Anda di halaman 1dari 80

MAKALAH

ETNOGRAFI

Disusun Oleh:
KURNIA 17.011.109

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI (STIA) BANDUNG


PROGRAM STUDI
ILMU ANTROPOLOGI
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum.Wr.Wb

Segala puji hanya untuk Allah SWT, Tuhan semesta alam, shalawat dan salam kami
limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai suritauladan sempurna untuk seluruh umat
dalam menempuh kebahagiaan dunia dan akhirat.

Selanjutnya kami ucapkan terima kasih kepada Dosen pengajar mata kuliah Ilmu
Antropologi, yang telah mencurahkan waktunya untuk membimbing kami, serta semua pihak
yang telah memberi arahan sehingga tim penulis mampu menyelesaikan tugas kelompok
makalah dengan judul “ Kampung Dukuh” teriring do’a jazakumullohu khoiron katsiiro.

Tim Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan ini, oleh karena itu
saya mengharap saran dan kritik yang membangun untuk menjadi lebih baik. Akhirnya semoga
makalah ini bermanfaat untuk kita semua.

Amin Ya Robbal ’Alamin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bandung Barat, 17 November 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................................i

DAFTAR ISI .........................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...............................................................................................................................1


B. Rumusan Masalah .........................................................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Kampung Dukuh ...............................................................................................................3


B. Geografis Wilayah Kampung Dukuh..............................................................................................5
C. Adat Istiadat dan Kebudayaan Kampung Dukuh...........................................................................8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara besar yang membentang dari Sabang sampai Merauke yang memiliki
beribu-ribu pulau, keanekaragam kekayaan, menjadikan masyarakat Indonesia yang hidup di berbagai
pulau itu mempunyai ciri dan coraknya masing-masing perbedaan ciri dan corak ini tidak hanya terjadi
antarpulau juga antardaerah. Di Indonesia ada kurang lebih 60 tempat kampung adat, di Jawa Barat
sendiri terdapat Kampung Naga, Baduy, Ciptagelar, Pulo, Dukuh dll.

Dalam makalah ini, penulis akan membahasa salah satu kampung adat di Jawa Barat yaitu,
Kampung Dukuh. Kampung Dukuh sangat unik, dan masih memegang budaya lokal yg sangat kental.
Seperti di kampung-kampung adat lain, masyarakat di Kampung Dukuh sangat teguh memegang adat
dan tradisi leluhurnya. Di kampung ini, penghuninya hidup jauh dari kemewahan dan menerapkan pola
hidup sederhana seperti diwariskan oleh leluhurnya dari generasi ke generasi. Oleh karena tidak di
sangsikan lagi, jika di kampung ini tidak ditemukan jaringan listrik dan alat-alat elektronik seperti radio
dan televisi.

Kampung Dukuh merupakan sebuah desa dengan suasana alam dan tradisi yang begitu khas.
Masyarakat Kampung Dukuh mempunyai pandangan hidup yang berdasarkan Mazhab Imam Syafii.
Landasan budaya tersebut berpengaruh pada bentukan fisik desa tersebut serta adat istiadat masyarakat
setempat. Penjelasan lebih lanjut mengenai Kampung Dukuh akan dijelaskan dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka dapat dibuat perumusan masalah sebagai
berikut:

Bagaimana Sejarah Kampung Dukuh


Seperti apa geografis wilayah Kampung Dukuh?

Seperti apa Adat Istiadat dan Kebudayaan Kampung Dukuh?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan diatas, tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:

Mengetahui bagaimana Sejarah Kampung Dukuh

Mengetahui seperti apa geografis wilayah Kampung Dukuh

Mengetahui seperti apa Adat Istiadat dan Kebudayaan Kampung Dukuh


BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Kampung Dukuh

Dalam kisah tradisi yang dipercayai masyarakat setempat bahwa yang berjasa sebagai pendiri
Kampung Dukuh adalah Syekh Abdul Jalil. Menurut cerita pada abad ke-17, Rangga Gempol II yang saat
itu menjadi Bupati Sumedang yang berada di bawah kekuasaan Mataram, menghadap penguasa
Mataram dan mohon agar menunjuk seorang hakim/penghulu/kepala agama pengganti yang telah
meninggal. Sultan mengatakan bahwa penghulu pengganti tidak usah dicari jauh-jauh karena orang
tersebut ada di pedesaan Pasundan. Rangga Gempol II kemudian mencari orang yang dimaksud dan
akhirnya bertemu dengan Syekh Abdul Jalil, pemimpin sebuah pesantren yang mempunyai murid-
murid cukup banyak.

Syekh Abdul Jalil bersedia menjadi hakim/penghulu/kepala agama dengan syarat ”entong ngarempak
syara” yang artinya jangan melanggar syara (hukum/ajaran Islam) seperti membunuh, merampok,
mencuri, perzinahan dan sebagianya, dan apabila syarat tersebut tidak diindahkan, maka jabatan
sebagai penghulu akan segera diletakkan. Dua belas tahun sejak pengangkatan menjadi penghulu dan
selama itu aturan-aturan agama tidak ada yang melanggar. Akan tetapi ketika Syekh Abdul Jalil
berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, Sumedang kedatangan utusan Banten yang
meminta agar Sumedang tidak tunduk dan memberi upeti ke Mataram, tetapi tunduk ke Banten dan
bersama-sama memerangi Mataram. Rangga Gempol II marah dan utusan Banten Jagasatru malah
dibunuh atas perintahnya, mayat itu dibuang ke hutan agar tidak diketahui oleh Banten dan Syekh
Abdul Jalil.

Walau bagaimanapun kuatnya menutupi rahasia, akhirnya peristiwa pembunuhan itu diketahui Syekh
Abdul Jalil sekembali dari Mekah, dari informasi temannya Ki Suta. Kemudian Ia langsung
meletakkan jabatan sebagai penghulu Sumedang sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Walaupun
Rangga Gempol II mohon maaf dan berjanji tidak akan pernah melakukan pelanggaran syara lagi, Syekh
Abdul Jalil tetap dengan pendiriannya untuk meninggalkan jabatan itu. Sebelum meninggalkan
Sumedang, ia sempat berkata” sebentar lagi Sumedang akan diserang oleh Banten”. Ternyata
perkataanya terbukti. Pada Hari Jum’at bertepatan dengan Hari Raya idul Fitri, Sumedang diserang oleh
Banten yang dipimpin oleh Cilikwidara dan Sumedang mengalami kehancuran.

Syekh Abdul Jalil kemudian pergi ngalanglang buana (mengelilingi dunia atau berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lainnya) mencari tempat bermukim yang dirasa cocok untuk dijadikan tempat
menyebarkan ilmu dan agamanya. Di setiap tempat yang disinggahinya Ia selalu bertafakur, memohon
petnjuk Allah untuk mendapatkan tempat yang cocok dan tenang dalam beribadah dan menjalankan
atau mengajarkan agamanya. Pada tanggal 12 Maulud Bulan Alif (tidak ada keterangan yang pasti
mengenai tahun yang tepat) ketika selesai tafakur di Tonjong, Ia mendapat petunjuk di langit berupa
sinar sagede galuguran kawung atau sebesar pohon aren. Sinar tersebut bergerak menuju suatu arah
tertentu, yang kemudian diikuti oleh Syek Abdul Jalil, dan berhenti di suatu daerah di antara Sungai
Cimangke dan Cipasarangan.

Daerah tersebut ternyata telah dihuni oleh suami istri yang bernama Aki (kakek) dan Nini (nenek)
Candradiwangsa. Syeckh Abdul Jalil bermukim di tempat tersebut dan dipercayai oleh masyarakat
setempat sebagai cikal bakal Kampung Dukuh. Diperkirakan, Syekh Abdul Jalil mulai menempati
Kampung Dukuh pada tahun 1685. Menurut buku Babad Pasundan (diterbitkan 1960), penyerangan
Cilikwidara (Banten) ke Sumedang terjadi pada tahun 1678. Sedangkan pengembaraan Syekh Abdul
Jalil yang tercatat dalam buku yang disimpan kuncen memakan waktu ± 7 tahun.
5

Menurut cerita nama dukuh diambil dari bahasa Sunda yang berarti tukuh (kukuh, patuh, teguh),
dalam mempertahankan apa yang yang menjadi miliknya, atau taat dan sangat patuh menjalankan
tradisi warisan nenek moyangnya. Menurut penuturan Lukmanul Hakim, Juru Kunci (Kuncen) Kampung
Dukuh istilah dukuh berasal dari padukuhan atau dukuh = calik = duduk. Jadi padukuhan sama dengan
pacalikan atau tempat bermukim. Menurut mantan Lurah Cijambe, yaitu Uung Supriyadin, nama
Dukuh dikenal kira-kira pada tahun 1901 yaitu pada waktu berdirinya Desa Cijambe. Sebelum tahun
1901 tidak dapat keterangan apa nama kampung tersebut.

Sejak berdiri sampai sekarang, Kampung Dukuh sudah mengalami dua kali dibumihanguskan. Peristiwa
pertama pada tahun 1949 yaitu pada masa agresi Belanda yang ke-2, perkampungan dibakar sendiri
oleh penduduk karena takut jatuh ke tangan penjajah. Kedua, pada masa terjadinya pembrontakan
DI/TII dengan dalangnya Kartosuwiryo. Pembakaran dilakukan oleh pemerintah karena Kampung
Dukuh yang tanahnya subur dikhawatirkan akan dijadikan basisi oleh pasukan DI/TII. Kemudian baru-
baru ini terjadi peristiwa kebakaran pada tahun 2006 yang menyebabkan hampir semua bangunan
rumah habis terbakar. Berkat swadaya masyarakat dan bantuan pemerintah dibangun kembali
Kampung Dukuh dengan tradisi yang tetap melekat kuat dalam proses pembangunan perkampungan
tersebut.

B. Geografis Wilayah Kampung Dukuh

Luas Geografis keseluruhan Kampung Dukuh seluas 10 hektar yang tediri dari 7 hektar bagian dari
Kampung Dukuh Luar, 1 hektar bagian dari Kampung Dukuh Dalam dan sisanya merupakan lahan
kosong atau lahan produksi. Di dalam Kampung Dukuh juga terdapat area yang disebut dengan wilayah
Karomah yang merupakan tempat dimana Makam Syekh Abdul Jalil. Di dalam kawasan Kampung
Dukuh terdapat 42 rumah
6

dan bangunan Mesjid. Dengan 40 Kepala keluarga serta jumlah penduduk 172 orang untuk Kampung.

Adapun yang menjadi letak perbatasan Kampung Dukuh ini yaitu sebelah selatan berbatasan langsung
dengan kampung Cibalagung, sebelah barat berbatasan dengan kampung Baru Jaya, sebelah timur
berbatasan dengan kampung Sukadana dan sebelah utara berbatasan dengan kampung Tipar.

Jarak kampung Dukuh dari Desa Ciroyom lebih dari 1,5 km, sedangkan dari pusat kota kurang lebih 112
km. Ditempuh bisa menggunakan kendaraan pribadi atau umum bisa juga dengan kendaraan umum
sampai Cikelet dilanjutkan dengan ojeg sapai lokasi.

Adapun kendala yang dihadapi oleh masyarakat yaitu jalanan yang rusak dan tidak rata terus naik ke
atas bukit. Tetapi terbayar oelh keindahan dan kekaguamna dengan pemandangan menuju akmpung
dukuh.

Keadaan masyarakatnya sungguh sangat beraneka ragam yang terbentuk dari berbagai budaya dan
adatnya masing-masing. Mereka mempunyai karakter yang berbeda meskipun begitu mereka dapat
bersatu dalam mewujudkan kepentingan bersama di salahsatu tempat untuk berdiskusi menegnai
permasalahan- permasalahan yang terjadi.

Keadaan masyarakt disana pada umumnya bersifat kekeluaragaan, hidup rukun dan adanya interaksi
yang kuat antar sesama tetangganya. Mereka mampu menyesuaikan diri mereka dengan
perkembangan zaman yang menuntut mereka berbenah dalam segala aspek baik dalam pendidikan,
agama, teknologi, sosial, dan politik.

Keadaan tanah di Kampung Dukuh saat ini dalam keadaan subur dikarenakan mempunyai unsur hara
yang bagus dan baik untuk bercocok tanam. Hal ini telah dibuktikan dengan beberapa hasil tanaman
yang berproduksi dengan baik. Apalagi sekarang sudah memasuki musim hujan dimana saatnya petani
untuk memulai bercocok tanam baik di kebun maupun di pesawahannya masing-masing.
7

Kampung Dukuh termasuk kedalam wilayah dataran tinggi yang jauh dari perkotaan. Pemukiman
penduduk yang masih alami dan tinggal di daerah pegunungan yang masih sangat kaya dengan sumber
daya alam yang sangat baik, air yang jernih mengalir dari sumber mata air, udara yang sangat sejuk,
dan pepohonan di sekitar kampung tersebut seakan-akan menghias keindanhan kampung tersebut.

Di samping itu ada juga kebudayaan yang sudah tidak berlaku lagi di masyarakat Kampung Dukuh,
yakni: Dulu tata krama ketika akan masuk ke Kampung Dukuh tidak boleh memakai sandal dan ketika
hujan tidak boleh memakai paying tetapi untuk sekarang ini hal tersebut sudah tidak berlaku lagi.
Entah apa alasannya tetapi hal ini tidak lepas dari perkembangan zaman.

Dalam sistem adat kampung dukuh dikenal pembagian wilayah kekuasaan berdasarkan fungsi dari
wilayah tersebut. Terdapat 4 \bagian wilayah yang disebut dengann tanah tutupan, titipan, larangan
dan tanah cadangan. Berdasarkan keterangan dari kuncen, berikut ini adalah penjelasan dari masing-
masing wilayah tersebut.

1. Tanah Tutupan, merupakan wilayah hutan yang ada disebelah utara kampung
dukuh. Merupakan wilayah hutan yang ada disekitar bukit. Hutan ini ditutup darI berbagai usaha
penebangan pohon, karena hutan ini merupakan daerah sumber mata air bagi kampung dukuh.

2. Tanah Titipan, merupakan tanah yang tidak bisa jadi hak kepemilikan,

3. Tanah Cadangan, merupakan wilayah hutan yang berada di berada di sekitar


kampung dukuh yang di disiapkan untuk kebutuhan masyarakat di masa datang. Direncanakan sebagai
tempat tinggalnya generasi dukuh yang hidup diluar. Disiapkan untuk perkembangan masyarakat
dukuh generasi berikutnya. Akan tetapi saat ini daerah tersebut dikuasai oleh perhutani.

4. Tanah Larangan, merupakan wilayah kekuasaan yang dimulai dari pagar kampung
sebelah selatan hingga hutan di wilayah Utara yang diikat oleh berbagai pantangan dan tabu, terdiri
dari 3 bagian, yaitu:
8

a. Tanah Larangan Kampong, di wilayah perkampungan dukuh dalam


masyarakat tidak boleh membuat pintu rumah ke arah Utara. Selain itu tidak boleh menyelonjorkan
kaki ke arah utara juga. Hal ini karena dianggap tidak menghormati makam syekh abdul jalil yang ada di
maqam arah utara kampong.

b. Tanah Larangan Maqam, maqam berada di sebelah utara kampong,


di dalamnya terdapat maqamnya Syekh Abdul Jalil, para Habaib, para kuncen, dan masyarakat dukuh
lainnya. Tempat ini adalah titik sucinya kampong dukuh, oleh karena itu tidak sembarangan orang bisa
masuk kedalam
c. Tanah Larangan Hutan, merupakan hutan yang melingkupi wilayah
maqom, tidak boleh dirusak, karena menjadi sumber mata air disekitar maqom.

C. Adat Istiadat dan Kebudayaan Kampung Dukuh

a. Adat Istiadat kampung Dukuh

Pak Luluk bernama asli Lukman. Pria berusia 51 tahun ini

menjabat Kuncen Kampung Dukuh mewakili generasi ke-14. Jabatan kuncen dalam adat istiadat
kampung ini merupakan amanah turun temurun. Di pundak lelaki yang masih tampak muda inilah
segala hal menyangkut Kampung Dukuh dibebankan. Mulai mengurus makam leluhur Syeikh Abdul
Djalil hingga memimpin rapat-rapat warga, menjadi tugasnya.

Jabatan kuncen dalam ranah adat Kampung Dukuh berasal dari seseorang bernama Eyang Dukuh. Di
ceritakan bahwa sebagai pendiri Kampung Dukuh, Syekh Abdul Djalil mempunyai pengawal setia
bernama Eyang Hasan Husen. Hasan Husein ini tiada lain adalah putera kandung dari Syeikh Abdul
Djalil. Nah, untuk tugas-tugas sehari-hari, Eyang Dukuh kemudian diberi tugas sebagai pelaksananya.
Bahkan Syaikh
9

Abdul Djalil telah memberi amanah untuk merawat dan menjaga makamnya bila ia dan keturunannya
meninggal dunia kelak.

Eyang Dukuh ini juga mewarisi amanah untuk meneruskan nilai dan adat istiadat Kampung Dukuh. Dan
setelah Syeikh Abdul Djalil wafat, Eyang Dukuh-lah yang secara otomatis kemudian menjadi Kuncen
Kampung Dukuh. Istilah kuncen dalam masyarakat Kampung Dukuh merupakan pemimpin dan
pemegang tradisi Kampung Dukuh sebagai warisan dari ajaran Syeikh Abdul Djalil.

Adapun tugas kuncen antara lain melakukan Munjungan, yakni membawa makanan ke Bumi Alit
(rumah peninggalan Aki dan Nini Chandra). Kemudian makanan tersebut dibacakan doa supaya
mendapat berkah bagi pribadi kuncen maupun bagi peziarah dan para tamu. Dalam seminggu,
pelaksanaan munjungan dilaksanakan pada hari Sabtu ba’da Dzuhur. Hari Minggu dilaksanakan pagi,
Senin ba’da Dzuhur, Selasa dilaksanakan pagi, hari Kamis pada Sore, dan Jumat pada pagi hari.

Tugas kuncen lainnya adalah memimpin ziarah pada hari Sabtu, menjadi imam salat di masjid, serta
memimpin acara ritual hari besar Kampung Dukuh yang jatuh setiap 14 Maulid. Selain itu, juga
menurunkan ilmu kepada masyarakat kampung dan para tamu. Lalu menjaga dan merawat benda
pusaka, memberi doa pada air suci untuk kepentingan tamu dan berdoa semalam penuh sampai
menjelang subuh. Dan terakhir adalah memimpin musyawarah kampung.

Dalam keseharian, Pak Luluk menghuni rumah adat yang berukuran lebih besar dari rumah-rumah
lainnya. Mengapa lebih besar? ”Sabab di dideu mah sok dipungsikeun kangge sagalana. Mimiti
musawarah, narima tamu, nepi sagala hal. (Sebab di sini suka dipergunakan sebagai tempat
musyawarah, menerima tamu dan semua urusan),” tutur Pak Luluk kepada penulis.

Dan sebagai kuncen, terang Pak Luluk, tugasnya terbilang tidak ringan. Selain tugas-tugas yang telah
disebutkan di atas, tugas lainnya adalah menjaga keseimbangan alam dan menjadi pengawal norma-
norma
adat. Karena itulah dalam keseharian, Pak Luluk selalu mengenakan pakaian adat. ”Ieu mah tos janten
tugas abdi, kedah dilaksanakeun sesuai parentah. (Ini sudah menjadi tugas saya dan harus
dilaksanakan sesuai perintah),” ujarnya.

Pak luluk memang orang yang sangat mengesankan. Awalnya kami menyangka beliau adalah orang
yang berfikir sebatas pengetahuan tentang kampong dukuh saja. Ternyata beliau adalah pembicara
yang piawai, wawasannya sangat luas, akan tetapi beliau tidak pernah menunjukan kesombongan akan
hal itu. Beliau bisa melayani berbagai pertanyaan kami dengan berbagai perspektif dan kemungkinan.
Beliau selalu menjelaskan berbagai perkara dengan landasan pemikiran Islam.

Begitu juga ketika beliau menjelaskan alasan jarangnya orang muda di dukuh dalam. Menurut beliau,
tidak ada paksaan untuk tinggal di dukuh dalam. Dukuh dalam hanyalah tempat bagi orang-orang yang
sudah mampu menundukan nafsunya terhadap dunia. Oleh karena itu, orang-orang muda yang masih
dipenuhi oleh semangat dunia silahkan saja untuk menikmati dan mencari pengalaman di dunia luar.
Jika sudah mampu untuk mengikuti aturan, silahkan mereka bergabung di dukuh dalam.

Dari pemikiran-pemikiran yang dimunculkan pak luluk, kami tersadar bahwa orang-orang dukuh
bukanlah orang-orang yang sempit cara berfikirnya. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang
sangat bijak dalam memandang hidup. Kearifan dan kesederhanaan inilah yang membuat mereka
berbeda dengan orang-orang lainnya.

Sesuai dengan perkembangan zaman kebudayaan di masyarakat Kampung Dukuh ada yang masih
berlaku dan ada juga yang sudah tidak berlaku. Begitu banyak kebudayaan masih berlaku di
masyarakat Kampung Dukuh Garut.

Pola budaya juga berpengaruh pada aspek non fisik seperti ritual budaya, antara lain:

b. Ngahaturan tuang merupakan kegiatan yang dilakukan masyarakat Kampung


Dukuh atau pengunjung yang berasal dari luar apabila
11

memiliki keinginan-keinginan tertentu seperti kelancaran dalam usaha, perkawinan, jodoh, dengan
memberikan bahan makanan seperti garam, kelapa, telur ayam, kambing atau lainnya sesuai
kemampua

c. Nyanggakeun merupakan suatu kegiatan penyerahan sebagian hasil


pertanian kepada kuncen untuk diberkahi. Masyarakat tidak diperbolehkan memakan hasil panennya
sebelum melakukan kegiatan Nyanggakeun.

d. Tilu Waktos merupakan ritual yang dilakukan oleh kuncen yaitu dengan
membawa makanan ke dalam Bumi Alit atau Bumi Lebet untuk tawasul. Kuncen membawa sebagian
makanan ke Bumi Allit lalu berdoa. Biasa dilakukan pada hari raya 1 Syawal, 10 Rayagung, 12 Maulud,
10 Muharam.

e. Manuja adalah penyerahan bahan makanan dari hasil bumi kepada Kuncen
untuk diberkati pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha untuk maksud perayaan.

f. Moros merupakan kebiasaan untuk menyerahkan hasil-hasil bumi yang


dimiliki kepada aparat pemerintah seperti lurah dan camat.

g. Cebor Opat Puluh adalah mandi dengan empat puluh kali siraman dengan air
dari pancuran dan dicampur dengan air khusus yang telah diberi doa-doa pada jamban umum.

h. Jaroh merupakan siuatu bentuk aktivitas berziarah ke makam Syekh Abdul


Jalil. Tetapi sebelumnya harus melakukan mandi cebor opat puluh dan mengambil air wudhu serta
menanggalkan semua perhiasan serta menggunakan pakaian yang tidak bercorak

i. Shalawatan ilakukan pada hari Jumat di rumah kuncen. Shalawatan Karmilah


sejumlah 4444 yang dihitung dengan menggunakan batu.

j. Sebelasan dilakukan setiap tanggal 11 dalam perhitungan bulan Islam dengan


membaca Marekah.
12

k. Terbang Gembrung merupakan kegiatan yang dilakukan pada tanggal 12


Maulud yang dilakukan para orang tua Kampung Dukuh.

l. Terbang Sejak merupakan suatu pertunjukan pada saat perayaan seperti


khitanan dan pernikahan. Pertunjukkan terbang sejak ini merupakan pertunjukan debus.

Terdapat juga hari-hari besar Kampung Dukuh, antara lain:

1. 10 Muharam

2. 12 Maulud

3. 27 Rajab

4. 1 Syawal

5. 1 Syawal Idul Fitri

6. 10 Rayagung

Selain itu terdapat pula hari-hari penting, yaitu:

1. Hari Sabtu (Pelaksanaan Ziarah).

2. Rebo Welasan (Hari terakhir pada bulan Sapar dimana semua


sumber air yang digunakan oleh masyarakat diberi jimat sebagai penolak bala dan biasanya diwajibkan
mandi).

3. 14 Maulud (Pada hari ini dipercaya adalah hari yang paling baik
untuk menguji dan mencari ilmu kepada para guru dengan melakukan cebor opat puluh).

4. 30 Bewah (menyiapkan puasa di bulan Ramadhan).


b. Sistem Organisasi Sosial Masyarakat Kampung Dukuh Masyarakat Kampung
Dukuh memiliki sistem kemasyarakatan

yang sudah tertata dengan baik dan berjalan sejak ratusan tahun yang lalu. Hal ini terbukti dengan
berjalannya sistem organisasi sosial yang ada di masyarakat Kampung Dukuh dan tidak pernah berubah
dari masa ke masa dan masih berjalan sampai saat ini dan akan datang. Sistem organisasi
13

sosial yang mereka gunakan menganut sistem kokolotan yang berasaskan pada ajaran islam selain
berpola budaya berlandaskan religi yang sangat kuat, juga berpandangan hidup berlandas pada
sufisme dengan berpedoman pada Mazhab Imam Syafii.

Sistem kokolotan dimaksud adalah suatu sistem organisasi sosial yang menghargai dan menghormati
para kasepuhan atau kokolot dan karuhun atau nenekmoyang mereka menitipkan atau
mengamanatkan kepada anak cucunya di Kampung Dukuh agar tetap menjalankan ajaran yang telah
diwariskan kepadanya.

Untuk menjalankan roda organisasi kemasyarakatan tersebut mereka berpedoman pada ajaran agama
islam dengan madzhab Imam Syafi’i. Sehingga landasan budaya tersebut, berpengaruh pada bentukan
fisik pedesaan dan adat istiadat masyarakatnya, yang sangat menjunjung keharmonisan serta
keselarasan hidup bermasyarakat.

Masyarakatnya homogen dan hidup terpencil dari keramaian kota dan perkampungan lain. Menurut
tradisi yang hidup sampai sekarang, masyarakat adat Kampung Dukuh sangat mematuhi kasauran
karuhun (nasehat leluhur). Nasehat ini menganjurkan hidup sederhana, sopan santun, tidak berlebihan
dan tidak mengejar kesenangan duniawi, serta tetap memegang prinsip kebersamaan. Selain itu, ada
adat tabu (larangan) yang tetap dipegang sehingga pola kampung dan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari
tetap terjaga. Kemudian peranan kuncen sebagai pemimpin non formal dianggap sebagai pelindung
adat istiadat yang kewibawaannya sangat berpengaruh.

c. Sistem Mata Pencaharian

Mata pencaharian utama adalah bertani, beternak ayam, bebek,


kambing, domba, kerbau, memelihara ikan dan usaha penggilingan padi. Salah satu mata pencaharian
utama masyarakat kampung dukuh adalah bertani. Model pertanian yang biasa di lakukan yaitu model
pertanian lahan basah (sawah) dan pertanian lahan kering (huma atau berladang).
14

Masyarakat kampung dukuh dalam bertani pada lahan basah (sawah) biasanya menggunakan lahan
yang terletak pada pinggir-pinggir sungai, dan lahan yang dapat digunakan untuk cara bertani ini cukup
sedikit. Membuat rumah dari kayu. Hal ini bisa dilakukan oleh masyarakat kampung dukuh sebelum
masuknya jawatan kehutanan atau perhutani. Dimana setelah masuk perhutani ke wilayah Kampung
Dukuh mereka tidak mempunyai hak ulayat mereka.

Berbagai kekayaan alam hayati yang dimiliki oleh Kampung Dukuh ini, memang sudah menjadi
kebutuhan dan merupakan investasi bagi perekonomian masyarakat sebagai salah satu loncatan untuk
mengembangkan kesejahtraan masyarakat dalam menyeimbangkan perekonimian dengan daerah
lainnya di Kabupaten Garut. Salah satu yang menjadi investasi Kampung Dukuh ini yaitu keadaan alam
hayati yang dimanfaatkan sebagai lahan untuk bercocok tanam dengan menanam berbagai jenis
tumbuhan seperti yang tampak terlihat di sepanjang jalan yang dipenuhi dengan tanaman pangan
seperti pesawahan dan perkebunan. Adapun tanaman yang ditanam di lahan pesawahan yaitu padi
yang berada di dekat Kampung Dukuh maupun yang jauh dari perkampungan tersebut tetapi mayoritas
masyarakat tersebut menggarap pesawahan yang lahan garapannya tersebar di daerah tersebut. Pada
lahan perkebunan seperti tanaman palawija berbagai jenis antara lain tanaman cabe rawit, kacang-
kacangan, jagung, terong, dan berbagai jenis sayur-sayuran lainnya dan biasanya mereka dapat bertani
seperti itu ketika musim hujan tiba. Selain itu juga karena kampung ini terletak di daerah pegunungan
masyarakat juga banyak yang menananm tumbuhan kuat yaitu seperti berbagai macam jenis kayu,
bambu, pohon cengkeh, kelapa, buah-buhan dan banyak lagi yang lainnya. Warga Kampung Dukuh
bukan hanya mengelola tumbuhan saja ternyata setelah saya masuk ke dalamnya berbagai aktivitas
mereka lakukan. Ada diantaranya yang memelihara binatang ternak untuk dilestarikan seperti domba,
ekrbau, ikan, ayam, dan itik.
15

Sistem perkawinan

Sistem perkawinan masyarakat Kampung Dukuh menganut sistem

perkawinan bebas yang sesuai dengan ajaran islam. Aturan di kampung dukuh memperbolehkan
masyarakatnya untuk menikah dengan siapa aja yang dicintainya asalkan tidak bertentangan dengan
ajaran islam. Warga Kampung dukuh bisa menikah dengan warga di luar kampung dukuh begitu juga
sebaliknya.

Larangan (Pantrangan) yang derlaku di Kampung Dukuh Hukum merupakan suatu bentuk aturan
tertentu yang harus

dilaksanakan, apabila dilanggar akan mendapat sangsi baik langsung maupun tidak langsung hukum
mengatur segi kehidupan satu komunitas tertentu demikian begitupun dengan masyarakat kampung
Dukuh pola kehidupan mereka diatur oleh hukum yang mengikat yang menimbulkan karakter
masyarakat yang memegang teguh adat.

Sesuai dengan pola pikir masyarakat Indonesia yang salah satunya adalah Relegio Magis yang di
dalamnya terdapat pantangan. Begitu juga di masyarakat Kampung Dukuh yang memiliki banyak
pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakatnya, diantaranya:

1. Tidak makan dengan tangan kanan dan kiri seperti halnya orang-orang kaya
pada zaman sekarang;

2. Tidak Boleh jadi PNS menjadi pegawai negeri atau PNS. Konon, Syekh Abdul
Jalil kecewa karena dibohongi atasannya (Bupati Rangga Gempol) yang dianggapnya sebagai
ambtenaar (pegawai negeri) sehingga sejak itu ia bersumpah keturunannya tidak akan ada yang boleh
menjadi pegawai negeri. Itu sebabnya pula, Syekh Abdul Jalil melarang orang berdagang karena
menurutnya berdagang dekat dengan kebohongan dan selalu mencari keuntungan.

3. Tidak boleh makan sambil berdiri apalgi sambil berjalan;


4. Diam atau duduk di pintu.
16

5. Kaki tidak boleh membujur ke utara karena terdapat makam keramat ”Syeh
Abdul Jalil” yang merupakan pendiri Kampung Dukuh;

6. Kencing dan buang hajat harus menghadap ke barat

7. Rumah-rumah tidak boleh mengahadap ke utara;

8. Tidak diperkenankan pula adanya prasarana listrik dan pemasangan televisi


serta radio, yang mereka yakini selain mendatangkan manfaat yang banyak, juga bisa mendatangkan
banyak kemudaratan.

9. Ketika ziarah ke makam Syeh Abdul Jalil harus memakai baju khusus yang
telah disediakan yang berbentuk ”gamis” dengan warna putih polos;

10. Terhadap wali yang meninggal tidak boleh menyebut ”maot” tetapi ”ngalih
tempat”;

Selain hal tabu tersebut, masyarakat juga harus memenuhi aturan dalam melakukan upacara di makam
karomah yaitu ziarah ke makam karomah hanya dilakukan setiap hari Sabtu. Ketika memasuki areal
makam laki-laki harus berpakaian sarung, baju takwa, dan totopong (ikat kepala), sedangkan
perempuan harus mengenakan samping/sinjang (kain), kebaya, dan kerudung, dan dilarang
mengenakan pakaian dalam, perhiasan, dan sandal/sepatu

Selain itu, tidak boleh memakai pakaian bermotif (seperti batik), bordiran, kaus, atau kemeja. Selama
berada di makam, tidak boleh merokok, meludah, dan kencing; harus selalu memiliki wudu, tidak boleh
membunuh binatang dan merusak pepohonan yang ada di areal makam. Ada yang dilarang masuk ke
areal makam yaitu: pegawai negeri, orang yang berpacaran, dan wanita yang sedang haid.

Masyarakat Kampung Dukuh juga sangat menjaga lingkungan hidupnya. Mata air yang terletak di lokasi
karomah dipelihara kebersihannya dalam rangkaian upacara jaroh (ziarah) setiap hari Sabtu.
17

Penduduk tidak pernah kekurangan air meskipun musim kemarau. Mata air juga terdapat di leuweung
(hutan) larangan.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Dalam kisah tradisi yang dipercayai masyarakat setempat bahwa yang berjasa sebagai pendiri
Kampung Dukuh adalah Syekh Abdul Jalil. Menurut cerita pada abad ke-17, Rangga Gempol II yang
saat itu menjadi Bupati Sumedang yang berada di bawah kekuasaan Mataram, menghadap
penguasa Mataram dan mohon agar menunjuk seorang hakim/penghulu/kepala agama pengganti
yang telah meninggal. Sultan mengatakan bahwa penghulu pengganti tidak usah dicari jauh-jauh
karena orang tersebut ada di pedesaan Pasundan. Rangga Gempol II kemudian mencari orang yang
dimaksud dan akhirnya bertemu dengan Syekh Abdul Jalil

Luas Geografis keseluruhan Kampung Dukuh seluas 10 hektar yang tediri dari 7 hektar bagian dari
Kampung Dukuh Luar, 1 hektar bagian dari Kampung Dukuh Dalam dan sisanya merupakan lahan
kosong atau lahan produksi. Di dalam Kampung Dukuh juga terdapat area yang disebut dengan
wilayah Karomah yang merupakan tempat dimana Makam Syekh Abdul Jalil. Di dalam kawasan
Kampung Dukuh terdapat 42 rumah dan bangunan Mesjid. Dengan 40 Kepala keluarga serta jumlah
penduduk 172 orang untuk Kampung.

Masyarakat Kampung Dukuh memiliki sistem kemasyarakatan yang sudah tertata dengan baik dan
berjalan sejak ratusan tahun yang lalu. Hal ini terbukti dengan berjalannya sistem organisasi sosial
yang ada di masyarakat Kampung Dukuh dan tidak pernah berubah dari masa ke masa dan masih
berjalan sampai saat ini dan akan datang. Sistem organisasi sosial yang mereka gunakan menganut
sistem kokolotan yang berasaskan pada ajaran islam selain berpola budaya berlandaskan religi yang
sangat kuat, juga berpandangan hidup berlandas pada sufisme dengan berpedman pada Mazhab
Imam Syafii
18
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Kampung Dukuh

Dalam kisah tradisi yang dipercayai masyarakat setempat bahwa yang berjasa sebagai pendiri
Kampung Dukuh adalah Syekh Abdul Jalil. Menurut cerita pada abad ke-17, Rangga Gempol II
yang saat itu menjadi Bupati Sumedang yang berada di bawah kekuasaan Mataram, menghadap
penguasa Mataram dan mohon agar menunjuk seorang hakim/penghulu/kepala agama
pengganti yang telah meninggal. Sultan mengatakan bahwa penghulu pengganti tidak usah
dicari jauh-jauh karena orang tersebut ada di pedesaan Pasundan. Rangga Gempol II kemudian
mencari orang yang dimaksud dan akhirnya bertemu dengan Syekh Abdul Jalil, pemimpin
sebuah pesantren yang mempunyai murid-murid cukup banyak.

Syekh Abdul Jalil bersedia menjadi hakim/penghulu/kepala agama dengan syarat ”entong
ngarempak syara” yang artinya jangan melanggar syara (hukum/ajaran Islam) seperti
membunuh, merampok, mencuri, perzinahan dan sebagianya, dan apabila syarat tersebut tidak
diindahkan, maka jabatan sebagai penghulu akan segera diletakkan. Dua belas tahun sejak
pengangkatan menjadi penghulu dan selama itu aturan-aturan agama tidak ada yang melanggar.
Akan tetapi ketika Syekh Abdul Jalil berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji,
Sumedang kedatangan utusan Banten yang meminta agar Sumedang tidak tunduk dan memberi
upeti ke Mataram, tetapi tunduk ke Banten dan bersama-sama memerangi Mataram. Rangga
Gempol II marah dan utusan Banten Jagasatru malah dibunuh atas perintahnya, mayat itu
dibuang ke hutan agar tidak diketahui oleh Banten dan Syekh Abdul Jalil.

Walau bagaimanapun kuatnya menutupi rahasia, akhirnya peristiwa pembunuhan itu diketahui
Syekh Abdul Jalil sekembali dari Mekah, dari informasi temannya Ki Suta. Kemudian Ia
langsung

meletakkan jabatan sebagai penghulu Sumedang sesuai dengan perjanjian sebelumnya.


Walaupun Rangga Gempol II mohon maaf dan berjanji tidak akan pernah melakukan
pelanggaran syara lagi, Syekh Abdul Jalil tetap dengan pendiriannya untuk meninggalkan
jabatan itu. Sebelum meninggalkan Sumedang, ia sempat berkata” sebentar lagi Sumedang akan
diserang oleh Banten”. Ternyata perkataanya terbukti. Pada Hari Jum’at bertepatan dengan Hari
Raya idul Fitri, Sumedang diserang oleh Banten yang dipimpin oleh Cilikwidara dan Sumedang
mengalami kehancuran.
Syekh Abdul Jalil kemudian pergi ngalanglang buana (mengelilingi dunia atau berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat lainnya) mencari tempat bermukim yang dirasa cocok untuk
dijadikan tempat menyebarkan ilmu dan agamanya. Di setiap tempat yang disinggahinya Ia
selalu bertafakur, memohon petnjuk Allah untuk mendapatkan tempat yang cocok dan tenang
dalam beribadah dan menjalankan atau mengajarkan agamanya. Pada tanggal 12 Maulud Bulan
Alif (tidak ada keterangan yang pasti mengenai tahun yang tepat) ketika selesai tafakur di
Tonjong, Ia mendapat petunjuk di langit berupa sinar sagede galuguran kawung atau sebesar
pohon aren. Sinar tersebut bergerak menuju suatu arah tertentu, yang kemudian diikuti oleh
Syek Abdul Jalil, dan berhenti di suatu daerah di antara Sungai Cimangke dan Cipasarangan.

Daerah tersebut ternyata telah dihuni oleh suami istri yang bernama Aki (kakek) dan Nini
(nenek) Candradiwangsa. Syeckh Abdul Jalil bermukim di tempat tersebut dan dipercayai oleh
masyarakat setempat sebagai cikal bakal Kampung Dukuh. Diperkirakan, Syekh Abdul Jalil
mulai menempati Kampung Dukuh pada tahun 1685. Menurut buku Babad Pasundan
(diterbitkan 1960), penyerangan Cilikwidara (Banten) ke Sumedang terjadi pada tahun 1678.
Sedangkan pengembaraan Syekh Abdul Jalil yang tercatat dalam buku yang disimpan kuncen
memakan waktu ± 7 tahun.

Menurut cerita nama dukuh diambil dari bahasa Sunda yang berarti tukuh (kukuh, patuh,
teguh), dalam mempertahankan apa yang yang menjadi miliknya, atau taat dan sangat patuh
menjalankan tradisi warisan nenek moyangnya. Menurut penuturan Lukmanul Hakim, Juru
Kunci (Kuncen) Kampung Dukuh istilah dukuh berasal dari padukuhan atau dukuh = calik =
duduk. Jadi padukuhan sama dengan pacalikan atau tempat bermukim. Menurut mantan Lurah
Cijambe, yaitu Uung Supriyadin, nama Dukuh dikenal kira-kira pada tahun 1901 yaitu pada
waktu berdirinya Desa Cijambe. Sebelum tahun 1901 tidak dapat keterangan apa nama
kampung tersebut.

Sejak berdiri sampai sekarang, Kampung Dukuh sudah mengalami dua kali dibumihanguskan.
Peristiwa pertama pada tahun 1949 yaitu pada masa agresi Belanda yang ke-2, perkampungan
dibakar sendiri oleh penduduk karena takut jatuh ke tangan penjajah. Kedua, pada masa
terjadinya pembrontakan DI/TII dengan dalangnya Kartosuwiryo. Pembakaran dilakukan oleh
pemerintah karena Kampung Dukuh yang tanahnya subur dikhawatirkan akan dijadikan basisi
oleh pasukan DI/TII. Kemudian baru-baru ini terjadi peristiwa kebakaran pada tahun 2006 yang
menyebabkan hampir semua bangunan rumah habis terbakar. Berkat swadaya masyarakat dan
bantuan pemerintah dibangun kembali Kampung Dukuh dengan tradisi yang tetap melekat kuat
dalam proses pembangunan perkampungan tersebut.
B. Geografis Wilayah Kampung Dukuh

Luas Geografis keseluruhan Kampung Dukuh seluas 10 hektar yang tediri dari 7 hektar bagian
dari Kampung Dukuh Luar, 1 hektar bagian dari Kampung Dukuh Dalam dan sisanya
merupakan lahan kosong atau lahan produksi. Di dalam Kampung Dukuh juga terdapat area
yang disebut dengan wilayah Karomah yang merupakan tempat dimana Makam Syekh Abdul
Jalil. Di dalam kawasan Kampung Dukuh terdapat 42 rumah

dan bangunan Mesjid. Dengan 40 Kepala keluarga serta jumlah penduduk 172 orang untuk
Kampung.

Adapun yang menjadi letak perbatasan Kampung Dukuh ini yaitu sebelah selatan berbatasan
langsung dengan kampung Cibalagung, sebelah barat berbatasan dengan kampung Baru Jaya,
sebelah timur berbatasan dengan kampung Sukadana dan sebelah utara berbatasan dengan
kampung Tipar.

Jarak kampung Dukuh dari Desa Ciroyom lebih dari 1,5 km, sedangkan dari pusat kota kurang
lebih 112 km. Ditempuh bisa menggunakan kendaraan pribadi atau umum bisa juga dengan
kendaraan umum sampai Cikelet dilanjutkan dengan ojeg sapai lokasi.

Adapun kendala yang dihadapi oleh masyarakat yaitu jalanan yang rusak dan tidak rata terus
naik ke atas bukit. Tetapi terbayar oelh keindahan dan kekaguamna dengan pemandangan
menuju akmpung dukuh.

Keadaan masyarakatnya sungguh sangat beraneka ragam yang terbentuk dari berbagai budaya
dan adatnya masing-masing. Mereka mempunyai karakter yang berbeda meskipun begitu
mereka dapat bersatu dalam mewujudkan kepentingan bersama di salahsatu tempat untuk
berdiskusi menegnai permasalahan- permasalahan yang terjadi.

Keadaan masyarakt disana pada umumnya bersifat kekeluaragaan, hidup rukun dan adanya
interaksi yang kuat antar sesama tetangganya. Mereka mampu menyesuaikan diri mereka
dengan perkembangan zaman yang menuntut mereka berbenah dalam segala aspek baik dalam
pendidikan, agama, teknologi, sosial, dan politik.

Keadaan tanah di Kampung Dukuh saat ini dalam keadaan subur dikarenakan mempunyai
unsur hara yang bagus dan baik untuk bercocok tanam. Hal ini telah dibuktikan dengan
beberapa hasil tanaman yang berproduksi dengan baik. Apalagi sekarang sudah memasuki
musim hujan dimana saatnya petani untuk memulai bercocok tanam baik di kebun maupun di
pesawahannya masing-masing.
Kampung Dukuh termasuk kedalam wilayah dataran tinggi yang jauh dari perkotaan.
Pemukiman penduduk yang masih alami dan tinggal di daerah pegunungan yang masih sangat
kaya dengan sumber daya alam yang sangat baik, air yang jernih mengalir dari sumber mata air,
udara yang sangat sejuk, dan pepohonan di sekitar kampung tersebut seakan-akan menghias
keindanhan kampung tersebut.

Di samping itu ada juga kebudayaan yang sudah tidak berlaku lagi di masyarakat Kampung
Dukuh, yakni: Dulu tata krama ketika akan masuk ke Kampung Dukuh tidak boleh memakai
sandal dan ketika hujan tidak boleh memakai paying tetapi untuk sekarang ini hal tersebut
sudah tidak berlaku lagi. Entah apa alasannya tetapi hal ini tidak lepas dari perkembangan
zaman.

Dalam sistem adat kampung dukuh dikenal pembagian wilayah kekuasaan berdasarkan fungsi
dari wilayah tersebut. Terdapat 4 \bagian wilayah yang disebut dengann tanah tutupan, titipan,
larangan dan tanah cadangan. Berdasarkan keterangan dari kuncen, berikut ini adalah
penjelasan dari masing-masing wilayah tersebut.

1.Tanah Tutupan, merupakan wilayah hutan yang ada disebelah utara kampung dukuh.
Merupakan wilayah hutan yang ada disekitar bukit. Hutan ini ditutup darI berbagai usaha
penebangan pohon, karena hutan ini merupakan daerah sumber mata air bagi kampung dukuh.

2.Tanah Titipan, merupakan tanah yang tidak bisa jadi hak kepemilikan,

3.Tanah Cadangan, merupakan wilayah hutan yang berada di berada di sekitar kampung dukuh
yang di disiapkan untuk kebutuhan masyarakat di masa datang. Direncanakan sebagai tempat
tinggalnya generasi dukuh yang hidup diluar. Disiapkan untuk perkembangan masyarakat
dukuh generasi berikutnya. Akan tetapi saat ini daerah tersebut dikuasai oleh perhutani.

4.Tanah Larangan, merupakan wilayah kekuasaan yang dimulai dari pagar kampung sebelah
selatan hingga hutan di wilayah Utara yang diikat oleh berbagai pantangan dan tabu, terdiri dari
3 bagian, yaitu:

a.Tanah Larangan Kampong, di wilayah perkampungan dukuh dalam masyarakat tidak boleh
membuat pintu rumah ke arah Utara. Selain itu tidak boleh menyelonjorkan kaki ke arah utara
juga. Hal ini karena dianggap tidak menghormati makam syekh abdul jalil yang ada di maqam
arah utara kampong.

b.Tanah Larangan Maqam, maqam berada di sebelah utara kampong, di dalamnya terdapat
maqamnya Syekh Abdul Jalil, para Habaib, para kuncen, dan masyarakat dukuh lainnya.
Tempat ini adalah titik sucinya kampong dukuh, oleh karena itu tidak sembarangan orang bisa
masuk kedalam.

c.Tanah Larangan Hutan, merupakan hutan yang melingkupi wilayah maqom, tidak boleh
dirusak, karena menjadi sumber mata air disekitar maqom.

C.Adat Istiadat dan Kebudayaan Kampung Dukuh

a.Adat Istiadat kampung Dukuh

Pak Luluk bernama asli Lukman. Pria berusia 51 tahun ini

menjabat Kuncen Kampung Dukuh mewakili generasi ke-14. Jabatan kuncen dalam adat
istiadat kampung ini merupakan amanah turun temurun. Di pundak lelaki yang masih tampak
muda inilah segala hal menyangkut Kampung Dukuh dibebankan. Mulai mengurus makam
leluhur Syeikh Abdul Djalil hingga memimpin rapat-rapat warga, menjadi tugasnya.

Jabatan kuncen dalam ranah adat Kampung Dukuh berasal dari seseorang bernama Eyang
Dukuh. Di ceritakan bahwa sebagai pendiri Kampung Dukuh, Syekh Abdul Djalil mempunyai
pengawal setia bernama Eyang Hasan Husen. Hasan Husein ini tiada lain adalah putera
kandung dari Syeikh Abdul Djalil. Nah, untuk tugas-tugas sehari-hari, Eyang Dukuh kemudian
diberi tugas sebagai pelaksananya. Bahkan Syaikh

Abdul Djalil telah memberi amanah untuk merawat dan menjaga makamnya bila ia dan
keturunannya meninggal dunia kelak.

Eyang Dukuh ini juga mewarisi amanah untuk meneruskan nilai dan adat istiadat Kampung
Dukuh. Dan setelah Syeikh Abdul Djalil wafat, Eyang Dukuh-lah yang secara otomatis
kemudian menjadi Kuncen Kampung Dukuh. Istilah kuncen dalam masyarakat Kampung
Dukuh merupakan pemimpin dan pemegang tradisi Kampung Dukuh sebagai warisan dari
ajaran Syeikh Abdul Djalil.

Adapun tugas kuncen antara lain melakukan Munjungan, yakni membawa makanan ke Bumi
Alit (rumah peninggalan Aki dan Nini Chandra). Kemudian makanan tersebut dibacakan doa
supaya mendapat berkah bagi pribadi kuncen maupun bagi peziarah dan para tamu. Dalam
seminggu, pelaksanaan munjungan dilaksanakan pada hari Sabtu ba’da Dzuhur. Hari Minggu
dilaksanakan pagi, Senin ba’da Dzuhur, Selasa dilaksanakan pagi, hari Kamis pada Sore, dan
Jumat pada pagi hari.
Tugas kuncen lainnya adalah memimpin ziarah pada hari Sabtu, menjadi imam salat di masjid,
serta memimpin acara ritual hari besar Kampung Dukuh yang jatuh setiap 14 Maulid. Selain
itu, juga menurunkan ilmu kepada masyarakat kampung dan para tamu. Lalu menjaga dan
merawat benda pusaka, memberi doa pada air suci untuk kepentingan tamu dan berdoa
semalam penuh sampai menjelang subuh. Dan terakhir adalah memimpin musyawarah
kampung.

Dalam keseharian, Pak Luluk menghuni rumah adat yang berukuran lebih besar dari rumah-
rumah lainnya. Mengapa lebih besar? ”Sabab di dideu mah sok dipungsikeun kangge sagalana.
Mimiti musawarah, narima tamu, nepi sagala hal. (Sebab di sini suka dipergunakan sebagai
tempat musyawarah, menerima tamu dan semua urusan),” tutur Pak Luluk kepada penulis.

Dan sebagai kuncen, terang Pak Luluk, tugasnya terbilang tidak ringan. Selain tugas-tugas yang
telah disebutkan di atas, tugas lainnya adalah menjaga keseimbangan alam dan menjadi
pengawal norma-norma

adat. Karena itulah dalam keseharian, Pak Luluk selalu mengenakan pakaian adat. ”Ieu mah tos
janten tugas abdi, kedah dilaksanakeun sesuai parentah. (Ini sudah menjadi tugas saya dan
harus dilaksanakan sesuai perintah),” ujarnya.

Pak luluk memang orang yang sangat mengesankan. Awalnya kami menyangka beliau adalah
orang yang berfikir sebatas pengetahuan tentang kampong dukuh saja. Ternyata beliau adalah
pembicara yang piawai, wawasannya sangat luas, akan tetapi beliau tidak pernah menunjukan
kesombongan akan hal itu. Beliau bisa melayani berbagai pertanyaan kami dengan berbagai
perspektif dan kemungkinan. Beliau selalu menjelaskan berbagai perkara dengan landasan
pemikiran Islam.

Begitu juga ketika beliau menjelaskan alasan jarangnya orang muda di dukuh dalam. Menurut
beliau, tidak ada paksaan untuk tinggal di dukuh dalam. Dukuh dalam hanyalah tempat bagi
orang-orang yang sudah mampu menundukan nafsunya terhadap dunia. Oleh karena itu, orang-
orang muda yang masih dipenuhi oleh semangat dunia silahkan saja untuk menikmati dan
mencari pengalaman di dunia luar. Jika sudah mampu untuk mengikuti aturan, silahkan mereka
bergabung di dukuh dalam.

Dari pemikiran-pemikiran yang dimunculkan pak luluk, kami tersadar bahwa orang-orang
dukuh bukanlah orang-orang yang sempit cara berfikirnya. Mereka sebenarnya adalah orang-
orang yang sangat bijak dalam memandang hidup. Kearifan dan kesederhanaan inilah yang
membuat mereka berbeda dengan orang-orang lainnya.
Sesuai dengan perkembangan zaman kebudayaan di masyarakat Kampung Dukuh ada yang
masih berlaku dan ada juga yang sudah tidak berlaku. Begitu banyak kebudayaan masih berlaku
di masyarakat Kampung Dukuh Garut.

Pola budaya juga berpengaruh pada aspek non fisik seperti ritual budaya, antara lain:

b.Ngahaturan tuang merupakan kegiatan yang dilakukan masyarakat Kampung Dukuh atau
pengunjung yang berasal dari luar apabila

memiliki keinginan-keinginan tertentu seperti kelancaran dalam usaha, perkawinan, jodoh,


dengan memberikan bahan makanan seperti garam, kelapa, telur ayam, kambing atau lainnya
sesuai kemampua

c.Nyanggakeun merupakan suatu kegiatan penyerahan sebagian hasil pertanian kepada kuncen
untuk diberkahi. Masyarakat tidak diperbolehkan memakan hasil panennya sebelum melakukan
kegiatan Nyanggakeun.

d.Tilu Waktos merupakan ritual yang dilakukan oleh kuncen yaitu dengan membawa makanan
ke dalam Bumi Alit atau Bumi Lebet untuk tawasul. Kuncen membawa sebagian makanan ke
Bumi Allit lalu berdoa. Biasa dilakukan pada hari raya 1 Syawal, 10 Rayagung, 12 Maulud, 10
Muharam.

e.Manuja adalah penyerahan bahan makanan dari hasil bumi kepada Kuncen untuk diberkati
pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha untuk maksud perayaan.

f.Moros merupakan kebiasaan untuk menyerahkan hasil-hasil bumi yang dimiliki kepada aparat
pemerintah seperti lurah dan camat.

g.Cebor Opat Puluh adalah mandi dengan empat puluh kali siraman dengan air dari pancuran
dan dicampur dengan air khusus yang telah diberi doa-doa pada jamban umum.

h.Jaroh merupakan siuatu bentuk aktivitas berziarah ke makam Syekh Abdul Jalil. Tetapi
sebelumnya harus melakukan mandi cebor opat puluh dan mengambil air wudhu serta
menanggalkan semua perhiasan serta menggunakan pakaian yang tidak bercorak

i.Shalawatan ilakukan pada hari Jumat di rumah kuncen. Shalawatan Karmilah sejumlah 4444
yang dihitung dengan menggunakan batu.

j.Sebelasan dilakukan setiap tanggal 11 dalam perhitungan bulan Islam dengan membaca
Marekah.
k.Terbang Gembrung merupakan kegiatan yang dilakukan pada tanggal 12 Maulud yang
dilakukan para orang tua Kampung Dukuh.

l.Terbang Sejak merupakan suatu pertunjukan pada saat perayaan seperti khitanan dan
pernikahan. Pertunjukkan terbang sejak ini merupakan pertunjukan debus.

Terdapat juga hari-hari besar Kampung Dukuh, antara lain:

1.10 Muharam

2.12 Maulud

3.27 Rajab

4.1 Syawal

5.1 Syawal Idul Fitri

6.10 Rayagung

Selain itu terdapat pula hari-hari penting, yaitu:

1.Hari Sabtu (Pelaksanaan Ziarah).

2.Rebo Welasan (Hari terakhir pada bulan Sapar dimana semua sumber air yang digunakan
oleh masyarakat diberi jimat sebagai penolak bala dan biasanya diwajibkan mandi).

3.14 Maulud (Pada hari ini dipercaya adalah hari yang paling baik untuk menguji dan mencari
ilmu kepada para guru dengan melakukan cebor opat puluh).

4.30 Bewah (menyiapkan puasa di bulan Ramadhan).

b.Sistem Organisasi Sosial Masyarakat Kampung Dukuh Masyarakat Kampung Dukuh


memiliki sistem kemasyarakatan

yang sudah tertata dengan baik dan berjalan sejak ratusan tahun yang lalu. Hal ini terbukti
dengan berjalannya sistem organisasi sosial yang ada di masyarakat Kampung Dukuh dan tidak
pernah berubah dari masa ke masa dan masih berjalan sampai saat ini dan akan datang. Sistem
organisasi

sosial yang mereka gunakan menganut sistem kokolotan yang berasaskan pada ajaran islam
selain berpola budaya berlandaskan religi yang sangat kuat, juga berpandangan hidup berlandas
pada sufisme dengan berpedoman pada Mazhab Imam Syafii.
Sistem kokolotan dimaksud adalah suatu sistem organisasi sosial yang menghargai dan
menghormati para kasepuhan atau kokolot dan karuhun atau nenekmoyang mereka menitipkan
atau mengamanatkan kepada anak cucunya di Kampung Dukuh agar tetap menjalankan ajaran
yang telah diwariskan kepadanya.

Untuk menjalankan roda organisasi kemasyarakatan tersebut mereka berpedoman pada ajaran
agama islam dengan madzhab Imam Syafi’i. Sehingga landasan budaya tersebut, berpengaruh
pada bentukan fisik pedesaan dan adat istiadat masyarakatnya, yang sangat menjunjung
keharmonisan serta keselarasan hidup bermasyarakat.

Masyarakatnya homogen dan hidup terpencil dari keramaian kota dan perkampungan lain.
Menurut tradisi yang hidup sampai sekarang, masyarakat adat Kampung Dukuh sangat
mematuhi kasauran karuhun (nasehat leluhur). Nasehat ini menganjurkan hidup sederhana,
sopan santun, tidak berlebihan dan tidak mengejar kesenangan duniawi, serta tetap memegang
prinsip kebersamaan. Selain itu, ada adat tabu (larangan) yang tetap dipegang sehingga pola
kampung dan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari tetap terjaga. Kemudian peranan kuncen sebagai
pemimpin non formal dianggap sebagai pelindung adat istiadat yang kewibawaannya sangat
berpengaruh.

c.Sistem Mata Pencaharian

Mata pencaharian utama adalah bertani, beternak ayam, bebek,kambing, domba, kerbau,
memelihara ikan dan usaha penggilingan padi. Salah satu mata pencaharian utama masyarakat
kampung dukuh adalah bertani. Model pertanian yang biasa di lakukan yaitu model pertanian
lahan basah (sawah) dan pertanian lahan kering (huma atau berladang)

Masyarakat kampung dukuh dalam bertani pada lahan basah (sawah) biasanya menggunakan
lahan yang terletak pada pinggir-pinggir sungai, dan lahan yang dapat digunakan untuk cara
bertani ini cukup sedikit. Membuat rumah dari kayu. Hal ini bisa dilakukan oleh masyarakat
kampung dukuh sebelum masuknya jawatan kehutanan atau perhutani. Dimana setelah masuk
perhutani ke wilayah Kampung Dukuh mereka tidak mempunyai hak ulayat mereka.

Berbagai kekayaan alam hayati yang dimiliki oleh Kampung Dukuh ini, memang sudah
menjadi kebutuhan dan merupakan investasi bagi perekonomian masyarakat sebagai salah satu
loncatan untuk mengembangkan kesejahtraan masyarakat dalam menyeimbangkan
perekonimian dengan daerah lainnya di Kabupaten Garut. Salah satu yang menjadi investasi
Kampung Dukuh ini yaitu keadaan alam hayati yang dimanfaatkan sebagai lahan untuk
bercocok tanam dengan menanam berbagai jenis tumbuhan seperti yang tampak terlihat di
sepanjang jalan yang dipenuhi dengan tanaman pangan seperti pesawahan dan perkebunan.
Adapun tanaman yang ditanam di lahan pesawahan yaitu padi yang berada di dekat Kampung
Dukuh maupun yang jauh dari perkampungan tersebut tetapi mayoritas masyarakat tersebut
menggarap pesawahan yang lahan garapannya tersebar di daerah tersebut. Pada lahan
perkebunan seperti tanaman palawija berbagai jenis antara lain tanaman cabe rawit, kacang-
kacangan, jagung, terong, dan berbagai jenis sayur-sayuran lainnya dan biasanya mereka dapat
bertani seperti itu ketika musim hujan tiba. Selain itu juga karena kampung ini terletak di
daerah pegunungan masyarakat juga banyak yang menananm tumbuhan kuat yaitu seperti
berbagai macam jenis kayu, bambu, pohon cengkeh, kelapa, buah-buhan dan banyak lagi yang
lainnya. Warga Kampung Dukuh bukan hanya mengelola tumbuhan saja ternyata setelah saya
masuk ke dalamnya berbagai aktivitas mereka lakukan. Ada diantaranya yang memelihara
binatang ternak untuk dilestarikan seperti domba, ekrbau, ikan, ayam, dan itik.

d.Sistem perkawinan

Sistem perkawinan masyarakat Kampung Dukuh menganut sistem

perkawinan bebas yang sesuai dengan ajaran islam. Aturan di kampung dukuh
memperbolehkan masyarakatnya untuk menikah dengan siapa aja yang dicintainya asalkan
tidak bertentangan dengan ajaran islam. Warga Kampung dukuh bisa menikah dengan warga di
luar kampung dukuh begitu juga sebaliknya.

e.Larangan (Pantrangan) yang derlaku di Kampung Dukuh Hukum merupakan suatu bentuk
aturan tertentu yang harus

dilaksanakan, apabila dilanggar akan mendapat sangsi baik langsung maupun tidak langsung
hukum mengatur segi kehidupan satu komunitas tertentu demikian begitupun dengan
masyarakat kampung Dukuh pola kehidupan mereka diatur oleh hukum yang mengikat yang
menimbulkan karakter masyarakat yang memegang teguh adat.

Sesuai dengan pola pikir masyarakat Indonesia yang salah satunya adalah Relegio Magis yang
di dalamnya terdapat pantangan. Begitu juga di masyarakat Kampung Dukuh yang memiliki
banyak pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakatnya, diantaranya:

1.Tidak makan dengan tangan kanan dan kiri seperti halnya orang-orang kaya pada zaman
sekarang;

2.Tidak Boleh jadi PNS menjadi pegawai negeri atau PNS. Konon, Syekh Abdul Jalil kecewa
karena dibohongi atasannya (Bupati Rangga Gempol) yang dianggapnya sebagai ambtenaar
(pegawai negeri) sehingga sejak itu ia bersumpah keturunannya tidak akan ada yang boleh
menjadi pegawai negeri. Itu sebabnya pula, Syekh Abdul Jalil melarang orang berdagang
karena menurutnya berdagang dekat dengan kebohongan dan selalu mencari keuntungan.

3.Tidak boleh makan sambil berdiri apalgi sambil berjalan;

4.Diam atau duduk di pintu.

5.Kaki tidak boleh membujur ke utara karena terdapat makam keramat ”Syeh Abdul Jalil” yang
merupakan pendiri Kampung Dukuh;

6.Kencing dan buang hajat harus menghadap ke barat

7.Rumah-rumah tidak boleh mengahadap ke utara;

8.Tidak diperkenankan pula adanya prasarana listrik dan pemasangan televisi serta radio, yang
mereka yakini selain mendatangkan manfaat yang banyak, juga bisa mendatangkan banyak
kemudaratan.

9.Ketika ziarah ke makam Syeh Abdul Jalil harus memakai baju khusus yang telah disediakan
yang berbentuk ”gamis” dengan warna putih polos;

10.Terhadap wali yang meninggal tidak boleh menyebut ”maot” tetapi ”ngalih tempat”;

Selain hal tabu tersebut, masyarakat juga harus memenuhi aturan dalam melakukan upacara di
makam karomah yaitu ziarah ke makam karomah hanya dilakukan setiap hari Sabtu. Ketika
memasuki areal makam laki-laki harus berpakaian sarung, baju takwa, dan totopong (ikat
kepala), sedangkan perempuan harus mengenakan samping/sinjang (kain), kebaya, dan
kerudung, dan dilarang mengenakan pakaian dalam, perhiasan, dan sandal/sepatu

Selain itu, tidak boleh memakai pakaian bermotif (seperti batik), bordiran, kaus, atau kemeja.
Selama berada di makam, tidak boleh merokok, meludah, dan kencing; harus selalu memiliki
wudu, tidak boleh membunuh binatang dan merusak pepohonan yang ada di areal makam. Ada
yang dilarang masuk ke areal makam yaitu: pegawai negeri, orang yang berpacaran, dan wanita
yang sedang haid.

Masyarakat Kampung Dukuh juga sangat menjaga lingkungan hidupnya. Mata air yang terletak
di lokasi karomah dipelihara kebersihannya dalam rangkaian upacara jaroh (ziarah) setiap hari
Sabtu.
Penduduk tidak pernah kekurangan air meskipun musim kemarau. Mata air juga terdapat di
leuweung (hutan) larangan.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Dalam kisah tradisi yang dipercayai masyarakat setempat bahwa yang berjasa sebagai pendiri
Kampung Dukuh adalah Syekh Abdul Jalil. Menurut cerita pada abad ke-17, Rangga Gempol II
yang saat itu menjadi Bupati Sumedang yang berada di bawah kekuasaan Mataram, menghadap
penguasa Mataram dan mohon agar menunjuk seorang hakim/penghulu/kepala agama
pengganti yang telah meninggal. Sultan mengatakan bahwa penghulu pengganti tidak usah
dicari jauh-jauh karena orang tersebut ada di pedesaan Pasundan. Rangga Gempol II kemudian
mencari orang yang dimaksud dan akhirnya bertemu dengan Syekh Abdul Jalil

Luas Geografis keseluruhan Kampung Dukuh seluas 10 hektar yang tediri dari 7 hektar bagian
dari Kampung Dukuh Luar, 1 hektar bagian dari Kampung Dukuh Dalam dan sisanya
merupakan lahan kosong atau lahan produksi. Di dalam Kampung Dukuh juga terdapat area
yang disebut dengan wilayah Karomah yang merupakan tempat dimana Makam Syekh Abdul
Jalil. Di dalam kawasan Kampung Dukuh terdapat 42 rumah dan bangunan Mesjid. Dengan 40
Kepala keluarga serta jumlah penduduk 172 orang untuk Kampung.

Masyarakat Kampung Dukuh memiliki sistem kemasyarakatan yang sudah tertata dengan baik
dan berjalan sejak ratusan tahun yang lalu. Hal ini terbukti dengan berjalannya sistem
organisasi sosial yang ada di masyarakat Kampung Dukuh dan tidak pernah berubah dari masa
ke masa dan masih berjalan sampai saat ini dan akan datang. Sistem organisasi sosial yang
mereka gunakan menganut sistem kokolotan yang berasaskan pada ajaran islam selain berpola
budaya berlandaskan religi yang sangat kuat, juga berpandangan hidup berlandas pada sufisme
dengan berpedman pada Mazhab Imam Syafii
DAF TAR PUSTAKA

Anggapraja Sulaeman, Rd. 1963. Sejarah Garut. Pemkab Garut: Panitia Peringatan HUT Garut
ke-150

Disbudpar Garut. 2015. Sejarah Pelestarian Budaya Garut. Garut: Disbudpar

Nestu, Giya. 2011. Kampung Dukuh Garut. [online]


(http://giyanestu1907.blogspot.co.id/2011/10/kampung-dukuh-garut.html Diakses tanggal 17
November 2016 pukul 20.30)
Risanto, Eko. 2009. Napak Tilas Histori Kampung Dukuh.[online].

(http://ekorisanto.blogspot.co.id/2009/07/napak-tilas-histori-kampung-dukuh.html Diakses
tanggal 18 November 2016 pukul 21.4)

Rosidi, Ajip. 1998. Haji Hasan Mustofa Jeung Karya-Karyana. Bandung. Penerbit Pustaka

Sofianto, Kunto. 2001. Garut Kota Intan. Sejarah Lokal Garut Sejak Zaman Kolonial Belanda
Hingga Masa Kemerdekaan. Bandung: Alqaprint Jatinangor

Warjita. 2000. Kabupaten Garut dalam Dimensi Budaya. Garut: Forum Kajian Penggagas dan
Pengembangan Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara besar yang membentang dari Sabang sampai Merauke yang memiliki
beribu-ribu pulau, keanekaragam kekayaan, menjadikan masyarakat Indonesia yang hidup di berbagai
pulau itu mempunyai ciri dan coraknya masing-masing perbedaan ciri dan corak ini tidak hanya terjadi
antarpulau juga antardaerah. Di Indonesia ada kurang lebih 60 tempat kampung adat, di jawa sendiri
ada kampung naga, baduy, warga kaum samin (blora), suku tengger (bormo) dan ada di wilayah
kuningan.
Kampung adat dukuh sangat unik, dan masih memegang budaya lokal yg sangat kental.
Sebenarnya ada beberapa kampung adat di wilayah Kabupaten Garut. Satu di antaranya dan yang
paling besar adalah Kampung Dukuh. Seperti di kampung-kampung adat lain, masyarakat di Kampung
Dukuh sangat teguh memegang adat dan tradisi leluhurnya. Di kampung ini, penghuninya hidup jauh
dari kemewahan dan menerapkan pola hidup sederhana seperti diwariskan oleh leluhurnya dari
generasi ke generasi. Oleh karena itu jangan aneh jika di kampung ini tidak ditemukan jaringan listrik
dan alat-alat elektronik seperti radio dan televisi.
Kampung Dukuh merupakan desa dengan suasana alam dan tradisi. Masyarakat Kampung
Dukuh mempunyai pandangan hidup yang berdasarkan Mazhab Imam Syafii. Landasan budaya
tersebut berpengaruh pada bentukan fisik desa tersebut serta adat istiadat masyarakat. Masyarakat
Kampung Dukuh sangat menjunjung keharmonisan dan keselarasan hidup bermasyarakat. Bentuk
bangunan di Kampung Dukuh tidak menggunakan dinding dari tembok dan atap dan genteng serta
jendela kaca. Hal ini menjadi salah satu aturan yang dilatarbelakangi alasan bahwa hal yang berbau
kemewahan akan mengakibatkan suasana hidup bermasyarakat menjadi tidak harmonis. Di kampung
ini tidak diperkenankan adanya listrik dan barang-barang elektronik lainnya yang dipercaya selain
mendatangkan manfaat juga mendatangkan kemudaratan yang tinggi pula. Alat makan yang dianjurkan
terbuat dari pepohonan seperti layaknya bangunan, misalnya bambu batok kelapa dan kayu lainnya.
Material tersebut dipercaya lebih memberikan manfaat ekonomis dan kesehatan karena- bahan tersebut
tidak mudah hancur atau pecah dan dapat menyerap kotoran.
Dengan keunikan yang dimiliki masyarakat kampung adat dukuh setelah melakukan observasi
langsung tergerak hati untuk mengambil judul ”Memahami Keberadaan Masyarakat Kampung Dukuh
sebagai Masyarakat Hukum Adat Di Tengah Masyarakat Global”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, penulis akan membahas
masalah yang berhubungan dengan masyarakat adat kampung dukuh. Perumusan ini dipandang perlu
mengingat ruang lingkup yang demikian luas sehingga tidak mungkin pembahasan secara menyeluruh,
karena itu penulis akan membatasi pada masalah berikut:
1. Bagaimana sejarah masyarakat Kampung Dukuh?
2. Bagaimana sistem kebudayaan yang berlaku di mkasyarakat kampung dukuh?
3. Bagaimana sistem kepercayaan yang berlaku di masyarakat kampung dukuh?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Adat
pada Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Suryakancana Cianjur tahun ajaran 2010/2011 sekaligus juga untuk mengetahui:
1. sejarah masyarakat kampung dukuh;
2. sistem kebudayaan yang berlaku di mkasyarakat kampung dukuh;
3. sistem kepercayaan yang berlaku di masyarakat kampung dukuh.
D. Metode Penelitian
Dalam penulisan makalah ini menggunakan 3 metode, di antaranya:
1. Observasi
Metode ini adalah metode mengenai tinjauan secara langsung untuk memperoleh data-data yang
konkrit tentang masalah yang diteliti, yakni di masyarakat Kampung Adat Dukuh Desa Cijambe
Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.
2. Metode Wawancara
Melakukan tanya jawab langsung dengan kuncen, kokolot dan tokoh agama masyarakat
Kampung Dukuh Garut.
3. Studi Pustaka
Untuk melengkapi data yang kurang ditambah dengan pengutipan dari beberapa buku dan
sumber tertulis lainnya (buku, internet, dll).

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Kampung Adat Dukuh


Dalam kisah tradisi yang dipercayai masyarakat setempat bahwa yang berjasa sebagai pendiri
Kampung Dukuh adalah Syekh Abdul Jalil. Menurut cerita pada abad ke-17, Rangga Gempol II yang
saat itu menjadi Bupati Sumedang yang berada di bawah kekuasaan Mataram, menghadap penguasa
Mataram dan mohon agar menunjuk seorang hakim/penghulu/kepala agama pengganti yang telah
meninggal. Sultan mengatakan bahwa penghulu pengganti tidak usah dicari jauh-jauh karena orang
tersebut ada di pedesaan Pasundan. Rangga Gempol II kemudian mencari orang yang dimaksud dan
akhirnya bertemu dengan Syekh Abdul Jalil, pemimpin sebuah pesantren yang mempunyai murid-murid
cukup banyak.
Syekh Abdul Jalil bersedia menjadi hakim/penghulu/kepala agama dengan syarat entong
ngarempak syara yang artinya jangan melanggar syara (hukum/ajaran Islam) seperti membunuh,
merampok, mencuri, perzinahan dan sebagianya, dan apabila syarat tersebut tidak diindahkan, maka
jabatan sebagai penghulu akan segera diletakkan. Dua belas tahun sejak pengangkatan menjadi
penghulu dan selama itu aturan-aturan agama tidak ada yang melanggar. Akan tetapi ketika Syekh
Abdul Jalil berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, Sumedang kedatangan utusan Banten
yang meminta agar Sumedang tidak tunduk dan memberi upeti ke Mataram, tetapi tunduk ke Banten
dan bersama-sama memerangi Mataram. Rangga Gempol II marah dan utusan Banten Jagasatru
malah dibunuh atas perintahnya, mayat itu dibuang ke hutan agar tidak diketahui oleh Banten dan
Syekh Abdul Jalil.
Walau bagaimanapun kuatnya menutupi rahasia, akhirnya peristiwa pembunuhan itu diketahui
Syekh Abdul Jalil sekembali dari Mekah, dari informasi temannya Ki Suta. Kemudian Ia langsung
meletakkan jabatan sebagai penghulu Sumedang sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Walaupun
Rangga Gempol II mohon maaf dan berjanji tidak akan pernah melakukan pelanggaran syara lagi,
Syekh Abdul Jalil tetap dengan pendiriannya untuk meninggalkan jabatan itu. Sebelum meninggalkan
Sumedang, ia sempat berkata” sebentar lagi Sumedang akan diserang oleh Banten”. Ternyata
perkataanya terbukti. Pada Hari Jum’at bertepatan dengan Hari Raya idul Fitri, Sumedang diserang oleh
Banten yang dipimpin oleh Cilikwidara dan Sumedang mengalami kehancuran.
Syekh Abdul Jalil kemudian pergi ngalanglang buana (mengelilingi dunia atau berpindah-pindah
dari satu temapt ke tempat lainnya) mencari tempat bermukim yang dirasa cocok untuk dijadikan tempat
menyebarkan ilmu dan agamanya. Di setiap tempat yang disinggahinya Ia selalu bertafakur, memohon
petnjuk Allah untuk mendapatkan tempat yang cocok dan tenang dalam beribadah dan menjalankan
atau mengajarkan agamanya. Pada tanggal 12 Maulud Bulan Alif (tidak ada keterangan yang pasti
mengenai tahun yang tepat) ketika selesai tafakur di Tonjong, Ia mendapat petunjuk di langit berupa
sinar sagede galuguran kawung atau sebesar pohon aren. Sinar tersebut bergerak menuju suatu arah
tertentu, yang kemudian diikuti oleh Syek Abdul Jalil, dan berhenti di suatu daerah di antara Sungai
Cimangke dan Cipasarangan. Daerah tersebut ternyata telah dihuni oleh suami istri yang bernama Aki
(kakek) dan Nini (nenek) Candradiwangsa. Syeckh Abdul Jalil bermukim di tempat tersebut dan
dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai cikal bakal Kampung Dukuh. Diperkirakan, Syekh Abdul
Jalil mulai menempati Kampung Dukuh pada tahun 1685. Menurut buku Babad Pasundan (diterbitkan
1960), penyerangan Cilikwidara (Banten) ke Sumedang terjadi pada tahun 1678. Sedangkan
pengembaraan Syekh Abdul Jalil yang tercatat dalam buku yang disimpan kuncen memakan waktu ± 7
tahun.
Menurut cerita nama dukuh diambil dari bahasa Sunda yang berarti tukuh (kukuh, patuh, teguh),
dalam mempertahankan apa yang yang menjadi miliknya, atau taat dan sangat patuh menjalankan
tradisi warisan nenek moyangnya. Menurut penuturan (2006) Lukmanul Hakim, Juru Kunci (Kuncen)
Kampung Dukuh istilah dukuh berasal dari padukuhan atau dukuh = calik = duduk. Jadi padukuhan
sama dengan pacalikan atau tempat bermukim. Menurut mantan Lurah Cijambe, yaitu Uung Supriyadin,
nama Dukuh dikenal kira-kira pada tahun 1901 yaitu pada waktu berdirinya Desa Cijambe. Sebelum
tahun 1901 tidak dapat keterangan apa nama kampung tersebut.
Sejak berdiri sampai sekarang, Kampung Dukuh sudah mengalami dua kali dibumihanguskan.
Peristiwa pertama pada tahun 1949 yaitu pada masa agresi Belanda yang ke-2, perkampungan dibakar
sendiri oleh penduduk karena takut jatuh ke tangan penjajah. Kedua, pada masa terjadinya
pembrontakan DI/TII dengan dalangnya Kartosuwiryo. Pembakaran dilakukan oleh pemerintah karena
Kampung Dukuh yang tanahnya subur dikhawatirkan akan dijadikan basisi oleh pasukan DI/TII.
Kemudian baru-baru ini terjadi peristiwa kebakaran pada tahun 2006 yang menyebabkan hampir semua
bangunan rumah habis terbakar. Berkat swadaya masyarakat dan bantuan pemerintah dibangun
kembali Kampung Dukuh dengan tradisi yang tetap melekat kuat dalam proses pembangunan
perkampungan tersebut.
Kampung Dukuh merupakan kesatuan pemukiman yang mengelompk, terdiri atas beberapa puluh
rumah yang berjajar pada kemiringan tanah yang bertingkat. Pada tiap tingkatan terdapat sederetan
rumah yang membujur dari arah barat ke timur. Letak antar rumah hampir berdempetan, sehingga jalan
kampung terletak di sela-sela rumah penduduk berupa jalan setapak. Kampung Dukuh terdiri atas dua
daerah pemukiman yaitu Dukuh Luar (Dukuh Landeuh = bawah) dan Dukuh Dalam (Dukuh Tonggoh =
atas). Selain Dukuh Luar dan Dukuh Dalam, terdapat wilayah lain yang bernama Tanah Karomah
(tanah keramat). Di dalam wilayah Tanah Karomah terdapat Makam Karomah (makam keramat). Di
antara ketiga wilayah ini dibatasi oleh pagar tanaman.
Dukuh Dalam terdiri atas 42 rumah, dengan bentuk, arah membujur dan bahan bangunan yang
sama. Jumlah ini tetap, karena tidak ada lagi tanah kosong yang bisa dijadikan tempat berdirinya
sebuah rumah. Terdapat peraturan-peraturan yang mengikat penduduknya berupa peraturan tidak
tertulis atau bersifat tabu, misalnya tidak boleh menjulurkan kaki ke arah makam keramat yang ada di
sebelah utara kampung, tidak boleh makan sambil berdiri, tidak boleh menggunakan barang-barang
elektronik dan tidak boleh membuat rumah lebih bagus dari pada tetangganya.
Dukuh luar merupakan bagian dari kampug yang berada di luar batas taneuh karomah. Segala
peraturan tidak berlaku dengan ketat. Bahkan dalam perkembangan sekarang sudah banyak dijumpai
bangunan-bangunan yang memakai bahan-bahan yang di Dukuh Dalam tabu untuk dipakai, misalnya
genteng, kaca, papan. Walaupun demikian arah rumah-rumah masih tetap dari timur ke barat dan pintu
rumah tidak menghadap ke makam keramat.

B. Adat Istiadat yang Masih Berlaku dan Sudah Tidak Berlaku


Sesuai dengan perkembangan zaman kebudayaan di masyarakat Kampung Adat dukuh ada yang
masih berlaku dan ada juga yang sudah tidak berlaku. Begitu banyak kebudayaan masih berlaku di
masyarakat Kampung Dukuh Garut.
Mereka juga melaksanakan upacara "Moros", sebagai wujud masyarakat adat untuk memberikan
hasil pertanian kepada pemerintahan setempat.
Ciri khas lainnya hingga kini sama sekali tidak terpengaruh oleh kemajuan jaman, bahkan nyaris
tidak mengenal perkembangan IPTEK.
Kawasan Kampung Dukuh seluas 10 ha tediri 7 ha Wilayah Kampung Dukuh Luar, 1 ha Kampung
Dukuh Dalam serta sisanya merupakan lahan kosong atau lahan produksi, terdapat pula areal yang
dikenal wilayah "Karomah". sebagai lokasi makam "SyekhAbdul Jalil".
Di kampung "Dukuh Dalam" hanya terdapat 42 rumah dan bangunan Mesjid, dihuni 40 Kepala
Keluarga (KK) atau 172 orang, sedangkan Kampung "Dukuh Luar" dihuni 70 KK, dengan mata
pencaharian utamanya bertani, beternak ayam, bebek, kambing, domba, kerbau serta memelihara ikan
dan usaha penggilingan padi.
Pola budaya aspek non fisiknya berupa ritual budaya antara lain "ngahaturan tuang" (menawari
makan), merupakan adab masyarakat kepada pengunjung dari luar. Jika memiliki keinginan tertentu
seperti kelancaran usaha, perkawinan, jodoh, mereka memberi garam, kelapa, telur ayam, kambing
atau lainnya sesuai kemampuan.
Kemudian "nyanggakeun" (menyerahkan), kegiatan penyerahan sebagian hasil pertanian kepada
"Kuncen" (juru kunci) untuk diberkahi, dan masyarakat-pun tidak dirbolehkan memakan hasil panennya
sebelum melakukan kegiatan Nyanggakeun.
Selanjutnya "tilu waktos" (tiga waktu), sebagai ritual yang dilakukan Kuncen yakni dengan
membawa makanan ke dalam "bumi alit atau bumi lebet" (rumah kecil atau rumah dalam) untuk
"tawasul", Kuncen membawa sebagian makanan ke Bumi Allit lalu berdoa, yang biasanya dilakukan
pada 1 Syawal, 10 Rayagung, 12 Maulud, 10 Muharam.
"Manuja", yakni penyerahan bahan makanan hasil bumi kepada Kuncen untuk diberkati pada
lebaran Idul Fitri dan Idul Adha sebagai bentuk perayaan.
"Moros", merupakan kebiasaan untuk menyerahkan hasil-hasil bumi yang dimiliki kepada aparat
pemerintah seperti lurah dan camat.
Cebor Opat Puluh, adalah mandi dengan empat puluh kali siraman air dari pancuran yang
dicampur dengan air khusus namun telah diberi doa-doa pada jamban umum.
Jaroh, merupakan bentuk kegiatan berziarah ke makam Syekh Abdul Jalil, tapi sebelumnya harus
melakukan mandi cebor opat puluh dan mengambil air wudhu serta menanggalkan semua perhiasan
serta menggunakan pakaian yang tidak bercorak.
Shawalatan, dilakukan pada hari Jumat di rumah kuncen, berupa Shalawatan Karmilah sejumlah
4.444 kali yang dihitung dengan menggunakan batu.
Sebelasan dilakukan setiap tanggal 11 dalam perhitungan bulan Islam dengan membaca
Marekah, Terbang Gembrung merupakan kegiatan yang dilakukan pada tanggal 12 Maulud yang
dilakukan para orang tua Kampung Dukuh.
Terbang Sejak, merupakan suatu pertunjukan pada saat perayaan seperti khitanan dan
pernikahan, yakni sebagai pertunjukkan pertunjukan debus.
Maka terdapat hari-hari penting dan hari besar di Kampung Dukuh antara lain, 10 Muharam, 12
Maulud, 27 Rajab, 1 Syawal Idul Fitri serta pada setiap 10 Rayagung, dengan hari pentingnya Sabtu
(Pelaksanaan Ziarah), Rebo Welasan (Hari terakhir bulan Sapar).
Seluruh sumber air yang digunakan masyarakat diberi "jimat" (keampuhan) sebagai penolak bala,
dan biasanya diwajibkan untuk digunakan mandi, bahkan pada 14 Maulud dipercaya sebagai hari paling
baik untuk menguji dan mencari ilmu kepada para guru dengan melakukan cebor opat puluh, juga
terdapat tradisi 30 Bewah sebagai persiapan menjelang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, kata
Yayan.
Di sam ping itu ada juga kebudayaan yang sudah tidak berlaku lagi di masyarakat Kampung Adat
Dukuh, yakni: Dulu tata krama ketika akan masuk ke kampung Adat Dukuh tidak boleh memakai sandal
dan ketika hujan tidak boleh memakai paying tetapi untuk sekarang ini hal tersebut sudah tidak berlaku
lagi. Entah apa alasannya tetapi hal ini tidak lepas dari perkembangan zaman.

C. Sistem Organisasi Sosial Masyarakat Kampung Adat Dukuh


Masyarakat Kampung Adat Dukuh memiliki sistem kemasyarakatan yang sudah tertata dengan
baik dan berjalan sejak ratusan tahun yang lalu. Hal ini terbukti dengan berjalannya sistem organisasi
sosial yang ada di masyarakat Kampung Adat Dukuh dan tidak pernah berubah dari masa ke masa dan
masih berjalan samppai saat ini dan akan datang. Sistem organisasi sosial yang mereka gunakan
menganut sistem kokolotan yang berasaskan pada ajaran islam selain berpola budaya berlandaskan
religi yang sangat kuat, juga berpandangan hidup berlandas pada sufisme dengan berpedoman pada
Mazhab Imam Syafii.
Sistem kokolotan dimaksud adalah suatu sistem organisasi sosial yang menghargai dan
menghormati para kasepuhan atau kokolot dan karuhun atau nenekmoyang mereka menitipkan atau
mengamanatkan kepada anak cucunya di Kampung Adat Dukuh agar tetap menjalankan ajaran yang
telah diwariskan kepadanya.
Untuk menjalankan roda organisasi kemasyarakatan tersebut mereka berpedoman pada ajaran
agama islam dengan madzhab Imam Syafi’i. Sehingga landasan budaya tersebut, berpengaruh pada
bentukan fisik pedesaan dan adat istiadat masyarakatnya, yang sangat menjunjung keharmonisan serta
keselarasan hidup bermasyarakat.
Masyarakatnya homogen dan hidup terpencil dari keramaian kota dan perkampungan lain.
Menurut tradisi yang hidup sampai sekarang, masyarakat adat Kampung Dukuh sangat mematuhi
kasauran karuhun (nasehat leluhur). Nasehat ini menganjurkan hidup sederhana, sopan santun, tidak
berlebihan dan tidak mengejar kesenangan duniawi, serta tetap memegang prinsip kebersamaan.
Selain itu, ada adat tabu (larangan) yang tetap dipegang sehingga pola kampung dan kebiasaan-
kebiasaan sehari-hari tetap terjaga. Kemudian peranan kuncen sebagai pemimpin non formal dianggap
sebagai pelindung adat istiadat yang kewibawaannya sangat berpengaruh.

D. Sistem perkawinan
Sistem perkawinan masyarakat Kampung Adat Dukuh menganut sistem perkawinan bebas yang
sesuai dengan ajaran islam. Aturan di kampung dukuh memperbolehkan masyarakatnya untuk menikah
dengan siapa aja yang dicintainya asalkan tidak bertentangan dengan ajaran islam. Warga Kampung
dukuh bisa menikah dengan warga di luar kampung dukuh begitu juga sebaliknya.

E. Sistem Waris
Selain sistem perkawinan sistem pembagian waris pun di sesuaikan dengan ajaran islam. Di
mana laki-laki disebut “nanggung” sedangkan perempuan disebut “ngais” artinya bagian waris untuk
anak laki-laki dua kali lipat dari anak perempuan. Pada intinya pembagian waris di Masyarakat
Kampung Dukuh menganut dua hukum dalam pembagian waris
1. Hukum Adil
Artinya orang tua membagi warisannya secara adil sesuai kodratnya yang tertulis di dalam
alquran yakni anak laki-laki mendapat warisan dua kali lipat dari anak perempuan dan anak perempuan
mendapat bagian setengahnya dari anak laki-laki (2:1).
2. Hukum Biridho
Artinya orang tua membagi rata harta warisannya untuk anak-anaknya tanpa melihat perbedaan
kelamin sehingga anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagian yang sama. Di sini anak laki-laki
harus ikhlas (ridho) agar warisan bagiannya disamaratakan dengan saudara perempuannya.

F. Pantangan yang Berlaku di Masyarakat Kampung Dukuh


Sesuai dengan pola pikir masyarakat Indonesia yang salah satunya adalah Relegio Magis yang
di dalamnya terdapat pantangan. Begitu juga di masyarakat Kampung Adat Dukuh yang memiliki
banyak pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakatnya, diantaranya:
1. Tidak makan dengan tangan kanan dan kiri seperti halnya orang-orang kaya pada zaman
sekarang;
2. tidak boleh makan sambil berdiri apalgi sambil berjalan;
3. Diam atau duduk di pintu;
4. Kaki tidak boleh membujur ke utara karena terdapat makam keramat ”Syeh Abdul Jalil” yang
merupakan pendiri Kampung Adat Dukuh;
5. Kencing dan buang hajat harus menghadap ke barat;
6. Rumah-rumah tidak boleh mengahadap ke utara;
7. Tidak diperkenankan pula adanya prasarana listrik dan pemasangan televisi serta radio, yang
mereka yakini selain mendatangkan manfaat yang banyak, juga bisa mendatangkan banyak
kemudaratan;
8. Ketika ziarah ke makam Syeh Abdul Jalil harus memakai baju khusus yang telah disediakan yang
berbentuk ”gamis” dengan warna putih polos;
9. PNS tidak boleh zaiarah ke makam Syeh Abdul Jalil;
10. Terhadap wali yang meninggal tidak boleh menyebut ”maot” tetapi ”ngalih tempat”;
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam kisah tradisi yang dipercayai masyarakat setempat bahwa yang berjasa sebagai pendiri
Kampung Dukuh adalah Syekh Abdul Jalil. Menurut cerita pada abad ke-17, Rangga Gempol II yang
saat itu menjadi Bupati Sumedang yang berada di bawah kekuasaan Mataram, menghadap penguasa
Mataram dan mohon agar menunjuk seorang hakim/penghulu/kepala agama pengganti yang telah
meninggal. Sultan mengatakan bahwa penghulu pengganti tidak usah dicari jauh-jauh karena orang
tersebut ada di pedesaan Pasundan. Rangga Gempol II kemudian mencari orang yang dimaksud dan
akhirnya bertemu dengan Syekh Abdul Jalil, pemimpin sebuah pesantren yang mempunyai murid-murid
cukup banyak.
tengger (bormo) dan ada di wilayah kuningan.
Kampung adat dukuh sangat unik, dan masih memegang budaya lokal yg sangat kental.
Sebenarnya ada beberapa kampung adat di wilayah Kabupaten Garut. Satu di antaranya dan yang
paling besar adalah Kampung Dukuh. Seperti di kampung-kampung adat lain, masyarakat di Kampung
Dukuh sangat teguh memegang adat dan tradisi leluhurnya. Di kampung ini, penghuninya hidup jauh
dari kemewahan dan menerapkan pola hidup sederhana seperti diwariskan oleh leluhurnya dari
generasi ke generasi. Oleh karena itu jangan aneh jika di kampung ini tidak ditemukan jaringan listrik
dan alat-alat elektronik seperti radio dan televisi.

3.2 Saran
a. Kita harus banyak belajar lewat kesederhanaan, kebersahajaan dan solidaritas sosial warga
Kampung Dukuh. Di tengah-tengah kehidupan yang sangat hedonis, memudarnya apresiasi
terhadap nilai-nilai tradisi sosial yang semakin menggejala, dan persaingan hidup yang kadang
melunturkan nilai kemanusiaan kita. Begitu banyak hal yang bisa diambil dari kehidupan
masyarakat Kampung Dukuh. Mulai dari hubungan kemasyarakatan, interaksi dengan alam,
hingga pegangan bijak dari adat masyarakat Kampung Dukuh. Semua itu tercermin dari budi
yang luhur sebuah masyarakat sunda yang masih memegang teguh budayanya. Kita sudah
sepatutnya mensyukuri keaneka ragaman budaya yang ada di nusantara. Selayaknya kita
menghargai dan menjaga apa yang menjadi pegangan adat masyarakat kampung Dukuh.
b. Kampung Dukuh dapat di jadikan aset wisata di Jawa Barat yang berhubungan dengan Budaya.
Adat istiadat kampung Dukuh harus dihargai pemerintah, agar dipandang oleh dunia, karena
jarang kampung-kampung di Indonesia yang masih menjaga keutuhan dari budaya yang di
turunkan oleh leluhurnya.
TUGAS ANTROPOLOGI
STUDI ETNOGRAFI DESA SUKODONO
Untuk memenuhi tugas Antropologi Semester II Bab Etnografi
sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Ujian Nasional

Disusun Oleh :
1. Ahmad Sholeh Ar-Rayyan ( 02 )
2. Anafatul Zulaiha ( 06 )
3. Lisa Yuni Ningtias ( 13 )
4. M. Syukron Maghfuri ( 18 )
5. Muwasaun Niam ( 19 )
6. Puguh Ardianto Iskandar ( 24 )
7. Siti Metylasmita ( 27 )
8. Wahyu Kartika Dewi ( 29 )

SMAN 1 PECANGAAN
2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Karunia-
Nya dan Rahmat-Nya kepada kami, dan juga kami ucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Ahmad Sahil S. Pd. Selaku guru pengampu mata pelajaran antropologi
2. Bapak Rosid selaku kepala desa Sukodono
3. Bapak Kandir selaku carik desa Sukodono
4. Mbah Kasri selaku sesepuh desa Sukodono
5. Mbah Basir selaku pemegang Babad Sukodono
6. Masyarakat Sukodono
7. Dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan oleh penulis
Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan tugas mata pelajaran antropologi yakni
melaksanakan studi etnografi di desa Sukodono dalam bentuk Makalah Karya Ilmiah.
Karya ilmiah ini disajikan secara sistematis sehingga pembaca dapat dengan mudah
untuk memahaminya. Didalamnya berisi asal-usul desa Sukodono dan kehidupan di desa
Sukodono yang meliputi : lokasi dan demografi, sejarah bahasa, teknologi, sistem ekonomi,
organisasi sosial, pola penetapan, pengetahuan, religi serta kebudayaan adat istiadat.
Kami menyadari bahwa Karya Ilmiah Etnografi desa Sukodono ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Namun demikian, kami berharap semoga Karya Ilmiah Etnografi desa Sukodono ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan kita dapat memperoleh pengetahuan di dalamnya.
Pecangaan, 29 Januari 2011

Penulis
DAFTAR ISI
I. HALAMAN JUDUL
i. Halaman Judul
ii. Kata Pengantar
iii. Daftar Isi
iv. Daftar Gambar
II. BAB PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
III. BAB TELAAH PUSTAKA
A. Teori yang Mendasari
IV. BAB METODOLOGI
A. Pemilihan Subjek
B. Desain dan Pendekatan
C. Pengumpulan Data
V. BAB PELAKSANAAN PENELITIAN
A. Validasi Instrumen
B. Penyajian Data
VI. BAB PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Organisasi Sosial dan Pola Menetap
B. Pengetahuan
C. Sistem Ekonomi
D. Lokasi, lingkungan alam dan Demografi
E. Teknologi
F. Pembangunan/
G. Asal mula dan Sejarah
H. Naskah Kuno
I. Bahasa
J. Religi / Agama
K. Kebudayaan dan Adat Tradisi
VII. DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR
Balai Desa Sukodono Apem Sukodono

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia terkenal dengan masyarakat yang memiliki kebudayaan yang
beraneka ragam. Pada setiap daerah, mayarakat kita mengembangkan kebudayaannya masing-
masin. Kebudayaan yang dikembangkan di daerah-daerahdisebut dengan kebudayaan lokal.
Kebudayaan umat manusia memiliki tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal. Ke tujuh
unsur tersebut adalah sistem religi, sistem kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem bahasa,
sistem kesenian, sistem mata pencahariaan dan sistem teknologi.
Di Jepara, pada tiap-tiap desanya memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Salah satu
desa yang memiliki kebudayaaan yangg khas di Jepara adalah desa Sukodono. Untuk
mengetahui kebudayaan desa Sukodono diperlukan adanya penelitian Etnografi agar dapat
memahami pandangan hidup dari sudut pandang “Penduduk Asli” atau pelaku kebudayaan
terhadap dunianya.
Kajian Etnografi yang dilakukan untuk mengetahui 7 unsur kebudayaan universal yang
ada di desa Sukodono. Studi Etnografi seperti penentuan topik, penyusun proposal,
pengumpulan data analisis dan penulisan laporan dalam bentuk makalah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mayoritas penduduk, khususnya dalam keluarga inti mengikuti sistem monogami
ata poligami?
2. Bagaimana pola menetap anak yang telah menikah? Apakah mereka ikut orangtua dari suami,
istri atau membangun rumah sendiri?
3. Bagaimana keadaan sistem kekerabatan di desa Sukodono?
4. Apa saja pengetahuan yang diketahui masyarakat Sukodono? Dan bagaimana penjelasannya
tentang pengetahuan tersebut?
5. Bagaimana sistem perekonomian di desa Sukodono?
6. Apa mayoritas pekerjaan warga desa Sukodono?
7. Apakah seorang istri juga bekerja di luar rumah? Dan apa saja jenis pekerjaannya?
8. Bagaimana iklan ataupun cuaca yang terdapat dalam desa Sukodono?
9. Bagaimana dataran di Sukodono? Termasuk dataran tinggi, rendah atau yang lainnya?
10. Bagaimana dengan curah hujan di desa Sukodono?
11. Bagaimanakah dengan jumlah penduduk di desa Sukodono? Termasuk padat atau jarang
penduduk?
12. Adakah fauna atau flora khas dari desa Sukodono? Jika ada apa sajakah itu?
13. Berbatasan dengan apa saja desa Sukodono ini?
14. Bagaiamana dengan perkembangan penduduk di desa Sukodono?
15. Apa sajakah alat-alat produksi masyarakat setempat?
16. Apa sajakah alat transportasi yang biasa digunakan masyarakat Sukodono?
17. Bagaimana dengan jenis-jenis rumah yang terdapat di desa Sukodono sendiri?
18. Bagaimanakah sistem teknologi dari berbagai bidang yang terdapat di desa Sukodono?
19. Bagaimana pula sistem pembangunan di desa Sukodono?
20. Bagaimana asal mula dan sejarah terbentuknya desa Sukodono?
21. Adakah mitologi dan cerita rakyat setempat yang berkenaan dengan desa Sukodono?
22. Di desa Sukodono ada makam mbah Sentono. Siapakah beliau?
23. Apakah desa Sukodono mempunyai naskah kuno?
24. Apakah isi dari babad/naskah kuno tersebut?
25. Dimana naskah kuno tersebut?
26. Siapa yang membawa naskah kuno tersebut?
27. Apa bahasa lisan (logat dan dialek) yang digunakan oleh masyarakat desa Sukodono?
28. Bahasa apa yang digunakan dalam naskah kuno?
29. Apakah ada upacara keagamaan khusus disini? Tolong jelaskan!
30. Adakah kepercayaan tersendiri dalam tiap agama?
31. Agama apa saja yang dianut mayoritas masyarakat Sukodono? Adakah agama lainnya? Apa
saja?
32. Bagaimana konsep masyarakat setempat tentang dewa-dewa dan makhluk/roh halus?
33. Adakah kebudayaan di desa Sukodono?
34. Kesenian apa saja yang ada di desa Sukodono?

C. Tujuan Penelitian
1. Memenuhi tugas praktek Antropologi semester II bab Etnografi sebagai salah satu syarat untuk
mengikuti Ujian Nasional.
2. Menguraikan budaya desa Sukodono secara holistis.
3. Menemukan makna tindakan budaya desa Sukodono yang diekspresikan.
4. Menguraikan aspek budaya, baik secara spiritual maupun material.
5. Memahami pandangan hidup dari sudut pandang “penduduk asli” atau pelaku kebudayaan
tehadap dunianya.
BAB II
PENELAAHAN KEPUSTAKAAN

A. Teori Yang Mendasari


a. Etnografi
Etnografi adalah berasal dari kata ethnos yang berarti bangsa dan graphein yang berarti
tulisan atau uraian. Jadi berdasarkan asal katanya, etnografi berarti tulisan tentang/ mengenai
bangsa. Namun pengertian tentang etnografi tidak hanya sampai sebatas itu. Burhan Bungin (
2008:220) mengatakan etnografi merupakan embrio dari antropologi. Artinya etnografi lahir
dari antropologi di mana jika kita berbicara etnografi maka kita tidak lepas dari antropologi
setidaknya kita sudah mempelajari dasar dari antropologi. Etnografi merupakan ciri khas
antropologi artinya etnografi merupakan metode penelitian lapangan asli dari antropologi (
Marzali 2005:42).
b. Rumusan Masalah

Ada beberapa para ahli mendefinisikan tentang rumusan masalah, diantaranya:

Menurut Pariata Westra (1981 : 263 ) bahwa “Suatu masalah yang terjadi apabila seseorang
berusaha mencoba suatu tujuan atau percobaannya yang pertama untuk mencapai tujuan itu
hingga berhasil.”

Menurut Sutrisno Hadi ( 1973 : 3 ) “Masalah adalah kejadian yang menimbulkan pertanyaan
kenapa dan kenapa”.

c. Hipotesis

Hipotesis adalah suatu ide untuk menyelesaikan suatu masalah. Hipotesis merupakan kunci
keberhasilan suatu eksperimen. Hipotesis merupakan salah satu bentuk konkrit dari perumusan
masalah. Dengan adanya hipotesis, pelaksanaan penelitian diarahkan untuk membenarkan atau
menolak hipotesis. Pada umumnya hipotesis dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang
menguraikan hubungan sebab-akibat antara variabel bebas dan tak bebas gejala yang diteliti.
Hipotesis mempunyai peranan memberikan arah dan tujuan pelaksanaan penelitian, dan memandu
ke arah penyelesaiannya secara lebih efisien. Hipotesis yang baik akan menghindarkan penelitian
tanpa tujuan, dan pengumpulan data yang tidak relevan. Tidak semua penelitian memerlukan
hipotesis.

d. Demografi

Demografi didefinisikan dalam berbagai arti menurut beberapa ahli. Diantaranya :

Menurut Multilingual Demographic Dictionary, Demography is the scientific study of human


populations in primarily with the respect to their size, their structure (composition) and their
development (change). Yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia, kurang lebih artinya sebagai
berikut : Demografi adalah ilmu yang mempelajari penduduk (suatu wilayah) terutama mengenai
jumlah, struktur (komposisi penduduk) dan perkembangannya (perubahannya).

Sedangkan menurut Philip M Hauser dan Duddley Duncan (1959) mengusulkan definisi
demografi adalah “Demography is the study of the size, territorial distribution and composition of
population, changes there in and the components of such changes which maybe identified as
natality, territorial movements (migration) and social mobility (changes of states). Yang dalam
terjemahan Indonesia diartikan kurang lebih sebagai berikut “ Demografi mempelajari jumlah,
persebaran, territorial, dan komposisi penduduk serta perubahan-perubahannya dan sebab-sebab
perubahan itu yang biasanya timbul dari natalitas (fertilitas), mortalitas, gerak territorial (migrasi)
dan mobilitas social (perubahan status).

e. Bahasa
Pengertian bahasa menurut para ahli :
1. Menurut Kerafsm Arapradhipa 2005 :
Memberikan dua pengertian :
- Bahasa : Sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa symbol bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia.
- Bahasa : Sistem komunikasi yang mempergunakan symbol-simbol vokal.
2. Menurut Torigan (1989 : 4)
Beliau memberikan dua definisi bahasa :
- Bahasa adalah : Suatu sistem yang sistematis barangkali untuk sistem generatif.
- Bahasa adalah : Seperangkat lambang-lambang atau symbol-simbol orbiter.
3. Menurut Santoso (1990 : 1)
Bahasa adalah rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar.
4. Menurut Wibowo (2009 : 3)
Bahasa adalah suatu sistem symbol bunyi yang bermakna yang berarti kualisi (dihasilkan oleh alat
ucap) yang bersifat arbiter dan konfisional yang dipakai sebagai alat komunikasi oleh sekelompok
orang untuk melahirkan perasaan dan pikiran.
5. Menurut Wibowo, Walija (1990 : 4) mengungkapkan :
Definisi bahasa adalah : komunikasi yang paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide,
pesan, maksud dan pendapat kepada orang lain.
6. Menurut Pengabean (1981 : 5) berpendapat :
Bahasa adalah suatu sistem yang mengutarakan dan melepaskan apa yang terjadi pada sistem
saraf.
7. Menurut Soejono (1983 : 01)
Bahasa adalah suatu sarana perhubungan rohani yang penting dalam hidup bersama

f. Sistem Ekonomi

Menurut Dumairy, 1966 sistem ekonomi adalah suatu sistem yang mengatur serta
menjalin hubungan ekonomi antar manusia dengan seperangkat kelembagaan dalam suat
tatanan kehidupan, selanjutnya dikatakannya pula bahwa suatu sistem ekonomi tidaklah harus
berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan falsafah, padangan dan pola hidup masyarakat
tempatnya berpijak.
Menurut Sheridan, 1998, dalam publikasinya mengenai sistem-sistem ekonomi yang ada
di Asia mengatakan bahwa Economic system refers to the way people perform economic activities
in their search for personal happiness. Dalam kata lain, sistem ekonomi adalah cara manusia
melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan atau memberikan kepuasan pribadinya.

g. Organisasi Sosial
a. Rosenzweig
Organisasi dapat dipandang sebagai :
Sistem sosial, yaitu orang-orang dalam kelompok Integrasi atau kesatuan dari aktivitas-
aktivitas orang-orang yang bekerja sama Orang-orang yang berorientasi atau berpedoman pada
tujuan bersama.
b. Matthias Aroef
Suatu organisasi terjadi apabila sekelompok orang bekerja bersama sama untuk mencapai
tujuannya
c. Pfiffner dan Sherwood

Organisasi sebagai suatu pola dari cara-cara dalam mana sejumlah orang yang saling
berhubungan, bertemu muka, secara intim dan terkait dalam suatu tugas yang bersifat kompleks,
berhubungan satu dengan yang lainnya secara sadar, menetapkan dan mencapai tujuan yang
telah ditetapkan semula secara sistematis.

d. Bakke

Organisasi merupakan sebuah sistem yang kontinue dari penggunaan, pemindahan


aktivitas-aktivitas manusia yang dibebankan dan dikoordinasikan, sehingga membentuk suatu
kumpulan tertentu yang terdiri dari manusia, material, kapital, gagasan, dan sumber daya alam ke
dalam suatu keseluruhan pemecahan persoalan

e. Allen

Organisasi adalah suatu proses identifikasi dan pembentukan serta pengelompokan kerja,
mendefinisikan dan mendelegasikan wewenang maupun tanggung jawab dan menetapkan
hubungan - hubungan dengan maksud untuk memungkinkan orang-orang bekerjasama secara
efektif dalam menuju tujuan yang ditetapkan.

h. Religi

Menurut Edward Burnett Tylor, seorang ahli antropologi dari Inggris, agama adalah
kepercayaan pada makhluk-makhluk spiritual. Lebih lanjut dikatakannya bahwa agama adalah
budaya primitif. Menurutnya, tahap awal agama adalah kepercayaan animisme, yaitu alam memiliki
jiwa. Pemujaan terhadap orang mati, pemujaan kepada para leluhur atau nenek moyang.

Sementara itu, Emile Durkheim seorang ahli sosiologi dari Prancis mengatakan bahwa agama
adalah hal yang berkenaan dengan sesuatu yang sakral dengan yang sosial.

BAB III
METODOLOGI
A. Pemilihan Subjek
1. Populasi
Desa Sukodono merupakan desa yang terletak di sebelah timur desa Langon. Desa
Sukodono mempunyai populasi yang cukup padat di daerah Jepara, dan secara keseluruhan
populasinya mencapai kurang lebih 5013 warga.
2. Sampel
Untuk mencari informasi dari etnografi desa Sukodono, kami mencari sumber-sumber
informasi (informan) dengan memperhatikan :
a. Enkulturasi penuh
b. Keterlibatan langsung
c. Mengenal suasana budaya
d. Memiliki waktu yang cukup
e. Non-analitis
Dari populasi warga Sukodono, kami memilih beberapa sampel dengan melakukan kegiatan
wawancara terhadap tokoh-tokoh masyarakat maupun masyarakat asli setempat. Antara lain :
a. Kepala desa Sukodono ; Bapak Rosid.
b. Pegawai Carik : Bp. Sagiman dan Bu Nur Isnaini.
c. Sesepuh Desa :
 Mbah Basir ( orang yang menyimpan dan dapat membaca Kitab Kuno Sukodono)
 Mbah Kasri dan Mbah Warni ( orang tua yang mengetahui mitologi, cerita rakyat setempat dan
adat-adat desa Sukodono )
d. Masyarakat setempat ; Pak Moden.

B. Desain dan Pendekatan


Desain yang kami gunakan dalam meneliti desa Sukodono ialah wawancara. Wawancara
ialah metode dalam mengumpulkan keterangan dan data dalam rangka penelitian masyarakat.
Dan wawancara yang kami gunakan adalah wawancara berencana (standardized interview).
Dan jika berdasarkan pertanyaannya, jenis wawancara yang kami aplikasikan ialah wawancara
terbuka (open interview) yakni wawancara yang terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang
bentuknya memungkinkan jawaban-jawaban yang dikemukakan oleh responden atau informan
tidak terbatas dalam beberapa kata saja, tetapi dapat menyampaikan keterangan-keterangan dan
cerita-cerita yang panjang. Dan dari kegiatan wawancara tersebut, kami memilih 2 (dua) cara
pencatatan, yakni :
- Pencatatan langsung
- Pencacatan dengan alat perekam
Pendekatan yang kami gunakan dalam etnografi desa Sukodono adalah pendekatan
materialisme historis. Kami memilih pendekatan dengan cara ini karena desa Sukodono
memiliki banyak cerita rakyat dan mitologi setempat dari berbagai sumber dan juga versi.
Desain dan pendekatan yang kami gunakan ini sangat membantu dalam proses penelitian
kami.

C. Pengumpulan Data
Dalam proses penyusunan etnografi penelitian lapangan (field work) bertujuan
mengumpulkan data etnografi. Metode pengumpulkan data yang kami gunakan adalah dengan
menggunakan cara wawancara mendalam (indepth interview). Dan agar data yang telah didapat
tidak dapat mudah hilang, kami menggunakan alat rekam yaitu kertas dan alat tulis, kamera
foto dan kamera video.
Dari data yang terkumpul pada desa Sukodono secara keseluruhan dari segi religi, mata
pencahariaan, sosial budaya dan lain-lain desa Sukodono termasuk desa yang tergolong mampu
berkembang, dengan prosentase penduduknya 50% lulusan SD, 20% lulusan SMP dan 30%
lulusan SMA. Hal tersebut tidak mempengaruhi berkembangnya desa Sukodono.
BAB IV
PELAKSANAAN PENELITIAN

A. Validasi Instrumen
a. Bidang Organisasi Sosial dan Ekonomi
Di dalam masyarakat desa Sukodono ternyata mereka menganut sistem monogami.
Sedangkan di bidang ekonomi, kebanyakan masyarakat desa Sukodono menggeluti bidang
permeubelan karena desa ini termasuk dalam desa pengrajin alat-alat rumah tangga yang
berebahan kayu. Sehingga benar adanya apabila desa Sukodono disebut sebagai desa
permeubelan.
b. Bidang Pembangunan
Pembangunan di dalam masyarakat desa Sukodono relatif baik, hal ini dikarenakan
adanya swadaya masyarakat yang tergolong tinggi. Contohnya bisa dilihat dari pembangunan
jalan yang ada dalam desa Sukodono. Jalan yang relatif baik, tidak banyak lubang dan
ketebalan dari jalan itu sendiri.
c. Bidang / Aspek Sejarah dan Asal Mula
Di dalam masyarakat desa Sukodono, ternyata benar adanya bahwa terdapat budaya /
tradisi apeman. Tradisi tersebut dilaksanakan pada hari Jum’at Pon pada bulan Syawal. Apem
tersebut berbentuk lingkaran besar, berwarna putih dan apem tersebut setelah selamatan dibagi
menjadi 4 bagian. Dan ternyata terdapat pula makam mbah Sentono yang terletak di sebelah
Barat desa Sukodono. Selain itu, ternyata terdapat Babad Sukodono, yakni sebuah kitab/buku
yang menceritakan tentang asal mula desa Sukodono. Namun, disayangkan untuk Makam
Mbah Sentono dan Babad Sukodono tidak dipperbolehkan untuk
memotret/mendokumentasikannya.
Jadi, tradisi apeman dan Babad Sukodono benar-benar ada.

B. Penyajian Data
Etnografi merupakan salah satu bentuk hasil studi ilmu antropologi. Di dalam Etnografi,
terdapat 3 bentuk hasil kajian Etnografi, yaitu Artikel, Makalah dan Karya foto.
Dalam penelitian ini, kami memilih untuk memaparkan hasil penelitian kami dalam bentuk
makalah dan juga karya foto. Kami memilih keduanya karena ada beberapa alasan. Alasan
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Makalah merupakan karya tulis yang disusun untuk disajikan atu dipresentasikan. Dalam hal
ini, kami menilai bahwa apabila hasil penelitian kami disajikan dalam bentuk makalah, maka
berbagai informasi yang kami paparkan akan tersusun secara sistematis sehingga bisa secara
runtut dan jelas.
b. Selain itu, hasil penelitian dalam bentuk makalah akan terlihat lebih rapi dan lebih formal.
Terlebih lagi bahwa hasil penelitian merupakan salah satu di bentuk karya ilmiah.
Kemudian kami juga memilih hasil kajian Etnografi ini dalam bentuk karya foto juga
dengan berberapa alasan sebagai berikut :
a. Karya foto merupakan salah satu studi yang memanfaatkan foto sebagai alat rekam dan alat
analisis aktualisasi kebudayaansuatu komunitas atau masyarakat. Selain itu, foto juga memiliki
makna, apabila disusun secara berurutan.
b. Dari dalam gambar sebuah foto terdapat penctum, yaitu suatu detail yang menarik perhatian
orang untuk melihatnya sehingga orang itu berimajinasi tentang sesuatu yang ada di luar foto.
c. Foto dapat dijadikan alat untuk menganalisis kebudayaan suatu masyarakat. Detail ( Bagian
khusus dari objek ) yang ada di dalam foto peristiwa kebudayaan memberi peluang kepada kita
untuk menginterpretasikan kebudayaan.
BAB V
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
1. Organisasi Sosial dan Pola Menetap
Berdasarkan dari hasil penelitian di desa Sukodono, keadaan masyarakat dalam kelompok
inti menganut sistem monogami ( suami yang mempunyai satu istri ). Dan pada anak yang telah
menikah biasanya mereka ikut orang tua dari suami atau yang disebut juga dengan virilokal.
Sistem kekerabatan di desa Sukodono ini sangatlah tentram dan saling bergotong royong
antar sesama manusia. Mereka tidak pernah memandang antara yang miskin dan yang kaya.
Mereka saling bersatu.
2. Pengetahuan
Sistem pengetahuan pada masyarakat desa Sukodono meliputi sistem pengetahuan tentang
pertanian karena masyarakat di desa Sukodono mayoritas bekerja sebagai petani. Para petani
tersebut jika mulai datang musim hujan, mereka melakukan kegiatan menanam padi, jagung
dan lain-lain karena pada musim ini tanah mengalami kesuburan yang baik. Setelah jarak 4
bulan kemudian para petani tersebut mulai mengawali musim panen. Akan tetapi, mereka juga
terkadang mengalami kerugian besar jika banjir melenyapkan tanamannya.
3. Sistem Ekonomi
Masyarakat desa Sukodono dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak yang bekerja
dibandingkan dengan yang pengangguran. Mayoritas masyarakat Sukodono bekerja sebagai
petani (bercocok tanam). Akan tetapi, di sisi lain juga ada masyarakat yang bekerja sebagai
pengukir dan pengrajin meubel. Tidak hanya kaum lelaki saja yang mencari nafkah akan tetapi
kaum perempuan pun selain menjadi ibu rumah tangga mereka juga ada yang bekerja di pabrik
sebagai buruh. Itu semua dilakukan demi mencukupi kebutuhan hidup.
4. Lokasi, Lingkungan alam dan Demografi
a. Pada desa Sukodono ini, iklim atau cuaca yang ada umumnya sama seperti daerah-daerah lain.
Apabila sedang musim hujan, maka curah hujan yang ada relatif tinggi namun tidak sampai
menyebabkan banjir.
b. Desa Sukodono sendiri termasuk dataran sedang, tidak termasuk dataran tinggi maupun rendah.
c. Masyarakat yang terdapat di desa Sukodono relatif padat. Berdasarkan perhitungan bulan
Desember 2011, jumlah penduduk desa Sukodono mencapai angka 5013 . Jumlah itu
merupakan gabungan antara penduduk laki-laki dan perempuan. Rata-rata 1 km persegi bisa
dihuni oleh 500 orang.
d. Mengenai flora dan juga fauna, desa Sukodono tidak memiliki flora dan fauna yang khas.
e. Menurut Nur Isnaini, seorang pegawai kelurahan desa Sukodono menuturkan bahwa desa
Sukodono berbatasan dengan berbagai daerah antar lain diarah utara berbatasan dengan
Tahunan, di Selatan berbatasan dengan desa Kosono dan Petekeyan, di sebelah barat berbatasan
dengan desa Mantingan. Sedangkan di sebelah Timur berbatsan dengan desa Langon.
f. Alat produksi yang sering digunakan didominasi oleh alat-alat permebelan.
g. Dan untuk alat transportasi masyarakat setempat sering menggunakan sepeda motor.
h. Mengenai jenis-jenis rumah yang ada di masyarakat Suodono lebih banyak menggunakan jenis
rumah berlantai ubin dan bertembok.
i. Prosentase pendidikan masyarakat desa Sukodono ialah 50% lulusan SD, 20% lulusan SMP,
30% lulusan SMP. Dan pekerjaan didomonasi oleh permebelan hingga mencapai 70%.
5. Teknologi
Sistem teknologi memiliki perbedaan pada tiap-tiap bidang. Misalkan di bidang pertanian,
masih menggunakan alat manual karena pertanian sering terganggu oleh letak geografis
sehingga sulit untuk menggunakan alat-alat yang bermesin. Selain pertanian, ada juga
peternakan. Peternakan sendiri masih menggunakan alat manual. Sisanya, yakni permebelan. Di
bidang ini, permebelan sudah menggunakan alat-alat bermesin.
6. Pembangunan
Mengenai pembangunan, swadaya masyarakat cuckup besar dalam artian kesadaran
masyarakat cukup tinggi di bidang pembangunan, kemudian untuk pembangunan yang
tergolong baru ada banyak sekali. Antara lain : pembangunan jalan di RT III/IV, pembangunan
saluran air di perbatasan Tahunan dan lain-lain. Dan yang didapat ada yang dari pemerintah dan
juga dari desa.
Contoh dari desa yaitu AAD. AAD yaitu hasil PBB ( Pajak Pembangunan ) yang didapat
dari penduduk. Selain itu, ada PNPM. PNPM didapat melalui pemerintah. Prosentase
stimulannya yakni antara 60-70% selebihnya merupakan hasil dari swadaya masyarakat. Dana
dari pemerintah sendiri didapat dengan cara pengajuan proposal desa.
7. Asal Mula dan Sejarah
Asal mula dan sejarah desa Sukodono sendiri memiliki beberapa versi :
Yang pertama, dahulu kala beberapa ratus tahun yang lalu Sukodono masih merupakan
hutan belantara. Pada suatu hari ada seorang pengembara yang diyakini berasal dari desa
Senenan. Pengembara tadi berjalan ke arah selatan. Setelah di suatu tempat, orang itu berhanti
dan berpikir bahwa tempat itu cocok untuk didiami atau dijadikan pemukiman. Maka dari itu,
tempat yang masih berupa hutan belantara tadi di babat dan ditata sehingga menjadi daerah
yang bagus dan layak mukim. Si pengembara lalu bermukim bersama keluarganya. Berhubung
tempat itu dianggap tempat yang barumaka tempat itu dinamai dukuh Karanganyar. Karena
daerahnya bagus, lama kelamaan banyak juga warganya yang bermukim dan bekerjasama
untuk memperluas daerah itu. Dengan kerjasama yang baikdan sikap tolong menolong antar
warganya, akhirnya warganya menjadi bertambah hingga mencapai 44 kepala keluarga. Karena
warganya sudah banyak, 44 kk tadi berunding untuk menemukan pemimpin ( sekarang lebih
dikenal dengan sebutan petinggi ). Pada hari itu juga, karena kesepakatan semua warga
akhirnya dipilihlah seorang pemimpin sekaligus mengesahkan dan meresmikan nama daerah
tersebut dengan sebutan SUKODONO, sesuai dengan semangat warga yang suka tolong-
menolong, membantu dan menghargai. Sukodono berasal dari kata Suko = Suka, Dono =
Menolong, membantu. Karena sebelumnya nama desa itu Karanganyar, lalu nama Karanganyar
diabadikan untuk desa Sukodono bagian utara disebut Dukuh Karanganyar.
Di Sukodono terdapat makam mbah Sentono yang diketahui merupakan salah satu kerabat
dari Mataram. Namun, mbah Sentono itu bukanlah nama asli dan tak seorangpun yang tahu
nama asli mbah Sentono tersebut. Ada pengembara versi cerita mengenai Datuk, pemimpin
desa Sukodono. Salah satunya mengemukakan mbah Datuk adalah cucu dari mbah Potro yang
berasal dari Mataram. Mbah Potro tinggal di Lor Agung. Datuk memiliki cucu yang bernama
Wangsaguna. Wangsaguna adalah sesepuh desa Senenan dan juga orangtua dari pengembara
yang membangun desa Sukodono.
Yang kedua, asal desa Sukodono bermula dari orang-orang Mataram yang datang ke Jepara
dengan maksud ingin menyempurnakan akhlak. Mereka datang untuk menjadikan tanah yang
didiami agar lebih baik imannya dan tempatnya. Setelah lama di Jepara mereka berpindah ke
desa KedungCino, lalu berpindah ke Senenan dan berkhir di desa Sukodono. Setelah desa
Sukodono menjadi baik dan ornag-orang Mataram telah menyempurnakan akhlaknya, akhirnya
mereka kembali ke Mataram. Dapat ditarik kesimpulan bahwa nama desa Sukodono berasal
dari kata Suko (lila) yang mempunyai arti ikhlas, membuat kebaikan dan ikhlas meninggalkan
tempat yang sudh diperbaikinya,s edangkan kata Dono (weweh) yang mempunyai arti memberi.
Pada awal awalnya desa Sukodono hanya berjumlah 44 KK dan yang menjadi petinggi pertama
adalah mabh Semidin serta lima temannya sarikat desa.

8. Naskah Kuno
Naskah kuno yang terdapat di Sukodono adalah Babad Sukodono. Babad Sukodono
menceritakan kisah Allah SWT memulai zaman hingga zaman sekarang dan kisah para nabi.
Babad Sukodono tidak diketahui pengarangnya dan buku tersebut tidak terbuat dari kertas
biasa. Menurut sumber, kitab tersebut terbuat dari kapas. Kitab Sukodono memiliki ukuran
25x40x4 cm. Tidak sembarang orang bisa membaca Babad Sukodono, hanya orang-orang
tertentu dan terpilih saja. Orang yang bisa membaca kitab Sukodono biasanya melakukan ritual
semacam selamatan sebelum membaca kitab tersebut. Bahasa dan tulisan pada Babad tersebut
ialah Jawa kuno. Babad tersebut tidak dapat dipelajari oleh sembarang orang dan sangat
dirahasiakan isi dari Babad tersebut.
Selain Babad Sukodono, di Sukodono juga terdapat buku yang isinya menceritakan sejarah
nabi,sebutan untuk Allah SWT dan juga berisi ilmu fiqih ( hukum islam ) . di buku tersebut
juga menceritakan bahwa sebelum manusia ada sudah pernah terjadi kiamat sebanyak 2 kali.
Bahasa yang digunakan pada buku itu adalah bahasa jawa, tembung bahasa sansekerta.
Tulisannya berwujud jawa kuno namun 6 lembar tulisan arab. Di buku itu ada zat-zat di bumi
yang dikaitkan dengan gerakan sholat. Adapun pengaitannya sebagai berikut :
o Berdiri dikaitkan dengan api
o Rukuk dikaitkan dengan angin
o Sujud dikaitkan dengan air
o Duduk dikaitkan dengan tanah
9. Bahasa
Bahasa sehari-hari masyarakat Sukodono adalah bahasa Jawa seperti pada umumnya orang
jawa. Dari ngoko lugu, ngoko alus, krama lugu dan juga krama alus. Penggunaannya
disesuaikan pada siapa mereka sedang berkomunikasi. Semakin tinggi derajat dan tua maka
percakapan mereka akan menggunakan krama lugu dan krama alus.

10. Religi / Agama


Mayoritas agama yang ada di Sukodono yaitu agama Islam. Di Sukodono juga terdapat
agama lain seperti Kristen dan Budha. Pada agama Islam terdapat kepercayaan Islam Sejati
Pangestu yang dianut oleh warga Dukuh Karanganyar. Dulunya kuburan yang ada di desa
Sukodono tidak cuma untuk warga beragama islam saja. Semua agama dapat mengubur jenazah
umatnya pada lokasi kuburan yang sama. Namun, karena saat ini TPU sudah tidak cukup, umat
Kristen membuat kuburan sendiri. Orang Budha percaya pada dewa-dewa karena dianggap
makhluk tertinggi setelah Tuhan. Dewa yang disegani oleh masyarakat Budha di desa
Sukodono adalah dewa Syiwa sekarang, penganut agama Budha sudah semakin sedikit karena
banyak yang pindah ke agama lain. Mereka mengganti agama mereka karena pernikahan.
Misalnya : si A beragama Islam, si B beragama Budha. Jika mereka menikah dan si B ikut
dengan si A, maka si B harus mengikuti agama si A.
Di desa Sukodono memiliki kepercayaan yakni jalan di desa Sukodono sangatlah unik,
karena tidak dibuat lurus tetapi bercabang-cabang atau banyak perempatan dan pertigaan. Jalan
yang dibuat seperti itu mempunyai maksud agar orang yang berbuat jelek, tidak akan menemui
hasilnya atau dalam bahasa jawanya ( kebalasan ).
11. Kebudayaan dan Adat Tradisi
Di Sukodono banyak tradisi yang dilakukan oleh warganya. Rata-rata tradisi yang dilaksanakan
kental dengan ajaran Islam. Setidaknya ada 10 kali perayaan tradisi di rumah petinggi. Di desa
Sukodono sebenarnya mempunyai banyak tradisi, dan tradisi leluhur-leluhur yang menempati
desa Sukodono. Berikut adalah adat istiadat masyarakat di desa Sukodono tiap sasi (bulan) :
a. Ruwah, yang dilaksanakan setiap tanggal 15 (jawa) dan juga
diadakannya beratan. Dalam acara ini dilakukan slametan atau kenduren yang bertujuan agar
mendapat keslamatan dan berkah. Dilakukan di rumah pak lurah, sedangkan yang menjadi ciri
adalah pisang sebanyak 44 biji ( pisang raja atau kawesta )
b. Pasa, tanggal 21 (jawa) menjelang puasa dilakukan acara maleman agar menjalankan puasa
diberi kemudahan. Yang menjadi pembeda dari yang lainnya adalah sego (nasi), pisang (masih
cengkehan), gemblong (jenang putih), bubur dan gedang goreng.
c. Syawal, pada tanggal 1 nama lainnya adalah bodo (lebaran). Pada saat Syawal dilakukan acara
tadahan yang mempunyai arti bersalam-salaman untuk bermaaf-maafan. Yang menjadi ciri
pada tanggal 1 Syawal di desa Sukodono adalah membuat ketupat dan lepet, selain untuk
dimakan juga untuk mengalungi kendaraan, hewan dan juga pintu-pintu agar selamat.
d. Apit pada hari Senin Pahing, pada saat itu dilakukan pula Sedakh Bumi (Kabumi) yang
bermaksud untuk mensyukuri nikmat Allah. Sedekah Bumi merupakan wujud syukur yang
diperingati dengan cara menanggap hiburan pada perayaan tersebut. Hiburan yang ditampilkan
dapat berupa wayang dan juga tayuban. Wayang saja atau tayuban saja dan juga pernah pula
kedua-duanya. Para warga juga menyembelih kerbau pada esok hari.
e. Pada hari Jumat Pon di bulan Syawal pula masyarakat Sukodono melakukan tradisi Apeman.
Apem yang dibuat di desa Sukodono ini berbentuk lingkaran besar berwarna putih terbuat dari
tepung beras dan ragi. Apem-apem yang telah dibuat tiap warga dibawa ke rumah lurah untuk
do’akan dan diberikan selamatan . Apem tersebut dibagi menjadi empat bagian. Ada beberapa
versi cerita asal mula Apem Sukodono ini :
 Bearwal dari Sam, putra nabi Nuh yang ingin mencari kayu tetapi anaknya di rumah lapar. Dia
merasa bingung karena memilih anaknya atau mengambil kayu. Dan akhirnya dia memilih
mencari kayu, selain itu dia meminta makanan dan dia diberi satu apem, tetapi dia masih
merasa belum cukup untuk dimakan. Dan akhirnya dia disuruh menyebut nama Allah sebelum
membakannya kemudian membagianya sampai menjadi 4 bagian. Setelah ia memakan
seperempat bagian itu ternyata tidak sampai habis dia sudah merasa kekenyangan. Dan ini yang
ditiru oleh masyarakat Sukodono, yakni membaginya menjadi 4 bagian.
 Pada waktu ada orang banyak yang datang, tetapi bahan persediaan makanannya sedikit
dengan seadanya mereka memasak bahan seadanya dan mereka membumbui pula dengan apa
saja yang ada yakni kerikil, tetapi tidak diduga bahwa apem tersebut lah hasil dari semuanya.
Apem itu menjadi empuk. Apem itu berwarna putih dan tanpa ada rasa manis. Setelah itu apem
dibagi menjadi 4 bagian untuk dibagikan kepada warga desa Sukodono.
f. Besar tanggal 10 diadakan kurban ( bada kurban ).
g. Sura tanggal 7, pada bulan itu dilakukan acar suranan dan biasanya membuat bubur suran.
h. Sapar tanggal 1 ada acara saparan. Berbeda dengan lainnya, saparan dilakukan dengan
selamatan di rumah masing-masing warga.
i. Mulud tanggal , pisang yang berjumlah 44 biji (melambangkan jumlah pertama kali Kepala
keluarga di desa Sukodono). Acara Muludan ini ialah untuk memperingati kebesaran Nabi
Muhammad SAW.
j. Ba’da Mulud, pada acra ini banyak makanan yang unik-unik, diantaranya ada arang-arang
kambang, ketan goreng yang diberi juroh, bubur boro-boro yang dibuat dari tepung terigu dan
bekatul, bubur inger-inger, ketan salak, sego golong dari daging ayam putih mulus, klepon dan
dammar mulur. Semua ini bertujuan agar masyarakat Sukodono terhindar dari penyakit.
k. Madi Awal, Madi Akhir dan Rejeb ialah sasi (bulan) tenang.

DAFTAR PUSTAKA

http://dinulislamjamilah.wordpress.com/2010/04/12/metode-pengumpulan-data/
http://marskrip.blogspot.com/2009/12/pengertian-bahasa-menurut-para-ahli.html
http://syamsuqamaridji.blogspot.com/2011/07/definisi-dan-pengertian-demografi.html
http://nurvitasetyaningsih06.blogspot.com/2011/03/sistem-perekonomian-menurut-para-
ahli.html
http://teoriantropologi.blogspot.com/2011/02/pengertian-etnografi.html
http://www.progriptek.ristek.go.id/webrur/metode%20ilmiah%203.html
http://www.4skripsi.com/metodologi-penelitian/kajian-pustaka.html
http://blog-pengetahuan-umum.blogspot.com/2011/10/lokasi-lingkungan-alam-dan-
demografi.html
http://carapedia.com/pengertian_definisi_organisasi_menurut_para_ahli_info484.html
http://wiki.bestlagu.com/islam/170512-pengertian-agama-menurut-para-ahli.html
http://makalahbarataanpba.blogspot.com/2009/10/pengertian-rumusan-masalah.html
Konsep Pemukiman Kampung Adat Kampung Dukuh kecamatan Cikelet Pameungpeuk Garut dibamgun
seseuai dengan adat tradisi leluhur kasundaan atau Kabuyutan Sunda yang terdiri dari 40 susuhunan Rumah.
Sementara itu, keunikannya berupa keseragaman struktur dan bentuk arsitektur bangunan pemukiman
msyarakat, hanya terdiri puluhan rumah yang tersusun pada kemiringan tanah bertingkat, namun setiap
tingkatan terdapat deretan rumah membujur dari barat ke timur.

Menurut cerita nama dukuh diambil dari bahasa Sunda yang berarti tukuh (kukuh, patuh, teguh), dalam
mempertahankan apa yang yang menjadi miliknya, atau taat dan sangat patuh menjalankan tradisi warisan
nenek moyangnya. Menurut penuturan, Juru Kunci (Kuncen) Kampung Dukuh istilah dukuh berasal dari
padukuhan atau dukuh = calik = duduk. Jadi padukuhan sama dengan pacalikan atau tempat bermukim.

Kampung adat ini terletak di antara tiga gunung, yakni Gunung Batu Cupak, Gunung Dukuh, dan Gunung
Batu. Kampung Adat Dukuh Dalam namanya. Sebuah kampung adat yang masih memegang teguh adat
istiadat para leluhur mereka.

Memasuki kampung ini, Anda akan melihat pemandangan rumah-rumah yang atapnya terbuat dari serabut
alang-alang dan ijuk. Kesan tradisional masih sangat terasa di kampung yang letaknya di Kecamatan Cikelet,
Kabupaten Garut, ini.

Semua rumah yang berada di kampung ini memang terbuat dari kayu dan ada larangan untuk tidak
menggunakan kaca, tembok, dan genteng.
Di sini, ada satu rumah yang terlihat lebih besar dari rumah lainnya. Rumah itu adalah milik sang juru kunci
Kampung Adat Dukuh Dalam.

Rumah-rumah di kampung adat ini berjumlah 40 buah dengan satu balai rakyat tempat warga berkumpul
untuk mengadakan pertemuan.
Di Kampung Adat Dukuh Dalam ini, terdapat satu rumah yang dikhususkan bagi tamu yang mau melakukan
penyepenan atau menyepi sambil menjalani ritual di dalam rumah.

Selain rumah-rumah warga, di kampung ini juga terdapat sebuah mushala untuk tempat beribadah warga
kampung dukuh.

Ada juga madrasah yang diperuntukkan bagi anak-anak di kampung ini bersekolah sekaligus belajar agama.
Warga Kampung Adat Dukuh di Desa Cijambe Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut, Jawa Barat, selain
berpola budaya berlandaskan religi yang sangat kuat, juga berpandangan hidup berlandas pada sufisme
dengan berpedoman pada Mazhab Imam Syafii.

Sehingga landasan budaya tersebut, berpengaruh pada bentukan fisik pedesaan dan adat istiadat
masyarakatnya, yang sangat menjunjung keharmonisan serta keselarasan hidup bermasyarakat.

Bahkan idealisme itu, juga berpengaruh pada struktur bangunan penduduknya yang tidak membolehkan
menggunakan dinding dari tembok, atau atap dari genteng serta tidak boleh membuat jendela dari kaca,
katanya.

Dengan alibi apapun yang bersifat kemewahan, akan mengakibatkan suatu sistem masyarakat menjadi tidak
harmonis, malahan tidak diperkenankan pula adanya prasarana listrik dan pemasangan televisi serta radio,
yang mereka yakini selain mendatangkan manfaat yang banyak, juga bisa mendatangkan banyak
kemudaratan.

Sedangkan peralatan makan yang digunakan, hanya terbuat dari pepohonan seperti layaknya bangunan,
diantaranya bambu batok kelapa dan bahan kayu lainnya, karena material itu dipercaya memberikan manfaat
ekonomis dan kesehatan karena tidak mudah hancur atau pecah sekaligus dapat menyerap kotoran.

Perkampungan adat yang berjarak sekitar 1,5 km dari Desa Cijambe atau 120 km arah selatan dari pusat Kota
Garut, bisa ditempuh dengan kendaraan pribadi atau kendaraan umum hingga Kecamatan Cikelet,
dilanjutkan dengan jasa angkutan ojeg sampai lokasi.

Luas kampungnya 1,5 Ha, yang terdiri tiga wilayah meliputi Kampung Dukuh Dalam, Dukuh Luar serta
kawasan khusus Makam Karomah, ungkap pemuka pemuda setempat Yayan ketika dihubungi dari Garut.

Dia mengatakan, wilayahnya merupakan perkampungan tradisional atau adat yang masih menganut
kepercayaan nenek moyang, dan masyarakat disini juga masih mematuhi "Kasuaran Karuhun" atau yang
dikenal dengan istilah Tabu sesuai dengan nasihat Leluhurnya.

Ada satu tempat yang dianggap sakral oleh warga di kampung ini, yakni makam leluhur Kampung Adat
Dukuh Dalam Syekh Abdul Jalil. Untuk menuju area makam, pengunjung harus mendaki kaki Gunung
Dukuh. Makam Syekh Abdul Jalil tepat berada di dalam hutan gunung tersebut.

Makam ini ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah di Indonesia setiap Hari Sabtu. Sebelum menuju
makam, para peziarah diwajibkan untuk mandi dan berwudhu di sebuah jamban yang sudah disediakan
warga.

Pada awalnya kampung didirikan oleh Sembah Lebe Warta Kusumah (Syekh Abdul Jalil) dan Syekh
Pamijahan Tasik yang bermukim disini untuk menyebarkan agama Islam dan melakukan kholwat ditempat
ini oleh petunjuk gurunya Syekh Abdul Qodir al Jailani, namun karena dalam kholwatnya tidak mendapatkan
petunjuk akhirnya beliau hijrah setelah ayahnya Sembah Lebe Warta Kusumah (Syekh Abdul
Jalil) meninggal dunia dikampung ini. Di sini Syekh Pamijahan bermukim selama 1 tahun (1685 - 1686 M),
kemudian beliau mengembara ke Tasikmalaya ke daerah Pamijahan dan akhirnya menemukan tempat yang
sesuai untuk kholwatnya yaitu di Goa Pamijahan, hingga akhirnya beliau menetap dan menyebarkan agama
Islam di sana.

Menurut sejarah dukuh Sembah Lebe Warta Kusumah (Syekh Abdul Jalil) dari Sumedanglarang seorang
kepala Penghulu dan juga orang kepercayaan pada masa Pangeran Rangga Gempol II (Raden Bagus Weruh),
datang bermukim di sini dan membangun kampung Dukuh.

Menurut sesepuh kampung Dukuh, Pak Haji Oing dan Pak Haji Ahmad yang kebetulan ada pertalian
saudara dengan istri saya, karena dari Cikelet Pameungpeuk.

"Mimitina anu datang ka Cikelet teh nyaeta Sembah Lebe Warta Kusumah, teras Syekh Pamijahan, di
dieu Syékh Pamijahan (Syékh Haji Abdul Muhyi) nyebarkeun agama Islam bari neangan tempat anu
dituduhkeun ku Guruna pikeun tirakatan, ngan di ieu tempat Syékh Pamijahan teu pati lila cicingna kurang
leuwih ngan sataun (1685-1686 M). Nya didieu oge ramana Syékh Pamijahan ngantunkeun nyaeta Sembah
Lebe Warta Kusumah dimakamkeun di sisi Cikaengan.

Salain ti Makam Syekh Abdul Jalil, ada juga makam Eyang Dukuh luluhur urang Kampung Dukuh.

Baheula, jaman tatar Sunda aya dina kakawasaan Mataram, kira abad ka - 17, anu jadi panghulu di
Kadaleman Sumedang téh nya Syékh Abdul Jalil.

Ari nu jadi dalemna mangsa harita Rangga Gempol II (Raden Bagus Weruh). Hiji mangsa, waktu mangkat
ibadah haji ka Mekah, aya dua utusan ti Kasultanan Banten anu menta sangkan Dalem Sumedang taluk ka
Banten, lain ka Mataram. Tapi éta pamenta téh ditolak ku Rangga Gempol III / Pangeran Panembahan,
malah utusan Banten téh tuluy diusir.

Sanggeus amitan, éta utusan téh balik deui ka Banten, ngan ditengah jalan dipateni kalawan parentah Dalem
Sumedang. Da tangtu lamun éta utusan laporan ka Sultan Banten, nu pasti bakal aya riributan.

Sanggeus Syékh Abdul Jalil balik deui ka Sumedang, éta kajadian téh dirusiahkeun pisan. Tapi lila-lila mah
aya nu ngabejakeun ka Syekh Syékh Abdul Jalil. Puguh baé Syékh Abdul Jalil téh bendu kabina-bina. Dalem
Sumedang dianggapna geus nyieun codeka. Nepi ka antukna Syékh Abdul Jalil téh ingkah ti Sumedang, lunta
ka pakidulan Garut.

Nu Ahirna, Syékh ngababakan jeung bubuara di tempat nu ayeuna katelah jadi Kampung Dukuh.
Katurunanana Syékh Abdul Jalil téh ngajarkeun hirup basajan jeung pageuh nyekel bag-bagan Islam.

Nepi ka ayeuna gé naon anu diajarkeun ku Syékh Abdul Jalil téh dijalankeun jeung dijaga pisan ku
rundayanana. Sabada ngantunkeun, Syékh Abdul Jalil dimakamkeun di makam karomah anu dikaramatkeun
pisan. Anu badé jarah ka dinya teu bisa sagawayah," Katanya.
Pemangku Adat Kampung Dukuh (Mama Uluk / Mama Lukman - Tengah)

Syékh Abdul Jalil meninggalkan Sumedanglarang, sewaktu Sumedanglarang bentrok dengan Banten pada
masa kekuasan Mataram.

Menurut cerita Syékh Abdul Jalil sewaktu menjadi kepala penghulu, lalu jabatannya dan meninggalkan
Sumedanglarang karena merasa kecewa, sewaktu mendapat perintah dari Pangeran Panembaha untuk
mengaburkan/siasat agar tidak jadi bentrok perang dengan Banten, dimana utusan Banten tersebut dibunuh
oleh suruhan Pangeran Panembahan dan mayatnya dibuang di Cadas Pangeran. Karena kecewa akhirnya
beliau hijrah dari Sumedanglarang dan sampai ke tempat ini, sambil menyebarkan membangun kembali
tradisi Islam tradiosinil yang berlandaskan pada ajaran tassawuf.

Keturunan Kampung Dukuh dilarang menjadi pegawai negeri mungkin awalnya dari kisah ini, yang menjadi
pegawai pemerintah penuh dengan intrik politik dan kekuasaan.

Setelah meninggal beliau, istrinya dan kedua Anaknya dimakamkan di suatu bukit Gunung Dukuh yang
kelihatan sakral sekali. Sebelum melakukan Ziarah yang mana disini dikhususkan pada hari Sabtu saja, yang
datang dari berbagai tempat pun, tidak diperbolehkan ziarah/tawassul pada hari bukan hari Sabtu, dan bagi
yang datang dari jauh mereka ditempatkan menginap oleh pengurus adat kampung dukuh di rumah-rumah
penghuni kampung dukuh ini.

Menurut pak haji Ahmad, tanahnya Syekh Abdul Jalil ini, luas sekali membentang dari barat sampai ke timur
di daerah kampung dukuh, yang kini ditanami oleh Tanaman padi, Pohon Cengkeh dan kebun-kebun pohon
Jati.

"Bahkan ada tanah tanah khusus bagi orang sumedang, kalo mau tinggal disini" katanya.

Untuk melakukan Ziarah/Tawassul bersama ke makam syekh Abdul Jalil pada hari Sabtu, dengan syarat
memakai sarung (tanpa Celana Dalam) memakai baju Sunda hitam atau putih polos tanpa gambar, tidak
membawa/memakai perhiasan, tidak membawa peralatan eletronik kamera, android. Kecuali baju yang
dipakai yang diharuskan oleh pengurus adat atawa membawa tasbeh, sesuai dengan adat ziarah kampung
dukuh setelah mandi dan berwudlu, ditempat pemandian umum kampung dukuh atau mandi di rumah warga
kampung dukuh.
Tempat pemandian umum kampung Dukuh dekat lokasi ke arah Makam

Sebelum berjiarah pengunjung ziarah di kampung dukuh dikumpulkan di lokasi di bawah ke arah makam
syekh Abdul jalil yang berada di puncak bukit. pengunjung ziarah duduk bersila pada batu-batu alami yang
ada di daerah tersebut yang terkonsep rapi, seperti tempat pertemuan dari batu, dan kemudian mendapatkan
pengarahan ziarah, doa-doa, sholawatan nabi, sebelum ziarah ke makam Syekh Abdul Jalil yang dipimpin
oleh Sesepuh / Ustad di kampung Dukuh. Jikalau melihat kehidupan sehari-hari dan kegiatan keagamaan di
Kampung Dukuh, secara garis besar berlandaskan pada pemahaman ilmu Tassawuf. Terlihat juga dalam cara
dzikirnya karena pertama kali yang menyebarkan agama Islam di Kampung Dukuh berlandaskan Tassawuf
dari Syekh Abdul Qodil al Jailani yaitu Syekh Pamijahan.

Makam Syekh Abdul Jalil di Puncak Gunung Dukuh (Photo dari Wisata Garut
Posisi makam Syekh Abdul Jalil berada di puncak bukit (Gunung Dukuh) tersendiri dengan batu balay alami
dan dibawahnya ada makam kedua anaknya bernama Hasan dan Husen, mungkin diambil dari nama anak
Cucu Rosulullah SAW. Dan disampingnya makam anaknya syekh Abdul Jalil terdapat pula makam-makam
kuno yang hanya dicirikan oleh batu-batu nisan tanpa nama. Seperti halnya makam-makam kuno di Daerah
Darmaraja Sumedang.

Kampung Dukuh juga ramai diziarahi orang pada waktu Bulan Maulud Rosulullah. Bahkan menurut pak Haji
Oing. "Cep Dedi, upami bulan Maulud mah ziarah ka dieu teh pinuh pisan", katanya.
Penulis Ketika mengunjungi Kampung Dukuh Pameunpeuk bersama sahabat (bawah)

Ritual Adat di Kampung Dukuh


Di Kampung Dukuh mereka juga melaksanakan upacara "Moros", sebagai wujud masyarakat adat untuk
memberikan hasil pertanian kepada pemerintahan setempat.

Kawasan Kampung Dukuh seluas 10 ha tediri 7 ha Wilayah Kampung Dukuh Luar, 1 ha Kampung Dukuh
Dalam serta sisanya merupakan lahan kosong atau lahan produksi, terdapat pula areal yang dikenal wilayah
"Karomah". sebagai lokasi makam "Syekh Abdul Jalil", ujar Yayan.

Kang Yayan.
Di kampung "Dukuh Dalam" hanya terdapat 40 rumah dan bangunan Mesjid, dihuni 40 Kepala Keluarga
(KK) atau 172 orang, sedangkan Kampung "Dukuh Luar" dihuni 70 KK, dengan mata pencaharian utamanya
bertani, beternak ayam, bebek, kambing, domba, kerbau serta memelihara ikan dan usaha penggilingan padi.

Pola budaya aspek non fisiknya berupa ritual budaya antara lain "ngahaturan tuang" (menawari makan),
merupakan adab masyarakat kepada pengunjung dari luar.

Jika memiliki keinginan tertentu seperti kelancaran usaha, perkawinan, jodoh, mereka memberi garam,
kelapa, telur ayam, kambing atau lainnya sesuai kemampuan.

Kemudian "nyanggakeun" (menyerahkan), kegiatan penyerahan sebagian hasil pertanian kepada "Kuncen"
(juru kunci) untuk diberkahi, dan masyarakat-pun tidak dirbolehkan memakan hasil panennya sebelum
melakukan kegiatan Nyanggakeun.

Selanjutnya "tilu waktos" (tiga waktu), sebagai ritual yang dilakukan Kuncen yakni dengan membawa
makanan ke dalam "bumi alit atau bumi lebet" (rumah kecil atau rumah dalam) untuk "tawasul", Kuncen
membawa sebagian makanan ke Bumi Allit lalu berdoa, yang biasanya dilakukan pada 1 Syawal, 10 Rayagung,
12 Maulud, 10 Muharam.

"Manuja", yakni penyerahan bahan makanan hasil bumi kepada Kuncen untuk diberkati pada lebaran Idul
Fitri dan Idul Adha sebagai bentuk perayaan.

"Moros", merupakan kebiasaan untuk menyerahkan hasil-hasil bumi yang dimiliki kepada aparat pemerintah
seperti lurah dan camat.

Cebor Opat Puluh, adalah mandi dengan empat puluh kali siraman air dari pancuran yang dicampur dengan
air khusus namun telah diberi doa-doa pada jamban umum.

Jaroh, merupakan bentuk kegiatan berziarah ke makam Syekh Abdul Jalil, tapi sebelumnya harus melakukan
mandi cebor opat puluh dan mengambil air wudhu serta menanggalkan semua perhiasan serta menggunakan
pakaian yang tidak bercorak.

Shawolatan, dilakukan pada hari Jumat di rumah kuncen, berupa Sholawatan Karmilah sejumlah 4.444 kali
yang dihitung dengan menggunakan batu.

Sebelasan dilakukan setiap tanggal 11 dalam perhitungan bulan Islam dengan membaca Marekah, Terbang
Gembrung merupakan kegiatan yang dilakukan pada tanggal 12 Maulud yang dilakukan para orang tua
Kampung Dukuh.

Terbang Sejak, merupakan suatu pertunjukan pada saat perayaan seperti khitanan dan pernikahan, yakni
sebagai pertunjukkan pertunjukan debus.

Maka terdapat hari-hari penting dan hari besar di Kampung Dukuh antara lain, 10 Muharam, 12 Maulud, 27
Rajab, 1 Syawal Idul Fitri serta pada setiap 10 Rayagung, dengan hari pentingnya Sabtu (Pelaksanaan Ziarah),
Rebo Welasan (Hari terakhir bulan Sapar).

Seluruh sumber air yang digunakan masyarakat diberi sebagai penolak bala, dan biasanya diwajibkan untuk
digunakan mandi, bahkan pada 14 Maulud dipercaya sebagai hari paling baik untuk menguji dan mencari
ilmu kepada para guru dengan melakukan cebor opat puluh, juga terdapat tradisi 30 bewah sebagai persiapan
menjelang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, kata Kang Yayan.

Membuka Sejarah Siapakah Syekh Abdul Jalil di Kampung Dukuh Kecamatan Cikelet Garut

ADA KENASABAN KELUARGA PESANTREN GENTUR CIANJUR DENGAN SYEKH ABDUL JALIL
KAMPUNG DUKUH CIKELET PAMEUNGPEUK GARUT

Ahmad Syathibi al Qonturi Al 'Alim Al 'Allamah Al Kamil Al Waro Asy Syaikh Ahmad Syathibi bin
Muhammad Sa'id Al Qonturi Asy Syanjuri Al Jawi Asy Syafi'i.

Lahir di Cianjur, Hindia Belanda, sekitar tanggal 12-18 tanpa diketahui secara pasti bulan dan tahun
kelahirannya - meninggal di Cianjur, Indonesia pada Rabu 14 Jumadil Akhir 1365 Hijriyah, tanggal 15 Mei
1946) atau lebih dikenal dengan Mama Gentur adalah salah satu sosok ulama Tatar Pasundan yang bergelar
Al Alim Al 'Allamah Al Kamil Al Wara.
Kakak kandungnya antara lain Hajjah Ruqiyah (pengajar Pondok Pesantren Cipadang, Cianjur), Mama Hajji
Ilyas (alias Mama Hajji Yahya, pengajar Pondok Pesantren Babakan Bandung, Sukaraja, Sukabumi), dan adik
kandung yakni Mama Hajji Muhammad Qurthubi (alias Mama Gentur Kidul, pengajar Pondok Pesantren
Gentur, Warungkondang, Cianjur).

Putra - putra Mama Ajengan Gentur antara lain : Mama Haji Hidayatullah (Aang Baden), Mama Haji
Rohmatullah (Aang Eyeh), Mama Haji Hasbullah (Aang Abun), Mama Haji Abdul Haq Nuh (Aang Nuh),
Hajjah Siti Aminah (Ibu Hajjah Mas Noneh), Hajjah Mas Ucu Qoni'ah, dan semua putranya menjadi Pengajar
Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur.

Konon salah satu putranya yaitu Mama Haji Abdul Haq Nuh alias Mama Aang Nuh Gentur merupakan sosok
ulama tanah pasundan yang al'alim al alamah al kamilil wara secara rutin sering berziarah ke makam
karomah kampung dukuh Syeikh Abdul Jalil.

Menurut yang diyakini oleh Mama Aang Nuh Gentur bahwa Syeikh Abdul Jalil adalah eyangnya yang tiada
lain adalah ayahanda Syeikh Abdul Muhyi yakni Sembah Dalem Lebe Warta Kusumah.

Nasab silsilah Mama Aang Nuh Gentur sebagai berikut :


Ayahnya : Mama Haji Ahmad Syathibi (Gentur, Warungkondang, Cianjur)
Kakeknya : Mama Haji Muhammad Sa'id (Gentur, Warungkondang, Cianjur)
Buyutnya : Mama Haji Abdul Qodir (Ciawi, Ciawi, Tasikmalaya)
Baonya : Syekh Nur Hajid (Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya)
Jangawarengnya : Syekh Nur Katim (Seulakopi, Cianjur)
Udeg Udegnya : Syekh Dalem Bojong (Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya)
Kakait Siwurnya : Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya) bin Sembah Dalem Lebe
Warta Kusumah alias Syekh Abdul Jalil (Makom Karomah Kampung Dukuh, Cikelet, Garut Selatan).

Dengan adanya keterangan tentang adanya hubungan kenasaban antara pesantren Gentur Cianjur dengan
kampung dukuh ini, maka semakin menambah keyakinan bahwa Syekh Abdul Jalil itu merupakan nama lain
dari ayahandanya Syekh Abdul Muhyi Pamijahan Tasikmalaya yakni Sembah Dalem Lebe Warta Kusumah.

EYANG DUKUH
Selain makam Syeikh Abdul Jalil / Sembah Dalem Lebe Warta Kusumah (penghulu sewaktu pemerintah
kabhupatian Sumedang pada jaman Pangeran Panembahan, yang diutus oleh kasultanan Mataram, menjadi
kepala penghulu Agama di Sumedang. Karena beliau berasal dari parahyangan yang menimba ilmu di
Pasantren di Mataram dan mendirikan pasatren buhun diperbatasan Sumedang Majalengka yaitu Pesantren
Tonjong Majalengka.

Menurut keterangan Eyang Dukuh, adalah berasal dari Pajajaran yang mengungsi ke Kampung Dukuh,
sewaktu Pajajaran Burak (Sirna Ing Bhumi). Banyak keturunan / penduduk Pajajaran yang memilih tempat
untuk mengasingkan diri, seperti : Rd. Ajimantri (Sokawayana) Ke Cimalaka, Sutra Ngumbar dan Sutra
Bandera ke Cipancar Sumedang, Nyimas Mayang Kusumah dan kakaknya (Layang Kusumah/Ki Gede) ke
Pajagan Sumedang, Masyarakat Kanekesh Banten, Ke Cianjur, dsb.

Eyang Dukuh yang mengasingkan diri ke Kampung Dukuh yang menganut Sunda wiwitan (ageman Sunda
Pajajaran), setelah kedatangan syeikh Abdul Jalil atau Sembah Dalem Lebe Warta Kusumah. Lalu eyang
Dukuh berguru agama Islam pada Syeik Abdul Jalil (Sembah Dalem Lebe Warta Kusumah). Karena pada
dasar secara Hakekat agama wiwitan (awal) dan Agama Islam tak jauh perbedaannya sama-sama menyembah
Tuhan yang MaHa Esa dan Maha Kuasa, yang berbeda hanya dalam hal tata cara dan syareat, sehingga
Agama Islam diterima dengan baik oleh masyarakat Kampung Dukuh belum lagi pengenalan agama Islam
telah diperkenalkan oleh Rakryan Santjang pada abad ke 7 M, dan dipertegas lagi oleh Rd. Sangra (Kian
Santang) pada abad ke 14 M di Garut.

Setelah meninggal Syeik Abdul Jalil, eyang Dukuh mengurus makamnya. Salah satu keturunan Eyang Dukuh
generasi ke 14, diberikan kepercayaan untuk menjadi pupuhu / Ketua Adat Kampung Dukuh sekarang, yaitu
mama Uluk (mama Lukman)

Semoga tulisan ini bermanfaat, bagi yang ingin tahu sejarah Kampung Dukuh Kecamatan Cikelet Kabupaten
Garut.

Wallahu alam Biroomudih


Salam Santun.
Writer participant:
- Oos Supyadin (NKKD)
- Idpan Yudarda (NKKD)
- Dedi Sumamiharja (NKSL)
- Luky Djohari Soemawilaga (NKSL)
- Cikelet Rumah Budaya
KAMPUNG DUKUH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Sejarah Sastra Budaya
Sunda Dosen Pengampu: Dr. Usman Supendi, M.Pd.

Oleh:
Ika Rapika Anjani 1145010062
Jawad Mughofar KH 1145010071

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2016

Anda mungkin juga menyukai