Anda di halaman 1dari 10

SERAT WEWALERE JALMA LUWIH

Sêrat Wêwalêré Jalma Luwih yang selanjutnya disingkat dengan SWJL berbentuk tembang
macapat, terdiri dari sembilan pupuh, yaitu Kinanthi (30 bait), Sinom (20 bait), Kinanthi (15
bait), Megatruh (8 bait), Pangkur (9 bait), Dhandhanggula (18 bait), Sinom (17 bait), Kinanthi
(14 bait), Sinom (16 bait, dengan uraian 14 bait sebelum wasana pada dan 2 bait sesudah
wasana pada).
SWJL terdapat dalam bendel Sêrat Sèh Mlaya yang selanjutnya disingkat dengan SSM. Di
dalam bendel SSM terdapat 2 judul yaitu SSM dan SWJL. SSM berada di halaman 1-47,
sedangkan SWJL pada halaman 48-100. Judul cover luar dan cover dalam serat tersebut adalah
“Kagungan Dalêm Sêrat Sèh Mlaya”. Sedangkan penemuan judul SWJL, berdasarkan informasi
pada katalog Nancy. Selain itu juga didukung kata-kata yang terdapat dalam teks naskah pada
halaman 48. Hal tersebut dapat dilihat pada grafik-grafik ini:

Grafik 1. Cover luar berbunyi: Kagungan Dalêm Sêrat Sèh Mlaya.


Grafik 2. Cover dalam berbunyi: Angka:
Kagungan Dalêm Sêrat Sèh Mlaya.

Grafik 3. Judul yang tertera pada teks halaman 48, berbunyi: Kinanthi ingkang winuwus,
Wêwalêré Jalma Luwih, lamun ana…….

SSM dan SWJL adalah serat yang berbeda. Hal tersebut dapat dibuktikan dari penanda
teks yang berupa wasana pada pada akhir teks SSM dan purwa pada pada awal teks SWJL. Di
akhir teks SWJL juga terdapat wasana pada. Wasana pada ini menandakan bahwa teks sudah
berakhir/tamat/iti. Berdasarkan bukti tersebut, maka SWJL dapat diindikasikan bahwa SWJL
adalah serat yang utuh, berdiri sendiri, dan bukan merupakan lanjutan dari serat lain.
Grafik 4. Akhir teks pada SSM dengan Wasana pada.

Grafik 5. Permulaan teks pada SWJL dengan purwa pada.

Grafik 6. Akhir teks pada SWJL dengan wasana pada.

Penyalin/penulis juga mencantumkan pesan kepada pembaca setelah wasana pada dalam serat
SWJL yang tampak pada grafik ini:
Grafik 7. Teks sesudah wasana pada dalam SWJL pada halaman 100. berbunyi: Têksih
sêkar sinom: 1. Tan kadya kang nganggit sêrat, wêruh madyaning ngaurip, tutuladané nèng praja, tan kadi
dadi priyayi,wruh angèl lawan gampil, abot ènthèng wus kacakup, lan sugih têpa-têpa,
kabèh di dalêm prasami, lumrah baé wong dhêmên dadi Santana
2. Alumuh lamun kangèlan, énak baé kang pinikir, lila marang pagawéyan, kang dèn-ancas
mung kamuktin, yèn na lowongan ngincih, kapêngin dadi tumênggung, budiné wong tan
nalar, durung potang arsa nagih, wus tan olèh tiwas kacancang ing sumpah.

Tinta yang digunakan dari awal hingga akhir penulisan naskah adalah sama, yaitu
berwarna hitam. Di dalam teks juga terdapat coretan-coretan dan tambahan huruf yang ditulis
dengan pensil. Tetapi jenis huruf yang ditambahkan berbeda dengan penulisan teks dalam serat.
Jadi dapat diindikasikan bahwa terdapat tambahan dari pihak ketiga. Hal tersebut nampak pada
grafik ini:
Grafik 8. coretan yang memakai pensil pada halaman 76.

Grafik 9. Penambahan huruf berbeda dengan teks. Antara aksara tambahan yaitu aksara swara “A”
berbeda dengan aksara swara “A (A )” dalam teks. Begitu pula dengan wignyan ( h ).

Grafik 10. Penambahan huruf berbeda dengan teks. Antara aksara tambahan yaitu aksara ”ra” yang ditulis
dengan pensil berbeda dengan aksara ”ra” yang ditulis dengan tinta.

Di dalam nakah ini tidak ditemukan nama pengarang atau penyalin (anonim). Tetapi,
pada halaman 1, yaitu dalam SSM terdapat keterangan “nurun sungging/menyalin”. Di samping
itu juga terdapat kolofon (tanggal pembuatan serat) yaitu Rêbo Pon, tanggal 18 bulan Dzulhijah,
Tahun Bé, 1840 dengan Sêngkalan: Kombul Karya Sarira Sri Narapati atau Rabu Pon, 21
Desember 1910 M. Jadi dapat dikatakan bahwa SSM ini adalah têdhakan/salinan.
Grafik11. Kolofon naskah, berbunyi:
Purwaning sarkara nurun sungging, caritané Sunan Kalijaga, nalika lagya blunthahé, cinoba
mring Hyang Agung, pinèngêtan panêdhaknèki, Rêbo pon ping wolulas, Dulkijah Bé taun,
Sêngkalanira pinétang, Kombul Karya Sarira Sri Narapati, ing praja Surakarta.

Jenis huruf SWJL adalah mbata sarimbag (kotak-kotak) miring dan berjenis huruf Jawa
baru. Bahasa teks yang digunakan adalah ragam bahasa ngoko, krama, bahasa kawi, bahasa Arab
dan terdapat juga kata arkhais. Selain itu juga terdapat sasmita tembang di setiap pergantian
pupuh ataupun awal pupuh.
Dilihat dari segi filologis, naskah tersebut terdapat varian-varian yang cukup banyak.
Varian yang ditemukan, yaitu
a. Lacuna: bagian yang terlampaui/kelewatan, baik suku kata, kata, kelompok kata
ataupun kalimat. Dalam hal ini adalah lacuna suku kata.

Grafik 12. Pupuh II (Sinom ) bait 1 baris 1 halaman 56. Tertulis nênggih wong li saréngat. Guru
wilangan hanya 7 suku kata. Seharusnya 8 suku kata. Menurut konvensi têmbang dan pertimbangan
linguistik adalah nênggih wong liya saréngat

Grafik 13. Pupuh III (Kinanthi) bait 14 baris 2 halaman 68. Tertulis iya ingkang no tampi. Guru
wilangan hanya 7 suku kata, seharusnya 8 suku kata. Menurut konvensi têmbang dan pertimbangan
linguistik adalah iya ingkang nora tampi.

Lacuna huruf:

Grafik 14. Pupuh IX (Sinom) bait 8 baris 6 halaman 97. Tertulis wru. Menurut pertimbangan lingistik
adalah wruh.

Grafik 15. Pupuh II ( Sinom ) bait 20 baris 8 halaman 64.Tertulis pratikah.


Menurut pertimbangan lingistik adalah pratingkah
Grafik 16. Pupuh IX ( Sinom ) bait 7 baris 8 halaman 96. Tertulis mugah. Menurut pertimbangan
lingistik adalah munggah.

Di bawah ini adalah lacuna kata

Grafik 17. Pupuh V ( Pangkur ) bait 7 baris 5 halaman 73. Tertulis ……iku jinêm aranipun……
( kurang 4 suku kata ). Menurut konvensi têmbang dan pertimbangan linguistik adalah jroning budya
iku jinêm aranipun

b. Adisi: bagian yang kelebihan/penambahan baik suku kata, kata, kelompok kata
maupun kalimat. Dalam hal ini adalah adisi suku kata.

Grafik 18. Pupuh IV ( Pangkur ) bait 4 baris 1 halaman 72.


Tertulis tapaning roh kanétranira….. Guru wilangan sebanyak 9 suku kata.
Seharusnya 8 suku kata. Menurut konvensi têmbang dan pertimbangan linguistik adalah tapaning roh
nétranira.

c. Hipercorect: perubahan ejaan karena pergeseran lafal.


Grafik.19. Pupuh I (Kinanthi) bait 17 baris 6 halaman 52. Tertulis “johar lawal”. Menurut
pertimbangan linguistik adalah johar awal

Grafik 20. Pupuh III (Kinanthi) bait 14 baris 4 halaman 68. Tertulis “murang”.
Menurut pertimbangan linguistik adalah kurang.

d. Saut du meme au meme: mata penyalin bergerak ke depan dan belakang di antara
halaman-halaman contoh dan halamannya, melompat dari kata yang satu ke kata lain
yang sama dengan melihat sedikit ke bawah sehingga terjadi varian.

Grafik 21. Pupuh II ( Sinom ) bait 16 baris 5 halaman 62.


Tertulis “tumpang suruping uruping urip”. Guru wilangan 10 suku kata, seharusnya 7 suku kata.
Menurut konvensi têmbang dan pertimbangan linguistik adalah tumpang suruping urup

Grafik 22. Pupuh VI ( Dhandhanggula ) bait 5 baris 3 halaman 76.


Bait yang berbunyi “nêmu siksa wêkasané” ditulis dua kali. Seharusnya sekali saja.

e. Ketidakkonsistenan penyalinan/penulisan, meliputi.


e.1. Ketidakkonsistenan pemakaian tanda berhenti (.) disetiap pergantian gatra.

Grafik 23. Pupuh IV ( Mêgatruh ) bait 4 baris 4 halaman 69.


Tertulis tanda titik ( . ) disetiap kata.
e.2. Ketidakkonsistenan dalam pemakaian huruf

Grafik 24. Pupuh VI ( Dhandhanggula ) bait 7 baris 2 (tertulis kata Fangéran), baris 6
(tertulis kata Pangéran) halaman 62.

Contoh-contoh di atas adalah sedikit dari beberapa varian yang terdapat pada SWJL.
Berdasar pada varian-varian yang ditemukan, maka SWJL perlu diadakan suntingan teks dengan
mengkritisi naskah secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal tersebut untuk
menentukan naskah yang mendekati aslinya, sesuai dengan cara kerja penelitian filologi.

Anda mungkin juga menyukai