Anda di halaman 1dari 6

TUGAS PERADABAN ISLAM

KELOMPOK 1
Nama Anggota :

1. Retno Febriyanti 30901900182


2. Jepri putra Wahyudi 30902000121
3. Jihan Amirah Rifandina 30902000122
4. Kamelia Widia 30902000243
5. Khilmatul Lailin Nisfah 30902000123
6. Khoirotul Maghfiroh 30902000124

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2023
1. SEJARAH
a. Makna Sejarah

Makna sejarah meruapakan suatu keterangan mengenahi pertumbuhan dan


perkembangan peradaban islam dari satu waktu ke waktu lainya, sejak zaman lahirnya
islam sampai sekarang. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sejarah pun
berkembang dari pengetahuan menjadi suatu ilmu, yaitu Ilmu Sejarah yang masuk ke
dalam kelompok ilmu-ilmu humaniora. Ilmu Sejarah merupakan ilmu empiris (empiria =
pengalaman), karena sejarah syarat dengan pengalaman-pengalaman penting manusia di
masa lampau. Ilmu Sejarah membagi sejarah dalam dua pengertian, yaitu sejarah sebagai
peristiwa dan sejarah sebagai kisah (Hardjasaputra, 2015).
a. Sejarah sebagai peristiwa Peristiwa sejarah sebagaimana terjadinya di masa
lampau atau proses sejarah dalam aktualitasnya (history as past actuality).
b. Sejarah sebagai kisah Sejarah sebagaimana dikisahkan secara tertulis (history as
written) berdasarkan fakta hasil penelitian. Dengan kata lain, sejarah sebagai
kisah adalah rekonstruksi peristiwa sejarah berdasarkan fakta sejarah mengenai
peristiwa penting di masa lampau yang menyangkut kehidupan manusia secara
umum (Heryati, S.Pd., 2013).
c.Dapat disimpulkan bahwa Sejarah Peradaban Islam adalah keterangan
mengenai
d. pertumbuhan dan perkembangan peradaban Islam dari satu
waktu ke waktu lain, sejak
e.zaman lahirnya Islam sampai sekarang.
f. Dapat disimpulkan bahwa Sejarah Peradaban Islam adalah keterangan
mengenai
g. pertumbuhan dan perkembangan peradaban Islam dari satu
waktu ke waktu lain, sejak
h. zaman lahirnya Islam sampai sekarang.
i. Dapat disimpulkan bahwa Sejarah Peradaban Islam adalah keterangan
mengenai
j. pertumbuhan dan perkembangan peradaban Islam dari satu waktu ke
waktu lain, sejak
k. zaman lahirnya Islam sampai sekarang.
l. Dapat disimpulkan bahwa Sejarah Peradaban Islam adalah keterangan
mengenai
m. pertumbuhan dan perkembangan peradaban Islam dari satu
waktu ke waktu lain, sejak
n. zaman lahirnya Islam sampai sekarang.
Dapat disimpulkan bahwa makna sejarah peradaban islam merupakan keterangan
mengenahi pertumbuhan dan perkembangan islam dari suatu waktu ke waktu lain, sejak
zaman lahirnya islam sampai sekarang.
b. Urgensi Mempelajari Sejarah
Mengapa kita penting mengetahui dan mempelajari sejarah dengan baik? Jawaban
pertanyaan ini dapat merujuk kepada penjelasan yang dikemukakan sejarawan
Muslim nomor wahid nan terpopoler di dunia, yaitu ‘Abdur Rahmân Ibn Khaldûn (w.
808 H). Dalam kitabnya yang masyhur, Muqaddimah (2005, h. 3, dan 28), Ibn
Khaldûn menjelaskan hakikat sejarah (haqîqat at-târîkh) dan hikmah sejarah:
”Hakikat sejarah adalah tentang masyarakat umat manusia. Sejarah identik
dengan peradaban dunia; tentang perubahan yang terjadi pada watak peradaban itu
sendiri, seperti keliaran, keramah-tamahan, dan solidaritas (‘ashabiyyât); tentang
revolusi dan pemberontakan oleh segolongan rakyat melawan golongan yang lain
dengan akibat timbulnya kerajaan-kerajaan dan negara-negara dengan berbagai
macam tingkatannya; tentang kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai
penghidupannya, maupun dalam ilmu pengetahuan dan pertukangan; dan pada
umumnya tentang segala perubahan yang terjadi dalam peradaban karena watak
peradaban itu sendiri.”
Ibn Khaldûn juga menjelaskan kandungan sejarah bahwa ”di dalam hakikat sejarah,
terkandung pengertian observasi (nazhr) dan usaha mencari kebenaran (tahqîq),
keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal benda wujudi, serta pengertian dan
pengetahuan mengenai substansi, esensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa.”
Hikmah dari mempelajari sejarah adalah untuk memahami ihwal makhluk,
bagaimana situasi dan kondisi membentuk suatu perubahan, bagaimana pula negara-
negara, memperluas wilayahnya, dan bagaimana mereka memakmurkan bumi,
sehingga terdorong mengadakan perjalanan jauh, hingga ditelan waktu, lenyap dari
pangung bumi.
Dalam konteks kekinian, pengetahuan tentang sejarah berguna bagi kita dalam
rangka untuk mengambil ‘ibrah (i‘tibâr), yakni pelajaran yang berharga dari masa
lalu. Hal ini sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an Al-Karim, yang secara nyata
disebutkan dalam Surat al-Fatihah. Dalam buku penulis, berjudul Fikih al-Fâtihah,
dikemukakan bahwa: ”ada ajaran untuk mengambil pelajaran yang berharga tentang
kisah-kisah (qashash) mengenai teladan orang-orang yang berbuat baik dan orang-
orang yang berbuat buruk, dan memilih jalan orang-orang yang berbuat baik.”
Penting ditegaskan bahwa kehadiran Al-Qur’an itu sendiri menjelaskan tujuan-tujuan
pokok diturunkannya, sebagaimana dikemukakan Syekh Muhammad ath-Thâhir ibn
‘Âshur (w. 1973 M), dalam kitabnya Tafsîr at-Tahrîr wa-at-Tanwîr, ada delapan, di
antaranya adalah memuat ”kisah-kisah dan berita-berita tentang umat terdahulu, agar
dijadikan pelajaran untuk memperbaiki kondisi mereka.” (Ahmad Ali MD, Fikih al-
Fâtihah, Panduan Lengkap Memahami Induk Al-Qur’an, 2020, h. 6-7).
Syekh Ibn ‘Âshûr (w. 1973 M), pakar fiqih dan tafsir terkemuka berkebangsaan
Tunisia, dalam kitabnya yang masyhur, Tafsîr at-Tahrîr wa-at-Tanwîr, mengatakan
bahwa:

،‫و‬GG‫ا من اللغ‬GG‫تغال به‬GG‫وأما أخبار العرب فهي من جملة أدبهم وإنما خصصتها بالذكر تنبيها لمن يتوهم أن االش‬
‫ة‬GG‫ار للموعظ‬GG‫ص واألخب‬GG‫ذكر القص‬GG‫ا ي‬GG‫رآن إنم‬GG‫وقها ألن الق‬GG‫رآن في س‬GG‫زه الق‬GG‫ا أوج‬GG‫ا على فهم م‬GG‫تعان به‬GG‫فهي يس‬
‫ ال ألن يتحادث بها الناس في األسمار‬،‫واالعتبار‬
”Adapun berita-berita mengenai orang Arab maka ia tergolong peradaban mereka,
dan sejatinya saya sebutkan secara khusus untuk mengingatkan terhadap orang yang
menganggap bahwa berkecimpung dengan cerita-cerita tersebut merupakan
permainan (perbuatan sia-sia), padahal itu dapat digunakan untuk memahami konteks
ajaran yang dikemukakan secara ringkas oleh Al-Qur’an, karena sungguh Al-Qur’an
sejatinya menuturkan kisah-kisah dan berita-berita agar menjadi petuah (al-
mau‘izhah) dan pelajaran berharga (i‘tibâr), bukan karena untuk dijadikan obrolan
dalam begadang.” (Ibn ‘Âsyûr, Tafsîr at-Tahrîr wa-at-Tanwîr, Tunisia: ad-Dâr at-
Tûnisiyyah, 1984, Juz I, h. 25).
Imam al-Alûsî (w. 1270 H), dalam kitab tafsirnya Rûh al-Ma‘ânî, mengemukakan
tafsir ujung QS Yûnus ayat 92: ”Ay lâ yatafakkarûna fîhâ wa-lâ ya‘tabirua bihâ”,
yakni mereka tidak berfikir tentang peristiwa yang menimpa Fir’aun dan tidak pula
mengambil pelajaran dengan peristiwa terserbut”. (Syihâb ad-Dîn as-Sayyid Mahmûd
al-Alûsî, Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa-al-Sab‘ al-Matsânî, Beirut:
Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabî, t.t., Juz XI, h. 184).
Imam ar-Râzî menjelaskan bahwa ujung QS Yûnus ayat 92 dimaksudkan untuk
mencegah umat Nabi SAW agar tidak berpaling dari tanda-tanda kekuasaan Tuhan,
dan mendorong mereka agar berpikir (ta’ammul) dan mengambil pelajaran darinya
(i‘tibâr), karena sungguh yang dikehendaki dari menuturkan kisah-kisah ini adalah
tercapainya pelajaran berharga (hushûl al-i‘tibâr). (Juz XVII, h. 164).
Berkaitan dengan orang yang dapat mengambil pelajaran (‘ibrah) dari suatu kisah,
sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an, disebutkan kelompok ulî al-abshâr. Syekh
Muhammad ibn Yûsuf al-Syahîr bi-Abî Hayyân al-Andalûsî (w. 745 H), dalam kitab
tafsirnya, al-Bahr al-Muhîth, menjelaskan arti ulî al-abshâr, ”…dzawî al-‘uqûl al-
salîmah al-qâbilah li-al-i‘tibâr”, yaitu orang yang mempunyai akal yang sehat yang
(bisa) menerima suatu pelajaran (Muhammad ibn Yûsuf al-Syahîr bi-Abî Hayyân al-
Andalûsî, al-Bahr al-Muhîth, tahqîq ‘Abd a-Ahmad ‘Âdil Ahmad al-Maujûd, dkk.,
Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993, Juz II, hlm, 413).
Dengan memahami sejarah, seperti sejarah Peradaban Mesir Kuno, yang begitu
tinggi nilainya, seperti Piramida dan Sphinx di Giza, kuil-kuil (tempat peribadatan),
irigasi, serta mumifikasi, menjadikan kita semakin mengetahui dan menyadari betapa
besar Kemahakuasaan Sang Pencitpa Semesta Alam, Allah SWT. Jadi, memahami
sejarah mengajarkan kepada kita agar mengambil pelajaran dari kisah-kisah
terdahulu, berupa kemajuan yang telah dicapai, dan dalam rangka untuk memperbaiki
kondisi kehidupan masyarakat dan bangsa kita saat ini dan ke depan. Kemajuan
dalam pengelolaan air, irigasi, dan arsitektur Peradaban Mesir Kono penting dijadikan
pelajaran berharga bagi kita.
c. Penulisan Sejarah
Penulisan sejarah pada awal kemerdekaan disusun dengan perspektif Indonesia-
sentris. Pada masa awal kemerdekaan, penulisan sejarah Indonesia bertujuan untuk
membangun citra dan karakter bangsa. Penulisan sejarah pada awal kemerdekaan
Indonesia terbilang masih belum terstruktur dengan baik. Penulisan sejarah di
Indonesia juga masih belum diatur dan diterapkan seperti kaidah-kaidah yang
berlaku. Akibatnya, penulisan sejarah pada awal kemerdekaan Indonesia masih
bersifat ala kadarnya dengan bukti-bukti dan sumber-sumber sejarah yang sudah ada
saat itu. Bahkan, pada masa awal kemerdekaan, masih belum digunakan huruf latin
secara menyeluruh dalam penulisan sejarah. Oleh karena itu, dirumuskanlah
historiografi nasional atau penulisan sejarah yang bertujuan untuk membangun citra
dan karakter bangsa Indonesia.
Historiografi nasional mulai dipelopori oleh para sejarawan Indonesia setelah
Indonesia merdeka. Pada saat itu, para sejarawan merasa perlu untuk menyusun
tulisan sejarah yang mempunyai perspektif Indonesia-sentris. Setelah itu,
Historiografi nasional secara resmi dirumuskan pada Seminar Sejarah Nasional pada
14-18 Desember 1957 di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Adapun ciri-ciri
historiografi nasional adalah: Menggunakan sudut pandang Indonesia-sentris.
Disamakan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia. Menjunjung tinggi nilai-nilai
karakter dan pembangunan kepribadian kebangsaan. Disusun oleh para sejarawan
Indonesia yang paham soal kondisi sosial-budaya masyarakat Indonesia.
Mengandung narasi dekolonisasi.
d. Hukum-Hukum Sejarah
Hukum sejarah adalah sifat-sifat yang beraturan tentang suatu kejadian, yang
kemudian membentuk substansi filsafat sejarah. Hukum sejarah sama halnya dengan
hukum-hukum alam, yakni merupakan suatu hipotesis yang sangat kuat, namun
meskipun demikian, hipotesis tersebut dapat saja disingkirkan jika tidak bekerja. Ibnu
Khaldun dalam karya monumentalnya, yakni muqaddimah[1], mengelompokkan
hukum sejarah menjadi tiga, yakni:

1. Kausalitas
Hukum kausalitas merupakan salah satu hukum sejarah yang termasuk dalam
bagian determinisme sejarah. Dalam hukum ini, sebuah peristiwa sejarah dikaji
dengan menekankan kepada kausa-kausa atau sebab-sebab yang mempengaruhi
terjadinya sebuah peristiwa sejarah. Herodotus (484-425 SM), menyatakan bahwa
studi sejarah merupakan usaha untuk meneliti kausa-kausa atau sebab-sebab.
Sedangkan Montesquieu merupakan tokoh awal yang menerapkan hukum-hukum
kausa di dalam karyanya yang berjudul De I’esprit des lois. Melalui karyanya
tersebut, ia menolak asumsi bahwa ketentuan yang buta telah menghasilkan seluruh
fenomena yang ada di alam. Ia berpendapat bahwa perilaku manusia selalu mengikuti
hukum-hukum tertentu.

Ibnu Khaldun berpendapat bahwa antar satu peristiwa dengan peristiwa lainnya
dijalin oleh adanya hubungan sebab-akibat. Hukum kausalitas tidak hanya berlaku
pada ilmu-ilmu kealaman, melainkan juga pada manusia. Fenomena yang terjadi pada
manusia membuktikan bahwa manusia tunduk kepada hukum-hukum yang tetap.
Namun ada beberapa hal yang menurut Ibnu Khaldun tidak berlaku hukum kausalitas,
yakni pada fenomena mukjizat para nabi dan karomah para wali serta ilmu-ilmu sihir.
2. . Peniruan (pengulangan)
Hukum peniruan didasarkan pada kesamaan yang terkadang terjadi antar satu
masyarakat dengan masyarakat yang lain. Hukum ini menurut Ibnu Khaldun sangat
erat kaitannya dengan penaklukan-penaklukan yang terjadi di dunia Islam. Ia
berpendapat bahwa, “pihak yang ditaklukkan pasti akan meniru pihak yang
menaklukkan”.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peniruan tersebut, di antaranya
adalah: Pertama, masyarakat senantiasa meniru pada pemegang kekuasaan. Kedua,
para pemegang kekuasaan yang baru, selalu meniru para pemegang kekuasaan
sebelumnya. Ketiga, pemegang kekuasaan yang kalah meniru pada pemegang
kekuasaan yang baru. Hukum peniruan ini merupakan sebuah hukum yang umum.
Selain itu, hukum ini juga nantinya akan menunjukkan adanya perkembangan-
perkembangan, dikarenakan pada dasarnya pihak-pihak yang meniru akan lebih
melengkapi kekurangan-kekurangan dari hal-hal yang ditirunya.
3. Perbedaan
Hukum perbedaan menurut Ibnu Khaldun juga merupakan dasar dalam
determinisme. Meskipun pada satu sisi masyarakat memiliki beberapa kesamaan,
namun tidak secara mutlak dan keseluruhan antar masyarakat itu sama persis,
melainkan pasti terdapat perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan tersebut
merupakan salah satu hal yang harus diketahui oleh para sejarawan. Banyak hal yang
menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan di masyarakat, di antaranya adalah
factor politik, ekonomi, geografi, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai