BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ibadah haji merupakan ibadah yang sebagian besar berupa kegiatan fisik, dalam waktu
lama (38-40 hari) di negara Arab Saudi, berada pada lingkungan yang berbeda dengan di
lndonesia (matra), serta dalam kepadatann populasi yang tinggi. Hal ini menuntut calon
jamaah haji memiliki kondisi kesehatan yang prima. Tetapi, persentase jamaah haji resiko
tinggi semakin meningkat dari tahun 2005 hingga 2012. Di Indonesia terjadi peningkatan
dimana pada tahun 2005 sebanyak 28% jamaah haji risiko tinggi meningkat menjadi 51% di
tahun 2012. Hal yang sama terjadi untuk Provinsi Jawa Timur (tahun 2005 sebanyak 30%
meningkat menjadi 47% ditahun 2011) dan Kabupaten Banyuwangi (tahun 2005 21%
meningkat menjadi 38% ditahun 2012). Disamping itu, angka kematian jamaah haji di
Indonesia, Jawa Timur, dan Kabupaten Banyuwangi tergolong tinggi jika di bandingkan
dengan indikator utama yaitu mortality rate <2/1.000 jamaah haji setiap tahunnya. Pada tahun
2012 mortality rate di Indonesia di Jawa Timur, dan Banyuwangi berturut-turut 2,03; 2,38;
dan 4,57.
Untuk mencapai tempat pelaksanaan ibadah haji, jemaah haji melakukan perjalanan
menggunakan pesawat terbang komersial. Pesawat terbang komersial tersebut terbang pada
ketinggian antara 30.000-40.000 kaki. Perbedaan ketinggian antara permukaan laut dengan
ketinggian tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan tekanan di udara (penurunan
tekanan barometrik), yang secara bersamaan akan menurunkan tekanan parsial oksigen
(PaO2). Berdasarkan hal tersebut, pedoman penerbangan komersial internasional
mengeluarkan peraturan dimana tekanan pada kabin pesawatharus dipertahankan dibawah 74
kPa (setara dengan tekanan atmosfer pada ketinggian 2.450 m atau 8.000 kaki). Pada tekanan
tersebut didapatkan fraksi inspirasi oksigen sebesar 15%. Data pada jemaah haji yang
dilaporkan Pusat Kesehatan Haji tahun 2010 didapatkan tiga jemaah meninggal saat di
pesawat (0,75% dari keseluruhan kematian jemaah haji). Adapun pada penerbangan secara
umum,penyebab utama kematian disebabkan oleh masalah kardiovaskular. Peterson (2013)
melaporkan gawat darurat yang tersering ditemukan adalah gejala syncope (37,4%) dan
gejala respirasi (12,1%). Keduanya kemungkinan dicetuskan oleh masalah respirasi akibat
1
terjadinya hipoksia. Adapun permasalahan respirasi lebih sering timbul pada mereka dengan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Gong (1993) meneliti 42.770.468 penumpang secara keseluruhan dalam kurun waktu satu
tahun, didapatkan sebanyak 1.115 penumpang mengalami masalah kesehatan. Dari
penumpang yang mengalami masalah kesehatan tersebut didapatkan sebanyak 405
penumpang terdiagnosis PPOK (36,3 % dari total 1.115 pasien). Penyakit Paru Obstruktif
Kronik saat ini merupakan masalah global dan menjadi penyebab kematian keempat di dunia.
Edvardsen (2011) meneliti timbulnya kejadian hipoksia saat penerbangan pada penderita
PPOK dibandingkan dengan non PPOK, didapatkan hasil OR 6,6% (IK 95% 2,5-17,3;
p<0,001). Gejala hipoksiayang paling umum dikeluhkan pasien PPOK adalah sesak (15%),
perasaan sulit bernapas (11,4%), batuk (4,7%), nyeri kepala (4,7%), dan perasaan seperti
melayang (3,8%).
Untuk dapat melakukan penerbangan, penderita PPOK memerlukan persyaratan fungsi
paru yang baik. Akero (2008) memperkirakan kejadian hipoksia dengan melihat nilai
saturasioksigen berdasarkan pulse oximetry (SpO2) sebelum keberangkatan. Pasien dengan
SpO2 kurang dari 95%, 63-83% akan mengalami penurunan PaO2 menjadi kurang dari 6,6
kPa.
British Thoracic Society dan Aerospace Medical Association merekomendasikan
penilaian aktifitas fisik dengan menggunakan kemampuan berjalan lebih dari 50 meter untuk
memperkirakan kejadian hipoksia saat penerbangan. Berdasarkan hal tersebut diatas, untuk
menilai kelaikan terbang pada penderita PPOK dibutuhkan persyaratkan tekanan parsial
oksigen (PaO2) lebih dari 70 mmHg, saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SpO2) lebih
dari 95%, dan penderita dapat berjalan lebih dari 50 meter tanpa mengalami keluhan apapun.
Pada jemaah haji dengan PPOK, penilaian kelaikan tersebut belum dilakukan secara rutin.
Sampai saat ini masih belum ada penelitian yang menilai profil gejala hipoksia saat
penerbangan dan penilaian kelaikan terbang pada penderita PPOK yang dilakukan pada
jemaah haji Indonesia.
2
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Ditemukannya hubungan antara Umur, Jenis Kelamin dan Kebiasaan Merokok
dengan kelaikan terbang pasien PPOK jemaah haji Indonesia emberkasi medan tahun 2017.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Ditemukannya hubungan antara umur dengan kejadian ppok pada jemaah haji
Indonesia yang laik terbang di emberkasi medan tahun 2017.
2. Ditemukannya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian ppok pada
jemaah haji Indonesia yang laik terbang di emberkasi medan tahun 2017.
3. Ditemukannya hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian ppok pada
jemaah haji Indonesia yang laik terbang di emberkasi medan tahun 2017.
1.4 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah tidak ada hubungan hubungan antara umur, jenis
kelamin dan kebiasaan merokok dengan kejadian ppok pada jemaah haji Indonesia yang laik
terbang di emberkasi medan tahun 2017
3
kesiapan jemaah hajidalam melakukan penerbangan dapat optimal dan dapat melakasanakan
ibadah dengan baik.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel
goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan
hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.
2.1.4 DIAGNOSIS
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Keluhan
- Riwayat penyakit
- Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan fisis
B. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
b. Pemeriksaan khusus
6
A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
• Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
• Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
• Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
• Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
7
- bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed – lips breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang
terjadi pada gagal napas kronik.
B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan
atau VEP1/KVP ( % ).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai
sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%
• Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter.
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
8
VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai
awal dan < 200 ml
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
penyakit paru lain Pada emfisema terlihat gambaran :
Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar
Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye
drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
Sebagian besar maskapai juga memiliki penasihat kesehatan yang akan memberikan
rekomendasi yang dimaksud dalam bentuk formulir informasi medikal (MEDIF). Beberapa
pertimbangan dasar dalam hal penasihat kesehatan memberikan rekomendasi yang dimaksud
adalah :
Dampak dari hipoksia ringan dan penurunan tekanan udara dalam kabin.
Dampak dari imobilisasi.
Kemampuan untuk melakukan “brace position” saat pendaratan darurat.
Pertimbangan waktu pemberian obat untuk penerbangan jarak jauh/ transmeridian.
9
Kemampuan calon penumpang untuk melakukan proses perjalanan dari bandar udara
keberangkatan hingga bandar udara kedatangan.
Pada pasien PPOK menurut IATA dapat melakukan penerbangan dengan syarat dapat
berjalan sejauh 50 m tanpa dispnoe dan kondisi umum yang adekuat. Atau telah sembuh total
jika baru terjadi ekseserbasi
10
2.7 Kerangka Konsep
FAKTOR RESIKO
PPOK
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
MEROKOK YA
TIDAK MEROKOK TIDAK
11
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 JENIS PENELITIAN
Penelitian ini bersifat analitik case control
3.2 Lokasi danWaktu Penelitian
3.2.1 Lokasi Penelitian
Asrama haji Medan
3.2.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan mulai Agustus sampai September 2017
3.3 Populasi dan besar sampel
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua jemaah haji Indonesia Emberkasi Medan
tahun 2017
3.3.2 Sample
Seluruh pasien PPOK jemaah haji Indonesia yang laik terbang di emberkasi medan.
Teknik pengambilan sampel melalui purposive sampling. Sampel data lengkap diambil dari
rekam medis baik secara manual pada arsip maupun data yang telahtersimpan secara
komputerisasi
3.3.3 Kontrol
Kontrol dalam penelitian ini adalah jemaah haji Indonesia yang laik terbang di
emberkasi Medan sebanyak jumlah sample yang tidak termasuk pada sample. Teknik
pengambilannya dengan random sample
12
3.4 Alur Penelitian
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Rancangan Penelitian
Pengumpulan Data
Hasil Penelitian
Pembahasan
14
BAB IV
4.1 Hasil
Dari penelitian didapat hasil sebagai berikut
Tabel 1. Distribusi umur
n Min Max Mean SD
Umur 86 37 86 60.23 10.224
Tabel 1 menujukkan total sampel dalam penelitian ini sejumlah 86 sampel. Umur
minimal sampel adalah 37 tahun dan maksimal 86 tahun dengan mean 10,224.
Tabel 2 menujukkan bahwa sebanyak 40 (46.5%) Jemaah haji berada pada kelompok
umur < 60 tahun (37-59 tahun) dan 46 (53.5%) jemaah berada dalam kelompok usia >60
tahun (60-86 tahun).
15
Table 4 Distribusi Kebiasaan Merokok
Kebiasaan Merokok N %
Merokok 54 62,8
Tidak Merokok 32 37,2
Tabel 4 menujukkan bahwa sebanyak 54 (62,8 %) Jemaah haji yang merokok dan 32
(37,2%) jemaah haji yang tidak merokok.
Tabel 5 menujukkan bahwa sebanyak 43 (50 %) Jemaah haji yang di diagnose PPOK
dan laik terbang dan 43 (50 %) jemaah haji yang tidak PPOK dan Laik terbang.
n n n
(%) (%) (%)
Umur < 60 tahun 12 28 40
(30 %) (70%) (100%) 0.001 0.207
> 60 tahun 31 15 46
(67,4 %) ( 32,6 %) (100%)
Tabel 6 menunjukkan bahwa pada kelompok kasus terdapat 12 (30 %) jemaah haji
memiliki umur < dari 60 tahun dan 31 (67,4 %) jemaah haji yang memiliki umur > 60 tahun.
Sementara pada kelompok kontrol, terdapat 28 (70 %) jemaah haji memiliki umur < dari 60
tahun dan 15 (32,6 %) jemaah haji yang memiliki umur > 60 tahun. Dari hasil uji chi square
didapatkan nilai P lebih kecil dari α = 0.05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara
umur terhadap kejadian PPOK pada jemaah haji yang laik terbang (P = 0.001), dimana umur
> 60 tahun mempunyai resiko untuk mengalami PPOK sebanyak 0.207 kali dibandingkan
16
dengan jemaah haji yang berumur dibawah 60 tahun (OR= 0,207, CI 95% = 0,083 – 0,518,
P= 0.001)
n n n
(%) (%) (%)
Jenis Laki-laki 36 20 56
Kelamin (64,3 %) (35,7 %) (100%) 0.000 5,914
Perempuan 7 23 30
(23,3 %) ( 76,7 %) (100%)
Tabel 7 menunjukkan bahwa pada kelompok kasus terdapat 36 (64,3 %) jemaah haji
berjenis kelamin laki-laki dan 7 (23,3 %) jemaah haji dengan jenis kelamin perempuan.
Sementara pada kelompok kontrol, terdapat 20 (35,7%) jemaah haji dengan jenis kelamin
laki-laki dan 23 (76,7%) jemaah haji dengan jenis kelamin perempuan. Dari hasil uji chi
square didapatkan nilai P lebih kecil dari α = 0.05 yang berarti ada hubungan yang signifikan
antara jenis kelamin terhadap kejadian PPOK pada jemaah haji yang laik terbang (P = 0.000),
dimana jenis kelamin laki-laki mempunyai resiko untuk mengalami PPOK sebanyak 5,914
kali dibandingkan dengan jemaah haji perempuan (OR= 5,914, CI 95% = 2,160 – 16,194, P=
0.000)
Table 8. Hasil uji chi-square case control Kebiasaan Merokok
Variabel Kategori Kasus Kontrol Jumlah P OR
n n n
(%) (%) (%)
Kebiasaan Merokok 38 16 54 12,825
Merokok (70,4 %) (29,6 %) (100%) 0.000
Tidak 5 27 32
Merokok (15,6 %) ( 84,4 %) (100%)
Tabel 8 menunjukkan bahwa pada kelompok kasus terdapat 38 (70,4 %) jemaah haji
yang merokok dan 5 (15,6 %) jemaah haji yang tidak merokok. Sementara pada kelompok
17
kontrol, terdapat 16 (29,6 %) jemaah haji merokok dan 27 (84,4 %) jemaah haji yang tidak
merokok. Dari hasil uji chi square didapatkan nilai P lebih kecil dari α = 0.05 yang berarti ada
hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok terhadap kejadian PPOK pada jemaah
haji yang laik terbang (P = 0.000), dimana merokok mempunyai resiko untuk mengalami
PPOK sebanyak 12,825 kali dibandingkan dengan jemaah haji yang tidak merokok (OR=
12,852, CI 95% = 4,189 – 39,26, P= 0.000)
4.2 PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan pada 86 jemaah haji emberkasi medan tahun 2017 dan
dinyatakan laik terbang. Desain penelitian menggunakan studi kasus kontrol. Data yang
digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari medical record
SISKOHAT (Sistem Komputerisasi Haji Terpadu) emberkasi kota Medan, dimana sebanyak
43 jemaah haji yang didiagnosa PPOK sebagai kasus dan 43 jemaah haji yang tidak tidak
didiagnosa PPOK sebagai kontrol. Desain penelitian studi kasus kontrol dipilih karena waktu
penelitian relative lebih singkat, biaya penelitian lebih murah dibandingkan dengan penelitian
studi eksperimen maupun kohort. Desain ini juga dapat menilai beberapa faktor resiko
sekaligus serta dapat mengestimasi resiko relatif yang dinyatakan dengan odd ratio, untuk
perbandingan faktor resiko pada kelompok kasus dan kelompok kontrol.
Sampel diperoleh secara purposive sampling. Sampel data lengkap diambil dari data
SISKOHAT baik secara manual pada arsip maupun data yang telah tersimpan secara
komputerisasi. Purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan khusus sehingga layak dijadikan sampel. Kelompok kontrol diperoleh secara
probability yaitu dengan simple random sampling. Simple random sampling adalah teknik
untuk mendapatkan sampel yang langsung dilakukan pada unit sampling. Maka setiap unit
sampling sebagai unsur populasi yang terpencil memperoleh peluang yang sama untuk
menjadi sampel atau untuk mewakili populasinya. Cara ini dilakukan bila anggota populasi
dianggap homogen. Teknik sampling ini dapat dipergunakan bila jumlah unit sampling dalam
suatu populasi tidak terlalu besar. Cara pengambilan sampel dengan simple random sampling
dapat dilakukan dengan metode undian, ordinal, maupun tabel bilangan random.
Faktor resiko yang diteliti dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin dan
kebiasaan merokok. Umur pada penelitian ini dikatogorikan menjadi 2 yaitu < 60 tahun dan >
60 tahun berdasarkan usia resiko tinggi menurut PMK no. 15 tahun 2016 tentang istitaah
jemaah haji Indonesia.
18
Dari hasil penelitian didapatkan umur minimal sampel adalah 37 tahun dan maksimal
86 tahun dengan mean 60,23. Sejumlah 12 (30%) jemaah haji yang terdiagnosa PPOK pada
kelompok umur < 60 tahun dan 31 (67,4 %) jemaah haji yang didiagnosa PPOK pada
kelompok umur > 60 tahun. Pada kelompok kontrol didapati sejumlah 28 (70%) jemaah haji
yang berumur < 60 tahun dan 15 (32,6 %) jemaah haji yang berusia > 60 tahun.
Dari hasil uji chi square didapatkan nilai P lebih kecil dari α = 0.05 yang berarti
adanya hubungan yang signifikan antara umur terhadap kejadian PPOK pada jemaah haji
yang laik terbang emberkasi Medan (P = 0.001), dimana jemaah haji yang berusia > 60 tahun
mempunyai resiko untuk didiagnosa PPOK sebanyak 0,207 kali dibandingkan dengan jemaah
haji yang berusia < 60 tahun.
Hasil ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa umur merupakan salah satu
faktor resiko terjadinya PPOK (Oemiati, 2013).
Dari hasil penelitian, Jenis kelamin sampel didapatkan sejumlah 36 (64,3 %) jemaah
haji yang berjenis kelamin laki-laki dan 7 (23,3 %) jemaah haji yang berjenis kelamin
perempuan. Pada kelompok kontrol didapati sejumlah 20 (35,7 %) jemaah haji yang berjenis
kelamin perempuan dan 23 (76,7 %) jemaah haji yang berjenis kelamin perempuan.
Dari hasil uji chi square didapatkan nilai P lebih kecil dari α = 0.05 yang berarti
adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin terhadap kejadian PPOK pada jemaah
haji yang laik terbang emberkasi Medan (P = 0.000), dimana jemaah haji yang berjenis
kelamin laki-laki mempunyai resiko untuk didiagnosa PPOK sebanyak 5,914 kali
dibandingkan dengan jemaah haji perempuan.
Hasil ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa jenis kelamin merupakan salah
satu faktor resiko terjadinya PPOK (Oemiati, 2013).
Dimana Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik: Studi pada orang
dewasa di Cina14 didapatkan risiko relative pria terhadap wanita adalah 2,80 (95% C I ; 2,64-
2,98). Usia tua RR 2,71 (95% CI 2,53-2,89). Konsumsi alkohol RR 1,77 (95% CI : 1,45 –
2,15), dan kurang aktivitas fisik 2,66 (95% CI ; 2,34 – 3,02)
Dari hasil penelitian, kebiasaan merokok sampel didapatkan sejumlah 38 (70,4 %)
jemaah haji yang memiliki kebiasaan merokok dan 5 (15,6 %) jemaah haji yang tidak
merokok. Pada kelompok kontrol didapati sejumlah 16 (29,6 %) jemaah haji yang memiliki
kebiasaan merokok dan 27 (84,4 %) jemaah haji yang tidak merokok.
Dari hasil uji chi square didapatkan nilai P lebih kecil dari α = 0.05 yang berarti
adanya hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok terhadap kejadian PPOK pada
19
jemaah haji yang laik terbang emberkasi Medan (P = 0.000), dimana jemaah haji yang
memiliki kebiasaan merokok mempunyai resiko untuk terdiagnosa PPOK sebanyak 12,825
kali dibandingkan dengan jemaah haji yang tidak merokok.
Hasil ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa jenis kelamin merupakan salah
satu faktor resiko terjadinya PPOK (Oemiati, 2013).
Faktor risiko yang dianggap paling berperan terjadinya PPOK adalah kebiasaan
merokok (David M Mannino, A Sonia Buist, 2007). Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan
respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok (Kemenkes RI, 2008). Merokok
mengakibatkan PPOK berhubungan dengan dose response yaitu jumlah konsumsi batang
rokok perhari dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun) (PDPI, 2010). Dari hasil uji chi
square didapatkan nilai P lebih kecil dari α = 0.05 yang berarti adanya hubungan yang
signifikan antara kebiasaan merokok terhadap kejadian PPOK pada jemaah haji yang laik
terbang emberkasi Medan (P = 0.000), dimana jemaah haji yang memiliki kebiasaan merokok
mempunyai resiko untuk terdiagnosa PPOK sebanyak 12,825 kali dibandingkan dengan
jemaah haji yang tidak merokok. Hal ini berarti menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan
merokok dengan derajat keparahan PPOK pada penderita PPOK. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian Ika Nugraha C.A (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara merokok dengan derajat keparahan PPOK dengan nilai p value 0,025 (0,025
< 0,05). Adanya hubungan tersebut dikarenakan distribusi responden pada penelitian ini
maupun penelitian yang dilakukan oleh Ika Nugraha C.A (2010) sebagian besar merupakan
perokok.
20
BAB V
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor risiko yang berhubungan dengan derajat
keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di Puskesmas Bangetayu tahun 2015
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki 56 orang (65,1 %), perempuan 30
orang (34,9 %). Responden yang merokok 54 orang (62,8%) dan yang tidak merokok
32 orang (37,2 %). Dan responden berumur paling muda 37 tahun dan paling tua 86
tahun dengan mean 60,23 dan standar deviasi 10,224.
2. Ada hubungan antara umur dengan kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
pada jemaah haji yang laik terbang pada emberkasi Medan tahun 2017 dengan p value
= 0,001 dan OR = 0,207.
3. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) pada jemaah haji yang laik terbang pada emberkasi medan tahun 2017
dengan p value = 0,000 dan OR = 5,914.
4. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) pada jemaah haji yang laik terbang pada emberkasi medan tahun
2017 dengan p value = 0,000 dan OR = 12,825.
5.2 SARAN
5.2.1. Bagi Masyarakat
Melakukan pencegahan terhadap PPOK dengan mengendalikan faktor risiko yang
telah ada seperti merokok yang menjadi pemicu utama PPOK. Bagi penderita PPOK,
sebaiknya melaksanakan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK.
5.2.2. Bagi Kantor Kesehatan Pelabuhan
Melakukan perbaikan pada sistem rekam medik pasien PPOK, sehingga diagnosis
antara PPOK dengan penyakit pernafasan yang lain tidak dalam satu dokumen. Hal ini juga
untuk memudahkan pencarian data pasien yang menderita PPOK di emberkasi Medan.
21
5.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya dengan tema yang sama diharapkan untuk melakukan
penelitian yang lebih mendalam.
22
Daftar Pustaka
23