Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perbincangan soal etika bisnis semakin mengemuka mengingat arus globalisasi


semakin deras terasa. Globalisasi memberikan tatanan ekonomi baru. Para pelaku bisnis
dituntut melakukan bisnis secara fair. Segala bentuk perilaku bisnis yang dianggap ”kotor”
seperti pemborosan manipulasi, monopoli, dumping, menekan upah buru, pencemaran
lingkungan, nepotisme, dan kolusi tidak sesuai dengan etika bisnis yang berlaku.
Motivasi utama setiap perusahaan atau industri atau bisnis sudah tentu adalah
meningkatkan keuntungan. Namun bisnis yang dialankan dengan melanggar prinsip-prinsip
moral dan nilai-nilai etika cenderung tidak produkif dan menimbulkan inefisiensi.
Manajeman yang tidak memperhatikan dan tidak menerapkan nilai- nilai moral, hanya
berorientasi pada laba (tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu survive dalam jangka
panjang. Dengan meningkatnya peran swasta antara lain melalui pasar bebas, privatisasi dan
globalisasi maka swasta semakin luas berinteraksi dan bertangung jawab sosial dengan
masyarakat dan pihak lain.
Pada saat banyak perusahaan semakin berkembang, maka pada saat itu pula
kesenjangan sosial dan kerusakan lingkungan sekitarnya dapat terjadi. Karena itu muncul
pula kesadaran untuk mengurangi dampak negatif. Banyak perusahaan swasta banyak
mengembangkan apa yang disebut Corporate Social Responsibility (CSR). Banyak peneliti
yang menemukan terdapat hubungan positif antara tanggung jawab sosial peruahaan atau
(Corporate Social Responsibility) dengan kinerja keuangan, walaupun dampaknya dalam
jangka panjang. Penerapan CSR tidak lagi dianggap sebagai cost melainkan investasi
perusahaan.
Tanggung jawab sosial perusahaan menunjukan kepedulian perusahaan terhadap
kepentingan pihak-pihak lain secara lebih luas daripada hanya sekedar kepentingan
perusahaan saja. Tanggung jawab dari perusahan (Corporate Social Responsibility) merujuk
pada semua hubungan yang terjadi antara sebuah perusahaan dengan semua stakeholder,
termasuk didalamnya adalah pelanggan atau customers, pegawai, komunitas, pemilik atau
investor, pemerintah, supplier bahkan juga competitor. Pengembangan program-program
sosial perusahaan berupa dapat bantuan fisik, pelayanan kesehatan, pembangunan masyarakat
(community development), outreach,beasiswa dan sebagainya. Selain itu perusahaan juga

1
dapat melakukan CSR in The Marketplace, Workplace, Community, and ecological
environtment. Diharapkan program CSR tidak hanya dilakukan satu dua kali saja, namun
dapat menjadi program yang sustainable.

B. Rumusan Masalah

Guna untuk memahami latar belakang masalah di atas, dan mempersempit/memperjelas


materi yang akan dibahas, maka disusunlah rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kasus tentang CSR in The Marketplace? Jelaskan.
2. Bagaimana kasus tentang CSR in The Workplace? Jelaskan.
3. Bagaimana kasus tentang CSR in The Community? Jelaskan.
4. Bagaimana kasus tentang CSR in The Ecological Environtment? Jelaskan.

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini antara lain:
1. Agar pembaca memahami kasus tentang CSR in The Marketplace dan keterkaitannya
dengan materi.
2. Agar pembaca memahami kasus tentang CSR in The Workplace dan keterkaitannya
dengan materi.
3. Agar pembaca memahami kasus tentang CSR in The Community dan keterkaitannya
dengan materi.
4. Agar pembaca memahami kasus tentang CSR in The Ecological Environtment dan
keterkaitannya dengan materi.
5.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. CSR in The Marketplace


Gandeng Bukalapak, Allianz Dagang Asuransi di Marketplace
WE Online, Jakarta  -Allianz Indonesia  bersama Bukalapak  meluncurkan BukaProteksi
Diri, Kamis (2/5/2019). Ini merupakan produk asuransi kesehatan pertama yang
ditawarkan melalui aplikasi marketplace Bukalapak.
Melalui serangkaian inovasi digital, BukaProteksi Diri menawarkan asuransi kesehatan
yang dapat dibeli dengan mudah, cepat, dan aman oleh nasabah melalui aplikasi
Bukalapak. Bahkan, nasabah dapat dengan mudah melakukan registrasi, pembayaran,
menerima polis, bahkan melakukan klaim secara online.

Bukalapak kini hadir untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat Indonesia serta
melengkapinya dengan meluncurkan fitur BukaAsuransi yang dapat digunakan para
pengguna untuk membeli produk asuransi kesehatan dengan harga yang relatif
terjangkau dengan premi tahunan mulai dari Rp236.250 hingga Rp945,000.

Co-Founder and Presiden Bukalapak, Fajrin Rasyid  mengatakan, pihaknya menyambut


baik kerja sama penyediaan asuransi kesehatan BukaProteksi Diri dari Allianz Indonesia
untuk BukaAsuransi ini.

"Melalui kerja sama ini kami percaya inovasi teknologi kami dapat bermanfaat bagi
jutaan masyarakat sehingga proses memiliki produk asuransi menjadi semakin mudah
dan cepat hanya dengan mengakses aplikasi Bukalapak," ujarnya saat peluncuran
BukaProteksi Diri di Jakarta, Kamis (2/5/2019).

Joos Louwerier, Country Manager & Direktur Utama Allianz Life Indonesia, dalam
kesempatan yang sama mengatakan, kerja sama ini juga membuktikan komitmen Allianz
untuk meningkatkan penetrasi asuransi, literasi keuangan serta inklusi keuangan,
sekaligus memberikan perlindungan ke lebih banyak masyarakat Indonesia yang belum
dijangkau oleh kanal distribusi yang ada.

"Berangkat dari kondisi rendahnya penetrasi asuransi dibandingkan dengan kondisi


demografi dan luas wilayah Indonesia, kami melakukan kerja sama dengan mitra digital

3
untuk bersama-sama melakukan inovasi dan sinergi mengatasi berbagai tantangan yang
dihadapi industri asuransi saat ini, terutama dalam menyediakan layanan keuangan dan
akses asuransi bagi segmen masyarakat yang belum tersentuh," papar Joos.

Joos menambahkan, langkah strategis yang dilakukan Allianz Indonesia dengan mitra
digital melengkapi kanal distribusi yang saat ini sudah dimiliki. Selain itu, mendukung
strategi perusahaan untuk memberikan perlindungan ke lebih banyak masyarakat,
khususnya masyarakat yang masuk dalam kategori mass and emerging segments.

"Dengan basis nasabah yang sangat besar milik Bukalapak, BukaProteksi Diri akan
menjangkau masyarakat Indonesia yang sangat luas. Harga premi mulai dari Rp236.250
dibayarkan untuk pertanggungan satu tahun, jumlah ini ekuivalen dengan Rp19 ribu per
bulan atau seharga segelas kopi untuk setiap bulan. Nasabah mendapatkan banyak
manfaat, di antaranya penggantian biaya rawat inap rumah sakit sebesar Rp200.000 per
hari dan maksimum limit klaim Rp6 juta," jelas Bianto Surodjo, Chief Partnership
Distribution Officer Allianz Life Indonesia.

Ulasan:

Menurut penulis, kasus tersebut relevan dengan CSR in The Marketplace, dimana dalam
kasus dijelaskan bahwa langkah strategis yang dilakukan Allianz Indonesia dengan mitra
digital melengkapi kanal distribusi yang saat ini sudah dimiliki. Selain itu, mendukung
strategi perusahaan untuk memberikan perlindungan ke lebih banyak masyarakat,
khususnya masyarakat yang masuk dalam kategori mass and emerging segments. Bentuk
CSR yang dilakukan yaitu dengan memberikan perlindungan kepada masyarakat, dimana
memang sudah seharusnya perusahaan menjamin perlindungan dan keselamatan
konsumen dalam mengkonsumsi /menggunakan suatu produk.

4
B. CSR in The Workplace

Riza: CSR Itu Tanggung Jawab Pada Lingkungan dan Stakeholder

Jakarta – Majalahcsr. Tanggung jawab sosial perusahaan atau lebih kekinian dengan
sebutan Corporate Social Responsibility (CSR) seringkali diartikan sebagai bagi-bagi uang.
Padahal jika diartikan seperti itu merupakan kesalahan besar.

Head of Environment & Social Responsibility PT Astra International Riza Deliansyah


menjelaskan bahwa CSR merupakan tanggung jawab perusahaan kepada lingkungan, juga
stakeholder. Namun masyarakat juga berperan penting untuk mewujudkan tanggung jawab
kepada lingkungan tempat tinggalnya.

“CSR bukan berarti bagi-bagi uang ke masyarakat,” ujarnya saat acara buka bersama Astra
bersama media, Senin (21/5).

Menurutnya, CSR juga diartikan sebagai tangung jawab yang dimiliki oleh perusahaan
kepada seluruh stakeholdernya. Contohnya menjaga silaturahmi dan hubungan baik kepada
media sebagai stakeholder Astra dengan mengadakan acara buka bersama.

Riza menjelaskan, sesuai dengan catur darma Astra, yaitu menjadi perusahaan yang
bermanfaat bagi bangsa dan negara. Kedua, memberikan pelayanan terbaik kepada
pelanggan. Ketiga, menghargai individu dan membina kerjasama. Darma keempat, senantiasa
mencapai yang terbaik.
Tidak hanya karyawan bagian CSR saja yang merasakan program CSR Astra, namun
karyawan Astra di bidang lain juga diajak untuk merasakan kegiatannya. Misalnya pada acara
di Kupang, karyawan diajak mengajar anak SD disana.

5
“Para karyawan jadi tergugah rasa kemanusiaannya, selain itu rasa lebih memiliki kepada
Astra lebih besar,” tuturnya.

Beberapa program CSR Astra juga berkesinambungan satu sama lain. Contohnya saat
program pelestarian buah-buahan langka. Hasil dari pelestarian tersebut akan ditanam ke
Kampung Berseri Astra.

Selain itu, Astra juga berencana untuk mempekerjakan 1% difabel dari seluruh pekerja yang
ada yaitu 219.715 karyawan pada 215 anak perusahaan. Namun saat ini baru terlaksana 50
orang.

Ulasan:
Menurut penulis, kasus tersebut relevan dengan CSR in The Workplace dimana perusahaan
tidak hanya melakukan CSR kepada lingkungan saja, namun juga kepada stakeholder di
tempat kerja yang didalamnya terdapat para karyawan. Dalam kasus dijelaskan bahwa Head
of Environment & Social Responsibility PT Astra International Riza Deliansyah menjelaskan
bahwa CSR merupakan tanggung jawab perusahaan kepada lingkungan, juga stakeholder.
Namun masyarakat juga berperan penting untuk mewujudkan tanggung jawab kepada
lingkungan tempat tinggalnya.
Riza juga menjelaskan, sesuai dengan catur darma Astra, yaitu menjadi perusahaan yang
bermanfaat bagi bangsa dan negara. Kedua, memberikan pelayanan terbaik kepada
pelanggan. Ketiga, menghargai individu dan membina kerjasama. Darma keempat, senantiasa
mencapai yang terbaik. Poin ketiga sangat penting diterapkan dalam lingkungan kerja agar
karyawan saling menjalin hubungan yang baik sehingga produktivitas dan kinerja mereka
juga akan semakin baik.

C. CSR in The Community and Ecological Environtment

Contoh studi kasus -> CSR Perusahaan Rokok di Indonesia, Kepedulian Sosial atau
Strategi Pemasaran

PT. HM Sampoerna dengan dana yang melimpah, menawarkan kegiatan sosial yang
dilakukan untuk kepentingan masyarakat. Tidak mau kalah dengan PT. HM Sampoerna, PT.
Djarum Indonesia menawarkan banyak program yang dilakukan untuk masyarakat, antara
lain Djarum Bakti Pendidikan, Djarum Bakti Lingkungan, dan Djarum Bakti Olahraga.

6
Bentuk dari Djarum Bakti Pendidikan dan Djarum Bakti Olahraga adalah pemberian
beasiswa kepada siswa berprestasi namun tidak mampu secara ekonomi atau siswa yang
berprestasi baik di bidang akademik maupun olahraga (khususnya olahraga bulu tangkis).
Di mata sebagian besar pemilik perusahaan dan jajaran direksi perusahaan, istilah
corporate social responsibility (CSR) dipandang hanya sebagai tindakan filantropi. CSR
ditempatkan sebagai derma perusahaan atau bahkan sedekah pribadi. Selain itu, terdapat juga
pandangan yang cukup kuat di mata pelaku bisnis yang memandang CSR sebagai strategi
bisnis. CSR dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai dan meningkatkan tujuan ekonomi
melalui aktivitas sosial.
Dalam beberapa iklan rokok di televisi, dapat dilihat bahwa iklan rokok menyentuh
sisi kepedulian sosial. Pemberian beasiswa pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu
dipublikasikan secara dramatis, sehingga iklan rokok bukan saja mengagumkan, namun juga
mampu menyentuh solidaritas kemanusiaan. Setelah PT. HM Sampoerna dengan jargon
”Sampoerna untuk Indonesia” banyak menampilkan sumbangsih mereka untuk
mencerdasakan bangsa, belakangan PT Djarum menampilkan hal senada. Kendati sebagian
orang mengetahui bahwa kegiatan ”Sampoerna untuk Indonesia” dikelola oleh Sampoerna
Foundation yang secara manajerial terpisah dan independen dari PT HM Sampoerna, namun
semua orang mafhum bahwa publikasi itu memiliki relasi dengan pemasaran (caused related
marketing) dengan produk rokok Sampoerna. Demikian pula halnya Beasiswa Djarum atau
Diklat Bulu Tangkis Djarum.

Hubungan CSR dengan Profitabilitas Perusahaan

Tanggung jawab ekonomi adalah memperoleh laba, sebuah tanggung jawab agar
dapat menghidupi karyawan, membayar pajak dan kewajiban perusahaan yang lainnya.
Tanpa laba perusahaan tidak akan eksis, tidak dapat memberi kontribusi apapun terhadap
masyarakat. Artinya, CSR yang dalam dimensi filantropi biasanya bersifat kerelaan,
dijadikan sebuah keharusan bagi perusahan yang berbasis sumberdaya alam. Penjabarannya
mungkin lebih mengarah kepada community development yang tersirat dari judulnya
“tanggung jawab sosial dan lingkungan” dan mengaitkannya dengan perusahaan berbasis
sumberdaya alam. Dalam program community development telah terjadi pergeseran
paradigma dalam pengembangan komunitas dari yang semula hanya bersifat ad hoc,
pendekatan amal, berorientasi jangka pendek, kesadaran yang rendah, dan externally driven

7
menjadi bersifat kemitraan, lebih dirasakan sebagai kewajiban moral, berorientasi kepada
etika dan internally driven.
Menetukan Arah CSR Perusahaan Rokok

Upaya-upaya yang dilakukan oleh industri rokok dalam menyiasati pembatasan iklan,
di antaranya adalah melalui program CSR. Bagaimana industri rokok dilihat dari sudut
pandang CSR? Secara umum dapat dinyatakan bahwa majoritas pakar CSR tidak ragu untuk
menyatakan bahwa industri rokok tidak bisa dianggap sebagai industri yang bertanggung
jawab sosial. Ada setidaknya tiga indikasi yang terkait dengan pendapat tersebut.
- Pertama, tidak satupun indeks socially responsible investment (SRI) yang
menyertakan perusahaan rokok ke dalam portofolio investasinya.
- Kedua, penolakan para pakar atas keterlibatan industri rokok dalam berbagai aktivitas
ilmiah yang membahas CSR. Yang paling terkenal adalah penolakan puluhan pakar
terhadap ketelibatan BAT dan Philip Morris dalam forum Ethical Corporation Asia di
Hong Kong (14-15 Oktober 2004). Tadinya, kedua raksasa industri rokok tersebut
terdaftar sebagai sponsor emas dan juga mengirimkan eksekutif puncaknya sebagai
pembicara. Namun, sebuah petisi yang ditandatangani 86 pakar CSR dan etika bisnis,
membuat keikutsertaan dua perusahaan tersebut dibatalkan oleh panitia.
- Ketiga, berbagai survei mutakhir menunjukkan bahwa seluruh pemangku kepentingan
sepakat bahwa industri rokok adalah yang paling rendah kinerja CSR-nya. Artinya,
telah terjadi kesepakatan global para pemangku kepentingan bahwa industri rokok
memang tidak bisa dipandang bertanggung jawab.

CSR jauh lebih luas dari sekedar pemberian sponsor, karena sebetulnya CSR adalah
manajemen dampak. Timbal balik ke masyarakat juga hanya sebagian dari CSR, karena CSR
terutama berkaitan dengan bagaimana keuntungan dibuat oleh perusahaan, bukan sekadar
berapa dan kepada siapa keuntungan itu disebarkan. Citra positif adalah hasil menjalankan
CSR dalam jangka panjang, namun citra bukanlah tujuan menjalankan CSR itu sendiri.
Demikian juga dengan uang. Banyak riset telah membuktikan bahwa kinerja CSR dan kinerja
financial perusahaan memang berkorelasi positif, namun uang (keuntungan) hanyalah
dampak ikutan dari menjalankan CSR.
Kalau sebuah perusahaan rokok coba-coba untuk membuat klaim bahwa mereka adalah
perusahaan yang bertangung jawab sosial, kita bisa menimbangnya dengan keharusan
internalisasi eksternalitas di atas. Yang pertama-tama harus diperiksa adalah apakah memang
8
dampak negatif dari produksnya telah ditekan hingga batas terendah yang mungkin? Belum
tampak ada upaya masif dari industri rokok untuk mencegah anak-anak dan remaja merokok
dengan menghilangkan akses mereka ke produk rokok dan berbagai iklannya. Industri ini
juga sama sekali tak serius melindungi bukan perokok.
Dalam berbagai literatur CSR dinyatakan, apabila perusahaan tidak meminimumkan dan
mengkompensasi dampak negatifnya terlebih dahulu, namun langsung terjun dalam kegiatan
amal, itu disebut greenwash alias pengelabuan citra. Tampaknya inilah yang banyak terjadi
pada industri rokok di manapun, termasuk di Indonesia.
Begitu juga dengan sinyal bahwa CSR adalah budi pekerti korporat. Jika budi pekerti
tidak baik, maka masyarakat akan melihat budi pekerti korporat juga tidak baik. Pencitraan
sebagai perusahaan dengan budi pekerti yang baik merupakan sebuah metode untuk
mentransfer rival costs yang harus dikeluarkan perusahaan untuk menghadapi pesaing pada
industri sejenis.
Sebagai contoh PT. HM. Sampoerna yang mencitrakan dirinya sebagai perusahaan rokok
yang menjalankan CSR melalui kepedulian pada pendidikan atau PT. Djarum Indonesia
melalui program CSR penghijauan dan peduli lingkungan. Positioning tersebut menurunkan
rival dengan perusahaan lain dalam satu industri, terutama dengan bentuk pasar yang
oligopoli maka melalui strategi ini perusahaan mengirimkan sinyal positif sebagai perusahaan
yang berbudi pekerti. Hasilnya diharapkan nilai perusahaan akan mengalami peningkatan
atau dengan kata lain tujuan financial perusahaan akan tercapai.
Terlepas dari batas yang tipis antara sumbangsih sosial dan strategi pemasaran,
sumbangsih mereka, jelas-jelas diakui membawa manfaat bagi kehidupan masyarakat.
Namun yang perlu dipertanyakan adalah kegiatan CSR perusahaan rokok tersebut sudah tepat
atau belum. Dampak terdekat dari kehadiran dan penggunaan produk rokok adalah soal
kesehatan. Oleh karena itu seharusnya industri rokok banyak memprakarsai meminimumkan
dampak negatif ini dibandingkan dengan memberikan sumbangsih bagi kegiatan hiburan dan
mempublikasikan kegiatan solidaritas sosial. Demikian pula hanya dengan produk rokoknya
sendiri. Dalam rangka menghindari dampak buruk bagi kesehatan, produk rokok selain
mengedepankan soal cita rasa, sebaiknya juga menginformasikan kandungan dan batas
toleransi racun dan tata cara merokok yang mungkin bisa meminimalisasi dampak negatif
bagi kesehatan bagi konsumennya. Secara sosial, aktivitas merokok di ruang publik juga
banyak dikeluhkan.
Oleh karena itu, industri rokok juga seharusnya berperan aktif untuk menyosialisasikan
larangan merokok di ruang publik dan membangun sarana-sarana smoking area. Dari sisi
9
penonjolan kemewahan dan kebanggaan merokok, iklan rokok sudah sangat berhasil. Namun
dari sisi pendidikan untuk perokok tentang bagaimana sebaiknya merokok dengan santun,
hingga kini tak ada satu pun industri rokok yang mulai memprakarsainya.
Dalam soal supply chain, industri rokok merupakan salah satu industri yang memiliki
mata rantai keterlibatan pelaku bisnis yang sangat panjang. Sejak petani tembakau dan
cengkih sampai dengan penjaja rokok di pinggir jalan. Pertanyaan penting yang harus
diajukan adalah: apa yang dilakukan oleh industri rokok untuk meningkatkan kehidupan
merka yang terlibat di dalamnya? Apakah pembagian keuntungan yang relatif adil sudah
terjadi, ataukah ketimpangan pendapatan yang menjadi ciri pelaku industri ini?
Kedermawanan perusahaan (corporate philanthropy) bisa diartikan sebagai inisiatif
perusahaan untuk terlibat dalam upaya-upaya perbaikan kehidupan sosial. Alasan
kemanusiaan pada mulanya menjadi motivasi utama tindakan ini. Dalam perkembangannya
lebih lanjut, kegiatan ini berkembang menjadi sebuah tindakan strategis. Alasan membangun
reputasi, causerelated marketing, dan bahkan secara diam-diam menghitung dampak dan
peluang politik hadir dalam tindakan filantropis ini. Sepertinya ini terjadi karena sebagian
besar perusahaa menempatkan diri sebagai perusahaan dermawan, untuk kemudian
melakukan ekspansi pasar atas modal perolehan citra positif dari publik.
Sebagai sebuah tindakan, CSR tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab perusahaan
untuk menimimalisasi dampak negatif dan maksimalisasi dampak positif. Untuk sementara,
tampak bahwa kinerja CSR lebih banyak memokuskan diri pada maksimalisasi dampak
positif dengan memberikan kontribusi pada aneka ragam kegiatan sosial. Pada umumnya
CSR lebih sering memilih agenda sumbangan kepada korban bencana, bermain di sektor
pendidikan dan kesehatan. Nyaris semua kegiatan CSR berhenti sampai di sini. Dan nyaris
pula, mereka melupakan evaluasi dan kewajibannya untuk menimalisasi dampak negatif
operasi perusahaannya.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perusahaan saat ini perlu melakukan CSR karena keberadaan CSR saat ini sangat
diperlukan dalam marketplace, workplace, community, maupun Ecological
Environtment. CSR dapat meningkatkan citra baik perusahaan sehingga akan
meningkatkan laba perusahaan. Maka dari itu, diharapkan program CSR tidak hanya
dilakukan sekali atau dua kali saja, namun dilakukan secara sustainable.

B. Saran
Demikian makalah ini kami buat agar pembaca dapat memahami contoh kasus CSR in
The Marketplace, Workplace, Community, and Ecological Environtment serta keterkaitannya
dengan materi yang telah dibahas. Masih Terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini. Maka dari itu diharapkan kritik dan saran pembaca agar dapat terwujudnya
makalah yang lebih baik lagi.
C.

11
DAFTAR PUSTAKA

https://www.wartaekonomi.co.id/read226181/gandeng-bukalapak-allianz-dagang-asuransi-di-
marketplace.html

https://majalahcsr.id/riza-csr-itu-tanggung-jawab-pada-lingkungan-dan-stakeholder/

https://www.sampoerna.com/sampoerna/id/sustainability/overview
https://www.djarumfoundation.org/

12

Anda mungkin juga menyukai