“LANDASAN IDEOLOGI
MUHAMMADIYAH”
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Kemuhammadiyahan
Disusun oleh:
Kelompok 3
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata
kuliah Kemuhammadiyahan mengenai Landasan Ideologi
Kemuhammadiyahan.Tujuan dari pembuatan makalah ini guna mengetahui
penjelasan tentang Landasan Ideologi Kemuhammadiyahan. Dan kami
mengucapkan terimakasih kepada Dosen mata kuliah Kemuhammadiyahan
Bapak Nahar A. GHANI., Dr., LC., MA yang telah memberikan tugas mata
kuliah ini serta seluruh pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Namun tentu saja makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu
kami sangat mengharapkan saran dan motivasi positif yang bersifat membangun
guna kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya dan juga bagi penulis pada khususnya.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Kelompok 5
ii
DAFTAR ISI
iii
A. Latar Belakang
4
bersumber dari (hanya) satu syariah. Syariah sebagai jalan utama yang mutlak
diikuti dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam, maka seharusnya paham
dan praktik Islam juga tidak bermacam-macam, karena sumbernya hanyalah satu
yakni syariah.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan penulis
5
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologis ideologi yang dibentuk dari kata idea, berarti pemikiran,
konsep, atau gagasan, dan logoi, logos artinya pengetahuan. Dengan demikian
ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide, tentang keyakinan atau gagasan.
Orang yang pertama kali menggunakan istilah ideologi adalah Antoine Destult,
seorang filosuf Prancis, sebagai “science of ideas, dimana di dalamnya ideologi
dijabarkan sebagai sejumlah program yang diharapkan membawa perubahan
institusional dalam suatu masyarakat”. Dalam aplikasinya ada beberapa tokoh yang
memandang ideologi secara negative. Namun sesungguhnya istilah ideologi itu
bersifat netral, tidak memihak kemanapun.
Dilihat dari fungsinya yang diperankannya sebenarnya ideologi tidak lebih
dari suatu instrumental, adalah alat penjelas yang ketat, yang dibutuhkan guna
mengarahkan pikiran dan tindakan secara efisien bagi para pendukungnya.
Dalam Muhammadiyah ideologi dapat dipahami sebagai sistem paham atau
keyakinan dan teori perjuangan untuk mengimplementasikan ajaran islam dalam
kehidupan umat melalui gerakan sosial-keagamaan. Karena rujukan dasarnya
adalah islam, maka ideologi muhammadiyah tidak akan bersifat dogmatik dan
ekslusif secara taklid-buta, sehingga tetap memiliki watak terbuka.
Muhammadiyah bukanlah Ideologi sebagaimana Ideologi dalam pengertian
sistem paham yang radikal, kaku, dan bercorak gerakan politik. Muhammadiyah
kendati bukan Ideologi, tetapi dalam perkembangannya sedikit atau banyak
mengalami persentuhan dengan konsep-konsep dan kepentingan ideologis. Dalam
Muhammadiyah banyak diperbincangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan
“Ideologi Islam”, seperti konsep Islam sebagai dasar Negara, masyarakat Islam,
asas Islam dan konsep-konsep politik Islam.
Dalam pemikiran ideologis, M. Djindar tamimi mencatat bahwa:
“pada Muktamar ke 37 1968 di Yogyakarta telah diterima ide untuk mengadakan
tajdid dalam Muhammadiyah bidang:6 Ideologi(keyakinan dan cita-cita hidup),
Khittah Perjuangn, Gerak dan Amal usaha serta organisasi, dengan ruusan-
rumusannya lebih dikonkritkan dan disistematisir dalam Tanwir sesudah itu,
seperti rumusan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah dan
Khittah Muhammadiyah.”
c) Pokok fikiran/prinsip yang dimaksud itu adalah hak dan nilai hidup
Muhammadiyah secara ideologis
7
2) Sunnah Rasul : Penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Quran yang diberikan
oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa
ajaran Islam. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan
oleh Rasulullah SAW,tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.
Penyebab Timbulnya Perbedaan Pendapat dalam Ibadah
Pada zaman Nabi Muhammad SAW atau zaman turunnya wahyu ,perbedaan
pendapat boleh dikatakan sangat kecil peluangnya. Hal ini karena apabila ada
perbedaan pendapat dapat langsung bertanya kepada Rasulullah. Hanya sahabat-
sahabat yang tinggal di luar Madinahlah yang mencoba menggunakan ijtihad.
Ijtihad bukanlah suatu intervensi terhadap hukum Allah, karena ia tidak lebih
sekadar pemahaman langsung terhadap teks-teks syariah , atau paling jauh
merupakan upaya konstruksi hukumberdasarkan teks yang dikajinya. Penggunaan
nalar lebih tepat untuk sekadar menemukan makna yang sudah ada dalam
kandungan syariah itu sendiri. Nalar hanya berfungsimenyingkap hukum yang
sudah ada dalam teks ayat atau hadits, bukan bertindak sebagaipencipta hukum
sendiri.
Meskipun demikian, penggunaan nalar (ijtihad) merupakan awal dari munculnya
perbedaan pendapat dalam memahami syariat. Jadi walaupun syariat hanyalah satu,
tetapi pemahaman ulama melahirkan perbedaan pendapat dalam soal hukum dan
teologi. Tampaknya, hukum sebagai kandungan dari syariah, tidak otomatis identik
dengan syariah. Perbedaannya ialah bahwa syariah itu tida beragam, karena berasal
dari Allah dan Rasul-Nya sebagai pencipta syariat sedang hukum yang tidak lain
dari kandungan syariah itu sendiri diperoleh sebagai hasil penggalian dan pemikiran
dari para mujtahid. Dengan kata lain, jika syariah hanyalah berasal dari Allah dan
Rasul-Nya semata, maka lain dengan hukum yang salah satu sumbernya ialah
ijtihad di samping Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dalam menggunakan nalarnya, para
ulama menghadapi dua kemungkinan, yakni mereka langsung mengetahui hukum
dari dalilnya yang tegas, atau mereka dapat mengetahui hukum setelah
menggunakan nalar sesuai dengan konteks persoalannya, yang disebut fikih
kontekstual. Hal terakhir ini jika objek hukum yang dimaksudkan tidak disebut
secara tegas dalam nash-nash syariah. Baik pemahaman tekstual maupun
8
pemahaman kontekstual , dua-duanya merupakan ijtihad, yang memberi peluang
adanya perbedaan pendapat.
Jika syariah dalam arti nash-nash (referensi) yang mengandung hukum adalah
berasal dari Allah, sedangkan fikih merupakan hasil upaya dari manusia, maka
konsekuensinya ialah syariah berlaku secara mutlak dan universal untuk segala
zaman dan tempat, sedang fikih hanyalah bersifat relatif, sesuai pikiran ulama
serta kondisi zaman dan lingkungannya masing-masing. Selain perbedaan pikiran,
masih ada faktor-faktor lain yang membawa ke perbedaan pandangan ulama
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
10
DAFTAR
PUSTAKA
http://blog.umy.ac.id/agusbangka/2012/01/05/ideologimuhammadiyah/
http://luqm.multiply.com/journal/item/74).
http://yassirdzulfiqor.blogspot.com/2012/05/ajaran-pokok-aqidah-islam-
sesuai- paham.html
11