KELOMPOK 1
Nama Anggota :
،وGGا من اللغGGتغال بهGGوأما أخبار العرب فهي من جملة أدبهم وإنما خصصتها بالذكر تنبيها لمن يتوهم أن االش
ةGGار للموعظGGص واألخبGGذكر القصGGا يGGرآن إنمGGوقها ألن القGGرآن في سGGزه القGGا أوجGGا على فهم مGGتعان بهGGفهي يس
ال ألن يتحادث بها الناس في األسمار،واالعتبار
”Adapun berita-berita mengenai orang Arab maka ia tergolong peradaban mereka,
dan sejatinya saya sebutkan secara khusus untuk mengingatkan terhadap orang yang
menganggap bahwa berkecimpung dengan cerita-cerita tersebut merupakan
permainan (perbuatan sia-sia), padahal itu dapat digunakan untuk memahami konteks
ajaran yang dikemukakan secara ringkas oleh Al-Qur’an, karena sungguh Al-Qur’an
sejatinya menuturkan kisah-kisah dan berita-berita agar menjadi petuah (al-
mau‘izhah) dan pelajaran berharga (i‘tibâr), bukan karena untuk dijadikan obrolan
dalam begadang.” (Ibn ‘Âsyûr, Tafsîr at-Tahrîr wa-at-Tanwîr, Tunisia: ad-Dâr at-
Tûnisiyyah, 1984, Juz I, h. 25).
Imam al-Alûsî (w. 1270 H), dalam kitab tafsirnya Rûh al-Ma‘ânî, mengemukakan
tafsir ujung QS Yûnus ayat 92: ”Ay lâ yatafakkarûna fîhâ wa-lâ ya‘tabirua bihâ”,
yakni mereka tidak berfikir tentang peristiwa yang menimpa Fir’aun dan tidak pula
mengambil pelajaran dengan peristiwa terserbut”. (Syihâb ad-Dîn as-Sayyid Mahmûd
al-Alûsî, Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa-al-Sab‘ al-Matsânî, Beirut:
Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabî, t.t., Juz XI, h. 184).
Imam ar-Râzî menjelaskan bahwa ujung QS Yûnus ayat 92 dimaksudkan untuk
mencegah umat Nabi SAW agar tidak berpaling dari tanda-tanda kekuasaan Tuhan,
dan mendorong mereka agar berpikir (ta’ammul) dan mengambil pelajaran darinya
(i‘tibâr), karena sungguh yang dikehendaki dari menuturkan kisah-kisah ini adalah
tercapainya pelajaran berharga (hushûl al-i‘tibâr). (Juz XVII, h. 164).
Berkaitan dengan orang yang dapat mengambil pelajaran (‘ibrah) dari suatu kisah,
sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an, disebutkan kelompok ulî al-abshâr. Syekh
Muhammad ibn Yûsuf al-Syahîr bi-Abî Hayyân al-Andalûsî (w. 745 H), dalam kitab
tafsirnya, al-Bahr al-Muhîth, menjelaskan arti ulî al-abshâr, ”…dzawî al-‘uqûl al-
salîmah al-qâbilah li-al-i‘tibâr”, yaitu orang yang mempunyai akal yang sehat yang
(bisa) menerima suatu pelajaran (Muhammad ibn Yûsuf al-Syahîr bi-Abî Hayyân al-
Andalûsî, al-Bahr al-Muhîth, tahqîq ‘Abd a-Ahmad ‘Âdil Ahmad al-Maujûd, dkk.,
Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993, Juz II, hlm, 413).
Dengan memahami sejarah, seperti sejarah Peradaban Mesir Kuno, yang begitu
tinggi nilainya, seperti Piramida dan Sphinx di Giza, kuil-kuil (tempat peribadatan),
irigasi, serta mumifikasi, menjadikan kita semakin mengetahui dan menyadari betapa
besar Kemahakuasaan Sang Pencitpa Semesta Alam, Allah SWT. Jadi, memahami
sejarah mengajarkan kepada kita agar mengambil pelajaran dari kisah-kisah
terdahulu, berupa kemajuan yang telah dicapai, dan dalam rangka untuk memperbaiki
kondisi kehidupan masyarakat dan bangsa kita saat ini dan ke depan. Kemajuan
dalam pengelolaan air, irigasi, dan arsitektur Peradaban Mesir Kono penting dijadikan
pelajaran berharga bagi kita.
c. Penulisan Sejarah
Penulisan sejarah pada awal kemerdekaan disusun dengan perspektif Indonesia-
sentris. Pada masa awal kemerdekaan, penulisan sejarah Indonesia bertujuan untuk
membangun citra dan karakter bangsa. Penulisan sejarah pada awal kemerdekaan
Indonesia terbilang masih belum terstruktur dengan baik. Penulisan sejarah di
Indonesia juga masih belum diatur dan diterapkan seperti kaidah-kaidah yang
berlaku. Akibatnya, penulisan sejarah pada awal kemerdekaan Indonesia masih
bersifat ala kadarnya dengan bukti-bukti dan sumber-sumber sejarah yang sudah ada
saat itu. Bahkan, pada masa awal kemerdekaan, masih belum digunakan huruf latin
secara menyeluruh dalam penulisan sejarah. Oleh karena itu, dirumuskanlah
historiografi nasional atau penulisan sejarah yang bertujuan untuk membangun citra
dan karakter bangsa Indonesia.
Historiografi nasional mulai dipelopori oleh para sejarawan Indonesia setelah
Indonesia merdeka. Pada saat itu, para sejarawan merasa perlu untuk menyusun
tulisan sejarah yang mempunyai perspektif Indonesia-sentris. Setelah itu,
Historiografi nasional secara resmi dirumuskan pada Seminar Sejarah Nasional pada
14-18 Desember 1957 di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Adapun ciri-ciri
historiografi nasional adalah: Menggunakan sudut pandang Indonesia-sentris.
Disamakan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia. Menjunjung tinggi nilai-nilai
karakter dan pembangunan kepribadian kebangsaan. Disusun oleh para sejarawan
Indonesia yang paham soal kondisi sosial-budaya masyarakat Indonesia.
Mengandung narasi dekolonisasi.
d. Hukum-Hukum Sejarah
Hukum sejarah adalah sifat-sifat yang beraturan tentang suatu kejadian, yang
kemudian membentuk substansi filsafat sejarah. Hukum sejarah sama halnya dengan
hukum-hukum alam, yakni merupakan suatu hipotesis yang sangat kuat, namun
meskipun demikian, hipotesis tersebut dapat saja disingkirkan jika tidak bekerja. Ibnu
Khaldun dalam karya monumentalnya, yakni muqaddimah[1], mengelompokkan
hukum sejarah menjadi tiga, yakni:
1. Kausalitas
Hukum kausalitas merupakan salah satu hukum sejarah yang termasuk dalam
bagian determinisme sejarah. Dalam hukum ini, sebuah peristiwa sejarah dikaji
dengan menekankan kepada kausa-kausa atau sebab-sebab yang mempengaruhi
terjadinya sebuah peristiwa sejarah. Herodotus (484-425 SM), menyatakan bahwa
studi sejarah merupakan usaha untuk meneliti kausa-kausa atau sebab-sebab.
Sedangkan Montesquieu merupakan tokoh awal yang menerapkan hukum-hukum
kausa di dalam karyanya yang berjudul De I’esprit des lois. Melalui karyanya
tersebut, ia menolak asumsi bahwa ketentuan yang buta telah menghasilkan seluruh
fenomena yang ada di alam. Ia berpendapat bahwa perilaku manusia selalu mengikuti
hukum-hukum tertentu.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa antar satu peristiwa dengan peristiwa lainnya
dijalin oleh adanya hubungan sebab-akibat. Hukum kausalitas tidak hanya berlaku
pada ilmu-ilmu kealaman, melainkan juga pada manusia. Fenomena yang terjadi pada
manusia membuktikan bahwa manusia tunduk kepada hukum-hukum yang tetap.
Namun ada beberapa hal yang menurut Ibnu Khaldun tidak berlaku hukum kausalitas,
yakni pada fenomena mukjizat para nabi dan karomah para wali serta ilmu-ilmu sihir.
2. . Peniruan (pengulangan)
Hukum peniruan didasarkan pada kesamaan yang terkadang terjadi antar satu
masyarakat dengan masyarakat yang lain. Hukum ini menurut Ibnu Khaldun sangat
erat kaitannya dengan penaklukan-penaklukan yang terjadi di dunia Islam. Ia
berpendapat bahwa, “pihak yang ditaklukkan pasti akan meniru pihak yang
menaklukkan”.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peniruan tersebut, di antaranya
adalah: Pertama, masyarakat senantiasa meniru pada pemegang kekuasaan. Kedua,
para pemegang kekuasaan yang baru, selalu meniru para pemegang kekuasaan
sebelumnya. Ketiga, pemegang kekuasaan yang kalah meniru pada pemegang
kekuasaan yang baru. Hukum peniruan ini merupakan sebuah hukum yang umum.
Selain itu, hukum ini juga nantinya akan menunjukkan adanya perkembangan-
perkembangan, dikarenakan pada dasarnya pihak-pihak yang meniru akan lebih
melengkapi kekurangan-kekurangan dari hal-hal yang ditirunya.
3. Perbedaan
Hukum perbedaan menurut Ibnu Khaldun juga merupakan dasar dalam
determinisme. Meskipun pada satu sisi masyarakat memiliki beberapa kesamaan,
namun tidak secara mutlak dan keseluruhan antar masyarakat itu sama persis,
melainkan pasti terdapat perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan tersebut
merupakan salah satu hal yang harus diketahui oleh para sejarawan. Banyak hal yang
menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan di masyarakat, di antaranya adalah
factor politik, ekonomi, geografi, dan lain-lain.