Anda di halaman 1dari 5

SAHABAT DALAM SUKA DUKAKU

Aku melihat Yossy menangis tersedu-sedu. Seperti dunia mau runtuh baginya. Kami,
teman sekelasnya tidak mampu berkata apa-apa untuk meredakan tangisnya. Bagi kami, apa
alasan yang kuat sehingga ia begitu terpukul dan menangis, hanya karena nilai ulangan harian
Matematikanya 80. Sementara nilai kami sekelas tidak lebih dari 60. Hal itu yang
membuatku kurang nyaman, ironis bukan ?

Yossy bukanlah siswi cengeng. Ia periang, ramah dan selalu mau membantu kami
kalau kami kesulitan memecahkan soal Matematika. Hal itu bukan sesuatu yang
mengherankan, sejak SD ia selalu menjadi juara kelas. Bahkan, Ia masuk SMA saat ini
dengan harga khusus berkat prestasinya. Keren kan ?

Bukan hanya pintar, Yossy juga cantik. Ia berasal dari keluarga kaya sejak dari kakek
neneknya, orang kaya lama. Ia tinggal di lingkungan perumahan elite, keluar masuk mobil
mewah, memakai barang-barang branded dan uang sakunya juga gede. Kami
memandangnya sebagai sosok yang sempurna. Bukan hanya itu saja, Yossy juga pandai
bermain musik, Ia bisa main piano dan Biola. Sungguh paduan yang membuat banyak orang
iri hati melihatnya.

Selain Yossy, aku mempunyai teman yang sepadan dengannya bernama Lia. Lia lebih
berperan sebagai “sparing partner” dalam segala hal dengan Yossy. Lia juga berasal dari
keluarga terpelajar, anak seorang dokter. Wajah Lia yang manis, putih bersih membuatnya
semakin menarik dengan rambut ikal sebahunya. Lia lebih feminim dibandingkan Yossy.
Lia senang bermain game musik sementara Yossy lebih suka main War game. Lia lebih suka
berteman dengan cewek, sementara Yossy suka main bareng cowok.

Kami bertiga cukup dekat, karena kami ke gereja yang sama, melayani dalam
kelompok musik yang sama dan ikut ekskul orkestra sama-sama. Walau kami punya selera
musik yang berbeda, namun kami suka berkumpul bersama. Jika Yossy merasa tidak
nyaman karena sifat kompetitif Lia muncul, maka aku menjadi penengah mereka. Aku bukan
juara kelas seperti mereka, namun aku juga tidak termasuk anak yang bodoh di sekolah. Aku
selalu belajar maksimal sesuai kemampuanku, tanpa ditargetkan orang tua untuk menjadi
juara kelas. Aku cukup beruntung tanpa target prestasi dari orang tuaku. Bagi orang tuaku,
persaingan nilai tidak baik. Sehingga aku cukup menjadi diriku sendiri. “Aku harus belajar
maksimal seperti untuk Tuhan”, begitu selalu ceramah ibuku.

Lia beberapa kali ikut lomba Olimpiade Sains sejak SD. Kalau gelar juara kelas, Lia
selalu bergantian dengan Yossy. Kalau Lia juara satu maka Yossy menyusul menjadi juara
duanya. Atau sebaliknya. Beberapa kali mereka berdua sekelas. Mereka sudah bersaing
ketat sejak dari TK di sekolah ini. Berbeda halnya dengan Lia, Yossy walaupun dia juara,
namun dia tidak pernah ikut lomba olimpiade.
Aku juga satu organisasi di OSIS sekolah sejak SMP bersama Lia. Lia banyak
membantuku mengirimkan naskah buat buletin sekolah yang menjadi tanggung jawabku.
Sementara, Yossy tidak bisa mengikuti kegiatan organisasi karena waktunya habis untuk les.
Les yang diikuti Yossy, Matematika, Bahasa Inggris dan Piano. Selain itu, rumahnya juga
jauh dari sekolah. Lia hanya les Matematika, Bahasa Inggris, Piano dan Biola. Aku juga les,
sesuai passion-ku aku ambil les bahasa Korea di salah satu kampus dekat rumahku. Pada hari
les, aku layaknya mahasiswi, berjalan bangga masuk ruang kuliah dengan dosen seganteng
idolaku K-Pop, native speaker. Rumahku dan Lia sangat dekat dengan sekolah. Itulah yang
membuat kami berdua ikut bermacam-macam aktifitas di sekolah selain pelajaran di kelas,
akses ke sekolah yang gampang. Dengan berjalan kaki saja kami bisa sampai ke sekolah.
Kedua sahabatku mempunyai kesamaan, mereka sama-sama kompetitif. Selalu ingin
menjadi yang terbaik dalam segala hal. Sehingga tidak mengherankan jika Yossy yang
mendapatkan nilai ulangan harian tertinggi di kelas 80, menangis. Karena baginya nilai yang
harus diperolehnya tidak kurang dari 100. Nilai sempurna. Lia juga mengejar nilai
sempurna. Hanya agak berbeda cara mengekspresikan kekecewaannya jika tidak
mendapatkan nilai sempurna. Lia akan diam seharian itu.
Menurut para ahli, kebanyakan orang tua ingin mendorong buah hatinya untuk
melakukan hal yang terbaik dan memaksimalkan potensi yang anak mereka miliki.
Walaupun bertujuan baik, kadang kala justru tanpa sengaja orang tua melakukan hal yang
keliru kepada anaknya. Bila penekanan pada harus menjadi yang terbaik dalam segala hal,
maka resikonya merusak kepercayaan diri anak. Karena kita tahu, tidak seorangpun di dunia
ini yang sempurna segala hal.
Sebagai contoh, saat Yossy mendapatkan nilai 80, maka ibunya mengatakan bahwa kok
tidak bisa menjawab semua soal dengan benar. Kalau lebih rajin belajar, maka kamu bisa
kok dapat 100 semua. Lain kali belajar lebih rajin ya. Pulang sekolah les, sampai di rumah
baca-baca lagi soal di les kamu. Itu yang menimbulkan stres bagi Yossy bila tidak
mendapatkan nilai sempurna. Paham...!
Demikian juga yang terjadi dengan Lia. Sebagai seorang anak dokter, maka orang
tuanya dengan bangga memamerkan rapornya dan piagam prestasinya sebagai juara kelas
atau juara umum sekolah di medsos. Hal itu tentu mendapatkan banyak like dan pujian atas
kecerdasan anaknya yang menurun dari orang tuanya yang juga pintar. Itu membuat hati
setiap orang tua bangga dan bahagia setengah mati. Anakku hebat...! Anakku pintar. Siapa
dulu orang tuanya...! Hal itu yang memotivasi Lia mengejar prestasi setinggi mungkin. Ia
harus menjadi yang terbaik buat menyenangkan hati semua orang.
Menurut para ahli, keyakinan ini bisa muncul ketika orang tua begitu berhasrat untuk
melihat kesuksesan buah hatinya. Penerimaan atau penolakan orang tua terhadap suatu
prestasi bisa diintepretasikan anak sebagai rasa cinta atau sebaliknya bahwa ia tidak dicintai
lagi. Kita harusnya tahu bahwa anak selalu butuh dukungan orang tuanya. Agar
kepercayaan dirinya pulih, banyak orang tua yang harus mau berubah.
Sebenarnya, mereka ingin berhasil dalam mengerjakan sesuatu. Untuk dapat memiliki
rasa mampu dia harus dapat berhasil menyelesaikan sesuatu. Untuk dapat jati dirinya yang
memuaskannya, anak remaja harus mempunyai rasa mampu mengerjakan sesuatu. Suatu hal
yang kurang menyenangkan bagi anak remaja adalah bahwa di sekolah dia seringkali
mengembangkan rasa tidak mampu dan gagal. Sehingga anak mempunyai penilaian rendah
dari dirinya sendiri dan menimbulkan perasaan rendah diri.
Seharusnya anak diberi cukup kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya
mengerjakan sesuatu. Anak remaja akan mengetahui kapasitasnya dan kemampuannya, dari
sudut pandang penilaian orang lain. Pandangan positif dari orang mengenai dirinya akan
mendorong keberhasilan dan rasa percaya diri.
Faktanya, orang tua tidak dapat mencegah anaknya dari kegagalan, atau terhadap
pilihan-pilihan keliru yang dibuat anaknya. Upaya-upaya terbaik orangtua untuk mengasihi
dan mengasuh mereka tidaklah menjamin sukses mereka. Anak juga manusia, dan manusia
bebas membuat pilihan, entah baik ataupun buruk. Sehingga langkah terbaik yang dapat
dilakukan orang tua adalah mengasihi tanpa pamrih, juga saat anak mengalami kegagalan.
Tetap selalu menerimanya apa adanya dan mendoakan mereka. Itu tugas mulia orang tua.
Terdapat bermacam-macam kegagalan, salah satunya kegagalan memenuhi harapan
orang tuanya. Kegagalan berprestasi sesuai kemampuan dan harapan orang tuanya.
Kegagalan jenis ini selalu terjadi di bidang olahraga, kesenian, pekerjaan sekolah, tim debat,
nilai rapor dan lain sebagainya. Ada kegagalan prestasi yang terjadi karena orang tua atau
anak yang bersangkutan telah menerima harapan yang tidak realistis. Kalau sasarannya tidak
realistis, maka kegagalan tak terhindarkan.
Sebagai orang tua, seharusnya sadar jika tidak semua pemain akan memenangkan
medali emas. Jika orang tua terlalu menuntut kesempurnaan, maka mereka tidak akan pernah
puas dengan pencapaian anaknya. Sasaran prestasi tinggi, jika tidak tercapai, akan membuat
hati ciut atau rendah diri atau minder. Seharusnya, orang tua membantu anaknya untuk
melihat hasil ujian atau hasil lomba dari sudut berbeda. Menjadi juara 2 bukan kegagalan.
Atau naik kelas dengan nilai KKM juga bukan kegagalan. Karena anak sudah menguasai
minimal materi yang diajarkan pada tingkatan daya pikir mereka. Artinya, anak itu sudah
berhasil lolos dong dari kelas tersebut naik ke level kelas yang lebih tinggi. Apakah orang
tua mampu bersikap demikian terhadap anaknya ? Tolong... mengertilah mereka sedikit.
Ada alasan lain mengenai kegagalan anak dalam prestasinya adalah karena mereka
dipaksa menekuni bidang yang tidak sesuai dengan bakat dan minat mereka. Tentu saja ini
menjadi perjuangan bagi anak di sekolah, dimana potensi mereka tidak tergali dan energi
mereka terkuras untuk memenuhi target prestasi yang ditetapkan orang tua atas dirinya untuk
menyenangkan hati mereka. Memaksa anak untuk menekuni bidang-bidang yang tidak
mereka minati sama saja dengan mempersiapkan mereka untuk gagal.
Tentu saja orang tua boleh mendorong atau mendukung anak mereka dengan bidang-
bidang minat orang tuanya, atau mimpi orang tuanya yang belum tercapai. Namun jangan
mencoba untuk memanipulasi anak mereka sehingga mengikuti keinginan orang tuanya,
padahal tidak sesuai dengan bakat dan minat anak itu sendiri. Setiap anak dilahirkan dengan
unik dan memiliki bakat minat dalam dirinya. Itulah potensi yang sebaiknya digali dan
didukung. Karena anak itu bukan milik orang tua, mereka adalah milik Tuhan. Mereka
dipercayakan Tuhan pada kita untuk dikasihi.
Setelah tahu sedikit mengenai pola asuh kedua orang tua temanku itu, saya makin
berempati dengan Yossy dan Lia. Walaupun saya sadar, ada pepatah mengatakan bahwa,
mempunyai banyak teman akan mengakibatkan kesusahan, irihati, dan perselisihan. Dalam
persahabatan pasti ada gesekan, dimana besi menajamkan besi. Pada umumnya irihati
timbul pada masa kanak-kanak, sehingga dianggap emosi kekanak-kanakan. Namun irihati
juga ada pada siswa SMA. Penyebab yang menimbulkan irihati antara lain, jika seorang
siswa lain lebih berhasil dalam pelajarannya di sekolah, lebih berhasil dalam bidang olahraga,
lebih berhasil dalam bidang musik, lebih cantik, lebih kaya, hidupnya terlihat lebih senang
dan enak daripadanya, atau siswa lain mendapatkan kebebasan yang lebih banyak
daripadanya.
Menurut psikolog, persoalan-persoalan remaja akan tidak sedemikian berat dirasakan
mereka apabila mereka dapat membicarakannya dengan orang tuanya atau gurunya. Akan
tetapi, banyak siswa tidak mau membicarakan persoalan-persoalannya dengan orang dewasa.
Mereka kuatir orang dewasa tidak akan mengerti atau mereka takut dianggap tidak mampu
menyelesaikan persoalan-persoalannya sendiri. Saya sebagai teman sebayanya, hanya
mampu menyediakan telinga bagi mereka dan menengahi mereka bila terjadi kesalah
pahaman antara mereka.
Saya membaca bahwa pada usia menuju kedewasaan, kami telah membuat gambaran
jati diri lebih jelas, apa yang mampu kami lakukan dan apa yang tidak mampu kami kerjakan.
Gambaran ini antara lain perkiraan dari kecerdasan, minat, hal-hal yang menyenangkan dan
yang tidak membuat bahagia hati kami, dan hal-hal yang menimbulkan perasaan kurang
dalam diri kami. Selain itu kami juga menentukan kelompok-kelompok mana yang cocok
dan yang tidak cocok bagi kami. Gambaran jati diri inilah yang akan terus bertahan sampai
selanjutnya. Jadi masa ini adalah masa kritis mencari jati diri siswa. Tentu orang tua dan
guru harus mendukung mereka.
Yossy dan Lia adalah sahabat terbaikku. Mereka sahabat karibku. Mereka yang paling
dekat denganku. Banyak waktu kami dilampaui bersama-sama. Hubungan kami begitu dekat
sehingga kami saling pengaruh mempengaruhi. Walaupun kadang-kadang ada perbedaan
pendapat dan bertengkar hebat. Namun, karena hubungan persahabatan kami sangat erat,
sehingga pertengkaran segera diselesaikan dan dilupakan. Itulah kisah kami, semoga
persahabatan kami menjadi kenangan indah masa SMP kami.

Anda mungkin juga menyukai