Business Process Reengineering (BPR) merupakan suatu filosofi untuk meningkatkan kinerja
yang memiliki tujuan untuk mencapai perbaikan dengan mendesain ulang cara proses bisnis
(Hammer & Champy, 2011). Pada tahun 1993 Michael Hammer dan James Champy
menerbitkan sebuah buku mengenai restrukturisasi proses bisnis dengan judul
“Reengineering the Corporation: A Manifesto for Business Revolution”. Konsep utama dari
buku ini adalah menghilangkan proses lama yang tidak relevan, menggantinya dengan proses
yang baru , dan menggunakan perangkat teknologi informasi secara berkesinambungan untuk
mengubah dan memperbaiki jalannya proses bisnis. Hammer dan Champy mempercayai
bahwa disruptive technology adalah konsep yang digunakan untuk perubahan yang radikal.
Mereka mendefinisikan reengineering sebagai fundamental rethinking and radical redesign of
business processes to achive dramatic improvements in critical measures of performance,
such as cost, quality, service and speed. Ada tiga istilah kunci dalam pengertian ini, yaitu :
fundamental , radical, dan dramatic.
Pengertian lainnya yang dikemukakan oleh Talwar (1993) fokus kepada pemikiran ulang,
restukturisasi dan perampingan struktur bisnis, proses, metode kerja, system management dan
hubungan eksternal melalui nilai yang dibuat dan dikirimkan. Lowenthal (1994) menjelaskan
pemikiran ulang fundamental dan perancangan ualng proses operasional dan struktur
organisasi, fokusnya adalah pada kompetensi inti untuk mencapai perbaikan kinerja
organisasi. Dari semua definisi diatas, BPR menekankan pada penataan
ulang/perancangan/pemetaan yang bertujuan untuk mendapatkan perbaikan kinerja yang
signifikan.
Menurut pengertian Prabowo (2008, melakukan BPR guna perbaikan proses di perusahaan
pada akhirnya mengubah secara hamper keseluruhan proses dan aktivitas maupun nilai dan
budaya perusahaan. Selain proses bisnis yang akan secara radikal berubah , pekerjaan dan
struktur , sistem pengukuran dan manajemen, serta nilai dan kepercayaa organisasi juga akan
berubah.
1. Metode Hammer/Champy
Hammer dan Champy mendefinisikan BPR sebagai pemikiran dan perombakan desain
secara radikal dari suatu proses bisnis untuk memperoleh perbaikan yang dinilai dramatis
pada kinerja, seperti biaya, kualitas, pelayanan dan kecepatan (Hammer & Champy,
2001). Perubahan radikal yang dimaksud adalah perubahan terhadap semua aspek
organisai termasuk struktur dan ranah kerja manajemen , proses bisnis , serta value
perusahaan. Manajemen yang tidak ikut berperan aktif dan tidak jelas dianggap menjadi
masalah utama dalam BPR, namun begitu pula dengan para pekerja yang tidak menerima
dengan baik serta tidak memahami tujuan reengineering dengan baik akan tentu menjadi
faktor yang menghambat keberhasilan BPR. Terdapat enam tahapan dalam metode BPR
Hammer dan Champy (Mothobi, 2002):
Understanding of Selected This step does not dwell on a detailed analysis of the
Business Processes functioning of the selected business processes, rather
than concentrates on the performance of the curent
processes as opposed to what is expected from them in
the future
Redesign of the Selected The fifth step is the most creative of all. It is
Business Process characterized by imagination and lateral thinking
Implementation of Redesigned The last step covers the implementation phase of BPR
Business Processed project
Mckinsey sebagai salah satu perusahaan jasa konsultan terbesar di dunia memiliki
pendekatan tersendiri dalam penyusunan BPR. Latar belakang perusahaan jasa tersebut
dalam hal pengaturan strategi, perubahan dimensi dan rasionalisasinya membuat
Mckinsey memiliki metode tersendiri yang kiranya dibuat dari pendekatan best practice.
Focus pendekatan BPR ala Mckinsey adalah pada customer value adding processes dan
perubahan yang dibutuhkan dari seluruh elemen terkait untuk dapat melakukan re-
engineering tersebut. Secara garis besar terdapat tiga tahapan dalam metode BPR
Mckinsey:
Tahapan pertama adalah melakukan identifikasi motivasi dan objektif dari organisasi
dalam melakukan BPR. Dilakukan juga pendekatan untuk mengetahui legacy system dan
kebutuhan yang signifikan untuk BPR.
Setelah proses identifikasi lalu dilakukan pemetaan legacy system yang kemudian dilabeli
nama AS IS. Hal yang perlu dilakukan adalah membuat model aktivitas dan proses,
mensimulasikan, mengidentifikasi disconnecting, value added dan non-valueadded
process. Pemetaan sepeti ini diharapkan akan mempermudah proses re-design dan
perbaikan.
3. Design TO BE Process
4. Reengineering Process
Tahap ini dilakukan bila TO BE Process telah mendapat peretujuan dari seluruh elemen
BPR. Perlu dilakukan simulasi dari prototype proses bisnis baru yang telah dirancang.
5. Improve Continously
Tahap ini dilakukan pengukuran kinerjadi dan target dari proses bisnis baru yang telah
diterapkan. Peninjauan kembalu dilakukan terhadap pencapaian kinerja agar objektif tidak
proses tidak menyimpang dari objektif.
Inti dari BPR terletak pada proses berjalannya suatu sistem. Definisi proses menurut
Davenport (1993) adalah urutan urutan spesifik aktivitas kerja yang melintasi ruang dan
waktu, dengan sebuah input dan sebuah output. Sedangkan proses bisnis didefinisikan
sebagai sebuah kumpulan dari aktivitas yang memiliki hubungan untuk meraih suatu
target yang telah ditentukan. Proses juga didefinisikan sebagai satu atau lebih kegiatan
yang merubah input tersebut menjadi output yang berupa barang atupun jasa. (Tenner, et
al., 2000). Menurut Harmonn (2003) proses adalah kumpulan pekerjaan berurutan yang
memiliki value-added dimana menggunakan sumber daya untuk menghasilkan suatu
keluaran ataupun hasil. Proses bisnis. Earl dan Khan (1994) membagi proses kedalam 4
struktur yaitu :
1. Core Process : dasar aktivitas dari seluruh operasi proses bisnis dan memiliki
hubungan langsung untuk external customer. Proses inti sellau menjadi aktivitas
utama dari value chain.
2. Support Process : aktivitas yang mendukung berjalannya proses inti dan
merupakan aktivitas pelengkap value chain.
3. Business network process : aktivitas pendukung yang tidak memiliki hubungan
secara langsung dengan proses inti dari suatu operasi bisnis namun termasuk
proses yang penting untuk dilaksanakan.
4. Management proses : aktivitas yang meliputi perencanaan perusahaan ,
pengaturan dan pengontrolan sumber daya.
Untuk dapat dipahami secara umum suatu proses bisnis memerlukan teknik pemodelan.
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa proses bisnis merupakan serangkaian aktivitas
yang memberikan nilai tambah kepada input yang kemudian diolah menjadi output yang
memiliki tujuan spesifik. Untuk memodelkan proses bisnis, terdapat beberapa teknik yang
dapat digunakan, diantaranya flowchart, DFD, RAD, RID, dan IDEF0. Peneliti akan
berusaha mendeskripsikan secara singkat kegunaaan dan karakteristik dari masing-masing
teknik permodelan proses bisnis.
a. Flowchart
Flowchart merupakan representasi grafis resmi dari urutan logika program, pekerjaan
atau proses manufaktur, dan struktur organisasi. Flowchart menggunakan urutan
aliran tindakan yang tidak mendukung rincian dari aktivitas, model flowchart yang
pertama kali menggunakan notasi proses (Saven, 2003). Flowchart merupaka teknik
pemodelan yang fleksibel, namun karena fleksibel terkadang Batasan dari suatu
proses tidak jelas.
Data Flow Diagram (DFD) merupakan diagram yang menunjukkan aliran informasi
dari suatu fungsi ke fungsi lainnya. DFD dapat menggambarkan logika proses, dengan
cara menggambarkan proses yang dilakukan dan bagaimana proses tersebut
digunakan (Saven, 2003). Dalam DFD setiap proses dapat diperinci ke dalam sub
proses sehingga dapat digambarkan secara lebih dtail. DFD umumnya digunakan
dalam model fungsional dalam menentukan operasi dan kendala serta
menggambarkan ketergantungan antar fungsi. DFD menggambarkan informasi masuk
dan keluar dalam proses, aktivitas yang mengubah informasi, dna fungsi organisasi
yang melakukan aktivitas.
ERP merupakan integrasi proses di dalam perusahaan seperti produk dan pengolahan
data, pengolahan laporan, pengolahana keuangan , dan pengolahan sumber daya.
Perusahaan yang menggunakan ERP mendapatkan keunggulan kompetitif melalui cara
implementasi dan memanfaatkan data. Banyak perusaaahn telah mengklaim bahwa lebih
gesit dari pesaing yang tidak menggunkana ERP (Zhou L., 2012). Dengan menggunakan
sistem ERP, semua informasi yang mengalir dalam perusahaan dapat diintegrasikan
sehingga akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi lintas fungsional (Erkan.
T, 2009). ERP adalah sistem perusahaan lintas fungsional yang mengintegrasikan dan
melakukan otomatisasi banyak internal perusahaan untuk mencapai efisiensi, kelincahan,
dan daya tanggap yang diperlukan untuk menjadi terdepan dalam lingkungan bisnis yang
dinamis (Erkan, T,2009). Software ERP biasanya terdiri dari berbagai modul yang
memberikan info akurat dari seluruh fungsi dalam perusahaan. Seperti proses penerimaan
order, pemrosesan order, produksi , penjualan, dan manajemen sumber daya.
Pengukuran Perbaikan menggunakan Mini Balance Scorecard
Analisis proses BPR digunakan untuk mengetahui apakah desain proses bisnis yang baru
telah tepat dan terdapat improvement yang signifikan dari proses bisnis dilakukan
sebelum BPR . Dalam melakukan analisis diperlukan pengurkuran. balance scorecard
adalah salah satu cara untuk mengukur kinerja perusahaan dengan skala yang berimbang.
Menurut Yuwono, Sukarno, E& ichsan, M (2007) BSC merupakan sistem pengukuran
kinerja manajemen yang dipakai untuk mengukur dan mengendalikan performa bisnis.
Pengukuran kinerja manajemen teridir dari emapt perspektif yaitu perspektif keuangan,
perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis , perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.
Keempat perspektif ini dijabarkan secara singkat :
1. Perspektif Keuangan
Perspektif keuangan memiliki dua tema strategis yang relevan terhadap penelitian
dengan objek yang diteliti.
a. Pertumbuhan Pendapatan misalnya : persentase pendapatan dari aplikasi baru,
persentase pendapatan dari pelanggan dan segmen pasar baru, serta
profitabilitas produk atau pelanggan.
b. Penurunan Biaya
Penurunan biaya per unit produk, per pelanggan atau per jalur distribusi adalah
contoh tujuan penurunan biaya. Ukuran yang tepat sudah jelas, yaitu biaya per
unit dari obyek biaya tertentu. Tren dalam ukuran ini akan menyatakan apakah
biaya telah berkurang atau tidak. Untuk tujuan ini, keakuratan pembebanan
biaya berperan penting. Perhitungan biaya berdadarkan aktivitas dapat
memainkan peranan pengukuran yang penting, khususnya biaya penjualan dan
administrasi, biaya yang biasanya tidak dibebankan pada obyek biaya seperti
pelanggan dan jalur distribusi.
2. Perspektif Pelanggan memiliki tujuan utama, yaitu : peningkatan pangsa pasar,
peningkatan retensi pelanggan, peningkatan pelanggan baru, peningkatan kepuasan
pelanggan dan peningkatan profitabilitas pelanggan.
3. Perspektif Internal adalah sarana menciptakan nilai dari manajemen. Perbaikan proses
operasional untuk meningkatkan kualitas proses, meningkatkan efisiensi proses, dan
menurunkan waktu proses menjadi tolak ukur utama dari penelitian ini.
4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan