Anda di halaman 1dari 8

Ijma’: Pengertian, Contoh, Syarat,

Macam Dan Kedudukan

‫اِإْل ْج َم اُع‬
AL-IJ-MAA’

Ijma’ merupakan salah satu istilah kunci dalam Hukum Islam. Ia merupakan salah satu dalil yang
sangat kuat dalam struktur bangunan Hukum Islam. Oleh karena itu setiap ahli Hukum Islam
pasti memahaminya dengan baik.

Pada kesempatan kali ini, kami akan menyampaikan definisi, contoh, syarat-syarat, macam-
macam dan kedudukan ijma’. Semoga Allah Swt. memberikan kemudahan.

Baca juga: Qiyas: Pengertian, Rukun, Contoh, Kedudukan dan Macam-macamnya

***

A. Pengertian Ijma’
1. Pengertian ijma’ secara bahasa
Secara bahasa, ijma’ itu dua makna:

 tekad yang bulat (azam)


 kesepakatan

Hubungan dua makna di atas: bahwa kesepakatan itu didapatkan karena adanya tekad yang bulat
untuk melaksanakan.

Ijma’ itu dari kata: aj-ma-‘a — yuj-mi-‘u — ij-maa’.

2. Pengertian ijma’ secara istilah


Secara istilah, ijma’ adalah kesepakatan para ulama dari umat Nabi Muhammad Saw. dalam
suatu kasus, setelah wafatnya Nabi Muhamad Saw. pada suatu masa.

Para ulama mendefinisikan ijma’ sebagai berikut:


‫ بعد وفاة‬،‫اجتماع العلماء والمجتهدين من ُأّم ة محّم د صّلى هللا عليه وسلم على أمٍر من األمور واّتفاقهم عليه‬
‫ في عصٍر من العصور‬،‫الّنبّي عليه الّصالة والّسالم‬
“Ijma’ adalah kesepakatan para ulama dari umat Nabi Muhammad Saw. dalam suatu kasus,
setelah wafatnya Nabi Muhamad Saw. pada suatu masa.”

3. Penjelasan pengertian ijma’


Selanjutnya berikut ini sedikit penjelasan mengenai definisi ijma’ di atas:

Kesepakatan para ulama:

Maksudny: bahwa ijma’ itu merupakan kesepakatan para ulama, khususnya para ahli Hukum
Islam. Biasanya mereka disebut sebagai fuqaha’ atau ahli fiqih. Dengan demikian, kesepakatan
para ahli selain fuqaha’ tidak disebut sebagai ijma’ secara istilah.

Dari umat Nabi Muhammad Saw:

Maksudnya: bahwa ijma’ itu merupakan kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama yang
berasal dari umat Nabi Muhammad Saw. yang beriman. Bukan non-muslim. Bukan pula umat
nabi yang lain. Misalnya: umat Nabi Isa, umat Nabi Musa, umat Nabi Sulaiman, dan lain-lain.

Dalam suatu kasus:

Kasus di sini maksudnya adalah: kasus yang berkaitan dengan bahasa, logika, syariat, dan adat
kebiasaan.

Setelah wafatnya Nabi Muhamad Saw.:

Bila suatu ijma’ terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw. masih hidup, maka hal itu tidak
disebut sebagai ijma’ secara istilah. Ijma’ secara bahasa iya, tapi tidak secara istilah.

Pada suatu masa:

Ijma’ itu terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. pada masa manapun. Pada masa
shahabat, tabi’in, maupun setelahnya. Jadi mutlak pada masa manapun, yang penting setelah
wafatnya Nabi Muhammad Saw.

Baca Juga: ‘Urf: Pengertian, Contoh, Syarat, Macam dan Kedudukan

***

B. Contoh Ijma’
Beberapa contoh kami sampaikan dalam beberapa kelompok sebagai berikut:
1. Contoh ijma’ dalam masalah aqidah
– Allah itu bersifat Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Pengampun, tidak beranak, tidak
diperanakkan.

– Al-Qur’an merupakan kalam Allah, bukan hasil karya Nabi Muhammad Saw.

– Nabi Muhammad Saw. adalah utusan Allah.

– Surga dan neraka itu ada.

– Hari kiamat itu pasti akan tiba.

2. Contoh ijma’ dalam masalah ibadah


– Shalat lima waktu itu hukumnya wajib, fardhu ‘ain.

– Puasa Ramadhan itu hukumnya wajib, fardhu ‘ain.

– Shalat Tahajud itu hukumnya sunnah, tidak wajib.

– Shalat sunnah qabliyah shubuh itu hukumnya sunnah muakkadah.

3. Contoh ijma’ dalam masalah ushul fiqih


– Al-Qur’an merupakan dalil hukum yang utama.

– Hadits merupakan dalil hukum yang kedua setelah al-Qur’an.

– Ijtihad itu hanya boleh dilakukan oleh para mujtahid.

Baca Juga: Istihsan: Pengertian, Contoh, Macam-macam dan Kedudukannya

***

C. Syarat-syarat Ijma’
Setiap ijma’ harus memiliki beberapa syarat tertentu sebagai berikut:

1. Kesepakatan dari para mujtahid


Ijma’ itu dilakukan oleh para mujtahid. Bukan orang awam. Bukan pula orang yang masih
sedang belajar.
Pendapat orang awam tidak diperhitungkan, karena mereka tidak memahami dalil dengan baik.
Demikian pendapat orang yang masih sedang belajar, karena dia belum memiliki kriteria sebagai
mujtahid.

2. Dari umat Nabi Muhammad Saw.


Pendapat umat non-muslim tidak diakui. Karena mereka tidak beriman. Sebagaimana pendapat
para ahli bid’ah dan penjahat juga tidak diterima. Tidak dianggap. Meskipun mungkin saja
mereka ahli ushul fiqih, tafsir al-Qur’an, maupun hadits. Sebagaimana hal yang sama juga
berlaku sebagai syarat seorang perawi hadits.

3. Setelah Rasulullah Saw. wafat


Selama Nabi Muhammad Saw. masih hidup, beliau merupakan dalil yang kedua setelah al-
Qur’an. Pendapat para shahabat tidak bisa menjadi dalil. Semua kasus baru harus dikembalikan
atau ditanyakan kepada beliau.

4. Para ulama bersepakat pada satu pendapat


Bila ada satu saja dari para mujtahid itu berbeda pandangan, berbeda pendapat. Maka ijma’ itu
dianggap tidak sah. Ijma’ hanya bisa terjadi apabila seluruh ulama berpendapat sama. Satu
pendapat.

5. Ulama dimaksud sesuai dengan bidangnya


Bila masalah ijma’ itu berkaitan dengan bahasa, maka hanya mujtahid dalam bidang bahasa yang
bisa diterima.

Bila masalah ijma’ itu berkaitan dengan ushul fiqih, maka hanya mujtahid dalam bidang ushul
fiqih yang diperhitungkan.

Dengan demikian. Dalam masalah fiqih, seorang ahli bahasa hendaknya tidak turut campur.
Karena masalah ini di luar kapasitasnnya.

6. Memiliki dalil
Setiap ijma’ harus berdasarkan dalil. Baik berupa ayat al-Qur’an, hadits, maupun qiyas. Tidak
boleh hanya mengandalkan akal atau logika semata. Karena keputusan agama harus berdasarkan
dalil.

Baca Juga: Maslahah Mursalah: Pengertian Contoh Macam Syarat Kedudukan

***

D. Macam-macam Ijma’
Ijma’ itu ada dua macam. Yaitu: ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Berikut penjelasan masing-
masing ijma’ tersebut:

1. Ijma’ Sharih
Ijma’ sharih adalah kesepakatan seluruh para mujtahid dalam suatu masalah. Di mana masing-
masing mujtahid itu menyampaikan pendapatnya secara terbuka. Dan pendapat mereka adalah
sama. Tidak berbeda antara satu dengan yang lain.

Ijma’ sharih merupakan sebuah dalil yang sangat kuat.

Contoh ijma’ sharih:

Para shahabat pada zaman Khalifah Umar bin Khatthab sepakat, bahwa seorang pezina yang
bodoh dan dungu. Sehingga dia tidak tahu bahwa zina itu haram. Maka dia tidak dihukum
dengan hukuman hadd.

Hadd perzinahan yaitu hukuman rajam apabila dia sudah menikah. Atau hukuman cambuk
seratus kali apabila dia belum menikah.

2. Ijma’ Sukuti
Ijma’ sukuti adalah ketika sebagian dari para mujtahid menyampaikan pendapatnya pada suatu
perkara secara terbuka. Sementara sebagian dari para mujtahid yang lain diam saja, setelah
mereka mengetahui pendapat para mujtahid tersebut. Jadi sebagian dari para mujtahid itu diam
saja. Tidak bersuara. Tidak menyatakan persetujuan, dan tidak pula menyatakan penolakan.
Alias no comment.

Dalam hal kedudukan ijma’ sukuti ini ada tiga pendapat sebagai berikut:

1. Pendapat Hanafiyah dan Hanabilah

Para ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa ijma’ sukuti itu merupakan dalil.
Karena diamnya sebagian para mujtahid yang lain itu dianggap setuju dengan para mujtahid
yang sudah menyatakan pendapatnya. Hal ini diqiyaskan pada diamnya seorang perempuan yang
dilamar oleh seorang laki-laki. Bila perempuan itu diam, maka dianggap setuju.

2. Pendapat Malikiyah dan Syafi’iyah

Para ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendat, bahwa ijma’ sukuti itu bukan merupakan dalil.
Karena diamnya sebagian dari para mujtahid itu belum tentu setuju. Karena boleh jadi diamnya
sebagian dari para mujtahid karena sebab-sebab:

– Takut kepada penguasa yang zalim dan tirani.

– Terlalu sibuk, sehingga belum sempat menelaah perkara itu.


– Dia masih ragu-ragu untuk membuat keputusan.

3. Pendapat Sebagian Syafi’iyah

Sebagian ulama dari Syafi’iyah berpendapat, bahwa ijma’ sukuti itu merupakan dalil yang
bersifat zhanni. Bisa digunakan sebagai pertimbangan. Tidak harus diamalkan. Alias boleh
berbeda, dan tidak harus sama dengan ijma’ sukuti.

Baca Juga: Saddu Dzari’ah: Pengertian, Contoh, Macam-macam, Kedudukan

***

E. Kedudukan Ijma’
Bila suatu kasus sudah dipastikan ijma’ berdasarkan bukti-bukti ilmiah, maka ijma’ itu wajib
untuk digunakan sebagai dalil.

Kedudukan ijma’ merupakan dalil ketiga. Setelah al-Qur’an dan Hadits.

Kedudukan ijma’ sebagai dalil itu berdasarkan argumen sebagai berikut:

1. Firman Allah Swt.


‫َو َم ْن ُيَش اِقِق الَّرُسوَل ِم ْن َبْع ِد َم ا َتَبَّيَن َلُه اْلُهَدى َو َيَّتِبْع َغْيَر َس ِبيِل اْلُم ْؤ ِمِنيَن ُنَو ِّلِه َم ا َتَو َّلى َو ُنْص ِلِه َج َهَّنَم َو َس اَء ْت‬
‫َم ِص يرًا‬

Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah
dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk
tempat kembali.
(QS. An-Nisa’: 115)

Dalam ayat di atas, Allah Swt. memberikan ancaman kepada orang-orang yang mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin. Pernyataan: “Jalan orang-orang mukmin,” di sini bisa
diartikan adalah ijma’. Yaitu kesepakatan orang-orang mukmin. Kesepakatan orang-orang
mukmin itu pada khususnya adalah kesepakatan para ulama.

2. Sabda Rasulullah Saw.

‫ال تجتِم ُع أَّم تي على ضاللٍة‬


“Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan.”
Bila telah dinyatakan bahwa umat Islam tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan. Maka bila
umat Islam bersepakat pada sesuatu, maka kesepakatan itu tidak mungkin merupakan kesesatan.
Alias kebenaran.

Dengan demikian, maka kesepakatan umat Islam merupakan sebuah dalil untuk ditetapkannya
suatu hukum. Bila umat Islam bersepakat bahwa suatu perbuatan itu haram, maka keharaman itu
harus ditaati. Tidak boleh untuk dilakukan. Begitu pula sebaliknya.

Hadits di atas memang termasuk hadits dha’if. Namun sangat populer di kalangan ahli Ushul
Fiqih. Dan hadits tersebut dikuatkan oleh beberapa hadits semisal, yang setidaknya memiliki
status hasan. Misalnya:

‫ َو َيُد ِهَّللا َم َع اْلَج َم اَع ِة‬، ‫ِإَّن َهَّللا اَل َيْج َم ُع ُأَّمِتي َع َلى َض اَل َلٍة‬
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umat ini dalam kesesatan. Dan Tangan Allah
senantiasa bersama jamaah.”

(HR. Tirmidzi).

3. Pesan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu

‫ فإن لم‬،‫إذا ُسئل أحُدكم عن شيٍء فلينُظْر في كتاِب ِهللا فإن لم يِج ْد ه في كتاِب ِهللا فلينُظْر في سَّنِة رسوِل ِهللا‬
‫يِج ْد ه في كتاِب ِهللا وال في سَّنِة رسوِل ِهللا فلينُظْر فيما اجتمع عليه المسلمون‬

“Bila engkau ditanya mengenai sesuatu. Maka hendaknya engkau mencari hukumnya pada Kitab
Allah. Bila engkau tidak mendapatkan kasus itu dalam Kitab Allah. Maka hendaknya engkau
mencarinya dalam Sunnah Rasulullah Saw. Dan bila engkau tidak mendapatkan dalam Kitab
Allah maupun Sunnah Rasulullah Saw. Maka hendaknya engkau mencari dalam kesepakatan
kaum muslimin.”

Baca Juga: Istishab: Pengertian, Contoh, Macam-macam dan Kedudukannya

***

Penutup
Inilah beberapa bahasan mengenai Ijma’ yang bisa kami sampaikan. Semoga ada manfaatnya
bagi kita bersama.

Bila pembaca menemukan kesalahan, mohon untuk disampaikan pada kolom komentar.

Allahu a’lam.

_____________

Anda mungkin juga menyukai