Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ILMU MUHKAM MUTASYABIH


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Ulumul Qur`an
Dosen pengampu : Misbakhuddin, Lc, M.Ag.

Disusun oleh :

1. Ely Dian Uswatina (3118051)


2. Khoirul Mizan (3118058)
3. Alma Amelia (3118075)

Kelas : IAT B

JURUSAN ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR FAKULTAS


USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah menyampaikan pesan dalam al-qur`an dengan berbagai cara dan
bentuk dalalah baik yang jelas ataupun dengan cara yang samar (mubham).
Di antara bentuk keduanya terdapat bentuk muhkam dan mutasyabih. Itu
semua merupakan kerunia Allah subhanahu wa ta`ala kepada ummat manusia
agar dapat memahami dengan elastis, syamil, dan komprehensif.
Di antara gaya penyampaian al-qur`an terkadang menggunakan lafadz dan
uslub yang berbeda-beda tetapi maknanya tetap satu, yaitu sebagian lafadz
serupa dengan sebagian yang lain tetapi maknanya serasi dan cocok, tidak ada
yang bersifat umum dan samar (mutasyabih) dan dapat memberikan peluang
bagi para mujtahid dan cendekiawan untuk dapat mengembalikannya kepada
yang tegas maksudnya dan disebut muhkam, mengembalikan yang samar
kepada yang jelas maknanya, mengembalikan masalah cabang kepada
masalah pokok, yang bersifat parsial kepada yang kulli.
Ayat yang menjadi dasar adanya Muhkam dan Mutasyabih adalah ayat ke-
7 dari surat Ali-`Imran :

‫ﻢﮭﺑﻮﻠﻗ ﻰﻓ ﻦﯾﺬﻟٱ ﺎﻣﺄﻓ ﺖﮭﺒﺸﺘﻣ ﺮﺧأو ﺐﺘﻜﻟٱ مأ ﻦھ ﺖﻤﻜﺤﻣ ﺖﯾاء ﮫﻨﻣ ﺐﺘﻜﻟٱ ﻚﯿﻠﻋ لﺰﻧأ ىﺬﻟٱ ﻮھ‬
‫ﻰﻓ نﻮﺨﺳﺮﻟٱو‬ ‫ ﻎﯾز ٱ ﻻإ ۥﮫﻠﯾوﺄﺗ ﻢﻠﻌﯾ ﺎﻣو‬o‫ﻠﯾوﺄﺗ ءﺎﻐﺘﺑٱو ﺔﻨﺘﻔﻟٱ ءﺎﻐﺘﺑٱ ﮫﻨﻣ ﮫﺒﺸﺗ ﺎﻣ نﻮﻌﺒﺘﯿﻓ‬o‫ﮫۦ‬
‫ﺑ ﺎﻨﻣاء نﻮﻟﻮﻘﯾ ﻢﻠﻌﻟٱ‬o‫۝ ﺐﺒﻟﻷٱ اﻮﻟوأ ﻻإ ﺮﻛﺬﯾ ﺎﻣو ﺎﻨﺑر ﺪﻨﻋ ﻦﻣ ﻞﻛ ﮫۦ‬

“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-qur`an) kepada kamu. Di antara (isi)


nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-qur`an dan yang
lain (ayat-ayat) mutasyabihaat. Adapun orang-orang yang hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta`wilnya, padahal tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah, dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “kami beriman kepada ayat-
ayat yang mutasyabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan yang dimaksud Muhkam dan Mutasyabih!
2. Apa saja Jenis-jenis Muhkam dan Mutasyabih?
3. Apa saja Sebab-sebab terjadinya Tasyabuh dalam al-Qur`an?
4. Bagaimana Pandangan dan Sikap Ulama` dalam menghadapi Ayat
Mutasyabih?
5. Apa saja Hikmah Ilmu Muhkam dan Mutasyabih?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih


Kata “muhkam” dan “mutasyabih” adalah bentuk mudzakar, digunakan
untuk mensifati kata-kata yang mudzakkar, seperti ungkapan al-qur`an yang
muhkam atau yang mutasyabih. Sedangkan kata “muhkamat” atau
“mutasyabihat” adalah bentuk muannats untuk mensifati kata yang juga
muannats, seperti surah dan ayat muhkamat atau mutasyabihat. Al-qur`an
menampilkan kata “muhkam” yang terkait dengannya sebanyak tiga kali
dalam bentuknya yang berbeda-beda, yaitu “muhkamat (QS. Ali-`imran[3]:7),
uhkimat (QS. Hud[11]: 1), dan muhakkamah (QS. Muhammad [47]: 20).
Sementara kata “mutasyabih” dalam berbagai ragam dan bentuknya
dikemukakan sebanyak dua belas kali yang terpencar dalam beberapa surah
dan ayat di dalam Al-Qur`an. Kedua kata tersebut memiliki beragam arti baik
1
menurut etimologi maupun terminologi.
Muhkam secara etimologis adalah sesuatu yang tidak ada perselisihan dan
kekacauan di dalamnya, dan ada yang mengatakan bahwa Muhkam ialah
sesuatu yang belum menjadi mutasyabih karena keterangannya sudah tegas
dan tidak membutuhkan kepada yang lain. Muhkam merupakan derivasi dari
kata ahkama yaitu atqana. Ahkama al-kalam berarti mengokohkan perkataan
2
dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah. Dengan demikian
Muhkam dapat berarti sesuatu yang dikukuhkan, jelas, fasih, dan bermaksud
membedakan antara informasi yang hak dan yang bathil, serta memisahkan
3
urusan yang lurus dari yang sesat. Al-qur`an seluruhnya muhkamah, jika
yang dimaksud dengan kemuhkamahannya ialah susunan lafadz al-qur`an dan
keindahan nazhamnya, sungguh sangat sempurna, tidak ada sedikitpun

1
Usman, ULUMUL QUR`AN, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hlm. 219-220.
2
Mawardi Abdullah, ULUMUL QUR`AN, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2014), hlm. 93.
3
Usman, ULUMUL QUR`AN................, hlm. 220.
4
terdapat kelemahan padanya, baik dari segi lafadz maupun maknanya.
Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah yakni:

‫۝ ﺮﯿﺒﺧ ﻢﯿﻜﺣ نﺪﻟ ﻦﻣ ﺖﻠﺼﻓ ﻢﺛ ۥﮫ ﺘﯾاء ﺖﻤﻜﺣأ ﺐﺘﻛ ﺮﻟا‬

“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi
serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang
Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.” (QS. Hud [11] : 1).

Adapun mutasyabih secara etimologis berarti tasyabuh, yakni apabila


salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syuhbah ialah keadaan
dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena
kemiripan di antara keduanya. Mutasyabih secara bahasa berarti sesuatu yang
5
menyerupai dari segala segi antara satu dengan yang lain. Mutasyabih juga
terkadang dipadankan dengan mutamatsil dalam perkataan dan keindahan.
Dengan ungkapan tasyabuh al-kalam dapat diartikan “kesamaan dan
kesesuaian dalam perkataan, karena sebagiannya membenarkan sebagian
yang lain dalam kesempurnaannya dan sesuai pula dengan makna yang
6
dimaksudkannya. Dapat dikatakan bahwa seluruh Al-Qur`an adalah
mutasyabihah, bahwa masing-masing kemutamatsilan (keserupaan atau
sebanding) ayat-ayatnya, baik dalam bidang balaghah maupun dalam bidang
i`jaz dan kesulitan kita memperlihatkan kelebihan sebagian sukunya atau
7
yang lain. Dengan pengertian inilah yang dapat kita ambil berdasarkan
firman Allah:

‫ﺸﺘﻣ ﺎﺒﺘﻛ ﺚﯾﺪﺤﻟٱ ﻦﺴﺣأ لﺰﻧ ٱ‬o‫ﻢھدﻮﻠﺟ ﻦﯿﻠﺗ ﻢﺛ ﻢﮭﺑر نﻮﺸﺨﯾ ﻦﯾﺬﻟٱ دﻮﻠﺟ ﮫﻨﻣ ﺮﻌﺸﻘﺗ ﻰﻧﺎﺜﻣ ﺎﮭﺒ‬
‫ﺎھ ﻦﻣ ۥﮫﻟ ﺎﻤﻓ‬o‫ﺑ ىﺪﮭﯾ ۝ د‬o‫ٱ ىﺪھ ﻚﻟذ ٱ ﻞﻠﻀﯾ ﻦﻣو ءﺎﺸﯾ ﻦﻣ ﮫۦ‬ ‫ذ ﻰﻟإ ﻢﮭﺑﻮﻠﻗو‬o‫ٱ ﺮﻛ‬

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur`an yang
serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit
orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit

4
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, ILMU-ILMU AL-QUR`AN (Ulum al-Qur`an), (Semarang: PT.
PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2010), hlm. 158.
5
Mawardi Abdullah, ULUMUL QUR`AN........................, hlm. 93.
6
Usman, ULUMUL QUR`AN......................., hlm. 221.
7
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, ILMU-ILMU AL-QUR`AN (Ulum al-Qur`an)..........., hlm.
158.
dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan
Kitab itu dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya, dan barangsiapa yang
disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.” (QS. Az-
Zumar [39] : 23)

Secara epistemologi, para ulama berbeda pendapat dalam istilah muhkam


dan mutasyabih. Muhkam yaitu lafadz yang artinya menunjukkan dalalah
yang jelas dan pasti yang tidak memungkinkan untuk menta`wilkannya,
ditakhsisikan, ataupun dinasakh.
Pendapat lain sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthi bahwa:
1. Muhkam adalah yang dapat diketahui maksudnya dengan nyata dan jelas
maupun dengan cara ta`wil. Sedangkan mutasyabih adalah sesuatu yang
hanya diketahui oleh Allah seperti kedatangan hari kiamat dan maksud
dari huruf-huruf terpisah yang terdapat pada beberapa awal surah.
2. Muhkam adalah yang tidak dapat dita`wilkan kecuali hanya dengan satu
penta`wilan saja, sedangkan mutasyabih adalah yang mungkin dapat
dita`wilkan dengan banyak penta`wilan.
3. Muhkam adalah ayat yang menerangkan tentang faraidl, ancaman, dan
harapan. Sedangkan mutasyabih adalah tentag ayat-ayat yang berhubungan
dengan kisah-kisah dan amstal.
4. Muhkam adalah lafadz yang tidak diulang-ulang. Sedangkan mutasyabih
adalah sebaliknya.
5. Muhkamat adalah ayat-ayat yang tidak dinasakh, maka mutasyabihat
adalah ayat-ayat atau ajaran-ajaran yang telah dinasakh.
6. Muhkam adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan halal dan haram,
sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat selain yang berkenaan dengan
8
halal dan haram.

Dari berbagai macam pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa yang


dimaksud dengan muhkam adalah kekokohan lafadz ayat dan kemantapannya
serta tidak akan terjadi perselisihan dan kekurangan dalam al-qur`an.
Sedangkan yang dimaksud dengan mutasyabih adalah penyerupaan antara

8
Mawardi Abdullah, ULUMUL QUR`AN..............., hlm.
bagian yang satu dari al-qur`an dengan bagian yang lain dalam hal kebenaran,
ketepatan, dan i`jaznya. Lebih jelasnya mutasyabih adalah sesuatu yang telah
diketahui artinya namun mustahil untuk dikatakan sebagaimana yang
dimaklumi, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah
9
subhanahu wa ta`aala.
B. Jenis-jenis Muhkam dan Mutasyabih
Muhkam dan Mutasyabih masing-masing dapat dibagi ke dalam dua
kategori, yaitu :
1) Muhkam
a. Muhkam li dzatihi, yaitu muhkam yang semata-mata karena arti yang
ditunjukinya itu tidak mungkin dapat dimansukhkan. Misalnya adalah
keharusan beribadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta`ala semata
dan berbuat baik kepada kedua orang tua, sebagaimana yang
diperintahkan oleh Allah dalam surat al-isra` ayat 23 :
‫ﻼﻓ ﺎﻤھﻼﻛ وأ ﺎﻤھﺪﺣأ ﺮﺒﻜﻟٱ كﺪﻨﻋ ﻦﻐﻠﺒﯾ ﺎﻣإ ﺎﻨﺴﺣإ ﻦﯾﺪﻟﻮﻟﭑﺑو هﺎﯾإ ﻻإ اوﺪﺒﻌﺗ ﻻأ ﻚﺑر ﻰﻀﻗو‬
‫ﻟ ﻞﻗو ﺎﻤھﺮﮭﻨﺗ ﻻو فأ ﺎﻤﮭﻟ ﻞﻘﺗ‬o‫۝ ﺎﻤﯾﺮﻛ ﻻﻮﻗ ﺎﻤﮭ‬
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya....”
b. Muhkam li ghairihi, adalah ayat-ayat yang belum dinasakh pada zaman
Rasulullah, sebagaimana dikemukakan oleh al-Baazdawi dalam Kasyf
al-Asrar yang dikutip oleh al-`Aks, “ yang tidak dinasakh sehingga
terputusnya wahyu dan Nabi telah wafat, maka ini dinamakan muhkam
li ghairihi, jenis ini mencakup al-dzahir, al-nash, al-mufassar, dan al-
muhkam”, karena masing-masing belum terkena nasakh hingga
muhkam yang disebabkan oleh terputusnya kemungkinan adanya
nasakh. Artinya dianggap muhkam ini karena suatu lafadz yang
menunjukkan atas keabadian berlakunya, sehingga tidak dapat
dimansukhkan, atau muhkam karena faktor luar bila tidak dapatnya
lafadz itu dinasakh bukan karena nash atau teks nya itu sendiri tetapi
karena tidak ada nash yang menasakhnya.

9
Mawardi Abdullah, ULUMUL QUR`AN............., hlm.
Contohnya yakni muhkam yang terdapat pada Q.S An-Nur [24]: 4;
‫ﻨﻤﺛ ﻢھوﺪﻠﺟﭑﻓ ءاﺪﮭﺷ ﺔﻌﺑرﺄﺑ اﻮﺗﺄﯾ ﻢﻟ ﻢﺛ ﺖﻨﺼﺤﻤﻟٱ نﻮﻣﺮﯾ ﻦﯾﺬﻟٱو‬o‫ﻢﮭﻟ اﻮﻠﺒﻘﺗ ﻻو ةﺪﻠﺟ ﻦﯿ‬
‫۝نﻮﻘﺴﻔﻟٱ ﻢھ ﻚﺌﻟوأو اﺪﺑأ ةﺪﮭﺷ‬
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik
(berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka untuk selama-lamanya.”
Ayat ini menjelaskan bahwa tidak dapat menerima kesaksian orang
yang berbuat jarimah qodzaf untuk selama-lamanya karena pada ayat
tersebut disertai lafadz `abadan (selama-lamanya). Ketentuan tentang
lafadz muhkam bila menyangkut hukum, yakni wajib. Juga tidak pula
dipahami dari lafadz tersebut melalui alternatif lain, serta tidak mungkin
pula dinasakh oleh dalil yang lain.
2) Mutasyabih
a. Mutasyabih ayat yang terdapat dalam lafadz huruf berupa huruf-huruf
pada permulaan beberapa surah dalam Al-Qur`an.
b. Mutasyabih yang terdapat dalam mafhum ayat seperti yang terdapat
10
pada ayat-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah.
C. Sebab-sebab Terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’an
Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabih tidak dapat
diketahui takwilnya oleh siapapun kecuali Allah sendiri. Mereka menyatakan
agar orang-orang tidak mencari-cari takwilnya dan menyerahkan persoalan
itu kepada Allah Swt. Sedangkan orang yang mendalam ilmunya mereka
berkata “Kami mengimaninya, semua datang dari Tuhan kami”. Sebagian
yang lain ada yang beranggapan, bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya
dapat mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat. Mereka mengatakan:
pengetahuan Allah mengenai takwil ayat-ayat mutasyabihat itu dilimpahkan
juga kepada orang-orang atau para ulama yang mendalam ilmunya. Sebab
firman Allah yang diturunkan bagi mereka itu adalah pujian, kalau mereka
tidak mengetahui maknanya, berarti mereka tidak berbeda dengan orang
awam yang juga sama tidak faham betul dengan maknanya.

10
Mawardi Abdullah, ULUMUL QUR`AN........................, hlm. 96-
Dalam kaitannya dengan pandangan-pandangan yang telah diketahui dan
dikemukankan oleh para ulama diatas dapat dikatakan, bahwa diantara sebab
sebab terjadinya tasyabuh dalam al qur’an menurut hasil pengamatan dan
penelitian para ulama yaitu disebabkan oleh kebersembunyian maksud Allah
dari kalam-Nya itu. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa ketersembunyian itu
dapat saja kembai kepada kesamaran lafal, kesamaran makna, dan kesamaran
pada lafal dan makna sekaligus. Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini dapat
11
dipelajari sebagai berikut:
1. Kesamaran pada lafal ayat
Adanya sebagian ayat ayat mutasyabihat didalam al qur’an disebabkan
oleh kesamaran pada lafal mufrod maupun murakab (yang tersusun dalam
kalimat). Yang dimaksud dengan kesamaran pada lafal mufrad adalah
adnya lafal tunggal yang maknanya tidak jelas, baik disebabkan karena
gharib (asing) atau musytarak ( bermakna ganda).
2. Kesamaran pada makna ayat
Kesamaran atau ketersembunyian yang terjadi pada makna ayat,
umumnya adalah berupa ayat ayat mutasyabihat yang berhubungan dengan
sifat-sifat Allah.
3. Kesamaran pada lafal dan makna ayat sekaligus
Kesulitan memahami ayat-ayat mutasyabihat karena kesamaran atua
ketersembunyian maksud, dan juga dapat terjadi lafal dan makna secara
sekaligus, namun meski demikian kesulitan tersebut akan dapat teratasi
apabila seseorang memiliki ‘’sarana’’ yang memadai untuk menyingkap
maknanya yang tersirat dibali lafal dan maknanya yang tersurat itu,
sebagai contoh dapat dijumpai dalam firman Allah yaitu al qur’an surat Al
Baqarah : ayat 189:
‫و‬o‫ﻰﻘﺗٱ ﻦﻣ ﺮﺒﻟٱ ﻦﻜﻟو ﺎھرﻮﮭظ ﻦﻣ تﻮﯿﺒﻟٱ اﻮﺗﺄﺗ نﺄﺑ ﺮﺒﻟٱ ﺲﯿﻟو ﺎﮭﺑﻮﺑأ ﻦﻣ تﻮﯿﺒﻟٱ اﻮﺗأ‬
‫ٱ اﻮﻘﺗٱو ۝نﻮﺤﻠﻔﺗ ﻢﻜﻠﻌﻟ‬
‘’Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya,
akan tetapi kebaktian itu adalah kebaktian orang yang bertakwa, dan

11
Usman, ULUMUL QUR`AN......................................, hlm.
masuklah kerumah rumah itu dari pintu pintunya dan bertakwalah kepada
allah agar kamu beruntung’’.
Dalam hubungannya kesamaran pada ayat-ayat tersebut, terdapat lima
aspek yang terkait dengan hal itu, yaitu:
a. Aspek kuantitas, baik yang berkaitan dengan masalah masalah yang
umum maupun yang khusus.
b. Aspek cara (Al Kaifiyah) yang termasuk dalam kategori ini adalah
mengenai cara melaksanakan kewajiban yang diperintahkan oleh agama
atau kelaksanakan kesunahan.
c. Aspek waktu, dalam hal ini kesamaran atau ketersembunyian terletak
pada keumuman dari petunjuk yang dibawakan oleh ayat al Qur’an itu
sendiri.
d. Aspek tempat hal ini terkait erat dengan ketersembunyian atau
kesamaran lafal dan makna yang terdapat pada ayat-ayat mutasyabihat.
e. Aspek syarat adalah syarat dalam melaksanakan suatu kewajiban, baik
mengenai ibadah maupun mu’amalah tidak dirinci dalam ayat ayat
12
tersebut.
D. Pandangan dan Sikap Ulama’ Dalam Menghadapi Ayat Mutasyabihat
Banyak terjadi pro dan kontra diantara para ulama’ mengenai ayat-ayat
mutasyabihat yang berasal dari cara memahami firman Allah SWT:
‫ﻢﮭﺑﻮﻠﻗ ﻰﻓ ﻦﯾﺬﻟٱ ﺎﻣﺄﻓ ﺖﮭﺒﺸﺘﻣ ﺮﺧأو ﺐﺘﻜﻟٱ مأ ﻦھ ﺖﻤﻜﺤﻣ ﺖﯾاء ﮫﻨﻣ ﺐﺘﻜﻟٱ ﻚﯿﻠﻋ لﺰﻧأ ىﺬﻟٱ ﻮھ‬
‫ﻰﻓ نﻮﺨﺳﺮﻟٱو‬ ‫ ﻎﯾز ٱ ﻻإ ۥﮫﻠﯾوﺄﺗ ﻢﻠﻌﯾ ﺎﻣو‬o‫ﻠﯾوﺄﺗ ءﺎﻐﺘﺑٱو ﺔﻨﺘﻔﻟٱ ءﺎﻐﺘﺑٱ ﮫﻨﻣ ﮫﺒﺸﺗ ﺎﻣ نﻮﻌﺒﺘﯿﻓ‬o‫ﮫۦ‬
‫ﺑ ﺎﻨﻣاء نﻮﻟﻮﻘﯾ ﻢﻠﻌﻟٱ‬o‫۝ ﺐﺒﻟﻷٱ اﻮﻟوأ ﻻإ ﺮﻛﺬﯾ ﺎﻣو ﺎﻨﺑر ﺪﻨﻋ ﻦﻣ ﻞﻛ ﮫۦ‬
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-qur`an) kepada kamu. Di antara (isi)
nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-qur`an dan yang
lain (ayat-ayat) mutasyabihaat. Adapun orang-orang yang hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta`wilnya, padahal tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah, dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “kami beriman kepada ayat-
ayat yang mutasyabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak

12
Usman, ULUMUL QUR`AN................, hlm.
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
(QS. Ali Imran: 7)
Madzhab Ulama’ Salaf mengatakan bahwa ayat mutasyabih itu tidak dapat
diketahui takwilnya oleh siapapun kecuali Allah sendiri, serta diwajibkan atas
setiap orang agar tidak mencari takwilnya dan menyerahkan sepenuhnya
kepada Allah SWT. orang-orang berilmu mendalam hanya berkata: “Kami
13
mengimaninya, semuanya datang dari Tuhan kami”.
Menurut madzhab ini, waqaf dalam ayat tersebut terletak pada lafal
‫ ﺎﻣو ۥﮫ ﻠﯾوﺄﺗ ﻢﻠﻌﯾ ٱ ﻻإ‬Karena tidak ada yang dapat mengetahui makna yang
tersirat. Begitupula, pada lafal ‫ نﻮﺨﺳﺮﻟٱو ﻢﻠﻌﻟٱ ﻰﻓ ﺎﻨﻣاَ نﻮﻟﻮﻘﯾ‬... adalah huruf
Isti’naf (permulaan). Sehingga, orang-orang berpengetahuan mendalam pun
tidak mampu mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat itu, namun cukup
dengan menyerahkan maknanya kepada Allah SWT. Dengan dasar ini,
madzhab salaf disebut juga Madzhab Mufawwidlah atau Tafwidl yang
kebanyakan merupakan golongan sahabat, tabiin, tabi al-tabiin serta generasi
14
setelah mereka. Alasan pendapat ini didasari oleh:
1) Riwayat al-Hakim dalam kitab al-mustadrak yang bersumber dari Ibnu
Abbas dan dinukil oleh Manna al-Qaththan dalam al-Mabahits nya,
bahwa Ibnu Abbas membaca ayat tersebut demikian:
‫ﮫﺑﺎﻨﻣا ﻢﻠﻌﻟا ﻰﻓ نﻮﺨﺳاﺮﻟا "لﻮﻘﯾ"و ﷲﻻا ﮫﻠﯾوﺄﺗ ﻢﻠﻌﯾ ﺎﻣو‬
2) Ayat tersebut mencela orang-orang yang “mengikuti” ayat-ayat
mutasyabihat dan menyatakan bahwa mereka cenderung sesat dan
mencari fitnah. Sebaliknya, dalam ayat yang sama justru memuji orang-
15
orang yang menyerahkan pengetahuan tersebut kepada Allah. Menurut
Ibnu al-Shalih, sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthy didalam al-Itqan,
para pendahulu, pemuka umat, imam ahli fiqih dan imam ahli hadits juga
menggunakan cara ini, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang
mengelak dari kenyataan yang terdapat pada ayat tersebut.

13
Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran, (Beirut: Dar al-ilmi li al-Milayin, 1972), hlm. 283.
14
Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran........................., hlm. 284.
15
Jalaludin al-Suyuthy, al-Itqan fi Ulum al-Quran, (Beirut: Syirkah Maktabah al-Babi al-Halabi,
1951), hlm 2-3.
3) Riwayat Zubair Ibn Abi Abdir Rahman, mengenai maksud ayat:
‫۝ىﻮﺘﺳٱ شﺮﻌﻟٱ ﻰﻠﻋ ﻦﻤﺣﺮﻟٱ‬
“(yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arsy”. (QS.
Thaha: 5)

Kemudian ia berkata:
‫ﻏ ﻒﯿﻜﻟاو لﻮﮭﺠﻣ ﺮﯿﻏ نﺎﻤﯾﻻا‬o‫ﺎﻨﯿﻠﻋو ﻦﯿﺒﻟا غﻼﺒﻟا لﻮﺳﺮﻟا ﻰﻠﻋو ﺔﻟﺎﺳﺮﻟا ﻦﻣ ﻮھو لﻮﻘﻌﻣ ﺮﯿ‬
‫قﺪﺼﺘﻟا‬

“Mengimani hal itu tidak diragukan lagi, tetapi cara (bersemayam-Nya)


itu tidak dapat dinalar dan hal itu termasuk tugas risalah rasul, dan
kewajiban seorang rasul untuk menyampaikannya sedangkan kita wajib
mempercayainya”
4) Pendapat Imam Malik mengenai makna istiwa’ yang terdapat pada surah
thaha: 5, ia menjawab:
‫ مﻮﻠﻌﻣ ءاﻮﺘﺳﻻا‬o‫ﻰﻨﻋ هﻮﺟﺮﺧاءﻮﺳ ﻞﺟر ﻚﻨظاو ﺔﻋﺪﺑ ﮫﻨﻋ الﺆﺴﻟاو لﻮﮭﺠﻣ ﻒﯿﻜﻟاو‬
“Makna lafal istiwa’ dapat dimengerti, mengenai caranya tidak dapat
diketahui, mempertanyakan masalah itu adalah bid’ah (mengada-ada),
saya duga engkau ini bermaksud buruk. Singkirkanlah orang ini dari
16
majelisku”

Maksudnya, makna tersurat dari kata ‫ ىﻮﺘﺳا‬dalam ayat tersebut jelas


diketahui oleh orang-orang pada umumnya. Namun, makna tersirat yang
sebenarnya tidaklah diketahui. Sebab pengertian yang dipahami orang-
orang pada umumnya merupakan tasybih secara antropomorphism
(penyerupaan dengan sesuatu secara jasmaniah) yang mustahil bagi Allah,
dan mempertanyakan hal itu untuk mengetahui maksud yang sebenarnya
17
berdasarkan syariah adalah bid’ah.

16
Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran........................., hlm. 284, lihat juga Jalaludin al-
Suyuthy, al-Itqan fi Ulum al-Quran........., hlm 6.
17
Ramli Abdul Wahid, Ulum al-Quran.........., hlm 192.
5) Atsar yang berasal dari Umm al-Mukminin Aisyah RA:
‫ﷺ ﷲ لﻮﺳر‬: ‫ﺖﻟﺎﻗ "ﺐﺑﻸﻟااﻮﻟوا ﻻا ﺮﻛﺬﯾ ﺎﻣو" – ﮫﻟﻮﻗ ﻰﻟا ﺐﺘﻜﻟٱ ﻚﯿﻠﻋ لﺰﻧأ ىﺬﻟٱ ﻮھ‬: ‫لﺎﻗ‬
‫ﷺ ﷲ لﻮﺳر‬: ‫ﯾ ﻦﯾﺬﻟا ﺖﯾأر اذﺎﻓ‬o‫ﻼﺗ ﻢھرﺬﺧﺎﻓ ﷲ ﻰﻤﺳ ﻦﯾﺬﻟا ﻚﺌﻟوﺄﻓ ﮫﻨﻣ ﮫﺑﺎﺸﺗﺎﻣ نﻮﻌﺒﺘ‬
“Rasulullah SAW pernah membaca ayat “Dialah yang tealah
menurunkan al-kitab kepada-Mu –sampai kepada- dan tidak dapat
mengambil pelajaran daripadanya melainkan “orang-orang yang
berakal”. Umm al-Mukminin Aisyah berkata: Rasulullah SAW bersabda:
Jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat,
maka mereka itulah orang-orang yang dimaksud oleh Allah dalam ayat
18
tersebut, dan berhati-hatilah terhadap mereka”
6) Bersandar kepada hadits riwayat Ibnu Mardawaih:
‫ لﺎﻗ ﷺ ﷲ لﻮﺳر ﻦﻋ هﺪﺟ ﻦﻋ ﮫﯿﺑا ﻦﻋ ﺐﯿﻌﺷ ﻦﺑوﺮﻤﻋ ﻦﻋ‬: ‫ﮫﻀﻌﺑ بﺬﻜﯿﻟ لﺰﻨﯾ ﻢﻟ ناﺮﻘﻟا نا‬
‫ﮫﺑاﻮﻨﻣﺎﻓ ﮫﻨﻣ ﮫﺑﺎﺸﺗﺎﻣو ﮫﺑاﻮﻠﻤﻋﺎﻓ ﮫﻨﻣ ﻢﺘﻓﺮﻋ ﺎﻤﻓ ﺎﻀﻌﺑ‬
“Dari Amr Ibnu Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Rasulullah
SAW. Ia bersabda: Sesungguhnya al-Quran tidak diturunkan agar
sebagiannya mendustakan sebagian yang lain, apa saja yang kalian
ketahui daripadanya maka amalkanlah dan apa yang mutasyabih maka
19
hendaklah kalian meyakininya.”

Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat,


para ulama madzhab salaf bersikap hati-hati terhadap kesalahan yang
mungkin terjadi.
Berbeda dengan madzhab ulama khalaf yang berpendapat, bahwa waqaf
dalam ayat Ali Imran: 7 pada lafal ‫ ﻢﻠﻌﻟٱ ﻰﻓ نﻮﺨﺳﺮﻟٱو‬. Jadi selain Allah, orang-
orang yang berilmu mendalam juga dapat mengetahui takwilnya. Adapun
huruf ‫( و‬wawu) pada ayat tersebut berkedudukan sebagai huruf athat, oleh
karena itu ‫ نﻮﺨﺳﺮﻟٱ‬diathafkan kepada lafal ‫ ﷲ‬pada kaliamat sebelumnya (Abu
Hasan Al-Asy’ari). Pendapat ini diperjelas lagi oleh Abu Ishaq Al-Shirazi
yang mengatakan “Bahwa pengetahuan Allah mengenai takwil ayat-ayat
mutasyabihat itu, juga dilimpahkan-Nya kepada para ulama yang berilmu
mendalam. Karena, apabila mereka dianggap tidak mengetahui maknanya

18
Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran........................., hlm. 6.
19
Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, j. 11(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), hlm. 9.
berarti mereka dianggap tidak mengetahui maknanya berarti mereka sama
20
dengan orang awam”.
Mujahid dan sahabat-sahabatnya cenderung kepada pendapat ini, termasuk
al-Nawawi yang berpendapat bahwa “pendapat ini lebih layak diterima, sebab
tidak mungkin Allah akan mengkhitab hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak
ada jalan untuk mengetahuinya”. Madzhab khalaf berpendapat, bahwa hal
yang seharusnya dilakukan dalam memahami ayat mutasyabihat yakni
dengan memalingkan lafal yang menyebabkan kebingungan bagi umat
manusia, sehingga tidak dibiarkan “terlantar” tidak bermakna. Selama ayat-
ayat tersebut memungkinkan untuk ditakwilkan dengan makna yang benar
dan rasional, maka bagi orang-orang berilmu mendalam tidak ada halangan
21
untuk menakwilkan ayat tersebut. Karena tidak ada satupun ayat di dalam
22
al-Quran yang tidak mungkin tidak diketahui maksudnya.
Berdasarkan QS. Ali-Imran: 7, Ibnu Abbas berpendapat atas berdasarkan
riwayat Ibn Al-Munzir yang mengatakan:
‫ﻢﻠﻌﻟٱ ﻰﻓ نﻮﺨﺳﺮﻟٱو‬. ‫لﺎﻗ‬: ‫وﺄﺗ ﻢﻠﻌﯾ ﻦﻤﻣ ﺎﻧا‬o‫ٱ ﻻإ ۥﮫﻠﯾوﺄﺗ ﻢﻠﻌﯾ ﺎﻣو ﮫﻠﯾ‬......

“Dan tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang
yang mendalam ilmunya, kemudian ia (Ibnu Abbas) berkata: Saya adalah
23
diantara orang yang mengetahui takwilnya”.

Madzhab khalaf ini mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat itu dalam


rangka memudahkan pemahaman secara baik dan benar, khususnya bagi
masyarakat awam. Berkaitan dengan ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah,
madzhab ini tidak mengartikan secara harfiah apaadanya. Namun, berusaha
agar memaknai atau mentakwilkan kata-kata dalam ayat tersebut sesuai
dengan kelayakan bagi Allah”.

20
Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran........................., hlm. 281.
21
Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran........................., hlm. 281.
22
Muhammad ‘Abd ‘Azhim alpZarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Quran, j. 11(t.tp:al-Babi al-
Halabi, t.th), hlm. 270.
23
Muhammad Husein al-Thabathabai, Menyingkap rahasia al-Quran, terj. A. Malik Madani &
Hamim Ilyas, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 46-47.
Misalnya seperti kata ‫( هﺪﺒﻋ قﻮﻓ‬di atas hamba-Nya) diartikan sebagai Maha
Tinggi, bukan berada di suatu tempat. ‫ ﮫﺟو‬o‫( ﻚﺑر‬wajah Tuhanmu) diartikan
sebagai dzat Allah, dan sebagainya.
Sehubung dengan itu mereka mengatakan:
‫ﺎﮭﻣزﻻ ﺮﯿﺴﻔﺗ ﷲ ﻰﻠﻋ ﺎﮭﺘﻘﯿﻘﺣ ﻞﯿﺤﺘﺴﯾ ﺔﻔﺻ ﻞﻛ‬
“Setiap sifat yang makna hakikatnya mustahil bagi Allah ditafsirkan
24
(ditakwilkan) dengan kelazimann-Nya”.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa apa yang dikemukakan Allah


berkaitan dengan sifat-sifat-Nya yang tampak secara lahiriah menggunakan
sifat-sifat yang ada pada manusia, dengan tujuan untuk memudahkan manusia
dalam memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Selain itu, ada pula madzhab yang menengahi keduanya, yakni madzhab
yang dipelopori oleh al-Raghib al-Ashfahaniy. Ia membagi ayat-ayat
mutasyabihat menjadi tiga, yakni:
a) Ayat-ayat yang sama sekali tidak diketahui hakikat maknanya kecuali
oleh Allah.
Misal: Saat tibanya hari kiamat, makna dari kata ‫ ضرﻻا ﻦﻣ ﺔﺑاد‬, dan
sebagainya.
b) Ayat-ayat mutasyabih yang dapat diketahui maknanya oleh manusia
melalui berbagai sarana.
Misal: Lafal-lafal asing dan hukum-hukum yang tertutup.
c) Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya dapat diketahui maknanya oleh
orang-orang yang memiliki ilmu mendalam, seperti yang diisyaratkan
oleh Rasulullah, yakni Ibnu Abbas.
“Yaa Allah berikanlah ilmu yang mendalam mengenai ilmu agama, dan
25
limpahkanlah pengetahuan tentang takwil kepadanya”.
Madzhab ini menegaskan bahwa dzat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya
hanya Allah yang mengetahuinya.

24
Ramli Abdul Wahid, Ulum al-Quran.........., hlm 88-89.
25
Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran........................., hlm. 282-283.
E. Hikmah Ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Hikmah ayat-ayat muhkamat, yaitu :
 Menjadikan kemudahan bagi manusia untuk mengetahui arti dan
maksudnya pada ayat-ayat muhkamat
 Mendorong umat Islam untuk segera mengamalkan isi kandungan al-
Qur’an, karena lafadz ayat-ayat-Nya telah mudah diktahui dan dipahami.
 Menjadi rahmat bagi manusia khususnya orang yang lemah dalam
26
berbahasa arab.

Hikmah ayat-ayat mutasyabihat, yaitu:


 Menunjukan kemukjizatan al-Qur’an dan ketinggian satra serta
balaghagnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa al-Qur’an
merupakan wahyu ilahi.
 Ujian pada umat manusia, apakah dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat
manusia masih tetap beriman atau tidak.
 Menambah pahala bagi yang benar benar mengkajinya, sebab semakin
sulit pekerjaan, semakin pula besar pahalanya.
 Memperlihatkan kelemahan akal manusia agar manusia tidak sombong.
 Mendorong umat Islam untuk giat belajar dan tekun, meneliti serta
27
bertindak menalar.

26
Muhammad Gufron, Rahmawati, ULUMUL QURAN (Praktis dan Mudah), (Yogyakarta: Teras,
2013), hlm. 82.
27
Muhammad Gufron, Rahmawati, ULUMUL QURAN (Praktis dan Mudah).............., hlm. 82.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Muhkam dapat berarti sesuatu yang dikukuhkan, jelas, fasih, dan bermaksud
membedakan antara informasi yang hak dan yang bathil, serta memisahkan urusan
yang lurus dari yang sesat. Adapun mutasyabih secara etimologis berarti
tasyabuh, yakni apabila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain.
Muhkam terdiri dari Muhkam li dzatihi dan Muhkam li ghairihi. Sedangkan
Mutasyabih, terdiri dari Mutasyabih ayat yang terdapat dalam lafadz huruf dan
Mutasyabih yang terdapat dalam mafhum ayat.
Sebab sebab terjadinya tasyabuh dalam al-qur’an menurut hasil pengamatan
dan penelitian para ulama yaitu disebabkan oleh kebersembunyian maksud Allah
dari kalam-Nya itu. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa ketersembunyian itu dapat
saja kembai kepada kesamaran lafal, kesamaran makna, dan kesamaran pada lafal
dan makna sekaligus.
Banyak terjadi pro dan kontra diantara para ulama’ mengenai ayat-ayat
mutasyabihat yang berasal dari cara memahami firman Allah SWT, sehingga
terbagi menjadi tiga golongan pendapat, yakni:
1. Madzhab Ulama’ Salaf mengatakan bahwa ayat mutasyabih itu tidak dapat
diketahui takwilnya oleh siapapun kecuali Allah sendiri, serta diwajibkan atas
setiap orang agar tidak mencari takwilnya dan menyerahkan sepenuhnya
kepada Allah SWT. orang-orang berilmu mendalam hanya berkata: “Kami
mengimaninya, semuanya datang dari Tuhan kami”.
2. Madzhab ulama khalaf yang berpendapat, bahwa pengetahuan Allah mengenai
takwil ayat-ayat mutasyabihat itu, juga dilimpahkan-Nya kepada para ulama
yang berilmu mendalam. Karena, apabila mereka dianggap tidak mengetahui
maknanya berarti mereka dianggap tidak mengetahui maknanya berarti mereka
sama dengan orang awam”.
3. madzhab yang dipelopori oleh al-Raghib al-Ashfahaniy yang membagi ayat-
ayat mutasyabihat menjadi tiga, yakni:
a) Ayat-ayat yang sama sekali tidak diketahui hakikat maknanya kecuali oleh
Allah.
b) Ayat-ayat mutasyabih yang dapat diketahui maknanya oleh manusia melalui
berbagai sarana.
c) Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya dapat diketahui maknanya oleh orang-
orang yang memiliki ilmu mendalam

Adapun hikmah ayat-ayat muhkamat, yaitu :


 Menjadikan kemudahan bagi manusia untuk mengetahui arti dan
maksudnya pada ayat-ayat muhkamat
 Mendorong umat Islam untuk segera mengamalkan isi kandungan al-
Qur’an, karena lafadz ayat-ayat-Nya telah mudah diktahui dan dipahami.
 Menjadi rahmat bagi manusia khususnya orang yang lemah dalam
28
berbahasa arab.

Hikmah ayat-ayat mutasyabihat, yaitu:


 Menunjukan kemukjizatan al-Qur’an dan ketinggian satra serta
balaghagnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa al-Qur’an
merupakan wahyu ilahi.
 Ujian pada umat manusia, apakah dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat
manusia masih tetap beriman atau tidak.
 Menambah pahala bagi yang benar benar mengkajinya, sebab semakin
sulit pekerjaan, semakin pula besar pahalanya.
 Memperlihatkan kelemahan akal manusia agar manusia tidak sombong.
 Mendorong umat Islam untuk giat belajar dan tekun, meneliti serta
29
bertindak menalar.

28
Muhammad Gufron, Rahmawati, ULUMUL QURAN (Praktis dan Mudah), (Yogyakarta: Teras,
2013), hlm. 82.
29
Muhammad Gufron, Rahmawati, ULUMUL QURAN (Praktis dan Mudah).............., hlm. 82.
DAFTAR PUSTAKA

Usman. 2009. ULUMUL QUR`AN. Yogyakarta: TERAS.


Abdullah, Mawardi. ULUMUL QUR`AN. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 2010. ILMU-ILMU AL-QUR`AN (Ulum al-
Qur`an). Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA.

Anda mungkin juga menyukai