Anda di halaman 1dari 3

NAFAS DUNIA YANG MENGUSIK HARI-HARIKU

Hari…, pagi…, siang…, malam…, menit…, detik…, selalu saja ia mengusikku. Terkadang yang
kubisa hanyalah terdiam dalam sudut kepenatan yang tak berujung. “Apakah hidup itu selalu seperti ini?”
ujarku penuh tanya. Aku pria berumur 24 tahun yang sama seperti orang lain seusiaku. Namun jelas,
langkah dan cara berpikirku jalani hidup yang penuh fatamorgana ini berbeda dengan yang lainnya.
Terkadang aku merasa ada yang aneh dalam diriku, hal-hal kecil yang menimpaku selalu sajah kubuat
rumit. “Haaaa iaa… itu aku, aku yang tak pernah tahu akan diriku, aku yang tak pernah mengerti akan
pola pikirku, aku yang tak sempurna, aku yang terkadang buntu akan apa yang kulakukan.” Ujarku dalam
hati (sambil memainkan rambutku).
Dalam hidupku, aku tahu makna cinta, aku tahu makna persahabatan, aku tau makna saling
menghargai, aku tahu indahnya hidup, aku tahu sulitnya hidup, dan aku tahu yang lainnya. Tapi aku tak
pernah tahu siapa jodohku kelak, kapan matiku, masa depanku kelak, dan hal-hal rahasia lainnya yang
kurasa hanya Tuhan sendiri tahu itu. Hari-hariku kini benar-benar kurasa berbeda dengan hari-hariku dulu
yang polos tanpa sedikitpun kupikirkan serius. Kini, setelah aku lulus di bangku kuliah tepatnya tahun
2012 lalu, segalanya telah berubah. Meski aku ini seorang yang tak pernah memperlihatkan masalah
kepada orang lain, tapi setiap orang mempunyai masalah tersendiri. Aku teringat kata-kata bijak bahasa
Inggris “there is problem, there is away” dan aku yakini itu sebagai penyemangatku.
Masalah yang menimpaku selalu datang dan pergi. Contoh kasus, masalah percintaanku yang hingga
kini selalu saja berakhir dan tak pernah berujung di pelaminan. Terkadang aku selalu merasakan jenuh
akan cintaku yang selalu seperti ini, berganti pacar lagi dan lagi. “Apa harus selalu tak berujung seperti
ini? dengan usiaku sekarang ini?” Tapi hal itu aku anggap angin lalu saja, toh jodoh itu takkan kemana .
“Aku bukan play boy!, sama sekali itu bukan aku!, tapi aku ini selalu mencari tulang rusukku yang suatu
saat nanti Tuhan berikan untukku, amin…” ujarku dalam hati.
Tak hanya itu masalah yang bergeliat mengusik pikiranku, timbul lagi masalah baru ketika aku
hanya bisa terdiam termangu dalam hari-hariku tanpa adanya motivasi diri untuk bergegas melamar
pekerjaan sebagai sumber nafas kehidupanku kelak. Entah kenapa saat itu aku selalu saja kalah oleh
musuh terberatku, yaitu perasaan malu untuk memulai. Motivasiku saat itu hanyalah menunggu teman
seangkatan masa kuliah, mengajakku untuk segera melamar pekerjaan. Akhirnya dengan hanya
menunggu teman yang tak kunjung ada mengajakku melamar pekerjaan, aku pun hanya berdiam diri tak
berarti untuk keluargaku seakan akan aku seperti seonggok pohon yang tak berbuah, layu, kering, dan
kemudian mati. Begitulah penggambaranku saking belum bergunanya aku.
Ayah setiap hari mengejekku dengan kata-kata pedas motivasinya. “Sarjana, mau kapan kamu
manfaatkan ilmu kamu itu? tak takutkah ilmu yang kamu punya itu membatu?” ujarnya.
Hampir tiap hari kusantap makanan kata-kata pedas itu, baik dari ayah, ibu, saudara, kerabat,
maupun sahabat, hingga kurasa kenyang yang tak terhingga. Kata-kata itu ternyata benar-benar ampuh
memotivasiku dan benar-benar mengusir musuh terberatku yaitu malu. Singat cerita aku pun panas
dengan kata-kata itu dan membuatku tergugah untuk segera melangkahkan kakiku mencari penyambung
nafas hidupku. Setelah beberapa kutanam, akhirnya dengan kurun waktu yang tak begitu singkat, aku
menuai hasil. Aku panjatkan puji dan syukurku padaNya, “Alhamdulillah, terima kasih Kau berikanku
pekerjaan, semoga berkah ya Robb .”
Kini kupandang langit terasa begitu cerah, begitu indah, tak sedikitpun kulihat awan halangi mentari
yang bersorak gembira menyambutku pagi itu. Rona senyum keluarga menyapaku dengan karib. Teman
pun seakan riang menyambutku dan membangga-banggakan diriku akan pekerjaan yang aku peroleh kini.
Namun, setelah lama kujalani pekerjaanku dengan penuh kesyukuran akan pemberianNya, masalah itu
kembali muncul datang, meskipun sama sekali tak pernah kuundang kehadirannya. Ya, lagi dan lagi
MASALAH. Masalah itu selalu saja kubuat sendiri. Sekilas aku terlintas membuat puisi tentang diriku.

Aku

Selalu kuundang ia yang tak kuharap


Ia yang tak berharga
Ia yang buatku gelisah tak berarah
Ya,, ku akui ini diriku
Aku yang tak mengerti akan diriku sendiri
Aku yang selalu hilang syukurku

Aku yang hitam


Aku yang putih
Aku yang pekat
Aku yang bersinar

Terkadang Hitam pekat menyatu dalam batinku


Terkadang jua Putih sinar membalut hatiku
Kupandang dunia terasa membelenggu
Kulupakan akhirat yang benar-benar tersirat

Aku buta karena dunia


Dunia telah menuntunku pada fatamorgana
Dunia yang kini hanya ada dipikirku
Bantu aku jauhinya Tuhan

Sungguh aku lelah


Aku yang selalu tunduk di bawahnya
Bantu aku lupakannya Tuhan
Aku hanya ingin berada di bawahMu Tuhan
Tuntun aku hingga mengerti
Mengerti makna AKHIRAT itu lebih mulia
Daripada DUNIA

Buah karyaku
Sebuah karyaku itu aku tulis sebagai harapku, harapku agar aku tidak terlalu terbebani masalah
duniawi, semua masalah itu merenggut persiapanku hidup di akhirat sana, yang jauh lebih kekal. Aku tak
inginkan masalah duniawi mengatur kehidupanku, mengusik hari-hariku yang singkat di dunia ini. Kini
kuambil hikmah dari semua permasalahan yang menghampiriku. Aku hanya bisa berserah diri akan
semua jalan yang Kau berikan, dengan penuh rasa syukur dan berusaha semampuku keluar dari
keduniawian yang membelengguku. DUNIA ini bak titik di sebuah kanvas putih yang luas, sedangkan
AKHIRAT itu sendiri ialah kanvasnya.

Anda mungkin juga menyukai