Anda di halaman 1dari 50

JOURNAL READING TAHAP II

A Psychosocial Approach to Erectile Dysfunction: Position


Statements from the European Society of Sexual Medicine
(ESSM)
Marieke Dewitte, PhD,1 Carlo Bettocchi, MD, PhD,2 Joanna Carvalho, PhD,3
Giovanni Corona, MD, PhD,4 Ida Flink, PhD,5 Erika Limoncin, PhD,6 Patricia
Pascoal, PhD,7,8,9 Yacov Reisman, MD, PhD,10 and Jacques Van Lankveld, PhD.11

Penyaji :

dr. Fariza Ayustama


2171051007

Pembimbing

Dr. Lely Setyawati Kurniawan, dr.,Sp.K.J.,Subsp.F.(K)

PROGRAM STUDI SPESIALIS KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2023
ABSTRAK

Pendahuluan: Meskipun disfungsi ereksi (DE) melibatkan interaksi antara jalur


fisiologis dan psikologis, aspek psikososial DE masih belum mendapatkan
perhatian yang cukup besar hingga saat ini.
Tujuan: Untuk meninjau bukti yang tersedia mengenai aspek psikososial DE
guna mengembangkan pernyataan posisi dan rekomendasi praktik klinis atas
nama European Society of Sexual Medicine (ESSM).
Metode: Dilakukan tinjauan komprehensif secara naratif terhadap literatur.
Hasil utama: Pernyataan dan rekomendasi spesifik sesuai dengan kriteria Oxford
Centre for Evidence-Based Medicine 2011 Levels of Evidence disediakan.
Hasil: Pengobatan multidisiplin, di mana pengobatan medis dikombinasikan
dengan pendekatan psikologis, lebih disukai daripada pengobatan unimodal.
Semakin banyak bukti bahwa pengobatan psikologis DE dapat meningkatkan
pengobatan medis, kepatuhan pasien terhadap pengobatan, dan kualitas hubungan
seksual. Komponen utama dari pengobatan psikologis DE melibatkan teknik
kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk mengurangi kecemasan, menghadapi
keyakinan disfungsi, meningkatkan stimulasi seksual, mengganggu penghindaran
seksual, dan meningkatkan keterikatan dan keterampilan komunikasi dalam
konteks hubungan. Jika memungkinkan, sangat disarankan untuk melibatkan
pasangan dalam penilaian dan pengobatan DE serta aktif bekerja pada
kesepakatan antar pasangan dan pengambilan keputusan bersama mengenai
pilihan pengobatan yang mungkin. Untuk memastikan integrasi yang lebih baik
dari model biopsikososial ke dalam praktik klinis, penting untuk mengembangkan
protokol pengobatan konkret dan program pelatihan.
Kesimpulan: Karena pendekatan psikososial terhadap DE belum mendapatkan
perhatian yang cukup besar, pernyataan posisi ini memberikan informasi berharga
bagi para klinisi yang merawat DE. Intervensi psikologis pada DE didasarkan
pada model teoritis yang ada dan didasarkan pada bukti empiris. Namun, kualitas
studi yang tersedia rendah, yang menuntut penelitian lebih lanjut. Bidang
kedokteran seksual akan mendapatkan manfaat dengan mengejar lebih banyak
keragaman, inklusivitas, dan integrasi dalam merancang pengobatan dan
mengevaluasi efeknya.

Dewitte M, Bettocchi C, Carvalho J, et al. Pendekatan Psikososial terhadap


Disfungsi Ereksi: Pernyataan Posisi dari European Society of Sexual Medicine
(ESSM). Sex Med 2021;9:100434.
Hak Cipta © 2021, International Society of Sexual Medicine. Diterbitkan oleh
Elsevier Inc. Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-NC-ND
(http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/).

2
Kata Kunci: Disfungsi Ereksi; Seksologi; Psikoterapi; Biopsikososial
Received May 27, 2021. Accepted August 10, 2021.
1
Department of Clinical Psychological Science, Maastricht University, Maastricht,
The Netherlands; 2Policlinic, Urology Unit, University of Aldo Moro, Bari, Italy;
3
Escola de Psicologia e Ci^encias da Vida, Universidade Lusofona de Human-
idades e Tecnologias, Lisbon, Portugal; 4Endocrinology Unit, Medical
Department, Azienda USL, Maggiore-Bellaria Hospital, Bologna, Italy; 5Center
for Health and Medical Psychology, Orebro University, € Orebro, € Sweden;
6
Chair of Endocrinology and Medical Sexology (ENDOSEX), Department of
Systems Medicine, University of Rome Tor Vergata, Rome, Italy; 7CICPSI,
Faculdade de Psicologia, Universidade de Lisboa, Alameda da Universidade,
Lisboa, Portugal; 8Universidade Lusofona de Humanidades e Tecnologias,
Lisbon, Portugal; 9Faculdade de Psicologia e Ci^encias da Educac¸~ao & CPUP,
Universidade do Porto, Portugal; 10Flare Health, Amstelveen, The Netherlands;
11
Department of Clinical Psychology, Open University, Heerlen, The Netherlands
Copyright © 2021, International Society of Sexual Medicine. Published by
Elsevier Inc. This is an open access article under the CC BY-NC-ND license
(http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/).
https://doi.org/10.1016/j.esxm.2021.100434

3
PENDAHULUAN

Disfungsi ereksi (DE) merupakan salah satu gangguan seksual paling

umum pada pria dan telah banyak menarik perhatian penelitian. Namun, sebagian

besar studi berfokus pada penelitian tanda biologis, yang sebagian mendapat

pengobatan medis seperti inhibitor fosfodiesterase tipe 5 (PDE5) sejak akhir tahun

90-an, sehingga aspek psikologis dan sosial dari DE terlupakan. Hal ini menarik

perhatian karena fungsi ereksi melibatkan interaksi dinamis antara faktor vaskular,

neurologis, hormonal, psikologis, dan relasional/sosial. Selain itu, gangguan

respons seksual menyebabkan ketidaknyamanan yang signifikan pada pria dan

pasangannya. Membedakan antara DE organik dan nonorganik mungkin kurang

relevan ketika mempertimbangkan bahwa faktor fisik, psikologis, dan sosial

selalu terlibat dan akan berinteraksi untuk menentukan ekspresi perilaku DE.

Pengabaian ini dapat berdampak negatif pada kesesuaian pasien terhadap

pengobatan. Saat ini, sudah ada beberapa artikel tinjauan dan panduan klinis

tentang DE, tetapi sebagian besar dari artikel-artikel ini menggunakan penilaian

dan pengobatan DE dari perspektif medis murni dan hanya sedikit memberikan

perhatian pada menjelaskan aspek psikososial DE. Meskipun semakin banyak

klinisi yang mulai mengintegrasikan penilaian dan saran psikologis dalam

protokol DE, hanya sedikit artikel yang tersedia yang memberikan gambaran

komprehensif dan eksklusif mengenai aspek psikologis dan relasional/sosial yang

mendasari DE. Tujuan dari artikel ini, atas nama European Society of Sexual

Medicine (ESSM), adalah untuk meninjau bukti yang tersedia tentang variabel

psikososial untuk penilaian, diagnosis, dan pengobatan DE, guna melengkapi

4
pengetahuan medis yang ada dan rekomendasi untuk praktik klinis.

METODE

Pencarian literatur komprehensif dilakukan pada basis data ilmiah utama

(Pubmed, Web of Science, Psych Info, Medline, dan Cochrane) menggunakan

kata-kata berikut: disfungsi ereksi, gangguan ereksi, kesulitan ereksi, masalah

ereksi, dikombinasikan dengan psikogenik ATAU psikologis ATAU sosial ATAU

interpersonal ATAU pasangan ATAU hubungan ATAU intervensi. Publikasi

hingga Februari 2020 termasuk dalam penelusuran ini. Hanya artikel-artikel yang

secara eksplisit berfokus pada aspek psikologis dan sosial/relasional DE yang

dipertimbangkan. Selain itu, hanya artikel-artikel yang ditujukan untuk pria

dengan DE yang dimasukkan karena literatur tentang DE lebih fokus pada pria

dan penelitian dengan identitas lainnya (misalnya, pria transgender) masih sangat

terbatas. Pernyataan-pernyataan tersebut didiskusikan secara internal oleh tim ahli

yang ditunjuk oleh ESSM. Perbedaan pendapat diselesaikan melalui konsensus.

Kualitas bukti dievaluasi, dan tingkat bukti diberikan sesuai dengan kriteria

Tingkat Bukti Oxford 2011 (https://www.cebm.net/2009/06/oxford-centre-

evidence-based-medicine-levels-evidence-march-2009).

Level Therapy / Prevention, Aetiology / Harm

1a SR (with homogeneity*) of RCTs


1b Individual RCT (with narrow Confidence Interval”¡)
1c All or none (case series)
2a SR (with homogeneity*) of cohort studies
2b Individual cohort study (including low quality RCT; e.g., <80% follow-up)
2c “Outcomes” Research; Ecological studies
3a SR (with homogeneity*) of case-control studies
3b Individual Case-Control Study
4 Case-series (and poor quality cohort and case-control studies)

5
5 Expert opinion without explicit critical appraisal, or based on physiology,
bench research or “first principles”

6
ETIOLOGI DISFUNGSI EREKSI

Pernyataan #1: Etiologi disfungsi ereksi adalah multifaktorial dan oleh karena itu

membutuhkan pendekatan biopsikososial. (Pernyataan Praktik Klinis yang Baik).

FAKTOR PSIKOLOGIS
Sebagian besar bukti tentang etiologi psikososial disfungsi ereksi

didasarkan pada model-model teoretis yang umum diterima, tetapi belum cukup

divalidasi oleh studi eksperimental berkualitas tinggi. Gambar 1 menyajikan

gambaran tentang proses kognitif-motivasi yang terlibat dalam respons

seksual.16,17 Implikasi penting pertama adalah bahwa stimulus seksual yang

memadai diperlukan untuk mengaktifkan respons gairah seksual. 16 Dengan

demikian, disfungsi ereksi dapat disebabkan oleh kurangnya stimulasi seksual

atau repertoar seksual yang terbatas yang telah kehilangan sifat merangsangnya

seiring berjalannya waktu. Implikasi penting lainnya berkaitan dengan perbedaan

antara gairah subjektif dan gairah genital. Mengingat kesadaran terhadap sinyal-

sinyal fisiologis yang berkembang (misalnya, pembengkakan alat kelamin) adalah

elemen kunci dalam respons seksual, diasumsikan bahwa keterkaitan umpan balik

yang lebih kuat antara komponen kognitif dan fisik dari sistem seksual

kemungkinan akan meningkatkan keterangsangan seksual.16 Terdapat bukti bahwa

pria dengan disfungsi ereksi menunjukkan gairah genital yang lebih rendah

(seperti suhu genital rata-rata yang lebih rendah dan perubahan suhu) sebagai

respons terhadap rangsangan seksual, dibandingkan dengan pria tanpa disfungsi

ereksi.18 Selain itu, pria dengan disfungsi ereksi juga memiliki perbedaan yang

lebih rendah antara gairah subjektif dan gairah genital mereka, yang berarti bahwa

7
terutama pada pria dengan disfungsi ereksi, gairah subjektif dapat dirasakan tanpa

adanya rangsangan fisik.18

Faktor kognitif juga dapat memainkan peran dan mengganggu rangkaian

respons gairah seksual . Pria yang mengalami kesulitan ereksi memasuki


19,20

situasi seksual dengan afek negatif yang tinggi dan afek positif yang rendah,

bersama dengan harapan negatif tentang performa seksual mereka. Pola pikir ini

menyebabkan pergeseran perhatian ke isyarat yang menunjukkan kegagalan dan

fokus evaluatif yang kuat pada sinyal tubuh mereka sendiri, yang mengalihkan

perhatian mereka dari isyarat erotis. Mereka bereaksi dengan menjadi penonton,

memantau diri sendiri, menuntut performa, dan mengalami kecemasan kegagalan,

yang sering dikaitkan dengan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik, yang

menghambat gairah genital15,18,19. Akhirnya, beberapa pria akan menghindari

aktivitas seksual, dengan demikian mempertahankan atau memperburuk afek

negatif awal yang terkait dengan seks19,21. Sebuah meta-analisis terbaru yang

melibatkan 2.118 pasien yang menerima terapi perilaku kognitif berbasis internet

telah menunjukkan bahwa gejala kecemasan yang lebih parah merupakan faktor

penting untuk hasil positif yang berhasil dalam mengatasi disfungsi ereksi22.

Selain gangguan kognitif, pikiran otomatis negatif (misalnya, saya adalah seorang

yang gagal, saya perlu tampil, ereksi saya tidak cukup keras) dan keyakinan

macho yang melibatkan harapan-harapan tidak realistis dan tidak tercapai tentang

performa seksual pria (misalnya, ereksi penis penting untuk kepuasan seksual

wanita, gagal mendapatkan ereksi dapat menyebabkan seorang wanita

meninggalkan saya)23-28.

8
Hal ini dapat menjebak pria dalam lingkaran setan disfungsi ereksi .23-28

Proses kognitif lainnya adalah atribusi tentang penyebab dan tingkat kontrol

terkait pengalaman seksual negatif mereka.29 Pria dengan DISFUNGSI EREKSI

cenderung menyalahkan kegagalan ereksi pada ketidakmampuan mereka sendiri

(atribusi internal) dan mengalami rasa kontrol atau efikasi diri yang lebih

rendah.20,30,31

Gambar 1. Model respon seksual oleh Janssens et al, 200015

9
Selain itu, rasa bersalah diri dan afek negatif lebih tinggi ketika pria menyalahkan

DISFUNGSI EREKSI mereka pada penyebab psikologis atau hubungan daripada

penyebab organik.20 Ada juga bukti yang menunjukkan bahwa pria dengan

DISFUNGSI EREKSI melaporkan tingkat kepercayaan diri yang lebih rendah,

skema diri yang lebih negatif, dan citra tubuh yang negatif.21,32-35 Mereka juga

cenderung menunjukkan kekhawatiran, pemikiran yang terus-menerus, perilaku

catastrophizing, dan strategi kontrol pikiran19 serta tingkat perfeksionisme,

neurotisisme, dan somatisasi yang lebih tinggi. 36,37 Menurut Model Kendali

Ganda, individu memiliki kecenderungan yang berbeda dalam excitation

(pengaruh pendorong) dan inhibition (pengaruh penghambat), yang dapat

menyebabkan masalah dengan fungsi dan perilaku seksual.38,39 Terutama

kecenderungan yang lebih tinggi untuk inhibisi seksual akibat ancaman kegagalan

performa seksual, bukan tingkat excitation yang lebih rendah, akan menjadi faktor

risiko dalam perkembangan dan pemeliharaan disfungsi ereksi.39 Dukungan untuk

validitas klinis dari dual control mode didasarkan pada penelitian sebelumnya

yang melibatkan 146 pria dengan disfungsi ereksi dan 446 kontrol sebaya. 40 Para

penulis menunjukkan bahwa subjek dengan DISFUNGSI EREKSI yang

melaporkan ereksi terkait tidur normal atau ereksi yang lebih baik saat masturbasi

daripada saat hubungan seksual, keduanya mengindikasikan masalah psikogenik,41

menunjukkan tingkat eksitasi seksual yang lebih tinggi, namun tidak ada

peningkatan inhibisi seksual yang lebih tinggi.

Faktor psikologis penting lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah

depresi dan kecemasan. Tingkat kecemasan yang berlebihan dapat memperkuat

10
fokus pada kegagalan ereksi dan tuntutan performa, yang merupakan elemen inti

dalam patogenesis disfungsi ereksi.42 Secara khusus, kecemasan dapat dianggap

sebagai jalur umum akhir melalui mana stresor sosial, psikologis, dan biologis

mengganggu fungsi seksual.42,43 Sejalan dengan itu, data yang dilakukan pada

sampel besar pasien yang mencari perawatan medis untuk disfungsi ereksi

menunjukkan bahwa kecemasan yang berlebihan memiliki dampak yang relevan

terhadap pemeliharaan ereksi selama hubungan seksual, yang merupakan faktor

lain yang mendukung asal masalah yang nonorganik.43

Terkait depresi, beberapa penelitian telah mengindikasikan adanya

hubungan timbal balik dengan disfungsi ereksi. Prevalensi disfungsi ereksi hampir

5 kali lebih tinggi pada pria dengan depresi, dan sebaliknya, pria dengan disfungsi

ereksi sering melaporkan tingkat depresi yang lebih tinggi. 44-46 Sejalan dengan itu,

data yang berasal dari meta-analisis yang melibatkan 12 studi dan lebih dari

14.000 partisipan yang diikuti hingga 10 tahun menunjukkan bahwa depresi

berhubungan dengan peningkatan risiko ED sebesar 70%, sedangkan disfungsi

ereksi berhubungan dengan peningkatan risiko depresi lebih dari 3 kali lipat. 45

Mekanisme yang mendasari hubungan ini kemungkinan merupakan kombinasi

antara faktor biologis dan psikologis. Pasien dengan depresi umumnya memiliki

tingkat energi yang lebih rendah dan kehilangan minat atau motivasi

(anhedonia).46 Selain itu, pasien ditandai dengan pikiran negatif dan kepercayaan

diri yang rendah, yang menghasilkan kecemasan performa dan akhirnya disfungsi

ereksi. Pada saat yang sama, hipotesis kerja biologis menunjukkan bahwa depresi

dapat menjadi konsekuensi dari gangguan sumbu hipotalamus-hipofisis-

11
adrenokortikal (HPA), yang menyebabkan pelepasan katekolamin berlebihan dan

gangguan produksi serotonin, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan

relaksasi otot kavernosa dan menghindari aktivitas seksual.46 Selain itu, sebagian

besar antidepresan memiliki efek negatif pada fungsi ereksi dan orgasme.47,48

FAKTOR SOSIAL/HUBUNGAN
Dinamika hubungan yang berkontribusi pada atau akibat masalah seksual

merupakan poin penting lainnya dalam evaluasi pasien disfungsi ereksi.14,49,50

Tidak hanya disfungsi ereksi dan pengobatannya melibatkan stresor bersama yang

menantang bagi kedua pasangan, tetapi juga umumnya perubahan seksual pada

satu pasangan berhubungan dengan perubahan seksual pada pasangan

lainnya.14,51,52 Sejalan dengan itu, bukti telah menunjukkan bahwa pasangan

perempuan pria dengan disfungsi ereksi lebih sering melaporkan masalah

seksual52 serta penurunan kualitas kehidupan seks mereka karena tingkat

hubungan kedekatan dan foreplay yang lebih rendah.53,54 disfungsi ereksi juga

dapat menyebabkan masalah kepercayaan pada pasangan yang mengandalkan

ereksi "spontan" pria mereka sebagai tanda daya tarik seksual. Akibat perubahan

perilaku seksual pria, pasangan mungkin mulai meragukan diri sendiri atau

mencurigai adanya pengkhianatan dan perselingkuhan.55 Dalam beberapa kasus,

penggunaan inhibitor PDE5 dapat menciptakan keyakinan yang salah tentang

kemungkinan untuk mendapatkan ereksi dalam setiap kesempatan seksual, di luar

kapasitas daya tarik pasangan.49 Kesulitan untuk berbicara terbuka tentang seks

dan berkomunikasi tentang kesukaan dan ketidaksukaan juga dapat meningkatkan

pengalaman seksual negatif.54,56-60 Seiring dengan peningkatan prevalensi

12
disfungsi ereksi seiring bertambahnya usia, pasangan juga mungkin menghadapi

perubahan seksual mereka sendiri (baik dipengaruhi oleh menopause atau

penyakit), yang berdampak pada pemulihan seksual.61

Bukti telah menunjukkan bahwa pasangan pria dengan disfungsi ereksi

nonorganik atau psikologis melaporkan lebih banyak masalah psikoseksual

daripada pria dengan disfungsi ereksi organik. 62 Selain itu, ditemukan bahwa pria

dengan disfungsi ereksi melaporkan tingkat kepuasan hubungan yang lebih rendah

dan konflik hubungan yang lebih tinggi daripada pria tanpa disfungsi ereksi, dan

bahwa kedekatan merupakan hal penting dari kepuasan seksual pada pria dengan

disfungsi ereksi.27,62-67 Akhirnya, selain faktor hubungan dan faktor terkait

pasangan, penting juga untuk mempertimbangkan pengaruh media dan

lingkungan sosial yang menciptakan tekanan pada performa seksual pria, yang

memperkuat keyakinan berlebihan, mitos seksual, dan gagasan yang tidak realistis

tentang model hubungan seks yang sempurna.27,6

Catatan

Sebagian besar penelitian mengenai etiologi psikologis dari disfungsi

ereksi berasal dari studi potong lintang (Cross Sectional), yang berarti tidak dapat

diambil kesimpulan tentang sebab atau akibat. Kemungkinan besar, terdapat

hubungan timbal balik dan lingkaran umpan balik antara disfungsi ereksi dan

mekanisme psikososial. Misalnya, meskipun disfungsi ereksi memiliki dampak

yang jelas pada pasangan dan hubungan, mungkin saja masalah komunikasi atau

ketidakpuasan hubungan yang sudah ada sebelumnya dapat memperburuk

manifestasi dan penanganan disfungsi ereksi. Selain itu, penting untuk diakui

13
bahwa sebagian besar studi mengenai dinamika interpersonal disfungsi ereksi

melibatkan sampel heteroseksual dan monogami, 69 sehingga hasilnya tidak secara

sederhana dapat diberlakukan pada pasangan dalam tipe hubungan lain atau

individu/pasangan LGBTQI+. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang lebih

terkontrol secara eksperimental dan prospektif untuk lebih memahami bagaimana

faktor psikososial terlibat dalam disfungsi ereksi. Perlu diakui bahwa disfungsi

ereksi merupakan gangguan multifaktorial di mana faktor organik dan psikologis

saling berinteraksi. Oleh karena itu, meskipun faktor-faktor psikososial dan

hubungan dapat mempertahankan atau memperburuk masalah organik,

keberadaan faktor organik harus diperiksa dengan teliti pada semua pasien yang

mengeluhkan disfungsi ereksi.

DIAGNOSIS DISFUNGSI EREKSI


Pernyataan #2: Proses diagnostik disfungsi ereksi harus memperhatikan

keragaman dalam hal onset, konteks, usia, dan orientasi seksual (Level 2, Grade

C).

Pernyataan #3: Kuesioner dan wawancara terstruktur dapat mendukung proses

diagnostik tetapi tidak boleh dianggap sebagai pengganti pengambilan riwayat.

(Pernyataan Praktik Klinis Baik).

Bukti

Secara umum, diasumsikan bahwa disfungsi ereksi pada usia di bawah 40

tahun secara utama dipengaruhi oleh faktor-faktor psikososial, sedangkan

disfungsi ereksi pada pria yang lebih tua cenderung memiliki dasar biologis yang

lebih kuat.70−72 Meskipun etiologi yang mendasari penting untuk memastikan

14
manajemen yang tepat, fragmentasi harus dihindari karena disfungsi ereksi

merupakan spektrum dengan berbagai tingkat keterlibatan psikologis dan

biologis.73 Faktanya, etiologi disfungsi ereksi, bahkan pada pria yang lebih muda,

sebagian besar bersifat multifaktorial, termasuk kombinasi faktor-faktor

psikologis dan biologis.74,75 Faktor-faktor penting lain yang perlu dipertimbangkan

adalah onset disfungsi ereksi primer (yaitu, hadir sejak kontak seksual pertama)

atau sekunder (yaitu, berkembang setelah periode fungsi seksual yang sehat) dan

apakah disfungsi ereksi terjadi dalam semua situasi atau dalam situasi tertentu.

Menambahkan spesifisitas pada diagnosis disfungsi ereksi penting untuk

mengembangkan rencana pengobatan yang lebih khusus.

Orientasi seksual juga relevan. Bukti menunjukkan bahwa peluang

melaporkan disfungsi ereksi adalah 1,5 kali lebih tinggi pada pria yang

berhubungan seks dengan pria dibandingkan dengan pria heteroseksual. 69

Peningkatan perasaan tidak aman dan tuntutan performa, persaingan antara

pasangan yang fokus pada ereksi yang keras, tekanan minoritas seksual, stigma

sosial atau homonegativitas internal, ditambah faktor organik yang mungkin ada,

semuanya dapat berkontribusi pada distres seksual yang lebih tinggi, yang

kemudian mengganggu respons seksual dan sebaliknya.69 Tingkat prevalensi

disfungsi ereksi yang lebih tinggi juga ditemukan pada pria dengan HIV, yang

bisa disebabkan oleh faktor organik seperti penggunaan obat inhibitor protease

yang menyebabkan kekurangan androgen, serta faktor-faktor psikososial seperti

distres psikologis, dukungan sosial yang rendah dan diskriminasi, rasa takut

penolakan, dan rasa takut penularan.76,77 Pertimbangan serupa dapat dibuat terkait

15
penyebab penting lain dari disfungsi ereksi di mana kombinasi obat-obatan dan

perasaan tidak adekuat bersama dengan rasa takut dan distres psikologis akibat

gangguan citra tubuh (misalnya, obesitas) dapat secara signifikan memengaruhi

fungsi seksual dan kesejahteraan.78 Beberapa alat penilaian, termasuk self

reported kuesioner dan wawancara terstruktur, tersedia untuk menilai berbagai

aspek disfungsi ereksi. Meskipun inventaris ini telah terbukti berguna dalam uji

klinis, mereka tidak dapat menggantikan riwayat seksual lengkap yang tetap

menjadi langkah penting dalam evaluasi pasien dengan disfungsi ereksi.79

Keterangan

Informasi tentang kesehatan seksual pria yang berhubungan seks dengan pria atau

perbedaan sistematis dengan pria heteroseksual dalam hal prevalensi dan

mekanisme yang mendasarinya terbatas.69 Individu LGBTQI sering dikecualikan

dalam sampel penelitian untuk tujuan menciptakan kelompok homogen. Selain

itu, sebagian besar alat sejarah kasus disfungsi ereksi tidak memperhitungkan

keberagaman karena umumnya ditujukan kepada pasangan heteroseksual dalam

hubungan stabil dan/atau kepada pria yang telah melakukan hubungan seksual

dalam 4 minggu sebelum evaluasi (misalnya, Indeks Internasional Fungsi Ereksi).

Oleh karena itu, pengukuran tersebut kurang cocok untuk mengukur pengalaman

seksual pria lajang dan pria yang berhubungan seks dengan pria.80−82

PERTIMBANGAN KLINIS : PENANGANAN DISFUNGSI EREKSI


Penjelasan:

Pernyataan #4: Disarankan agar para klinisi secara proaktif menanyakan tentang

seksualitas, disfungsi ereksi, dan pilihan pengobatan dengan menciptakan

16
lingkungan yang aman dan terbuka (Pernyataan Praktik Klinis yang Baik). (Level

4)

Pernyataan #5: Evaluasi disfungsi ereksi membutuhkan evaluasi medis dan

psikoseksual yang dilihat dari perspektif multidisiplin (Level 3, Grade 3). (Level

3, Grade 3)

Pernyataan #6: Ketika memungkinkan, pasangan perlu terlibat dalam evaluasi

disfungsi ereksi (Level 1, Grade B). (Level 1, Grade B)

Pernyataan #7: Evaluasi disfungsi ereksi harus mencakup penilaian terhadap

distres (Level 3, Grade 2). (Level 3, Grade 2)

Penjelasan:

Tabel 1 merangkum fitur utama dari evaluasi dan pengobatan psikososial

disfungsi ereksi. Beberapa pria mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan

penyedia layanan kesehatan mereka mengenai masalah seksual.83 Selain itu,

perasaan malu dan rasa canggung mungkin mencegah pria untuk membicarakan

masalah tersebut, dengan penelitian menunjukkan bahwa kurang dari 50% pria

membicarakan disfungsi ereksi dengan dokter mereka.84 Hal ini menempatkan

tanggung jawab kepada penyedia layanan kesehatan yang perlu secara proaktif

menanyakan tentang pengalaman seksual pasien mereka dan menciptakan

hubungan terapeutik yang terbuka dan aman.9,10,13,85,86

Evaluasi disfungsi ereksi secara tradisional dimulai dengan riwayat medis

yang teliti bersama dengan pemeriksaan fisik, yang dikombinasikan dengan

pengujian laboratorium khusus (misalnya, hormon, glukosa, dan kadar lipid). 10,87

Mengingat faktor psikososial yang terlibat dalam etiologi disfungsi ereksi, penting

17
untuk mengambil riwayat psikoseksual yang terperinci yang berfokus pada

pengalaman kognitif, emosional, dan relasional yang terkait dengan disfungsi

ereksi.7,10,88 Perhatian khusus diperlukan untuk mengidentifikasi keberadaan

rangsangan seksual yang memadai dan untuk menjelajahi apakah skrip seksual

saat ini (yaitu, gagasan dan harapan pasangan tentang bagaimana pasangan

seharusnya berperilaku dalam situasi seksual atau romantis) masih memuaskan

untuk membangkitkan hasrat seksual.

Namun, para spesialis medis seringkali kurang memiliki pengetahuan dan

keterampilan untuk mengevaluasi faktor psikologis yang menjadi penentu

disfungsi ereksi.89 Oleh karena itu, penting untuk memperbarui kurikulum

universitas bagi para dokter untuk mencakup pengetahuan biopsikososial tentang

masalah kesehatan seksual, serta bekerja sama dengan seorang seksologis untuk

mengevaluasi (dan mengobati) disfungsi ereksi dari perspektif multidisiplin.

Komite Multidisiplin Kedokteran Seksual (MJCSM) sangat mendorong

pandangan multidisiplin tersebut.90

Selain itu, penting untuk melibatkan pasangan dalam prosedur penilaian

ketika memungkinkan dan memungkinkan, karena pasangan mungkin menyadari

masalah tersebut lebih awal karena pria cenderung mengabaikan atau menekan

masalah tersebut, bahkan ketika merasa tertekan. 49,52,53 Tidak hanya itu, pasangan

sering kali mengetahui lebih banyak tentang keadaan di mana disfungsi ereksi

terjadi, dan mereka juga dapat memainkan peran penting dalam memotivasi

pasangan untuk mempertimbangkan pengobatan. Selain itu, sikap dan

pemahaman pasangan tentang disfungsi ereksi telah ditemukan mempengaruhi

18
keputusan untuk mencari pengobatan, dan kesepakatan antara kedua pasangan

tentang pilihan pengobatan bahkan dapat memprediksi hasil dan kepatuhan

terhadap pengobatan.91

Sebagai pertimbangan terakhir dalam penilaian disfungsi ereksi, kami

menyebutkan pentingnya memasukkan pengukuran distres karena masalah ereksi

hanya memenuhi syarat sebagai disfungsi yang memerlukan pengobatan ketika

memicu perasaan distres.7 Perlu dicatat bahwa, dari sudut pandang klinis,

keberadaan distres tanpa diagnosis disfungsi ereksi yang jelas juga harus

dipertimbangkan.92,93 Saat ini, sedikit kuesioner yang tersedia untuk menilai

distres. Skala Distres Seksual Wanita dan revisinya telah divalidasi untuk

digunakan pada populasi wanita92 atau pasangan wanita dari pria yang menderita

ejakulasi dini,94 tetapi diperlukan ukuran yang lebih khusus yang

memperhitungkan perubahan (mungkin dalam arti) disfungsi ereksi seiring

berjalannya kehidupan. Karena prevalensi disfungsi ereksi meningkat dengan

bertambahnya usia, tingkat distres yang disebabkan oleh disfungsi ereksi tidak

mengikuti urutan linear yang sama. Oleh karena itu, pria yang lebih tua mungkin

mengalami gangguan fungsi seksual yang parah tanpa distres yang signifikan. 72

Usia harus diperhatikan dalam menyarankan pengobatan karena kurangnya

motivasi dapat mengganggu kepatuhan terhadap pengobatan atau dapat membuat

pria memutuskan untuk tidak mengejar pengobatan sama sekali.83,95

19
Penilaian
Tabel 1. Fitur utama penilaian dan intervensi psikososial Intervensi
pada Disfungsi Ereksi
Faktor individu Hubungan pasangan Terapi individu atau pasangan
Etiologi dari perspektif Evaluasi penyebab disfungsi Integrasi terapi medis dan
multidisiplin: ereksi primer atau sekunder psikologis
- Riwayat medis
- Evaluasi medis untuk
menyaring gangguan
pembuluh darah,
neurologis, hormonal,
atau obat-obatan
Menelusuri gejala dengan Persepsi dari pasangan Aliansi theurapetik
spesifik : mengenai keparahan dan
kemungkinan penyebab dari
- Primer / sekunder disfungsi pasangan
- Situasional /
menyeluruh
- Psikogenik /
campuran
Riwayat Psikoseksual Menelusuri riwayat seksual Targetkan harapan yang tidak
(perkembangan seksual, masing-masing pasangan realistis tentang pengobatan
pendidikan seksualitas,
orientasi seksual, citra tubuh,
riwayat pelecehan seksual)
Distres seksual berkomorbid Dampak emosional dari ED Gunakan intervensi menurut
dengan kecemasan dan dan pasangan,termasuk rasa PLISSIT model
depresi bersalah, kepercayaan dan
persepsi daya tarik diri Model PLISSIT merupakan
kerangka kerja yang dapat
digunakan untuk memandu
intervensi terkait isu seksual
Evaluasi hasrat seksual Evaluasi komunikasi pasangan Psikoedukasi
terkait hasrat seksual masing-
masing, dan manajemen
konflik
Evaluasi stimulasi seksual Evaluasi apa yang disukai oleh Menurunkan kecemasan dan
pasangan dalam meningkatkan desensitisasi
gairah seks
Keyakinan seksual (terkait Evaluasi keyakinan seksual Terapi Kognitif Perilaku
kejantanan laki-laki) pada pasangan terkait apa yang
dirasa “jantan” oleh lelaki
Proses atensi (pikiran yang Kemauan untuk terlibat dan Peningkatan stimulasi seksual

20
terdistraksi, pikiran otomatis) ekspektasi terhadap
pengobatan
Ciri kepribadian Memperluas kualitas seksual
(perfeksionisme, afek daripada kuantitas dan
negatif, neurotik) menyesuaikan ekspektasi
(Model Seks Cukup Baik)
Questionnaire, untuk menilai Sertakan kesenangan dan/atau
distres disfungsi ereksi kepuasan sebagai pengobatan
hasil
Hambatan dalam
pengobatan:
- Merasa malu
- Rendahnya rasa
percaya diri
- Menyalahkan diri
sendiri dan pasangan
- Merasa lebih tua
- Masalah komunikasi
antara pasangan
- Informasi yang tidak
akurat dan
pemahaman terbatas
tentang disfungsi
ereksi
- Stigma tentang
disfungsi ereksi
- Harapan yang tidak
realistis tentang
pengobatan
- Fasilitator dalam
pengobatan:
- Keinginan untuk
berhubungan seks
- Kerjasama pasangan
- Kesadaran tentang
pilihan pengobatan
dan ketersediaan
biaya pengobatan

21
PSIKOTERAPI UNTUK DISFUNGSI EREKSI
Pernyataan #8: Disarankan kepada klinisi untuk mengevaluasi hambatan dalam

pengobatan disfungsi ereksi seperti rendahnya rasa percaya diri, rasa malu,

masalah komunikasi antara pasangan, stigma terkait disfungsi ereksi dan

pengobatannya (Pernyataan Praktik Klinis yang Baik).

Bukti

Penelitian telah mengidentifikasi beberapa hambatan dalam mencari

pengobatan untuk disfungsi ereksi. Selain merasa malu, masalah komunikasi

antara pasangan, rendahnya rasa percaya diri, saling menyalahkan antara diri

sendiri dan pasangan, dan merasa lebih tua, juga informasi yang tidak akurat dan

pemahaman yang terbatas tentang disfungsi ereksi dapat mencegah pria dan

pasangan mereka untuk mencari bantuan. Hambatan lain dalam pengobatan

adalah harapan yang tidak realistis tentang kemungkinan pengobatan dan stigma

seputar seksualitas pada usia lanjut serta stigma terkait pengobatan disfungsi

ereksi, terutama terkait penggunaan obat. Selain itu, gender dan gaya komunikasi

para profesional kesehatan tampaknya mempengaruhi pengungkapan pria tentang

disfungsi ereksi. Indikator untuk mencari pengobatan, di sisi lain, adalah

keinginan untuk melakukan hubungan seksual, durasi kondisi, desakan dari

pasangan, kesadaran tentang pilihan pengobatan, dan ketersediaan biaya

pengobatan. Para profesional kesehatan perlu menyadari dan mengevaluasi

indikator dan kontraindikator perilaku mencari bantuan agar dapat secara proaktif

memberikan informasi dan konseling kepada pria dengan disfungsi ereksi,

22
mempromosikan ketaatan dalam pengobatan, dan membimbing manajemen yang

akan datang.

Pengobatan medis untuk disfungsi ereksi mengikuti program bertahap,

dimulai dari pengobatan yang kurang invasif seperti perubahan gaya hidup,

latihan otot dasar panggul, dan penggunaan obat (perubahan) hingga modalitas

yang lebih invasif seperti penggunaan alat mekanis, suntikan intrakavernosa, dan

pemasangan protesis penis bedah9-12. Meskipun pengobatan medis terbukti efektif

secara fisiologis, ketaatan jangka panjang terhadap pengobatan medis rendah dan

pemulihan fungsi ereksi tidak selalu tercapai, yang seringkali bergantung pada

seberapa baik pria diinstruksikan tentang penggunaan yang benar dari alat medis

tersebut99-101. Penelitian telah menunjukkan bahwa lebih dari 50% pasangan tidak

mematuhi penggunaan alat medis untuk fungsi ereksi setelah satu tahun pertama

pengobatan 99,100,102. Hal ini sering berakhir dengan penghindaran aktivitas seksual

yang menyeluruh, yang pada akhirnya dapat merusak struktur dan mekanisme

fisiologis penis serta berdampak negatif pada kondisi emosional pria dan

pasangan mereka. Meskipun perlu dilakukan lebih banyak penelitian untuk

mengidentifikasi alasan pasti mengapa pengobatan dihentikan, terdapat peran

yang mungkin terkait dengan biaya pengobatan dan efek samping, pemulihan

kemampuan ereksi alami, kurangnya minat dalam aktivitas seksual, kurangnya

spontanitas dan kedekatan buatan yang terkait dengan penggunaan alat bantu

seksual, rasa malu, tekanan kinerja yang baru, harapan yang tidak realistis, dan

23
masalah hubungan seperti masalah komunikasi, kurangnya rasa percaya diri, dan

kurangnya dukungan dari pasangan95,96.

Selain itu, hanya fokus pada aspek fungsional fungsi ereksi dan

mengabaikan peran rangsangan seksual dan/atau makna disfungsi ereksi bagi

pasangan dapat mengganggu keberhasilan dan ketaatan pengobatan. Sebagian

besar variabel yang disebutkan sebelumnya mengacu pada masalah psikososial,

yang menunjukkan perlunya menggabungkan pengobatan medis dengan

pengobatan psikologis untuk menargetkan aspek psikologis dan hubungan dari

disfungsi ereksi yang tidak diobati ketika mengandalkan manajemen hanya pada

gejala.

Dapat dibedakan antara konseling dan psikoterapi, dengan konseling

mengacu pada memberikan dukungan dan bimbingan, meningkatkan kesadaran,

dan memberikan saran terbatas mengenai masalah-masalah tertentu (saat ini),

sehingga pasien dapat menemukan cara yang lebih baik untuk mengelola

disfungsi ereksi. Psikoterapi, di sisi lain, melangkah lebih jauh dan ditujukan

untuk memperoleh wawasan tentang pola emosional dan kognitif kronis dan

berulang, yang sering kali disebabkan oleh peristiwa masa lalu, dan bagaimana

hal ini dapat menyebabkan masalah saat ini.102 Terapi seks dapat dianggap sebagai

jenis psikoterapi yang khusus, yang berfokus secara khusus pada pengalaman

seksual.103 Karena tidak ada bukti yang jelas mengenai jenis pengobatan

psikologis yang lebih cocok untuk jenis atau tahap disfungsi ereksi tertentu, kami

merujuk pada pengobatan psikologis secara umum saat menggambarkan bukti-

bukti tentang pengobatan.

24
25
MANAJEMEN TATALAKSANA PSIKOLOGIS
Dalam bagian berikut, kami akan memberikan analisis yang lebih spesifik

mengenai berbagai masalah terkait pengobatan psikologis pada pasien disfungsi

ereksi.

Pertimbangan Umum

Pernyataan #9: Pengobatan multidisiplin, di mana pengobatan medis

dikombinasikan dengan pengobatan psikologis, terbukti lebih efektif daripada

pengobatan tunggal (Level 2, Grade B).

Pernyataan #10: Model biopsikososial direkomendasikan karena faktor biologis,

psikologis, dan relasional umumnya berperan dalam perkembangan dan

pemeliharaan disfungsi ereksi (Level 5).

Bukti

Pengobatan medis, terutama farmakoterapi, sering dianggap lebih efektif

dan efisien biaya daripada pengobatan psikologis karena yang terakhir

menimbulkan ketidakpastian tentang durasi dan hasil pengobatan49,87,104,105.

Akibatnya, pengobatan medis sering diterapkan tanpa memperhatikan penyebab

atau status hubungan dengan pasangan. Pasien itu sendiri mungkin lebih memilih

pengobatan medis daripada pengobatan psikologis karena mereka menganggap

penggunaan obat atau alat bantu seksual sebagai solusi cepat dan kurang invasif

daripada terpapar masalah emosional dan relasi105. Bukti yang ada menunjukkan

bahwa menggabungkan pengobatan medis dengan psikoterapi meningkatkan

26
efektivitasnya dalam hal hasil yang lebih baik dan tingkat putus perawatan yang

lebih rendah, bahkan ketika penyebab organik yang jelas telah ditetapkan106−112

Tatalaksana psikologis dapat membantu meningkatkan ketaatan terhadap

pengobatan, mengintegrasikan pengobatan (misalnya, alat medis) ke dalam

hubungan seksual, dan menyelesaikan faktor psikologis seperti kecemasan,

pikiran negatif, kesusahan, rasa percaya diri, keintiman, dan masalah komunikasi

antara pasangan59,109. Selain itu, pengobatan psikologis dapat mencegah

kambuhnya masalah seksual setelah pengobatan karena pria belajar mengelola

pola respons disfungsional yang terkait dengan disfungsi ereksi 108


. Oleh karena

itu, sementara pengobatan medis ditujukan untuk mengobati gejala, yaitu

mengembalikan ereksi, pengobatan psikologis bertujuan untuk mengatasi

penyebab mendasar, faktor-faktor pemeliharaan hal yang sudah baik, dan

pengalaman subjektif. Namun, pengobatan medis tidak hanya ditujukan dalam

kasus disfungsi ereksi organik. Contohnya, inhibitor PDE5 dapat digunakan

dalam kasus disfungsi ereksi psikologis juga untuk mengurangi kecemasan

kegagalan dan meningkatkan rasa percaya diri sebagai langkah awal untuk

mendapatkan kontrol kembali atas fungsi ereksi mereka113,114. Oleh karena itu,

dapat dikatakan bahwa pengobatan disfungsi ereksi tidak spesifik terhadap

penyebabnya12.

Catatan

Meskipun dekade terakhir menandai pergeseran yang jelas menuju

konseptualisasi dan pengobatan disfungsi seksual yang multikausal dan

multidimensional, implementasi jaringan rujukan antardisiplin dan pengobatan

27
multidisiplin masih merupakan tantangan.89 Algoritma pengobatan unimodal

secara konseptual tetapi tetap menjadi praktik umum. Ketegangan antara teori dan

praktik perawatan kesehatan seksual biopsikososial dapat disebabkan oleh

pengetahuan yang tidak memadai dan kurangnya pedoman klinis eksplisit tentang

cara menyusun dan melaksanakan program pengobatan terpadu. Kendala dalam

kurikulum pelatihan dan hambatan struktural dapat mencegah implementasi

sebenarnya dari model biopsikososial.89 Selain itu, studi yang tersedia tentang

efektivitas pengobatan psikologis terbatas dan terhambat oleh ukuran sampel

kecil, tindak lanjut yang tidak memadai, dan kurangnya desain terkontrol.106-108

Oleh karena itu, organisasi kesehatan seksual seharusnya lebih berinvestasi dalam

menawarkan pelatihan dalam praktik biopsikososial, mengembangkan panduan

pengobatan biopsikososial, dan mempromosikan RCT (randomized controlled

trials) tentang efektivitas pengobatan kombinasi terpadu. ESSM secara aktif

bekerja menuju tujuan-tujuan tersebut.115

Pentingnya Usia

Pernyataan #11: Pengelolaan klinis disfungsi ereksi harus disesuaikan sesuai

dengan usia yang berbeda (Level 4, Grade C).

Bukti

Karena pria muda dengan disfungsi ereksi melaporkan tingkat ketidaknyamanan

yang lebih tinggi dan kepuasan yang lebih rendah, mereka memiliki kebutuhan

khusus untuk pengobatan psikologis.116,117 Di sisi lain, pria yang lebih tua

cenderung mengalami disfungsi ereksi sebagai bagian normal dari proses

penuaan, yang mungkin menjadi hambatan dalam mencari bantuan. Meskipun

28
pria umumnya melaporkan tingkat ketidaknyamanan yang lebih rendah terkait

perubahan dalam kehidupan seksual mereka seiring bertambahnya usia, stigma

seputar seksualitas pada masa tua dapat membingungkan mereka tentang dampak

masalah seksual pada kesejahteraan mereka.83,117,118 Konseling proaktif oleh

penyedia layanan kesehatan penting untuk membantu pria yang lebih tua untuk

mengakui masalah tersebut, mengeksplorasi dampaknya pada kesejahteraan

(seksual) mereka, dan mengatasi hambatan dalam mencari pengobatan ketika

merasa terganggu oleh disfungsi ereksi.

Pentingnya Pengambilan Keputusan Bersama

Pernyataan #12: Pemilihan pengobatan harus melibatkan pengambilan keputusan

bersama antara pasien, pasangan, dan profesional kesehatan (Level 2, Grade B).

Bukti

Pasien dan pasangan mereka harus diberi informasi tentang semua pilihan

pengobatan untuk memastikan pemahaman penuh tentang risiko potensial,

manfaat, indikasi, kontraindikasi, dan hasil yang diharapkan. Tidak hanya

meningkatkan otonomi pasien, pengambilan keputusan bersama juga dapat

memprediksi hasil yang lebih baik, ketaatan, dan hasil terapi karena pasien

memiliki harapan pengobatan yang lebih realistis.10−12

Tatalaksana psikologis spesifik

Pernyataan #13: Pengobatan psikologis mengikuti program bertahap, sesuai

dengan model PLISSIT (Level 4, Grade C).

Pernyataan #14: Para klinisi disarankan untuk memberikan penjelasan yang akurat

dan bermakna tentang masalah dan rencana pengobatan yang disarankan (Good

29
Clinical Practice Statement).

Pernyataan #15: Pengobatan psikologis melibatkan pengurangan kecemasan,

tantangan terhadap keyakinan kognitif, peningkatan stimulasi seksual, mengatasi

penghindaran seksual, dan intervensi interpersonal seperti pelatihan keterampilan

komunikasi (Level 2, Grade B).

Pernyataan #16: Disarankan untuk melibatkan pasangan dalam pengobatan ED

untuk meningkatkan ketaatan pengobatan, meningkatkan keberhasilan

pengobatan, dan menargetkan masalah psikologis dan seksual pasangan serta

distres mereka sendiri (Level 2, Grade B).

Bukti

Model PLISSIT adalah model yang berguna untuk menentukan berbagai tingkat

intervensi untuk masalah seksual.119 Pendekatan intervensi bertahap ini

memastikan bahwa pengobatan lebih sesuai dengan kebutuhan pasien saat ini dan

oleh karena itu akan lebih mudah diterima oleh pasien. Tingkat intervensi pertama

melibatkan memberikan pasien keleluasaan untuk berbicara tentang kekhawatiran

seksual mereka dengan menciptakan iklim terapeutik yang terbuka, responsif, dan

tanpa penghakiman. Dalam beberapa tahun terakhir, model PLISSIT telah

diperbarui untuk menekankan bahwa izin untuk menanyakan perihal seksualitas

adalah aspek penting di berbagai tingkat intervensi.120 Setelah kekhawatiran

seksual diidentifikasi, Informasi terbatas dan spesifik diberikan tentang etiologi,

mekanisme yang mendasarinya, dan hasil yang diharapkan. Jika diindikasikan,

saran khusus ditawarkan untuk mengatasi masalah seksual, termasuk informasi

dan tugas rumah untuk memperkenalkan perubahan perilaku, aktivitas seksual

30
spesifik, dan/atau obat-obatan. Tingkat keempat dan terakhir menawarkan Terapi

Intensif ketika masalah dan kekhawatiran yang lebih dalam mendasari masalah

seksual. Rujukan dapat dilakukan, misalnya, ke seorang psikoterapis untuk

memberikan dukungan dan bimbingan yang lebih komprehensif. Model PLISSIT

tidak hanya memberikan arahan kepada ahli seksologi, tetapi juga menawarkan

metode yang dapat diakses untuk memperkenalkan tema-tema seksual dalam

konsultasi medis, mempersempit ruang lingkup kekhawatiran pasien, dan merujuk

untuk pengobatan tambahan ketika kebutuhan pasien melebihi kenyamanan,

pengetahuan, dan waktu klinisi.

Tatalaksana psikologis bertindak pada tingkat intervensi yang berbeda dan

dimulai dengan mengeksplorasi permintaan bantuan pasien untuk menentukan

apakah pengobatan dipicu oleh kekhawatiran yang berhubungan dengan diri

sendiri, tekanan dari pasangan, atau masalah hubungan. Penting juga untuk

mengatasi harapan pengobatan yang tidak realistis untuk mencegah terjadinya

putus pengobatan dan ketidakpuasan. Membangun ikatan emosional kepercayaan,

perhatian, dan rasa hormat antara terapis dan pasien sangat penting karena kualitas

hubungan terapeutik telah terbukti menjadi prediktor signifikan keberhasilan

pengobatan.121 Program pengobatan psikologis umumnya mencakup komponen-

komponen berikut: psikoedukasi; pengurangan kecemasan dan desensitisasi;

terapi kognitif dan pelatihan fantasi seksual; peningkatan stimulasi seksual; dan

intervensi pasangan.4,108,122

Psikoedukasi merupakan langkah pertama yang penting untuk

meningkatkan pengetahuan tentang respons seksual dan disfungsi ereksi, serta

31
untuk meningkatkan kenyamanan dalam berbicara terbuka tentang seks. Secara

khusus, tujuan utama dari psikoedukasi adalah memberikan kepada pasien dan

pasangannya tentang kemungkinan-kemungkinan yang jelas mengenai masalah

dan penyebabnya, serta tentang dampak yang mungkin terjadi pada aspek

intrapsikik dan hubungan. Setelah itu, dilakukan kombinasi intervensi kognitif

dan perilaku untuk mengatasi kecemasan kegagalan, kecemasan penampilan, dan

penghindaran intim seksual yang khas pada disfungsi ereksi. Teknik yang sering

digunakan dalam terapi seks klasik adalah fokus sensasional. Latihan ini

berkembang dari sentuhan non-genital menjadi sentuhan genital, sambil

diinstruksikan untuk tidak mencari rangsangan seksual dan menahan diri dari

penetrasi. Teknik ini, yang dikaitkan dengan desensitisasi, mencegah kecemasan

pasien terkait dengan hubungan seksual dan menunjukkan kepada pasien dan

pasangannya bahwa hubungan seks yang menyenangkan dapat terjadi tanpa

adanya rangsangan genital, mengalihkan fokus dari seks yang berorientasi pada

tujuan. Setelah pasien pria belajar untuk memusatkan perhatiannya pada sensasi

tubuhnya dan menjadi kurang terganggu oleh tuntutan performa atau kecemasan,

dan setelah secara bertahap membangun kembali rasa percaya diri, penetrasi

didorong kembali secara bertahap. Manfaat tambahan dari fokus sensasional

adalah bahwa pasangan belajar untuk menjadwalkan momen keintiman, dengan

preferensi 2 kali seminggu dan masing-masing 10 menit, sehingga menantang

mitos tentang seks spontan. Artinya, hasrat seksual tidak muncul secara spontan,

tetapi membutuhkan upaya sadar, perencanaan, dan konteks intim untuk

menciptakan kesempatan untuk berhubungan seks. Selain itu, dengan bergantian

32
antara peran aktif dan pasif, pria memperoleh pengalaman dalam memberikan dan

menerima stimulasi seksual.

Tugas-tugas rumah yang diberikan secara teratur ini sering

dikombinasikan dengan intervensi kognitif yang menantang keyakinan dan

harapan yang tidak berfungsi dan bertujuan untuk menggantinya dengan

pemikiran yang lebih membantu21, 24, 26. Selain itu, pria didorong untuk mencari

rangsangan seksual baru dan tambahan untuk memperkaya dan melebarkan

fantasi seksual mereka. Hal ini juga melibatkan bentuk-bentuk stimulasi seksual

non-intercourse untuk mengurangi fokus mereka pada penetrasi 61. Terapi

disfungsi ereksi, terutama pada pria yang lebih tua, juga mencakup pembelajaran

bagi pria dan pasangannya untuk meningkatkan stimulasi genital dengan

memberikan lebih banyak, lebih lama, dan lebih langsung stimulasi pada penis.

Pelatihan masturbasi dengan menggunakan stimulasi maksimal (misalnya,

vibrotaktile) dan pelatihan fantasi seksual yang dipandu juga dapat membantu pria

untuk mengendalikan ereksi mereka sambil mengalami tingkat kegairahan seksual

yang maksimal. Mengingat peningkatan medikalisasi disfungsi ereksi, penting

untuk membuat pasangan menyadari bahwa seks tidak selalu harus sempurna atau

membutuhkan ereksi yang kuat setiap saat124,125. Intimasi, kenikmatan seksual, dan

penerimaan emosional sama pentingnya dengan fungsi seksual, dan kualitas

interaksi seksual cenderung bervariasi dari hari ke hari. Ini berarti bahwa

pasangan perlu menerima bahwa pengalaman yang kurang memuaskan adalah hal

yang umum dan oleh karena itu cukup normal. Menjelaskan Good Enough Sex

Model dapat membantu pasangan untuk mencapai kepuasan seksual daripada

33
menyerah di bawah tekanan performa seksual dan mendorong mereka untuk

memiliki harapan yang lebih realistis tentang seks125, 126

Adalah sangat dianjurkan, bila memungkinkan dan mungkin, untuk

melibatkan pasangan dalam pengobatan disfungsi ereksi. Baik pasangan pria

maupun pasangan wanita menderita akibat masalah ini, dan telah terbukti bahwa

keterlibatan positif pasangan membantu dalam memecahkan masalah dan

mematuhi pengobatan49,52,54,99. Selain itu, pasangan seksual mungkin juga

membutuhkan konseling karena disfungsi ereksi dapat membuat mereka merasa

tidak menarik secara seksual, menimbulkan perasaan bersalah dan penolakan,

menyebabkan distres hubungan, dan mengganggu fungsi seksual mereka

sendiri14,54,55. Penelitian telah menunjukkan bahwa pengobatan disfungsi ereksi

juga meningkatkan fungsi seksual dan kepuasan pasangan, yang menunjukkan

pentingnya melibatkan intervensi pasangan50,64,127. Komponen kunci dari

pendekatan sistemik terhadap disfungsi ereksi adalah meningkatkan keterampilan

komunikasi kedua pasangan dan mengajarkan mereka untuk secara terbuka

berbicara tentang apa yang mereka sukai dan tidak sukai, apa arti disfungsi ereksi

bagi mereka, bagaimana kehidupan seks yang memuaskan terlihat, dan bagaimana

mengintegrasikan bantuan medis (bila diperlukan) dalam kehidupan seksual

mereka57-59. Selain itu, terapi juga harus mengidentifikasi dan mengobati dinamika

hubungan yang mendasari karena konflik hubungan adalah alasan penting

terjadinya ketidakpatuhan atau keluar dari pengobatan59, 99.

34
Perkembangan Baru

Pernyataan #17: Perkembangan baru dalam pengobatan disfungsi ereksi yang

menargetkan hubungan antara tubuh dan pikiran atau mendorong penerimaan dan

mengandalkan modalitas pengobatan baru seperti terapi berbasis internet

menunjukkan harapan (Level 4, Grade C).

Bukti

Meskipun model CBT tradisional tetap populer, minat terhadap pengobatan

alternatif disfungsi ereksi semakin berkembang pesat. Perkembangan baru dalam

psikologi klinis telah diterapkan dalam pengobatan disfungsi seksual. Salah satu

di antaranya adalah intervensi berbasis kesadaran (mindfulness) yang semakin

populer karena efektivitasnya telah terbukti dalam berbagai masalah klinis.127-130

Kesadaran (mindfulness) berakar pada meditasi Buddha dan mengembangkan

kesadaran tanpa penilaian dalam setiap momen dengan fokus pada sensasi tubuh.

Dalam konteks disfungsi ereksi, kesadaran dapat mengurangi kecemasan,

perhatian berlebihan terhadap diri sendiri, dan penilaian diri, serta membantu

mengalihkan perhatian pada sensasi fisik dan erotis bukan pikiran yang

mengganggu.130 Studi terbaru telah menunjukkan bahwa kesadaran memiliki

potensi sebagai pengobatan disfungsi ereksi, terutama ketika diterapkan dalam

format terapi kelompok.131 Protokol pengobatan yang didasarkan pada aktivitas

latihan mandiri sehari-hari dan mengintegrasikan unsur-unsur psikoedukasi, terapi

seks, dan keterampilan kesadaran telah terbukti meningkatkan komunikasi dan

kedekatan dengan pasangan serta meningkatkan efikasi diri dengan mempelajari

alat-alat untuk mengatasi disfungsi ereksi. Meskipun fungsi ereksi yang

35
dilaporkan sendiri tidak berubah secara langsung setelah pengobatan, pria

dilaporkan mengalami kepuasan lebih, kenikmatan seksual yang lebih, dan

kemampuan yang lebih baik dalam menghadapi dan mengelola disfungsi ereksi.131

Terapi Penerimaan dan Komitmen (Acceptance and Commitment

Therapy/ACT)

Adalah pengobatan lain yang menjanjikan yang mendorong penerimaan

terhadap pikiran, sensasi, dan perasaan.132,133 ACT bertujuan untuk mengatasi

strategi pengendalian yang tidak efektif dan penghindaran pengalaman, dan

berfokus pada kemampuan pasien untuk mengidentifikasi dan berkomitmen pada

tujuan yang bernilai dalam kehidupan sehari-hari. Penerimaan terhadap kesulitan

ereksi melibatkan menghentikan usaha untuk mengurangi dan mengendalikan

disfungsi ereksi dan sepenuhnya terlibat dalam kegiatan dan hubungan yang

sesuai dengan nilai-nilai pribadi. Meskipun belum ada bukti yang mendukung

efektivitas ACT dalam konteks disfungsi ereksi, pengobatan berbasis penerimaan

mungkin lebih relevan dalam kasus-kasus di mana peluang pemulihan ereksi

rendah (misalnya, pasien kanker prostat).

Dengan meningkatnya penggunaan internet dan aplikasi online, bidang

kedokteran seksual mulai berkembang untuk disfungsi seksual.134 Meskipun masih

diperlukan lebih banyak penelitian untuk menetapkan efektivitas e-health,

terdapat indikasi awal bahwa intervensi berbasis CBT melalui internet yang

disampaikan dalam bentuk informasi mingguan dan tugas rumah melalui internet

serta kontak dengan terapis melalui email (sesuai permintaan), menunjukkan

peningkatan fungsi ereksi yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok

36
kontrol yang berpartisipasi dalam diskusi online.135 Beberapa intervensi berbasis

internet lainnya untuk disfungsi ereksi juga terbukti efektif. 136,137 Secara umum,

pengobatan psikologis berbasis internet diyakini lebih ekonomis dan mudah

diakses dibandingkan dengan modalitas pengobatan tradisional, sehingga

mengatasi hambatan umum dalam mencari bantuan seperti rasa malu, kesulitan

berkomunikasi tatap muka tentang seks, batasan waktu, biaya, atau jarak

geografis.138 Meskipun tingkat keluar (drop-out) tinggi selama program 7 minggu,

e-health mungkin memberikan peluang baru untuk membantu pasien-pasien yang

sulit dijangkau namun tetap akan mendapatkan manfaat dari pengobatan terapi

seks.135,139

Hasil Terapi

Pernyataan #18: Variabel hasil harus berfokus pada kepuasan, kenikmatan, dan

kualitas daripada jumlah aktivitas seksual (Level 5).

Bukti

Sebagai kesimpulan mengenai pengobatan disfungsi ereksi, kami ingin

menekankan pentingnya mempertimbangkan variabel hasil yang lebih luas yang

mengukur lebih dari fungsi ereksi saat mengevaluasi efek pengobatan dan fokus

lebih pada kenikmatan dan kepuasan seksual. Fokus yang sempit pada fungsi atau

performa genital mengabaikan konteks hubungan yang lebih luas dan variabel

psikologis yang merupakan kepuasan seksual pasien dan pasangan serta kualitas

hidup mereka.14,124,140 Pengobatan psikologis terutama berpengaruh pada korelasi

psikososial DE, dengan tujuan mengurangi distress yang terkait dengan disfungsi

37
ereksi, meningkatkan rasa percaya diri, meningkatkan stimulasi seksual,

meningkatkan fungsi seksual, dan meningkatkan cara mengatasi dan mengelola

disfungsi ereksi. Titik akhir yang berfokus pada fungsi kurang memperhatikan

perubahan subjektif ini dan oleh karena itu kurang kuat untuk menangkap manfaat

pengobatan secara khusus. Selain itu, relevansi klinis perubahan dalam fungsi

ereksi dapat dipertanyakan jika tidak disertai dengan peningkatan secara klinis

yang berarti dalam kepuasan dan kenikmatan seksual secara keseluruhan. 140

Meskipun evaluasi fungsi ereksi tetap penting, studi efek pengobatan juga harus

mencakup hasil subjektif dan berpusat pada individu, seperti tingkat kepuasan

dengan fungsi ereksi, kualitas daripada jumlah aktivitas seksual, kepercayaan diri

seksual, kualitas kehidupan seksual, dan tingkat kedekatan antara pasangan.

KESIMPULAN
Diagnosis, penilaian, dan pengobatan disfungsi ereksi perlu didekati dari

perspektif multidisiplin yang memperhatikan sifat yang beragam dan

biopsikososial dari fungsi ereksi. Untuk memastikan integrasi yang lebih baik dari

model biopsikososial ke dalam praktik klinis, disarankan untuk lebih berinvestasi

dalam pengembangan protokol pengobatan yang konkret dan program pelatihan.

Para klinisi juga membutuhkan pelatihan khusus untuk secara proaktif

menanyakan masalah kesehatan seksual guna menciptakan suasana terbuka dan

mengundang untuk berbicara tentang seksualitas. Mengingat disfungsi ereksi

sering terjadi selama interaksi seksual, sangat penting untuk melibatkan pasangan,

jika memungkinkan, dalam semua fase perawatan klinis dan secara aktif bekerja

pada kesepakatan antarpasangan dan pengambilan keputusan bersama mengenai

38
opsi pengobatan yang mungkin. Secara umum, bidang kedokteran seksual perlu

berkembang menjadi lebih beragam dan inklusif. Hal ini dapat dicapai dengan

mempromosikan jenis dan modalitas pengobatan baru yang menargetkan koneksi

antara pikiran dan tubuh, serta melibatkan e-health, melibatkan baik pria

heteroseksual maupun individu LGBTQI+ dengan disfungsi ereksi dalam struktur

hubungan yang berbeda dan dengan status hubungan yang berbeda, menguji

efektivitas pengobatan gabungan daripada pengobatan tunggal, dan

mempertimbangkan titik akhir pengobatan yang lebih beragam dan subjektif yang

mencakup kepuasan seksual dan distress daripada hanya berfokus pada fungsi

ereksi.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Rosen RC, Fisher WA, Eardley I, et al. The multinational Men’s Attitudes to
Life Events and Sexuality (MALES) study: I. Prevalence of erectile dysfunction
and related health concerns in the general population. Curr Med Res Opin
2004;20:607–617.
2. Laumann EO, Glasser DB, Neves RC, et al. A populationbased survey of
sexual activity, sexual problems and associated help-seeking behavior patterns in
mature adults in the United States of America. Int J Impot Res 2009;21:171–178.
3. Kessler A, Sollie S, Challacombe B, et al. The global prevalence of erectile
dysfunction: A review. BJU Int 2019;124:587–599.
4. McCabe MP, Connaughton C. Psychosocial factors associated with male sexual
difficulties. J Sex Res 2014;51:31–42.
5. Corona G, Ricca V, Bandini E, et al. SIEDY scale 3, a new instrument to detect
psychological component in subjects with erectile dysfunction. J Sex Med
2012;9:2017–2026.
6. McCabe MP, Althof SE. A systematic review of the psychosocial outcomes
associated with erectile dysfunction: does the impact of erectile dysfunction
extend beyond a man’s inability to have sex? J Sex Med 2014;11:347–363.
7. Stephenson KR, Truong L, Shimazu L. Why is impaired sexual function
distressing to men? Consequences of impaired male sexual function and their
associations with sexual wellbeing. J Sex Med 2018;15:1336–1349.
8. Boddi V, Corona G, Fisher AD, et al. It Takes Two to Tango": The relational
domain in a cohort of subjects with erectile dysfunction (ED). J Sex Med
2012;9:3126–3136.
9. Salonia A, Bettocchi C, Carvalho J, et al. EAU Guidelines on Sexual and
reproductive Health. 2020. Available at: https:// uroweb.org/guideline/sexual-and-
reproductive-health. Accessed May 19, 2021.
10. American Urological Association. Erectile dysfunction: AUA guidelines.
2021. Available at: https://www.auanet.org/guidelines/ erectile-dysfunction-(ed)-
guideline. Accessed May 19, 2021.
11. Shamloul R, Ghanem H. Erectile dysfunction. Lancet 2013;381:153–165.
12. Burnett AL, Nehra A, Breau RH, et al. Erectile dysfunction: AUA guideline. J
Urol 2018;200:633–641.
13. Mulhall J, Althof SE, Brock GB, et al. Erectile dysfunction: monitoring
response to treatment in clinical practice—Recommendations of an international
study panel. J Sex Med 2007;4:448–464.

40
14. Brotto L, Atallah S, Johnson-Agbakwu C, et al. Psychological and
interpersonal dimensions of sexual function and dysfunction. J Sex Med
2016;13:538–571.
15. Janssen E, Everaerd W, Spiering M, et al. Automatic processes and the
appraisal of sexual stimuli: Towards an information processing model of sexual
arousal. J Sex Res 2000;37:8–23.
16. Both S, Everaerd W, Laan E. Desire emerges from excitement: a
psychophysiological perspective on sexual motivation. In: Janssen E, editor. The
psychophysiology of sex. Bloomington: Indiana University Press; 2017.
17. Toates F. An integrative theoretical framework for understanding sexual
motivation, arousal, and behavior. J Sex Res 2009;46:168–193.
18. Sarin S, Amsel R, Binik YM. How Hot Is He? A psychophysiological and
psychosocial examination of the arousal patterns of sexually functional and
dysfunctional men. J Sex Med 2014;11:1725–1740.
19. Barlow DH. Causes of sexual dysfunction: The role of anxiety and cognitive
interference. J Cons Clin Psych 1986;54:140–148.
20. Rowland DL, Myers AL, Adamski BA, et al. Role of attribution in affective
responses to a partnered sexual situation among sexually dysfunctional men. BJUI
Int 2012;111:e103–e109.
21. Giuri S, et al. Cognitive attentional syndrome and metacognitive beliefs in
male sexual dysfunction: an exploratory study. Am J Men’s Health 2017;11:592.
22. Rozental A, Andersson G, Carlbring P. In the absence of effects: an individual
patient data meta-analysis of nonresponse and its predictors in internet-based
cognitive behavior therapy. Front Psychol 2019;10:589.
23. Nobre P. Psychological determinants of erectile dysfunction: Testing a
cognitive−emotional model. J Sex Med 2010;7:1429–1437.
24. Nobre PJ, Pinto-Gouveia J. Dysfunctional sexual beliefs as vulnerability
factors to sexual dysfunction. J Sex Res 2006;43:68–75.
25. Nobre PJ, Pinto-Gouveia J. Emotions during sexual activity: Differences
between sexually functional and dysfunctional men and women. Arch Sex Beh
2006;3:8–15.
26. Nobre P, Gouveia JP. Erectile dysfunction: An empirical approach based on
Beck's cognitive theory. Sex Rel Ther 2000;15:351–366.
27. Zilbergeld B. The man behind the broken penis: Social and psychological
determinants of erectile failure. In: Rosen RC, Leiblum SR, editors. Erectile
disorders: Assessment and treatment. New York, NY: Guilford Press; 1992. p. 27
-55.

41
28. Zilbergeld B. The new male sexuality. (rev. ed.) New York, NY: Bantam
Books; 1999.
29. Scepkowsky L, Wiegel M, Bach A, et al. Attributions for sexual situations in
men with and without erectile disorder: Evidence from a sex-specific attributional
style measure. Arch Sex Behav 2005;33:559–569.
30. Rowland DL, Adamski BA, Neal CJ, et al. Self-efficacy as a relevant
construct in understanding sexual response and dysfunction. J Sex Mar Ther
2015;41:60–71.
31. Rowland DL, Kostelyk KA, Tempel AR. Attribution patterns in men with
sexual problems: Analysis and implications for treatment. Sex Rel Ther
2016;31:148–158.
32. Andersen BL, Cyranowski JM, Espindle D. Men's sexual selfschema. J Pers
Soc Psych 1999;76:645–661.
33. Althof SE. Quality of life and erectile dysfunction. Urology 2002;59:803–810.
34. Pascoal PM, Raposo CF, Oliveira LB. Predictors of body appearance
cognitive distraction during sexual activity in a sample of men with ED. Int J
Impot Res 2015;27:103–107.
35. Geer JH, Fuhr R. Cognitive factors in sexual arousal: The role of distraction. J
Consult Clin Psychol 1976;4:238–243.
36. Quinta Gomes AL, Nobre P. Personality traits and psychopathology on male
sexual dysfunction: An empirical study. J Sex Med 2011;8:461–469.
37. Allen MS, Walter EE. Linking big five personality traits to sexuality and
sexual health: A meta-analytic review. Psych Bull 2018;144:1081–1110.
38. Bancroft J. Central inhibition of sexual response in the male: A theoretical
perspective. Neurosci Biobehav R 1999;23:763–784.
39. Bancroft J, Janssen E. The dual control model of male sexual response: A
theoretical approach to centrally mediated erectile dysfunction. Neurosci
Biobehav R 2000;24:571–579.
40. Bancroft J, Herbenick D, Barnes T, et al. The relevance of the dual control
model to male sexual dysfunction: The Kinsey Institute BASRT Collaborative
Project. Sex Rel Ther 2005;20:13–30.
41. Corona G, Rastrelli G, Balercia G, et al. Perceived reduced sleep-related
erections in subjects with erectile dysfunction: Psychobiological correlates. J Sex
Med 2011;8:1780–1788.
42. Mallis D, Moysidis K, Hatzichristou D. Expressions of anxiety in patients
with erectile dysfunction. Int J Impot Res 2002;14:S87.

42
43. Corona G, Mannucci E, Petrone L, et al. Psycho-biological correlates of free-
floating anxiety symptoms in male patients with sexual dysfunctions. J Androl
2006;27:86–93.
44. Araujo AB, Durante R, Feldman HA, et al. The relationship between
depressive symptoms and male erectile dysfunction: Cross-sectional results from
the Massachusetts Male Aging Study. Psychosom Med 1998;60:458–465.
45. Atlantis E, Sullivan T. Bidirectional association between depression and
sexual dysfunction: A systematic review and meta-analysis. J Sex Med
2012;9:1497–1507.
46. Liu Q, Zhang Y, Wang J, et al. Erectile dysfunction and depression: A
systematic review and meta-analysis. J Sex Med 2018;15:1073–1082.
47. Montjo-Gonzales A, Llorce G, Izquierdo J, et al. SSRI − induced sexual
dysfunction: fluoxetine, paroxetine, sertaline and fluvoxamine in a prospective,
multicenter, and descriptive clinical study of 344 patients. J Sex Marital Ther
1997;23:176–187.
48. Montejo AL, Montejo L, Navarro-Cremades F. Sexual sideeffects of
antidepressant and antipsychotic drugs. Curr Opin Psychiatry 2015;28:418–423.
49. Rosen R, Janssen E, Wiegel M, et al. Psychological and interpersonal
correlates in men with erectile dysfunction and their partners: A pilot study of
treatment outcome with sildenafil. J Sex Mar Ther 2006;32:215–234.
50. Corona G, Petrone L, Mannucci E, et al. Assessment of the relational factor in
male patients consulting for sexual dysfunction: The concept of couple sexual
dysfunction. J Androl 2006;27:795–801.
51. Dewitte M. On the interpersonal dynamics of sexuality. J Sex Mar Ther
2014;40:209–232.
52. Jiann BP, Su CC, Tsai JY. Is female sexual function related to the male
partners’ erectile function? J Sex Med 2013;10:420–429.
53. Fisher WA, Rosen RC, Eardley I, et al. Sexual experience of female partners
of men with erectile dysfunction: The female experience of men's attitudes to life
events and sexuality (FEMALES) study. J Sex Med 2005;2:675–684.
54. Li H, Gao R, Wang R. The role of the sexual partner in managing erectile
dysfunction. Nat Rev Urol 2016;13:168–177.
55. Chevret M, Jaudinot E, Sullivan K, et al. Impact of erectile dysfunction (ED)
on sexual life of female partners: Assessment with the Index of Sexual Life (ISL)
questionnaire. J SexMaritalTher 2004;30:157–172.
56. McGraw SA, Rosen RC, Althof SE, et al. Perceptions of erectile dysfunction
and phosphodiesterase type 5 inhibitor therapy in a qualitative study of men and
women in affected relationships. J Sex Marital Ther 2015;41:203–220.

43
57. MacNeil S, Byers ES. Role of sexual self-disclosure in the sexual satisfaction
of long-term heterosexual couples. J Sex Res 2009;46:3–14.
58. MacNeil S, Byers ES. The relationships between sexual problems,
communication, and sexual satisfaction. Can J Hum Sex 1997;6:277–283.
59. Conaglen HM, Conaglen JV. Couples' reasons for adherence to, or
discontinuation of, PDE type 5 inhibitors for men with erectile dysfunction at 12
to 24-month follow-up after a 6- month free trial. J Sex Med 2012;9:857–865.
60. Jannini EA, Sternbach N, Limoncin E, et al. Health-related characteristics and
unmet needs of men with erectile dysfunction: A survey in five European
countries. J Sex Med 2014;11:40–50.
61. Wassersug R, Wibowo E. Non-pharmacological and non-surgical strategies to
promote sexual recovery for men with erectile dysfunction. Transl Androl Urol
2017;6:S776– S794.
62. Speckens AEM, Hengeveld MW, Lycklama a Nijeholt G, et al. Psychosexual
functioning of partners of men with presumed non-organic erectile dysfunction:
Cause or consequence of the disorder? Arch Sex Bev 1995;24:157–172.
63. McCabe MP. Intimacy and quality of life among sexually dysfunctional men
and women. J Sex Marital Ther 1997;23:276–290.
64. Chevret-Measson M, Lavallee E, Troy S, et al. Improvement in quality of
sexual life in female partners of men with erectile dysfunction treated with
sildenafil citrate: Findings of the Index of Sexual Life (ISL) in a couple study. J
Sex Med 2009;6:761–769.
65. McCabe MP, Matic H. Erectile dysfunction and relationships: Views of men
with erectile dysfunction and their partners.Sex Rel Ther 2008;23:51–60.
66. Metz ME, Epstein N. Assessing the role of relationship conflict in sexual
dysfunction. J Sex Marital Ther 2002;28:139–164.
67. Boddi V, Fanni E, Castellini G, et al. Conflicts within the family and within
the couple as contextual factors in the determinism of male sexual dysfunction. J
Sex Med 2015;12:2425–2435.
68. Peixoto MM, Nobre P. “Macho” beliefs moderate the association between
negative sexual episodes and activation of incompetence schemas in sexual
context, in gay and heterosexual men. J Sex Med 2017;14:518–525.
69. Barbonetti A, D’Andrea S, Cavallo F, et al. Erectile dysfunction and
premature ejaculation in homosexual and heterosexual men: A systematic review
and meta-analysis of comparative studies. J Sex Med 2019;16:624–632.
70. Nguyen HMT, Gabrielson AT, Hellstrom WJG. Erectile Dysfunction in young
men—A review of the prevalence and risk factors. Sex Med Rev 2017;5:508–520.

44
71. Tutino JS, Shaughnessy K, Ouimet AJ. Looking at the bigger picture: Young
men's sexual health from a psychological perspective. J Health Psychol
2018;23:345–358.
72. Corona G, Rastrelli G, Maseroli E, et al. Sexual function of the ageing male.
Best Pract Res Clin Endocrinol Metab 2013;27:581–601.
73. Jannini EA, McCabe MP, Salonia A, et al. Organic vs. psychogenic? The
Manichean diagnosis in sexual medicine. J Sex Med 2010;7:1726–1733.
74. Burnett A. Evaluation and management of erectile dysfunction. In: McDougal,
Wein, Kavoussi, et al., editors. Campbell-Walsh urology. Philadelphia, PA:
Elsevier; 2011. p. 126–128.
75. Mialon A, Berchtold A, Michaud PA, et al. Sexual dysfunctions among young
men: Prevalence and associated factors. J Adolesc Health 2012;51:25–31.
76. Huntingdon B, Muscat DM, de Wit J, et al. Factors associated with erectile
dysfunction among men living with HIV: A systematic review. AIDS Care
2019;32:1–11.
77. Santi D, Brigante G, Zona S, et al. Male sexual dysfunction and HIV − A
clinical perspective. Nat Rev Urol 2014;11:99.
78. Yafi FA, Jenkins L, Albersen M, et al. Erectile dysfunction. Nat Rev Dis
Primers 2016;2:16003.
79. Corona G, Jannini EA, Maggi M. Inventories for male and female sexual
dysfunction. Int J Impot Res2006;18:236–250.
80. Rosen RC, Riley A, Wagner G, et al. The international index of erectile
function (IIEF): A multidimensional scale for assessment of erectile dysfunction.
Urology 1997;49:822–830.
81. Rynja S, Bosch R, Kok E, et al. IIEF-15: Unsuitable for assessing erectile
function of young men? J Sex Med 2010;7:2825–2830 2010.
82. Forbes MK, Baillie AJ, Schniering CA. Critical flaws in the female sexual
function index and the international index of erectile function. J Sex Res
2014;51:485–491.
83. Sinkovic M, Towler L. Sexual aging: A systematic review of qualitative
research on the sexuality and sexual health of older adults. Qual Health Res
2019;29:1239–1254.
84. Marwick C. Survey says patients expect little help on sex. JAMA
1999;281:2173–2174.
85. Horvath AO, Del Re AC, Fluckiger C, et al. Alliance in individual
psychotherapy. Psychotherapy 2011;48:9–16.

45
86. Lafrenaye-Dugas AF, Martine Hebert M, Godbout N. Sexual satisfaction
improvement in patients seeking sex therapy: Evaluative study of the influence of
traumas, attachment and therapeutic alliance. Sex Rel Ther 2020. doi: 10.1080/
14681994.2020.1726314.
87. Mulhall JP, Giraldi A, Hackett G, et al. The 2018 revision to the process of
care model for evaluation oferectile dysfunction. J Sex Med 2018;15:1280–1292.
88. Hatzichristou D, Kirana PS, Banner L, et al. Diagnosing sexual dysfunction in
men and women: Sexual history taking and the role of symptom scales and
questionnaires. J Sex Med 2016;13:1166–1182.
89. Berry MD, Berry PD. Contemporary treatment of sexual dysfunction:
Reexamining the biopsychosocial model. J Sex Med 2013;10:2627–2643.
90. Eardley I, Reisman Y, Goldstein S, et al. Existing and future educational
needs in graduate and postgraduate education. J Sex Med 2017;14:475–485.
91. Fisher WA, Eardley I, McCabe M, et al. Erectile dysfunction (ED) is a shared
sexual concern of couples II: Association of female partner characteristics with
male partner ED treatment seeking and phosphodiesterase type 5 inhibitor
utilization. J Sex Med 2009;6:3111–3124.
92. Santos-Iglesias P, Mohamed B, Walker LM. A systematic review of sexual
distress measures. J Sex Med 2018;15:625–644.
93. Jannini EA, Lenzi A, Isidori A, et al. Subclinical erectile dysfunction:
Proposal for a novel taxonomic category in sexual medicine. J Sex Med
2006;3:787–794.
94. Limoncin E, Tomassetti M, Gravina GL, et al. Premature ejaculation results in
female sexual distress: Standardization and validation of a new diagnostic tool for
sexual distress. J Urol 2013;189:1830–1835.
95. Walther A, et al. Psychobiological protective factors modifying the
association between age and sexual health in men: Findings from the Men’s
Health 40+ Study. Am J Men Health 2017;11:737.
96. Berner MM, Ploger W, Burkart M. A typology of men’s sexual attitudes,
erectile dysfunction treatment expectations and barriers. Int J Imp Res
2007;19:568–576.
97. Shabsigh R, Perelman MA, Laumann EO, et al. Drivers and barriers to
seeking treatment for erectile dysfunction: A comparison of six countries. BJU Int
2004;94:1055–1065.
98. Rastrelli G, Cipriani S, Craparo A, et al. The physician’s gender influences the
results of the diagnostic workup for erectile dysfunction. Andrology 2020;8:671–
679.

46
99. Carvalheira AA, Pereira NM, Maroco J, et al. Dropout in the treatment of
erectile dysfunction with PDE5: A study on predictors and a qualitative analysis
of reasons for discontinuation. J Sex Med 2012;9:2361–2369.
100. Limoncin E, Gravina GL, Corona G, et al. Erectile function recovery in men
treated with phosphodiesterase type 5 inhibitor administration after bilateral
nerve-sparing radical prostatectomy: A systematic review of placebo-controlled
randomized trials with trialsequential analysis. Androl 2017;5:863–872.
101. Klotz T, Mathers M, Klotz R, et al. Why do patients with erectile
dysfunction abandon effective therapy with sildenafil (Viagra)? Int J Impot Res
2005;17:2–4.
102. Sharf RS. Theories of psychotherapy and counseling: Concepts and cases.
Cengage Learning; 2015.
103. Masters WH, Johnson VE. Human sexual inadequacy. New York: Bantam
Books; 1970.
104. Allen MS, Walter EE. Erectile dysfunction: An umbrella review of meta-
analyses of risk-factors, treatment, and prevalence outcomes. J Sex Med
2019;16:531–541.
105. Ciocanel O, Power K, Eriksen A. Interventions to treat erectile dysfunction
and premature ejaculation: an overview of systematic reviews. Sex Med
2019;7:251–269.
106. Fruhauf S, Gerger H, Schmidt HM, et al. Efficacy of psy- € chological
interventions for sexual dysfunction: A systematic review and meta-analysis.
Arch Sex Behav 2013;42:915–933.
107. Gunzler C, Berner MM. Efficacy of psychosocial interventions € in men and
women with sexual dysfunctions—A systematic review of controlled clinical
trials: Part 2—The efficacy of psychosocial interventions for female sexual
dysfunction. J Sex Med 2012;9:3108–3125.
108. Berner M, Gunzler C. Efficacy of psychosocial interventions in € men and
women with sexual dysfunctions−A systematic review of controlled clinical trials:
Part 1-The efficacy of psychosocial interventions for male sexual dysfunction. J
Sex Med 2012;9:3089–3107.
109. Schmidt HM, Munder T, Gerger H, et al. Combination of psychological
intervention and phosphodiesterase-5 inhibitors for erectile dysfunction: A
narrative review and meta-analysis. J Sex Med 2014;11:1376–1391.
110. Khan S, Amjad A, Rowland D. Potential for long-term benefit of cognitive
behavioral therapy as an adjunct treatment for men with erectile dysfunction. J
Sex Med 2019;16:300–306.

47
111. Corona G, Rastrelli G, Burri A, et al. First-generation phosphodiesterase type
5 inhibitors dropout: A comprehensive review and meta-analysis. Andrology 2016
Nov;4:1002–1009.
112. Boddi V, Castellini G, Casale H, et al. An integrated approach with
vardenafil orodispersible tablet and cognitive behavioral sex therapy for treatment
of erectile dysfunction: A randomized controlled pilot study. Andrology
2015;3:909–918.
113. McCann B, Knight PK. Changes in sexual inhibition and excitation during
PDE5I therapy. Int J Impot Res 2014;26:146–150.
114. Althof SE, O'Leary MP, Cappelleri JC, et al. Impact of erectile dysfunction
on confidence, self-esteem and relationship satisfaction after 9 months of
sildenafil citrate treatment. J Urol 2006;176:2132–2137.
115. Reisman Y, Eardley I, Porst H. New developments in education and training
in sexual medicine. J Sex Med 2013;10:918–923.
116. Wiggins A, Tsambarlis PN, Abdelsayed G, et al. A treatment algorithm for
healthy young men with erectile dysfunction. BJU Int 2019;123:173–179.
117. Capogrosso P, Ventimiglia E, Boeri L. Should we tailor the clinical
management of erectile dysfunction according to different ages? J Sex Med
2019;16:999–1004.
118. Gott M, Hinchliff S. How important is sex in later life? The views of older
people. Soc Sc Med 2003;56:1617–1628.
119. Annon JS. The PLISSIT model: A proposed conceptual scheme for the
behavioral treatment of sexual problems. J Sex Ed Ther 1976;1:1–15.
120. Davis S, Taylor B. From PLISSIT to ex-PLISSIT. Rehabilitation: The use of
theories and models in practice. Edinburgh: Elsevier; 2006. p. 101–129.
121. Rita B, Ardito RB, Rabellino D. Therapeutic alliance and outcome of
psychotherapy: Historical excursus, measurements, and prospects for research.
Front Psychol 2011;2:270.
122. Colson MH, Cuzin B, Faix A, et al. Effective management strategies for
patient and couple with erectile dysfunction. Sexologies 2018;27:31–36.
123. Masters W, Johnson VE. Human sexual inadequacy. New York, NY: Little,
Brown and Company; 1970.
124. Tabatabaie A. Does sex therapy work? How can we know?” Measuring
outcomes in sex therapy. Sex Rel Ther 2014;29:269–279.
125. Metz ME, McCarthy BW. The good enough sex model for couple sexual
satisfaction. Sex Rel Ther 2007;22:351–362.

48
126. Wentzell E. How did erectile dysfunction become “Natural”? A review of the
critical social scientific literature on medical treatment for male sexual
dysfunction. J Sex Res 2017;54:486–506.
127. Cayan S, Bozlu M, Canpolat B, et al. The assessment of sexual functions in
women with male partners complaining of erectile dysfunction: Does treatment of
male sexual dysfunction improve female partner’s sexual functions? J Sex Marital
Ther 2004;30:333–341.
128. Baer RA. Mindfulness training as a clinical intervention: A conceptual and
empirical review. Clin Psychol 2003;10:125–143.
129. Duarte R, Lloyd A, Kotas E, et al. Are acceptance and mindfulness-based
interventions ‘value for money’? Evidence from a systematic literature review.
Brit J Clin Psych 2019;53:187–210.
130. Jaderek I, Lew-Starowicz M. A systematic review on mindfulness meditation
based interventions for sexual dysfunctions. J Sex Med 2019;16:1581–1596.
131. Bossio JA, Basson R, Driscoll M, et al. Mindfulness-based group therapy for
men with situational erectile dysfunction: A mixed-methods feasibility analysis
and pilot study. J Sex Med 2018;15:1478–1490.
132. Hayes SC, Pistorello J, Levin ME. Acceptance and commitment therapy as a
unified model of behavior change. Counsel Psychol 2012;40:976–1002.
133. A-tjak JG, Davis ML, Morina N, et al. A meta-analysis of the efficacy of
acceptance and commitment therapy for clinically relevant mental and physical
health problems. Psychoth Psychosom 2015;84:30–36.
134. Paraskevi-Sofia K, Gudeloglu A, Sansone A, et al. E-Sexual health: A
position statement of the European society for sexual medicine. J Seks Med
2020;24:S1743 S6095.
135. Blanken I, Leusink P, van Diest S, et al. Outcome predictors of internet-
based brief sex therapy for sexual dysfunctions in heterosexual men. J Sex Mar
Ther 2015;41:531–543.
136. van Lankveld JJ, Leusink P, van Diest S, et al. Internet-based brief sex
therapy for heterosexual men with sexual dysfunctions: A randomized controlled
pilot trial. J Sex Med 2009;6:2224–2236.
137. McCabe M, Price E. Internet-based psychological and oral medical treatment
compared to psychological treatment alone for ED. J Sex Med 2008;5:2338–2346.
138. Barak A, Klein B, Proudfoot JG. Defining internet supported therapeutic
interventions. Ann Behav Med 2009;38:4–17.
139. Marks IM, Cavanagh K, Gega L. Computer-aided psychotherapy: Revolution
or bubble? Br J Psychiatry 2007;191:471–473.
140. Althof SE. Quality of life and erectile dysfunction. Urol 2002;59:803–810.

49
50

Anda mungkin juga menyukai