Anda di halaman 1dari 3

Nama : Muhammad Rafiuddin

Nim : A1011221122

Makul : Hukum Keluarga dan Kewarisan Islam Kelas A

Dosen Pengampu : Angga Prihatin, S.H.M.H

Tugas Perkuliahan Mandiri

Untuk perkulihan tanggal 4 September 2023

1. Kewajiban tentang mahar dalam islam

Mahar harus diberikan oleh suami kepada istrinya, baik kontan atau pun dilakukan secara
bertahap. Sebab, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad
pernikahan dan tidak dibenarkan menguranginya. Allah SWT berfirman:

‫ع ْن ش َْيء ِّم ْنه ُ نَ ْفسا فَكُلُ ْوهُ هَن ۤ ْيـًٔا مر ۤ ْيـًٔا‬ َ ‫س ۤا َء‬
َ ‫صد ُٰقتهن نحْ لَة ۗ فَا ْن طبْنَ لَكُ ْم‬ َ ِّ‫َو ٰاتُوا الن‬

Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan
senang hati.” (QS. An Nisa: 4)

Berikut ini beberapa isi kandungan dari surat An Nisa ayat 4

- Wajib memberikan mahar kepada istri. Sesungguhnya farji (kemaluan wanita tidak
halal kecuali dengan mahar, baik disebutkan ketika akad maupun tidak.
- Mahar ada dua jenis, yakni mahar musamma yang disebutkan ketika akad dan mahar
mitsli yang tidak disebutkan ketika akad. Besaran mahar mistli disesuaikan dengan
mahar rata-rata kerabat wanitanya tersebut. Bisa dengan cara melihat kepada mahar
yang diterima oleh saudara-saudara perempuannya atau bibi-bibinya.
- Disunnahkan menyebutkan mahar dalam akad nikah. Apabila tidak disebutkan, maka
pernikahan tersebut tidak sah.
- Mahar bukanlah sebuah harga dari kemaluan wanita yang dinikahi, karena Allah
menjadikan manfaat dan tujuan menikah sebagai sesuatu yang bersifat musytarak
(bersifat timbalbalik) antara suami istri.
- Tidak ada batas maksimal dalam hal banyaknya jumlah dan kadar mahar. Namun, para
ulama berpendapat jika ketentuan minimum tentang mahar berupa sesuatu yang
bermanfaat, baik berupa barang atau jasa. (Hukum dan Etika Pernikahan dalam Islam
t.thn.)

Kewajiban tentang mahar adalah aspek yang penting dalam banyak budaya dan adat istiadat.
Mahar adalah sesuatu yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai
bagian dari perjanjian pernikahan. Analisis mengenai kewajiban ini dapat dilihat dari berbagai
sudut pandang:

Aspek Budaya :

Budaya memainkan peran besar dalam menentukan besarnya mahar dan apa yang dianggap
cocok sebagai mahar dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai budaya, norma-norma sosial, dan
tradisi berperan dalam menentukan besarnya mahar.

Mahar bisa berupa uang tunai, harta berharga, atau bahkan jasa atau pekerjaan tertentu,
tergantung pada budaya yang berlaku. Ini mencerminkan cara masyarakat menghargai nilai dan
status perempuan dalam pernikahan.

2. Analisis tentang larangan kawin dan perkawinan terlarang dalam hukum islam

larangan perkawinan dalam fikih serta relevansinya dengan peraturan hukum perkawinan di
Indonesia, bahwa tidak semua perempuan dapat dinikahi, tetapi syarat perempuan yang boleh
dinikahi hendaknya bukan orang yang haram bagi laki-laki yang akan mengawininya.
Larangan perkawinan mencakup halangan abadi (ta’bíd), yaitu tidak dapat dinikahi selamanya,
dikarenakan nasab, perkawinan dan persusuan. Larangan sementara (gairu ta’bíd) adalah orang
yang haram dikawin untuk masa tertentu, seperti halangan bilangan, mengumpulkan,
kehambaan, kafir, ihrám, iddah, perceraian tiga kali dan peristrian. Pada prinsipnya peraturan
hukum perkawinan di Indonesia, baik UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun KHI
merupakan legeslasi hukum Islam. Pada prinsipnya, seluruh pasal dalam peraturan hukum
perkawinan di Indonesia yang menyangkut tentang larangan perkawinan, releven dengan apa
yang diutarakan dalam fikih, namun terdapat larangan perkawinan yang tidak terlegeslasikan
dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, seperti larangan perkawinan dengan hamba,
sedangkan pasal yang kontroversial, yaitu pasal 40 huruf c. KHI dalam pasal tersebut
menjelaskan bahwa seorang laki-laki muslim dilarang melakukan perkawinan dengan wanita
yang tidak beragama Islam, sebagaimana dalam fikih, yaitu mereka yang tidak beragama Islam,
dalam arti musyrik, penganut Majusi, Nasrani, Yahudi dan Ahli kitab.

Larangan perkawinan memiliki berbagai aspek yang bisa dianalisis dari sisi kesehatan, budaya,
adat, dan norma-norma dalam masyarakat.

Kesehatan:

- Dalam hukum Islam, perkawinan antara saudara kandung (darah) secara ketat dilarang
karena risiko genetik yang tinggi dapat menyebabkan kelainan genetik pada keturunan.
- Dalam masyarakat umum, norma-norma kesehatan juga mendorong larangan
perkawinan antara saudara kandung untuk menghindari risiko genetik yang serupa.

Budaya dan Adat:

- Islam tidak pernah melarang pernikahan berbeda suku, budaya, daerah, ataupun ras.
Akan tetapi tradisi bukan sesuatu yang harus di khawatir kan selama tidak bertentangan
dengan kaidah hukum islam.
- Dalam berbagai budaya lain, larangan serupa seringkali ada karena pertimbangan etika,
moral, dan tabu terhadap perkawinan yang tidak semesti yang melanggar norma –
norma kehidupan masyarakat.

Norma-norma dalam Masyarakat:

- Norma-norma dalam masyarakat cenderung memahami dan menerima larangan


perkawinan antara saudara kandung berdasarkan pertimbangan kesehatan dan moral
yang sama-sama berlaku di berbagai budaya.

Anda mungkin juga menyukai