Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN FINAL PRAKTIKUM

OPERASI TEKNIK KIMIA II


PROGRAM STUDI D-III TEKNIK KIMIA

MODUL: ADSORPSI

DOSEN PENGAMPU:
NURFATIHAYATI, S.T., M.T

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3 KELAS A

No Nama NIM
1 Indra Saputra 2107035436
2 M Lakim Zulkarnain 2107026490
3 Regina Ronatama 2107035928

LABORATORIUM DASAR PROSES DAN OPERASI PABRIK


JURUSAN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
2023
ABSTRAK
Adsorpsi adalah suatu proses penyerapan oleh padatan tertentu terhadap zat tertentu
yang terjadi pada permukaan zat padat karena adanya gaya tarik atom atau molekul
pada permukaan zat padat tanpa meresap kedalam. Peristiwa adsorpsi dipengaruhi
oleh luas permukaan, sifat fisik dan sifat kimia adsorben. Percobaan ini bertujuan
untuk mempelajari proses penyerapan dengan menggunakan adsorben zeolit dan
mengukur kandungan ion-ion yang terserap dalam adsorben menggunakan
konduktometer serta menghitung konduktivitas molar dari proses adsorpsi.
Percobaan dilakukan dengan mengalirkan larutan Ca(OH)2 0,015 M ke kolom yang
diisi zeolit dengan bervariasi tinggi unggun yaitu 8 cm, 11 cm dan 13 cm. Nilai
konduktivitas molar tertinggi terdapat pada tinggi unggun 13 cm yaitu sebesar 17,3
S.cm2/mol sedangkan nilai konduktivitas molar terendah terdapat pada tinggi unggun
8 cm yaitu sebesar 17,1 S.cm2/mol. Jadi, dapat disimpulkan apabila zeolit yang
digunakan lebih banyak/tinggi maka jarak yang ditempuh pada saat proses adsorpsi
akan lebih lama yang dapat menyebabkan banyaknya larutan Ca(OH)2 yang akan
terjerap dan berdifusi ke dalam pori pori zeolit.
Kata Kunci : Adsorpsi, Konduktivitas, Konduktivitas molar, Laju alir.

ABSTRACT
Adsorption is a process of absorption by certain solids to certain substances that
occur on solid surfaces because of their attractive force of atoms or molecules on
solid surfaces without seep into. Events adsorption is influenced by the surface area,
the nature of the physical and chemical properties of the adsorbent. The goal of this
experiment is to investigate the absorption process using a zeolite adsorbent,
quantify the amount of ions absorbed in the adsorbent using a conductometer, and
determine the adsorption process' molar conductivity. Flowing 0.015 M Ca(OH)2
solution into a zeolite column with varying bed heights of 8 cm, 11 cm, and 13 cm
was used to conduct the experiment. The maximum molar conductivity value, 17,4
S.cm2/mol, was obtained in the 8 cm bed height. The lowest molar conductivity value
37,2 S.cm2/mol, was discovered at a height of 13 cm. As a result, if more/higher
zeolite is utilized, the distance traveled during the adsorption process will be longer,
potentially causing a large amount of Ca(OH)2 solution to be absorbed and diffuse
into the zeolite pores.
Keywords: Adsorption, Conductivity, Molar conductivity, Flow rate.

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
ABSTRAK ........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Tujuan Percobaan ................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3
2.1 Adsorpsi ................................................................................................ 3
2.2 Jenis Adsorpsi ....................................................................................... 4
2.3 Mekanisme Adsorpsi ............................................................................. 5
2.4 Faktor yang mempengaruhi proses Adsorpsi ........................................ 5
2.5 Isotherm Adsorpsi ................................................................................. 7
2.6 Bilangan Reynold .................................................................................. 8
2.7 Jenis Aliran............................................................................................9
2.8 Proses Penyerapan dengan Absorben Zeolit....................................... 10
BAB III METODOLOGI PERCOBAAN ...................................................... 11
3.1 Alat ...................................................................................................... 11
3.2 Bahan .................................................................................................. 11
3.3 Prosedur Percobaan ............................................................................. 11
3.3.1 Prosedur 1 ..................................................................................... 11
3.3.2 Prosedur 2 ...................................................................................... 11
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 13
4.1 Hasil Percobaan ................................................................................... 13
4.2 Pembahasan ......................................................................................... 14
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 18
5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 18
5.2 Saran .................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 19

iii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A LAPORAN SEMENTARA ...................................................... 20
LAMPIRAN B LEMBAR PERHITUNGAN .................................................... 21
LAMPIRAN C DOKUMENTASI ..................................................................... 25

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berbagai peristiwa dalam kehidupan tidak lepas dari reaksi kimia, salah
satunya adalah proses adsorpsi. Adsorpsi merupakan suatu proses penggumpalan
substansi terlarut yang ada dalam larutan, oleh permukaan zat atau benda penyerap,
dimana terjadi suatu ikatan kimia fisika antara substansi dengan penyerapannya. Zat
yang diserap oleh suatu benda penyerap disebut sebagai adsorbat. Sedangkan benda
penyerap disebut sebagai adsorben. Karbon aktif dan zeolit merupakan adsorben
yang paling sering digunakan dalam proses adsorpsi. Contoh penggunaan karbon
aktif dalam proses adsorpsi yaitu pada proses pengolahan limbah cair dari industri
tekstil dan batik (Agustina, 2015).
Berdasarkan peranan dan fungsi dari aplikasi adsorpsi itu sendiri dalam
kehidupan sehari-hari, maka perlu dilakukan percobaan adsorpsi pada Larutan untuk
mengetahui dan mempelajari lebih lanjut mengenai proses adsorpsi. Percobaan ini
menggunakan zeolit sebagai adsorben, serta larutan Ca(OH)2 sebagai zat yang akan
diadsorpsi. Zeolit yang akan digunakan divariasikan tinggi, serta jumlah larutan awal
juga dibuat bervariasi. Hal ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang
mempengaruhi proses adsorpsi (Agustina, 2015).
Adsorpsi adalah peristiwa penjerapan unsur atau senyawa di permukaan oleh
suatu adsorben. Adsorpsi terjadi karena adsorben memiliki gaya van der waals pada
molekul-molekulnya, dimana gaya tersebut menyebabkan molekul- molekul dari zat
yang diadsorpsi terikat pada permukaan adsorben. Apabila adsorbat dan permukaan
adsorben hanya terikat oleh gaya van der waals saja maka dinamakan adsorpsi fisis
atau adsorpsi van der waals. Molekul yang teradsorpsi terikat pada permukaan secara
lemah dan panas adsorpsinya rendah. Proses adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain jumlah adsorben yang digunakan, pH, waktu, kecepatan
pengadukan dan suhu (Agustina 2015).
Adsorpsi adalah salah satu proses yang terjadi ketika suatu fluida (cairan
maupun gas) terikat kepada suatu padatan dan akhirnya membentuk suatu film
(lapisan tipis) pada permukaan padatan tersebut. Dalam adsorpsi digunakan istilah

1
2

adsorbat dan adsorben, dimana adsorbat adalah substansi yang akan dipisahkan dari
pelarutnya, sedangkan adsorben adalah suatu media penyerap yang dalam hal ini
berupa padatan zeolit (Agustina, 2015).
Adsorben merupakan zat padat yang dapat menyerap komponen tertentu dari
suatu fase fluida. Adsorben biasanya menggunakan bahan-bahan yang memiliki pori-
pori sehingga proses adsorpsi terjadi di pori-pori atau pada letak-letak tertentu di
dalam partikel tersebut. Pada umumnya pori-pori yang terdapat di adsorben biasanya
sangat kecil, sehingga luas permukaan dalam menjadi lebih besar dari pada
permukaan luar. Pemisahan terjadi karena perbedaan bobot molekul atau karena
perbedaan polaritas yang menyebabkan sebagian molekul melekat pada permukaan
tersebut lebih erat dari pada molekul lainnya (Rahmi dan Sajidah, 2017).
Adsorban merupakan salah satu faktor terpenting dalam proses adsorpsi karena
adsorban ini akan kontak langsung dan berinteraksi dengan adsorbat yang akan
diserapnya, sehingga banyak faktor yang diperhatikan dalam perkembangan
mensintesis adsorban. pembersih khususnya trisodium fosfat, agar dalam
pemasokannya tidak selalu diimpor dari negara lain. Maka dari itu, pendirian pabrik
trisodium fosfat di Indonesia memiliki peluang yang besar dalam berbagai aspek. Di
samping dapat meningkatkan potensi industri kimia dan memenuhi kebutuhan
trisodium fosfat dalam negeri, pendirian pabrik ini juga menciptakan lapangan kerja
dan menghemat devisa negara (Rahmi dan Sajidah, 2017).

1.2 Tujuan Percobaan


1. Menentukan laju alur dengan menggunakan flowmeter manual.
2. Mengkalibrasi alat flowmeter.
3. Menjelaskan berbagai jenis aliran.
4. Menghitung bilangan reynold.
5. Menjelaskan proses penyerapan dengan menggunakan adsorben zeolit.
6. Mengukur kadar ion-ion yang terjerap dalam adsorben.
7. Menghitung konduktivitas molar dari proses adsorpsi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Adsorpsi
Adsorpsi adalah serangkaian proses yang terdiri dari reaksi permukaan zat
padat (adsorben) dengan melibatkan pencemar (adsorbat), baik dalam keadaan fase
cair maupun gas. Proses adsorpsi terjadi disebabkan oleh tarikan antar adsorbat dan
permukaan adsorben dimana menggunakan media yang tidak mudah larut untuk
menghilangkan ion positif atau negatif dari larutan elektrolit dan melepaskan ion-ion
yang bermuatan sejenis dalam larutan tersebut. Proses adsorpsi merupakan proses
yang kompleks, sering terjadi sejumlah pertukaran ion sederhana dengan beberapa
mineral. Beberapa faktor seperti pH, sifat dan konsentrasi substrat dari ion ion
teradsorpsi, kekuatan ion dan kehadiran ion pengompleks merupakan faktor yang
mempengaruhi proses adsorpsi (Jayarathe dkk, 2017).
Adsorpsi memiliki dua tipe, yaitu adsorpsi fisika dan kimia. Adsorpsi fisika
terjadi akibat adanya gaya van der waals dan gaya elektrostatik antara molekul
adsorbat dan atom penyusun adosrben. Adsorpsi kimia terjadi dari hasil interaksi
kimia antara permukaan adsorben dan adsorbat. Penjerapan ini bersifat reversibel,
yang berarti atom-atom atau ion-ion yang sudah terikat dapat dilepaskan kembali
dengan bantuan pelarut yang memiliki sifat sama dengan atom yang diikat.
Penjerapan secara kimia terjadi bila antara kedua zat terjadi reaksi kimia membentuk
senyawa baru pada permukaan adsorben. Ikatan yang terjadi lebih kuat dan bersifat
reversibel, karena pada pembentukannya diperlukan energi yang besarnya relatif
sama dengan energi pada pembentukannya.
Teori-teori adsorpsi zat padat diantaranya sebagai berikut:
a. Adsorpsi bersifat selektif, artinya suatu adsorben dapat menyerap suatu zat
dengan kapasitas tapi pada saat yang sama adsorben tersebut tidak
menyerapzat-zat tertentu lainnya.
b. Kecepatan adsorpsi berkurang dengan semakin banyaknya zat yang diserap.
c. Jumlah zat yang diserap tergantung temperatur, semakin jauh jarak antara
temperatur penyerapan dan temperatur ktritis, maka semakin sedikit jumlah zat
yang diserap (Kusuma dkk, 2014).

3
4

Proses adsorpsi dipengaruhi oleh luas permukaan adsorben, semakin poros


adsorben, maka daya adsorpsinya semakin besar. Adsorben padat yang baik ialah
yang memiliki porositas tinggi dan permukaan yang sangat luas sehingga adsorpsi
terjadi pada banyak tempat. Pengaruh konsentrasi dan luas permukaan juga
berpengaruh dalam proses adsorpsi, semakin besar konsentrasi adsorbat maka
semakin banyak adsorbat yang teradsorpsi dan semakin besar luas permukaan
adsorben, maka adsorpsinya juga semakin besar (Kusuma dkk, 2014).

2.2 Jenis Adsorpsi


Berdasarkan interaksi molekular antara permukaan adsorben dengan adsorbat,
adsorpsi dibagi menjadi dua bagian yaitu adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia
(Laksono, 2002) :
1. Adsorpsi Fisika
Adsorpsi fisika merupakan interaksi yang terjadi antara adsorben dan adsorbat
yang melibatkan gaya van der waals, dimana ketika gaya tarik molekul antara larutan
dan permukaan media lebih besar daripada gaya tarik substansi terlarut dan
larutan,maka substansi terlarut akan diadsorpsi oleh permukaan media. Adsorpsi
fisika ini memiliki gaya tarik van der waals yang kekuatannya relatif kecil. Molekul
terikat sangat lemah dan energi yang dilepaskan pada adsorpsi fisika relatif rendah
sekitar 20 kj/mol. Pada adsorpsi fisika ini dapat membentuk lapisan multilayer serta
jumlah adsorpsi pada permukaan tersebut merupakan fungsi adsorbat. Selain itu
adsorpsi fisika tidak melibatkan energi aktivasi tertentu. Adsorpsi fisika terjadi pada
suhu dibawah titik didih adsorbat.
2. Adsorpsi Kimia
Adsorpsi kimia terjadi ketika terbentuknya ikatan kimia (bukan ikatan van der
waals) antara senyawa terlarut dalam larutan dengan molekul dalam media. Adsorpsi
kimia terjadi diawali dengan adsorpsi fisik, yaitu partikel adsorbat tertarik ke
permukaan adsorben melalui gaya van der waals atau bisa melalui ikatan hidrogen.
Dalam chemisorpsi partikel melekat pada permukaan dengan membentuk ikatan
kimia (biasanya ikatan kovalen), dan cenderung mencari tempat yang
memaksimumkan bilangan koordinasi dengan substrat. Pada adsorpsi kimia akan
membentuk lapisan monolayer. Pada adsorpsi ini akan melibatkan energi aktivasi
tertentu. Adsorpsi kimia terjadi pada suhu tinggi. Adsorpsi kimia ikatan sangat
5

berperan dan merupakan resultan dari suatu transfer atau suatu penempatan elektron
dalam reaksi antara adsorbat dan adsorben. Kekuatan ikatan dalam chemisorpsi
menjadi lebih penting dibandingkan pada phisisorpsi. Keadaan molekul dari adsorbat
akan berbeda dari keadaan awalnya. Atom permukaan mempunyai suatu karakter
elektronik tidak jenuh dengan kehadiran beberapa kekosongan (valensi bebas).
Pembentukan lapisan sempurna dari molekul yang diadsorpsi secara kimia.

2.3 Mekanisme Adsorpsi


Proses adsorpsi dapat berlangsung jika padatan atau molekul gas atau cair
dikontakkan dengan molekul-molekul adsorbat, sehingga didalamnya terjadi gaya
kohesif atau gaya hidrostatik dan gaya ikatan hidrogen yang bekerja diantara molekul
seluruh material. Gaya-gaya yang tidak seimbang menyebabkan perubahan-
perubahan konsentrasi molekul pada interface solid atau fluida. Molekul fluida yang
diserap tetapi tidak terakumulasi/melekat ke permukaan adsorben disebut adsorptif
sedangkan yang terakumulasi/melekat disebut adsorbat (Ginting, 2008).
Proses adsorpsi menunjukan dimana molekul akan meninggalkan larutan dan
menempel pada permukaan zat adsorben akibat rekasi kimia dan fisika. Proses
adsorpsi tergantung pada sifat zat padat yang mengadsorpsi, sifat antar molekul yang
diserap, konsentrasi, temperatur dan lain-lain (Ginting, 2008).

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Proses Adsorpsi


Dalam proses adsorpsi banyak faktor yang dapat mempengaruhi laju proses
adsorpsi dan banyaknya adsorbat yang dapat dijerap. Menurut Nafis, (2017) adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi sebagai berikut:
1. Agitasi
Agitasi adalah keadaan bergolak atau bisa disebut turbulen. Laju proses
adsorpsi dikendalikan oleh difusi lapisan dan difusi pori, tergantung pada keadaan
larutan, tenang atau bergolak/turbulen.
2. Karakteristik Adsorben
Karakteristik adsorben yang mempengaruhi laju adsorpsi adalah ukuran dan
luas permukaan partikel. Semakin kecil adsorben maka laju adsorpsi akan semakin
cepat, sementara semakin luas permukaan adsorben maka jumlah partikel adsorbat
yang diserap akan semakin banyak.
6

3. Kelarutan Adsorbat
Proses adsorpsi terjadi saat adsorbat terpisah dari larutan dan menempel di
permukaan adsorben. Partikel adsorbat yang terlarut memiliki afinitas yang kuat.
Tetapi ada pengecualian, beberapa senyawa yang sedikit larut sulit untuk diserap,
sedangkan ada beberapa senyawa yang sangat larut namun mudah untuk diserap.
4. Ukuran Pori Adsorben
Ukuran pori merupakan salah satu faktor penting dalam proses adsorpsi, karena
senyawa adsorbat harus masuk ke dalam pori adsorben. Proses adsorpsi akan lancar
apabila ukuran pori dari adsorben cukup besar untuk dapat memasukan adsorbat ke
dalam pori adsorben. Kebanyakan air limbah mengandung berbagai ukuran partikel
adsorbat. Keadaan ini dapat merugikan, karena partikel yang lebih besar akan
menghalangi partikel kecil untuk dapat masuk ke dalam pori adsorben. Akan tetapi
gerakan konstan dari partikel adsorbat dapat mencegah terjadinya penyumbatan.
Gerakan partikel kecil yang cepat membuat partikel adsorbat yang lebih kecil akan
terdifusi lebih cepat ke dalam pori.
5. pH
pH memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkat proses adsorpsi, disebabkan
ion hidrogen dapat menjerap dengan kuat, selain itu pH juga dapat mempengaruhi
ionisasi. Senyawa organik asam lebih mudah diadsorpsi pada suasana pH rendah,
sedangkan senyawa organik basa lebih mudah di adsorpsi pada suasana pH tinggi.
Nilai optimum pH bisa ditentukan dengan melakukan pengujian di laboratorium.
6. Temperatur
Temperatur dapat mempengaruhi laju adsorpsi. Laju adsorpsi akan meningkat
dengan meningkatnya temperatur, begitu pula sebaliknya. Proses adsorpsi
merupakan proses eksotermik, maka derajat adsorpsi akan meningkat saat temperatur
rendah dan turun pada temperatur tinggi.
7. Waktu Kontak
Waktu kontak mempengaruhi banyaknya adsorbat yang terserap, disebabkan
perbedaan kemampuan adsorben dalam menyerap adsorbat berbeda-beda. Kondisi
eqibrilium akan dicapai pada waktu yang tidak lebih dari 150 menit, setelah waktu
itu jumlah adsorbat yang terserap tidak signifikan berubah terhadap waktu.
7

2.5 Isotherm Adsorpsi


Isoterm adsorpsi adalah hubungan keseimbangan antara konsentrasi dalam gas
fluida dan konsentrasi dalam adsorben pada suhu tertentu. Isoterm adsorpsi
menggambarkan proses distribusi adsorbat diantara fase cair dan fase padat. Dalam
isoterm adsorpsi proses tersebut digambarkan dengan sebuah persamaan atau rumus.
Isoterm adsorpsi yang umum digunakan adalah isoterm freundlich, isoterm langmuir
dan isoterm BET (Kusuma dkk, 2014).
Isoterm freundlich sering digunakan untuk menggambarkan adsorpsi senyawa
organik dan anorganik dalam larutan. Asumsi dari isoterm ini didasarkan bahwa ada
permukaan heterogen dengan beberapa tipe pusat adsorpsi yang aktif. Sifat heterogen
tersebut yang memiliki makna bahwa setiap gugus aktif di permukaan adsorben
memiliki kemampuan mengadsorpsi yang berbeda-beda. Model isoterm adsorpsi
freundlich juga diterapkan untuk mengetahui proses adsorpsi berlangsung secara
multilayer atau monolayer (Kusuma dkk,2014).
Menurut Kusuma dkk, (2015), Persamaan langmuir menunjukkan adsorpsi
yang terjadi pada permukaan adsorben, Seluruh permukaan adsorben akan tertutupi
oleh adsorbat dengan suatu lapisan tunggal atau monolayer. Isoterm langmuir
menganggap bahwa permukaan adsorben bersifat homogen dimana pada permukaan
tempat tejadinya adsorpsi mempunyai energi yang sama besar di semua titik. Model
langmuir dibuat berdasarkan asumsi bahwa dinding sites terdistribusi secara
homogen di seluruh permukaan adsorben, dimana adsorpsi terjadi pada satu lapisan
(single layer). Teori adsorpsi dari langmuir yang berdasarkan teori kinetik gas, lebih
membahas adsorpsi gas pada zat padat dan dalam penggunaannya harus berasumsi
pada :
1. Partikel yang diadsorpsi terletak pada substrat yang terlokalisir (pada ketebalan
tertentu) dan homogen.
2. Setiap site hanya mungkin ditempati oleh 1 partikel adsorbat.
3. Gas yang teradsorpsi bersifat ideal, artinya tidak ada interaksi diantara
molekul- molekul adsorbat.
4. Tidak terjadi antaraksi antara molekul substrat dan partikel adsorbat, atau tidak
terjadi pertukaran energi, jika terjadi tumbukan maka tumbukannya elastis
sempurna dan laju adsorpsi sama dengan laju desorpsi.
8

2.6 Bilangan Reynold


Bilangan reynold merupakan bilangan tidak berdimensi yang berfungsi
menggambarkan rezim suatu aliran fluida dalam saluran maupun permukaan benda.
Bentuk profil aliran dalam saluran akan mempengaruhi kecepatan pendistribusian
fluida (Munson dkk, 2003). Untuk mengetahui kondisi aliran tersebut maka dapat
digunakan Osborne Reynold Apparatus. Percobaan Osborne Reynold digunakan
untuk menyelidiki karakteristik aliran fluida dalam pipa yang juga digunakan untuk
menentukan angka reynold pada suatu aliran. Desain dari alat yang dirancang akan
memudahkan dalam mempelajari karakteristik aliran fluida dalam pipa, profil aliran
dan juga untuk menghitung sifat aliran untuk laminar, aliran transisi dan turbulen
dengan nilai reynold yang tidak memiliki dimensi serta menggunakan rumus
bilangan reynold (Taufik, 2011).
Karakteristik dan jenis profil aliran pada saluran tertutup merupakan faktor
penting dalam proses pengaliran fluida. Jenis profil aliran yang terjadi dibedakan
menjadi aliran laminar, transisi dan turbulen. Untuk mengetahui karakteristik profil
aliran pada fluida dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui pengamatan dan
perhitungan (teoritis). Pengamatan dapat dilakukan dengan cara melihat pergerakan
aliran yang terjadi, keadaan yang dapat terjadi adalah aliran membentuk garis
lintasan yang teratur untuk aliran laminar dan aliran yang tidak teratur atau
membentuk garis putus-putus untuk aliran turbulen. Sedangkan dengan perhitungan
dapat menggunakan persamaan bilangan Reynolds (Munson dkk, 2003).
Reynold number (Re) atau bilangan reynold untuk membedakan antara aliran
laminar, transisi, dan turbulen maka digunakan bilangan tak berdimensi, yaitu
bilangan reynold, yang merupakan perbandingan antara gaya inersia dengan gaya
viskos. Jadi, rumus bilangan reynold adalah :

Re = .......................................................................................................... (2.1)

dan
................................................................................................... (2.2)
Persamaaan 2.1 dan 2.2 di subtitusi, maka menghasilkan persamaan sebagai berikut :
Re = .......................................................................................................... (2.3)
9

Dimana :
D = Diameter Penampang Saluran (m)
ṁ = Laju Massa Fluida (kg/s)
= Viskositas (kg/s m)
= Massa Jenis Fluida (kg/m³)
Pada aliran laminar molekul molekul fluida mengalir mengikuti garis-garis
aliran secara teratur. Aliran turbulen terjadi saat molekul molekul fluida mengalir
secara acak tanpa mengikuti garis aliran. Aliran transisi adalah aliran yang berada
diantara kondisi laminar dan turbulen, biasanya pada kondisi ini aliran berubah-ubah
antara transien dan turbulen sebelum benar-benar memasuki daerah turbulen penuh.
Nilai bilangan reynold yang kecil (< 2100) menunjukkan aliran bersifat laminar
sedangkan nilai yang besar menunjukkan aliran turbulen (> 4000). Nilai bilangan
reynold saat aliran menjadi turbulen disebut bilangan reynold kritis yang nilainya
berbeda-beda tergantung bentuk geometrinya (Incroperara dan Witt, 2011).

2.7 Jenis Aliran


Aliran laminar dan turbulen ini dibedakan berdasarkan pada karakteristik
internal aliran. Umumnya klasifikasi ini bergantung pada gangguan-gangguan yang
dapat dialami oleh suatu aliran yang mempengaruhi gerak dari partikel-partikel
fluida tersebut. Apabila aliran mempunyai kecepatan relatif rendah atau fluidanya
sangat viscous, gangguan yang mungkin dialami oleh medan aliran akibat getaran,
ketidakteraturan permukaan batas dan sebagainya, relatif lebih cepat teredam oleh
viskositas fluida tersebut dan aliran fluida tersebut disebut aliran laminar
(Pamungkas, 2009).
Fluida dapat dianggap bergerak dalam bentuk lapisan-lapisan dengan
pertukaran molekuler yang hanya terjadi diantara lapisan-lapisan yang berbatasan
untuk kondisi tersebut. Gangguan yang timbul semakin besar hingga tercapai kondisi
peralihan pada kecepatan aliran yang bertambah besar atau efek viskositas yang
berkurang. Terlampauinya kondisi peralihan menyebabkan sebagian gangguan
tersebut menjadi semakin kuat, di mana partikel bergerak secara fluktuasi atau acak
dan terjadi percampuran gerak partikel antara lapisan-lapisan yang berbatasan.
Kondisi aliran yang demikian disebut dengan aliran turbulen. Perbedaan yang
mendasar antara aliran laminar dan turbulen adalah bahwa gerak acak pada aliran
10

turbulen jauh lebih efektif dalam pengangkutan massa serta momentum fluidanya
daripada gerak molekulernya. Tidak ada hubungan yang bisa dipastikan secara
teoritis antara medan tekanan dan kecepatan rata-rata pada aliran turbulen sehingga
pada analisa aliran turbulen dilakukan dengan pendekatan 15 setengah empiris.
Kondisi aliran yang laminar dan turbulen ini dapat dinyatakan dengan bilangan
reynold (Pamungkas, 2009).

2.8 Proses Penyerapan dengan Menggunakan Adsorben Zeolit


Proses pemurnian dengan zeolit ini menggunakan prinsip penyerapan
permukaan. Zeolit adalah mineral yang memiliki pori-pori berukuran sangat kecil.
Sampai saat ini ada lebih dari 150 jenis zeolit sintetis. Di alam, zeolit terbentuk dari
abu lahar dan materi letusan gunung berapi. Zeolit juga bisa terbentuk dari materi
dasar laut yang terkumpul selama ribuan tahun (Suwarji, 2009)
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat
1. Gelas Beaker 1000 ml
2. Gelas Ukur 250 ml, 2000 ml
3. Corong
4. Selang air
5. Ember
6. Stopwatch ( menggunakan HP)
7. Rangkaian Alat Adsorpsi
8. Conductivity Meter

3.2 Bahan
1. Zeolit
2. Ca(OH)2
3. Aquadest
3.3 Prosedur Percobaan
3.3.1 Prosedur Percobaan 1
1. Dikalibrasi flowmeter menggunakan aquadest hingga bersih.
2. Dilewatkan air kedalam flowmeter dengan waktu 20 detik, 30 detik, dan 40
detik.
3. Digunakan stopwatch untuk melihat waktu dan menghentikan proses
pengaliran hingga waktu yang ditentukan tercapai.
4. Diukur dan dicatat volume air setelah waktu 20 detik, 30 detik, dan 40 detik
tercapai.
3.3.2 Prosedur Percobaan 2
1. Ditimbang Ca(OH)2 menggunakan timbangan, lalu aquadest sebanyak 2500 ml
dimasukkan kedalam wadah untuk melarutkan padatan Ca(OH)2 dan dilarutkan
hingga homogen.
2. Diisi adsorben zeolit pada variabel laju alir adsorbat dengan tinggi 12 cm
dengan banyak sampel umpan yang digunakan sebanyak 200 ml, 400 ml, dan
600 ml.

11
12

3. Diisi zeolit pada variabel tinggi padatan adsorben dalam kolom adsorpsi
dengan tinggi 8 cm, 11 cm dan 13 cm dengan banyak sampel umpan yang
digunakan adalah 300 ml.
4. Diukur dan dicatat volume yang keluar dan waktu yang dibutuhkan untuk
sampel umpan yang diumpankan habis mengaliri kolom adsorpsi.
5. Dianalisa kadar ion larutan sampel yang keluar dari kolom adsorpsi dengan
menggunakan konduktometer.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Percobaan
Dari hasil percobaan dalam menentukan laju alir pada percobaan pertama, jenis
aliran yang didapatkan yaitu laminar dan transisi dengan bilangan reynold pada
1.864, 1.994 dan 2.573. Pada percobaan kedua variabel A didapatkan bahwa dengan
tinggi adsorben yang sama variasi volume yang berbeda, semakin banyak volume
sampel maka conductivity molar akan semakin tinggi juga. Pada variabel B
didapatkan dengan volume sampel yang sama variasi tinggi adsorben yang berbeda
semakin tinggi adsorbennya maka semakin kecil conductivity molarnya dan adsorbat
yang keluar semakin jernih.
Tabel 4.1 Hasil percobaan 1
No Volume Waktu Laju Alir NRe Jenis
Air(ml) (menit) (ml/menit) Aliran
1 290 0,33 878,78 1864 Laminar
2 470 0,5 940 1994 Laminar
3 800 0,66 1212,12 2573 Transisi

Tabel 4.2 Hasil percobaan 2, variabel yang diamati adalah laju alir adsorbat
Banyak Volume Sampel keluar Laju alir
nya Tinggi sampel kolom (diukur adsorbat ∆𝑀
No sampel Adsorben Waktu keluar dari dengan (ml/menit) (𝑆.𝑐 2/
umpan (cm) (menit) kolom Conductivity) 𝑜𝑙)
(ml) (ml)
1 200 12 0,29 195 0,00018 672,41 18
2 400 12 0,40 395 0,000176 987,41 17,6
3 600 12 0,58 590 0,000172 1017,24 17,2

Tabel 4.3 Hasil percobaan 2, variabel yang diamati adalah tinggi padatan
adsorben dalam kolom adsorpsi
Banyak Volume Sampel keluar Laju alir
nya Tinggi Waktu sampel kolom adsorbat ∆𝑀
No sampel Adsorben (menit) keluar (diukur (ml/menit) (S.𝑐 2/
o𝑙)
umpan (cm) dari kolom dengan
(ml) (ml) Conductivity)
1 300 8 0,297 290 0,000171 1000 17,1
2 300 11 0,287 295 0,000172 882,35 17,2
2 300 13 0,286 295 0,000173 857,14 17,3

13
14

4.2 Pembahasan
Pada percobaan ini dimulai dengan menentukan laju alir dan mengetahui jenis
aliran dari hasil perhitungan bilangan reynold menggunakan air sebagai bahannya.
Pada percobaan ini digunakan larutan Ca(OH)2 yang termasuk basa kuat, dimana
larutan tersebut merupakan larutan elektrolit kuat. Oleh karena itu, pada percobaan
selanjutnya yaitu menentukan konduktivitas molar larutan Ca(OH)2 dari proses
adsorpsi. Konduktivitas molar merupakan ukuran kemapuan untuk menghantarkan
listrik yang diberikan oleh satu mol ion dari suatu larutan. Semakin banyak jumlah
ion yang ada dalam larutan maka semakin besar daya hantar listriknya. Tahapan
proses adsorpsi mula-mula dengan membuat larutan standart Ca(OH)2 0,015 M
sebanyak 2500 ml, didapatkan larutan berwarna putih keruh. Selanjutnya proses
adsorpsi dilakukan dengan mengalirkan larutan Ca(OH)2 dengan variasi volume 200
ml, 400 ml, dan 600 ml pada kolom adsorpsi dengan tinggi adsorben (zeolit) yang
sama yaitu 12 cm di setiap pengulangan, kemudian dihitung waktu yang didapat
menggunakan stopwatch dan ukur volume adsorbat yang keluar menggunakan gelas
ukur. Didapatkan laju alir masing-masing volume yaitu 9 2 8 , 9 ml/menit ; 1098,9
ml/menit ; d a n 844,4 ml/menit.
Dari hasil tersebut, didapatkan bahwa konduktivitas molar berbanding lurus
terhadap laju alir. Semakin besar laju alir larutan tersebut, maka semakin besar juga
konduktivitas molar yang didapatkan begitupun sebaliknya. Dari data yang
didapatkan juga memiliki hubungan antara konduktivitas molar terhadap waktu,
adapun grafik hubungan antara konduktivitas molar terhadap waktu yang disajikan
pada Gambar 4.1

0,000182
0,00018
Konduktivitas
(S.cm2/mol)

0,000178
0,000176
0,000174
0,000172
0,00017
0 0,2 0,4 0,6 0,8
Waktu (Menit)

Gambar 4.1 Grafik hubungan antara konduktivitas molar


terhadap waktu pada variabel A
15

Berdasarkan Gambar 4.1 terlihat bahwa nilai konduktivitas molar tertinggi


sebesar 18 S.cm2/mol terjadi pada saat laju alir 672,41 ml/menit dengan volume
sebanyak 200 ml dalam waktu 0,29 menit. Sedangkan nilai konduktivitas molar
terendah sebesar 17,2 S.cm2/mol terjadi pada saat laju alir 987,5 ml/menit dan
1017,24 ml/menit dengan volume sebanyak 400 ml dan 600 ml dalam waktu 0,40
menit dan 0,58 menit.
Hasil tersebut diketahui bahwa nilai konduktivitas molar berbanding terbalik
terhadap waktu dan laju alir, hal tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor,
diantaranya karena proses perhitungan waktu yang kurang teliti ataupun pembacaan
pada alat konduktometer yang kurang tepat, dimana larutan Ca(OH)2 yang
bersentuhan dengan adsorben (zeolit) banyak ion-ion nya masih tidak terjerat dan
berdifusi setelah melewati zeolit sehingga larutan yang keluar (adsorbat) masih
berwarna putih keruh (tidak jernih).
Percobaan selanjutnya dengan variasi tinggi adsorben (zeolit) yaitu 8 cm, 10
cm, dan 12 cm dengan volume yang digunakan sama sebesar 300 ml di setiap
pengulangan. Didapatkan laju alir pada tinggi zeolit 8 cm, 10 cm, dan 12 cm
sebesar 1030,9 ml/menit; 1045,2 ml/menit; dan 1086,9 ml/menit. Dan konduktivitas
molar masing-masing pada tinggi zeolit 8 cm, 10 cm, dan 12 cm sebesar 37,2
S.cm2/mol; 39,4 S.cm2/mol dan 37,4 S.cm2/mol. Dari hasil tersebut, didapatkan
bahwa konduktivitas molar tidak berbanding lurus terhadap laju alir. Dari data yang
didapatkan juga memiliki hubungan antara konduktivitas molar terhadap waktu,
adapun grafik hubungan antara konduktivitas molar terhadap waktu yang disajikan
pada Gambar 4.2

0,0001735
0,000173
Konduktivitas
(S.cm2/mol)

0,0001725
0,000172
0,0001715
0,000171
0,0001705
0,27 0,28 0,29 0,3
Waktu (Menit)

Gambar 4.2 Grafik hubungan antara konduktivitas molar


terhadap waktu pada variabel B
15

Berdasarkan Gambar 4.2 terlihat bahwa nilai konduktivitas molar tertinggi


sebesar yaitu 17,3 S.cm2/mol terjadi pada saat laju alir 857,14 ml/menit dengan
volume sebanyak 300 ml dalam waktu 0,27 menit dan tinggi zeolit 13 cm.
Sedangkan nilai konduktivitas molar terendah sebesar 17,1 S.cm2/mol terjadi pada
saat laju alir 1000 ml/menit dengan volume sebanyak 300 ml dalam waktu 0,29
menit dan tinggi zeolit 8 cm. Dari hasil tersebut diketahui bahwa nilai konduktivitas
molar berbanding terbalik, Hasil tersebut sudah sesuai secara teori hasil yang
diperoleh akan berbanding terbalik terhadap waktu, dimana laju alir yang kecil
dengan waktu yang lama tersebut karena tinggi zeolit yang digunakan bertambah
selama proses pada percobaan. Sehingga dari hal tersebut pada saat tinggi zeolit 8
cm waktu yang dibutuhkan larutan Ca(OH)2 untuk berkontak atau bersentuhan
dengan adsorben (zeolit) akan semakin cepat sehingga banyaknya ion ion yang
terdapat pada larutan tidak akan terjerap dan berdifusi setelah melewati zeolit.
Sedangkan pada saat tinggi zeolit 13 cm nilai konduktivitas mengalami penurunan
dikarenakan larutan Ca(OH)2 berkotak dengan zeolit yang ditambahkan semakin
lama, maka semakin banyak terjadi pertukaran ion Ca2+ dengan ion Na+ yang
terdapat pada zeolit. Sehingga adsorbat yang keluar semakin jernih dan daya hantar
listrik pada larutan semakin rendah juga.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Laju alir pada percobaan pertama berturut-turut adalah 878,787 ml/menit, 940
ml/menit dan 1212,12 ml/menit. Laju alir pada percobaan 2 dengan variasi laju
alir adsorbat berturut-turut adalah 672,41 ml/menit, 987,41 ml/menit dan
1017,24 ml/menit. Laju alir pada percobaan 2 dengan variasi tinggi adsorben
berturut-turut adalah 1000 ml/menit, 882,35 ml/menit dan 857,14 ml/menit.

2. Kalibrasi flowmeter dilakukan dengan cara mengalirkan aquadest terlebih


dahulu.

3. Jenis aliran pada percobaan pertama adalah laminar, karena berada dibawah
2100 dan transisi karena berada diantara 2100 sampai 4000.

4. Bilangan Reynold yang didapat berturut-turut adalah 1864, 1994 dan 2573.

5. Zeolit merupakan adsorben yang mampu menjerap sejumlah besar molekul


yang berukuran lebih kecil atau sesuai dengan ukuran rongganya karena zeolit
memiliki rongga dan pori.

6. Kadar ion yang terjerap dalam adsorben pada variasi laju alir adsorbat
berturut-turut adalah sebesar 0,000180 S/cm, 0,000176 S/cm dan 0,000172
S/cm. Kadar ion yang terjerap dalam adsorben pada variasi tinggi adsorben
berturutturut adalah 0,000171 S/cm, 0,000172 S/cm dan 0,000173 S/cm.

7. Konduktivitas molar proses adsorpsi pada variasi laju alir berturut-turut adalah
18,0 S.cm2/mol, 17,6 S.cm2/mol dan 17,2 S.cm2/mol. Konduktivitas molar
proses adsorpsi pada variasi tinggi adsorben berturutturut adalah 17,1
S.cm2/mol, 17,2 S.cm2/mol dan 17,3 S.cm2/mol.

5.2 Saran
1. Zeolit harus dicuci bersih agar konduktivitas setelah proses adsorpsi tidak
tertinggal di zeolit.
2. Saat proses pengujian dengan flowmeter manual, tinggi larutan pada alat
diharapkan dalam keadaan konstan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, M. (2015). Efesiensi Penyerapan Logam Pb2+ Dengan Menggunakan


Campuran Bentonit dan Eceng Gondok. Jurnal Teknik Kimia USU. 4(1), 20–
24.

Ginting, F. (2008). Pengajuan Alat Pendingin Sistem Adsorpsi Dua Adsorber dengan
menggunakan Metanol 1000 mL sebagai Refrigeran. Skripsi. Universitas
Indonesia, Jakarta.

Incropera, F dan Witt, D. (2011). Fundamental of Heat and Mass Transfer Seventh
Edition. Wiley, Singapura.

Jayarathne, A., Egodawatta, P dan Goonetilleke, A. (2017). Intrinsic and extrinsic


factors which influence metal adsorption to road dust. Journal Science of the
Total Environment. 618(201), 236-242.

Kusuma, I., Ni Made, W dan I Gusti, L. (2014). Isoterm Adsorpsi Cu2+ oleh
Biomassa Rumput Laut. Journal Kimia Visvitalis Universitas Pendidikan
Ganesha. 2(1), 1-2.

Laksono, E. (2002). Analisis Daya Adsorpsi Suatu Adsorben. Jurnal kimia FMIPA.
13(1), 95-107.

Langenati, R., Rachmad, M., Deni, M., Bangun, W dan Ridwan. (2012). Pengruh
Jenis Adsorben dan Konsentrasi Uranium Terhadap Pemungutan Uranium dari
Larutan Uranil Nitrat. Jurnal Teknik Bahan Nuklir. 8( 2), 1.

Munson, B., Young D., Okiishi T. dan Budiarso, H. (2003). Mekanika Fluida
(Terjemahan), Edisi Keempat, Jilid 2. Erlangga, Jakarta.

Nafis, A. (2017). Pengaruh Penyerapan CO2 terhadap Laju Alir Adsorben Air dan
Kecepatan Alir Udara pada Alat Revamping Adsorber Tipe Sieve Tray, Tugas
Akhir. Politeknik Akamigas Palembang, Palembang.

Pamungkas, D. (2009). Studi Eksperimental Tentang Karakteristik Aliran Fluida


Melintasi Silinder Teriris Tipe-I Didekat Pelat Datar Untuk Lapisan Batas
Laminar dan Turbulen. Tugas Akhir. Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya.

Rahmi, R dan Sajidah, S. (2017). Pemanfaatan Adsorben Alami (Biosorben) Untuk


Mengurangi Kadar Ttimbal (Pb) Dalam Limbah Cair. Seminar Nasional Biotik.
04(01), 125-128.

Suwarji, G. (2009). Teknik Pemurnian Etanol. Laporan Praktikum. Universitas


Sebelas Maret, Surakarta.

19
Taufik, M. (2011). Pembuatan dan Pengujian Osborne Reynlods Apparatus Pipa
Horizontal. Laporan Praktikum. Universitas Andalas, Padang.

Utami, J., Wahyudi, B., Bardi, M dan Gede S. (2013). Prediksi Kesetimbangan
Adsorpsi Uranium pada Air dan Sedimen pada Berbagai pH. Jurnal Rekayasa
Lingkungan. 07(2), 1.

20
LAMPIRAN B
LEMBAR PERHITUNGAN

PERCOBAAN 1
 Laju alir adsorbat dalam 1 menit

a. Q =

= = 878,78 ml/menit

b. Q =

= = 940 ml/menit

c. Q =

= = 1212,12 ml/menit

 Bilangan Reynold
Diket : Densitas air ( ) = 1 gr/cm3
Diameter = 1 cm
Jari – jari = 0,5 cm
Viskositas air ( ) = 0,01 gr/cm.s
Luas permukaan (A) = 𝜋 × 𝑟2 = 3,14 × (0,5)2 = 0,785 cm2
a. Untuk Laju alir 878,78 ml/menit
Q = 878,78 ml/menit = 14,64 cm³/s

V= = = 18,64 cm/s

NRe =

= 1864
b. Untuk Laju alir 940 ml/menit
Q = 940 ml/menit = 15,66 cm³/s

V= = = 19,94 cm/s

NRe =

21
22

= 1994
c. Untuk Laju alir 1212,12 ml/menit
Q = 1212,12 ml/menit = 20,202 cm³/s

V= = = 25,73 cm/s

NRe =

= 2573

Percobaan 2
1. Pembuatan larutan standar Ca(OH)2 0,015 M dalam 2500 ml
M =

0,015 =

gr = 2,77 gram
2. Konduktivitas molar (∆ )
Pada variabel A
 Perhitungan Konsentrasi (C)

0,015 M =

 Konversi conductivity (S)

a. 180 = 0,00018 S/cm

b. 176 = 0,000176 S/cm

c. 172 = 0,000172 S/cm

 Perhitungan conductivity Molar (∆ )


( )
∆ ( )=
( )

1. Pada conductivity 180

2. Pada conductivity 176


23

3. Pada conductivity 172

 Laju Alir

1. Q=

2. Q=

3. Q=

Pada variabel B
 Perhitungan Konsentrasi (C)

0,01 M =

 Konversi conductivity (S)

a. 171 = 0,000171 S/cm

b. 172 = 0,000172 S/cm

c. 173 = 0,000173 S/cm

 Perhitungan Conductivity Molar (∆ )


( )
∆ ( )=
( )

1. Pada conductivity 171

2. Pada conductivity 172

3. Pada conductivity 173


24

 Laju Alir

1. Q =

2. Q =

3. Q =

=
LAMPIRAN C
DOKUMENTASI

Gambar C.1 Bahan Ca(OH)2 Gambar C.2 Larutan Ca(OH)2


Ditimbang Sebanyak 0,1 M Sebanyak
1,85 Gram. 2500 ml.

Gambar C.3 Rangkaian Alat Gambar C.4 Mengkalibrasi Alat


Adsorpsi. Konduktometer
Dengan Aquadest.

25
26

Gambar C.5 Mengukur Kadar Gambar C.6 Tinggi Zeolit Pada


Konduktivitas Kolom Adsorpsi.
Larutan Ca(OH)2.

Gambar C.7 Larutan Ca(OH)2 Gambar C.8 Pengujian Larutan


di Tampung ke Ca(OH)2 Setelah
Dalam Gelas Kimia melewati Kolom
Bersamaan Dengan Dengan Alat
Perhitungan Waktu Konduktometer.
Aliran.

Anda mungkin juga menyukai