Anda di halaman 1dari 11

Nama : Cindy Dwi Anggraini

Nim : 2130404036

Tugas : Resume 3

Matkul: Analisis Laporan Keuangan

A. Analisis Ratio
1. Ratio Likuiditas
Rasio likuiditas adalah rasio keuangan yang digunakan untuk mengukur
kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangan jangka
pendek. Rasio ini menunjukkan seberapa besar aset lancar yang dimiliki
perusahaan dapat digunakan untuk membayar kewajiban lancarnya.
Ada beberapa jenis ratio likuiditas yaitu:
- Rasio Lancar (Curren ratio) adalah rasio likuiditas yang paling umum
digunakan. Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban lancarnya dengan menggunakan semua aset lancarnya.
Rumus rasio lancar:
Rasio lancar = Aset lancar / Kewajiban lancar

- Rasio cepat (quick ratio) adalah rasio likuiditas yang lebih ketat daripada rasio
lancar. Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban lancarnya dengan menggunakan aset lancar yang paling likuid,
yaitu kas, piutang, dan efek.
Rumus rasio cepat:
Rasio cepat = (Kas + Piutang + Efek) / Kewajiban lancar

- Rasio kas (cash ratio) adalah rasio likuiditas yang paling ketat. Rasio ini
mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban lancarnya
dengan menggunakan kas dan setara kas.
Rumus rasio kas:
Rasio kas = Kas / Kewajiban lancar

Interpretasi rasio likuiditas

Nilai rasio likuiditas yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan memiliki


kemampuan yang baik untuk memenuhi kewajiban lancarnya. Sebaliknya, nilai
rasio likuiditas yang rendah menunjukkan bahwa perusahaan memiliki
kemampuan yang buruk untuk memenuhi kewajiban lancarnya.
Namun, nilai rasio likuiditas yang tinggi juga dapat menunjukkan bahwa
perusahaan tidak menggunakan aset lancarnya secara efektif. Oleh karena itu,
interpretasi rasio likuiditas harus dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-
faktor lain, seperti industri dan kondisi ekonomi.

Contoh Soal:
Perusahaan ABC memiliki data keuangan sebagai berikut:
Aset lancar : Rp100 juta
Kewajiban lancar: Rp50 juta
Berapakah rasio lancar perusahaan ABC?
Jawaban!
Rasio lancar perusahaan ABC adalah:
Rasio lancar = Aset lancar / Kewajiban lancar
= Rp100 juta / Rp50 juta
= 2,0

2. Ratio Solvabilitas
 Solvabilitas aktiva(total asset to total debt ratio)
Solvabilitas aktiva (total asset to total debt ratio) adalah rasio keuangan
yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu perusahaan untuk
memenuhi kewajiban keuangan jangka panjangnya dengan menggunakan
seluruh asetnya. Rasio ini menunjukkan seberapa besar total aset perusahaan
dapat digunakan untuk membayar total utangnya.

Rumus solvabilitas aktiva (total asset to total debt ratio)

Solvabilitas aktiva = Total aset / Total utang

Interpretasi solvabilitas aktiva (total asset to total debt ratio)


Nilai solvabilitas aktiva yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan
memiliki kemampuan yang baik untuk memenuhi kewajiban keuangan jangka
panjangnya. Sebaliknya, nilai solvabilitas aktiva yang rendah menunjukkan
bahwa perusahaan memiliki kemampuan yang buruk untuk memenuhi
kewajiban keuangan jangka panjangnya.
Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak ada nilai standar untuk
solvabilitas aktiva. Nilai solvabilitas aktiva yang optimal akan bervariasi
tergantung pada industri perusahaan dan kondisi ekonomi.
Sebagai contoh, perusahaan di industri manufaktur cenderung memiliki
solvabilitas aktiva yang lebih rendah daripada perusahaan di industri jasa. Hal
ini karena perusahaan manufaktur membutuhkan lebih banyak aset untuk
mendukung operasinya

 Solvabilitas modal sendiri(equity to total debt ratio)


Solvabilitas modal sendiri (equity to total debt ratio) adalah rasio
keuangan yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu perusahaan
untuk memenuhi kewajiban keuangan jangka panjangnya dengan
menggunakan modal sendiri. Rasio ini menunjukkan seberapa besar modal
sendiri yang dimiliki perusahaan dapat digunakan untuk membayar total
utangnya.
Rumus solvabilitas modal sendiri (equity to total debt ratio)

Solvabilitas modal sendiri = Modal sendiri / Total utang

Interpretasi solvabilitas modal sendiri (equity to total debt ratio)


Nilai solvabilitas modal sendiri yang tinggi menunjukkan bahwa
perusahaan memiliki kemampuan yang baik untuk memenuhi kewajiban
keuangan jangka panjangnya dengan menggunakan modal sendiri. Sebaliknya,
nilai solvabilitas modal sendiri yang rendah menunjukkan bahwa perusahaan
memiliki kemampuan yang buruk untuk memenuhi kewajiban keuangan
jangka panjangnya dengan menggunakan modal sendiri.
Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak ada nilai standar untuk
solvabilitas modal sendiri. Nilai solvabilitas modal sendiri yang optimal akan
bervariasi tergantung pada industri perusahaan dan kondisi ekonomi.
Sebagai contoh, perusahaan di industri keuangan cenderung memiliki
solvabilitas modal sendiri yang lebih tinggi daripada perusahaan di industri
manufaktur. Hal ini karena perusahaan keuangan membutuhkan lebih banyak
modal sendiri untuk memenuhi persyaratan regulasi.

 Total debt to total aset ratio


Total debt to total asset ratio (TDR) adalah rasio keuangan yang digunakan
untuk mengukur seberapa besar aset perusahaan yang dibiayai dengan utang.
Rasio ini dihitung dengan membagi total utang perusahaan dengan total
asetnya.

Rumus TDR

TDR = Total utang / Total aset

Interpretasi TDR
Nilai TDR yang rendah menunjukkan bahwa perusahaan memiliki
lebih banyak aset daripada utang, sehingga perusahaan memiliki kemampuan
yang baik untuk memenuhi kewajiban keuangannya. Sebaliknya, nilai TDR
yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan memiliki lebih banyak utang
daripada aset, sehingga perusahaan memiliki kemampuan yang buruk untuk
memenuhi kewajiban keuangannya
Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak ada nilai standar untuk TDR.
Nilai TDR yang optimal akan bervariasi tergantung pada industri perusahaan
dan kondisi ekonomi.
Sebagai contoh, perusahaan di industri manufaktur cenderung memiliki
TDR yang lebih tinggi daripada perusahaan di industri jasa. Hal ini karena
perusahaan manufaktur membutuhkan lebih banyak aset untuk mendukung
operasinya.

 Total debt to total equity ratio


Total debt to total equity ratio (D/E ratio) adalah rasio keuangan yang
digunakan untuk mengukur seberapa besar aset perusahaan yang dibiayai
dengan utang dibandingkan dengan modal sendiri. Rasio ini dihitung dengan
membagi total utang perusahaan dengan total ekuitasnya.

Rumus D/E ratio

D/E ratio = Total utang / Total ekuitas

Interpretasi D/E ratio


Nilai D/E ratio yang rendah menunjukkan bahwa perusahaan memiliki
lebih banyak modal sendiri daripada utang, sehingga perusahaan memiliki
kemampuan yang baik untuk memenuhi kewajiban keuangannya. Sebaliknya,
nilai D/E ratio yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan memiliki lebih
banyak utang daripada modal sendiri, sehingga perusahaan memiliki
kemampuan yang buruk untuk memenuhi kewajiban keuangannya.
Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak ada nilai standar untuk D/E
ratio. Nilai D/E ratio yang optimal akan bervariasi tergantung pada industri
perusahaan dan kondisi ekonomi.
Sebagai contoh, perusahaan di industri manufaktur cenderung memiliki
D/E ratio yang lebih tinggi daripada perusahaan di industri jasa. Hal ini karena
perusahaan manufaktur membutuhkan lebih banyak aset untuk mendukung
operasinya.

 Tangible aset debt coverage


Tangible asset debt coverage (TADC) adalah rasio keuangan yang digunakan
untuk mengukur kemampuan suatu perusahaan untuk membayar utangnya
dengan menjual aset tetap berwujudnya. Rasio ini menunjukkan berapa kali
aset tetap berwujud perusahaan dapat digunakan untuk membayar utangnya.

Rumus TADC

TADC = Aset tetap berwujud / Utang jangka panjang

Interpretasi TADC
Nilai TADC yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan memiliki
kemampuan yang baik untuk membayar utangnya dengan menjual aset tetap
berwujudnya. Sebaliknya, nilai TADC yang rendah menunjukkan bahwa
perusahaan memiliki kemampuan yang buruk untuk membayar utangnya
dengan menjual aset tetap berwujudnya.
Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak ada nilai standar untuk TADC.
Nilai TADC yang optimal akan bervariasi tergantung pada industri perusahaan
dan kondisi ekonomi.
Sebagai contoh, perusahaan di industri manufaktur cenderung memiliki
TADC yang lebih tinggi daripada perusahaan di industri jasa. Hal ini karena
perusahaan manufaktur memiliki lebih banyak aset tetap berwujud, seperti
pabrik dan mesin.

 Time interest earned


Time interest earned (TIE) ratio, juga dikenal sebagai interest coverage ratio,
adalah rasio keuangan yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu
perusahaan untuk membayar bunga atas utangnya. Rasio ini dihitung dengan
membagi laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) perusahaan dengan beban
bunga.

Rumus TIE ratio

TIE ratio = EBIT / Beban bunga

Interpretasi TIE ratio


Nilai TIE ratio yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan memiliki
kemampuan yang baik untuk membayar bunga atas utangnya, sedangkan nilai
TIE ratio yang rendah menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kemampuan
yang buruk untuk membayar bunga atas utangnya.
Secara umum, nilai TIE ratio yang dianggap baik adalah di atas 1,5.
Artinya, perusahaan memiliki kemampuan untuk membayar bunga atas
utangnya setidaknya satu setengah kali.
Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak ada nilai standar untuk TIE
ratio. Nilai TIE ratio yang optimal akan bervariasi tergantung pada industri
perusahaan dan kondisi ekonomi.
Sebagai contoh, perusahaan di industri manufaktur cenderung memiliki
TIE ratio yang lebih rendah daripada perusahaan di industri jasa. Hal ini
karena perusahaan manufaktur memiliki lebih banyak beban bunga karena
harus membiayai pembelian aset tetap, seperti pabrik dan mesin.

 Long term debt to equity ratio


Long term debt to equity ratio (LTDE ratio) adalah rasio keuangan yang
digunakan untuk mengukur seberapa besar aset perusahaan yang dibiayai
dengan utang jangka panjang dibandingkan dengan modal sendiri. Rasio ini
dihitung dengan membagi total utang jangka panjang perusahaan dengan total
ekuitasnya.

Rumus LTDE ratio

LTDE ratio = Total utang jangka panjang / Total ekuitas

Interpretasi LTDE ratio


Nilai LTDE ratio yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan
memiliki lebih banyak utang jangka panjang daripada modal sendiri, sehingga
perusahaan memiliki kemampuan yang lebih rendah untuk memenuhi
kewajiban keuangan jangka panjangnya. Sebaliknya, nilai LTDE ratio yang
rendah menunjukkan bahwa perusahaan memiliki lebih banyak modal sendiri
daripada utang jangka panjang, sehingga perusahaan memiliki kemampuan
yang lebih tinggi untuk memenuhi kewajiban keuangan jangka panjangnya.
Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak ada nilai standar untuk LTDE
ratio. Nilai LTDE ratio yang optimal akan bervariasi tergantung pada industri
perusahaan dan kondisi ekonomi.
Sebagai contoh, perusahaan di industri manufaktur cenderung memiliki
LTDE ratio yang lebih tinggi daripada perusahaan di industri jasa. Hal ini
karena perusahaan manufaktur membutuhkan lebih banyak aset untuk
mendukung operasinya, dan aset tersebut seringkali dibiayai dengan utang
jangka panjang.

Contoh Soal:

PT. ABC memiliki total aset sebesar Rp100 miliar, total utang sebesar Rp50
miliar, dan total ekuitas sebesar Rp50 miliar.
Hitunglah rasio solvabilitas modal sendiri (equity to total debt ratio) PT. ABC!
Penyelesaian
Rasio solvabilitas modal sendiri = Modal sendiri / Total utang
= Rp50 miliar / Rp50 miliar
= 1,0

Kesimpulan

Rasio solvabilitas modal sendiri PT. ABC adalah 1,0. Artinya, PT. ABC
memiliki modal sendiri yang cukup untuk membayar total utangnya.

3. Ratio Efektifitas
 Aset turn over (perputaran aktiva)
Aset turn over (perputaran aktiva) adalah rasio keuangan yang digunakan
untuk mengukur seberapa efisien perusahaan menggunakan asetnya untuk
menghasilkan penjualan. Rasio ini dihitung dengan membagi penjualan bersih
dengan total aset.

Rumus aset turn over

Aset turn over = Penjualan bersih / Total aset

Interpretasi aset turn over


Nilai aset turn over yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan
menggunakan asetnya secara efisien untuk menghasilkan penjualan.
Sebaliknya, nilai aset turn over yang rendah menunjukkan bahwa perusahaan
menggunakan asetnya secara tidak efisien untuk menghasilkan penjualan.
Secara umum, nilai aset turn over yang dianggap baik adalah di atas
1,0. Artinya, perusahaan menghasilkan penjualan yang lebih besar dari total
asetnya.
Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak ada nilai standar untuk aset
turn over. Nilai aset turn over yang optimal akan bervariasi tergantung pada
industri perusahaan dan kondisi ekonomi.
Sebagai contoh, perusahaan di industri ritel cenderung memiliki aset
turn over yang lebih tinggi daripada perusahaan di industri manufaktur. Hal ini
karena perusahaan ritel memiliki persediaan yang lebih sedikit dan waktu
penjualan yang lebih singkat.

 Receivable turn over (perputaran piutang)


Receivable turn over (perputaran piutang) adalah rasio keuangan yang
digunakan untuk mengukur seberapa efisien perusahaan menagih piutang dari
pelanggannya. Rasio ini dihitung dengan membagi penjualan bersih dengan
rata-rata piutang usaha.

Rumus receivable turn over

Receivable turn over = Penjualan bersih / Rata-rata piutang usaha

Interpretasi receivable turn over


Nilai receivable turn over yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan
menagih piutang dari pelanggannya secara efisien. Sebaliknya, nilai receivable
turn over yang rendah menunjukkan bahwa perusahaan menagih piutang dari
pelanggannya secara tidak efisien.
Secara umum, nilai receivable turn over yang dianggap baik adalah di
atas 10,0. Artinya, perusahaan menagih piutang dari pelanggannya rata-rata 10
kali dalam setahun.
Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak ada nilai standar untuk
receivable turn over. Nilai receivable turn over yang optimal akan bervariasi
tergantung pada industri perusahaan dan kondisi ekonomi.
Sebagai contoh, perusahaan di industri ritel cenderung memiliki
receivable turn over yang lebih tinggi daripada perusahaan di industri
manufaktur. Hal ini karena perusahaan ritel memiliki waktu penjualan yang
lebih singkat.

 Inventory turn over (perputaran persedian)


Inventory turn over (perputaran persediaan) adalah rasio keuangan yang
digunakan untuk mengukur seberapa efisien perusahaan mengelola
persediaannya. Rasio ini dihitung dengan membagi harga pokok penjualan
(HPP) dengan rata-rata persediaan.

Rumus inventory turn over

Inventory turn over = Harga pokok penjualan / Rata-rata persediaan

Interpretasi inventory turn over


Nilai inventory turn over yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan
mengelola persediaannya secara efisien. Sebaliknya, nilai inventory turn over
yang rendah menunjukkan bahwa perusahaan mengelola persediaannya secara
tidak efisien.
Secara umum, nilai inventory turn over yang dianggap baik adalah di
atas 5,0. Artinya, perusahaan menjual persediaannya rata-rata 5 kali dalam
setahun.
Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak ada nilai standar untuk
inventory turn over. Nilai inventory turn over yang optimal akan bervariasi
tergantung pada industri perusahaan dan kondisi ekonomi.
Sebagai contoh, perusahaan di industri ritel cenderung memiliki
inventory turn over yang lebih tinggi daripada perusahaan di industri
manufaktur. Hal ini karena perusahaan ritel memiliki waktu penjualan yang
lebih singkat.

 Avarage day collection periode


Avarage day collection period (ADCP) atau periode rata-rata penagihan
piutang adalah rasio keuangan yang digunakan untuk mengukur seberapa
cepat perusahaan menagih piutangnya dari pelanggan. Rasio ini dihitung
dengan membagi rata-rata piutang usaha dengan penjualan bersih dan
dikalikan dengan 365 hari.

Rumus ADCP

ADCP = (Rata-rata piutang usaha / Penjualan bersih) x 365 hari

Interpretasi ADCP
Nilai ADCP yang rendah menunjukkan bahwa perusahaan cepat
menagih piutangnya dari pelanggan, sedangkan nilai ADCP yang tinggi
menunjukkan bahwa perusahaan lambat menagih piutangnya dari pelanggan.
Secara umum, nilai ADCP yang dianggap baik adalah di bawah 30
hari. Artinya, perusahaan menagih piutangnya dari pelanggan rata-rata dalam
waktu kurang dari 30 hari.
Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak ada nilai standar untuk ADCP.
Nilai ADCP yang optimal akan bervariasi tergantung pada industri perusahaan
dan kondisi ekonomi.
Sebagai contoh, perusahaan di industri ritel cenderung memiliki ADCP
yang lebih rendah daripada perusahaan di industri manufaktur. Hal ini karena
perusahaan ritel memiliki waktu penjualan yang lebih singkat

 Avarage day inventory


Average day inventory (ADI) atau rata-rata hari persediaan adalah rasio
keuangan yang digunakan untuk mengukur seberapa lama perusahaan
menyimpan persediaannya sebelum dijual. Rasio ini dihitung dengan membagi
rata-rata persediaan dengan harga pokok penjualan (HPP) dan dikalikan
dengan 365 hari.

Rumus ADI

ADI = (Rata-rata persediaan / HPP) x 365 hari

Average day inventory (ADI) atau rata-rata hari persediaan adalah rasio
keuangan yang digunakan untuk mengukur seberapa lama perusahaan
menyimpan persediaannya sebelum dijual. Rasio ini dihitung dengan membagi
rata-rata persediaan dengan harga pokok penjualan (HPP) dan dikalikan
dengan 365 hari.

Rumus ADI

ADI = (Rata-rata persediaan / HPP) x 365 hari

Interpretasi ADI
Nilai ADI yang rendah menunjukkan bahwa perusahaan cepat menjual
persediaannya, sedangkan nilai ADI yang tinggi menunjukkan bahwa
perusahaan lambat menjual persediaannya.
Secara umum, nilai ADI yang dianggap baik adalah di bawah 60 hari.
Artinya, perusahaan menjual persediaannya rata-rata dalam waktu kurang dari
60 hari.
Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak ada nilai standar untuk ADI.
Nilai ADI yang optimal akan bervariasi tergantung pada industri perusahaan
dan kondisi ekonomi.
Sebagai contoh, perusahaan di industri ritel cenderung memiliki ADI
yang lebih rendah daripada perusahaan di industri manufaktur. Hal ini karena
perusahaan ritel memiliki waktu penjualan yang lebih singkat.

 Working capital turn over


Working capital turnover (WCTO) atau perputaran modal kerja adalah rasio
keuangan yang digunakan untuk mengukur seberapa efisien perusahaan
menggunakan modal kerjanya untuk menghasilkan penjualan. Rasio ini
dihitung dengan membagi penjualan bersih dengan modal kerja.

Rumus WCTO

WCTO = Penjualan bersih / Modal kerja

Interpretasi WCTO
Nilai WCTO yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan
menggunakan modal kerjanya secara efisien untuk menghasilkan penjualan,
sedangkan nilai WCTO yang rendah menunjukkan bahwa perusahaan
menggunakan modal kerjanya secara tidak efisien untuk menghasilkan
penjualan.
Secara umum, nilai WCTO yang dianggap baik adalah di atas 1,0.
Artinya, perusahaan menghasilkan penjualan yang lebih besar dari modal
kerjanya.
Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak ada nilai standar untuk
WCTO. Nilai WCTO yang optimal akan bervariasi tergantung pada industri
perusahaan dan kondisi ekonomi.
Sebagai contoh, perusahaan di industri ritel cenderung memiliki
WCTO yang lebih tinggi daripada perusahaan di industri manufaktur. Hal ini
karena perusahaan ritel memiliki persediaan yang lebih sedikit dan waktu
penjualan yang lebih singkat.

Contoh Soal:

PT. ABC memiliki penjualan bersih sebesar Rp100 miliar dan rata-rata
piutang usaha sebesar Rp5 miliar. Berapakah nilai receivable turn over PT.
ABC?

Penyelesaian:

Receivable turn over = Penjualan bersih / Rata-rata piutang usaha

Receivable turn over = Rp100 miliar / Rp5 miliar


Receivable turn over = 20,0

Jadi, nilai receivable turn over PT. ABC adalah 20,0. Artinya, PT. ABC
menagih piutang dari pelanggannya rata-rata 20 kali dalam setahun.
Interpretasi:
Nilai receivable turn over yang tinggi menunjukkan bahwa PT. ABC efisien
dalam menagih piutangnya. Hal ini dapat menjadi tanda bahwa PT. ABC
memiliki kemampuan yang baik untuk menghasilkan profit.

Anda mungkin juga menyukai