Litigasi Kenegaraan - C Resume Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
mengklasifikasikan peradilan menjadi lima, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, peradilan militer, dan peradilan tindak pidana korupsi. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang tersebut, definisi kekuasaan kehakiman adalah “kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa diperlukan adanya kekuasaan independen yang berlandaskan konstitusi dan dasar negara untuk menegakkan supremasi hukum dan negara hukum. Kekuasaan yudikatif di Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga), yakni Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
Dalam menjalankan kekuasaan kehakiman tentunya perlu memperhatikan dan
melaksanakan asas-asas yang terkandung dalam Undang-Undang ini, yaitu : A. Asas perlakuan yang sama di muka hukum (Equality Before the Law) Dalam hukum, setiap warga negara haruslah diperlakukan secara sama, adil, tanpa membeda-bedakan dan tidak pandang bulu, juga tidak memandang derajat, kedudukan, dan pangkat. Dasar hukum dari asas ini terkandung dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” B. Upaya paksa harus didasarkan pada pernyataan tertulis Segala upaya paksa, baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat harus didasarkan pada pernyataan tertulis (surat perintah) agar upaya paksa tersebut tidak melanggar HAM seseorang dan mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. C. Asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence) Dalam proses peradilan, seorang tersangka wajib untuk dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) karena bisa saja tersangka tersebut memang benar tidak bersalah, maka sudah sepatutnya ia dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. D. Peradilan diselenggarakan dengan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan berbiaya ringan untuk menghindari proses pemeriksaan dalam pengadilan yang berbelit belit yang dapat memperlambat kepastian hukum seorang terdakwa. Serta agar terdakwa tidak terlalu terbebani dengan biaya perkara dan biaya beracara yang cukup mahal. E. Peradilan diselenggarakan dengan bebas, jujur, dan imparsial Proses peradilan pidana dalam pengadilan dilakukan dengan bebas, jujur, dan tidak memihak. Hakim dalam memutus perkara tidak boleh dipengaruhi oleh hal-hal di luar persidangan, ia haruslah memutus berdasarkan pertimbangan dari alat bukti yang ada, fakta-fakta dalam persidangan, keterangan- keterangan, dan hati nuraninya. Dalam proses peradilan juga wajib untuk berlaku jujur dan tidak memihak pihak manapun (netral). F. Pemeriksaan perkara pidana dalam pengadilan dilakukan dengan hadirnya terdakwa Tidak seperti peradilan perdata yang dapat berjalan tanpa hadirnya pihak tergugat (melalui verstek), peradilan pidana tidak dapat berjalan tanpa hadirnya terdakwa, karena dalam persidangan, terdakwa harus hadir untuk menghindari terjadinya ketidakadilan dan keterangan terdakwa dibutuhkan untuk alat bukti. Hadirnya terdakwa dalam persidangan juga agar proses pemeriksaan dapat berjalan sebagaimana mestinya. G. Tersangka/Terdakwa wajib memperoleh bantuan hukum Tersangka/terdakwa wajib untuk memperoleh bantuan dari penasihat hukum untuk kepentingan pembelaan. Ia juga berhak untuk memilih sendiri penasihat hukumnya. Apabila tersangka/terdakwa tidak mampu untuk mempunyai penasihat hukum sendiri, maka pengadilan wajib untuk menunjuk penasihat hukum untuk tersangka/terdakwa yang memberikan bantuan secara pro bono H. Pengadilan terbuka untuk umum Pengadilan terbuka untuk umum adalah bentuk transparansi dari proses persidangan agar tidak ada yang ditutup-tutupi dan proses pemeriksaan dapt diilihat oleh siapapun. Namun untuk perkara anak dan asusila, persidangan ditutup untuk umum.
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur tentang upaya
paksa, yang berbunyi: “Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.”
Upaya paksa perlu diatur secara jelas untuk menghindari terjadinya
kesewenang-wenangan oleh petugas yang berwenang dan agar HAM tetap ditegakkan dan tidak dilanggar. Bentuk-bentuk upaya paksa adalah penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. Upaya paksa juga perlu mendapatkan perintah tertulis (Warrant) yang perlu untuk ditunjukkan kepada seseorang yang ingin ditangkap, ditahan, digeledah, atau yang barangnya ingin disita. Dengan adanya surat perintah yang berisikan alasan upaya paksa tersebut, maka dapat memberikan kepastian hukum kepada seseorang yang akan dilakukan upaya paksa. Apabila tidak ada surat perintah, maka akan muncul ketidakpastian hukum dan HAM orang tersebut tidak terjamin.
Analisa Putusan Praperadilan No. 04pid - prap2015PN - Jkt.sel. Tentang Gugatan Praperadilan Komjenpol Budi Gunawan, SH., M.si Terhadap Penetapan Status Tersangka Atas Dirinya Oleh KPK