Anda di halaman 1dari 4

Michael Jonathan - 205210217

Litigasi Kenegaraan - C
Resume Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman


mengklasifikasikan peradilan menjadi lima, yaitu peradilan umum, peradilan agama,
peradilan tata usaha negara, peradilan militer, dan peradilan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang tersebut, definisi kekuasaan kehakiman adalah
“kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa diperlukan adanya
kekuasaan independen yang berlandaskan konstitusi dan dasar negara untuk
menegakkan supremasi hukum dan negara hukum. Kekuasaan yudikatif di Indonesia
dibagi menjadi 3 (tiga), yakni Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi
Yudisial.

Dalam menjalankan kekuasaan kehakiman tentunya perlu memperhatikan dan


melaksanakan asas-asas yang terkandung dalam Undang-Undang ini, yaitu :
A. Asas perlakuan yang sama di muka hukum (Equality Before the Law) Dalam hukum,
setiap warga negara haruslah diperlakukan secara sama, adil, tanpa
membeda-bedakan dan tidak pandang bulu, juga tidak memandang derajat,
kedudukan, dan pangkat. Dasar hukum dari asas ini terkandung dalam Pasal 28 D ayat
(1) UUD 1945 yang berbunyi :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”
B. Upaya paksa harus didasarkan pada pernyataan tertulis
Segala upaya paksa, baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan
pemeriksaan surat harus didasarkan pada pernyataan tertulis (surat perintah) agar
upaya paksa tersebut tidak melanggar HAM seseorang dan mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan.
C. Asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence)
Dalam proses peradilan, seorang tersangka wajib untuk dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) karena
bisa saja tersangka tersebut memang benar tidak bersalah, maka sudah sepatutnya ia
dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.
D. Peradilan diselenggarakan dengan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan Peradilan
dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan berbiaya ringan untuk menghindari proses
pemeriksaan dalam pengadilan yang berbelit belit yang dapat memperlambat kepastian
hukum seorang terdakwa. Serta agar terdakwa tidak terlalu terbebani dengan biaya
perkara dan biaya beracara yang cukup mahal.
E. Peradilan diselenggarakan dengan bebas, jujur, dan imparsial
Proses peradilan pidana dalam pengadilan dilakukan dengan bebas, jujur, dan tidak
memihak. Hakim dalam memutus perkara tidak boleh dipengaruhi oleh hal-hal di luar
persidangan, ia haruslah memutus berdasarkan pertimbangan dari alat bukti yang ada,
fakta-fakta dalam persidangan, keterangan- keterangan, dan hati nuraninya. Dalam
proses peradilan juga wajib untuk berlaku jujur dan tidak memihak pihak manapun
(netral).
F. Pemeriksaan perkara pidana dalam pengadilan dilakukan dengan hadirnya terdakwa
Tidak seperti peradilan perdata yang dapat berjalan tanpa hadirnya pihak tergugat
(melalui verstek), peradilan pidana tidak dapat berjalan tanpa hadirnya terdakwa,
karena dalam persidangan, terdakwa harus hadir untuk menghindari terjadinya
ketidakadilan dan keterangan terdakwa dibutuhkan untuk alat bukti. Hadirnya terdakwa
dalam persidangan juga agar proses pemeriksaan dapat berjalan sebagaimana
mestinya.
G. Tersangka/Terdakwa wajib memperoleh bantuan hukum Tersangka/terdakwa wajib
untuk memperoleh bantuan dari penasihat hukum untuk kepentingan pembelaan. Ia
juga berhak untuk memilih sendiri penasihat hukumnya. Apabila tersangka/terdakwa
tidak mampu untuk mempunyai penasihat hukum sendiri, maka pengadilan wajib untuk
menunjuk penasihat hukum untuk tersangka/terdakwa yang memberikan bantuan
secara pro bono H. Pengadilan terbuka untuk umum
Pengadilan terbuka untuk umum adalah bentuk transparansi dari proses persidangan
agar tidak ada yang ditutup-tutupi dan proses pemeriksaan dapt diilihat oleh siapapun.
Namun untuk perkara anak dan asusila, persidangan ditutup untuk umum.

Dalam Pasal 7 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur tentang upaya


paksa, yang berbunyi:
“Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang.”

Upaya paksa perlu diatur secara jelas untuk menghindari terjadinya


kesewenang-wenangan oleh petugas yang berwenang dan agar HAM tetap ditegakkan
dan tidak dilanggar. Bentuk-bentuk upaya paksa adalah penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan. Upaya paksa juga perlu mendapatkan perintah tertulis
(Warrant) yang perlu untuk ditunjukkan kepada seseorang yang ingin ditangkap,
ditahan, digeledah, atau yang barangnya ingin disita. Dengan adanya surat perintah
yang berisikan alasan upaya paksa tersebut, maka dapat memberikan kepastian hukum
kepada seseorang yang akan dilakukan upaya paksa. Apabila tidak ada surat perintah,
maka akan muncul ketidakpastian hukum dan HAM orang tersebut tidak terjamin.

Anda mungkin juga menyukai