pemimpin —
paternalisme atau diktatur. Identifikasi diri dengan salah satu organisasi atau golongan
melahirkan gejala sosial yang negatif, seperti intoleransi (sifat tidak mengizinkan
pandangan Iain), fanatisme, pengejaran outsiders, penindasan, dan sebagainya. Seperti
halnya dengan residu-residu lain, residu keempat ini melukiskan manusia sebagai
makhluk yang tidak mempunyai kehormatan. la tidak melampaui jumlah daya-daya
biotis saja!

Kelima ialah kecenderungan untuk mempertahankan diri sebagai individu yang utuh.
Tiap-tiap orang menjaga nama baiknya dan identitasnya. la melawan orang Iain dalam
memperjuangkan kedudukannya dan kepentingannya. Apabila ia diganggu oleh pihak
luar atau mengalami serangan terhadap identitasnya, ia malah menjadi lebih sadar akan
identitasnya, lebih memperkuat afiliasinya dengan kelompok, dan memberi arti baru
kepada keanggotaannya. Residu ini membuat orang memusuhi dan menghantam
sainngannya. Dengan berbuat demikian, ia harap membenarkan, memperkokoh, atau
memulihkan self-image-nya.

Keenam adalah kecenderungan untuk mengarahkan dan mengungkapkan seksualitas.


Pareto menyebut antara Iain pemujaan terhadap phallos, praktek-praktek pertapaan
tertentu seperti siksaan badannya sendiri dengan cambuk, pelacuran sakral, dan
sebagainya.

Sistem perilaku sosial manusia mempunyai enam kecenderungan yang merangsang


manusia. Mereka membuat masyarakat berjalan terus (they keep society going). Sejauh
residu keempat dan kelima memainkan peranan dalam mempertahankan kehidupan
masyarakat, mereka bekerja seiring dengan residu kedua. Itu sebabnya Pareto pada
akhirnya menguraikan seluruh kehidupan sosial dengan memakai residu pertama dan
kedua saja. Namun demikian, residu keempat dan kelima merupakan juga bagian
teorinya yang pada pokoknya bersifat mekanisistis. Mereka berfungsi bagaikan roda
gaya dan alat imbangan bagi ekuilibrium mesin raksasa yang kita sebut masyarakat.

83
Residu sosialitas mencegah masyarakat menjadi berantakan entah akibat tekanan yang
disebabkan pembaruan, atau akibat menghebatnya reaksi melawan pembaruan. Kata
Pareto, "bila keseimbangan sosial masyarakat diganggu, kekuatan-kekuatan dari
dalam langsung berperan untuk memulihkan keseimbangan. Kekuatan-kekuatan ini
adalah sentimen-sentimen, yang dikelompokkan di bawah residu yang kelima".

Sebenarnya keenam residu tadi dapat diperas menjadi dua kelompok saja, yaitu
kelompok pertama, yang meliputi kecenderungan-kecenderungan yang aktif dan
produktif dalam diri manusia (residu pertama dan ketiga), dan kelompok kedua, yang
meliputi kecenderungan yang konservatif dan konformistis (Stark, W., 1963: 124 -
139).

b) Derivasi-derivasi
Tadi kita belajar bahwa daya gerak masyarakat dibangkitkan oleh residu-residu.
Mereka adalah rangsangan utama untuk perilaku orang. Perlu ditambah sekarang,
bahwa manusia tidak hanya merasa diri didorong untuk bertindak atas cara tertentu,
melainkan juga untuk membenarkan dan mempertanggungjawabkan tindakannya
secara teoretis. Tanpa pembenaran itu ia gelisah dan merasa diri terlanggar
kehormatannya sebagai manusia. Oleh karena itu ia mencari sofisme-sofisme,
argumentasi palsu dan rupa-rupa ideologi untuk menentramkan diri. Kelakuan yang
sebenarnya berasal dari sentimen dan residu yang bercirikan nonlogis dan tidak wajar,
dirasionalisasikan secara buatan. Dengan demikian sikap atau perbuatan yang
sebenarnya hanya naluri atau manifestasinya saja dan mestinya memalukan,
nampaknya baik dan terhormat.

Rasionalisasi atau pembenaran erarti secara perbuatan yang nonlogis dinamakan


derivasi. Derivasi secara harfiah berarti “penurunan”, maksudnya mereka dibuat post
factum. Manusia bertindak lebih dahulu, baru kemudian ia mencari motivasi! Jadi
pembenaran dengan teori berasal atau diturunkan dari perbuatan. Derivasi selalu
menyusul! Di Indonesia kita mengenal istilah "kecap" untuk praktek itu. Hidangan
yang sebetulnya tidak sedap, ditambah kecap!

Derivasi-derivasi yang lazimnya dipakai orang dalam pergaulan mereka, dibahas oleh
Pareto dalam bagian Treatise yang berjudul Mind and Society. Berulang kali ucapan
verbal veil (selubung yang terdiri dari kata-kata) muncul. Semua gagasan dan teori

84
hanya kedok saja untuk menyembunyikan keadaan dan sikap yang sebenarnya. Mutu
intelektual atau ilmiah tidak lebih dari mitos. Semua sistem kebudayaan yang
beranekaragam hanya menyesatkan dan mengelabui rakyat biasa. Manusia
menciptakan jumlah teori yang tak terbilang banyaknya untuk menerangkan atas cara
rasional kelakuannya yang bukan rasional. Pencarian akan teori-teori baru rupanya
menjadi permainan yang masih terus-menerus. Karena terlalu sombong manusia
hendak mengkhayalkan kelakuannya sebagai paling masuk akal, padahal bukan
demikian! ia telah bertindak dengan terdorong oleh naluri, baru sesudah itu ia
mengusahakan suatu motivasi rasional, agar orang luar mendapat kesan, bahwa
perbuatannya dihasilkan dan dikuasai oleh akal-budi yang baik dan cerdas.

Tidak sukar untuk dimengerti apa sebab Pareto membuat distingsi (perbedaan) antara
residu dan derivasi. Dengan melalui distingsi itu ia mampu untuk menyusun teorinya
tentang kehidupan sosial, yang mekanistis. Kata Werner Stark, "kalau akal-budi
manusia hanya punya fungsi sekunder, dan kelakuan adalah pengejawantahan
kekuatan-kekuatan mekanis dalam diri manusia, kalau akal-budi dan isi kes¿daran
hanya memainkan peranan post festum, kita berada dalam posisi untuk
mengembangkan teori interaksi manusia, yang menyerupai ilmu pesawat. Dengan
distingsi ini, Pareto telah mengeluarkan kebebasan dan sejarah dari rumahnya. Orang
boleh berbicara sesukanya, tetapi mereka tidak bebas untuk bertindak sesukanya. Apa
yang dikatakan mereka berubah-ubah di waktu dan dalam keadaan lain, tetapi inti
kelakuan mereka selalu sama. Juga apabila kelakuan manusia mengalami perubahan,
perubahannya disebabkan oleh modifikasi dalam substruktur lapisan bawah
kesadarannya, misalnya, karena percampuran ras atau sebab-sebab fisik yang serupa.
Perubahan dalam kelakuan tidak disebabkan karena manusia hendak membuktikan
kebebasannya dan menentukan sejarahnya. Manusia dikemudikan oleh sejarah (Stark,
1963:132).

Menurut Pareto, the derivation; are rapidiy transformed but the residues are relatively
constant (derivasi-derivasi dengan mudah diganti-ganti, tetapi residu-residu yang
menentukan pola perilaku manusia pada umumnya tetap sama). Pareto menyebutkan
tiga jenis derivasi, yaitu:

Pertama, cara membenarkan diri yang paling mudah dan sederhana, namun sering
sudah memadai, ialah menyatakan saja, bahwa sesuatu memang begini atau begitu.

85
Tanpa pendasaran, pembuktian, atau motivasi. Banyak orang condong untuk menerima
suatu pernyataan mutlak, sebab mereka tidak mau dilelahkan atau dipusingkan oleh
latar belakang pembuktian atau teori. Maka pengeluaran pernyataan saja sering
mencapai sasarannya.

Kedua, cara membenarkan diri lain yang sering dipakai ialah menumpang pada
kewibawaan orang lain atau kekuasaan Tuhan sendiri. Orang mengatakan, bahwa
mereka telah bertindak atas cara tertentu "karena itu Kehendak Allah". Begitu juga
kelakuan mayoritas dianggap atau diandaikan menjadi sumber pembenaran. Apa yang
dipikirkan atau dibuat oleh kebanyakan orang, selalu mempunyai pengaruh besar.
Misalnya, si pemuda akan membenarkan kelakuannya dengan berkata bahwa "semua
orang muda di zaman modern ini berbuat demikian", atau bahwa suatu hal sedang
"mode”. Daripada membentuk suatu teori sendiri, manusia lebih suka bersandar pada
wewenang atau kewibawaan pihak lain. Misalnya, ia membenarkan suatu pendapat
atau sikap karena ia telah dengar dari radio atau membaca di suratkabar atau tahu dari
popular science. Orang diajak membeli sabun Lux "karena sembilan dari sepuluh
bintang film memakai merek itu". Slogan ini mengandaikan bahwa banyak orang akan
langsung menyerah saja dengan alasan bahwa bintang film harus dipandang sebagai
ahli di bidang kecantikan.

Keetiga, orang dengan mudah membenarkan apa yang cocok atau bersuaian dengan
perasaan, kepentingan, atau keinginan mereka. Misalnya, si penceramah akan
mempengaruhi orang dengan berkata “semua orang yang masih beritikad baik dan
menjunjung tinggi tata sopan-santun, akan setuju dengan saya bahwa....". Atau "orang
yang sedikit cerdas otaknya, akan dapat melihat bahwa…” Atau, "hanya anak-anak
kecil yang masih suka takut dan gugup, tidak akan berani mengatakan bahwa…”
Ucapan-ucapan yang serupa ini memanipulir perasaan orang, supaya mereka akan
berbuat apa yang diinginkan orang lain, sebab mereka tidak mau dicap sebagai orang
yang tidak becus, tidak sopan-santun, bodoh, atau berjiwa penakut. Peribahasa bahwa
“one's wish is the father of his thought”, menyatakan adanya hubungan antara
keinginan dengan pemikiran. Demikian juga suatu hal yang sesuai dengan kepentingan
seseorang, segera akan diterima olehnya sebagai kebenaran. Spanduk-spanduk dan
poster-poster di jalan-jalan sering menyuarakan kepentingan oknum atau golongan
tertentu. Setelah menginjak bulan astronot Amerika mengeluarkan pernyataan "satu

86
langkah kecil di permukaan bulan; satu langkah besar bagi kemajuan umat manusia di
bumi". Benarkah?

Istilah-istilah tertentu dapat mempunyai daya tarik magnetis untuk menggerakkan


massa rakyat, sehingga istilah-istilah itu sendiri sudah merupakan pembenaran.
Misalnya, "demi tahta dan altar”, "Bismilah”, "perang sabil” "perang jihad”,
"merdeka”, "orde baru”. Juga istilah-istilah seperti "baru”, "modern”, "progresif”,
"demokratis", dan sebagainya selalu langsung didukung.

Cara tepat untuk meyakinkan rakyat tentang suatu hal tertentu ialah menciptakan dan
menyebarluaskan suatu istilah. Ingatlah akan "Nasakom” di zaman "Orla”. Cara lain
ialah mengulang hal yang sama dengan terus-menerus.

c) Kesukaan

Unsur ketiga yang membentuk mekanisme masyarakat adalah perasaan suka, senang,
atau merasa diri tertarik kepada hal-hal tertentu. Alasan Pareto menyebut unsur ini
.secara tersendiri di samping residu-residu, adalah bahwa biasanya orang tidak
membuat derivasi atau teori pembenaran untuk hobi atau kegemaran mereka. Jadi
boleh dikatakan bahwa kesukaan berbeda dari residu hanya sejauh kecenderungan ini
mendasari perilaku yang tidak dimasalahkan, tidak didiskusikan atau perlu
dirasionalisasikan.

d) Kepentingan

Unsur lain yang disebut dengan tersendiri ialah kepentingan. Semua individu dan
golongan digerakkan dan dirangsang oleh apa yang menjadi kepentingan mereka
dalam bentuk barang, kedudukan, atau kekuasaan. Istilah "kepentingan” dipakai juga
untuk naluri yang menggairahkan orang untuk mencari kenikmatan atau keuntungan
semaksimal mungkin atas biaya pengorbanan seminimal mungkin.

Di sini juga kita dapat bertanya apa sebabnya unsur kepentingan serta gejalanya berupa
keserakahan, egoisme, ambisi, kehausan akan kuasa, dan sebagainya, tidak
dimasukkan ke dalam residu-residu. Pareto menjawab, bahwa kecenderungan untuk
melayani kebutuhan dan kepentingan sendiri, sering menghasilkan tipe kelakuan yang
khas. Orang sering berhasil mencapai sasaran mereka. Kenyataan sehari-hari

87
membuktikan hal itu. Itu disebabkan, karena naluri ini merangsang orang untuk
mengambil langkah-langkah logis. Namun demikian, ternyatalah juga, bahwa justru
kepentingan merupakan sumber utama derivasi-derivasi.

Teori-teori yang berhubungan dengan "keadilan dan kebenaran”, persamaan hak,


persaudaraan, perdamaian, pembebasan, kedaulatan rakyat dan lain-lain sering hanya
menyuarakan kepentingan perorangan atau golongan partikuler.

e) Heterogenitas sosial

Unsur kelima, yang melengkapi pandangan masyarakat yang mekanisistis, dinamakan


the circulation of the elites (pergantian orang yang berkuasa). Pareto menguraikan
unsur ini dalam jilid ke-4 dari treatise dalam rangka soal asal-usul revolusi. Apa latar
belakang terjadinya atau meletusnya revolusi? Unsur-unsur yang telah disebut di atas,
tidak dapat menerangkan gejala sosial itu. Lingkungan geografis yang selalu sama
tidak dapat menjadi sebabnya bahwa suatu rezim pemerintahan digulingkan. Faktor-
faktor alam tidak mungkin menyebabkan revolusi. Faktor ekonomi pada umumnya
akan mendorong orang untuk bertindak logis, padahal kelakuan sosial pada umumnya,
kelakuan di waktu revolusi khususnya, bersifat nonlogis. Lagi pula, dunia ekonomi
lebih beruntung dengan keadaan damai yang stabil daripada dengan revolusi.

Derivasi-derivasi — dalam hal ini ideologi-ideologi revolusioner — baru muncul post


factum sebagai usaha untuk membenarkan hal yang sudah menjadi kenyataan. Oleh
karena faktor-faktor tadi belum dapat menerangkan gejala revolusi, maka Pareto
melontarkan konsep heterogenitas sosial sebagai faktor yang menentukan bagi
revolusi. Jalan pikirannya adalah sebagai berikut.

Individu-individu tidak semua sama. Dilihat dari segi-segi intelektual, moral, dan fisik,
kita harus mengatakan bahwa masyarakat tidak bersifat serba sama, tetapi serba beda.
Masyarakat terdiri dari banyak kelompok dan golongan, yang atas cara sendiri-sendiri
berinteraksi satu sama lain. Ada bermacam-macam partai politik, golongan agama,
organisasi sosio-budaya, ikatan profesi, serikat buruh, kelompok ekonomi, dan lain
sebagainya. Di dalam tiap-tiap kelompok selalu terdapat segelintir orang yang lebih
cakap daripada yang lain. Orang yang disebut "elit" ialah mereka yang tampil ke muka
sebagai pihak yang paling berpengaruh di dalam kelompok. Bagaimana pun bentuknya
struktur sosial organisasi, selalu ada perorangan-perorangan yang bakatnya berbeda

88
dari anggota-anggota biasa. Di bidang pemerintahan negara orang itu mampu
memperoleh kuasa dan kedudukan, entah mereka memakai kekerasan atau kekuatan -
fisik, entah melalui siasat dan strategi politik. Suatu pemerintahan dianggap sah, kalau
berhasil meyakinkan rakyat biasa, bahwa kesetiaan dan ketaatan mereka adalah demi
kepentingan mereka sendiri dan merupakan suatu kewajiban dan kehormatan.

Golongan elit yang memegangjabatan pimpinan bersikap atau agak tertutup, atau agak
terbuka. Misalnya kota Sparta disebut sebagai contoh Pemerintahan oleh suatu ruling
class yang agak tertutup. Artinya, anggotanya tidak mau menerima orang dari luar
golongannya sendiri ke dalam badan pemerintah. Negara demokrasi di zaman sekarang
umumnya memperlihatkan sikap agak terbuka, namun keterbukaan itu belum juga
berarti, bahwa "relasi", "koneksi", atau "hubangan famili" tidak memainkan peranan
sama sekali.

Apabila orang yang tidak termasuk kaum elit, naik menjadi orang yang berkuasa, dan
orang yang semula berkuasa jatuh menjadi rakyat biasa, kita berhadapan dengan gejala
yang disebut "pergantian kaum elit". Seluruh sejarah politik, khususnya sejarah
revolusi-revolusi, membuktikan bahwa revolusi dan politik tidak dibuat dan
dikemudikan oleh kesatuan rakyat biasa, melainkan oleh segelintir kecil orang tertentu.
Apa yang disebut perubahan politik, perubahan haluan negara dan revolusi pada
pokoknya hanya merupakan pergantian kaum elit yang berkuasa. Partisipasi rakyat
biasa dalam revolusi tidak berarti lebih daripada mereka melakukan huru-hara di jalan
dan berteriak. Inti revolusi adalah mutasi personalia. Kata Pareto, the ins become the
outs and the outs become the ins.

Kaum elit yang merebut kekuasaan dengan memakai kekuatan fisik, disebut the lions.
Terkadang situasi negara menjadi sedemikian tegang, hingga hanya orang yang kuat
dalam arti fisik dapat menyelamatkan negara. Situasi serupa ini sering timbul di waktu
perang atau akibat perpecahan dari dalam. Situasi krisis inilah yang memberi
kesempatan kepada orang kuat — umumnya dari angkatan bersenjata — untuk
mengambil alih kekuasaan. Apabila situasi negara stabil, negara biasanya lebih
membutuhkan pemimpin yang cerdik pandai. Sekarang orang yang pintar. mahir, dan
lihai mempunyai kesempatan untuk merebut kékuasaan dengan memakai taktik
bohong dan mengelabui rakyat yang menjadi sarana mereka. Mereka disebut the foxes
(rubah-rubah). Demikianlah the foxes menggantikan the lions untuk sementara waktu

89
sampai saat di mana the lions akan menggantikan lagi the foxes. Menurut Pareto,
perjuangan politik tidak pernah menyangkut soal-soal prinsip seperti demokrasi,
sosialisme, atau komunisme, melainkan hanya masalah siapakah yang berkuasa.

Inilah pandangan Pareto tentang perubahan yang dengan tiba-tiba terjadi dalam
kehidupan politik. Kita mengingat akan apa yang telah disebut the see-saw theory
ofhistory. Kalau bagian di sebelah kanan naik, bagian di sebelah kiri turun, dan
sebaliknya. Sebenarnya tidak ada sejarah! Hal yang sama selalu berulang! Pandangan
ini bersifat ahistoris, mekanistis, dan deterministis. Pada saat-saat tertentu dalarn
kehidupannya masyarakat mengalami pergeseran kepemimpinan dan penyusunan
kembali unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya. İni bukan perubahan, melainkan
pengulangan.

3) Tugas / Latihan

Diberikan tugas berdiskusi dalam kelompok, mengidentifikasi, menganalisis


permasalahan serta menyampaikan hasil di kelas.

M. Kegiatan Pembelajaran ke 13-14 : Sejarah Sebagai Produk Manusia

1) Tujuan Materi Pembelajaran

Agar mahasiswa mampu memahami bagian dari perubahan sosial, termasuk transformasi
historis berskala luas sebagai prestasi aktor manusia dan hasil tindakan mereka.

2) Materi Pembelajaran

Perubahan sosial, termasuk transformasi historis berskala luas adalah prestasi aktor
manusia, hasil tindakan mereka. Sejarah adalah dampak upaya manusia, diharapkan atau
tidak. Bahwa sejarah adalah buatan manusia, tak lagi disangkal, kecuali oleh segelintir
teolog dan metafisikawan mistis (Hook, 1955: xi).

Dengan mengatakan manusia yang menciptakan sejarah, sebenarnya belum banyak


menjelaskan tentang siapa sesungguhnya yang membuamya, apakah semua lelaki dan
wanita atau hanya sebagian; apakah sama perannya atau berbeda; apakah semuanya

90
berada di kawasan yang sama atau berlainan; apakah sama caranya atau berbeda.
Ringkasnya diajukan pertanyaan ...

Siapa yang membuat sejarah?


Berapa banyak sejarah yang mereka buat?
Sejarah apa yang mereka buat?
Bagaimana cara mereka membuatnya?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu dibedakan keadaan tempat beroperasinya para
aktor, derajat pengaruh tindakan mereka terhadap jalannya perubahan sosial, di bidang
mana dampak tindakan aktor itu dirasakan, dan bagaimana cara mereka meninggalkan
jejaknya. Dalam bertanya siapa yang membuat sejarah, kita harus menyadari perbedaan
mendasar antara aktor individual (orang yang bertindak) dan agen kolektif (kolektivitas,
kelompok tugas, gerakan sosial, asosiasi, parpol, tentara, pemerintah, dan sebagainya).

Tipe pertama, terdiri dari orang biasa dalam kegiatan sehari-hari, Kebanyakan dari apa
yang terjadi dalam suatu masyarakat terdiri dari orang yang bekerja, beristirahat, makan
dan tidur, bepergian dan berjalan, berbicara dan menulis, tertawa dan bertengkar dan
sebagainya. Massa atau rakyat biasa mcrupakan bahan utama pembentukan masyarakat.
Tetapi di antara anggota masyarakat itu juga terdapat aktor luar biasa.

Tipe kedua, terdiri dari individu yang karena kualitas pribadinya yang khas (pengetahuan,
kecakapan, bakat, keterampilan, kekuatan fisik, kecerdikan ataupun karisama) bertindak
mewakili orang lain, atas natila mereka atau untuk kepentingan mereka (Dahrendorf,
1979) atau meruanipulasi atau menindas orang lain, meski tanpa sei:in mereka. Ini semua
mencakup: pemimpin, nabi, ideolog, kepala suku, negarawan, diktator, tiran dan
sebagainya.

Tipe ketiga, terdiri dari orang yang menduduki posisi luar biasa karena mendapat hak
istimewa tertentu (terlepas dari kualitas pribadi luar biasa yang adakalanya juga mereka
miliki, meski lebih sering tidak). Peran mereka memungkinkan dan bahkan memerlukan
tindakan yang berakibat terhadap orang lain, menentukan nasib orang lain (dengan kata
lain membuat keputusan yang mengikat dan juga melaksanakan metapower; membuat
peraturan yang harus diikuti oleh orang lain). Tergolong tipe ketiga ini adalah raja,
anggota badan legislatif, manajer, administrator dan sebagainya.

91
Ketiga tipe aktor ini dapat saling dikombinasikan untuk menjelaskan model tindakan. Bila
diperhatikan, bentuk tindakan yang dapat dilakukan ternyata merupakan sebuah
kontinum. (1) Di satu kutub akan ditemukan aktivitas sehari-hari dengan egoistis murni,
dengan motivasi dan tujuan pribadi. Dengan cara tak sengaja, tak diharapkan dan tak
disadari, tindakan mereka mungkin berdampaksampingan yang memengaruhi orang lain
atau makin mengokohkan institusi sosial yang ada; semua tindakan mereka jelas
menimbulkan konsekuensi sosial lebih lanjut (misalnya penggunaan bahasa,
menyingkirkan norma, menemukan adat baru). (2) Dalam kontinum itu akan ditemukan
pula tindakan yang dilakukan dalam konteks perilaku kolektiflebih luas, sejenis perilaku
tambahan, sejumlah tindakan individual, tetapi karena "kebersamaannya" mampu
menghasilkan akibat sosial mendadak dan penting. Kerumunan, kepanikan, ledakan
permusuhan, atau huru-hara adalah contoh fenomena ini. (3) Tindakan kolektif, juga
dilakukan bersama orang lain tetapi dikoordinir dalam upaya mencapai tujuan bersama
para pelakunya sendiri atau untuk masyarakat luas (misalnya petisi, unjuk rasa, kampanye
dan sebagainya). (4) Aktivitas kewirausahaan, mengorganisir, mengoordinasi,
memobilisasi, mendidik, mengindoktrinasi orang lain untuk membangkitkan tindakan
yang diharapkan dari pihak mereka (5) Tindakan politik, pelaksanaan kekuasaan (atau
perjuangan mendapatkan kekuasaan untuk digunakan kemudian) ; menata, memanipulasi,
mewakili, kodifikasi (juga persekongkolan, kampanye, persaingan pemilihan dan
sebagainya).

Begitu banyak bentuk tindakan yang dapat diambil. Bila diperhatikan, isi atau target
tindakan aktor individual dapat dibuat satu tipologi lagi. Ada tindakan yang ditargetkan
langsung ke struktur: membuat atau mengubah atau menopang struktur yang ada. Ini
termasuk kategori pertama tipologi kita: membuat strukturt Ini ada beberapa macam. Bila
norma baru dipaksakan, ide baru ditemukan, interaksi baru dimulai, hierarki baru
dibentuk, kita menyaksikan morphogenesis sebenarnya. Bila norma diubah, ide dirumus
ulang, saluran interaksi dialihkan, peluang didistribusi ulang, maka perubahan struktur
tercapai. Bila norma dilaksanakan, ide didukung, saluran interaksi dipertahankan dan
ketimpangan disokong, maka tindakan ini menghasilkan kelestarian struktural.
Pembangunan struktur menurut berbagai cara ini tidak menghabiskan semua tipe
tindakan. Tipe lainnya terdiri dari tindakan yang lebih ditujukan kepada agen lain
ketimbang kepada struktur. Contohnya, tindakan sosialisasi, mendidik, mengindoktrinasi,
memobilisasi, mengorganisir, mengoordinasi dan sebagainya.

92
Dengan membentuk, membentuk ulang atau meningkatkan kecenderungan atau kapasitas
agen lain, tindakan tersebut mungkin secara tak langsung dapat juga memengaruhi
struktur, menyumbang terhadap perubahan sosial. Terakhir, ada tindakan yang ditujukan
kepada lingkungan, ditargetkan pada objek tertentu atau pada alam yang sudah
dimanusiakan (peradaban). Tenaga kerja adalah contoh paradigmatik dari kategori
terakhir ini.

Seperti terlihat, ada berbagai cara orang membuat sejarah. Karena itu, pertanyaan utama
kedua harus diajukan: Seberapa banyak sejarah yang mereka buat? Apakah sumbangan
mereka setara atau berbeda? Di Sini kita berhadapan dengan spektrum kasus yang sangat
luas, mulai dari tindakan rakyat biasa dalam kehidupan sehari-hari mereka hingga ke
prestasi luar biasa para pemimpin besar. Sejak awal studi perubahan sosial, tindakan
pemimpin besar ini lebih banyak menarik perhatian ketimbang tindakan rakyat biasa.
Tradisi ini pun akan diikuti. Karena itu, tanpa mengabaikan atau melecehkan peran rakyat
biasa, perhatian di Sini akan dipusatkan pada peran orang besar yang telah membentuk
sejarah.

Jelas ada berbagai skala "kebesaran". Meski kita menghindari penilaian moral dan hanya
akan mengukur pengaruh objektif, kategorinya pun masih agak beragam. Ambillah faktor
waktu. Di satu kutub kita menemukan orang yang namanya tercetak berabad-abad dalam
sejarah manusia: Muhammad, Jesus dan Budha, Caesar dan Napoleon, Stalin dan Hitler,
Copernicus, dan Edison. Di kutub lain terdapat penentu kecenderungan modern, para
pemimpin gaya dan mode, pembuat keranjingan dan kegila-gilaan yang mendapat
pengikut sangat banyak dan dalam bidang tertentu mampu mengubah pola hidup massa
rakyat, tneski hanya untuk sementara menjelang digantikan oleh yang lain: Elvis, the
Beatles, Madonna, clan Pierre Cardin. Skala pengaruhnya juga berbeda menurut ruang.
Ada yang hanya mempunyai pengikut lokal atau meninggalkan kesan pada komunitas
terbatas atau untuk satu negara dan ada pula pengaruh atau pengikutnya bercakupan
global. Bandingkan POI Pot dan Lenin, Pinochet dan Hitler. Terakhir, pengaruhnya
berbeda menurut orangnya.

Pertanyaan ketiga: Sejarah apa yang mereka buat? Di satu kutub terdapat "pemimpin
tindakan": jenderal, politisi, diktator. Di kutub lain terdapat pemimpin dalam berpikir.
nabi, guru, filosof, intelektual. Pertanyaan terakhir yang harus dipikirkan: Bagaimana cara
mereka membuat sejarah? Akibat objektif dan maksud subjektif tak mesti serupa.

93
Copernicus jelas tak membayangkan bahwa temuan astronominya merevolusionerkan
ilmu, agama, dan juga cara berpikir di abad berikutnya. James Watt tak bermaksud atau
mengantisipasi perubahan dramatis keseluruhan peradaban manusia yang telah mengikuti
prinsip mesin uap temuannya. Niels Bohr tak membayangkan partikel atom temuannya
mendorong pembangunan senjata nuklir yang secara dramatis mengubah perimbangan
kekuatan militer dan sejarah politik dunia sesudah Perang Dunia II. Pahlawan pemikir ini
tak membayangkan diri mereka sebagai pembuat sejarah, meski gagasan mereka
menghasilkan perubahan sejarah sangat luas.

Pahlawan tindakan pun demikian. Alexander Agung mungkin tak menyadari sama sekali
bahwa kemenangannya atas Persia menyelamatkan peradaban Barat ribuan tahun ke
depan. Columbus pasti tak memimpikan bahwa ia menemukan wilayah yang kemudian
menjadi kekuatan raksasa, ditakdirkan mendominasi sejarah dunia. Mereka hanya sekedar
melakukan tugas mereka, bertempur atau berlayar, tak menghiraukan fakta bahwa mereka
telah memicu proses sejarah berskala global. Adakalanya mereka bertindak berdasarkan
kecenderungan emosional atau dorongan moral—tanpa tujuan yang jelas sama sekali.
Rosa Park, wanita negro dari Montgomery, Alabama, yang menolak duduk di bagian
terpisah dalam bus umum, tak mengetahui bahwa ia memicu gerakan hak-hak sipil
raksasa yang akhirnya mengubah wajah AS beberapa tahun kemudian.

Sebaliknya tentu ada juga orang yang secara sadar memahami peran dirinya sendiri dalam
sejarah besar dengan ambisi untuk mengubah dunia. Napoleon dan Marx, Robespiere dan
Lenin, Gorbachev, dan Reagan, hanyalah beberapa contohnya saja. Dalam kasus mereka
ini, perbedaan tujuan subjektifdan konsekuensi objektifmasih valid. Sering terjadi,
mereka tidak menyamakan. Ironisnya, sejarah pun memainkan tipuan terhadap
kebanyakan pembaru dan perombak yang ambisius. Sebagian mereka menciptakan hasil
sejarah yang abadi namun dalam bentuk yang berlainan atau bahkan berlawanan dengan
apa yang mereka harapkan semula. Seperti diamati Karl Popper, kebanyakan revolusi
menghasilkan akibat yang berlawanan dengan apa yang dimimpikan oleh tokohnya.
Lebih umumnya ...

Bahkan institusi dan tradisi yanglahir sebagai hasil tindakan manusia


yang disadari dan disengaja, biasanya ada/ah hasil sampingan tak
langsung, tak diharapkan dan tak diinginkan dari tindakan itu. (1956:
286)

94
Pemikiran yang mengandung nilai moral, romantis, dan perikemanusiaan yang dalam dari
Marx, merosot menjadi sistem politik paling menindas dan tidak berperikemanusiaan
dalam sejarah dunia. Di sini, maksud baik penciptanya jelas lenyap dan menimbulkan
konsekuensi yang sangat berbahaya.

Dalam sejarah yang lebih baru semua bukti menunjukkan bahwa Gorbachev mencoba
menyelamatkan sistem komunis yang rapuh itu ketimbang menggiringnya ke kehancuran
total. Tujuannya agaknya hendak menciptakan transformasi historis terdalam di abad
modern ini, jauh dari tujuan revolusionen Demikianlah, tempatnya dalam buku sejarah
pasti tak sebanyak apa yang ingin ia capai dengan peran objektif yang dimainkannya.
Jarang terjadi, pemimpin besar atau politisi mampu mencapai tujuan historis yang mereka
tetapkan sendiri. Jika terjadi, lebih besar kemungkinannya dalam kasus reformasi sosial
kecil-kecilan setahap (letni setahap ketimbang pada proyek raksasa rekonstruksi global
(Poppers 1964).

Menjadi Pahlawan

Manusia dilahirkan dengan bakat tertentu. Ada orang yang menemukan lingkungan sosial
yang mendukung perkembangan bakatnya, tetapi ada masa genting ketika masyarakat
akan mengakui atau, sebaliknya, mengabaikan keunggulan yang mereka ungkapkan.
Untuk menjadi pemimpin, orang harus mempunyai pengikut. Untuk menjadi penulis
terkenal, orang harus mempunyai pembaca. Untuk dihargai masyarakat, orang harus
bergaul, tidak menyendiri. Di sinilah bekerjanya mekanisme seleksi sosial itu yakni
mengangkat individu tertentu ke status pahlawan dan menolak pemberian status ini pada
orang Iain.

Ada empat bukti yang menandakan pentingnya aspek sosial dari kebesaran ini :

a) Ada sejumlah kasus individual terkenal (pencipta, seniman, peneliti, penulis) yang
mendapat penghargaan dan berpengaruh baru sesudah mati atau melalui orang Iain di
kemudian hari. Orang seperti itu jelas tak cocok dengan waktunya; kondisi sosial tidak
siap untuk menerima pengaruhnya; sikap menerima yang diperlukan atas ide mereka,
belum ada ketika itu; mereka mengantisipasi epos masa depan yang belum muncul.
Contohnya banyak. Di bidang ilmu, orang yang baru muncul pengaruhnya sesudah
mati antara lain adalah Galileo, Cavendish, Gauss, Galois, Flek, dan lain-lain. Di
bidang seni lukis, van Gogh, Toulouse Lautrec dan Modigliani yang mati dalam

95
kemiskinan dan tak terkenal, dan baru dipuji dan dihormati beberapa dekade
kemudian. Di bidang musik, nasib serupa dialami Mussorgski dan Bartok.
b) Kesan sebaliknya menunjukkan bagaimana kematangan kondisi sosial tak hanya
mengakui prestasi, tapi juga mendorong dan membangkitkannya. Contoh terbaiknya
berasal dari dunia ilmu. Banyak laporan yang menerangkan banyaknya temuan yang
sama sebagai hasil studi terpisah. Temuan seperti itu muncul berkelompok dalam
periode ketika komunitas ilmiah akan bersiap untuk terbagi-bagi ke dalam bidang-
bidang khusus. Di bidang kalkulus (Newton dan Leibniz); nitrogen (Rutherford dan
Scheele) ; telegraf (Henry, Morse, Steinheil, Wheatstone, Cook) ; fotografi (Daquerre,
Niepce, Talbot); planet Neptunus (Adams dan Leverrier); pornografi (Cros dan
Edison). Cakupan "multiplisitas" temuan tersebut makin besar ketika kita memasuki
epos ilmu modern. Beberapa tahun lalu suatu terobosan di bidang fisika
(superkonduktor) dilaporkan hampir berbarengan oleh lebih 20 sarjana yang meneliti
secara terpisah. Mengomentar kejadian ini, J. Lenski berucap: "Meski keterlibatan
kemampuan individual tidak dapat disangkal, namun kami kira hanya segolongan kecil
pakar yang memberikan andil terbesar atas kemajuan ilmu yang sangat diperlukan itu"
(1974: 93). Kondisi menyeluruh suatu disiplin akademislah kiranya yang dapat
memicu penemuan atau penciptaan tertentu. Salah satu mekanismenya mungkin
semacam sorotan masyarakat di bidang riset tertentu di mana setiap hasil penting
segera dilaporkan sehingga menjadi milik publik dan memopulerkan penemunya.
c) Fakta sejarah menunjukkan bahwa seluruh epos menghasilkan kreativitas, inovasi, dan
keaslian yang adakalanya disebut "zaman keemasan". Contoh, Yunani diabad 5 SM;
peradaban Maya dan Renaisan Italia di abad 15 dan Renaisan Perancis di abad 16.
Mengapa hanya terjadi di sana' Satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah
karena suasana sosiainya menopang perkembangan prestasi manusianya.
d) Wakil orang besar itu tak merata menurut kelamin, ras, dan komunitas etnis. Dalam
kehidupan publik dikebanyakan masyarakat yang pernah dikenal, para pemimpin
politik, raja, presiden, dan pahlawan militernya didominasi kaum lelaki. Indikator
kesarjanaan dan ketenaran seniman Pun sangat berat ke lelaki. Melihat daftar penerima
hadiah Nobel (sebagai puncak penghargaan), ternyata 86 lelaki dan hanya 7 wanita di
bidang sastra; 97 lelaki dan hanya 4 wanita di bidang kimia. Sekali lagi, tak ada bukti
yang mendukung pendapat bahwa kemampuan kreatif atau inovatif lelaki bersumber
pada superioritas genetik atau faktor bawaan. Satu-satunya penjelasan adalah
prasangka dan diskriminasi sosial yang berurat-berakar yang menyebabkan tak

96
meratanya distribusi sumber daya yang diperlukan untuk berprestasi (latihan, fasilitas,
waktu yang tersedia, dan sebagainya) dan tak meratanya distribusi perhatian terhadap
kasus prestasi nyata (akses ke publikasi, perhatian publik). Contoh serupa mudah
ditemukan untuk faktor ras dan komunitas etnis. Di sini seleksi sosial negatif jelas
berperan. Penolakan keanggotaan jenis kelamin, ras dan golongan etnis tertentu,
penghargaan yang tak adil atas prestasi mereka dan mencegah mereka untuk memasuki
dunia pahlawan.

Dalam proses seleksi sosial, perbedaan kriteria keunggulan akan diperhatikan. Kriteria ini
menyediakan pembenaran yang dapat diterima atas status sosial yang unik atau luar biasa.
Dengan kata Iain, melegitimasi kebesaran. Faktor yang melegitimasi itu dilembagakan
sehingga berubah menjadi norma dan aturan untuk menentukan siapa yang semestinya
dihargai. Basis legitimasinya pun sangat tergantung pada bidang prestasinya. Kriteria
paling kuno dan paling umum untuk menilai prestasi di bidang agama, politik, dan
peperangan adalah karisma pribadi.

Karisma adalah kualitas yang dikaitkan dengan orang, tindakan, peran, lembaga, simbol,
dan benda material karena dianggap berkaitan dengan kekuatan tertinggi, vital,
fundamental atau yang menentukan. Keterkaitan dengan unsur yang paling menentukan
yang terdapat dalam alam semesta dan dalam kehidupan manusia ini dilihat sebagai
kualitas pribadi yang terjelma dalam sikap dan tindakan individual. Kualitas ini juga
dipandang melekat pada peran dan kolektivitas tertentu (Shils, 1968:386).

Kualitas pribadi ini diyakini berasal dari kekuatan supernatural, tanda karunia Tuhan atau
petunjuk untuk bertindak luar biasa karena dikaruniai bakat dan kekuatan luar biasa.
Karisma dapat dirasakan oleh pembawanya secara subjektif, memberinya peraspan
keyakinan dan keuletan yang sangat unik. Karisma juga dapat dibayang -can oleh orang
Iain yang mengakuinya atau dianggap berasal dari orang Iain.

Orang yang berkarisma adalah orang yang mempunyai perasaan subjektif


yang kuat terhadap kualitas karismatis rang dimilikinya dan rang
dikaitkan kepadanya oleh orang Iain. (1968:386)

Bila perasaan mempunyai karisma berkurang, kita menghadapi kasus karisma yang
dibuat-buat secara sosial untuk meningkatkan popularitas dan pengaruh. Bila kesan orang

97
lain yang berkurang maka biasanya akan berhadapan dengan perampasan karisma tanpa
menimbulkan akibat sosial apa pun.

Pemikiran tentang karismatis sudah ada sejak zaman kuno yang dikaitkan dengan agama.
Analisis teoritis pertama dibuat oleh Max Weber. la memandang karismatis sebagai salah
satu dari tiga landasan kekuasaan atau pengaruh yang sah yang dimiliki seseorang
terhadap orang lain di bidang politik, militer, agama, dan intelektual. Dua landasan
kekuasaan atau pengaruh yang sah lainnya adalah tradisi dan hukum rasional. Kekuasaan
karismatis ditemukan dalam pribadi yang penuh kreatif, inovatif (pemimpin, nabi,
pejuang, orang bijaksana) yang diakui demikian oleh pengikut atau orang yang
ditundukkan. Mereka dianggap dikaruniai potensi dinamis yang sangat kuat yang
dibutuhkan dalam perubahan sosial. Menurut Weber, kekuasaan karismatis diperlukan
bagi perubahan revolusioner (Shils, 1968:387). Sedangkan kekuasaan tradisional dan
kekuasaan berdasarkan hukum rasional cenderung digunakan untuk tindakan rutin atau
tindakan kompromis (untuk melaksanakan cara hidup yang sudah mapan atau mengikuti
prinsip norma untuk mempertahankan status). Keabsahan kekuasaan karismatis berasal
dari kekuatan "di atas", jauh dari institusi sosial yang ada sehingga tak menghalangi
perjuangan pemegangnya untuk meninggalkan jejak pada proses sejarah. Pemegang
kekuasaan ini siap untuk menghancurkan tatanan mapan dan menciptakan tatanan baru
sebagai penggantinya. Pemimpin yang berkharisma dan orang yang tanggap terhadap
pemimpin berkharisma mengilhami transformasi lebih luas. Mereka mencoba
menghancurkan struktur perilaku rutin dan menggantinya dengan struktur yang
mengilhami tindakan yang "disuntikkan" oleh kualitas berpikir yang digerakkan melalui
kontak intensifdengan "kekuatan tertinggi" yang membimbing dan menentukan
kehidupan Inanusia (Shils, 1968:387).

Pemimpin karismatis mengembangkan gaya tindakan dan ciri kepribadian unik yang
membantu memperkuat citra mereka sebagai utusan Tuhan, jelmaan nasib, pertanda
sejarah, pemimpin rakyat, dan sebagainya.

Mereka sangat menuntut dan otokratis, menentukan perilaku pengikutnya dan


menghukum yang tak patuh. Mereka mengambil jarak dari pengikut, murid dan
pembantunya dan menegaskan jarak itu melalui berbagai cara (pakaian seragam yang
sangat khas dan resmi, panggilan khusus, cara berbicara, ruang khusus, dan sebagainya).
Mereka melakukan tindakan luar biasa untuk membuktikan kekuatan khusus mereka

98
(membuat tindakan ajaib). Mereka sangat dogmatis, sangat fanatik dalam mewujudkan
proyek yang mereka sodorkan dan tak menoleransi kritik. Mereka secara efektif
mengisolasi diri dari perubahan opini publik yang tak menguntungkan dengan
membentuk lingkaran pendukung fanatik, pemuja, dan penjilat yang menimbulkan
fenomena " think-thank' (menanamkan keyakinan tentang betapa sangat berkuasa,
bijaksana, dan adilnya pemimpin itu).

Signifikansi paling besar dari legitimasi karismatis bagi penguasa adalah pada masa krisis
sosial, ketika pandangan hidup dan norma hukum yang mapan diruntuhkan, elite
penguasa didiskreditkan, dan tradisi dibuang. Karena itu satu-satunya sumber wewenang
harus dicari di luar tatanan yang ada. Inilah sebenarnya yang dimaksud dengan kharisma
itu, yang menurut definisi berasal dari sumber supernatural. Dalam periode krisis
demikian, derajat kepekaan dan penerimaan masyarakat terhadap karisma pun meningkat.
Ini disebabkan pemimpin karismatis menemukan sekurangnya tiga kebutuhan psikologis
yang menjadi penekan dalam kondisi krisis. Pemimpin karismatis tampil memenuhi
kebutuhan itu, yakni,

a) Kebutuhan keamanan, yang menemukan salurannya pada tokoh paternal yang


memikul tanggungjawab keamanan ditangannya. Inilah yang dimaksud Carlyle ketika
menyatakan bahwa layanan raja yang terpenting adalah: memerintah kita, melengkapi
kita dengan petunjuk praktis terusmenerus, menjelaskan kepada kita tentang apa yang
harus kita kerjakan di hari dan jam tertentu (1963: 257).
b) Kecenderungan mencari kompensasi untuk kegagalan pribadi, ketakcukupan dan
kemiskinan melalui identifikasi emosional dengan pahlawan besar yang merasa bangga
dengan hasil tindakannya.
c) Kebutuhan menghindarkan tanggungjawab dan keterlibatan pribadi dalam kondisi
yang sangat tak menentu (anomie) dengan mendelegasikannya kepada seorang
pemimpin yang kuat. Menurut Eric Fromm, sikap inilah yang menjadi salah satu
penyebab fasisme (1941).

Dalam kondisi lebih stabil, basis kekuasaan selain kharisma menjadi makin penting.
Pertama, hukum rasional yang lebih melandaskan kekuasaan pada hierarki jabatan yang
sudah ditetapkan ketimbang pada ciri-ciri individual pejabatnya; atau kedua, tradisi yang
melandaskan kekuasaan pada adat lama komunitas. Peran agen yang berbekal kekuasaan
untuk melaksanakan perubahan radikal lebih kecil ketimbang agen berkharisma. Masalah

99
kharisma dibahas agak panjang karena "pembuat sejarah" di bidang politik paling sering
dilukiskan sebagai agen yang berkarisma. Di luar politik dan agama, mungkin ditemukan
kriteria kebesaran yang lain. Di bidang ilmu misalnya, pengetahuan seseorang
dilembagakan sebagai kriteria mendasar baik dalam arti kecakapan (keahlian) maupun
kekreatifan dan keinovasian. Etika ilmu menghormati orang yang menguasai bidang
pengetahuan tertentu dan yang tnemperkayanya. Di bidang seni, kesempurnaan
pembuatan dan keaslian bentuk dan isi sangat menentukan. Di bidang teknologi, efisiensi
dan kegunaan menjadi tanda keunggulan. Terlepas dari cara orang Inenclapatkan status
kepahlawanan dan terlepas dari keabsahan kriteria yang digunakan, peluang untuk
rnemprakarsai dan memengaruhi peruFahan sosial terl'tlka bagi seseorang di saat ia
dikenal masyarakatnyl. Narnun, sebeltllùl potensi kekuasaan dan pengaruhnya benarbenar
rneninggalkan guratan dalam proses historis, syarat lain berikut ini harus dipenuhi.

a) Situasi sosial (politik, ekononli) harus sedernikian rupa sehingga satu keputusan
tunggal dapat diputuskan untuk berjalannya proses selanjutnya. Ini terjadi l'ila l'idang
alternatif historis relatif banyak dan setiap kemungkinan skenarionya tidak ditentukan
lebih dahulu oleh tahap proses sebelurnnya. Adanya berbagai alternatif perkembangan
dalam situasi historis tertentu dianggap sebagai tindakan heroik yang Ferarti (Hook,
1955: 1 14). Ketika berada di "titik bercabang dua" itu, faktor minor menerima akibat
yang tak sebanding dan sejarah clunia tergantung pada detail yang sepele. Di antara
faktor minor itu, keputusan tunggal, pilihan yang diambil individu yang mendapat
bobot besar, mendorong proses ke arah yang tak Illudah dibalik. Kondisi semacam ini
terjadi dalanl periode: ketakstabilan, disorganisasi, kerusuhan sebelum revolusi,
sesudah diremuk perang, dan sebagainya. Dalam periode perang dan revolusi, nasib
rakyat tergantung pada seseorang atau segelintir yang akan membuat keputusan (ibid
3). Untuk mendapatkan peluang memainkan peran historis yang sebenarnya, orang
besar harus berada dalam periode bersangkutan, hidup dalam waktu yang istimewa.
Berdasarkan pengertian ini, pahlawan dikembangbiakkan oleh zaman kepahlawanan.
b) Orang besar benar-benar- harus berada dalam posisi untuk mengambil keputusan
penting. Dengan kata lain ia harus benar-benar melaksanakan kekuasaan atau pengaruh
istimewa ketika peluang tindakan yang berakibat historis terbuka dengan sendirinya.
Komandan tertinggi takkan dapat berbuat banyak jika ia dipecat; politisi terunggul
sekalipun takkan dapat berbuat banyak jika ia telah diberhentikan. Untuk memainkan
peran historis, orang besar tak hanya harus berada pada waktu yang tepat, tetapi juga di

100
tempat yang tepat. Dalam hal ini pahlawan dikembangbiakkan oleh lokasi
kepahlawanan.
c) Perubahan historis yang sesungguhnya hanya terjadi bila sejumlah besar rakyat
dilibatkan. Tak seorang pun mampu mengubah sejarah sendirian. Agar perubahan
historis efektif, orang besar harus mampu menggerakkan rakyat untuk bertindak,
memobilisasi mereka atau memaksa mereka; memimpin mereka dengan tauladan;
menakuti mereka dengan kekuatan watak; meyakinkan mereka dengan ide; mengetuk
perasaan mereka dengan emosi. Singkatnya, orang besar harus menarik atau
mendorong mereka dari kerutinan dan stagnasi. Kebanyakan orang lain harus memihak
ketika keputusan penting bersifat historis akan diambil. Harus tersedia kepatuhan atau
entusiasme pengikut. Komandan tentara harus mempunyai kesatuan militer; pemimpin
revolusi harus mempunyai kerumunan yang marah; presiden yang dipatuhi harus
mempunyai warga negara yang mematuhi hukum. Jadi syarat utama untuk
melaksanakan peran pahlawan, untuk melaksanakan perubahan sosial yang signifikan
adalah tersedianya sumber daya manusia yang kaya, yang siap untuk dimobilisasi.

Memengaruhi Sejarah
Orang besar memengaruhi perubahan sosial dan mengubah proses historis dengan
berbagai cara atau tindakan: baik atau buruk. Tindakannya inilah yang dijadikan alasan
oleh masyarakat untuk menetapkan mereka sebagai orang besar.

Peran historis mereka ada dua bentuk. Hook membedakan orang besar menjadi: individu
luarbiasa dan individu ciptaan luar biasa. Tipe pertama besar karena karyanya sendiri.
Kebesarannya bukan karena derajat kebijakan, imajinasi atau integritas moral yang luar
biasa. Mereka mendapat "kebesaran" karena berada di saat dan tempat yang tepat dan
mengambil keputusan yang tepat. Mereka menggunakan peluang yang tepat yang
menampilkan dirinya dan diikuti alábat historis yang berutang pada perbuataanya.
Manusia luar biasa adalah ciptaan peristiwa menyenangkan atau tak menyenangkan, yang
dalam keadaan demikian ia menemukan dirinya berada dalam posisi di mana
keputusannya untuk bertindak atau tidak bertindak akan menentukan persoalan besar
(Hook, 1955: 163). Orang seperti itu sering mula-mula tak menyadari signifikansi historis
dari tindakannya.

Manusia ciptaan luar biasa, besar karena kebesarannya. Manusia ini mencerminkan
kualitas Otak dan perasaan luar biasa: cerdas, pandangan yang jelas, keyakinan kuat,

101
tekun dalam mengikuti tujuannya, berkecakapan memimpin. Pahlawan karismatis
termasuk golongan ini. la merasa terpilih sendiri dan orang Iain mengakui karismanya.
Keunikan gaya tindakannya tak hanya terletak pada kemampuan menggunakan peluang
yang tersedia tetapi juga dalam menciptakan peluang.

Orang besar tipe ini menemukan kebesarannya di ja/an historis, tetapi ia


pun membantu menciptakannya. la makin sukses memilih alternatifkarena
kualitas istimewa ha waannya rang divvujudkannya. (ibid: 157)

Ada beberapa jebakan di jalan menuju kebesaran historis. Upaya untuk mengubah sejarah
sering gagal, meski ditangani manusia luar biasa. Bahasan di atas menunjukkan sejumlah
kesalahan besar yang dapat menghambat kesuksesan potensial pahlawan atau
menyebabkan kehancuran orang yang sebelumnya mendapat penghormatan: (1)
Kegagalan menetapkan bidang kemungkinan secara memadai; melihat alternatif historis
ketika benar-benar muncul, menghindarkan bahaya dan menciptakan alternatif historis
jika kenyataannya tak ada. (2) Ada kecenderungan umum untuk berpikir secara
dikotomis, mengabaikan kekompleksan situasi sosial dan banyaknya peluang
perkembangannya. (3) Ketakmampuan menaksir kemungkinan secara tepat dan menaksir
biaya intrinsik setiap peluang tindakan yang tersedia dan ketidakmampuan melihat
"jendela" peluang yang memungkinkan mencapai prestasi dengan biaya terendah. (4)
Ketakacuhan terhadap akibat tak diinginkan, hasil sampingan, dan dampak sampingan
dari keputusan yang diambil, terutama untuk jangka panjang. (5) Ketidak mampuan
meramal reaksi massa atas keputusan yang diatubii,l melebih• lebihkan atau melecehkan
potensi mobilisasi rakyat; salah memperkirakan perasaan rakyat, salah menafsirkan tujuan
dan aspirasi rakyat. (6) Perangkap paling berbahaya adalah: tuengabaikan keterbatasan
keunggulan manusia atas kondisi sosial Clan historis dan menetnpatkan diri sendiri dalam
peran sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa.

Orang yang toampu mengatasi kesulitan Clan menghindari perangkap tersebut, benar-
benar berhak disebut "orang besar".

3) Tugas / Latihan
Diberikan tugas berdiskusi dalam kelompok, mengidentifikasi, menganalisis
permasalahan serta menyampaikan hasil di kelas.

102
IV. PENUTUP

Modul Mata Kuliah ini disusun untuk memudahkan dosen program studi
Kesejahteraan Sosial dalam melaksanakan pembelajaran yang lebih berkualitas dan dalam
rangka peningkatan kualitas lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara. Agar peningkatan kualitas tersebut dapat tercapai
diperlukan penetapan standar capaian pembelajaran, standar isi, standar proses, dan standar
evaluasi pembelajaran. Keempat stardar tersebut harus dikembangkan dalam wujud modul.
Semoga dengan adanya modul matakuliah ini, proses belajar mengajar pada program studi
Kesejahteraan Sosial menjadi lebih berkualitas.

103
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, R. d. (2010). Pendidikan Lingkungan, Sosial, Budaya dan Teknologi. Bandung: UPI Press.
Effendy, O. U. (2002). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Elly, M. S. (2006). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Fluehr-Lobban, C. (1986). Frederick Engels and Leslie White : the Symbol Versus the Role of Labor
in the Origin of Humanity. Dialectical Anthropology 11, 119-126.
Gardner, R. a. (1969). Teaching Sign Language to a Chimpanzee. Science 165, 664-672.
Goodenought, W. (1969). Frontriers of Cultural Anthropology : Social Organization. Proceedings of
the American Philosophical Society 113, 329-335.
Hatch, E. (1983). Culture and Morality : The Relativity of Values in Anthropology. New York:
Columbia University Press.
Hill, J. (1978). Apes and Language. Annual Review of Anthropology 7, 89-112.
Homans, G. C. (1984). Coming to Mya Sense : The Autobiography of a Sociologist. New Brunswick,
N.J: Transaction Books.
Jolly, A. (1972). The Evolution of Primate Behavior. New York: Macmillan.
Premack, D. (1970). A Functional Analysis of Language. Journal of the Experimental Analysis of
Behavior 14, 107-125.
Sadulloh, U. (2003). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sahlins, M. (1976). Culture and Practical Reason. Chicago: University of Chicago Press.
Shihab, M. Q. (2007). Wawasan Al-Qur'an. Bandung: Mizan.
Soelaeman, M. M. (2011). Ilmu Sosial Dasar dan Teori Konsep Sosial. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Sudibyo, L. T. (2013). Ilmu Budaya Dasar. Yogyakarta: CV Andi Offset.
Sunarso, d. (2008). Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: UNY Press.
Van Den Berghe, P. L. (1978). Man in Society : A Biosocial View. Second Edition. New York:
Elsevier.
White, L. (1949). The Science of Culture. New York: Grove Press.
Wilson, E. O. (1975). Sociobiology : The New Synthesis. Cambridge: Mass : Harvard University
Press.

Anda mungkin juga menyukai