Anda di halaman 1dari 2

Fikri Fillali – 1181030057 – IAT/6/D – Aplikasi Hermeneutika Derrida Pada QS.

Al-Baqarah: 258
Teori Hermeneutika Derrida: Hermeneutika Derrida ringkasnya adalah sebuah gagasan mengenai
Dekonstruksi Makna. Dekonstruksi Makna tersebut adalah cara berpikir radikal untuk mendobrak
kemapanan suatu pemahaman terhadap suatu teks/pernyataan. Dimana memahami adalah sebuah
peristiwa pembacaan yang deskriptif dan transformatif, Dekonstruksi membiarkan teks berbicara,
menginterpretasi dan menyajikan pemahaman oleh diri teks itu sendiri. Sehingga teks/pernyataan
tidak dipahami secara otoritatif, dan selalu dapat dibaca dan dipahami secara berbeda (interabilitas),
karena pemahaman atas suatu teks adalah sebatas jejak-jejak (trace) dari kebenaran, sehingga klaim
kebenaran selalu dapat ditangguhkan (difference) dengan bantahan argumentasi ataupun bukti
kontradiktif sekecil apapun dari teks itu sendiri.
QS. Al-Baqarah: 258

‫ىَل اِذَّل ي َح اَّج ْبَر اِه َمي يِف َر ِّبِه َأْن آاَت ُه اُهَّلل اْلُم َكْل ْذ َقاَل ْبَر اِه ُمي َر َيِّب اِذَّل ي ْحُي يِي َو ُيِم يُت َقاَل َأاَن ُأْحيِي َو ُأِم يُت ۖ َقاَل ْبَر اِه ُمي َف َّن‬ ‫َأَلْم َتَر‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ِم َن اْلَم ِرْشِق َفْأِت َهِبا ِم َن اْلَم ْغِر ِب َفِهُب َت اِذَّل ي َكَفَر ۗ َو اُهَّلل اَل ْهَيِد ي اْلَقْو َم الَّظ اِلِم َني‬ ‫اَهَّلل َيْأيِت اِب لَّش ْم ِس‬
Apakah kamu tidak memperhatikan kisah orang (Raja Namrud) yang mendebat Ibrahim
tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu (Namrud);
pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan
mematikan," Namrud berkata: "Saya juga dapat menghidupkan dan mematikan". (Lalu ia
mendatangkan dua orang, satu dibunuhnya dan satu lagi dibiarkan hidup). Ibrahim lalu berkata:
"Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah olehmu matahari itu
dari barat!" lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim. (QS. Al-Baqarah: 258)
Dekonstruksi Makna “Kekuasaan” dalam QS. Al-Baqarah: 258 Dengan Pendekatan
Hermeneutika Derrida
Apabila kita meninjau kisah dialog antara Raja Namrud dengan Nabi Ibrahim as. di atas dengan
pendekatan Hermeneutika Derrida, maka kita akan mendapati satu kesimpulan menarik bagaimana
pemahaman Raja Namrud atas “kekuasaan” yang dimilikinya, didekonstruksi (dibongkar dan
dibangun ulang) oleh Nabi Ibrahim as. dengan satu pernyataan sederhana. Dalam kisah di atas, kita
dapat melihat bagaimana Raja Namrud, secara otoritatif mengklaim dirinya memiliki kekuasaan
atas segala sesuatu, disebabkan tingginya derajatnya sebagai “raja”, akan tetapi justru kekuasannya
sebagai raja disalahgunakannya untuk berlaku sewenang-wenang dan zhalim. Kita dapat meninjau
pemahaman Raja Namrud mengenai “kekuasaan raja”. Karena sepanjang sejarah, “raja” dipandang
sebagai seseorang yang memiliki wewenang tertinggi atas apapun dan siapapun; wilayah
kerajaannya, harta pemerintahannya, sistem hukumnya, wazirnya, pemuka kaumnya, rakyatnya, dan
lain-lain. Pandangan mengenai raja tersebut telah terakumulasi dan secara turun temurun menjadi
sebuah pemahaman yang mapan, bahwa raja adalah “penguasa tertinggi” yang mempunyai hak
untuk mengatur segala macam urusan kerajaan. Pandangan ini akhirnya menjadi jejak (trace)
kebenaran bagi pemahaman raja Namrud. Namun pemahaman tersebut disalahgunakan Raja
Namrud untuk berbuat sewenang-wenang, karena kekafirannya pula ia merasa “berkuasa” atas
segala sesuatu, memutlakkan “kekuasaan” yang dimilikinya, dan mengklaim bahwa tidak ada
kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya, bahkan ia tidak segan untuk membunuh orang
demi membantah pendapat Ibrahim as. yang menyatakan bahwa Allah berkuasa untuk
menghidupkan dan mematikan. Namun, Nabi Ibrahim tidak kehabisan akal, untuk memperbaiki
pemahaman Raja Namrud yang keliru, dan untuk menampakkan kebenaran kekuasaan Allah yang
lebih tinggi di atas Raja Namrud, Nabi Ibrahim pun mencoba untuk mendekonstruksi pemahaman
raja Namrud tentang “kekuasaan” sebagaimana yang secara keliru ia klaim sebagai benar, Nabi
Ibrahim kemudian menyuruhnya untuk menerbitkan matahari dari barat, secara sendirinya raja
Namrud pun tidak mampu untuk melakukannya, maka terbuktilah bahwa ia tidak cukup berkuasa
untuk mengatur matahari. Dan terbukti pula bahwa hanya Allah-lah yang berkuasa mengatur
matahari. Ini adalah celah kontradiksi untuk mendekonstruksi pemahaman Namrud, bahwa
“kekuasaan” yang dimilikinya tidak mampu untuk menjadikan matahari terbit dari barat.
Kontradiksi ini menjadi bukti riil untuk mengkritisi pemahaman Namrud yang merasa dirinya
berkuasa secara mutlak, bahkan ia kebingungan untuk membantahnya kembali. Sehingga
pemaknaan atas “kekuasaan” kembali kepada pihak Ibrahim, bahwa manusia tidak lebih “berkuasa”
atas Allah. Klaim kebenaran Raja Namrud berhasil ditangguhkan (difference), bahkan dipatahkan
dan dipahami secara berbeda (interabilitas), bahwa deskripsi tentang “keberkuasaan”
ditransformasikan menjadi milik Allah secara mutlak, adapun manusia, hanya diberi oleh Allah
sebahagian dari kekuasaan-Nya. “Kekuasaan” secara hakiki hanyalah milik Allah semata.
“Kekuasaan” pada akhirnya memaknai dirinya sendiri sebagai milik Allah, disebabkan terbatasnya
kemampuan manusia untuk “berkuasa”.

Anda mungkin juga menyukai