Anda di halaman 1dari 31

Laporan Praktikum

Kimia Dasar II

SENYAWA HALOGEN ORGANIK

ANNISA MUTMAINNAH MALIK

D131221055

KELOMPOK I

DEPARTEMEN TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
GOWA
2023
Laporan Praktikum Kimia Dasar II

HIDROKARBON

Disusun dan diajukan oleh:

ANNISA MUTMAINNAH MALIK

D131221055

Laporan ini telah diperiksa dan disetujui oleh:

Gowa, 10 April 2022


Asisten, Praktikan,

Fia Apriani NIM. H031191020


Fatrial
A
n
ni
sa
M
ut
m
ai
n
na
h
M
ali
k

N
I
M
.

D
1
3
1
2
2
1
0
5
5
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Larutan terdiri atas cairan yang melarutkan zat (pelarut) dan zat yang larut

didalamnya (zat terlarut). Zat terlarut, yaitu zat yang dilarutkan ke dalam pelarut

dan jumlahnya lebih sedikit daripada pelarut. Sedangkan pelarut adalah zat yang

digunakan untuk melarutkan zat terlarut dan jumlahnya lebih besar daripada zat

terlarut. Pelarut tidak harus cairan, tetapi dapat berupa padatan atau gas asal dapat

melarutkan zat lain. Sistem semacam ini disebut dengan sistem dispersi. Untuk

sistem dispersi, zat yang berfungsi seperti pelarut disebut medium pendispersi,

sementara zat yang berperan seperti zat terlarut disebut dengan zat terdispersi

(dispersoid) (Takeuchi, 2006).

Kelarutan juga didefinisikan dalam besaran yang kuantitatif sebagai suatu

konsentrasi zat terlarut di dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu. Kelarutan

suatu senyawa itu sendiri tergantung pada beberapa hal, yaitu sifat fisika kimia zat

pelarut dan zat terlarut yang digunakan, temperatur, pH larutan, adanya ion

sejenis, dan juga besar tekanan untuk jumlah lebih kecil yang tergantung pada hal

terbaginya zat terlarut (Heaton, 2006).

Kelarutan dari suatu zat sangat bergantung pada pelarutannya sendiri serta

suhu dan juga tekanan pada proses melarutkan yang sedang terjadi. Tingkat dari

suatu zat dalam pelarut diukur sebagai konsentrasi jenuhnya (saturation) yang

artinya penambahan suatu solute tidak akan membuat konsentrasi dalam larutan

meningkat. Secara umum pelarut adalah suatu cairan yang digunakan dalam

bentuk tunggal maupun campuran (Imtihani dkk, 2020).


1.2 Maksud dan Tujuan Percobaan

1.2.1 Maksud Percobaan

Maksud dari percobaan ini adalah untuk mengetahui reaktifitas beberapa

senyawa halogen organik dan fungsinya sebagai pelarut.

1.2.2 Tujuan Percobaan

Adapun tujuan dari percobaan ini adalah :

1. Mengetahui kelarutan senyawa organik dalam senyawa polar dan non

Polar.

2. Mengetahui rekasi senyawa halogen organic dengan AgNO3/alcohol dan

NaI/aseton.

1.3 Prinsip Percobaan

Prinsip pada percobaan ini yaitu menentukan kelarutan senyawa halogen

organic dalam senyawa polar (akuades) dan senyawa nonpolar (minyak dan

mentega yang sudah dicairkan) serta mengetahui reaktifitas senyawa halogen

organik yakni benzil klorida, klorobenzen, kloroform, dan diklorometan melalui

reaksi dengan AgNO3/ alkohol dan Nal/ aseton.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Senyawa Halogen

Dalam sistem periodik unsur kimia D. I. Mendeleev, halogen (grup VII A

dari Tabel Periodik) terdiri dari enam unsur: unsur stabil fluor (F), klor (Cl), brom

(Br), yodium (I), unsur radioaktif astatin (At), dan yang dibuat secara artifisial

elemen tennessine. Mereka diberi nama ¨halogen¨ yang artinya ¨penghasil garam¨,

kata ini diambil dari dua kata Yunani yaitu hal- (¨garam¨) dan -gen (¨untuk

menghasilkan¨) hal ini menurut oleh ahli kimia Swedia yang bernama Baron Jöns

Jakob Berzelius pada tahun 1842. Sesuai namanya, halogen membentuk berbagai

macam garam, termasuk natrium klorida (NaCl), kalsium fluorida (CaF2), perak

bromida (AgBr), dan kalium iodida (KI). Halogen terkonsentrasi di permukaan

bumi, termasuk air laut dan sedimen. Dalam ekosistem terestrial, senyawa halogen

anorganik terutama hadir sebagai anion berair atau halida (Teferi, 2022).

Gugus fungsi Halogen selalu diawali dengan kata-kata seperti fluoro-,

kloro-, bromo-, iodo, dan lain-lain tergantung dari halogennya. Gugus yang lebih

dari satu dinamai dikloro, trikloro-, atau lainnya dan gugus yang berbeda dinamai

sesuai urutan alfabet. Contohnya, CHCl3 (kloroform) adalah triklorometana.

Anestetik Halotana (CF3CHBrCl) adalah 2-bromo-2- kloro-1,1,1-trifluoroetana

(Roni, 2021).

Unsur-unsur halogen memiliki tendensi membentuk ion negatif dengan

menarik beberapa elektron. Ukuran kecenderungan senyawa halogen untuk

menarik elektron disebut Afinitas Elektron (satuannya juga kilokalori/mol). Unsur

pada sisi kanan dalam tabel periodik memiliki afinitas elektron yang tinggi dan

disebut unsur-unsur elektronegatif. Ikatan yang dapat dibentuk oleh unsur yang
memiliki energi onisasi rendah dengan unsur yang memiliki afinitas elektron

tinggi disebut ikatan ionik. Contohnya adalah natrium klorida (NaCl). Di dalam

molekul NaCl, ion Na +¿¿ dan Cl−¿¿berikatan melalui gaya elektrostatik. Contoh

lain yang mirip dapat dilihat pada ikatan potasium fluorida dan litium bromida

(Prasojo, 2018).

Ikatan halogen akan terjadi Ketika terdapat/ada bukti interaksi menarik

bersih antara daerah elektrofilik yang terkait dengan atom halogen dalam entitas

molekul dengan daerah nukleofilik di tempat lain, atau bisa disebut entitas

molekul yang sama. Ikatan halogen tipikal dilambangkan dengan tiga titik, yaitu

di R–XY. R–X adalah donor ikatan halogen, X adalah setiap atom halogen dengan

daerah elektrofilik (kurang elektron), dan R adalah suatu golongan. Bukti

terjadinya ikatan halogen mungkin eksperimental atau teoretis, atau lebih baik,

kombinasi keduanya. Beberapa fitur yang berguna sebagai indikasi untuk ikatan

halogen, tidak harus lengkap. Semakin besar jumlah fitur yang terpenuhi, maka

semakin dapat diandalkan karakterisasi interaksi sebagai ikatan halogen

(Desiraju dkk., 2013).

Kelompok unsur halogen mencakup empat unsur stabil, yaitu fluor (F),

klorin (Cl), bromin (Br), dan yodium (I), serta astatin unsur radioaktif berumur

pendek (At) yang hanya ada sedikit di kerak bumi. Halogen berada dan

menempati grup 17 dari unsur tabel periodik dan ditandai dengan S2 konfigurasi

kulit elektron terluar atau P5. Hal ini sangat memungkinkan kemampuan dari

karakteristik senyawa halogen untuk membentuk suatu unsur halida anion dalam

garam yang berikatan secara ionik. Halogen yang berat bisa ada di beberapa

ikatan valensi. Bagaimanapun, jika terdapat sejumlah jari-jari atom halogen dan
jari-jari ionik dari ion halida umum, yang keduanya memiliki valensi 1, maka

pasti akan selalu naik ke bawah grup (Kendrick, 2016).

2.2 Senyawa Halogen Organik

Senyawa organo-halogen atau halogen organik digunakan secara meluas

dalam masyarakat modern. Biasanya digunakan sebagai pelarut, insektisida, dan

bahan bahan dalam sintesis senyawa organik. Kebanyakan senyawa

organohalogen adalah bersifat sintetik. Senyawa organohalogen agak jarang

dijumpai di alam. Tiroksina (thyroxine) adalah suatu penyusun dari hormone

tiroitiroglobulin, yang merupakan suatu senyawa iod yang terdapat di alam.

Senyawa halogen sering ditemui berada dalam kehidupan organisme laut,

seperti ganggang dan rumput laut (Roni, 2021).

Sebuah halogen substituen biasanya akan bertindak sebagai pengganti dari

hidrogen dalam susunan molekul organik, jadi kita dapat menjumlahkan jumlah

halogen dan hidrogen untuk mendapatkan rumus hidrokarbon yang ekuivalen,

dimana derajat ketidakjenuhan dapat ditentukan dan ditemukan. Misalnya, rumus

dari C4H6Br2 akan setara dengan rumus dari hidrokarbonbon (C 4H8) dan dengan

demikian akan sesuai dengan nilai satu derajat ketidakjenuhan (McMurry,

2016).

Senyawa yang mengandung hanya karbon, hidrogen, dan suatu atom-

halogen, dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu alkil-halida, aril-halida (dimana

sebuah halogen terikat pada sebuah karbon dari suatu cincin aromatik) dan halida

vinilik (dimana sebuah halogen terikat pada sebuah karbon berikatan rangkap). R

didefinisikan sebagai lambang umum untuk sebuah gugus-alkil. Serupa pula, Ar

ialah lambang untuk sebuah gugus aromatik atau aril. Atom halogen (F,Cl,Br,
atau I) dapat diwakili oleh X. Dengan menggunakan lambang-umum, maka alkil-

halida ialah RX. Dan aril-halida seperti bromobenzena-(C 6H5Br) ialah: ArX.

Ikatan sigma karbon halogen terbentuk oleh silang menindihnya suatu orbital

atom halogen dan suatu orbital hibrida atom karbon. Tak dapat dipastikan

mengenai hibridisasi atom halogen dalam-suatu halida organik, karena sebuah

halogen hanya membentuk satu ikatan kovalen dan karena itu tak terdapat sudut

katan di sekitar atom ini. Namun karbon menggunakan orbital hibrida yang sama

tipenya untuk mengikat halogen, hidrogen maupun atom karbon lain. Sebuah

atom F, Cl, atau Br bersifat elektronegatif terhadap karbon. Meskipun

keelektronegatifan Iod dekat dengan keelektronegatifan karbon, ion Iod mudah

dipolarisasi. Oleh karena itu alkil halida bersifat polar. Suatu atom halogen dalam

sebuah senyawa organik adalah suatu gugus fungsional, dan ikatan C-X

merupakan letak reaktivitas kimia. Momen dipole dapat didefinisikan sebagai

jumlah vektor dari momen ikatan dalam molekul. Karena adisi vektor

menyangkut arah maupun besarnya momen ikatan, maka momen dipole adalah

ukuran kepolaran molekul secara keseluruhan (Roni, 2021).

2.3 Penambahan Halogen ke dalam Alkena

Terlepas dari keterbatasan klorinasi radikal alkana, reaksinya masih

berguna untuk mensintesis senyawa terhalogenasi tertentu. Alkil halida memiliki

atom karbon terikat pada halogen (- X). Bromin dan klorin dengan cepat

ditambahkan ke alkena untuk dapat menghasilkan 1,2-dihalida, sebuah proses

disebut halogenasi. Misalnya, lebih dari 25 juta ton 1,2-dikloroetana (etilen

diklorida) disintesis di seluruh dunia setiap tahun, sebagian besar oleh

penambahan Cl2 ke etilena. Produk ini digunakan baik sebagai pelarut maupun

sebagai awal bahan untuk pembuatan poli (vinil klorida), PVC. Fluor terlalu
reaktif dan sulit dikendalikan untuk sebagian besar aplikasi laboratorium, dan

yodium tidak bereaksi dengan kebanyakan alkena. Reaksi halogenasi alkena

terjadi di alam seperti yang terjadi di laboratorium tetapi terbatas terutama pada

organisme laut yang hidup di lingkungan kaya halida. Alkana kadang-kadang

disebut sebagai parafin, sebuah kata yang berasal dari bahasa Latin parum affinis,

yang berarti "kedekatan kecil". Istilah ini secara tepat menggambarkan perilaku

mereka, karena alkana menunjukkan sedikit afinitas kimiawi terhadap zat lain dan

inert secara kimiawi terhadap sebagian besar dari reagen laboratorium. Mereka

juga memiliki sifat relatif lembam biologis dan tidak sering terlibat dalam kimia

organisme hidup. Namun, alkana bereaksi dengan oksigen, halogen, dan beberapa

zat lainnya di bawah kondisi yang sesuai. Terlepas dari keterbatasan klorinasi

radikal dari alkana, reaksinya masih sangat berguna untuk mensintesis senyawa

terhalogenasi, namun tertentu ( McMurry, 2016).

Halogenasi alkana yaitu penggantian satu atau lebih atom hidrogen oleh

atom halogen adalah jenis reaksi lain yang dialami oleh alkana. Ketika campuran

metana dan klorin dipanaskan di atas 100°C atau disinari dengan cahaya dengan

panjang gelombang yang sesuai. Alkana yang satu atau lebih atom hidrogennya

telah digantikan oleh atom halogen disebut alkil halida. Di antara sejumlah besar

alkil halida, yang paling terkenal adalah kloroform (CHCl3), karbon tetraklorida

(CCl4), metilen klorida (CH2Cl2), dan klorofluorohidrokarbon. Alkena (juga

disebut olefin) mengandung setidaknya satu ikatan rangkap karbon-karbon.

Alkena memiliki rumus umum CnH 2n, dimana n = 2, 3,…Alkena yang paling

sederhana adalah C2H4, dimana kedua atom karbonnya adalah hibridisasi Sp2 dan

ikatan rangkapnya terdiri dari ikatan sigma dan ikatan phi (π). Etilena adalah zat

yang sangat penting karena digunakan dalam jumlah besar untuk pembuatan
polimer organik dan dalam pembuatan banyak bahan kimia organik lainnya.

Etilena disiapkan secara industri dengan perengkahan proses, yaitu dekomposisi

termal dari hidrokarbon besar menjadi molekul yang lebih kecil. (Chang and

Overby, 2019).

Bromin dan klorin (termasuk dalam senyawa halogen) dapat mengadisi

alkena dan menghasilkan 1,2-dihalida. Contohnya reaksi etena dengan Cl 2

menghasilkan 1,2-dikloroetana. Produk reaksi tersebut digunakan sebagai pelarut

dan bahan awal untuk membentuk polivinilklorida (PVC). Fluorin sangat reaktif

sehingga sangat sukar mengontrolnya, sedangkan iodin sangat tidak reaktif,

sehingga keduanya jarang digunakan. Berdasarkan apa yang telah kita pelajari

sebelumnya, reaksi bromin dengan alkena melibatkan reaksi adisi elektrofilik

Br+¿ ¿pada alkena menghasilkan karbokation yang bereaksi lebih lanjut dengan Br¿

menghasilkan produk dibromoalkana. Meskipun reaksi di atas dapat

dipertanggungjawabkan, tetapi tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Hal ini jelas

apabila kita tinjau dari segi stereokimia. Ketika suatu sikloalkena diadisi oleh Br 2

maka yang terbentuk hanya isomer trans saja. Kita menyebut reaksinya sebagai

antistereokimia, artinya atom bromin menyerang dari kedua sisi yang berlawanan

pada ikatan rangkap, satu dari sisi atas sedangkan yang satu dari sisi bawah.

Penjelasan lengkap mengenai reaksi antistereokimia dijelaskan oleh George

Kimball dan Irving Roberts, mereka menyatakan bahwa intermediet yang

terbentuk bukanlah karbokation, tetapi ion bromonium (R2 Br+¿ ¿). Ion tersebut

dibentuk dalam satu tahap melalui interaksi alkena dengan Br2 dan secara

bersamaan akan melepas Br−¿¿ (Prasojo, 2018).

2.4 Reaksi SN2


Substitusi biomolekul terjadi dengan melibatkan tumbukan nukleofil

dengan karbon substrat yang mengandung gugus pergi. Reaksi substitusi ini

disebut sebagai reaksi SN2. Mekanisme reaksi SN2 ialah proses mekanisme yang

dilakukan dalam satu tahap saja, dimana ketika ikatan pada gugus pergi mulai

putus secara bersamaan dengan terbentuknya ikatan pada nukleofilik. Bila

menggunakan aseton sebagai pelarut, laju reaksi akan terjadi secara lambat.

Namun, dengan menambahkan ion hidroksida sebagai campuran maka akan

meningkatkan laju reaksi yang sedang berlangsung. Penambahan ion ini

merupakan ciri khas mekanisme reaksi SN2.

Dalam reaksi bimolekular, laju reaksi ini tergantung pada konsentrasi dari

keduanya, yaitu alkil klorida dan ion hidroksida. Reaksi SN2 terjadi ketika adanya

serangan nukleofil pada substrat primer dan sebagian pada substrat sekunder.

Reaksi substrat sekunder tergantung pada nukleofil dan gugus pergi. Substrat

tersier sulit untuk mengalami reaksi dengan mekanisme S N2. Sebagian besar

kecepatan reaksi SN2 dipengaruhi oleh jenis pelarut. Reaksi SN2 akan berlangsung

baik jika menggunakan pelarut polar aprotik (pelarut polar yang tidak

mengandung gugus OH dan NH2). Pelarut ini menaikkan kecepatan reaksi SN2

dengan menaikkan energi molekulnya. Pelarut polar aprotik memiliki momen

dipol besar dan dapat melarutkan spesi positif dari kutub negatif yang

dimilikinya (Adriani, 2018).

2.5 Reaksi SN1

Reaksi substitusi nukleofilik terdiri dari 2 mekanisme reaksi, yaitu

mekanisme reaksi substitusi SN1 dan SN2. Mekanisme reaksi SN1 ialah suatu

proses substitusi dimana prosesnya meliputi dua tahap. Sedangkan mekanisme

reaksi SN2 hanya terdiri dari satu tahap saja. Perbedaan dari reaksi S N1 dan SN2

terletak pada jumlah tahapnya. Substitusi unimolekul meliputi proses ionisasi


awal substrat yang mengandung gugus pergi dan membentuk karbokation,

kemudian diikuti oleh reaksi dengan nukleofil. Reaksi ini dinamakan reaksi SN1.

Mekanisme reaksi SN1 merupakan suatu proses substitusi dimana proses

subtitusi tersebut meliputi dua tahap reaksi. Pada tahap pertama, ikatan pada

substrat yaitu ikatan antara atom karbon dan atom halogen akan putus sehingga

terbentuklah karbokation dan gugus pergi. Pada proses tahap pertama ini

berlangsung secara lambat. Pada tahap kedua, karbokation akan pergi dan

bergabung dengan nukleofilik sehingga menghasilkan produk, dan pada tahap

kedua ini mekanisme dari SN1 berlangsung secara cepat. Pada umumnya proses

SN1 terjadi dengan menggunakan air sebagai pelarut atau kopelarut, karena air

mengandung substrat dan gugus pergi. Reaksi SN1 yang terjadi pada suatu pelarut

yang bukan air menyebabkan ketidakefisienan dalam memisahkan ion–ion

sehingga menyebabkan proses ionisasi berjalan dengan sangat lambat. Telah

diketahui bahwa reaksi SN1 terjadi hanya dalam media yang mengandung air saja.

Angka 1 pada pada mekanisme SN1 menunjukkan bahwa mekanisme ini

merupakan mekanisme yang unimolekular. Sebab tahap penentu lajunya hanya

melibatkan substrat dan tidak melibatkan nukleofil.

Pada tahap pertama mekanisme ini terdapat adanya kendala dalam laju

reaksi antar senyawa, yaitu pada laju pembentukan karbokation. Sedangkan reaksi

dengan nukleofilik pada tahap kedua berlangsung sangat cepat. Reaksi

berlangsung cepat apabila gugus yang terdapat pada substrat merupakan alkil

tersier dan paling lambat bila gugusnya adalah alkil primer. Hal ini dapat terjadi

karena reaksi SN1 berlangsung melalui karbokation sehingga urutan reaktivitasnya

sama dengan urutan kestabilan dari karbokation (3° > 2° > 1°). Artinya, semakin
mudah pembentukan karbokation, maka semakin cepat reaksinya berlangsung.

Pada tahap pertama dalam mekanisme reaksi S N1 adalah tahap pembentukan ion,

sehingga mekanisme ini dapat berlangsung lebih baik dalam pelarut yang bersifat

polar seperti air.

Jadi halida sekunder yang dapat bereaksi melalui kedua mekanisme

tersebut, mekanismenya dapat diubah dengan menyesuaikan kepolaran pelarutnya.

Misalnya, mekanisme reaksi halida sekunder dengan air (membentuk alkohol)

dapat diubah dari SN2 menjadi SN1 dengan mengubah pelarutnya dari 95%

aseton-5% air (relative tidak-polar) menjadi 50% aseton dan 50% air (lebih polar,

pelarut ion yang lebih baik) (Adriani, 2018).

BAB III

METODE PERCOBAAN

3.1 Bahan Percobaan

Adapun bahan yang digunakan pada percobaan ini yaitu NaI/Aseton,

AgNO3/Alkohol, Benzil klorida, Kloroform, minyak, mentega, Kloro benzen, dan

Karbon tetraklorida (CCl4).

3.2 Alat Percobaan

Alat yang digunakan pada percobaan ini yaitu tabung reaksi, rak tabung,

lampu spirtus, dan pipet tetes.

3.3 Prosedur Percobaan


3.3.1 Kelarutan Senyawa Halogen Organik

Pertama, disiapkan 3 buah tabung reaksi yang masing-masing diisi dengan

0,5 mL CCl4. Kemudian tabung rekasi (1) diisi dengan beberapa tetes air, tabung
reaksi (2) diisi dengan beberapa tetes minyak, dan tabung (3) diisi dengan

beberapa tetes mentega yang telah dicairkan. Setelah itu, dihomogenkan dan

perhatikan kelarutannya masing-masing (catat). Lakukan langkah yang sama

dengan menggunakan CHCl3 sebagai pengganti CCl4.

3.3.2 Reaksi-Reaksi Senyawa Halogen Organik

3.3.2.1 Reaksi Senyawa Halogen Organik dengan AgNo3/Alkohol

Pertama, disiapkan 4 buah tabung rekasi yang masing-masing diisi dengan

1 mL AgNO3/alcohol. Kemudian masing-masing tabung ditambahkan 1-2 tetes:

(1) Kloro benzen, (2) kloroform, (3) benzil klorida, dan (4) diklorometan. Setelah

itu dihomogenkan dengan agak kuat dan amati serta dicatat perubahan yang

terjadi.

3.3.2.2 Reaksi Senyawa Halogen Organik dengan NaI/Aseton

Pertama, disiapkan 4 buah tabung rekasi yang masing-masing diisi dengan

1 mL NaI/aseton. Kemudian masing-masing tabung ditambahkan 1-2 tetes: (1)

Kloro benzen, (2) kloroform, (3) benzil klorida, dan (4) diklorometan. Setelah itu

dihomogenkan dengan agak kuat dan amati serta dicatat perubahan yang terjadi.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Percobaan


4.1.1 Kelarutan Senyawa Halogen Organik
Tabel 1. Hasil Kelarutan Senyawa Hidrokarbon
Bahan Kelarutan dalam Keterangan
CCl4 CHCl3
Air 2 Fasa 2 Fasa Polar
Minyak 1 Fasa 1 Fasa Non Polar
Mentega 1 Fasa 1 Fasa Non Polar

4.1.2 Reaksi Senyawa Halogen Organik dengan AgNO3/Alkohol


Tabel 2. Hasil Reaksi Senyawa Halogen Organik dengan AgNO3/Alkohol
Bahan Perubahan yang terjadi Keterangan

Benzil klorida terjadi perubahan


membentuk endapan bereaksi
berwarna putih
Kloro benzen Berubah dari bening bereaksi
menjadi keruh
Kloroform Berubah dari bening bereaksi
menjadi keruh
Diklorometan Berubah dari bening bereaksi
menjadi keruh

4.1.3 Reaksi Senyawa Halogen Organik dengan NaI/Aseton


Tabel 3. Hasil Reaksi Senyawa Halogen Organik dengan NaI/Aseton
Bahan Perubahan yang terjadi Keterangan

Benzil klorida tidak ada perubahan tidak bereaksi


Kloro benzen tidak ada perubahan

tidak bereaksi
Kloroform tidak ada perubahan

tidak bereaksi
Diklorometan tidak ada perubahan tidak berekasi

4.2 Reaksi

4.2.1 Reaksi AgNO3/Alkohol dengan senyawa Halogen organik

1. Reaksi Benzil Klorida dengan AgNO3/Alkohol


CH2Cl
O
OH
+ AgNO3

2. Reaksi Klorobenzen dengan AgNO3/Alkohol


Cl
+ AgNO3

3. Reaksi Kloroform dengan AgNO3/Alkohol

OH
+ AgNO3
4. Reaksi Diklorometan dengan AgNO3/Alkohol
H

C Cl
Cl Cl + AgNO3 OH

4.2.2 Reaksi NaI/aseton dengan senyawa Halogen organik

1. Reaksi Benzil Klorida dengan NaI/aseton


CH2Cl O CH2l

+ NaI + NaCl

2. Reaksi Klorobenzen dengan NaI/aseton


Cl O
+ NaI

3. Reaksi Kloroform dengan NaI/aseton


O
+ NaI

4. Reaksi Diklorometan dengan NaI/aseton


O
H

+ NaI
C
Cl
Cl Cl

4.3 Pembahasan

4.3.1 Kelarutan Senyawa Halogen Organik

Diketahui bahwa terdapat dua jenis pelarut yaitu pelarut polar dan pelarut

non polar. Peelarut polar adalah pelarut yang memiliki momen dipol yang besar,

sedangkan pelarut non polar adalah pelarut yang tidak memiliki momen dipol.
Senyawa halogen organik biasanya bersifat non polar karena atom halogen

cenderung menarik elektron dan memeberikan muatan negative pada atom

halogen. Muatan negatif pada atom halogen akan pada menarik muatan positif

pada atom karbon sehingga senyawa halogen organic akan memiliki momen dipol

yang kecil bahkan tidak memiliki momen dipol.

Pada praktikum kelarutan senyawa halogen organik digunakan 3 bahan

yakni air, minyak, dan mentega yang sudah dicairkan. Air adalah pelarut polar

sedangkan minyak dan mentega adalah pelarut non polar. Pada percobaan

kelarutan ini, dilakukan 2 kali percobaan, percobaan pertama bahan-bahan

dicampur sengan CCl4 dan yang kedua bahan-bahan dicampur dengan CHCl3.

CCl4 dan CHCl3 adalah pelarut non-polar.

Berdasarkan data dan praktikum yang telah dikerjakan, maka didapatkan

hasil, air menghasilkan 2 fasa pada CCl4 dan 2 fasa pada CHCl3, dinyatakan polar.

Selanjutnya, minyak menghasilkan 1 fasa pada CCl4 dan 1 fasa pada CHCl3,

dinyatakan non polar. Bahan terakhir yaitu mentega yang sudah dicairkan, bahan

ini menghasilkan 1 fasa pada CCl4 dan 1 fasa pada CHCl3, dinyatakan nonpolar.

Hasil praktikum ini menunnjukkan bahwa kelarutan senyawa halogen

organilk dapat dipengaruhi oleh sifat polar atau non-polar dari senyawa tersebut

serta jenis pelarut yang digunakan.

4.3.2 Reaktifitas Senyawa Halogen Organik

Pada percobaan reaktivitas senyawa halogen organik ini, dilakukan dua kali

percobaan. Perobaan pertama adalah senyawa halogen organik yaitu Benzil,

Klorida, Kloro Benzen, Kloroform, dan Diklorometan direaksikan dengan

senyawa AgNO3/ alkohol. Percobaan kedua adalah senyawa halogen organik yaitu

Benzil, Klorida, Kloro Benzen, Kloroform, dan Diklorometan direaksikan dengan

senyawa Nal/ aseton. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui reaktivitas


senyawa halogen organik terhadap subtitusi elektrofilik. Reaksi substitusi

elektrofilik adalah reaksi dimana suatu atom atau gugus fungsi elektrofilik

menyerang karbon di senyawa organik.

Berdasarkan data dan hasil praktikum yang telah dilakukan, didapatkan

bahwa, Benzil Klorida bereaksi dengan AgNO3/alkohol dengan menunjukkan

adanya perubahan warna dan membentauk endapan putih. Sedangkan pada Kloro

Benzen, Kloroform, dan Diklorometen bereaksi juga dengan AgNO3/alkohol

namun hanya menunjukkan perubahan warna dari larutan bening menjadi keruh.

Untuk percobaan kedua dengan mengganti AgNO3/alkohol menggunakan

Nal/aseton hasilnya menunjukkan bahwa, Benzil Klorida, Kloro Benzen,

Kloroform, dan Diklorometen tidak menunjukkan adanya perubahan. Ini

menandakan bahwa senyawa-senyawa tersebut tidak bereaksi dengan Nal/aseton.

Reaksi substitusi elektrofilik pada senyawa halogen organik dapat terjadi

melalui mekanisme SN1 atau SN2, tergantung pada struktur molekul senyawa

halogen organik. Senyawa halogen organik yang memiliki gugus halogen yang

mudah dilepaskan mengalami reaksi substitusi elektrofilik lebih mudah

dibandingkan senyawa halogen organik yang gugus halogennya sulit dilepaskan.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari percobaan ini yaitu :

1. Senyawa halogen organik yaitu CCl4 tidak dapat larut dalam pelarut polar

(akuades) dan dapat larut dalam pelarut nonpolar (minyak dan mentega cair).

2. Senyawa halogen organik yang tidak dapat bereaksi dengan AgNO3/ Alkohol

dan NaI/ Aseton adalah kloro benzene, kloroform, dan diklorometana,

sedangkan yang dapat bereaksi hanya benzil klorida.

5.2 Saran

5.2.1 Saran untuk Laboratorium

Akan lebih baik jika di dalam laboratorium disediakan tempat

penyimpanan tas, agar tas tidak ditaruh sembarangan dan agar kelihatan lebih rapi.

5.2.2 Saran untuk Asisten

Penjelasan dari kakak sangat mudah dipahami, dan juga kakak sangat

memperhatikan praktikannya. namun akan lebih baik jika waktu dalam

mengerjakan respon umum ditambah/diperlama.


DAFTAR PUSTAKA

Andriani, N., 2019, Mekanisme Reaksi Subtitusi Nukleofilik SN1 dan SN2 dengan
Senyawa Halogen Organik, NINAADRIANI, 1(11): 1-6.

Chang, R., dan Jason, O., 2019, Chemistry 13th Edition, New York: McGraw-Hill
Education.

Desiraju, G. R., Ho, P. S., Kloo, R., Legon, A. C., Marquardt, R., Metrangolo, P.,
Politzer, P., Resnati, G., & Rissanen, K., 2013, Definition of the Halogen
Bond, Definition of the Halogen Bond (IUPAC Recommendations 2013),
85(8): 1-3.

Kendrick, M. A., 2016, Halogens, Halogens, 7(10): 1-5.

McMurry, J., 2016, Organic Chemistry 9th Edition, New York: Cengage
Learning.

Prasojo, S. L., 2018, Kimia Organik I Jilid 1, Yogyakarta: Rumah Fiqih


Publishing.

Roni, K. A., 2021, KIMIA ORGANIK, Palembang: NoerFikri Offset.

Teferi, Mulugieta A., 2022, Analysis of Organic Halogens by Combustion Ion


Chromatography in Sediments and Aquatic Vegetation, Analysis of
Organic Halogens by Combustion Ion Chromatography in Sediments
and Aquatic Vegetation, 1(2): 1-80.
Lampiran 1 : Bagan Percobaan

1. Kelarutan Senyawa Halogen Organik

0,5 mL CHCl3
- Disiapkan 3 buah tabung reaksi yang bersih dan kering.

- Diisi pada masing-masing tabung 0,5 mL CHCl3.

- Tabung (1) diberi beberapa tetes akuades, tabung (2) dengan

beberapa tetes minyak, dan tabung (3) dengan beberapa

tetes mentega (sudah dicairkan).

- Dihomogenkan dan diperhatikan kelarutannya masing-

masing.

- Dicatat perubahan yang terjadi.

Hasil

Catatan: Diulangi prosedur yang sama dengan mengganti CHCL3 menjadi


CH2Cl2

2. Reaktivitas Senyawa Halogen Organik

1 mL AgNO3/alkohol
- Disiapkan 3 buah tabung reaksi yang bersih dan kering.

- Dimasukkan ke dalam 4 tabung reaksi masing-masing

sebanyak 1 mL AgNO3/alcohol.

- Tabung (1) ditambahkan beberapa tetes kloroform, tabung

(2) dengan beberapa tetes benzil klorida, dan tabung (3)

dengan beberapa tetes kloro benzene, dan tabung (4) dengan

beberapa tetes diklorometen.

- Dihomogenkan kemudian diamati perubahan yang terjadi.


- Dicatat perubahan yang terjadi.
Hasil
Lampiran 2: Dokumentasi

A. Kelarutan Senyawa Halogen Organik

Gambar 2.1 Kelarutan air, minyak,


dan mentega dalam CCl4.

Gambar 2.2 Kelarutan air, minyak,


dan mentega dalam CHCl3.
B. Reaksi-reaksi Senyawa Halogen

Gambar 2.3 Reaksi benzil klorida,


kloro benzene, kloroform,
diklorometan dalam AgNO3 / Alkohol.

Gambar 2.4 Reaksi benzil


klorida, kloro benzene, kloroform,
diklorometan dalam Nal/aseton.
Lampiran 3. Sumber Referensi

Anda mungkin juga menyukai