Anda di halaman 1dari 18

Makalah

Hukum Administrasi Negara


Dosen Pengampu : Imelda Eva Rifanny Simanjuntak, S.H., M.H

Oleh Kelompok 1:

Louis Partogi (2240050022)


Dionisius Kevin (2240050047)
Gabriel Panjaitan (2240050086)
Harribertus Satori (2240050120)
Fidel Rudolf (2240050152)
Agriva Lana Dewi (2388858903)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
T.A 2023/202
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas limpahan
karunia dan rahmat-nya, kami dapat menyelesaikan tugas penyusunan makalah
analisis kasus tentang “Persetujuan Izin Usaha PERTAMBANGAN OPERASI
PRODUKSI KEPADA CV. DWI KARYA PRATAMA”. Penulisan makalah ini kami
susun untuk memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Hukum Administasi Negara.
Dalam penyusunan makalah ini kami buat dengan usaha semaksimal mungkin
dan dengan penjelasan sesuai literatur yang kami pakai agar mudah dipahami oleh
pembaca jika ditemukan adanya ketidaksempurnaan makalah ini kami menerima
kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Agar kami dapat melakukan
perbaikan penulisan yang berikutnya.
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Setiap manusia ingin kebutuhan yang terdapat di alam, sehinngga manusia
mengupayakan sumber daya alam yang kaya ini untuk memenuhi kebutuhan hidup
setiap individu manusia, ini menyebabkan faktor sumber daya alam yang ada menjadi
keberlangsungan kehidupan setiap manusia. Di Negara Indonesia ini memiliki
kekayaan alam yang tersebar dan melimpah di seluruh provinsi Indonesia di tambah
juga negara Indonesia ini letaknya yang strategis dan dilintai oleh garis khatulistiwa.
Pemerintah Indonesia harus bisa memanfaatkan untuk memberikan kehidupan yang
layak bagi warganya yang relevan dengan apa yang terkandung dalam pasal 27 ayat
(2) UUD 1945. hal ini selaras dengan tujuan penggunaan sumber daya alam yang
terkandung dalam pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “Bumi, air, dan kekayaan alam
yang berad di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebanyak-banyaknya
untuk kemakmuran warganya.”
Sumber daya alam dikategorikan terdiri atas 2 jenis, yaitu sumber daya alam
dilestarikan dan sumber daya alam yang tak bisa dilestarikan, Sumber Daya Alam
yang tak bisa dilestarikan, misalnya gas dan minyak di alam serta batu bara juga
disebut fund resources. Ketersediaan sumber daya alam ini berpotensi bisa berkurang
setiap kali dipakai oleh manusia. Sumber daya alam dilestarikan yang disebut flow
resources, dengan pemanfaatannya dengan bijaksana, sumber daya alam ini praktis
dapat bertahan tidak terbatas lamanya.
Sumber daya alam tak terbarukan menjadi salah satu faktor utama memenuhi
kebutuhan manusia, karena Sumber Daya Alam tak terbarukan ini terdiri berbagai
kandungan alam yang dapat meringankan kehidupan sehari-hari, terlebih setelah
masuk zman indistrualisasi. Sumber daya alam terbarukan Indonesia tergolong cukup
besar dan potensial sebagai contohnya adalahh hutan.
Salah satu wujud pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya alam tak bisa
dilestarikan sering dijumpai di Indonesia adalah pertambangan batu bara dan mineral.
Data yang diperoleh dari tahun 2011 hingga 2013, tercatat terdapat sebanyak 10.991
Izin Usaha Pertambangan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Proses penambangan selalu dihubungkan dengan kerusakan lingkungan.
keanekaragaman hayati menjadi terhambat baik dalam persebarannya maupun
kelimpahan spesies-spesies yang ada diarea sekitar area pertambangan.
Berhubungan terkait proteksi dan managemen lingkungan hidup termasuk
bagiannya ialah aktivitas pertambangan relevan juga dengan unsur perizinan, pelaku
usaha dapat menjadikan unsur perizinan sebagai dasar hukum untuk mengelola
lingkungan, sebagaimana yang dijelaskan dalam PP 27/2012, dengan adanya PP
tersebut sebagai penganti PP 27/1999 perihal AMDAL. Sistem perizinan Lingkungan
ditandai dengan adanya kewajiban memiliki AMDAL. Maksudnya, dalam proses
persetujuan suatu izin lingkungan hendaknya pemilik usaha tersebut terlebih dahulu
harus memiliki AMDAL.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud tentang perizinan dan apa fungsi serta tujuan perizinan?
2. Apa kewenangan pejabat pemerintah dalam mempertimbangkan menerbitkan IUP
OPERASI PRODUKSI?
3. Bagaimana caranya agar sebuah CV mendapatkan Izin Usaha Pertambangan
Operasi Produksi ?
4. Bagaimana jika sebagai badan atau pejabat Tata Usaha Negara tidak
memperhatikan dan mempertimbangkan sesuai Asas-asas Umum Pemerintahan yang
Baik (AAUPB)?
5. Apa yang dimaksud tentang keputusan Tata Usaha Negara?
6. Apakah penggugat (CV. DWI KARYA PRATAMA) yang selaku pemegang kuasa
pertambangan ini bisa mengajukan kepentingan terhadap pembatalan karena tindakan
sewenang-wenangan terguggat yang tidak memperhatikan KEPENTINGAN
PENGGUGAT yang melekat sebagai pelaksana atas izin-izin tersebut waktu
menerbitkan surat keputusan?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui tentang apa itu perizinan
2. Untuk mengetahui apa fungsi dan tujuan perizinan
3. Untuk mengetahui tentang bagaimana cara sebuah CV mendapatkan izin Usaha
Pertambangan Operasi Produksi
4. Untuk Mengetahui tentang mengenai syarat sahnya suatu keputusan
5. Untuk mengetahui tentang apa kewenangan pemerintahan yang meliputi hak dan
kewajiban pejabat pemerintahan
6. Untuk mengetahui tentang bagaimana proteksi dan manajemen lingkungan hidup
termasuk bagiannya ialah aktivitas pertambangan relevan dengan unsur perizinan
BAB 2
IZIN USAHA PERTAMBANGAN OPERASI PRODUKSI

2.1. Pengertian, Fungsi, Dan Tujuan Perizinan

Tidaklah mudah memberikan definisi apa yang dimaksud dengan izin,


demikian menurut Sjachran Basah. Apa yang dikatakan Sjachran agaknya sama
dengan yang berlaku di negeri belanda, seperti dikemukakan van der pot: “Het is
uiterst moelijk voor begrip vergunning een definitie te vinden”, (Sangat sukar
membuat definisi untuk menyatakan pengertian izin itu). Hal ini disebabkan karena
antar pakar tidak terdapat persesuaian paham, masing-masing pakar melihat dari sisi
yang berlainan terhadap objek yang didefinisikannya. Sukar memberikan definisi
bukan berarti tidak terdapat definisi, karena ditemukan definisi yang beragam. Para
pakar, terlebih dahulu mengemukakan beberapa istilah yang sedikit banyak memiliki
kesejajaran dengan izin, yaitu dispensasi, konsesi, dan lisensi. Dispensasi ialah
keputusan administrasi negara yang membebaskan suatu perbuatan dari kekuasaan
peraturan yang menolak perbuatan tersebut. WF.Prins mengatakan bahwa dispensasi
adalah tindakan pemerintahan yang menyebabkan suatu peraturan undang-undan
menjadi tidak berlaku bagi sesuatu hal yang istimewa (relaxatio legis). Lisensi adalah
suatu izin yang memberikan hak untuk menyelenggarakan suatu perusahaan dengan
izin khusus atau istimewa. Sedangkan konsesi merupakan suatu izin berhubungan
dengan pekerjaan besar di mana kepentingan umum terlibat erat sekali sehingga
sebenarnya pekerjaan itu menjadi tugas dari pemerintah, tetapi oleh pemerintah
diberikan hak penyelenggarannya kepada konsesionaris (pemegang izin) yang bukan
penjabat pemerintah. Bentuknya dapat berupa kontraktual atau kombinasi antara
lisensi dengan pemberian status tertentu dengan hak dan kewajiban serta syarat-syarat
tertentu. Di dalam kamus hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai
“overheidstoetemming door wet of verordening vereit gesteld voor tal van handeling
waarop in het algemeen belang speciaal toezicht vereistis, maar die, in het algemeen,
niet als onwenselijk worden beschouwd” (perkenan/izin dari pemerintah berdasarkan
undang-undang atau peraturan pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang
pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah
dianggap sebagai hal yang sama sekali tidak dikehendaki).
Pembuatan dan penerbitan keputusan izin merupakan tindakan hukum
pemerintahan. Sebagai tindakan hukum pemerintahan, harus ada wewenang yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Tanpa dasar wewenang, tindakan
hukum itu menjadi tidak sah. Oleh karena itu, dalam hal membuat dan menerbitkan
izin haruslah didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku, karena tanpa adanya dasar wewenang tersebut keputusan izin
tersebut menjadi tidak sah. Menurut marcus lukman, kewenangan pemerintah dalam
bidang izin itu bersifat diskresionare power atau berupa kewenangan bebas, dalam arti
kepada pemerintah diberi kewenangan untuk mempertimbangkan atas dasar inisiatif
sendiri hal-hal berkaitan dengan izin, misalnya pertimbangan tentang:
1) Kondisi - kondisi apa yang memungkinkan suatu izin dapat diberikan
kepada pemohon.
2) Bagaimana mempertimbangkan kondisi- kondisi tersebut
3) Konsekuensi yuridis yang mungkin timbul akibat pemberian atau
penolakan izin berkaitan dengan pembatasan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
4) Prosedur apa yang harus diikuti atau dipersiapkan pada saat dan sesudah
keputusan diberikan baik penerimaan maupun penolakan pemberian izin.

Penentuan prosedur dan persyaratan perizinan ini dilakukan secara sepihak oleh
pemerintah, meskipun demikian, pemerintah tidak boleh membuat atau menentukan
prosedur dan persyaratan menurut kehendaknya sendiri secara sewenang-wenang.
Dengan kata lain tidak boleh menentukan syarat yang melampaui batas tujuan yang
hendak dicapai oleh peraturan hukum yang menjad dasar perizinan bersangkutan. Izin
berfungsi selaku ujung tombak instrumen hukum sebagai pengarah, perekayasa, dan
perancang masyrakat adil dan makmur itu dijelmakan. Ini berarti persyaratan-
persyaratan yang terkandung dalam izin merupakan pengendali dalam memfungsikan
izin itu sendiri. Adapun mengenai tujuan perizinan, hal ini tergantung pada kenyataan
konkret yang dihadapi. Keragaman peristiwa konkrit menyebabkan keragaman pula
dari tujuan izin ini, yang secara umum dapat disebutkan sebagai berikut :
A. Keinginan mengarahkan (mengendalikan “sturen”) aktivitas-aktivitas tertentu
(misalnya izin bangunan).
B. Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan).
C. Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin teerbang, izin membongkar
monumen-monumen).
D. Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat
penduduk).
E. Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas (izin berdasarkan “drank
en horecawet”, dimana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu).

2.2. Definisi pertambangan dan wewenang pengeluaran Izin Usaha


Pertambangan Operasi Produksi

UU 4/2009 pasal 1, mendefinisikan pertambangan sebagai keseluruhan bisa jadi


sebagian tahapan aktivitas pada penelitian, dan pengolahan serta pengusahaan mineral
atau batu bara yang diawali dengan kegiatan penyelidikan, aktivitas eksplorasi, studi
kelayakan, hingga proses pengangkutan hasil dan penjualan produk serta rancangan
aktivitas setelah tambang. Izin melakukan usaha pertambangan menurut UU 4/2009,
bupati/gubernur/menteri diberikan kewenangan oleh UU unuk menerbitkan perizinan
terkait pertambangan sesuai dengan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) yang
menjadi kewenangannya sebagai wujud tertib administrasi, pemerintah
daerahdiberikan kewenangan untuk memberikan izin tambang sesuai dengan wilayah
yang menjadi kewenangannya. Izin usaha pertambangan (IUP) adalah wujud tertib
administrasi terkait manajemen usaha dan pendayagunaan bahan alam yang
diterbitkan kepada badan usaha nasional, kemudian swasta, dan badan usaha asing,
serta koperasi. UU 4/2009 menggolongkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) menjadi
beberapa macam, antara lain:
A) Izin Usaha Pertambangan (IUP) yaitu suatu izin terhadap pelaksanaan
pertambangan
B) IUP Eksplorasi yaitu suatu izin terhadap tahapan awal sebelum aktivitas
pertambangan dilakukan dengan dibatasi paling lama 8 tahun.
C) IUP Operasi Produksi yaitu suatu izin terhadap kegiatan inti dari proses
pertambangan dengan dibatasi paling lama 20 tahun dan dapat diperlama selama
2 periode.
D) Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yaitu suatu izin terhadap pertambangan di
wilayah rakyat dengan ketentuan terbatas.
E) IUP Usaha Pertambangan Khusus yaitu suatu izin terhadap aktivitas
pertambangan pada zona tertentu.
F) IUPK Eksplorasi yaitu suatu izin terhadap tahapan awal sebelum aktivitas
pertambangan di zona tertentu.
G) IUPK Operasi Produk yaitu suatu izin terhadap aktivitas inti dari proses
pertambangan di zona tertentu.
Prinsip yang terdapat dalam pemberian IUP adalah IUP hanya diperbolehkan untuk
1(satu) jenis pertambangan. Sebagaimana diatur dalam pasal 41 UU Minerba yaitu:
“IUP tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam pemberian IUP”
Jadi pemberian IUP tidak boleh dipergunakan lebih dari 1(satu) jenis tambang.
Satu IUP hanya diperbolehkan untuk satu bahan tambang.
Apabila dalam pelaksanaannya pihak yang telah mendapatkan IUP menemukan suatu
bahan tambang lain dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) selain yang
telah disebutkan dalam IUP yang telah dimiliki, maka pemegang IUP tersebut diberi
prioritas untuk dapat mengusahakan atas bahan tambang tersebut. Apabila pemegang
IUP bermaksud mengusahakan pengelolaan bahan tambang, maka prosesnya tidak
secara serta merta, dimana yang bersangkutan dapat langsung mengusahakannya.
Akan tetapi pemegang IUP wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada pejabat
yang berwenang (Menteri, Gubernur, Bupati dan/atau Walikota sesuai dengan
kewenangannya).
Adapun negara dengan wewenang pengeluaran izin, adalah:
1. Kewenangan pengeluaran izin tambang terkait zona tambang termasuk kewenangan
Bupati/walikota ialah kabupaten atau kota.
2. Kewenangan pengeluaran izin tambang terkait zona tambang termasuk kewenangan
Gubernur ialah provinsi.
3. Kewenangan pengeluaran izin tambang terkait zona tambang termasuk kewenangan
Menteri ESDM.
Untuk lebih spesifik, pihak yang berwenang menerbitkan IUP Operasi Produksi
adalah sebagai berikut:
1. Bupati/Walikota
Bupati/Walikota mempunyai kewenangan untuk menerbitkan IUP Operasi Produksi
apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan
berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan empat
mil dari garis pantai.
2. Gubernur
Gubernur mempunyai kewenangan untuk menerbitkan IUP Operasi Produksi apabila
lokasi penambangan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah
kabupaten/kota yang berbeda dalam satu provinsi atau wilayah laut sampai dengan
dua belas mil dari garis pantai setelah mendapat rekomendasi dari bupati/Walikota
setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Menteri
Menteri mempunyai kewenangan untuk menerbitkan IUP Operasi Produksi apabila
lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di
dalam wilayah provinsi yang berbeda atau wilayah laut lebih dari dua belas mil dari
garis pantai setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/Walikota
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2.3. IUP OPERASI PRODUKSI


IUP Operasi Peroduksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai
pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi Produksi.
Pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan beberapa kegiatan meliputi:
1. Konstruksi
Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan
seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.
2. Penambangan
Penambangan merupakan bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi
mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya.
3. Pengolahan dan Pemurnian
Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambaangan untuk
meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan
memperoleh mineral ikutan.
4. Pengangkutan dan Penjualan
Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral
dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan memurnian
sampai tempat penyerahan. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk
menjual hasil pertambangan mineral atau batubara.
Mengenai IUP Operasi Produksi sebagaimana telah dipaparkan di atas,
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan (PP 23/2010) mengatur kembali ketentuan dalam Pasal 45 yaitu
sebagai berikut:
1. Permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi diajukan kepada Menteri,
Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya paling cepat dalam
jangka waktu 2 tahun dan paling lambat dalam jangka waktu 6 bulan sebelum
berakhirnya jangka waktu IUP.
2. Permohonan tersebut paling sedikit harus dilengkapi:
a. Peta dan batas koordinat wilayah
b. Bukti pelunasan iuran tetap dan iuran produksi 3 (tiga) tahun terakhir
c. Laporan akhir kegiatan operasi produksi
d. Laporan pelaksanaaan pengelolaan lingkungan
e. Rencana kerja dan anggaran biaya
f. Neraca sumber daya dan cadangan
3. Pemegang IUP Operasi Produksi hanya dapat diberikan perpanjangan
maksimal 2 kali
4. Apabila pemegang IUP Operasi Produksi telah memperoleh perpanjangan sebanyak
2 kali, maka harus mengembalikan WIUP Operasi Produksi kepada Menteri,
Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undanganTerhadap permohonan ini Menteri,
Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat menolak permohonan
perpanjangan IUP Operasi Produksi apabila pemegang IUP Operasi Produksi
berdasarkan hasil evaluasi tidak menunjukkan kinerja operasi produksi yang baik.
Penolakan ini akan disampaikan paling lambat sebelum berakhirnya IUP Operasi
Produksi.

2.4. Keputusan Tata Usaha Negara


Keputusan Tata Usaha Negara pertama kali diperkenalkan oleh seorang
sarjana jerman, Otto Meyer, dengan istilah verwaltungsakt. Istilah ini diperkenalkan
dinegeri Belanda dengan nama bechikking oleh Van Vollenhoven dan C.W. Van der
Pot. Di Indonesia istilah Bechikking di perkenalkan pertama kali oleh WF.Prins.
Istilah beschikking ini ada yang menerjemahkannya dengan ketetapan, seperti E.
utrecht, Bagir Manan, Sjachran Basah, dan lain-lain, dan dengan keputusan seperti
WF. Prins, Philipus M.Hadjon, SF.Marbun, dan lain-lain. Bunyi pasal 1 angka (9)
UU Nomor 51 Tahun 2009 adalah sebagai berikut: “keputusan Tata Usaha Negara
adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau pejabat Tata Usaha
Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.” di dalam Undang-Undang NO. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, keputusan terdapat 5 pasal yang mengenai syarat sahnya
suatu keputusan. Pasal-pasal tersebut adalah pasal 52, pasal 53, pasal 54, 55, dan pasal
56. berikut adalah pembahasan mengenai pasal-pasal tersebut:
Pasal 52
1) Syarat sahnya keputusan meliputi:
A. Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
B. Dibuat sesuai prosedur, dan
C. Substansi yang sesuai dengan objek keputusan
2) Sahnya keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada ketentuan
peraturan perundang-undangan dan AUPB.
Pasal 53
1) Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
tindakan sesuai dengan keputusan peraturan perundang-undangan.
2) Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan
dalam waktu paling lama 10 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap
oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
3) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/ atau melakukan keputusan, maka
permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.
4) Pemohon mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk memperoleh putusan
penerimaan permohonan sebagaimana pada ayat (3).
5) Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
paling lama 21 hari kerja sejak permohonan diajukan.
6) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan keputusan untuk
melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama
lima hari kerja sejak putusan pengadilan ditetapkan.
Pasal 54
1) Keputusan meliputi keputusan yang bersifat: a. konstitutif, atau b. deklaratif.
2) Keputusan yang meliputi deklaratif menjadi tanggung jawab Pejabat Pemerintahan
yang menetapkan keputusan yang bersifat konstitutif.
Penjelasan:
Ayat (1)
A. Yang dimaksud dengan “keputusan yang bersifat kontitutif adalah keputusan yang
bersifat penetapan mandiri oleh Pejabat Pemerintahan.
B. Yang dimaksud dengan “keputusan yang bersifat deklaratif adalah keputusan yang
bersifat pengesahan setelah melalui proses pembahasan di tingkat Pejabat
Pemerintahan yang menetapkan keputusan yang bersifat konstitutif.
Pasal 55
1) Setiap keputusan harus diberi alasan pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis
yang menjadi dasar penetapan keputusan.
2) Pemberian alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan jika
keputusan tersebut di ikuti dengan penjelasan terperinci.
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga dalam
hal pemberian alasan terhadap keputusan diskresi.
Penjelasan:
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pertimbangan yuridis” adalah landasan yang menjadi dasar
pertimbangan hukum kewenangan dan dasar hukum substansi.
Yang dimaksud dengan “pertimbangan sosiologis” adalah landasan yang menjadi
dasar manfaat bagi masyarakat.
Yang dimaksud dengan “pertimbangan filosofis” adalah landasan yang menjadi dasar
kesesuaian dengan tujuan penetapan keputusan.
Ayat 2
Yang dimakud dengan “penjelasan terperinci” adalah penjelasan yang
menguraikan alasan penetapan keputusan sampai ke hal yang bersifat detail dan jelas.
Pasal 56
1) Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah.

2) Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


52 ayat (1) huruf b dan huruf c merupakan Keputusan yang batal atau dapat
dibatalkan.
Penjelasan: Cukup jelas.

Pengertian Keputusan administrasi merupakan suatu pengertian yang umum


dan absolut yang dalam praktek tampak dalam bentuk-bentuk Keputusan yang sangat
berbeda namun mengandung ciri-ciri yang sama. pasal 1 (3) Undang-undang No.9
tahun 2004 jo UU No. 5 tahun 1986 hanya memberikan suatu batasan atau ciri tentang
Keputusan tata usaha negara. selain itu pasal 3 UU yang sama juga memberikan
batasan tentang Keputusan tata usaha negara yang dapat dijadikan obyek gugatan
sehingga pengertian tentang Keputusan tata usaha negara dapat ditarik dari
pengaturan pasal 1 (3) yang menyatakan bahwa suatu Keputusan tata usaha negara
adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku, bersifat konkret, individual, dan final. Pengaturan ini
memberikan suatu ciri khas tentang pengertian Keputusan tata usaha itu sendiri
sehingga memberikan suatu ciri pembeda antara suatu Keputusan yang dapat
dijadikan obyek gugatan serta yang tidak bisa dijadikan obyek gugatan di pengadilan.
Pemahaman tentang obyek gugatan TUN merupakan hal yang penting
demikian juga dalam memahami sengketa tata usaha negara. Obyek gugatan TUN
tidak hanya dilihat dari bentuk atau format surat Keputusan akan tetapi harus
mendalami karateristik dari suatu surat Keputusan yang dapat dijadikan obyek
gugatan dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh Undang-Undang
oleh karena tidak semua suara Keputusan TUN dapat dijadikan sebagai obyek
gugatan. Oleh
Undang-undang diadakan pembatasan mengenai Keputusan yang dapat dijadikan
sebagai obyek gugatan TUN. Pembatasan pertama disebutkan dalam pasal 2 UU No.9
tahun 2004 jo UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa
tidak termasuk Keputusan tata usaha negara menurut undang-undang ini adalah :
a. Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum;
c. Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan
kitabundang-undang hukum pidana, kitab hukum acara pidana atau peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia;
g. Keputusan panitia pemilihan, baik di pusat maupun didaerah, mengenai hasil
pemilihan umum.
Pembatasan ini dilakukan oleh karena dalam penyelenggaraan kenegaraan
tidak
selamanya merupakan tindakan alat negara yang organisatoris termasuk bestuur atau
administrasi bisa saja dapat dilakukan oleh alat negara diluar bestuur yaitu alat-alat
negara yang tugas utamanya melakukan fungsi perundang-undangan dan peradilan
(de wetgevende en de rechtlijkemacht) juga berwenang mengeluarkan Keputusan
TUN (beschikking). Pembatasan yang kedua adalah :
Dalam pasal 49 Undang-undang No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
undang No.5 Tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara disebutkan bahwa
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara tertentu dalam hal Keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan
luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku;
b.dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam penjelasan pasal tersebut menurut penulis secara absolut membatasi
sampai dimana hak-hak warga negara untuk memperjuangkan kepentingannya disini
kepentingan umum atau kepentingan bangsa dan negara adalah segalanya. hal ini
kontras dengan pengaturan hak bagi penggugat contohnya dalam gugatan penundaan
Keputusan yang mana dalam keadaan yang normal kepentingan atau hak seseorang
dapat diperjuangkan. Tentunya ada alasan bagi pembuat undang-undang mengatur hal
seperti itu. Menurut pemahaman penulis bahwa hal ini menunjukan pada dasarnya
kepentingan perseorangan/individu hanya dapat dilaksanakan bila tidak bertentangan
dengan kepentingan umum yang lebih besar artinya Keputusan ditujukan bagi
penyelenggaraan kepentingan umum dalam keadaan yang berbahaya, bencana, atau
keadaan perang, maka Keputusan tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi
penggugat mengajukan gugatan contohnya: dalam keadaan bencana banjir Menteri
sosial memberikan Keputusan pemberian bantuan bagi para korban atau dalam
keadaan krisis ekonomi menteri perdagangan mengeluarkan Keputusan pembatasan
jenis barang yang dapat diimpor untuk melindungi kepentingan pengusaha kecil.
Pembatasan obyek sengketa ini akan berbeda bila sisi kepentingan umum tidak
dirugikan sedangkan kepentingan penggugat akan sangat dirugikan sebagaimana
pengaturan menurut pasal 67 UU No.9 tahun 2004 jo UU No. tahun 1986 tentang
peradilan tata usaha negara yang akan dibahas kemudian.

2.5. HAK DAN KEWAJIBAN PEJABAT PEMERINTAHAN


Hak dan kewajiban pejabat pemerintahan ini diatur dalam dua pasal, yaitu pasal
6 UU No. 30 Tahun 2014 mengenai hak pejabat pemerintahan untuk menggunakan
kewenangan dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan dan ruang lingkup hak
dimaksud. Sedangkan pasal 7 UU No. 30 Tahun 2014 membahas kewajiban pejabat
pemerintahan untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan sesuai undang-
undang, kebijakan pemerintah dan asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB)
serta ruang lingkup dari kewajiban dimaksud.
Pasal 6 mengatur mengenai hak pejabat pemerintahan untuk menggunakan
kewenangan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan. Salah satu hak itu adalah
menetapkan keputusan berbentuk tertulis atau elektronis dan/atau menetapkan
Tindakan (Pasal 6 ayat 2 c). Pasal ini dapat dikatakan memperluas pengertian dari
keputusan, karena menyatakan keputusan dapat berbentuk tertulis atau elektronis.
Yang dimaksud keputusan elekstonis adalah keputusan yang dibuat atau disampaikan
dengan menggunakan atau memanfaatkan media elektronik (Pasal 1 ayat 11). dalam
UU NO. 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 5 tahun 1986 tentang
PTUN pasal 1 angka 9 hanya mengenal keputusan tertulis dan tidak mengenal
keputusan elektronis. Karena itu, perlu dilakukan sinkronisasi antara UU AP dengan
UU PTUN, sehingga keputusan yang elektronis yang diatur dalamm UU AP dapat
diakomodasi. Sebab bila tidak, maka akan menimbulkan pemahaman yang berbeda
terutama saat mengadili perkara terkait dengan keputusan elektronis.Sedangkan
terkait kewajiban pejabat pemerintahan, Pasal 7 ayat (1) berhubungan erat dengan
Pasal 5. Pada Pasal 5 dinyatakan bahwa Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan
berdasarkan: a. asas legalitas: b. asas perlindungan terhadap hak asasi manusia; dan c.
AUPB Sementara Pasal 7 ayat (1) menyatakan Pejabat Pemerintahan berkewajiban
untuk menyelenggarakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan: a. ketentuan
peraturan perundang-undangan; b. kebijakan pemerintahan; dan c. AUPB.
Pada Pasal 7 ayat (2) dinyatakan kewajiban dari pejabat pemerintahan (ada 12
kewajiban yaitu huruf a s.d I), namun tidak dinyatakan adanya kewajiban untuk
bertanggungjawab atas akibat hukum yang ditimbulkan atas keputusan yang dibuat
pejabat pemerintahan yang bersangkutan. Nampak perlu dipertegas mengenai
pentingnya kewajiban bahwa keputusan yang dibuat itu dapat
dipertanggungjawabkan, sehingga aspek kehati-hatian dan memperhitungkan
konsekuensi dalam pembuatan atau penetapan keputusan dan/atau tindakan menjadi
pertimbangan dari pejabat pemerintahan dimaksud. Sementara itu Pasal 7 ini juga
terkait dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, terutama mengenai
kewajiban menyusun standar operasional prosedur pembuatan keputusan dan atau
tindakan (ayat 2 huruf h); dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik, khususnya terkait dengan membuka akses dokumen administrasi
pemerintahan kepada masyarakat (ayat 2 huruf i). Dalam konteks implementasi tata
pemerintahan yang baik, rumusan hak dan kewajiban pada kedua pasal ini dapat
dikatakan memenuhi sebagian dari aspek transparansi, partisipasi dan akuntabilitas,
karena setidaknya mewajibkan kepada pejabat pemerintahan untuk membuka akses
kepada masyarakat, memberikan kesempatan kepada warga masyarakat memberikan
masukan, dan memberitahukan kepada masyarakat mengenai konsekuensi dari
keputusan/tindakan yang dibuat. Meskipun dalam praktiknya, terutama terkait akses
informasi, dibatasi oleh ketentuan lainnya.

2.6. PENGERTIAN AAUPB

Menurut Ridwan HR dalam Hukum Administrasi Negara, asas-asas umum


pemerintahan yang baik adalah asas-asas umum yang dijadikan dasar dan tata cara
dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sehingga penyelenggaraan
pemerintahan menjadi baik, sopan, adil, terhormat dan bebas dari kezaliman,
pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang serta tindakan sewenang-
wenang (hal. 234). secara yuridis, asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah
prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi pejabat
pemerintahan dalam mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Philipus M. Hadjon, AAUPB harus
dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis, yang senar.tiasa harus ditaati
oleh pemerintah, meskipun arti yang tepat dari AAUPB bagi tiap keadaan tersendiri
tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Dapat pula dikatakan, bahwa AAUPB
adalah asas-asas hukum tidak tertulis, dari mana untuk keadaan-keadaan tertentu
dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan. Sebenarnya menyamakan
AAUPB dengan norma hukum tidak tertulis dapat menimbulkan salah paham, sebab
dalam konteks ilmu hukum telah dikenal bahwa antara "asas" dengan "norma" itu
terdapat perbedaan. Asas atau prinsip merupakan dasar pemikiran yang umum dan
abstrak, ide atau konsep, dan tidak mempunyai sanksi, sedangkan norma adalah
aturan yang konkret, penjabaran dari ide, dan mempunyai sanksi.
Lebih lanjut disebutkan bahwa asas hukum merupakan sebagian dari kejiwaan
manusia yang merupakan cita-cita yang hendak diraihnya. Dengan demikian, apabila
asas-asas umum pemerintahan yang baik dimaknakan sebagai asas atau sendi hukum,
maka asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat dimaknakan sebagai asas hukum
yang bahannya digali dan ditemukan dari unsur susila didasarkan pada moral sebagai
hukum riil, bertalian erat dengan etika, kesopanan, dan kepatutan berdasarkan norma
yang berlaku. Dalam perkembangannya, AAUPB memiliki arti penting dan fungsi
sebagai berikut.
1. Bagi Administrasi Negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan
penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan- ketentuan perundang-undangan yang
bersifat sumir, samar atau tidak jelas. Kecuali itu sekaligus membatasi dan
menghindari kemungkinan administrasi negara mempergunakan freies
Ermessen/melakukan kebijakan yang jauh menyimpang dari ke- tentuan perundang-
undangan. Dengan demikian, administrasi negara diharapkan terhindar dari perbuatan
onrechtmatige daad, detournement de pouvoir, abus de droit, dan ultravires.
2. Bagi warga masyarakat, sebagai pencari keadilan, AAUPB dapat
dipergunakan sebagai dasar gugatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 UU No.
5 Tahun 1986.
3. Bagi Hakim TUN, dapat dipergunakan sebagai alat menguji dan
membatalkan keputusan yang dikeluarkan Badan atau Pejabat TUN.
4. Kecuali itu, AAUPB tersebut juga berguna bagi badan legislatif dalam
merancang suatu undang-undang.

2.7. ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK

Tidak dicantumkannya AAUPB dalam UU PTUN bukan berarti eksistensinya tidak


diakui sama sekali, karena ternyata-seperti yang terjadi di Belanda-AAUPB ini
diterapkan dalam praktik peradilan terutama pada PTUN, sebagaimana akan terlihat
nanti pada sebagian contoh-contoh putusan PTUN. Kalaupun AAUPB ini tidak
akomodir dalam UU PTUN, tetapi sebenarnya asas-asas ini dapat digunakan dalam
praktik peradilan di Indonesia karena memiliki sandaran dalam Pasal 14 ayat (1) UU
No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman; "Pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa
mengadilinya". Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan politik Indonesia,
asas-asas ini kemudian muncul dan dimuat dalam suatu undang-undang, yaitu UU No.
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dengan format yang berbeda dengan AAUPB dari
negeri Belanda, dalam Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 disebutkan beberapa asas
umum penyelenggaraan negara, yaitu sebagai berikut.
1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggara negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara.
3. Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang mendahulukan kese- jahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan Tetap memerhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5. Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseim- bangan antara hak
dan kewajiban penyelenggara negara.
6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan peraturan perun- dang-undangan yang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.8. Analisis Kasus

Anda mungkin juga menyukai