Anda di halaman 1dari 6

DARI HERBIVORA KE OMNIVORA: SUATU TAFSIR

KEJADIAN 1:29 & KEJADIAN 9:3

Makalah Proposal

Disusun Oleh:

Adventri R Sihombing

Nim: 2020101

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI SRIWIJAYA

Banyuasin, Sumatera Selatan

2024
BAB I

Pendahuluan

Dalam bab ini, penulis akan mendeksripsikan latar belakang masalah,

rumusan masalah, pertanyaan penelitian, manfaat penelitian, hipotesis, ruang

lingkup penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang Masalah

Kitab Kejadian bukan saja merupakan pendahuluan, tapi juga merupakan

penjelasan. Kitab-kitab lainnya tak dapat dipisahkan dari kitab kejadian, karena

merupakan landasan keterangan bagi semua perkara berikutnya. Semua tema

besar yang diterangkan dalam kitab-kitab berikutnya, boleh diibaratkan sebagai

sungai-sungai besar yang semakin jauh dari hulunya semakin bertambah

dalamnya dan lebarnya. Dan sungai-sungai itu berasal dari mata air besar yakni

Kitab Kejadian.1 Semua ajaran dan penyataan Allah, semuanya dimulai dari kitab

Kejadian. Kitab Kejadian merupakan benih/akar untuk segala peristiwa kitab suci

berikutnya.

Kejadian pasal 1 berbicara mengenai penciptaan langit dan bumi serta

segala isinya. Pada kejadian 1:29-30 Allah berfirman kepada manusia dan

binatang bahwa Ia memberikan kepada manusia segala tumbuh-tumbuhan yang

berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji sebagai

makanan, serta kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan

1
J Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab Kejadian Sampai dengan Ester, (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2004), 23.
segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, diberikan segala tumbuh-tumbuhan

hijau menjadi makanannya. Jadi pada pasal 29 secara khusus disiratkan bahwa

pada waktu penciptaan, manusia adalah vegetarian. Telnoni mengatakan:

Manusia diberi makan dari buah dan biji tumbuh-tumbuhan dan pohon-
pohonan. Yang dimaksudakan dengan “tumbuh-tumbuhan” (Ibr: eseb) di
sini adalah sayur-sayuran yang berwarna hijau. Itulah tanaman yang
diciptakan pada hari ketiga (Kej.1:11,12) dan sekarang pada hari hari
keenam dijadikan makanan yang boleh juga menjadi obat. Jika demikian,
maka secara kebetulan tumbuh-tumbuhan diperentukkan bagi manusia
sebagai makanan, juga menjadi “alat” pemulihan kehidupan.2

Dapat disimpulkan bahwa memang pada awal penciptaan, manusia hanya

difirmankan untuk memakan makanan vegetarian.

Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, Allah memutuskan untuk

mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan.

Sehingga Allah mendatangkan air bah dan memusnahkan segala yang hidup dan

bernyawa di kolong langit. Namun, Nuh dan keluarganya mendapat belas kasihan

dari Allah, sehingga mereka dapat selamat dari peristiwa air bah tersebut. Setelah

peristiwa air bah berlalu ditandai dengan adanya perjanjian Allah dengan Nuh,

muncul harapan akan adanya kehidupan yang lebih baik jika dibandingkan dengan

zaman sebelum air bah terjadi.3

2
J. A. Telnoni, Tafsir Alkitab Kontekstual-OikumeneKejadian Pasal 1-11, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2017). 65-66
3
Sonny Eli Zaluchu, Pentateuch - Narasi Narasi Utama Kitab Musa, (Semarang: Golden
Gate Publishing, 2020), 58–65.
Dalam dunia pasca air bah, manusia yang tadinya adalah vegetarian,

sekarang telah menjadi pemakan segalanya. 4 Firman Tuhan berkata: Segala yang

bergerak, yang hidup itulah yang akan menjadi makananmu. Aku telah

memberikan semuanya itu kepadamu seperti juga tumbuhan-tumbuhan hijau.

Allah memberikan sekarang segala yang bergerak, yang hidup sebagai makanan.

Bukan hanya al-hayat (hidup) vegetative (flora) saja, melainkan seluruh al-hayat

(hidup) animalis (fauna) diserahkan ke dalam kuasa manusia. 5 Allah tidak hanya

memberikan tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan kepada manusia. Adanya sebuah

pemberian yang belum pernah diterima manusia sebelumnya, yakni memakan

segalanya termasuk tumbuhan, buah bahkan binatang.6 Dengan demikian dapat

digambarkan bahwa sesunggunya peristiwa air bah hendak menggambarkan

tindakan Allah untuk memulai sebuah kehidupan baru, yang diwakili oleh

keluarga Nuh.

Dari pemaparan penulis di atas, menunjukkan adanya sebuah perbedaan

firman Allah terhadap mahkluk hidup yang boleh dimakan. Perbedaan itu terjadi

antara kehidupan umat manusia yang pertama yakni zaman Adam dan Hawa

sampai kepada terjadinya air bah dan kehidupan setelah air bah terjadi. Kehidupan

setelah air bah terjadi, diawali dari kehidupan Nuh dan keluarganya yang Tuhan

Allah berfirman secara langsung kepada mereka.

Dengan permasalahan di atas, mengenai hanya boleh memakan tumbuhan

dan buah pada saat penciptaan manusia pertama. Namun, pra Air Bah boleh

4
Emmanuel Gerrit Singgih, Dari Eden ke Babel,
5
Walter Lempp, Kitab Kejadian 5:1-12:3, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 97.
6
Yune Sun Park, Tafsiran Kitab Kejadian (Jawa Timur: Global Partners, 2002), 67.
memakan segalanya, penulis tertarik untuk melakukan penafsiran terhadap dua

teks yang bersangkutan yakni Kejadian 1:29 dan Kejadian 9:3 untuk menemukan

konsep dan maksud yang sebenarnya firman Allah tersebut. Dengan demikian

penulis akan melakukan penelitian dengan judul:

DARI HERBIVORA KE OMNIVORA: SUATU TAFSIR

KEJADIAN1:29& KEJADIAN 9:3

Metodologi Penelitian

Metode penelitian dalam penulisan ini menggunakan metodologi

kualitatif, yaitu menggunakan tekniks analisis untuk memahami suatu masalah

atau maksud dalam sebuah teks. Penulis juga menggunakan metode kualitatif

kajian biblika yang terdiri dari eksegesis kata atau teks. Tulisan ini menggunakan

metode eksegesis dalam studi induktif maupun deduktif untuk menemukan

maksud dari Kejadian 1:29 & Kejadian 9:3. Maksudnya adalah penyelidikan

eksegesis dapat dibagi ke dalam studi induktif (yang di dalamnya kita berinteraksi

dengan teks secara langsung untuk membentuk kesimpulan kita sendiri) dan studi

deduktif (yang di dalamnya kita berinteraksi dengan kesimpulan dari sarjana lain

dan mengerjakan kembali penemuan-penemuan kita).


Hipotesis

Tafsir Kejadian 1:29 dan Kejadian 9:3 mengenai dari Hervibora ke

Omnivora adanya kesadaran pada pihak penyusun kisah ini bahwa kisah universal

digambarkan mendahului kisah partikular. Sifat mendahului itu menandai

universalitas manusia, dan barulah dari universalitas manusia itu, kita dapat

melihat pada partikularitas manusia seperti yang diyakini dalam iman Israel.

Anda mungkin juga menyukai