Anda di halaman 1dari 23

HUBUNGAN JENIS KELAMIN, UMUR DAN KEBIASAAN MEROKOK DENGAN

KEJADIAN PPOK PADA JEMAAH HAJI INDONESIA YANG LAIK TERBANG DI


EMBERKASI MEDAN TAHUN 2017

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ibadah haji merupakan ibadah yang sebagian besar berupa kegiatan fisik, dalam waktu
lama (38-40 hari) di negara Arab Saudi, berada pada lingkungan yang berbeda dengan di
lndonesia (matra), serta dalam kepadatann populasi yang tinggi. Hal ini menuntut calon
jamaah haji memiliki kondisi kesehatan yang prima. Tetapi, persentase jamaah haji resiko
tinggi semakin meningkat dari tahun 2005 hingga 2012. Di Indonesia terjadi peningkatan
dimana pada tahun 2005 sebanyak 28% jamaah haji risiko tinggi meningkat menjadi 51% di
tahun 2012. Hal yang sama terjadi untuk Provinsi Jawa Timur (tahun 2005 sebanyak 30%
meningkat menjadi 47% ditahun 2011) dan Kabupaten Banyuwangi (tahun 2005 21%
meningkat menjadi 38% ditahun 2012). Disamping itu, angka kematian jamaah haji di
Indonesia, Jawa Timur, dan Kabupaten Banyuwangi tergolong tinggi jika di bandingkan
dengan indikator utama yaitu mortality rate <2/1.000 jamaah haji setiap tahunnya. Pada tahun
2012 mortality rate di Indonesia di Jawa Timur, dan Banyuwangi berturut-turut 2,03; 2,38;
dan 4,57.
Untuk mencapai tempat pelaksanaan ibadah haji, jemaah haji melakukan perjalanan
menggunakan pesawat terbang komersial. Pesawat terbang komersial tersebut terbang pada
ketinggian antara 30.000-40.000 kaki. Perbedaan ketinggian antara permukaan laut dengan
ketinggian tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan tekanan di udara (penurunan
tekanan barometrik), yang secara bersamaan akan menurunkan tekanan parsial oksigen
(PaO2). Berdasarkan hal tersebut, pedoman penerbangan komersial internasional
mengeluarkan peraturan dimana tekanan pada kabin pesawatharus dipertahankan dibawah 74
kPa (setara dengan tekanan atmosfer pada ketinggian 2.450 m atau 8.000 kaki). Pada tekanan
tersebut didapatkan fraksi inspirasi oksigen sebesar 15%. Data pada jemaah haji yang
dilaporkan Pusat Kesehatan Haji tahun 2010 didapatkan tiga jemaah meninggal saat di
pesawat (0,75% dari keseluruhan kematian jemaah haji). Adapun pada penerbangan secara
umum,penyebab utama kematian disebabkan oleh masalah kardiovaskular. Peterson (2013)
melaporkan gawat darurat yang tersering ditemukan adalah gejala syncope (37,4%) dan
gejala respirasi (12,1%). Keduanya kemungkinan dicetuskan oleh masalah respirasi akibat
1
terjadinya hipoksia. Adapun permasalahan respirasi lebih sering timbul pada mereka dengan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Gong (1993) meneliti 42.770.468 penumpang secara keseluruhan dalam kurun waktu satu
tahun, didapatkan sebanyak 1.115 penumpang mengalami masalah kesehatan. Dari
penumpang yang mengalami masalah kesehatan tersebut didapatkan sebanyak 405
penumpang terdiagnosis PPOK (36,3 % dari total 1.115 pasien). Penyakit Paru Obstruktif
Kronik saat ini merupakan masalah global dan menjadi penyebab kematian keempat di dunia.
Edvardsen (2011) meneliti timbulnya kejadian hipoksia saat penerbangan pada penderita
PPOK dibandingkan dengan non PPOK, didapatkan hasil OR 6,6% (IK 95% 2,5-17,3;
p<0,001). Gejala hipoksiayang paling umum dikeluhkan pasien PPOK adalah sesak (15%),
perasaan sulit bernapas (11,4%), batuk (4,7%), nyeri kepala (4,7%), dan perasaan seperti
melayang (3,8%).
Untuk dapat melakukan penerbangan, penderita PPOK memerlukan persyaratan fungsi
paru yang baik. Akero (2008) memperkirakan kejadian hipoksia dengan melihat nilai
saturasioksigen berdasarkan pulse oximetry (SpO2) sebelum keberangkatan. Pasien dengan
SpO2 kurang dari 95%, 63-83% akan mengalami penurunan PaO2 menjadi kurang dari 6,6
kPa.
British Thoracic Society dan Aerospace Medical Association merekomendasikan
penilaian aktifitas fisik dengan menggunakan kemampuan berjalan lebih dari 50 meter untuk
memperkirakan kejadian hipoksia saat penerbangan. Berdasarkan hal tersebut diatas, untuk
menilai kelaikan terbang pada penderita PPOK dibutuhkan persyaratkan tekanan parsial
oksigen (PaO2) lebih dari 70 mmHg, saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SpO2) lebih
dari 95%, dan penderita dapat berjalan lebih dari 50 meter tanpa mengalami keluhan apapun.
Pada jemaah haji dengan PPOK, penilaian kelaikan tersebut belum dilakukan secara rutin.
Sampai saat ini masih belum ada penelitian yang menilai profil gejala hipoksia saat
penerbangan dan penilaian kelaikan terbang pada penderita PPOK yang dilakukan pada
jemaah haji Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan yaitu “Apakah
ada hubungan antara umur, Jenis kelamin, dan kebiasaan merokok dengan kejadian ppok
pada jemaah haji Indonesia yang laik terbang di emberkasi medan?”

2
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Ditemukannya hubungan antara Umur, Jenis Kelamin dan Kebiasaan Merokok
dengan kelaikan terbang pasien PPOK jemaah haji Indonesia emberkasi medan tahun 2017.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Ditemukannya hubungan antara umur dengan kejadian ppok pada jemaah haji
Indonesia yang laik terbang di emberkasi medan tahun 2017.
2. Ditemukannya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian ppok pada
jemaah haji Indonesia yang laik terbang di emberkasi medan tahun 2017.
3. Ditemukannya hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian ppok pada
jemaah haji Indonesia yang laik terbang di emberkasi medan tahun 2017.

1.4 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah tidak ada hubungan hubungan antara umur, jenis
kelamin dan kebiasaan merokok dengan kejadian ppok pada jemaah haji Indonesia yang laik
terbang di emberkasi medan tahun 2017

1.5 Manfaat Peneitian


1.5.1 Manfaat bagi peneliti
Untuk menambah wawasan ilmiah penulis, serta mengaplikasikan ilmu yang
diperoleh selama menempuh pendidikan di lakespra
1.5.2 Manfaat bagi Lakespra Saryanto
Perwujudan Lakespra sebagai lembaga penyelenggara pendidikan, pelatihan, dan
pengabdian terhadap perkembangan kesehatan penerbangann secara umum dan khususnya
pada perkembangan kesehatan penerbangan militer.
Mengetahui kondisi penerbanganhaji yang sangat kompleks sehingga dapat
memberikan masukan terhadap pelayanan kesehatan penerbangan haji sehingga akan
meningkatkan kesehatan dan kesiapan jemaah haji dalam melakukan perjalanan
1.5.3 Manfaat bagi KKP Kelas 1 Medan
Mengetahui kondisi penerbangan haji yang sangat kompleks sehingga dapat member
masukan dalam melakukan pemeriksaan I yaitu pemeriksaan yang dilakukan di Puskesmas
yang meliputi pemeriksaan medis dasar dan pemeriksaan II yaitu pemeriksaan yang di
lakukan di rumah sakit yang meliputi pemeriksaan lanjutan dan penunjang. Sehingga

3
kesiapan jemaah hajidalam melakukan penerbangan dapat optimal dan dapat melakasanakan
ibadah dengan baik.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS


2.1.1 Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai
oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronikadalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak
minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya. Emfisema adalah Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai
oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda
emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak
reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.
2.1.2. FAKTOR RISIKO
1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan :
a. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hipereaktiviti bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
6. Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik: Studi pada orang dewasa di
Cina14 didapatkan risiko relative pria terhadap wanita adalah 2,80 (95% C I ; 2,64-2,98).
5
Usia tua RR 2,71 (95% CI 2,53-2,89). Konsumsi alkohol RR 1,77 (95% CI : 1,45 – 2,15),
dan kurang aktivitas fisik 2,66 (95% CI ; 2,34 – 3,02)

2.1.3 PATOGENESIS DAN PATOLOGI

Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel
goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:

- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke


perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok
lama
- Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan
terbanyak pada paru bagian bawah
- Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal,
duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan
hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.

2.1.4 DIAGNOSIS
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Keluhan
- Riwayat penyakit
- Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan fisis
B. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
b. Pemeriksaan khusus

6
A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

b. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
• Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater

• Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
• Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
• Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang

7
- bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed – lips breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang
terjadi pada gagal napas kronik.

B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
 Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan
atau VEP1/KVP ( % ).
 Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
 - VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit.
 Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai
sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%
• Uji bronkodilator
 Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter.
 Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai

8
VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai
awal dan < 200 ml
 Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
penyakit paru lain Pada emfisema terlihat gambaran :
 Hiperinflasi
 Hiperlusen
 Ruang retrosternal melebar
 Diafragma mendatar
 Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye
drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
 Normal
 Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

2.2.1 Laik Terbang

Beberapa maskapai penerbangan membutuhkan sertifikat kesehatan yang menyatakan


calon penumpang dalam kondisi yang stabil dan sehat untuk terbang.

Sebagian besar maskapai juga memiliki penasihat kesehatan yang akan memberikan
rekomendasi yang dimaksud dalam bentuk formulir informasi medikal (MEDIF). Beberapa
pertimbangan dasar dalam hal penasihat kesehatan memberikan rekomendasi yang dimaksud
adalah :

 Dampak dari hipoksia ringan dan penurunan tekanan udara dalam kabin.
 Dampak dari imobilisasi.
 Kemampuan untuk melakukan “brace position” saat pendaratan darurat.
 Pertimbangan waktu pemberian obat untuk penerbangan jarak jauh/ transmeridian.

9
Kemampuan calon penumpang untuk melakukan proses perjalanan dari bandar udara
keberangkatan hingga bandar udara kedatangan.

Pertimbangan kondisi calon penumpang yang dapat memengaruhi kenyamanan atau


keselamatan penumpang lain dalam penerbangan.

Pada pasien PPOK menurut IATA dapat melakukan penerbangan dengan syarat dapat
berjalan sejauh 50 m tanpa dispnoe dan kondisi umum yang adekuat. Atau telah sembuh total
jika baru terjadi ekseserbasi

Untuk dapat melakukan penerbangan, penderita PPOK memerlukan persyaratan fungsi


paru yang baik. Akero (2008) memperkirakan kejadian hipoksia dengan melihat nilai
saturasioksigen berdasarkan pulse oximetry (SpO2) sebelum keberangkatan. Pasien dengan
SpO2 kurang dari 95%, 63-83% akan mengalami penurunan PaO2 menjadi kurang dari 6,6
kPa.
British Thoracic Society dan Aerospace Medical Association merekomendasikan
penilaian aktifitas fisik dengan menggunakan kemampuan berjalan lebih dari 50 meter untuk
memperkirakan kejadian hipoksia saat penerbangan. Berdasarkan hal tersebut diatas, untuk
menilai kelaikan terbang pada penderita PPOK dibutuhkan persyaratkan tekanan parsial
oksigen (PaO2) lebih dari 70 mmHg, saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SpO2) lebih
dari 95%, dan penderita dapat berjalan lebih dari 50 meter tanpa mengalami keluhan apapun

10
2.7 Kerangka Konsep

FAKTOR RESIKO

PPOK

HAMBATAN ALIRAN UDARA


UMUR
DI SALURAN NAPAS YANG
 <60 TAHUN PROGRESSIF
 >60 TAHUN NONREVERSIBEL ATAU
REVERSIBEL PARSIAL
JENIS KELAMIN

 LAKI-LAKI
 PEREMPUAN

KEBIASAAN MEROKOK PPOK

 MEROKOK  YA
 TIDAK MEROKOK  TIDAK

11
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 JENIS PENELITIAN
Penelitian ini bersifat analitik case control
3.2 Lokasi danWaktu Penelitian
3.2.1 Lokasi Penelitian
Asrama haji Medan
3.2.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan mulai Agustus sampai September 2017
3.3 Populasi dan besar sampel
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua jemaah haji Indonesia Emberkasi Medan
tahun 2017
3.3.2 Sample
Seluruh pasien PPOK jemaah haji Indonesia yang laik terbang di emberkasi medan.
Teknik pengambilan sampel melalui purposive sampling. Sampel data lengkap diambil dari
rekam medis baik secara manual pada arsip maupun data yang telahtersimpan secara
komputerisasi
3.3.3 Kontrol
Kontrol dalam penelitian ini adalah jemaah haji Indonesia yang laik terbang di
emberkasi Medan sebanyak jumlah sample yang tidak termasuk pada sample. Teknik
pengambilannya dengan random sample

12
3.4 Alur Penelitian

Hasil Pencarian Masalah

Masalah Penelitian

Tujuan Penelitian

Rancangan Penelitian

Populasi dan Sampel

Pengumpulan Data

Pengolahan dan Analisis

Hasil Penelitian

Pembahasan

Kesimpulan dan Saran

3.5.Metode Pengumpulan Data


3.5.1 Jenis Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari
medical record SISKOHAT (Sistem Komputerisasi Haji Terpadu) emberkasi kota Medan.
3.5.2 Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Data yang dikumpulkan akan diolah dan dianalisis menggunakan software computer
SPSS.
3.6 Definisi Oprasional
Umur
Umur menyatakan umur saat berhaji
> 60 tahun
≤ 60 tahun
Jenis Kelamin
Menyatakan jenis kelamin dari responden. Diukur den gan skala dummy :
1 = jika jenis kelamin laki-laki
0 = jika jenis kelamin perempuan
13
Kebiasaan Merokok
Menyatakan kebiasaan merokok dari responden. Diukur dengan skala dummy:
1= merokok
0= tidak merokok
Kejadian PPOK
Menyatakan diagnosa jemaah haji Indonesia emberkasi Medan tahun 2017
1= PPOK
0= Bukan PPOK

3.7 Etika Penelitian


Ethical clearance mengacu kepada ethical clearance penelitian tersebut di atas yang sudah
dikeluarkan oleh Panitia Tetap Etik Penelitian Kedokteran FKUI Jakarta No 461/ PT02.FK/
ETIK/ 2011. Semua data rekam medis yang digunakan akan dijaga kerahasiaannya.

14
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Dari penelitian didapat hasil sebagai berikut
Tabel 1. Distribusi umur
n Min Max Mean SD
Umur 86 37 86 60.23 10.224

Tabel 1 menujukkan total sampel dalam penelitian ini sejumlah 86 sampel. Umur
minimal sampel adalah 37 tahun dan maksimal 86 tahun dengan mean 10,224.

Tabel 2. Frekuensi umur sampel


Umur N %
< 60 40 46,5
> 60 46 53.5

Tabel 2 menujukkan bahwa sebanyak 40 (46.5%) Jemaah haji berada pada kelompok
umur < 60 tahun (37-59 tahun) dan 46 (53.5%) jemaah berada dalam kelompok usia >60
tahun (60-86 tahun).

Tabel 3 Distribusi Jenis Kelamin Sampel


Jenis Kelamin N %
Laki-laki 56 65,1
Perempuan 30 34,9

Tabel 3 menujukkan bahwa sebanyak 56 (65,1%) Jemaah haji laki-laki dan 30


(34,9%) jemaah haji perempuan.

15
Table 4 Distribusi Kebiasaan Merokok
Kebiasaan Merokok N %
Merokok 54 62,8
Tidak Merokok 32 37,2

Tabel 4 menujukkan bahwa sebanyak 54 (62,8 %) Jemaah haji yang merokok dan 32
(37,2%) jemaah haji yang tidak merokok.

Tabel 5. Distribusi Penyakit PPOK


Diagnosa N %
PPOK 43 50
Bukam PPOK 43 50

Tabel 5 menujukkan bahwa sebanyak 43 (50 %) Jemaah haji yang di diagnose PPOK
dan laik terbang dan 43 (50 %) jemaah haji yang tidak PPOK dan Laik terbang.

Table 6. Hasil uji chi-square case control Umur


Variabel Kategori Kasus Kontrol Jumlah P OR

n n n
(%) (%) (%)
Umur < 60 tahun 12 28 40
(30 %) (70%) (100%) 0.001 0.207
> 60 tahun 31 15 46
(67,4 %) ( 32,6 %) (100%)

Tabel 6 menunjukkan bahwa pada kelompok kasus terdapat 12 (30 %) jemaah haji
memiliki umur < dari 60 tahun dan 31 (67,4 %) jemaah haji yang memiliki umur > 60 tahun.
Sementara pada kelompok kontrol, terdapat 28 (70 %) jemaah haji memiliki umur < dari 60
tahun dan 15 (32,6 %) jemaah haji yang memiliki umur > 60 tahun. Dari hasil uji chi square
didapatkan nilai P lebih kecil dari α = 0.05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara
umur terhadap kejadian PPOK pada jemaah haji yang laik terbang (P = 0.001), dimana umur
> 60 tahun mempunyai resiko untuk mengalami PPOK sebanyak 0.207 kali dibandingkan

16
dengan jemaah haji yang berumur dibawah 60 tahun (OR= 0,207, CI 95% = 0,083 – 0,518,
P= 0.001)

Table 7. Hasil uji chi-square case control Jenis Kelamin


Variabel Kategori Kasus Kontrol Jumlah P OR

n n n
(%) (%) (%)
Jenis Laki-laki 36 20 56
Kelamin (64,3 %) (35,7 %) (100%) 0.000 5,914
Perempuan 7 23 30
(23,3 %) ( 76,7 %) (100%)

Tabel 7 menunjukkan bahwa pada kelompok kasus terdapat 36 (64,3 %) jemaah haji
berjenis kelamin laki-laki dan 7 (23,3 %) jemaah haji dengan jenis kelamin perempuan.
Sementara pada kelompok kontrol, terdapat 20 (35,7%) jemaah haji dengan jenis kelamin
laki-laki dan 23 (76,7%) jemaah haji dengan jenis kelamin perempuan. Dari hasil uji chi
square didapatkan nilai P lebih kecil dari α = 0.05 yang berarti ada hubungan yang signifikan
antara jenis kelamin terhadap kejadian PPOK pada jemaah haji yang laik terbang (P = 0.000),
dimana jenis kelamin laki-laki mempunyai resiko untuk mengalami PPOK sebanyak 5,914
kali dibandingkan dengan jemaah haji perempuan (OR= 5,914, CI 95% = 2,160 – 16,194, P=
0.000)
Table 8. Hasil uji chi-square case control Kebiasaan Merokok
Variabel Kategori Kasus Kontrol Jumlah P OR

n n n
(%) (%) (%)
Kebiasaan Merokok 38 16 54 12,825
Merokok (70,4 %) (29,6 %) (100%) 0.000
Tidak 5 27 32
Merokok (15,6 %) ( 84,4 %) (100%)

Tabel 8 menunjukkan bahwa pada kelompok kasus terdapat 38 (70,4 %) jemaah haji
yang merokok dan 5 (15,6 %) jemaah haji yang tidak merokok. Sementara pada kelompok

17
kontrol, terdapat 16 (29,6 %) jemaah haji merokok dan 27 (84,4 %) jemaah haji yang tidak
merokok. Dari hasil uji chi square didapatkan nilai P lebih kecil dari α = 0.05 yang berarti ada
hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok terhadap kejadian PPOK pada jemaah
haji yang laik terbang (P = 0.000), dimana merokok mempunyai resiko untuk mengalami
PPOK sebanyak 12,825 kali dibandingkan dengan jemaah haji yang tidak merokok (OR=
12,852, CI 95% = 4,189 – 39,26, P= 0.000)

4.2 PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan pada 86 jemaah haji emberkasi medan tahun 2017 dan
dinyatakan laik terbang. Desain penelitian menggunakan studi kasus kontrol. Data yang
digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari medical record
SISKOHAT (Sistem Komputerisasi Haji Terpadu) emberkasi kota Medan, dimana sebanyak
43 jemaah haji yang didiagnosa PPOK sebagai kasus dan 43 jemaah haji yang tidak tidak
didiagnosa PPOK sebagai kontrol. Desain penelitian studi kasus kontrol dipilih karena waktu
penelitian relative lebih singkat, biaya penelitian lebih murah dibandingkan dengan penelitian
studi eksperimen maupun kohort. Desain ini juga dapat menilai beberapa faktor resiko
sekaligus serta dapat mengestimasi resiko relatif yang dinyatakan dengan odd ratio, untuk
perbandingan faktor resiko pada kelompok kasus dan kelompok kontrol.
Sampel diperoleh secara purposive sampling. Sampel data lengkap diambil dari data
SISKOHAT baik secara manual pada arsip maupun data yang telah tersimpan secara
komputerisasi. Purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan khusus sehingga layak dijadikan sampel. Kelompok kontrol diperoleh secara
probability yaitu dengan simple random sampling. Simple random sampling adalah teknik
untuk mendapatkan sampel yang langsung dilakukan pada unit sampling. Maka setiap unit
sampling sebagai unsur populasi yang terpencil memperoleh peluang yang sama untuk
menjadi sampel atau untuk mewakili populasinya. Cara ini dilakukan bila anggota populasi
dianggap homogen. Teknik sampling ini dapat dipergunakan bila jumlah unit sampling dalam
suatu populasi tidak terlalu besar. Cara pengambilan sampel dengan simple random sampling
dapat dilakukan dengan metode undian, ordinal, maupun tabel bilangan random.
Faktor resiko yang diteliti dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin dan
kebiasaan merokok. Umur pada penelitian ini dikatogorikan menjadi 2 yaitu < 60 tahun dan >
60 tahun berdasarkan usia resiko tinggi menurut PMK no. 15 tahun 2016 tentang istitaah
jemaah haji Indonesia.

18
Dari hasil penelitian didapatkan umur minimal sampel adalah 37 tahun dan maksimal
86 tahun dengan mean 60,23. Sejumlah 12 (30%) jemaah haji yang terdiagnosa PPOK pada
kelompok umur < 60 tahun dan 31 (67,4 %) jemaah haji yang didiagnosa PPOK pada
kelompok umur > 60 tahun. Pada kelompok kontrol didapati sejumlah 28 (70%) jemaah haji
yang berumur < 60 tahun dan 15 (32,6 %) jemaah haji yang berusia > 60 tahun.
Dari hasil uji chi square didapatkan nilai P lebih kecil dari α = 0.05 yang berarti
adanya hubungan yang signifikan antara umur terhadap kejadian PPOK pada jemaah haji
yang laik terbang emberkasi Medan (P = 0.001), dimana jemaah haji yang berusia > 60 tahun
mempunyai resiko untuk didiagnosa PPOK sebanyak 0,207 kali dibandingkan dengan jemaah
haji yang berusia < 60 tahun.
Hasil ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa umur merupakan salah satu
faktor resiko terjadinya PPOK (Oemiati, 2013).
Dari hasil penelitian, Jenis kelamin sampel didapatkan sejumlah 36 (64,3 %) jemaah
haji yang berjenis kelamin laki-laki dan 7 (23,3 %) jemaah haji yang berjenis kelamin
perempuan. Pada kelompok kontrol didapati sejumlah 20 (35,7 %) jemaah haji yang berjenis
kelamin perempuan dan 23 (76,7 %) jemaah haji yang berjenis kelamin perempuan.
Dari hasil uji chi square didapatkan nilai P lebih kecil dari α = 0.05 yang berarti
adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin terhadap kejadian PPOK pada jemaah
haji yang laik terbang emberkasi Medan (P = 0.000), dimana jemaah haji yang berjenis
kelamin laki-laki mempunyai resiko untuk didiagnosa PPOK sebanyak 5,914 kali
dibandingkan dengan jemaah haji perempuan.
Hasil ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa jenis kelamin merupakan salah
satu faktor resiko terjadinya PPOK (Oemiati, 2013).

Dimana Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik: Studi pada orang
dewasa di Cina14 didapatkan risiko relative pria terhadap wanita adalah 2,80 (95% C I ; 2,64-
2,98). Usia tua RR 2,71 (95% CI 2,53-2,89). Konsumsi alkohol RR 1,77 (95% CI : 1,45 –
2,15), dan kurang aktivitas fisik 2,66 (95% CI ; 2,34 – 3,02)
Dari hasil penelitian, kebiasaan merokok sampel didapatkan sejumlah 38 (70,4 %)
jemaah haji yang memiliki kebiasaan merokok dan 5 (15,6 %) jemaah haji yang tidak
merokok. Pada kelompok kontrol didapati sejumlah 16 (29,6 %) jemaah haji yang memiliki
kebiasaan merokok dan 27 (84,4 %) jemaah haji yang tidak merokok.
Dari hasil uji chi square didapatkan nilai P lebih kecil dari α = 0.05 yang berarti
adanya hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok terhadap kejadian PPOK pada

19
jemaah haji yang laik terbang emberkasi Medan (P = 0.000), dimana jemaah haji yang
memiliki kebiasaan merokok mempunyai resiko untuk terdiagnosa PPOK sebanyak 12,825
kali dibandingkan dengan jemaah haji yang tidak merokok.
Hasil ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa jenis kelamin merupakan salah
satu faktor resiko terjadinya PPOK (Oemiati, 2013).

Faktor risiko yang dianggap paling berperan terjadinya PPOK adalah kebiasaan
merokok (David M Mannino, A Sonia Buist, 2007). Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan
respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok (Kemenkes RI, 2008). Merokok
mengakibatkan PPOK berhubungan dengan dose response yaitu jumlah konsumsi batang
rokok perhari dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun) (PDPI, 2010). Dari hasil uji chi
square didapatkan nilai P lebih kecil dari α = 0.05 yang berarti adanya hubungan yang
signifikan antara kebiasaan merokok terhadap kejadian PPOK pada jemaah haji yang laik
terbang emberkasi Medan (P = 0.000), dimana jemaah haji yang memiliki kebiasaan merokok
mempunyai resiko untuk terdiagnosa PPOK sebanyak 12,825 kali dibandingkan dengan
jemaah haji yang tidak merokok. Hal ini berarti menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan
merokok dengan derajat keparahan PPOK pada penderita PPOK. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian Ika Nugraha C.A (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara merokok dengan derajat keparahan PPOK dengan nilai p value 0,025 (0,025
< 0,05). Adanya hubungan tersebut dikarenakan distribusi responden pada penelitian ini
maupun penelitian yang dilakukan oleh Ika Nugraha C.A (2010) sebagian besar merupakan
perokok.

Komponen-komponen dalam asap rokok dapat menyebabkan kerusakan saluran


pernafasan. Komponen tersebut mampu merusak silia, sehingga semakin lama dapat
mengakibatkan infeksi. Sementara itu produksi mukus makin bertambah banyak dan kondisi
ini sangat kondusif untuk tumbuh kuman. Apabila kondisitersebut berlanjut ,maka akan
terjadi radang dan penyempitan saluran nafas serta berkurangnya elastisitas. Kebiasaan
merokok dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan pada saluran nafas, antara lain berupa
penyempitan yang dalam hal ini dikaitkan dengan kejadian PPOK (GOLD, 2015). Perokok
aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala respiratorik, abnormalitas
fungsi paru, dan mortalitas yang lebih tinggi.

20
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor risiko yang berhubungan dengan derajat
keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di Puskesmas Bangetayu tahun 2015
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki 56 orang (65,1 %), perempuan 30
orang (34,9 %). Responden yang merokok 54 orang (62,8%) dan yang tidak merokok
32 orang (37,2 %). Dan responden berumur paling muda 37 tahun dan paling tua 86
tahun dengan mean 60,23 dan standar deviasi 10,224.
2. Ada hubungan antara umur dengan kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
pada jemaah haji yang laik terbang pada emberkasi Medan tahun 2017 dengan p value
= 0,001 dan OR = 0,207.
3. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) pada jemaah haji yang laik terbang pada emberkasi medan tahun 2017
dengan p value = 0,000 dan OR = 5,914.
4. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) pada jemaah haji yang laik terbang pada emberkasi medan tahun
2017 dengan p value = 0,000 dan OR = 12,825.

5.2 SARAN
5.2.1. Bagi Masyarakat
Melakukan pencegahan terhadap PPOK dengan mengendalikan faktor risiko yang
telah ada seperti merokok yang menjadi pemicu utama PPOK. Bagi penderita PPOK,
sebaiknya melaksanakan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK.
5.2.2. Bagi Kantor Kesehatan Pelabuhan
Melakukan perbaikan pada sistem rekam medik pasien PPOK, sehingga diagnosis
antara PPOK dengan penyakit pernafasan yang lain tidak dalam satu dokumen. Hal ini juga
untuk memudahkan pencarian data pasien yang menderita PPOK di emberkasi Medan.

21
5.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya dengan tema yang sama diharapkan untuk melakukan
penelitian yang lebih mendalam.

22
Daftar Pustaka

1. Azizi MS, et all. Distribusi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelaikan Terbang


Pasien PPOK Pada Jemaah Haji Indonesia. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSCM. Indonesian Journal of Chest Critical and Emergency Medicine. Vol. I.
2014
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2003
3. IATA (International Air Transport Association), Medical Manual. 2013
4. ICAO (International Civil Aviation Organization), Manual of Civil Aviation
Medicine, third Edition, 2012
5. Kementrian Kesehatan RI. PMK No. 15, Pedoman Teknis Pembinaan Kesehatan
Jemaah Haji. 2016
6. Safitri Y, Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Derajat Keparahan Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK), Universitas Negri Semarang, tahun 2016
7. Prazasta RP, Penilaian Tingkat Resiko Dan Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik Pada Masyarakat Binaan KPKM Buaran FKIK UIN
Syarif Hidayatullah, tahun 2015
8. Soeroto AY, Suryadinata H, Ina J Chest Crit And Emerg Med, Penyakit Paru
Obstruktif Kronik. Departemen Penyakit Dalam RS Dr Hasan Sadikin, FK UNPAD.
Vol 1 No. 2, tahun 2014, hal 85
9. Oemiati R, Media Litbangkes Vol 23 No. 2, Kajian Epidemiologi Penyakit Paru
Obstruksi Kronik, Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. 2013.

23

Anda mungkin juga menyukai