Anda di halaman 1dari 13

GAMBARAN TINGKAT KONTROL DAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN PENYAKIT PARU

OBSTRUKTIF KRONIK

LEVEL OF CONTROL AND QUALITY OF LIFE WITH CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY


DISEASE

Ahmad Meidiansyah 1

Rita Khairani 2

1
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Alamat Korespondensi : Premier Mansion Blok E-5, Penjaringan. Jakarta Utara
mediansyah_ahmad@yahoo.com

2
Staff Pengajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Alamat korespondensi : Jalan Kyai Tapa Nomor 1, Grogol. Jakarta Barat
drranispp@gmail.com

1
ABSTRAK

Gambaran Tingkat Kontrol dan Kualitas Hidup pada


Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik

LATAR BELAKANG
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara
di saluran napas yang bersifat progessif nonreversibleatau reversibleparsial. Kualitas hidup penderita PPOK
merupakan ukuran penting yang dinilai karena berhubungan dengan keadaan sesak yang akan menyulitkan
penderita melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari atau terganggu status fungsionalnya seperti merawat diri,
mobilitas, makan, berpakaian, dan aktivitas rumah tangga.

METODE
Sampel penelitian dipilih dengan menggunakan metode consecutive sampling berjumlah 26 orang responden.
Penelitian menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data menggunakan kuesioner CAT, SGRQ dan
VEP1 dianalisis menggunakan Uji Deskriptif.

HASIL
Didapatkan hasil sebesar 34,6 % responden dengan hambatan jalan napas yang sangat berat, sebagian besar
responden (88,5 %) dengan derajat sesak napas berat. Terdapat 65,4 % responden dengan riwayat eksaserbasi
jarang dan 65,4 % responden dengan PPOK yang tidak terkontrol. Lebih dari separuh responden (61,5 %)
memiliki kualitas hidup yang tidak baik.
KESIMPULAN
Terdapat 65,4 % responden dengan PPOK yang tidak terkontrol dan lebih dari separuh responden dengan kualitas
hidup tidak baik.

Kata Kunci: hambatan jalan napas, derajat sesak napas, riwayat eksaserbasi, tingkat kontrol, kualitas hidup

2
ABSTRACT

Level of Control and Quality of Life in Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease

Background
Chronic Obstructive Pulmonary Disease is a chronic lung disease characterized by the presence of non-reversible
or partial reversible airflow limitation.The quality of life COPD patients is an important measure that is assessed
because it relates to the tightness of the situation that will complicate the patient perform daily activities of life
or functional disturbed such as self-care, mobility, eating, dressing, household activities.

Methods
The sample was chosen by used consecutive sampling method with total 26 repondents. This research was cross-
sectional design. The data was collected by used questionnaire, CAT, FEV1 and SGRQ, and this data was
analyzed used Descriptive test.

Result
A total of 34,6 % subjects with a very severe airway obstruction, most of subjects (88,5 %) with severe dyspnea
level, 65,4 % subjects with rarely exacerbation history, 65,4 % subjects with uncontrolled of COPD. More than
half subjects (61,5%) with a bad quality of life.

Conclusion
There are 34,6 % subjects with uncontrolled of COPD. More than half subjects with a bad quality of life.

Keyword: airways obstruction, dyspnea level, exacerbation history, level control, quality of life

3
PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progessif nonreversible atau reversible parsial.(1) Hambatan aliran udara ini
bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau
berbahaya.(2) Penyakit Paru Obstruksi Kronik merupakan salah satu penyakit yang memiliki beban kesehatan
tertinggi. World Health Organization (WHO) dalam Global Status of Non-Communicable Diseases tahun 2010
mengkategorikan PPOK ke dalam empat besar penyakit tidak menular yang memiliki angka kematian yang tinggi
setelah penyakit kardiovaskular; keganasan dan diabetes.(3) Prevalensi PPOK dari masing-masing negara sangat
bervariasi, hal ini terjadi karena paparan rokok dan meningkatnya rentang hidup populasi manusia.(15) Di
Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%.
Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%)
dibandingkan perempuan (3,3%).(5)
Menurut GOLD 2017, Penyakit Paru Obstruksi Kronik saat ini adalah penyebab kematian nomor empat
di dunia namun diproyeksikan menjadi penyebab nomor satu didunia pada tahun 2020.(4) Di Indonesia,
berdasarkan data RISKESDAS tahun 2013 prevalensi Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah sebesar 3,7%. (5)
Secara global, beban dari PPOK diproyeksikan akan meningkat dalam beberapa dekade mendatang karena terus
berlanjutnya pajanan faktor risiko PPOK dan populasi penuaan.(4) Penyakit Paru Obstruksi Kronik memiliki
gejala-gejala yang progresif, yang utama adalah sesak napas yang membuat penderita menjadi panik, cemas dan
frustasi sehingga penderita mengurangi aktivitas untuk menghindari sesak napas yang menyebabkan penderita
tidak aktif. (5)
Fisiologi pernafasan mencakup dua proses yang terpisah tetapi berkaitan : respirasi internal dan respirasi
eksternal. Istilah respirasi internal atau respirasi sel merujuk pada proses-proses metabolik intrasel yang dilakukan
didalam mitokondria, yang menggunakan O2 dan CO2 selagi mengambil energi dari molekul nutrien. Isitlah
respirasi eksternal merujuk kepada seluruh rangkaian kejadian dalam pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan
eksternal dan sel tubuh. Udara secara bergantian dimasukkan ke dan dikeluarkan antara atmosfer dan alveolus.
Pertukaran ini dilaksanakan oleh tindakan mekanis bernapas atau ventilasi. Kecepatan ventilasi diatur
untuk menyesuaikan aliran udara antara atmosfer dan alveolus sesuai kebutuhan metabolik tubuh akan
penyerapan O2 dan pengeluaran CO2. O2 dan CO2 dipertukarkan anatar udara di alveolus dan darah didalam
kapiler paru melaljui proses difusi. Darah mengangkut O2 dan CO2 antara paru dan jaringan. O2 dan CO2
dipertukarkan antara jaringan dan darah melalui proses difusi menembus kapiler sisitemik (jaringan). Sistem
respirasi tidak melaksanakan semua tahap atau langkah respirasi; sistem ini hanya berperan dalam ventilasi dan
pertukaran O2 dan CO2 antara paru dan darah. Sistem sirkulasi melaksanakan tahap tahap selanjutnya.(7)
Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologi Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
Faktor-faktor risiko yang ada adalah merokok, genetik, paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru,
stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran napas, status sosioekonomi, nutrisi, komorbiditas,

4
hipereaktiviti bronkus, bronkitis kronik.(9)(4) Selanjutnya manifestasi sistemik PPOK seperti peradangan sistemik,
perubahan metabolisme, kejadian kardiovaskular dan kanker berkontribusi pada kematian pasien secara dini.(18)
Terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronik dengan hipersekresi
mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari
distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata. Penyempitan saluran nafas
tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas
terhadap respon inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamousa akan mengalami
metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi.
Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses
remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit
B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran
nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot
polos. Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang diperkuat terhadap
iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronik, sedangkan pada
emfisema paru, ketidakseimbangan pada protease dan anti protease serta defisiensi α 1 antitripsin menjadi dasar
patogenesis PPOK.
Proses inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator mediator
inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan
struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun
setelah berhenti merokok. Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat
keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan dalam
proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan
growth related oncogene α, TNF α, IL-1ß dan TGFß.
Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres oksidatif dan
paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan makrofagserta aktivasi
faktor transkripsi seperti nuclear factor κß sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang
sebelumnya telah ada. Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta disfungsi silier
mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas
yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru.(9)
Tingkat kontrol Penyakit Paru Obstruksi Kronik dapat dilakukan dengan Combined COPD assessment
test. Combined COPD assessment test melakukan penilaian efek Penyakit Paru Obstruksi Kronik terhadap
masing-masing penderitanya berdasarkan assessment terhadap gejala yang dialami, klasifikasi spirometri
berdasarkan GOLD dan kejadian eksaserbasi (6). Dalam skema ini, pasien harus menjalani pemeriksaan spirometri
untuk menentukan tingkat keparahan, hambatan aliran udara (misalnya tingkat spirometri). Pasien kemudian
harus menjalani asesmen dyspnea menggunakan mMRC atau gejala menggunakan COPD Assessment Test.

5
Terakhir riwayat eksaserbasi (termasuk data rawat inap) juga harus dilakukan pencatatan.(4) Pada mMRC akan
dilihat status kesehatan pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik.(10)
Penyakit Paru Obstruksi Kronik merupakan penyakit sistemik yang menurunkan kemampuan aktivitas
sehari-hari.(5) Penyakit Paru Obstruksi Kronik sering dihubungkan dengan penurunan kualitas hidup. Kualitas
hidup yang rendah pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik terbukti dengan adanya dyspnea, gangguan fisik,
depresi dan kecemasan memiliki prognosis yang buruk terkait dengan kekerapan masuk rumah sakit bahkan
sampai dengan kematian.(11) Oleh sebab itu pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik, ketepatan dalam
melakukan pengukuran kualitas hidup bermanfaat untuk mengetahui proses penyakitnya dengan demikian pasien
yang menderita PPOK perlu diteliti kualitas hidupnya.(12)
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Firdausi menunjukan bahwa terdapat hubungan bermakna antara
derajat obstruksi paru dengan kualitas hidup pada pasien PPOK.(2) Selain itu hasil penelitian Elisabeth Stahl,
Anne Lindberg, Sven-Arne Jansson et.al menyatakan bahwa tingkat kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan
subjek PPOK memburuk secara bermakna dengan meningkatnya keparahan penyakit dan terkait dengan
penurunan fungsi paru.(13) Sementara hasil penelitian Mohammaed A. Zamzam, Nourane Y. Azab, Rabab A. El
Wahsh et.al. menyatakan bahwa kualitas hidup pada pasien PPOK terganggu seiring dengan meningkatnya
tingkat keparahan penyakit.(14)

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif untuk mengetahui gambaran tingkat kontrol dan kualitas
hidup pada pasien PPOK, di mana pengumpulan data hanya dilakukan satu kali. Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan April hingga Agustus 2018 terhadap pasien poli paru RSAL dr Mintohardjo, Jakarta. Jumlah sampel dalam
penelitan ini adalah 64 responden yang memenuhi kriteria inklusi. Pada penelitian ini sampel yang didapat tidak
memenuhi besar sampel, dan hanya didapatkan 26 responden. Jenis instrumen yang digunakan pada penelitian
ini adalah kuesioner CAT dan FEV1, serta riwayat eksaserbasi untuk mengetahui gejala yang berhubungan tingkat
kontrol pasien PPOK serta kuesioner SGRQ yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana PPOK dapat
mempengaruhi kualitas hidup penderitanya.
Penelitian ini menggunakan analisis univariat untuk melakukan pengelompokan jenis kelamin serta
kelompok usia. Tahapan pengolahan dan analisis data dilakukan dengan program komputer statistical program
for social science (SPSS) For windows.
HASIL
Dari hasil analisis penelitian yang telah dilakukan hasil bahwa terdapat 34,6 % responden dengan hambatan jalan
napas sangat berat, sementara 23,1 % reponden dengan hambatan jalan napas ringan dan berat, 19,2 % responden
dengan hambatan jalan napas sedang. Pada variabel derajat sesak napas didapatkan hasil sebanyak 88,5 %
responden memiliki derajat sesak napas yang berat, sedangkan 11,5 % responden lainnya memiliki derajat sesak
napas yang ringan. Pada penilaian riwayat eksaserbasi didapatkan hasil 65,4 % responden memiliki riwayat
eksaserbasi pada kategori jarang, sedangkan sebanyak 34,6 % responden memiliki riwayat eksaserbasi pada
kategori sering. Pada penilaian tingkat kontrol didapatkan sebanyak 65,4 % responden memiliki tingkat kontrol

6
pada kategori tidak terkontrol sementara 34,6 % responden memiliki tingkat kontrol pada kategori terkontrol.
Pada variabel kualitas hidup didapatkan hasil sebanyak 61,5 % responden memiliki kualitas hidup yang tidak
baik dan sisanya 38,5 % responden memiliki kualitas hidup yang baik.
PEMBAHASAN
a. Hambatan jalan napas
Hasil analisis terhadap penilaian hambatan jalan napas didapatkan frekuensi tertinggi pada kategori
hambatan jalan napas yang sangat berat yaitu 34,6 % dan frekuensi terendah 19,2 % responden dengan kategori
hambatan jalan napas sedang. Hasil ini dapat dipengaruhi oleh usia responden yang sebagian besar terbilang
berada pada kategori usia lansia. Gangguan fungsi paru dapat mempengaruhi sistem kerja tubuh yang akibatnya
dapat menimbulkan suatu penyakit. Penurunan fungsi paru pada lansia akan menimbulkan gangguan mekanis
dan pertukaran gas di sistem pernapasan. Lansia akan merasa cepat lelah dan sesak nafas jika melakukan kegiatan
berat yang dampaknya kemampuan lansia untuk melakukan aktivitas sehari-hari akan menurun. (23)
Pada lanjut usia fungsi paru menurun akibat berkurangnya elastisitas jaringan parenkim paru, kelemahan
otot napas serta adanya air trapping yang disebabkan oleh perubahan struktur anatomik saluran napas.(24)
Penurunan fungsi ini akan lebih berat jika orang yang bersangkutan memiliki kebiasaan merokok.(32) Selain itu
penurunan fungsi paru pada lansia juga dapat terjadi disebabkan oleh gangguan pengaturan ventilasi paru akibat
adanya penurunan kepekaan kemoreseptor perifer, kemoreseptor sentral ataupun pusat-pusat pernapasan di
medulla oblongata dan pons terhadap rangsangan berupa penurunan PaO2, peningkatan PaCO2, perubahan pH
darah arteri. Hal ini menyebabkan terjadinya pembatasan aliran udara dan perubahan paru yang awalnya masih
dapat bersifat reversibel menjadi irreversible.(22) Selain itu kesulitan dalam mengosongkan udara pada paru akan
menyebabkan sesak napas dan atau merasa lelah karena pasien PPOK membutuhkan usaha yang keras dalam
bernapas.

b. Derajat sesak napas


Hasil analisis distribusi frekuensi variabel derajat sesak napas yang diukur menggunakan kuesioner CAT
didapatkan hasil sebesar 88,5 % responden memiliki derajat sesak napas yang berat sementara 11,5 % responden
lainnya memiliki derajat sesak napas yang ringan. Hasil diatas dapat terjadi akibat usia responden yang sudah
lanjut. Pada usia lanjut terjadi perubahan berupa kekakuan dinding dada sehingga compliance dinding dada
berkurang, terdapat penurunan elastisitas parenkim paru, bertambahnya kelenjar mukus pada bronkus dan
penebalan pada mukusa bronkus. Akibatnya terjadi peningkatan tahanan saluran napas dan penurunan faal
paru.(25) Selain itu epitel saluran napas yang dibentuk oleh sel skuamosa akan mengalami metaplasi, sel-sel silia
mengalami atropi dan kelenjar mucus menjadi hipertropi. Saluran napas yang kecil akan memberikan beragam
lesi penyempitan pada saluran napas, termasuk hiperplasi goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan
submucosa, peningkatan otot polos. Hipersekresi mucus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta
disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran napas dan
air trapping.(28) Sehingga memberikan kelainan ventilasi berupa obstruksi saluran pernapasan yang bersifat
progresif dan tidak sepenuhnya reversible.(28)
7
Selain itu hal lain yang mempengaruhi obstruksi saluran napas adalah adanya inflamasi, hipertrofi otot
polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis pada PPOK. Perubahan pada sistem mukosiliar ini mengganggu
sistem mukosiliar dan menyebabkan penumpukan mukus dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran
napas. Produksi mukus yang banyak dan penumpukan mukus menjadi media perkembangbiakan mikroorganisme
sehinggan terjadi infeksi, proses ventilasi terutama ekspirasi menjadi terhambat, sehingga timbul hiperkapnea
akibat adanya mukus dan peradangan.(26)
Pasien yang memiliki riwayat merokok juga akan membuat gangguan pada proses respirasi. Komponen
asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator preradangan secara
progresif merusak struktur-struktur penunjang pada paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran napas dan
kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.(27)

c. Riwayat eksaserbasi
Hasil analisis pada tabel distribusi frekuensi berdasarkan riwayat eksaserbasi didapatkan hasil sebesar
65,4 % responden memiliki riwayat eksaserbasi yang jarang atau < 1 kali per tahun, sedangkan 34,6 % responden
lainnya memiliki riwayat eksaserbasi yang cukup sering atau  2 kali per tahun. Riwayat eksaserbasi pada PPOK
dikaitkan erat dengan infeksi saluran napas. Saat terjadi infeksi saluran napas, paru akan melakukan reaksi
terhadap infeksi tersebut. Reaksi tersebut akan menyebabkan hipertrofi saluran napas dan penyempitan otot polos.
Keteraturan pengobatan pada pasien PPOK sangat penting karena dengan keteraturan pengobatan maka kejadian
eksaserbasi pada pasien PPOK dapat diturunkan semaksimal mungkin.(46). Selain itu seperti menghindari pajanan
rokok, terapi bronkodilator, inhalasi kortikosteroid dapat menghindari terjadinya eksaserbasi(29).

d. Tingkat kontrol
Hasil analisis distribusi frekuensi berdasarkan tingkat kontrol didaptkan sebesar 65,4 % responden tidak
terkontrol dan 34,6 % lainnya terkontrol. Hasil ini didapat karena pada sebagian besar responden memiliki gejala
sesak napas dan hambatan jalan napas yang cukup berat dan usia responden yang sebagian besar pada kategori
usia lanjut dan berjenis kelamin laki-laki. Penilaian pada tingkat kontrol pada pasien PPOK terkait dengan
keparahan pasien PPOK. (5)
Keparahan pada PPOK dinilai dengan gejala sesak napas danhambatan jalan napas.(5) Pada lanjut usia
fungsi paru menurun akibat berkurangnya elastisitas jaringan parenkim paru, kelemahan otot napas serta adanya
air trapping yang disebabkan oleh perubahan struktur anatomik saluran napas.(24) Selain itu penurunan fungsi
paru pada lansia juga dapat terjadi disebabkan oleh gangguan pengaturan ventilasi paru akibat adanya penurunan
kepekaan kemoreseptor perifer, kemoreseptor sentral ataupun pusat-pusat pernapasan di medulla oblongata dan
pons terhadap rangsangan berupa penurunan PaO2, peningkatan PaCO2, perubahan pH darah arteri. Hal ini
menyebabkan terjadinya pembatasan aliran udara dan perubahan paru yang awalnya masih dapat bersifat
reversibel menjadi irreversible.(22) Selain itu hal lain yang mempengaruhi obstruksi saluran napas adalah adanya
inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis pada PPOK.(26)

8
e. Kualitas hidup
Hasil analisis distribusi frekuensi yang terkait dengan kualitas hidup pada pasien PPOK terdapat 61,5 %
responden yang memiliki kualitas hidup yang tidak baik sedangkan 38,5 % responden lainnya memiliki tingkat
kualitas hidup pada kategori baik. Hasil ini didapat karena sebagian besar responden telah berusia lanjut dengan
pembatasan aktivitas sehari-hari akibat dampak dari gejala yang dirasakan oleh pasien. (21)
Pada PPOK terjadi penurunan fungsi pada kualitas hidup, baik secara fungsi sosial maupun aktivitas
sehari-hari dari pasien tersebut.(6) Salah satu gejala PPOK yaitu sesak napas, akibat sesak napas yang sering terjadi
penderita menjadi panik, cemas, dan frustasi sehingga penderita mengurangi aktivitas untuk menghindari sesak
napas yang menyebabkan penderita menjadi tidak aktif.(8) Pasien PPOK juga harus mendapatkan pengobatan
jangka panjang sehingga seringkali pasien PPOK mengalami perasaan malu karena pengobatan jangka
panjang.(17) Selain itu riwayat merokok juga menjadi sangat penting pada penilaian kualitas
hidup pasien PPOK dimana pasien yang memiliki riwayat merokok memiliki kualitas hidup yang buruk karena
berkaitan dengan adanya hambatan jalan napas. (6)
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Putri Tiara Rosha di Yogyakarta terhadap 146 pasien PPOK ini
didapatkan bahwa pasien yang memiliki VEP1<30% berisiko 3,08 kali lebih besar mengalami kualitas hidup lebih
buruk dibandingkan pasien dengan VEP1>80%. Selain itu peningkatan eksaserbasi menurunkan fungsi paru
secara bermakna akibat infeksi, polusi udara, kelelahan dan komplikasi. Responden pada penelitian
tersebutsebagian besar berusia lajut serta memilikitingkat eksaserbasi yang cukup tinggi. (17)
Penelitian dari Mariko Morishita-Katsu et.al di Jepang terhadap 109 pasien PPOK mendapatkan data
bahwa pada pasien yang memiliki nilai CAT yang tinggiberkorelasi dengan VEP1 dan nilai total SGRQ secara
bermakna berkorelasi dengan semua variabel yang diperoleh dari tes fungsi paru. Penelitian tersebut mendapatkan
hubungan antara kualitas hidup dan penyakit PPOK yang dihubungkan dengan fungsi paru responden yang
sebagian besar telah berusia lanjut sehingga telah terjadi penurunan dari fungsi paru. (27)
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Oguzhan Okutan di Turki. Terhadap 90 orang pasien PPOK
dengan rerata usia 68.5 tahun dengan menggunakan kuesioner CAT ini mendapatkan hubungan PPOK dengan
kualitas hidup terutama variabel sesak napas yang ditemukan sangat berhubungan dengan kualitas hidup pasien
PPOK. (19)
Penelitian dari Margareth E. Wacker diJerman terhadap 2.291 pasien PPOK mendapatkan hubungan
antara kualitas hidup dan PPOK. Penelitian tersebut juga mendapatkan bahwa pasien PPOK dengan tingkat
komorbiditas yang tinggi memiliki kualitas hidup sangat terganggu, hal ini dapat disebabkan karena sebagian
besar pasien memiliki tingkat komorbiditas yang cukup tinggi seperti merokok, penyakit metabolik serta penyakit
kardiovaskular. (20)
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang didapat bahwa, terdapat 34,6 % responden yang mengalami hambatan jalan napas sangat
berat, 88,5 % responden dengan derajat sesak napas yang berat, 65,4 % responden dengan riwayat eksaserbasi

9
yang jarang, 65,4 % responden dengan PPOK yang tidak terkontrol, serta lebih dari separuh (61,5 %) responden
dengan kualitas hidup yang tidak baik.

10
UCAPAN TERIMA KASIH:
1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, dr. Suriptiastuti, DAP&E., MS.
2. Kepala Rumah Sakit TNI AL dr. Mintohardjo, Kolonel. dr. Wiweka, MARS., beserta seluruh jajarannya
3. Letkol. dr. Dian Ariani, SpP., dr. Atika Sari, SpP., Letkol. dr. Budi, SpP. serta seluruh perawat dan staf poli
paru Rumah Sakit TNI AL dr. Mintohardjo.

11
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit Paru Obstruksi Kronik. Available at
http://klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf diakses pada 24 Oktober 2017.
2. Firdausi. Hubungan Derajat Obstruksi Paru Dengan Kualitas Hidup Penderita PPOK di RSUD dr. Soedarso
Pontianak. Pontianak: Universitas Tanjungpura. 2014.
3. Soeroto AY, Suryadinata H. Penyakit Paru Obstruksi Kronik. 2014;1(2):83-88.
4. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Available at
www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf diakses pada 26 Oktober
2017.
5. Andayani N, Rizki M, Lubis R. Hubungan Derajat Sesak Napas Penyakit Paru Obstruksi Kronik Dengan
Simptom Ansietas. 2014;14:92-97.
6. Koff PB, Jones RH, Cashman JM, Voelkel NF, Vandivier RW. Proactive Integrated Care Improves Quality
of Life in Patients with COPD. 2009;33(5): 1031-8.
7. Sherwood L. Fisiolologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC, 2011
8. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Available at
www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf diakses pada 26 Pktober
2017
9. Susanti PFE. Influence of Smoking on Chronic Obstructive Pulmonary Disease. 2015;4(5):67-75.
10. Melani AS, Bonavia M, Cilenti V, et al. Inhaler Mishandling Remains Common in Real Life and is
Associated With Reduced Disease Control. 2011;105(6):930-8.
11. Zamzam MA, Azab NY, El Wahsh RA, et al. Quality of Life in COPD Patients. Al Minufya: Menoufiya
University. 2013;61(4):281-9.
12. Muthmainnah, Restuastuti T, Munir SM. Gambaran Kualitas Hidup Pasien PPOK Stabil Di Poli Paru RSUD
Arifin Achmad Provinsi Riau Dengan Menggunakan Kuesioner SGRQ. 2015;2(2):1-20.
13. Stahl E, Lindberg A, Jansson SA, et al. Health-Related Quality of Life is Related to COPD Disease Severity.
2005;3(1):56.
14. Esteban C, Quintana JM, Aburto M, et al. Impact of Changes in Physical activity on Health-Related Quality
of Life Among Patients With COPD. 2010;36(2):292-300.
15. Miravitlles M, Molina J, Naberan K, et al. Factors Determining the Quality of Life of Patients With COPD
in Primary Care. 2007;1(2):85-92.
16. Tuder RM. Petrache I. Pathogenesis of chronic obstructive pulmonary disease. 2012;122(8):2749-55
17. Rosha PT, Dewi FST. Faktor-faktor yang memengaruhi kualitas hidup pasien penyakit paru obstruktif kronik.
2017;34(2):63-4
18. Mashita M, Nishimura K, Taniguchi H, et al. The COPD assessment tests and St George’s Respiratory
Questionnaire: are they equivalent in subjects with COPD?. 2016;11:1545-50

12
19. Okutan O, Tas D, Demirer E, Kartaloglu Z. Evaluation of quality of life with the chronic obstructive
pulmonary disease assessment test in chronic obstructive pulmonary disease and the effect of dyspnea on
disease-specific quality of life in these patients.2013;54(55):1216-18
20. Wacker ME. Assessing health-related quality of ife in COPD: Comparing generic and disease-specific
instruments with focus on comorbidities. 2016;16(70)
21. Jones P, Forde Y. St. George Respiratory Questionnaire Manual. 2009;2:8-13
22. Firdahana A. Perbandingan nilai faal paru pada penderita penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) stabil
dengan orang sehat. 2010
23. Sarawati LD. Faktor yang mempengaruhi kapasitas vital paru lansia di Kelurahan Karanggeneng Kecamatan
Boyolali Kabupaten Boyolali tahun 2010. 2011;4(2)
24. Gunawan D. Perubahan anatomik Organ Tubuh pada Penuaan.2016;1(2)
25. Hariyanti D. Pola distribusi penderita penyakit paru obstruktif kronik di ruang rawat inap RSU Dokter
Soedarso Pontianak. 2013
26. Bihar S. Korelasi derajat obstruksi dengan transpor mukosiliar hidung penderita penyakit paru obstruksi
kronik stabil di RSUP H. Adam Malik dan BP4 Medan. 2012
27. Bakti AK. Penatalaksanaan fisioterapi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) eksaserbasi akut di Balai
Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta. 2014
28. Susanti PF. Influence of smoking on chronic obstructive pulmonary disease. 2015;4(5)
29. Agusti A, Calverley PM, Decramer M, Stockley RA, Wedzicha JA. Prevention of exacerbations in chronic
obstructive pulmonary disease: Knowns and unknowns. 2014;1(2):173-5.

13

Anda mungkin juga menyukai