Universitas Jember
Email: hanifala22@gmail.com
Pendahuluan
1
Atap pada sebuah rumah biasanya dibiarkan kosong tanpa ada sesuatu
diatasnya, padahal pada atap tersebut mendapat sinar matahari yang cukup selama
sehari penuh, maka dari itu atap sebuah bangunan sangat ideal untuk dibangun sebuah
instalasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) karena pada atap tersebut terkena
paparan radiasi matahari secara penuh dan sangat efektif dalam menghasilkan energi
listrik menggunakan sel surya. Maka dibutuhkan sebuah desain bangunan yang secara
efektif dapat menerima cahaya matahari secara maksimal.
Isi Karya
Energi surya adalah salah satu sumber energi yang saat ini di kembangkan oleh
pemerintah Indonesia karena letak geografis Indonesia termasuk negara tropis, data
penyinaran matahari yang didapat pada 18 tempat di Indonesia,intensias radiasi surya
di lokasi-lokasi tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 2 yakni kawasan Indonesia
barat dan timur, pada kawasan Indonesia bagaian barat memiliki intensitas radiasi
sekitar 4,5 kWh/𝑚2 /hari dengan tingkat variasi sekitar 10%, kemudian pada kawasan
Indonesia timur tingkat intensitas radiasi matahari sekitar 5,1 kWh/m^2/hari dengan
tingkat variasi sekiatr 9%, maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata intensitas radiasi
matahari yang di dapatkan di Indonesia adalah sekitar 4,8kWh/𝑚2 /hari dengan tingkat
variasi sekitar 9%. Di belahan dunia lain energi sel surya di eksploitasi dan
dikembangkan lebiah jauh, diakrenakan energi sel surya dianggap lebih efektif dalam
memenuhi kebutuhan listrik dibandingkan dengan cara konvesial yakni menggunakan
energi fosil dan gas alam. Selain itu sel surya juga berpotensi dapat memenuhi
kebutuhan konsumsi energi listrik dunia dalam kurun waktu yang cukup lama. Energi
dari matahari dapat digunakan secara langsung ataupun secara tidak langsung,
digunakan secara langsung seperti pada pengering baju dan digunakan secara tidak
langsung yakni pada konversi energi cahaya menjadi berbagai energi yang salah
2
satunya adalah energi listrik. Maka potensi energi matahari sangat besar hanya ilmu
dan keingintahuan kita yang membatasinya untuk mengambil kesempatan tersebut
(Wiyana, 2012).
Mengutip dari IDX saat ini kebutuhan listrik di indonesia masih memiliki
ketergantungan yang tinggi pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang
berbahan dasar batu bara, PLTU menyumbang produksi listrik sebesar 61% dari jumlah
produksi listrik nasional sedangkan untuk pembangkit tenaga sel surya masih sangat
rendah sekali penggunaanya. Padahal penggunaan batu bara sebagai pembangkit listrik
dapat mengahsilkan karbon yang berefek pada pemanasan global sedangakan
penggunaan sel surya sangat minim sekali limbah yang dihasilkan. Potensi pembangkit
listrik tenaga surya di indonesia adalah sebesar bisa mencapai 112.000 GWp namun
saat yang masih terealisasi masih sebesar 10 MWp namun saat ini pemerintah sudah
menargetkan pemanfaatan sel surya dengan kapasitas tahunan sebesar 50 MWp/tahun.
Nilai ini adalah rencana pemerintah dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga
surya kedepannya(Andriawan & Slamet, 2017). Keunggulan dari pembangkiat listrik
tenaga surya dibandingakan dengan pembangkit listrik tenaga uap(yang dalam hal ini
berbahan baku batu bara) adalah:
3
rumah biasanya menggunakan inverter berjenis bi-directorial inverter yang berfungsi
untuk menjadikan jaringan listrik PLN sebagai backup dari listrik sel surya, apabila
energi listrik yang disimpan dalam baterai tidak mencukupi kebutuhan dari rumah
tersebuk diakibatkan kurangnya intensitas matahari di siang hari. Sehingga dengan
adanya inverter tersebut sangat memudahkan pengguna dalam pengoperasian intalasi
sel surya serta menghemat biaya listrik PLN dan juga menghindarkan pengguna dari
terjadinya mati lampu. (Oriza Candra et al., 2020)
Di Indonesia terdapat tiga jenis tipe sel surya yang digunakan, yang masing-
masing memiliki karakteristik tersendiri. Namun saat ini yang banyak digunakan adalah
tipe monocrystalline dan polycristalline. Sedangakan untuk tipe yang terakhir yakni
thin film solar cell sangat jarang digunakan. Penggunaan monocrystalline lebih unggul
dibandingkan polycrystalline dikarenakan tipe ini dapat menghasilkan output tegangan
yang cenderung stabil dan tidak terpengaruh dengan kondisi dari permukaan sel surya
tesebut seperti kebersihan dari debu dan kotoran lainnya, namun tipe ini cenderung
mahal karena menggunakan silicon murni. Pada tipe polycristalline kekurangannya
adalah pada keefektifan penyerapan energinya sehingga menghasilkan energi listrik
lebih sedikit.(Alamsyah et al,. 2021)
1. Pemilihan jenis dan kapasitas pada sel surya yang menyesuaikan pada
keadaan serta kebutuhan listrik rumah.
2. Pemilihan jenis dan kapasitas baterai yang akan digunakan disesuaikan
dengan keadaan dan kebutuhan listrik rumah.
3. Pemilihan inverter dan kontroller yang digunakan untuk menyesuaikan
kapasitas energi yang masuk dan keluar sesuai kebutuhan dan kapasitas
baterai.
4. Desain instalasi yang disesuaikan dengan keadaan rumah sehingga
memudahkan dalam pengerjaan instalasinya serta agar sel surya dapat
menghasilkan daya dengan maksimal.
5. Perakitan alat dan bahan yang telah dipilih, kemudian dirakit sesuai dengan
desain yang telah direncanakan.
4
6. Proses pengujian sel surya untuk mengetahui apakan desain sel surya telah
sesuai dengan rancangannya.
Pada desain pemasangan sel surya salah satu hal yang terpenting adalah adalah
sudut kemiringan dari sel surya yang bertujuan untuk memaksimalkan pancaran
intensitas cahaya matahari. Maka diperlukan perancangan kemiringan datang cahaya
sehingga sel surya dapat menerima radiasi matahari secara maksimal dan energi yang
di konversi juga semakin besar. Sudut yang mempengaruhi kinerja dari sel surya ada 2
macam yakni sudut kemiringan pada bidang yang horizontal (slope) dan sudut azimut
(sudut yang searah dan mengacu pada arah selatan). Selain parameter yang
mempengaruhi dari kinerja dari sel surya, antara lain, intensitas cahaya matahari,
tempratur lingkungan, dan kebersihan pada permukaan sel surya.(Samsurizal et al.,
2018)
Desain instalasi rumah tenaga sel surya yang akan dibuat akan didasarkan pada
kebutuhan listrik rumah. Pada instalasi ini menggunakan modul sel surya 300WP
dengan tipe monocrystalline karena lebih stabil di daerah tropis seperti di Indonesia.
Pada desain instalasi ini modul sel surya ditempatkan diatap dengan kemiringan atap
sebesar 12 derajat. Karena dalam penelitian oleh Pido et al.(2022) menunjukkan bahwa
pada sudut 12 derajan sel surya dapat menghasilkan daya output lebih besar
dibandingkan dengan sudut kemiringan 9 dan 15 derajat, selanjutnya pada pemilihan
baterai menggunakan baterai lithium dengan kapasitas 60 mAh agar dapat menyimpan
energi listrik lebih banyak. pada pemilihan kontroller dan inverter menggunakan
masukan sebesar 60A sehingga baterai lebih cepat terisi. Kemudian dilakukan perakitan
sel surya dengan skema sebagai berikut:
5
Sumber: Gambar Google
Selanjutnya dilakukan uji coba pada instalasi sel surya dengan menggunakan
multimeter pada output di inverter, apakah daya yang dihasilkan sesuai dengan desain
awal. Kemudian dilakukan uji coba pada kontroller, untuk mengetahui berapa masukan
dan durasi pengisian baterai oleh sel surya. Berikut gambaran instalasi rumah berbasis
sel surya:
Sumber:Gambar Ai
Penutup
Saat ini pasokan listrik nasional sebagian besar dipasok oleh sektor baru bara
yang pada prosesnya menimbulkan polusi karbon yang menyumbang naiknya suhu
dunia. Juga di tengah pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, kebutuhan terhadap
energi listrik juga semakin besar yang bisa menyebabkan krisis energi. Maka jawaban
6
dari dua persoalan diatas adalah teknologi sel surya, dengan teknologi sel surya
masyarakat bisa terhindar dari krisis energi listrik dan dalam skala nasional negara bisa
perlahan mengurangi produksi listrik yang secara otomatis bisa mengurangi pemanasan
global akibat limbah karbon karena pada teknologi ini hampir bisa dipastikan tidak
menghasilkan limbah. Terakhir, tulisan ini masih banyak sekali kekurangan dalam
penyajian fakta dan data. Maka diperlukan lagi kajian mendalam terkait ide yang
ditawarkan sehingga manfaat yang dihasilkan bisa lebih besar lagi.
7
Daftar Pustaka
Aliefia Noor, M. H. (2020). Dye-Sensitized Solar Cell-Based Photovoltaic Thermal for
Ethanol. Jurnal Geliga Sains: Jurnal Pendidikan Fisika, 123-131.
Aris Heri Andriawan, P. S. (2017). Tegangan Keluaran Solar Cell Type Monocrystalline
Sebagai Dasar Pertimbangan. Jurnal Penelitian LPPM Untag Surabaya, 39-45.
Endarwati, O. (2021). 61 Persen Sumber Listrik RI Berasal dari Pembangkit Batu Bara.
Jakarta: IDX Channel.
Oriza Candra, S. I. (2020). SOLAR CELL DESIGN FOR DESIGNATION NEEDS. Journal
of Information Technology and Computer Science, 199-206.
Rifaldo Pido, R. H. (2022). ANALISIS PENGARUH VARIASI SUDUT KEMIRINGAN
TERHADAP OPTIMASI DAYA PANEL SURYA. Jurnal Peradaban, Sains dan
Teknologi, 234-240.
Samsurizal, A. M. (2018). ANALISIS PENGARUH SUDUT KEMIRINGAN TERHADAP
ARUS. Jurnal Energi & Kelistrikan, 137-144.
Tomi Alamsyah, A. H. (2021). Analisis Potensi Energi Matahari Sebagai Pembangkit Listrik
Tenaga Surya Menggunakan Panel Mono-Crystalline dan Poly-Crystalline. Jurnal
Teknik Elektro Universitas Tanjungpura, 1-9.
Wiyana, G. (2012). PEMANFAATAN ENERGI SURYA. Jurnal Pendidikan Teknologi dan
Kejuruan, 37-46.