Anda di halaman 1dari 5

TUGAS ETIKA PROFESI

Oleh Muh. Chigeo Rivaldi (1821132013)

Membuat masing-masing resume dari 5 jurnal/bacaan/kasus/tulisan tentang pelnggaran etika dalam bidang teknik
sipil dan menghubungkan dengan materi yang telah diterima

1. Jurnal Pertama
Judul: Pelanggaran Kode Etik Profesi dalam Jasa Konstruksi (oleh Thania Nazthalia)

Pelanggaran kode etik pada proyek konstruksi pelabuhan ‘A’ pada umumnya dibagi menjadi 2 kasus
utama yaitu;
●Pelanggaran terhadap perbuatan yang tidak mencerminkan respek terhadap nilai-nilai yang seharusnya
dijunjung tinggi oleh profesi itu.
●Pelanggaran terhadap perbuatan pelayanan jasa profesi yang kurang mencerminkan kualitas keahlian
yang sulit atau kurang dapat dipertanggungjawabkan menurut standar maupun kriteria profesional.

Adapun beberapa kasus yang lebih signifikan terjadi pada proyek ini antara lain;
●Pelanggaran terhadap perbuatan pelayanan jasa konstruksi yang
bersifat korupsi.

Korupsi yang di lakukan beberapa pihak ini disinyalir terbagi dalam


beberapa aspek. Yang terlihat nyata yaitu dalam pengerjaan
pembangunan jalan menuju ke arah lokasi pelabuhan. Jalan yang
dibangun di daerah yang umumnya bertipe tanah rawa tidak di
jalankan secara maksimal. Jalan yang di bangun tersebut telah
rusak dalam kurun waktu kurang dari sebulan

●Pelanggaran terhadap perbuatan pelayanan jasa konstruksi yang


bersifat perizinan lokasi pengerjaan proyek jasa konstruksi

Adanya Pelanggaran terhadap perbuatan pelayanan jasa


konstruksi yang bersifat perizinan lokasi pengerjaan proyek jasa
konstruksi. Hal yang dimaksudkan adalah belum turunnya
surat izin pengalihfungsian lokasi pelabuhan ’A’ dari pemerintah
pusat akan tetapi proyek telah berjalan.

●Pelanggaran terhadap perbuatan pelayanan jasa kontruksi yang


bersifat perizinan usaha jasa konstruksi.

Adanya pelanggaran terhadap perbuatan pelayanan


jasa kontruksi yang bersifat perizinan usaha jasa
konstruksi. Yaitu belum turunnya surat keputusan
(SK) dari pemerintah pusat tentang pembangunan
pelabuhan ’A’.
2. Jurnal Kedua
Judul: Pelanggaran Etika Profesi yang menyebabkan kegagalan bangunan
(juliansyahug17.blogspot.com)

Dari observasi yang dilakukan salah satu penyebab keruntuhan bangunan ini adalah pelanggaran etika
profesi yang dilakuan oleh kontraktor yaitu Kegagalan Struktur Utama. Struktur utama yang dimaksud
adalah balok- kolom. Hal ini didasarkan fakta bahwa pekerja sempat diminta untuk mengecek kolom yang
retak di lantai 2. Meskipun tidak ada data detail mengenai dimensi dan lokasi keretakan akan tetapi hal ini
seharusnya telah menjadi indikasi awal bahwa ada masalah dengan struktur yang sedang dibangun.
Apalagi apabila didasarkan pada filosofi desain struktur yang benar yaitu “strong column- weak beam”
yang artinya kolom tidak boleh mengalami kegagalan struktur terlebih dahulu daripada balok. Kegagalan
kolom ini sendiri diduga karena adanya deviasi antara perencanaan dan pelaksanaan dimana kontraktor
mengurangi dimensi kolom dan jumlah tulangan yang dipakai.
Padahal, sudah terdapat undang-undang yang mengatur tentang kegagalan konstruksi yang terjadi di
Indonesia. UU tersebut adalah UU RI No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Pada bab IV memuat
tentang kegagalan konstruksi, bunyi pasal 25. pada ayat 1, Pengguna jasa konstruksi dan penyedia jasa
wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan. Ayat.2, Kegagalan bangunan yang menjadi tanggung
jawab penyedia jasa sebagaimana yang dimaksud pada ayat.1 ditentukan terhitung sejak penyerahan
akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Ayat.3, Kegagalan bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat.2 ditetapkan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli.
Dalam kasus ini juga dapat dimasukkan ke dalam Pasal 26, ayat.1, Jika terjadi kegagalan bangunan yang
disebabkan karena kesalahan perencana atau pengawas konstruksi, dan hal tersebut terbukti
menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka perencana atau pengawas konstruksi wajib bertanggung
jawab sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi. Ayat.2, Jika terjadi kegagalan bangunan
yang disebabkan karena kesalahan pelaksana konstruksi, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian
bagi pihak lain, maka pelaksana konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang usaha dan
dikenakan ganti rugi.

3. Jurnal Ketiga
Judul : PENYIMPANGAN PERILAKU PARA PELAKU JASA KONSTRUKSI (Peter F Kaming dan Damar
Panuntun)

Kasus kolusi cukup sering terjadi dalam industri konstruksi. Kasus kolusi yang paling sering terjadi adalah
pemberian komisi supaya mendapatkan tender.kasus penyuapan sering terjadi dalam industri
konstruksi.kasus penyuapan yang paling sering terjadi adalah pemberian barang berharga/spesial dan
bantuan khusus tanpa procedural.kasus kelalaian cukup terjadi dalam industri konstruksi.kasus kelalaian
yang paling sering terjadi adalah dokumentasi yang tidak sesuai (kontrak, drawing).kasus kecurangan
sering terjadi dalam industri konstruksi.kasus kecurangan yang paling sering terjadi adalah pencurian
material. Dari hasil analisis data dan kesimpulan di atas, maka disarankan bahwa: Kasus kolusi yang paling
sering terjadi adalah pemberian komisi supaya mendapatkan tender. Hal ini menunjukkan bahwa untuk
memenangkan suatu tender pihak-pihak yang berkepentingan cenderung melakukan/memberi komisi
pada organisasi atau pihak yang mengadakan lelang.oleh sebab itu penting bagi semua pemangku
kepentingan untuk mencegah praktik pemberian komisi dari pihak tertentu untuk memenangkan
tender.pemberian komisi dari pemenang tender biasanya berimplikasi pada rendahnya kualitas
bangunan.masyarakat diminta secara aktif untuk memberi dukungan dalam pemberantasan
penyimpangan perilaku yang amat tercela tersebut.kasus penyuapan yang paling sering terjadi adalah
pemberian barang berharga/spesial dan bantuan khusus (perijinan, dll) tanpa prosedural.hal ini
mengindikasikan bahwa untuk mendapatkan tender, kontraktor biasanya memberikan barang
berharga/spesial pada pemberi tender/pelelang.oleh sebab itu dibutuhkan pengawasan oleh pihak-pihak
tertentu agar budaya penyuapan yang berkonotasi dan berimplikasi negatif pada hasil konstruksi dapat
diminimalisir Kasus kelalaian yang paling sering terjadi adalah dokumentasi yang tidak sesuai (kontrak,
drawing).berdasarkan hal tersebut maka penting bagi pihak konsumen untuk selalu mencermati kontrak
yang dibuat dan memantau serta mencocokkan hasil pelaksanaan pekerjaan dengan gambar desain.hal ini
penting untuk dilakukan dengan tujuan untuk meminimalkan kelalaian yang mungkin terjadi oleh pihak
kontraktor.kasus kecurangan yang paling sering terjadi adalah pencurian material.berdasarkan hal
tersebut maka perlu dibuat suatu sistem sekuriti yang baik untuk melakukan pengawasan pada bahan
material. DAFTAR PUSTAKA Agustinus, K.W. (2002) Persepsi Praktisi Konstruksi Mengenai Pelanggaran
Etika dalam Industri Konstruksi di Indonesia, Tesis, MTS, PPS, UAJY. Anonim, (2006), Etika Profesi dan
Tanggung Jawab, diakses 01 Mei 2010, Bowen, P., Akintoye, A., Pearl, R., Edward, P.,J., (2007), Ethical
Behaviour inthe South African Construction Industry, Journal. Huda, M., (2006), Kode Etika Industri Jasa
Konstruksi, diakses 15 November 2010, Ervianto, W, I.(200), Manajemen Proyek Konstruksi, Penerbit Andi
Offset, Yogyakarta. Jackson,B.J. (1999) The Perception of Experienced Construction Practitioners
Regarding Ethical Transregressions in the Construction Industry, ASC Proceedings of the 7 th Annual
Conference, Univ Denver, Denver, Colorado, Martin W.M ( 2002) Personal meaning and ethics in
engineering. Science and Engineering Ethics, (), Panuntun, D (2011) Studi Penyimpangan Perilaku pada
Industri Konstruksi, TGA, Fakultas Teknik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta Transparency
International, (2005), The Global Corruption Report 205, Pluto Press, London. Wignyosoebroto, I (1999)
Manajemen Proyek Konstruksi, Kanisius, Yogyakarta. KoNTekS 6 MK-1

4. Jurnal Keempat
Judul : Kasus Beton Landasan Pacu di Bandara Internasional Denver (oleh Anisa Meiliani)

Konstruksi beton digunakan untuk runway (landasan pacu), taxiway (landasan parkir), dan apron (tempat
parkir pesawat) bandara.

• Kontraktor pelaksana adalah perusahaan “3B” dengan menggunakan 2 subkontraktor.

• Kontraktor mengubah komposisi beton untuk runway dan apron dengan memperbanyak kerikil, air dan
pasir (jumlah semen menjadi sedikit) dengan tujuan untuk mendapatkan tambahan keuntungan.

· Dua subkontraktor mengajukan tuntutan hukum melawan kontraktor yang mengerjakan perkerasan
runway.

· Subkontraktor yang bertugas mensuplai materialkerikil dan pasir mengklaim belum dibayar
olehkontraktor 3B karena pembayaran saat itu dapatmeninggalkan jejak penggunaan material
dankomposisi beton yang tidak layak.

· Subkontraktor menyatakan bahwa mutu beton yang tidak tepat dapat menghasilkan kekuatan uji
yang benar namun akan menghasilkan umur konstruksi yang lebih pendek.

· Selanjutnya hasil penyelidikan kejaksaan menyatakan bahwa laporan inspeksi runway dipalsukan
selama pelaksanaan konstruksi.

· Laporan pengujian beton di laboratorium telah dipalsukan untuk menyembunyikan beberapa hasil
uji yang tidak masuk spesifikasi.

· Karyawan laboratorium menyatakan bahwa perubahan data uji adalah prosedur operasi standar di
laboratorium tersebut Jika hasil suatu pengujian tidak konsisten dengan hasil pengujian yang lain , maka
hasilnya akan diubah untuk menutupi perbedaan.
· Dalam hasil uji laboratorium juga ditemukan bahwa kekuatan beton pada umur 7 hari lebih tinggi
daripada umur 28 hari.Karyawan laboratorium mengindikasikan bahwa hasil uji 7 hari telah diubah untuk
membuat beton tampak lebih kuat dari keadaan sebenarnya.

Cara kontraktor 3B melakukan pengurangan kandungan semen dalam beton

Seorang operator kontraktor menjelaskan bahwa mereka mendapat informasi tentang inspeksi yang akan
diadakan. Ketika pengawasan datang mereka menggunakan komposisi yang benar sehingga beton tampak
diformulasikan dengan benar.

Seorang operator komputer juga mengakui bahwa dia diperintahkan untuk memasukkan data kandungan
air yang negatif sehingga akan muncul hasil kebutuhan

semen yang lebih sedikit.

5. Jurnal Kelima
Judul: Korupsi pada Proyek Meikarta dalam Etika Normatif (oleh Shelma Aliyanisa,Kumparan)

Kasus Korupsi Proyek Meikarta

Beberapa waktu lalu, terdapat indikasi kasus korupsi jenis penyuapan dalam Proyek Meikarta. Pada
proses pembangunannya, terjadi beberapa kasus hukum yang melibatkan berbagai pihak yang berkaitan
dengan perizinan. Tindakan penyuapan ini dilakukan melalui lima kali transaksi yang terjadi karena anak
perusahaan developer Proyek Meikarta pada saat itu membutuhkan beberapa perizinan untuk melakukan
pembangunan seperti Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT). Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), pada saat itu Presiden Direktur developer proyek ini diduga melakukan suap sebanyak lima kali
pemberian dana kepada Bupati Bekasi saat itu dengan total Rp10,5 miliar dalam bentuk dollar Amerika.
Selain itu, dalam proses pengurusan Raperda Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Pengembangan
proyek pembangunan Meikarta juga terdapat indikasi kasus suap yang dilakukan sejumlah pihak dengan
melibatkan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Bekasi dan Sekretaris Daerah Pemprov Jawa Barat.
Dalam kasus suap tersebut, KPK telah menetapkan sembilan tersangka yang diduga sebagai pemberi suap,
dengan jabatan mulai dari Direktur Operasional, konsultan, hingga pegawai. Kemudian penerima suap
yang ditetapkan berasal dari pejabat pemerintah setempat mulai dari Bupati Bekasi, Kepala Dinas PUPR
Kabupaten Bekasi, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi, Kepala Dinas Penanaman Modal
dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Bekasi, hingga Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR
Kabupaten Bekasi. Pada kasus Proyek Meikarta, total uang suap yang dikeluarkan oleh pihak developer
adalah sebesar Rp16.182 miliar dan 270.000 dolar Singapura yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten
Bekasi dan diberikan secara bertahap.

Faktor Penyebab Korupsi dan Kemudahan Birokrasi

Melalui sudut pandang etika normatif, baik deontologi maupun teleologi, dapat terlihat bahwa kasus
korupsi berupa penyuapan pada Proyek Meikarta ini terjadi karena faktor ekonomi dan faktor politik.
Faktor ekonomi mendorong individu untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sejalan dengan teori
contractarianism pada deontologi. Pada faktor politik terlihat bahwa kurangnya kualitas pemerintahan
pada kasus ini memberikan dorongan untuk melakukan korupsi seperti digambarkan dalam teori
utilitarianisme dan hedonisme pada teleologi. Maka dari itu, perlu ada peningkatan kemudahan birokrasi
pada sistem pemerintahan, seperti misalnya dengan meningkatkan kejelasan aturan mengenai perizinan
dan kemudahan dalam akses serta penyederhanaan alur birokrasi yang harus dilalui. Sehingga setiap
pihak yang terlibat dalam proses pembangunan suatu proyek dapat merasakan manfaat yang optimal
tanpa melalui cara-cara yang menyalahi etika atau bahkan tidak mengikutsertakan etika di dalamnya.
Adapun kaitan dari 5 kasus diatas dengan materi yang telah didapatkan selama perkuliahan adalah
tentang bagaimana pelanggaran etika yang terjadi pada bidang konstruksi masih sangat banyak terjadi
khuusnya di Indonesia. Pemahaman tentang etika profesi yang mungkin masih belum sedemikian
diperhatikan menjadi penyebab utama dalam banyaknya pelanggaran yang terjadi. Selain itu, sudah
sangat jelas bahwa dalam pelaksanaan konstruksi harus dilandasi dengan prinsip-prinsip keahlian sesuai
kaidah keilmuan, kepatutan, dan kejujuran intelektual dalam menjalankan profesinya dengan tetap
mengutamakan kepentingan umum sehingga jika prinsip-prinsip tersebut dilaksanakan, korupsi dalam
proses konstruksi bisa diminimalisir. Sebaiknya orang yang melakukan tindakan tersebut harus segera
ditindaklanjuti agar kasus di atas tidak menjadi berlarut-larut dan menjadi kebiasaan karena akan
berdampak kepada proyek yang bersangkutan dalam segi kerugian finansial. Selain itu umur ekonomis
dari jalan yang sudah dibuat tidak sesuai dengan perhitungan yang sebenarnya, karena material yang
seharusnya digunakan sudah diminimalisir demi keuntungan pribadi. Sanksi yang dapat diberikan adalah
sanksi hukum karena merugikan hak pihak lain.

Anda mungkin juga menyukai