Anda di halaman 1dari 44

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Teori

1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

a. Pengertian

Infeksi Saluran Pernapasan Akut sering disingkat menjadi ISPA,

yang diadaptasi dari istilah baha Inggris Acute Respiratory Infections

(ARI). ISPA merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh virus atau

bakteri yang menyerang bagian sinus, tenggorokan, saluran udara, hingga

paru-paru. (Oktami, 2017;100).

ISPA merupakan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dengan

gejala demam atau demam ≥38 °C, dan batuk tidak lebih dari 10 hari sejak

timbul gejala dan memerlukan perawatan rumah sakit. (Ditjen P2PL,

2013;9).

b. Penyebab

Penyebab utama dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu

disebabkan oleh virus maupun bakteri. Pneumonia bakterial merupakan

infeksi paru-paru yang menyebabkan kematian paling banyak. (Hardiyanti,

2009;41).

Bakteri penyebab ISPA pada umumnya adalah Streptococcus

pneumonia dan Haemophilus influenza tipe B (Hib), Staphylococcus

aereus (S.aureus). Diperkirakan sebanyak 75% balita di Indonesia

10
11

disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumonia dan Haemophilus

influenza tipe B (Hib). (Misnadiarly, 2008;27).

c. Klasifikasi ISPA

Secara anatomis klasifikasi ISPA terdiri dari dua yaitu, infeksi

repiratori atas akut (IRAA) dan infeksi respiratori bawah akut (IRBA).

Disebut akut jika infeksi berlangsung hingga 14 hari. IRAA menyerang

bagian saluran tenggorokan (pharingitis), otitis media, tonsillitis, dan

rinosinusitis. Nasofaringitis (common cold atau rhinitis). Sedangkan ISPA

bawah yaitu pneumonia, bronchitis, dan bronkiolitis. (Arifputera, dkk,

2014:172).

Menurut Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) tahun 2015 ada

tiga klasifikasi yang termasuk penyakit ISPA yaitu:

1) Pneumonia Berat

Memiliki tanda gejala seperti adanya nafas cepat dengan frekuensi

pernapasan 50 x/menit atau lebih pada anak usia dua bulan sampai < 1

tahun dan 40 x/menit pada anak usia satu tahun sampai < 5 tahun.

Adanya tarikan kuat pada dinding dada bagian bawah ke arah dalam

(TDDK).

2) Pneumonia

Memiliki gejala frekuensi pernapasan 50 x/menit atau lebih pada anak

usia dua bulan sampai < 1 tahun dan 40 x/menit pada anak usia satu

tahun sampai < 5 tahun.

3) Bukan pneumonia
12

Kelompok anak yang memiliki gejala batuk pilek biasa, tidak

ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas

cepat.

a) Rinitis, disebut juga dengan common cold atau salesma. Ditandai

dengan pilek, hidung gatal, bersin, hidung tersumbat, iritasi

tenggorokan, dapat disertai demam. Selain itu dapat ditemukan

juga gejala umum seperti infeksi virus, seperti mialgia, malaise,

iritabel. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya tanda

khusus, tetapi dapat ditemukan edema dan eritema mukosa

hidung serta limfadenopati servikalis anterior. (Arifputera, dkk,

2014:173).

b) Faringitis-Tonsilitis-Tonsilofaringitis, ditandai dengan nyeri

tenggorokan dengan awitan mendadak, disfagia, demam tinggi

(dapat mencapai 40°C), nyeri kepala, dan keluhan

gastrointestinal, seperti nyeri perut atau muntah. (Arifputera, dkk,

2014:173).

c) Rinosinusitis, merupakan inflamasi sinus paranasal, dan sering

menjadi komplikasi yang menyertai salesma dan rhinitis alergi.

(Marcdante, dkk, 2018;518). Ditandai dengan rinorea, hidung

tersumbat, bersin-bersin atau gatal, batuk, nyeri tekan wajah atau

pipi, nyeri kepala, ingus purulen, napas bau, hiposmia atau

anosmia, dan demam. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya


13

edema-eritema mukosa hidung disertai dengan rinorea, nyeri

tekan di lokasi sinus. (Arifputera, dkk, 2014:173).

d) Otitis Media, dapat disebabkan oleh infeksi virus maupun bakteri.

Pada bayi gejala otitis media akut yang paling sering tidak

spesifik, termasuk demam, rewel dan tidak nafsu makan.

Seringkali datang dengan gejala otorea (keluarnya cairan dari

telinga) setelah pecahnya membrane timpani secara spontan.

Gejala salesma yang mendahului terjadinya otitis media akut

sering ditemukan. (Marcdante, dkk, 2018;520).

e) Bronkiolitis, istilah yang digunakan pada mengi (wheezing) yang

terjadi pertama kali akibat infeksi virus pada saluran respiratori.

Penyebab utama Bronkiolitis adalah Respiratory Syncytial Virus

(RSV), diikuti oleh Human Meta Pneumovirus, virus

parainfluenza, virus influenza, adenovirus, dan rhinovirus.

Bronkiolitis virus sangat menular dan disebarkan melalui kontak

dengan secret pengidap infeksi respiratori. Bronkiolitis

disebabkan oleh RSV dengan masa inkubasi 4-6 hari. Gambaran

klasik penyakit respiratori bawah yang bersifat progresif yang

menyerupai salesma pada masa awal penyakit dengan gejala

klinis awal seperti batuk, coryza, dan rinorea.gejala kemudian

berkembang menjadi respiratori yang berisik, parau, dan

terdengar mengi, diikuti dengan demam ringan. ((Marcdante, dkk,

2018;528).
14

d. Tanda Gejala dan Klasifikasi ISPA

Tanda- tanda Infeksi Pernapasan akut (ISPA) menurut Kemenkes RI

(2016) yaitu demam ≥ 37,5 °C, hidung tersumbat dan berair, batuk,

adanya tarikan dinding dada saat bernapas, dan sesak/napas cepat. Dimana

gejala tersebut berlangsung tidak lebih dari 14 hari.

e. Manifestasi Klinis

Gejala klinis ISPA berbeda tergantung dari tempat terjadinya infeksi.

Gejala yang ditimbulkan oleh infeksi virus yang terjadi di nasofaring

biasanya mulai timbul 1 – 2 hari setelah inokulasi (kegiatan pemindahan

mikroorganisme baik berupa bakteri maupun jamur dari tempat atau

sumber asalnya ke medium baru), dan kebanyakan akan sembuh atau

mengalami penurunan gejala hingga seminggu. Apabila gejala tejadi

secara terus menerus melebihi 10 hari atau memburuk secara progresif

setelah 5 – 7 hari pertama, maka kemungkinan infeksi disebabkan oleh

bakteri. (Lebuan, 2014;13).

Temuan klinis yang sering pada ISPA yang disebabkan oleh virus

antara lain, eritema faring (bercak merah di faring akibat inflamasi kulit

faring), exudat faring dan tonsil, adanya vesikel yang dangkal pada

palatum (gelembung berisi cairan yang berada di langit-langit mulut),

konjungtivitis, hipertropi tonsil, batuk, diare, demam. Temuan klinis yang

sering pada ISPA yang disebabkan oleh bakteri antara lain: eritema,

bengkak, dan munculnya exudat pada faring dan tonsil, temperatus 38,3°C
15

atau lebih tinggi, tidak adanya konjungtivitis, batuk, dan rhinorea yang

mana merupakan tanda infeksi virus. (Lebuan, 2014;13).

f. Faktor Resiko

Menurut Maryunani (2010:11) terdapat beberapa faktor resiko yang

menyebabkan terjadinya ISPA yaitu:

1) Faktor Lingkungan

a) Polusi Udara

Studi epidemiologi di negara berkembang menunjukkan bahwa

polusi udara, baik dari dalam maupun dari luar rumah,

berhubungan dengan beberapa penyakit termasuk IRA. Hal ini

berkaitan dengan konsentrasi polutan lingkungan yang dapat

mengiritasi mukosa saluran respiratori (Nastiti, 2008;275)

Asap rokok dan asap pembakaran yang ada di rumah memiliki

konsentrasi yang tinggi untuk menghancurkan mekanisme

pertahanan paru sehingga memudahkan timbulnya ISPA.

(Maryunani, 2010;13).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Nursan

Cinar, dkk (2010;319) di Rumah Sakit Gowerment di pusat Kota

Sakarya di Turki ditemukan adanya hubungan antara asap rokok

dengan kejadian ISPA. Pada penelitian ini usia anak 1 bulan

sampai 96 bulan dengan usia ibu rata-rata 28,65 dan usia ayah rata-

rata 32,27. Ditemukan bahwa tingkat rawat inap dengan diagnosis

pneumonia dan bronkitis pada anak-anak dari orang tua yang


16

merokok di rumah sebesar dari dua kali lebih tinggi dari orang tua

yang tidak merokok.

b) Ventilasi rumah

Ventilasi merupakan proses penyaringan udara yang masuk

atau keluar ruangan secara alami maupun secara mekanis. Salah

satu fungsi dari ventilasi itu sendiri yaitu membebaskan ruangan

dari bau, asap, udara kotor yang berasal dari luar rungan.

(Maryunani, 2010;13). Anak yang tinggal di dalam rumah

berventilasi baik memiliki angka insidens IRA yang lebih rendah

daripada anak yang berada di dalam rumah berventilasi buruk.

(Nastiti, 2008;275).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewanti, dkk

(2018;52) di Semarang. Rumah yang memiliki ventilasi < 10 %

memiliki resiko untuk timbulnya seperti pusing dan sakit kepala

sebesar 1,35 kali lebih besar. Pada kondisi lantai rumah ditemukan

2,64 kali lebih besar terjadinya kejadian batuk dan sesak napas.

c) Kepadatan Isi Rumah

Berdasarkan Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat

Departemen Kesehatan RI Tahun 2007 terdapat kriteria khusus

yang dikatakan rumah sehat. Salah satu kriteria rumah sehat yaitu

memenuhi dalam pencegahan penularan penyakit dengan

penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga,

bebas dari vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak
17

berlebih, sinar matahari pagi yang masuk cukup, makanan dan

minuman yang terbebas dari pencemaran, pencahayaan dan

penghawaan yang cukup. (Kemenkes RI, 2017;267).

d) Perubahan Musim

Patogen saluran pernapasan paling banyak terjadi secara

epidemik pada musim dingin dan panas, namun infeksi

mikoplasma terjadi lebih sering pada musim semi dan awal musim

dingin. Asma terkait infeksi (mis, bronchitis asmatik) lebih sering

terjadi selama cuaca dingin. Musim dingin dan panas merupakan

musim biasanya terjadi infeksi RSV. (Wong, 2009;931).

2) Faktor Individu Anak

a) Umur Anak

Pada saat usia bayi di bawah tiga bulan memiliki kecepatan

terkena infeksi lebih rendah, dikarenakan bayi masih memiliki

antibodi pada saat maternal. Saat usia tiga sampai enam bulan

kecepatan infeksi pada anak mengalami kenaikan. Pada usia

tersebut antibodi yang berasal dari maternal mulai menghilang dan

membentuk antibodi tubuhnya sendiri. Semakin usia bertambah

kecepatan infeksi akan semakin bertambah juga. Infeksi

pernapasan jarang terjadi pada saat anak mencapai usia lima tahun.

(Wong, 2009;931).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Iskandar

Azri, dkk (2015:4), mekanisme hubungan antara usia dengan


18

kejadian ISPA yaitu disebabkan karena faktor imunitas yang belum

terbentuk secara sempurna. Mekanisme imunologi lain yang

menyebabkan ISPA pada anak usia di bawah lima tahun adalah

karena kadar IgG yang belum optimal sehingga memungkinkan

terjadi infeksi saluran pernapasan akibat respons imunitas yang

tidak adekuat.

b) Berat Badan Lahir

Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yaitu berat

badan bayi pada saat lahir kurang dari 2500 gram. Berat badan

lahir bayi mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan pada

saat mereka menjadi balita. Berat badan yang rendah akan

membentuk kekebalan tubuh yang kurang sempurna sehingga lebih

rentan untuk terkena penyakit infeksi, terutama Pneumonia dan

sakit saluran pernapasan lainnya. (Maryunani, 2010;14).

Penelitian yang telah dilakukan oleh Imelda 2017, BBLR

dapat mempengaruhi kejadian ISPA. Bayi dengan BBLR memiliki

resiko kematian lebih besar, terutama pada bulan-bulan pertama

kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan yang kurang

sempurna sehingga penyakit infeksi mudah terkena. Penyakit

saluran pernapasan merupakan salah satu contoh penyakitnya.

c) Status Gizi

Status gizi merupakan pengukuran kesehatan yang dilihat

berdasarkan keadaan tubuh akibat dari mengonsumsi makanan dan


19

penggunaan zat-zat gizi lainnya. Status gizi kurang terjadi jika

tubuh mengalami kekurangan satu zat-zat gizi esensial. Salah satu

akibat gizi kurang pada proses tubuh yaitu sistem pertahanan

tubuh. Daya tahan tubuh akan berkurang dikarenakan sistem

imunitas dan antibodi yang berkurang, sehingga anak mudah

terserang penyakit infeksi seperti pilek, batuk, dan diare.

(Almatsier, 2010;11).

Penelitian yang dilakukan oleh Mutiara Shifa (2016;268),

terdapat hubungan anatara status gizi dengan kejadian ISPA pada

anak.Kekurangan gizi dapat mengakibatkan menurunnya berat

badan, gangguan pertumbuhan, menurunnya imunitas dan

kerusakan mukosa termasuk saluran nafas. Menurunnya imunitas

dan kerusakan mukosa memegang peranan penting dalam proses

patogenesis penyakit non-pneumonia. Hal tersebut mempermudah

agen-agen infeksius memasuki sistem pertahanan tubuh.

d) Vitamin A

Vitamin A esensial berguna untuk pemeliharaan kesehatan dan

kelangsungan hidup. Vitamin A merupakan vitamin larut dalam

lemak pertama yang ditemukan. Kekurangan Vitamin A dapat

menimbulkan resiko anak rentan terhadap penyakit seperti,

penyakit infeksi saluran pernapasan dan diare. (Almatsier,

2010;153).
20

Vitamin A memiliki pengaruh terhadap sistem kekebalan

tubuh. Defisiensi vitamin A yaitu dapat menurunkan respon

antibodi, sebaliknya infeksi dapat memperburuk kekurangan

vitamin A. Sehingga dapat ditemukan kaitan antara vitamin A

dengan fungsi kekebalan yaitu, terdapat hubungan vitamin A

terhadap penyakit infeksi pernapasan, diare, serta menimbulkan

komplikasi kematian. (Almatsier, 2010;160).

e) Status Imunisasi

Upaya pencegahan penyakit dapat dilakukan oleh tiga cara

yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan

tersier. Pencegahan primer merupakan sebuah pencegahan yang

dilakukan dengan memperhatikan status gizi, pengamanan

terhadap segala macam cedera, dan keracunan serta vaksinasi atau

imunisasi terhadap penyakit. (IDAI, 2017;5).

f) Pemberian ASI

Mekanisme dari pembentukan antibodi pada bayi yaitu apabila

ibu mendapatkan infeksi maka tubuh ibu akan mengeluarkan

antibodi untuk sistem pertahanan tubuh dan akan disalurkan

dengan bantuan jaringan limfosit. Mammae Associated

Immunocompetent Lymphoid Tissue (MALT) merupakan antibodi

yang berada di payudara. (Kristiyanasari, 2011;16).

Air susu ibu selain sebagai sumber nutrisi dapat memberi

perlindungan kepada bayi melalui berbagai komponen zat


21

kekebalan yang dikandungnya. Berbagai penelitian telah dilakukan

oleh para ahli terhadap komposisi ASI dan pengaruhnya terhadap

kesehatan bayi. ASI mengandung nutrisi esensial yang cukup

untuk bayi walaupun ibu dalam kondisi kurang gizi sekalipun dan

mampu mengatasi infeksi melalui komponen sel fagosit

(pemusnah) dan imunoglobulin (antibodi). Komponen ASI lain

yang juga mempunyai efek perlindungan, antara lain sitokin,

laktoferin, lisozim dan musin. (IDAI, 2013).

3) Faktor Perilaku

Faktor-faktor perilaku yang menimbulkan kejadian ISPA yaitu

praktek penanganan ISPA yang dilakukan oleh ibu atau anggota

keluarga lainnya. Jika salah satu anggota keluarga memiliki masalah

penyakit maka akan mempengaruhi anggota keluarga lainnya.

(Maryunani, 2010;16).

Peran aktif keluarga/masyarakat dalam penanganan ISPA sanggat

penting, karena ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi dalam

kehidupan sehari-hari. ISPA menjadi perhatian serius karena banyak

menyerang balita, oleh karena itu seharusnya anggota keluarga dan ibu

harus lebih mengetahui dan terampil dalam penanganan ISPA.

(Maryunani, 2010;17).

Penelitian yang telah dilakukan oleh Siti Sundari (2014;145),

perilaku ibu tidak sehat tentang penggunaan fasilitas pelayanan

kesehatan atau pencarian pengobatan (health seeking behavior) yang


22

dapat mempengaruhi kesehatan Balita. Ibu tidak segera membawa

berobat ke fasilitas kesehatan apabila Balita sakit ISPA disertai gejala

Pneumonia.

4) Faktor Pendidikan Orang tua

Tingkat pendidikan orang tua menunjukkan adanya hubungan terbalik

antara angka kejadian dengan kematian IRA. Tingkat pendidikan ini

berhubungan erat dengan keadaan social ekonomi, dan juga berkaitan

dengan pengetahuan orang tua. Kurangnya pengetahuan menyebabkan

sebagian sebagian kasus IRA tidak diketahui oleh orang tua dan tidak

diobati. (Nastiti, 2008;274)

5) Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan faktor-

faktor lain seperti nutrisi, lingkungan, dan penerimaan layanan

kesehatan. Anak yang berasal dari keluarga dengan status sosial

ekonomi rendah mempunyai risiko lebih besar mengalami episode IRA.

(Nastiti, 2008;274)

6) Penggunaan Fasilitas Kesehatan

Angka kematian untuk semua kasus pneumonia pada anak yang tidak

diobati diperkirakan 10-20%. Penggunaan fasilitas kesehatan dapat

mencerminkan tingginya insiden IRA, yaitu sebesar 60% dari

kunjungan rawat jalan di puskesmas dan 20-40% dari kunjungan rawat

jalan dan rawat inap RS. Penggunaan fasilitas kesehatan sangat


23

berpengaruh pada tingkat keparahan IRA. Pada negara berkembang,

pemanfaatan fasilitas kesehatan masih rendah. (Nastiti, 2008;274)

g. Penatalaksanaan

Menurut Kemenkes (2012:5) terdapat lima langkah penggunaan bagan

tatalaksana anak batuk dan atau kesukaran bernapas yaitu,

1) Menilai anak batuk dan atau kesukaran bernapas

Memperoleh informasi tentang penyakit anak yaitu dengan cara

anamnesis dengan orang tua dan dilakukan pemeriksaan fisik kepada

anak. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan menemukan tanda-

tanda klinis yang dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat

kedokteran seperti stetoskop, pemeriksaan penunjang di laboratorium,

radiologi, dan pemeriksaan lainnya. Tanda klinisnya yaitu napas cepat,

ada tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam (TDDK) dan

suara napas tambahan (wheezing)

2) Membuat klasifikasi & menentukan tindakan sesuai untuk 2 kelompok

umur balita

Membuat keputusan terhadap tingkat keparahan yang akan terjadi

agar dapat menentukan tindakan selanjutnya untuk dirujuk atau tidak,

dengan cara melihat klasifikasi berdasarkan umur. Dalam membuat

klasifikasi dibedakan menjadi dua:

a) Kelompok umur <2 bulan

b) Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun


24

Menentukan tindakan yaitu mengambil tindakan pengobatan

terhadap infeksi bakteri, dibedakan menjadi tiga yaitu:

a) Rujuk segera ke rumah sakit

b)Beri antibiotik di rumah

c) Beri perawatan di rumah

3) Menentukan pengobatan dan rujukan

Menentukan pengobatan yang tepat serta memiliki keterampilan

untuk memberikan antibiotik, menjelaskan petunjuk merawat anak yang

sakit kepada orang yang mengasuh, pengobatan demam dan wheezing.

4) Memberi konseling pada ibu

Memberikan konseling ke ibu berupa cara pemberian makan balita

termasuk juga dalam pemberian ASI, memberikan anjuran dalam

pemberian makan yang baik, serta menjelaskan kapan ibu atau keluarga

membawa anaknya kembali ke fasilitas kesehatan.

5) Memberi pelayanan tindak lanjut

Memberi pelayanan tindak lanjut berarti menentukan tindakan dan

pengobatan pada saat anak datang untuk kunjungan ulang.

Implementasi yang dilakukan dalam menangani gangguan infeksi

pernapasan yaitu:

a) Mengurangi Usaha Napas

Melakukan terapeutik dengan cara uap hangat atau dingin

yang digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan pernapasan.

Uap dapat melembutkan membran yang terinflamasi. Dikarenakan


25

keterbatasan bukti dari keefektifan dari alat tersebut, uap tidak

disarankan untuk digunakan di rumah. Uap hangat dengan mandi

(shower) adalah metode yang paling baik. Mengalirkan air panas ke

dalam bak mandi serta menutup pintu kamar mandi dapat membuat

uap panas yang cepat. Anak dapat digendong di pangkuan orang

tuanya atau orang dewasa lainnya, sedangkan anak yang sudah

dewasa dapat duduk di bangku dengan pengawasan orang tua. Dapat

dilakukan dalam waktu 10-15 menit tanpa ada rasa takut dari anak.

(Wong, 2009;933).

b) Meningkatkan Istirahat

Anak yang menderita penyakit demam akut harus tirah

baring. Anak dengan suhu badan yang tinggi lebih mudah diatur

untuk tirah baring dikarenakan kondisi badan yang lemah untuk

menolak. Jika anak membantah maka biarkan anak mencari sendiri

tempat untuk tidur biasanya anak suka baring di sofa di depan

televisi. (Wong, 2009; 933).

c) Meningkatkan Kenyamanan

Anak yang lebih tua dapat mengatur sendiri sekresi nasal

dengan sedikit kesulitan. Sedangkan pada bayi masih membutuhkan

asuhan dari orang tua, karena bayi normalnya bernapas

menggunakan hidung. Untuk bayi dapat dilakukan pengeluaran

sekresi nasal 15 sampai 20 menit sebelum makan dan menjelang

tidur. Obat tetes hidung yang dapat diberikan yaitu Fenilefrin (Neo-
26

Synephire) 0,25% dan Efedrin 1% dengan dosis sebanyak dua tetes.

Obat tetes hidung tidak boleh digunakan lebih dari tiga hari untuk

mencegah kongesti pantulan. Anak yang sudah besar dapat diberikan

spray hidung yang satu botol hanya digunakan pada satu anak. Wong

(2009:933)

Panas atau dingin permintaan kadang meringankan anak dari

rasa sakit adenitis tengkuk. Tas es atau blok pemanas digunakan

untuk mengurangi punggung dari ketidaknyamanan, tetapi

keselamatan tindakan pencegahan dapat diamati untuk mencegah

luka. Tas es atau pemanas dapat menutupi, dan blok pemanas tidak

dapat diatur jarak tingginya. (Hartono, 2016;11).

d) Mencegah Penyebaran Infeksi

Mencuci tangan perlu dilakukan ketika merawat anak yang

terinfeksi pernapasan. Anak dan keluarga perlu diajarkan cara

mencuci tangan dan menggunkan tisu atau tangannya untuk

menutupi hidungnya ketika mereka batuk/bersin. (Hartono,

2016;11).

e) Menurunkan Suhu

Orang tua harus mengetahui cara mengukur suhu anak

dengan menggunakan termometer. Jika dokter telah meresepkan

Ibuprofen atau paracetamol, orang tua mungkin perlu bantuan dalam

pemberian obat. Perhatikan dalam pemberian dosis obat sesuai

dengan instruksi dokter. Cairan dingin dianjurkan untuk menurunkan


27

suhu dan meminimalkan kemungkinan terjadinya dehidrasi. (Wong,

2009;933).

f) Meningkatkan Hidrasi

Asupan cairan yang adekuat harus diberikan dengan cara

memberikan minuman yang anak sukai dengan pemberian sedikit

tapi sering. Pilih cairan yang berkalori tinggi seperti jus buah untuk

membantu metabolisme dan dehidrasi. Cairan tidak boleh

dipaksakan masuk kedalam tubuh dan anak tidak boleh dibangunkan

dari tidur untuk minum. Hal ini dikarenakan akan membuat anak

kesulitan untuk minum seperti mereka menolak makanan yang tidak

diinginkan. (Wong, 2009;933).

g) Memberikan Nutrisi

Karakteristik anak yang mengalami infeksi akut yaitu

kehilangan selera makan. Anak dapat memilih sendiri kebutuhan

makanan yang diinginkannya. Pemaksaan terhadap pemberian

makanan dapat menimbulkan mual dan muntah pada beberapa kasus

bahkan ada yang menyebabkan keengganan untuk makan sampai

periode pemulihan atau terus menerus. Banyak anak tidak

menunjukkan peningkatan nafsu makan, dan respon lainnya baik

pada makanan seperti gelatine, sup, dan pudding. (Hartono,

2016;14).

h) Memberikan Dukungan dan Instruksi Perawatan Rumah pada

Keluarga
28

Anak yang mengalami infeksi pernapasan akan memiliki

tingkat kepekaan lebih tinggi dan lebih sensitif sehingga anak akan

rewel. Oleh karena itu, ibu dan anggota keluarga mendukung anak

dengan cara memberikan kenyamanan dan pemberian obat. Orang

tua diperingatkan untuk tidak memberikan obat tanpa ada anjuran

dari dokter. Efek yang akan terjadi yaitu bisa dilihat ketika anak

dewasa nanti. (Wong, 2009; 933).

Ketidakcocokan efek telah diterangkan pada anak yang

menerima bekal persiapan untuk dewasa. Mereka juga berkelanjutan

untuk member gambaran antibiotik yang tertimbun pada penyakit

sebelumnya. Pengobatan sendiri dengan antibiotik tidak ada ahlinya

yang dapat menghasilkan efek samping dan kemungkinan reaksi

tidak cocok meningkat ketika pengobatan yang dikelola anak-anak

tanpa konsultasi dengan dokter praktek. (Hertono, 2016;15).

h. Proses Terjadinya Penyakit

Menurut Davey (2014;61) strategi yang digunakan oleh suatu

mikroorganisme pada tahap-tahap perjalanan infeksi adalah

1) Kontak mukosa yaitu terjadi perlekatan sel bakteri pada permukaan

epitel.

2) Invasi yaitu patogen menyebabkan kerusakan dengan menginvasi

jaringan yang lebih dalam melalui robekan pada kulit atau mukosa dan

mekanisme invasi spesifik.


29

3) Menghindari sistem imun yaitu beberapa patogen menghasilkan enzim

atau memiliki komponen tertentu pada permukaannya yang mengikat

atau menghambat sIgA pada permukaan mukosa

4) Memproduksi toksin dalam patogensi beberapa penyakit

2. Air Susu Ibu (ASI)

a. Pengertian

Air susu ibu atau yang sering disebut dengan ASI merupakan suatu

cairan campuran lemak bewarna putih yang terdiri dari protein, laktosa,

dan garam-garam anorganik yang dikeluarkan melalui kelenjar mammae

ibu, yang digunakan sebagai makanan bayi. (Khamzah, 2012;37).

ASI merupakan makanan ilmiah yang bernutrisi tinggi serta

mengandung komposisi nutrisi yang seimbang, disekresikan oleh kelenjar

payudara ibu sehingga bebas dari kontaminasi. (Mulyani, 2013;4).

Berdasarkan penelitian terdahulu Hardjito (2011;260), peningkatan

sistem imunitas pada bayi dapat dilihat dari frekuensi bayi yang

mengalami sakit. Bayi yang mengalami sakit dapat diketahui pada saat

bayi lahir sampai usia enam bulan telah diberikan ASI atau tidak.

Dikarenakan ASI memiliki berbagai jenis antibodi yang melindungi tubuh

dari berbagai serangan kuman penyebab infeksi.

b. Nutrisi dan Cairan

Ibu merupakan sumber dari seluruh nutrisi yang diperlukan bayi.

Bayi sangat memerlukan karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan

mineral. Untuk memenuhi kebutuhan gizi baik pada ibu menyusui maupun
30

untuk bayi yang disusuinya, maka ibu harus mengkonsumsi

hidangan/makanan yang mengandung tujuh kelompuk bahan makanan

karena pada hakekatnya, semua bahan makanan telah disiapkan untuk

keperluan manusia dan halal untuk dimakan, kecuali beberapa makanan

yang diharamkan. Tujuh kelompok bahan makanan, diantaranya bahan

makanan sumber karbohidrat, sumber protein hewani, sumber protein

nabati, sumber lemak dan minyak, sayur-mayur, buah-buahan, susu dan

hasil olahannya. Itulah makanan yang harus dikonsumsi oleh seorang ibu

sejak dari ibu mengandung. (Widuri, 2013;51).

Ibu nifas dan menyusui harus mengkonsumsi makanan yang

mengandung zat-zat yang berguna bagi tubuh ibu pasca melahirkan dan

untuk persiapan produksi ASI, bervariasi dan seimbang, terpenuhi

kebutuhan karbohidrat, protein, zat besi, vitamin dan mineral untuk

mengatasi anemia, cairan dan serat untuk memperlancar ekskresi. Nutrisi

yang dikonsumsi harus bermutu tinggi, bergizi dan mengandung cukup

kalori yang berfungsi untuk proses metabolisme tubuh. Kebutuhan kalori

wanita dewasa yang sehat dengan berat badan 47 kg, diperkirakan sekitar

2.200 kalori/ har. Ibu yang berada dalam masa nifas dan menyusui

membutuhkan kalori yang sama dengan wanitas dewasa. Ditambah 700

kalori pada 6 bulan pertama untuk memberikan ASI Eksklusif dan 500

kalori pada bulan ke tujuh dan selanjutnya. Ibu nifas yang membatasi

asupan kalori secara berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya

penurunan berat badan lebih dari setengah kg/minggu, akan


31

mempengaruhi produksi ASI. ASI memberikan seluruh kebutuhan nutrisi

selama 6 bulan kedua dalam tahun pertama, dan 1/3 nutrisi atau lebih

selama tahun kedua. (Maritalia, 2014;47).

c. Pembentukan Air Susu

Pembentukan air susu sangat dipengaruhi oleh hormon prolaktin dan

kontrol laktasi serta penekanan fungsi laktasi. Pada seorang ibu yang

menyusui dikenal 2 refleks yang masing-masing berperan sebagai

pembentukan dan pengeluaran air susu yaitu refleks prolaktin dan refleks

“Let down”. (Maritalia, 2014;71).

1) Reflek prolaktin

Menjelang akhir kehamilan terutama hormon prolaktin memegang

peranan untuk membuat kolostrum, namun jumlah kolostrum terbatas,

karena aktifitas prolaktin dihambat oleh estrogen dan progesteron yang

kadarnya memang tinggi. Setelah lepasnya plasenta saat partus dan

kurang berfungsinya korpus luteum maka estrogen dan progesteron

sangat berkurang, ditambah lagi dengan adanya isapan bayi yang

merangsang puting susu sensoris yang berfungsi sebagai reseptor

mekanik. Rangsangan ini dilanjutkan ke hipotalamus melalui medulla

spinalis dan mesenseohalon. Hipotalamus akan menekan pengeluaran

faktor-faktor yang menghambat sekresi prolaktin dan sebaliknya

merangsang pengeluaran faktor-faktor yang memacu sekresi prolaktin.

Faktor-faktor yang memacu sekresi prolaktin akan merangsang

adenohipofise (hipofise anterior) sehingga keluar prolaktin. Hormon


32

ini merangsang sel-sel alveoli yang berfungsi untuk membuat air susu.

Pada ibu yang menyusui, prolaktin akan meningkat dalam keadaan

seperti:

a) Pengaruh psikis

b) Anastesi

c) Operasi

d) Rangsangan putting susu

e) Hubungan kelamin

f) Obat-obatan tranquilizer hipotalamus seperti reserpin,

klorpromazin, fenotiazid

Sedangkan keadaan yang menghambat pengeluaran prolaktin yaitu:

a) Gizi ibu yang jelek

b) Obat-obatan seperti ergot, 1-dopa

2) Reflek “ Let down “

Bersamaan dengan pembentukan prolaktin oleh adenohipofise,

rangsangan yang bersal dari isapan bayi ada yang dilanjutkan ke

neurohipofise (hipofise posterior) yang kemudian dikeluarkan

oksitosin. Melalui aliran darah, hormon ini diangkut menuju uterus

yang dapat menimbulkan kontraksi pada uterus sehingga terjadi

involusi dari organ tersebut. Oksitosin yang sampai pada alveoli akan

mempengaruhi sel mioepitelium. Kontraksi dari sel akan memeras air

susu yang telah terbuat dari alveoli dan masuk ke sistem duktulus yang
33

untuk selanjutnya mengalir melalui duktus laktiferus masuk ke mulut

bayi. Faktor yang meningkatkan reflek let down yaitu:

a) Melihat bayi

b) Mendengarkan suara bayi

c) Mencium bayi

d) Memikirkan untuk menyusui bayi.

Faktor yang menghambat reflek let down yaitu:

a) Keadaan bingung/pikiran kacau

b) Takut

c) cemas

d. Manfaat

1) Manfaat ASI bagi bayi

a) Memiliki zat gizi antara lain, lemak, karbohidrat, protein, garam,

dan mineral, serta vitamin. Kebutuhan energi yang diberikan oleh

ASI yaitu pada satu bulan pertama ASI memberikan seluruh

kebutuhan nutrisi. Enam bulan kedua dalam tahun pertama hanya

separuh atau lebih dari kebutuhan nutrisi yang dialirkan. Pada

tahun kedua hanya 1/3 nutrisi yang dialirkan. (Maritalia, 2014;78).

Berdasarkan hasil uraian pembahasan penelitian yang telah

dilakukan oleh Giri (2013;191), ada hubungan antara pemberian

ASI Eksklusif dengan status gizi balita usia 6-24 bulan, dimana ibu

yang memberikan ASI Eksklusif akan semakin baik status gizi


34

balitanya dari pada ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif

kepada balita yang berusia 6 – 24 bulan.

b) ASI mengandung zat protektif yang dapat melindungi bayi dari

berbagai macam penyakit. Zat-zat protektif tersebut yaitu

memberikan keasaman pada pencernaan yang menghambat

pertumbuhan mikroorganisme (Laktobasilus bifidus), mengikat zat

besi yang menghambat pertumbuhan kuman (Laktoferin), enzim

yang memecah dinding bakteri untuk menyerang E-Coli (Lisozim).

(Maritalia, 2014;79).

Pada bayi baru lahir sistem IgE belum sempurna sehingga

akan mudah terkena alergi. Penggunaan susu formula akan

menyebabkan beberapa anak mengalami alergi. ASI merupakan

susu terbaik yang tidak menimbulkan alergi pada anak. (Mulyani,

2013;10).

c) Lemak yang terdapat pada ASI memiliki omega 3 yang berguna

untuk pematangan sel-sel otak sehingga akan terbebas dari

rangsangan kejang yang dapat menimbulkan kerusakan sel-sel otak

sehingga akan membuat anak menjadi cerdas. (Mulyani, 2013;11).

Bayi yang mendapatkan ASI dari ibunya akan memiliki tumbuh

kembang yang baik. Hal ini dilihat dari kenaikan berat badan bayi

dan kecerdasan otaknya. (Maritalia, 2014;79).

d) Hubungan kontak fisik yang dialami bayi dengan ibu akan

membuat perkembangan psikomotor maupun sosial menjadi lebih


35

baik. Hormon yang terdapat pada bayi menyebabkan rasa kantuk

dan rasa nyaman. Hal ini membuat bayi merasa tenang dan tertidur

pulas. (Mulyani, 2013;10).

e) Susu formula dapat membuat gigi menjadi asam sehingga kejadian

karies dentis pada susu formula lebih tinggi dibandingkan dengan

ASI pada ibu. Oleh karena itu, ASI dapat mengurangi kejadian

karies dentis pada anak.(Maritalia, 2014;80).

2) Manfaat ASI bagi Ibu

a) ASI dapat memberikan aspek kontrasepsi pada ibu. Hisapan bayi

pada putting susu merangsang ujung saraf sensorik sehingga post

anterior hipofise mengeluarkan prolaktin. Kemudian prolaktin

masuk ke indung telur, menekan produksi estrogen yang

mengakibatkan tidak ada ovulasi. (Mulyani, 2013;12).

b) Hisapan bayi pada putting susu dapat merangsang pembentukan

oksitosin yang membantu involusi uteri dan mecegah terjadinya

perdarahan, mengurangi kejadian anemia, mengurangi kejadian

osteoporosis dan patah tulang panggul setelah menopause, serta

menurunkan obesitas karena kehamilan. (Maritalia, 2014;80).

c) Perasaan bangga yang ibu rasakan karena dapat menyusui anaknya,

membuat ikatana batin antara ibu dan anak semakin meningkat.

(Maritalia, 2014;80). Kontak fisik yang ibu alami dengan bayi

membuat bayi bisa merasakan detang jantung ibu. Sehingga bayi


36

dapat merasakan kehangatan sentuhan kulit ibu dan dekapan ibu.

(Mulyani, 2013;14).

e. Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI Eksklusif

Menurut Haryono (2014:26) ada beberapa faktor pemberian ASI

Eksklusif:

1) Faktor pemudah

a) Pendidikan

Pengetahuan yang dimiliki akan membentuk suatu keyakinan

untuk melakukan perilaku tertentu. Pendidikan mempengaruhi

pemberian ASI Eksklusif. Ibu yang berpendidikan tinggi akan

lebih mudah menerima suatu ide baru disbanding dengan ibu yang

berpendidikan rendah. Sehingga promosi dan informasi mengenai

ASI Eksklusif dengan mudah dapat diterima dan dilaksanakan.

b) Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil stimulasi informasi yang

diperhatikan dan diingat. Informasi tersebut bisa berasal dari

pendidikan formal maupun non formal, percakapan, membaca,

mendengarkan radio, menonton televisi, dan pengalaman hidup.

Contohnya pengalaman hidup yaitu pengalaman menyusui anak

sebelumnya.

c) Nilai-nilai atau adat budaya

Adat budaya akan mempengaruhi ibu untuk memberikan ASI

secara eksklusif karena sudah menjadi budaya dalam keluarganya.


37

Salah satu adat budaya yang masih banyak dilakukan di

masyarakat yaitu adat selapanan, dimana bayi diberi sesuap bubur

dengan alasan untuk melatih alat pencernaan bayi.

2) Faktor pendukung

a) Pendapatan keluarga

ASI memiliki kualitas baik hanya jika ibu mengkonsumsi makanan

dengan kandungan gizi baik. Keluarga yang memiliki cukup

pangan memungkinkan ibu untuk memberi ASI Eksklusif lebih

tinggi dibanding keluarga yang tidak memiliki cukup pangan. Hal

tersebut memperlihatkan bahwa kondisi sosial ekonomi yang

saling terkait yaitu pendapatan keluarga memiliki hubungan

dengan keputusan untuk memberikan ASI Eksklusif bagi bayi.

b) Ketersediaan waktu

Banyak ibu yang tidak memberikan ASI karena berbagai alasan

diantaranya karena harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan

selesai. Padahal istilah harus kembali bekerja bukan alasan untuk

tidak memberikan ASI secara eksklusif. Bagi ibu-ibu yang bekerja,

ASI bisa diperah setiap 3 sampai 4 jam sekali untuk disimpan

dalam lemari pendingin.

c) Kesehatan ibu

Kondisi kesehatan ibu mempunyai pengaruh yang sangat penting

dalam keberlangsungan proses menyusui. Ibu yang mempunyai

penyakit menular (misalnya HIV/AIDS, TBC, Hepatitis B) atau


38

penyakit pada payudara (misalnya kanker payudara, kelainan

putting susu) sehingga tidak boleh ataupun tidak bisa menyusui

bayinya.

3) Faktor pendorong

a) Dukungan keluarga

Dukungan dari keluarga termasuk suami, orang tua atau sudara

lainnya sangat menentukan keberhasilan menyusui. Karena

pengaruh keluarga berdampak pada kondisi emosi ibu sehingga

secara tidak langsung mempengaruhi produksi ASI. Seorang ibu

yang mendapatkan dukungan dari suami dan anggota keluarga

lainnya akan meningkatkan pemberian ASI kepada bayinya.

b) Dukungan petugas kesehatan

Dukungan tenaga kesehatan kaitannya dengan nasehat kepada ibu

untuk memberikan ASI pada bayinya menentukan keberlanjutan

ibu dalam pemberian ASI

f. Komposisi ASI

1) Karbohidrat

Laktosa (gula susu) merupakan bentuk utama dari karbohidrat yang

proposional lebih besar dibandingkan dengan susu sapi. Fungsi dari

laktosa yaitu dapat membantu bayi menyerap kalsium dan mudah

bermetabolisme menjadi gula biasa (galaktoda dan glukosa) yang

diperlukan untuk pertumbuhan otak. (Mulyani, 2013;18).


39

2) Protein

Protein utama yang terdapat dalam ASI yaitu air dadih. Mudah dicerna

sehingga bahan-bahan gizi mudah diserap ke dalam aliran darah bayi.

Beberapa komponen pada protein dapat melindungi bayi dari penyakit

dan infeksi. (Mulyani, 2013;18).

3) Lemak

Lemak memiliki separuh dari kalori ASI. Kolesterol merupakan salah

satu dari lemak yang diperlukan bagi perkembangan normal sistem

saraf bayi yang meliputi otak. Asam lemak yang cukup kaya

keberadaannya dalam ASI juga memberikan manfaat yang sama bagi

pertumbuhan otak dan saraf yang sehat. (Mulyani, 2013;18).

4) Vitamin

Vitamin yang terkandung di dalam ASI yaitu vitamin A, vitamin D,

vitamin E, vitamin K, dan vitamin yang larut dalam air (vitamin B ,

vitamin C, dan asam folat). (Mulyani, 2013;18).

5) Mineral

Mineral yang berada pada ibu lebih mudah diserap dibandingkan

dengan mineral yang ada pada susu sapi. Mineral yang tinggi pada ASI

dapat mempercepat pertumbuhan anak. (Mulyani, 2013;18).

6) Air

Sekitar 87% kandungan di dalam ASI yaitu air. Air dapat membantu

bayi memelihara suhu tubuhnya , bahkan pada iklim yang panas

sekalipun. (Mulyani, 2013;18).


40

7) Zat besi

Kandungan zat besi pada ASI sebesar 0,5 – 1 mg/liter. Zat besi yang

terdapat pada ASI sangat sedikit, tetapi jarang ditemukan bayi yang

mengalami anemia. Hal ini dikarenakan zat besi pada ASI lebih mudah

untuk diserap. (Proverawati, 2010;15).

g. Perlindungan ASI

Air susu ibu mengandung antibodi terhadap berbagai jenis virus,

antara lain poliovorus, coxsakievirus, echovirus, influenza virus, reovirus,

respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus dan rhinovirus. Telah terbukti

bahwa ASI menghambat pertumbuhan virus-virus tersebut.

Kolostrum mempunyai aktivitas menetralisasi terhadap RSV. Virus

ini mengancam jiwa dan sering sebagai penyebab bayi dirawat di beberapa

negara berkembang. Bayi yang dirawat karena menderita infeksi RSV jauh

lebih sedikit pada kelompok yang mendapat ASI dibanding bayi yang

mendapat susu formula (7% vs 28%).

Penelitian prospektif tentang respon kekebalan terhadap RSV

memperlihatkan antibodi IgM dan IgG jarang ditemukan dalam kolostrum

atau ASI, tetapi IgA spesifik RSV ditemukan pada 40-75% contoh ASI.

Dua orang ibu yang terinfeksi RSV memiliki IgG, IgM dan IgA di dalam

serum dan sekresi hidung/tenggorokannya, tetapi hanya IgA yang

ditemukan dalam ASI nya. Keadaan ini membuktikan bahwa antibodi IgA

spesifik terhadap mikroorganisme patogen saluran napas terdapat dalam

ASI. Oleh karena RSV hanya bertambah banyak di saluran napas, maka
41

antibodi spesifik RSV yang terdapat di dalam kelenjar payudara dapat

berasal dari jaringan limfoid saluran napas (bronkus).

(IDAI, 2013).

h. Kekebalan Tubuh

Air susu ibu disebut sebagai darah putih karena mengandung sel-

sel yang penting dalam pemusnahan (fagosit) kuman dan termasuk

perlindungan pertama pada saluran cerna bayi. Para ahli menemukan

makrofag dan limfosit di dalam ASI sama seperti sistem imun pada

umumnya, ASI juga memiliki sistem pertahanan (sistem imun) tidak

spesifik dan spesifik.

Di dalam ASI terdapat banyak sel, terutama pada minggu-minggu

pertama menyusui. Kolostrum dan ASI dini mengandung 1-3 juta sel

darah putih per ml. Pada ASI matur, yaitu ASI setelah 2-3 bulan

menyusui, jumlah sel ini menurun menjadi 1000 sel per ml yang terdiri

dari monosit/makrofag (59-63%), sel neutrofil (18-23%), dan sel limfosit

(7-13%). ASI juga mengandung faktor pelindung yang larut dalam ASI

seperti enzim lisozim, laktoferin (sebagai pengikat zat besi), sitokin (zat

yang dihasilkan oleh sel kekebalan untuk mempengaruhi fungsi sel lain),

dan protein yang dapat mengikat vitamin B12, faktor bifidus, enzim-

enzim, dan antioksidan. (IDAI, 2013).

Beberapa penjelasan menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia pada

tahun 2013 mengenai zat yang terkandung di dalam ASI yaitu:


42

1) Sel makrofag

Sel makrofag ASI merupakan sel fagosit (pemusnah bakteri) aktif

sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen pada

saluran cerna. Selain sifat pemusnah, sel makrofag juga memproduksi

enzim lisozim, zat komplemen (komponen cairan tubuh yang berperan

dalam perusakan bakteri), laktoferin, sitokin, serta enzim lainnya.

Makrofag pada ASI dapat mencegah infeksi saluran cerna melalui

enzim yang diproduksinya.

Menurut Brooks dalam Nindiyastuti (2016;10) pada saat organisme

mulai masuk kedalam tubuh melalui membran mukosa, fagosit akan

menangkap organisme tersebut dan dibawa ke saluran lumfatik

regional. Fagosit berperan sebagai pertahanan yang mencegah

penyebaran bakteri lebih lanjut, sedangkan yang bertugas untuk

menghilangkan bakteri dari saluran pernapasan adalah aparatus

mukosiliar yang dibantu oleh makrofag.

2) Sel neutrofil

Neutrofil yang terdapat di dalam ASI mengandung sIgA yang

dianggap sebagai alat transpor IgA dari ibu ke bayi. Peran neutrofil

ASI lebih ditujukan pada pertahanan jaringan payudara ibu agar tidak

terjadi infeksi pada permulaan laktasi.

3) Lisozim

Lisozim merupakan enzim yang diproduksi oleh makrofag,

neutrofil, dan epitel kelenjar payudara, yang berfungsi untuk memecah


43

dinding sel bakteri Gram positif yang terdapat pada mukosa usus dan

menambah aktifitas bakterisid (menghambat pertumbuhan bakteri)

sIgA terhadap E.coli dan beberapa Salmonella. (Aldy, 2009;168).

Kadar lisozim dalam ASI adalah 0,1 mg/ml yang bertahan sampai

tahun kedua menyusui, bahkan sampai penyapihan. Dibanding dengan

susu sapi, ASI mengandung 300 kali lebih banyak lisozim per satuan

volume yang sama.

4) Komplemen

Komplemen adalah protein yang berfungsi sebagai penanda

sehingga bakteri yang ditempel oleh komplemen dapat dengan mudah

dikenal oleh sel pemusnah. Disamping itu, komplomen sendiri secara

langsung dapat menghancurkan bakteri.

Komplemen dapat berupa komplemen C3 yang dapat diaktifkan

oleh bakteri sehingga terjadi lisis bakteri (peristiwa pecah atau

rusaknya integritas membran sel). Sehingga memudahkan fagosit

mengeliminasi mikroorganisme pada lapisan mukosa yang terikat

dengan C3 aktif. Pada masa laktasi selama dua minggu, kadar

komplemen menurun dan kemudian menetap, yaitu kadar C3 sebesar

15 mg/dL. (Aldy, 2009;168).

5) Sitokin

Sitokin meningkatkan jumlah antibodi IgA pada kelenjar ASI.

Sitokin yang berperan dalam sistem imun di dalam ASI adalah IL-l

(interleukin-1) yang berfungsi mengaktifkan sel limfosit T. Sel


44

makrofag juga menghasilkan TNF-α dan interleukin 6 (IL-6) yang

mengaktifkan sel limfosit B sehingga antibodi IgA meningkat.

6) Laktoferin

Laktoferin bersifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan

bakteri). Efek ini dicapai dengan mengikat besi yang dibutuhkan

untuk pertumbuhan sebagian besar bakteri patogen (misalnya

Staphylococcus dan E. Coli). Kadar laktoferin dalam ASI adalah 1-6

mg/ml dan tertinggi pada kolostrum.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Oktaviani

(2014;14) menjelaskan bahwa Laktoferin memberikan fungsi

antibakteri pada manusia. Laktoferin menghalangi perlekatan bakteri

di permukaan rongga mulut dengan cara mengikat zat besi, sehingga

dapat mencegah pembentukan biofilm (bakteri yang melekat di suatu

permukaan). Laktoferin dapat bekerja sebagai bakteriostatik maupun

bakterisid pada Streptococccus Mutans pada konsentrasi 15 mg/100

ml.

7) Peroksidase

Peroksidase adalah enzim yang dapat menghancurkan kuman

patogen. Berbeda dengan susu sapi, ASI tidak mengandung

laktoperoksidase yang dapat menyebabkan reaksi peradangan di

dinding usus bayi, kalaupun ada kadarnya kecil.


45

8) Limfosit T

Sel limfosit T merupakan 80% dari sel limfosit yang terdapat

dalam ASI. Sel limfosit T dapat menghancurkan kapsul bakteri E. Coli

dan mentransfer kekebalan selular dari ibu ke bayi yang disusuinya.

Limfosit T memiliki fungsi mensintesis antibodi IgA, memberikan

respon terhadap mitogen (senyawa kimia yang merangsang

pembelahan sel) dengan cara berproliferasi (pengulangan siklus sel

tanpa hambatan), meningkatkan interaksi makrofag-limfosit dan

pelepasan mediator. (Aldy, 2009;169).

9) Imunoglobulin (antibodi)

Imunoglobulin dihasilkan oleh Sel limfosit B. Sel limfosit B

terutama memproduksi sekretori IgA (sIgA) yang berfungsi

melindungi IgA dari enzim penghancur protein (tripsin, pepsin) di

saluran cerna bayi dan keasaman lambung. Imunoglobulin M (IgM)

akan ditransfer pada awal kehidupan bayi sebagai perlindungan

terhadap E.coli dan polio, bila ibu sudah pernah terpajan sebelumnya.

Imunoglobulin G (IgG) dimiliki oleh bayi dari transfer melalui

plasenta. Imunoglobulin D hanya sedikit sekali ditemukan dalam ASI,

sedangkan IgE tidak ada. Kadar sIgA, IgG, dan IgM, tidak dipengarui

oleh usia ibu, jumlah anak yang pernah dilahirkan, dan usia

kehamilan.

Imunoglobulin di dalam ASI tidak diserap oleh bayi tetapi

berperan memperkuat sistim imun lokal saluran cerna. Limfosit B


46

pada saluran cerna ibu diaktifkan oleh bakteri pada saluran cernanya,

selanjutnya limfosit aktif ini bermigrasi ke kelenjar payudara menjadi

sel plasma dan menghasilkan antibodi. Selain itu, beberapa kajian

juga memperlihatkan kandungan antibodi terhadap jamur dan parasit

pada ASI.

Air susu ibu dapat meningkatkan jumlah sIgA pada saluran

napas dan kelenjar ludah bayi usia 4 hari. Hal ini dibuktikan dengan

lebih rendahnya kejadian penyakit radang telinga tengah, pneumonia,

penyebaran bakteri ke bagian tubuh lainnya, meningitis (radang

selaput otak), dan infeksi saluran kemih pada bayi yang mendapat ASI

dibanding bayi yang mendapat susu formula. Fakta ini lebih nyata

pada 6 bulan pertama dan dapat terlihat sampai tahun kedua.

Demikian pula angka kematian bayi yang mendapat ASI lebih rendah

dibanding bayi yang mendapat susu formula.

10) IgA Sekretori (sIgA)

Pemberian ASI terutama ASI eksklusif sangat bermanfaat bagi

anak untuk mencegah penyakit infeksi karena ASI memiliki zat

protektif atau zat imun. Zat imun yang terdapat pada immunoglobulin,

sekretori dan laktoferin dapat memperkuat sistem pertahanan tubuh

anak. Immunoglobulin yang sangat berperan dalam melindungi tubuh

dari penyakit ISPA adalah sIgA. sIgA berperan sebagai antibodi dari

mikroorganisme patogen penyebab ISPA (Nirwana, 2014;111).


47

Imunoglobulin A banyak ditemukan pada permukaan saluran

cerna dan saluran napas. Dua molekul imunoglobulin A bergabung

komponen sekretori membentuk IgA. Fungsi utama sIgA adalah

mencegah melekatnya kuman patogen pada dinding saluran cerna dan

menghambat perkembangbiakan kuman di dalam saluran cerna. IgA

sekretori di dalam ASI dilaporkan memiliki aktivitas antibodi terhadap

virus (polio, Rotavirus, echo, coxsackie, influenza, Haemophilus

influenzae, virus respiratori sinsisial/RSV), bakteri (Streptococcus

pneumoniae; E. coli, klebsiela, shigela, salmonela, campylobacter),

dan enterotoksin yang dikeluarkan oleh Vibrio cholerae, E. coli serta

Giardia lamblia. Begitu pula terhadap protein makanan seperti susu

sapi dan kedelai (bergantung pada pajanan ibunya). Oleh karena itu,

ASI dapat mengurangi angka kesakitan infeksi saluran cerna dan

saluran pernapasan bagian atas.

Imunoglobulin sIgA memiliki peranan dalam pertahanan

pertama dalam pembersihan antigen dengan mengikat antigen yang

dapat menembus epitel dan membawanya kembali ke lumen. Selain

itu, sIgA juga meningkatkan penghancuran mikroba melalui Antibody

Dependent Cell-mediated Cytotoxicity (ADCC). Perlekatan IgA

dengan permukaan bakteri atau virus akan mengurangi pergerakan

bakteri dan mencegah perlekatannya kepada epitel mukosa. (Amri,

2017;19).
48

Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Amri (2017;40)

didapatkan bahwa kadar sIgA dalam ASI meningkat bertahap setiap

bulan antara bulan ke 11 sampai bulan ke-17 setelah melahirkan dan

kadar sIgA dalam ASI pada tahun kedua setelah melahirkan masih

tinggi.

11) IgG

Imunoglobulin G (IgG) merupakan jenis imunoglobulin yang

utama dalam kolostrum dan susu sapi. IgG terdiri dari beberapa

subkelas diantaranya IgG1 dan IgG2 dan merupakan imunoglobulin

terbesar dalam serum. IgG mempunyai berat molekul: 150.000,

konsentrasi serum 10 – 16 mg/ml , dan total IgG dalam serum 75% ,

glikosilasi 3%, dan terdistribusi pada intra-ektsravaskular. IgG

mempunyai multifungsi seperti opsonisasi (pelenyapan bakteri yang

diikat antibodi oleh makrofag melalui fagositosis), pencegahan adesi

mikroba patogen ke dalam serum, inhibis (penghambat) metabolisme

bakterial dengan membloking enzim, aglutinasi bakteri dan netralisasi

toksin dan virus. Imunoglobulin G juga berperan pada imunitas seluler

karena dapat merusak antigen seluler melalui interaksi dengan sistem

komplemen atau melalui efek sitolitik sel fagosit. (Mehra 2006 dalam

Kawitan, 2011).

12) IgM

Imunoglobulin M ditemukan pada permukaan sel B yang matang.

IgM mempunyai waktu paruh biologi 10 hari. Imunoglobulin ini


49

hanya dibentuk pada saat fetus. Peningkatan jumlah IgM

mencerminkan adanya infeksi baru atau adanya antigen

(imunisasi/vaksinasi). IgM merupakan aglutinin yang efisien dan

merupakan isohem- aglutinin alamiah. IgM sangat efisien dalam

mengaktifkan komplemen. IgM dibentuk setelah terbentuk T-

independen antigen, dan setelah imunisasi dengan T-dependent

antigen. (Dharmono dalam Mahfudloh, 2010;49).

i. ASI Eksklusif

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang

Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi

sejak dilahirkan selama enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau

mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin, dan

mineral). (Kemenkes, 2017;146).

ASI eksklusif merupakan menyusui bayi secara murni, yang hanya

diberikan selama enam bulan tanpa diberikan cairan apapun, seperti air

putih, formula, jeruk, madu, air teh, dan pemberian makanan lainnya.

Setelah lewat dari usia enam bulan barulah diberikan makanan

pendamping lainnya dan tetap meneruskan pemberian ASI sampai usia

dua tahun atau lebih. (Mulyani, 2013;27).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Dewi pada

tahun 2013 menunjukkan bahwa ada hubungan pemberian ASI eksklusif

dengan frekuensi kejadian sakit pada bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas

Seyegan. Penelitian menunjukkan, bayi yang diberi ASI eksklusif secara


50

khusus terlindungi dari serangan penyakit pada sistem pernafasan dan

pencernaan. Hal itu disebabkan karena tubuh dalam ASI memberikan

perlindungan langsung melawan serangan penyakit.

ASI yang dikeluarkan pada 7 hari pertama setelah bayi lahir disebut

Kolostrum. Kolostrum sangat baik diberikan pada bayi baru lahir karena

mengandung banyak antibodi dan sel darah putih, serta vitamin A yang

diperlukan bayi karena dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi

dan alergi. (IDAI, 2013).

j. Pentingnya ASI Eksklusif

Saluran cerna merupakan organ yang unik. Enzim yang terkandung

pada air liur akan membantu mendorong makanan yang telah dikunyah ke

dalam lambung. Gerakan peristaltik, makanan didorong ke dalam usus

halus dan usus besar. Pada usus halus, makanan dicerna dan diserap

sebagai zat nutrisi yang diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangan

anak. Saluran cerna juga berfungsi sebagai barier antara dunia luar dan

dalam dari tubuh manusia.

Saluran cerna tersusun dari jaringan limfoid (40%) dan sel

penghasil antibodi (80%). Jaringan limfoid pada saluran cerna sendiri

merupakan jaringan limfoid terbesar di dalam tubuh manusia. Oleh karena

itu, wajar bila saluran cerna sangat berperan dalam mekanisme pertahanan

(sistem imun) tubuh secara keseluruhan.

Saluran cerna yang sehat akan membuat anak lebih terproteksi dari

berbagai bakteri patogen dan lebih tolerans dari bahan makanan yang
51

bersifat alergen (menimbulkan penyakit alergi). Oleh karena itu, saluran

cerna yang sehat akan menghasilkan sistem pertahanan tubuh yang baik

sehingga anak lebih jarang sakit dan dapat tumbuh serta berkembang

secara optimal.

Bayi yang diberi formula akan merasa kenyang dan cenderung

malas untuk menyusu sehingga pengosongan payudara menjadi tidak baik.

Akibatnya payudara menjadi bengkak sehingga ibu kesakitan, dan

akhirnya produksi ASI memang betul menjadi kurang. Akibat pemberian

susu formula, masalah medis lain yang mungkin timbul adalah perubahan

flora usus (melindungi tubuh terhadap beberapa jenis infeksi), terpapar

antigen dan kemungkinan meningkatnya sensitivitas bayi terhadap susu

formula (alergi) dan bayi kurang mendapat perlindungan kekebalan dari

kolostrum yang keluar justru di hari hari pertama kelahiran.

ASI merupakan nutrisi pilihan pertama dan utama bagi bayi

berusia 0-6 bulan. Makanan pendamping ASI harus diberikan setelah bayi

berusia 6 bulan. ASI secara eksklusif telah terbukti secara ilmiah dapat

meningkatkan kesehatan saluran cerna.

(IDAI, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Maysyaroh, dkk (2015),

menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara pemberian ASI

Eksklusif dengan kejadian pneumonia. Status ekonomi yang rendah dapat

mempengaruhi terjadinya pneumonia pada bayi. Walaupun bayi tersebut

diberikan ASI Eksklusif, akan tetapi kandungan ASI yang diberikan


52

kurang memenuhi karena asupan nutrisi ibu kurang memadai sehingga

imunitas ibu yang terkandung dalam ASI kurang optimal. Hal ini dapat

dipengaruhi oleh gaya hidup orang tua yang sehat dan merokok, gizi

keluarganya cukup baik atau tidak, lingkungan tempat tinggal bayi yang

bersangkutan dan bebas dari polusi udara atau tidak, dan status imunisasi

bayi.

Menurut Asri, dkk tahun 2018 terdapat delapan langkah agar ASI

berkualitas yaitu percaya diri, menyusui dengan benar, menghindari

penggunaan dot atau empeng, tidak memberikan susu formula,

menghindari stress, ibu mengkonsumsi makanan bergizi, pijat punggung,

dan menyimpan ASI bagi ibu pekerja. Ciri kualitas ASI yang baik dan

sehat yaitu warna ASI normal yaitu berwarna kekuningan atau putih pucat,

aroma tidak amis, dan ASI tidak mengandung lipase yang tinggi yaitu

dengan menyimpan ASI di freezer.

Perilaku ibu dapat mempengaruhi kualitas ASI. Puting susu tidak

boleh disentuh dengan tangan yang belum dicuci bersih. Kebersihan / hygiene

payudara juga harus diperhatikan, khususnya daerah papila dan areola. Pada

saat mandi, sebaiknya papila dan areola tidak disabuni, untuk menghindari

keadaan kering dan kaku akibat hilangnya lendir pelumas yang dihasilkan

kelenjar Montgomery. Areola dan papila yang kering akan memudahkan

terjadinya lecet dan infeksi. (Haeriaty, 2010).


53

3. Hubungan ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA

Banyak penelitian yang menilai pengaruh dari pemberian ASI secara

eksklusif terhadap kesehatan bayi dan anak. Menyusui eksklusif selama enam

bulan terbukti memberikan risiko yang lebih kecil terhadap berbagai penyakit

infeksi, seperti infeksi saluran pernapasan. Inilah, alasan ASI dianjurkan

sebagai sumber makanan utama selama enam bulan pertama kehidupan bayi.

Asumsi dari hubungan pemberian ASI dan kejadian ISPA adalah pemberian

ASI merupakan salah satu faktor yang dapat mencegah terjadinya ISPA pada

bayi dan anak. Bayi yang mendapatkan ASI sejak lahir akan lebih jarang

mengalami ISPA karena mukosa bayi dapat mengadakan ikatan dengan IgA

dan IgM dari kolostrum dan ASI sehingga dapat melindungi dari masuknya

fdavey bakteri menuju sirkulasi umum (Manuaba, 2007;380).

Sebelum virus atau bakteri yang menyebabkan ISPA mengalami

perlekatan sel bakteri pada permukaan epitel maka berikan ASI yang kaya

akan IgA pada anak. Fungsi utama sIgA adalah mencegah melekatnya kuman

patogen pada dinding saluran cerna dan menghambat perkembangbiakan

kuman di dalam saluran cerna. IgA sekretori di dalam ASI dilaporkan

memiliki aktivitas antibodi terhadap virus (polio, Rotavirus, echo, coxsackie,

influenza, Haemophilus influenzae, virus respiratori sinsisial/RSV), bakteri

(Streptococcus pneumoniae; E. coli, klebsiela, shigela, salmonela,

campylobacter). (IDAI, 2013).

Anda mungkin juga menyukai