Anda di halaman 1dari 15

Gambaran Kecenderungan Shame dan Kecenderungan Guilt pada Mahasiswa Fakultas

Psikologi Universitas Padjadjaran

Wiwi Wijastuti
1190110110019
Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran

Abstrak: Dalam kehidupan seorang manusia banyak peristiwa yang terjadi sehari-
harinya, dimulai peristiwa positif hingga negatif. Setiap peristiwa memunculkan emosinya
masing-masing, setiap emosi memiliki manfaatnya masing-masing. Emosi negatif ini memiliki
manfaat bagi kehidupan manusia, terutama bagi perbaikan diri. Dalam menghadapi peristiwa
negatif, ketika individu mengatribusikannya dengan diri mereka, maka akan muncul shame dan
guilt sebagai bentuk dari self-blame. Perbedaan individual akan menyebabkan individu lebih
cenderung pada shame atau pada guilt. Kecenderungan shame dan kecenderungan guilt ini
merupakan sebuah gaya emosional, yang memungkinkan individu untuk merasakan shame atau
guilt sebagai respon terhadap kegagalan atau pelanggarannya (Tangney & Dearing, 2002).
Shame dan guilt sendiri memiliki manifestasi perilaku dan motivasional yang masing-
masing berbeda. Sehingga, jika dilihat lebih dalam, individu dengan kecenderungan guilt akan
lebih dimungkinkan untuk bertanggung-jawab, memiliki hubungan interpersonal yang lebih
baik, dan kemampuan untuk berempati yang lebih baik pula. Maka mahasiswa dengan peran dan
harapan yang disematkan pada mereka, lebih baik jika memiliki kecenderungan terhadap guilt
dibanding terhadap shame, begitu juga mahasiswa dari bidang psikologi terutama kaitannya
dengan kemampuan empati. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Rogers (1975 dalam Suleeman
dan Viorensika, 2013) bahwa untuk menjadi psikolog yang baik, diperlukan kemampuan untuk
berempati agar dapat memahami kliennya. Selain itu, usia seseorang pada saat memasuki
perguruan tinggi ini biasanya berada pada kisaran usia 18 – 24 tahun. Usia ini merupakan usia
peralihan dari remaja menuju dewasa atau emerging adulthood. Pada usia ini individu mulai
memiliki independensi dalam peran sosial dan harapan normatif, serta mulai meninggalkan
ketergantungan pada orang tua yang dimiliki saat masa anak-anak dan remaja, termasuk saat
menghadapi peristiwa negatif (Arnett, 2000).
Penelitian ini dilakukan dengan mengunakan rancangan non-eksperimental dengan
metode survey. Menggunakan alat ukur TOSCA-A yang dikembangkan oleh Tangney (1999a)
dan diadaptasi oleh Pusvitasari (2013), dengan sedikit modifikasi oleh peneliti. Alat ukur ini
berbentuk kuesioner yang bersifat self-report. Sampel penelitian ditentukan dengan
menggunakan teknik probability sampling jenis simple random, sehingga diperolehlah 85
responden.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 85 responden, 85 orang atau 100% dari
responden memiliki kecenderungan guilt yang tinggi dengan nilai Mean sebesar 60.20.

1
Sedangkan hanya 37 orang atau 43.53% responden memiliki kecenderungan shame yang tinggi
dan 48 orang atau 56.47% memiliki kecenderungan shame yang rendah, dengan nilai Mean
sebesar 43.55. Hasil tersebut menunjukkan pula bahwa 37 orang memiliki kecenderungan shame
dan kecenderungan guilt yang sama-sama tinggi. Namun, jika dilihat dari nilai Mean sudah jelas
bahwa kecenderungan guilt masih lebih tinggi. Artinya bahwa sebagian besar responden lebih
dimungkinkan akan mengevaluasi suatu peristiwa berdasarkan perilaku spesifik mereka,
sehingga mereka akan mampu menerima kesalahan, bertanggungjawab, melakukan permohonan
maaf, melakukan tindakan perbaikan, dan menganggap bahwa kesalahan atau pelanggaran yang
terjadi dapat diperbaiki. Responden penelitian ini didominasi oleh responden yang berasal dari
suku Jawa (32.94%) dan suku Sunda (36.47%). Pada kecenderungan guilt, responden dari kedua
suku ini sama-sama memiliki kecenderungan yang tinggi. Sedangkan pada kecenderungan
shame, responden yang bersuku Jawa lebih banyak yang memililki kecenderungan shame yang
tinggi (53.57% responden) dan suku Sunda lebih banyak yang memiliki kecenderungan shame
yang rendah (70.97%).
Kata kunci: kecenderungan shame, kecenderungan guilt, mahasiswa, emerging adulthood

Dalam kehidupan seorang manusia Ketika individu mengalami peristiwa


banyak peristiwa yang terjadi sehari- negatif, seperti kegagalan, pelanggaran
harinya, dimulai peristiwa yang positif moral, dan pelanggaran interpersonal,
hingga peristiwa yang negatif. Peristiwa- berdasarkan teori atribusi, manusia secara
peristiwa ini, baik positif dan negatif, alamiah akan mencari penjelasan akan
memunculkan emosi yang berkaitan. peristiwa-peristiwa tersebut (B. Weiner,
Peristiwa positif akan memunculkan emosi 1986 , dalam Tangney & Dearing, 2002).
yang positif, seperti bahagia, bangga dan Sebagai usaha memahami suatu peristiwa,
sebagainya. Begitu pula peristiwa negatif, kita akan melihat pada berbagai sumber,
peristiwa ini akan memunculkan emosi misalnya orang lain, aspek dari situasi atau
negatif, seperti sedih, jijik, malu, bersalah lingkungan, campur tangan Tuhan, nasib,
dan sebagainya. Emosi positif sudah pasti keberuntungan, dan tentunya diri kita
memiliki dampak yang lebih positif bagi sendiri. Ketika kita menyalahkan diri
kehidupan manusia, dan seringkali emosi sendiri, kita cenderung akan merasa malu
negatif dipandang sebagai emosi yang (shame) atau bersalah (guilt), karena kedua
memiliki dampak yang negatif pula. Namun, emosi ini termasuk ke dalam emosi self-
beberapa peneliti juga mempercayai bahwa blame, dan dikaitkan dengan pengatribusian
emosi negatif ini memiliki manfaatnya internal terhadap peristiwa negatif (peristiwa
sendiri bagi kehidupan manusia, terutama yang di nilai negatif baik berdasar standar
manfaatnya bagi perbaikan diri.

2
diri sendiri atau orang lain) (Tangney & 2007). Oleh karena itu, emosi ini
Dearing, 2002) berhubungan dengan bagaimana seseorang
melihat dirinya sendiri dan bagaimana orang
Shame dan guilt ini keduanya juga
tersebut berpikir mengenai apa yang orang
merupakan emosi “self-conscious” dan
lain lihat pada dirinya.
“moral”: dikatakan self-conscious karena
melibatkan self yang mengevaluasi self itu Shame dianggap sebagai emosi yang
sendiri, dan dikatakan moral karena mereka menyakitkan dengan diiringi oleh perasaan
sekiranya memainkan peran kunci dalam mengecil, kurang berharga, dan tak berdaya,
mengembangkan perilaku moral (Tangney serta mereka yang mengalami shame akan
& Dearing, 2002). Emosi ini berkembang merasa bahwa diri mereka telah tersingkap.
dari pengalaman interpersonal kita yang H. B. Lewis (1971, dalam Tangney &
paling awal—di dalam keluarga dan Dearing, 2002) menggambarkan sebuah
hubungan inti laimya. Pengalaman akan pembagian dalam self-functioning yang
shame dan guilt dapat menuntun perilaku membuat self menjadi agen serta objek yang
kita dan mempengaruhi siapa diri kita di diobservasi dan ditolak. Bagian self yang
mata kita sendiri. mengobservasi menyaksikan dan
menganggap focal self sebagai hal yang
Shame menurut H. B. Lewis merupakan
tidak berharga dan patut untuk dicela. Tidak
emosi yang melibatkan perasaan negatif
mengherankan jika shame sering
terhadap self yang menetap dan menyeluruh
mengarahkan individu pada keinginan untuk
(“Aku tidak percaya bahwa aku melakukan
melarikan diri, atau menghindar.
hal itu”), sedangkan guilt merupakan
perasaan negatif mengenai perilaku tertentu Sebaliknya, guilt dianggap sebagai
(spesifik) atau tindakan yang dilakukan oleh emosi yang kurang menyakitkan karena
self, dan atau keadaan sementara mereka guilt lebih berfokus pada satu bagian
(“Aku tidak percaya bahwa aku melakukan spesifik dari self, yaitu perilaku, maka guilt
hal itu”) (Tangney & Dearing, 2002). Proses tidak mempengaruhi identitas diri seseorang.
kognitif pada kedua emosi ini menyebabkan Di dalam guilt terdapat ketegangan dan
keduanya muncul ketika adanya refleksi dan penyesalan terhadap “hal buruk yang
evaluasi pada diri individu yang mengacu terjadi”. Oleh karena itu, individu dengan
pada nilai-nilai dan standar (Tangney, pengalaman guilt melaporkan bahwa mereka

3
sering memikirkan lagi dan lagi pelanggaran (shame-proneness) dan kecenderungan guilt
yang terjadi, berharap mereka dapat (guilt-proneness), Tangney & Dearing
berperilaku berbeda atau entah bagaimana (2002) menyatakan:
mencegah kerusakan yang telah terjadi,
“Shame-proneness is an
menjadikan guilt sebuah emosi yang
emotional style – a tendency to
memotivasi perilaku perbaikan.
experience shame in response to
Dalam kaitannya dengan hubungan one’s failures or transgression …
interpersonal, guilt lebih terllihat Guilt-proneness is an emotional
mengarahkan individu pada arah yang lebih style – a tendency to experience guilt
membangun, proaktif, dan berorientasi masa in response to one’s failures or
depan (mengakui, meminta maaf, dan transgression.”
memperbaiki), sedangkan shame
mengarahkan individu pada perpisahan,
menjauhkan diri, dan pembelaan (defense). Kecenderungan shame dan
Selain itu, Tangney & Dearing (2002) kecenderungan guilt ini merupakan sebuah
percaya bahwa bagaimana shame dan guilt gaya emosional, yang memungkinkan
berdampak pada self-esteem dan fungsi self individu untuk merasakan shame atau guilt
yang berkaitan dapat memiliki pengaruh sebagai respon terhadap kegagalan atau
yang penting terhadap dinamika dari pelanggarannya. Kecenderungan ini menjadi
hubungan interpersonal. trait atau sifat individu yang bila diukur,
hasilnya dapat memperkirakan reaksi yang
Individu memiliki kapasitas untuk
akan dimunculkan individu ketika
mengalami kedua emosi tersebut dalam
menghadapi peristiwa negatif.
beberapa titik kehidupannya, namun
terdapat perbedaan individual yang Hal ini berarti, individu yang memiliki
berkaitan dengan tingkat kemungkinan kecenderungan shame, akan memungkinkan
individu untuk mengalami shame dan/atau individu tersebut untuk bereaksi dengan
guilt dalam berbagai rentang situasi yang melakukan evaluasi negatif terhadap self
melibatkan kegagalan atau pelanggaran yang menetap dan menyeluruh, diiringi oleh
(Tangney & Dearing, 2002). Inilah yang perasaan mengecil, kurang berharga, dan tak
memunculkan adanya kecenderungan shame berdaya, menganggap focal self sebagai hal

4
yang tidak berharga dan patut untuk dicela, dikatakan bahwa individu dengan
serta keinginan individu untuk melarikan kecenderungan guilt, lebih dimungkinkan
diri, atau menghindar. Sementara itu, memiliki tanggung jawab dan interpersonal
individu yang memiliki kecenderungan yang baik.
guilt, akan memungkinkan individu tersebut
Sebuah studi yang dilakukan Tangney
untuk bereaksi dengan melakukan evaluasi
(1993b, dalam Tangney & Dearing, 2002),
negatif terhadap perilakunya, sering
kepada 65 mahasiswa, menunjukkan hasil
memikirkan lagi dan lagi pelanggaran yang
dari penilaian para mahasiswa
terjadi, berharap mereka dapat berperilaku
mengindikasikan bahwa pengalaman shame
berbeda atau entah bagaimana mencegah
mereka lebih menyakitkan dan lebih sulit
kerusakan yang telah terjadi, mau mengakui
untuk digambarkan dibandingkan
dan meminta maaf.
pengalaman guilt mereka. Shame lebih
Selain itu, individu dengan cenderung untuk ditemani oleh perasaan
kecenderungan shame secara relatif lebih menjadi inferior dan secara fisik kecil,
dimungkinkan untuk menyalahkan orang mereka juga merasa memiliki sedikit kontrol
lain (termasuk dirinya sendiri) atas peristiwa dalam situasi yang melibatkan shame
negatif yang terjadi, lebih cenderung pada dibandingkan situasi yang melibatkan guilt,
amarah dan permusuhan yang bergelora, waktu dirasakan bergerak lebih lamban pada
sengit, serta penuh kebencian, juga lebih pengalaman shame dibandingkan
kurang mampu untuk berempati dengan pengalaman guilt. Selain itu, ketika
orang lain secara umum. Sedangkan merasakan shame, para partisipan lebih
individu yang cenderung guilt, terlihat lebih cenderung merasa bahwa dirinya diobservasi
mampu untuk berempati dengan orang lain oleh orang lain, dan mereka juga lebih
dan menerima tanggung-jawab untuk peduli pada opini orang lain mengenai self-
peristiwa interpersonal yang negatif, kurang nya dibandingkan self-perception mereka
cenderung pada amarah dibandingkan sendiri, melaporkan keinginan yang kuat
individu yang cenderung pada shame, untuk bersembunyi dari orang lain ketika
meskipun marah, individu dengan merasakan shame dibandingkan ketika
kecenderungan guilt lebih mengekspresikan merasakan guilt. Ketika merasa shame, para
amarah mereka dengan cara yang lebih baik partisipan merasa lebih terisolasi dibanding
dan membangun. Dari hal ini, dapat ketika merasa guilt..

5
Jika melihat hal tersebut, maka 2002). Orth, Robin, dan Soto (2010, dalam
mahasiswa yang pada dasarnya memiliki Barlian, 2013) menemukan bahwa shame
banyak peran serta menjadi harapan bangsa, mengalami penurunan pada usia remaja
dituntut untuk dapat bertanggung-jawab menuju dewasa menengah, sedangkan guilt
serta mampu bermasyarakat. Peran dan meningkat di usia remaja hingga dewasa.
harapan yang di sematkan pada mahasiswa Dalam hal ini, usia mahasiswa berada pada
diantaranya adalah mahasiswa menjadi masa transisi dari remaja menuju dewasa,
harapan bangsa dan negara untuk menjadi yang berarti pada masa ini perbedaan
pemimpin yang tangguh dan kritis terhadap individual sudah stabil dan kemungkinan
kondisi bangsanya, mahasiswa diharapkan mahasiswa cenderung pada guilt lebih besar.
untuk bertingkahlaku sesuai nilai moral Selain itu, berbeda halnya saat berada di SD,
yang dapat dijadikan contoh oleh SMP, dan SMA individu masih menjadi
lingkungannya, mahasiswa diharapkan oleh perhatian orang tua dan guru, pada usia
masyarakat untuk menjadi bagian dari mahasiswa, individu sudah dianggap mampu
perubahan dan menjadi aktor yang dapat untuk mandiri. Termasuk ketika menghadapi
membawa bangsa ini menjadi lebih baik, peristiwa negatif, mereka harus mampu
lebih bermartabat, lebih makmur, lebih untuk menanganinya sendiri.
sejahtera, lebih tentram, serta mahasiswa
Berkaitan dengan mampunya individu
mengemban tugas sebagai penuntut dan
yang cenderung guilt untuk berempati, maka
penyebar ilmu, meneliti dan menginovasi,
kecenderungan terhadap guilt ini juga
serta mengabdi pada masyarakat (Nasution,
seharusnya lebih diharapkan untuk dimiliki
2011). Maka, jika shame dan guilt harus ter-
oleh mahasiswa yang berasal dari bidang
alami oleh individu saat menghadapi
studi psikologi. Seperti halnya yang
peristiwa negatif, kecenderungan terhadap
dinyatakan oleh Rogers (1975 dalam
guilt akan lebih baik untuk dimiliki oleh
Suleeman dan Viorensika, 2013) bahwa
mahasiswa.
untuk menjadi psikolog yang baik,
Dalam proses perkembangannya juga, diperlukan kemampuan untuk berempati
perbedaan individu dalam hal agar dapat memahami kliennya. Selanjutnya,
kecenderungan terhadap shame dan guilt karena peneliti merupakan mahasiswa dari
sangat stabil dari masa anak-anak menengah Fakultas Psikologi Unpad, dan peneliti lihat
hingga dewasa awal (Tangney & Dearing, bahwa peristiwa negatif akan selalu ada

6
dalam kehidupan mahasiswa (seperti gagal variabel itu memang menutup kemungkinan
dalam ujian, gagal dalam mempertahankan manipulasi (Kerlinger, 1986). Sedangkan
dan/atau menaikan nilai, kesulitan dalam penelitian kuantitatif non-eskperimental
mengerjakan skripsi, dan lainnya) merupakan suatu penelitian dengan tipe
penelitipun berharap bahwa mahasiswa dari deskriptif yang mengumpulkan data
fakultas ini akan memiliki kecenderungan kuantitatif untuk menggambarkan variabel
terhadap guilt dibandingkan terhadap shame. yang diteliti (Christensen, 2007). Metode
yang akan digunakan adalah metode
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
penelitian deskriptif, berfokus pada
mendapatkan data empirik mengenai
menggambarkan beberapa fenomena,
kecenderungan shame dan kecenderungan
kejadian, atau situasi (Christensen, et.al.,
guilt pada mahasiswa Fakultas Psikologi
2011, p.29).
Universitas Padjadjaran, sehingga dapat
dilihat kecenderungan mana yang lebih Sampel diambil dari Mahasiswa Fakultas
dominan pada mahasiswa Fakultas Psikologi Psikologi Universitas Padjadjaran angkatan
Unpad. 2013-2015 berjumlah 85, menggunakan
teknik simple random sampling.
Metode Penelitian. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini berupa basic Alat ukur yang akan digunakan
research (penelitian dasar). Penelitian dasar dalam penelitian ini adalah Test of Self
ini bertujuan untuk menambah khasanah Conscious Affect Adolescence (TOSCA-A)
pengetahuan, kebenaran teoritis, dan tidak milik Tangney, dkk (1991a) yang telah
secara spesifik ditujukan langsung untuk diadaptasi dan diterjemahkan oleh
menyelesaikan suatu persoalan. Rancangan Pusvitasari (2013) dan dimodifikasi oleh
penelitian yang digunakan dalam studi ini peneliti setelah dilakukan pengukuran
adalah rancangan penelitian non- validitas dan reliabilitas kembali.
experimental tipe kuantitatif. Rancangan
Test of Self Conscious Affect –
penelitian non-eksperimental merupakan
Adolescence (TOSCA-A) merupakan sebuah
telaah empirik sistematis dimana ilmuwan
alat ukur yang mengukur shame dan guilt
tidak dapat mengontrol secara langsung
sebagai disposisi dengan pendekatan
variabel bebasnya karena manifestasinya
berdasar skenario (scenario-based
telah muncul, atau karena sifat hakekat
measures). Dalam pengukuran ini,

7
responden akan dihadapkan pada satu seri Sebagai tambahan pada item-item shame dan
situasi dari situasi umum keseharian yang guilt, pengukuran ini mengikutsertakan pula
spesifik. Setiap skenario diikuti oleh respon- respon-respon yang menunjukkan
respon yang menggambarkan secara singkat externalization of blame,
deskripsi fenomenologis dari shame dan detachment/unconcern, dan –subset dari
guilt berkaitan dengan konteks spesifik situasi-situasi positif- bangga pada self dan
tersebut. Melalui berbagai skenario yang bangga pada perilaku. Hanya saja yang di
bervariasi, respon-respon ini menangkap gunakan dalam penelitan adalah hasil dari
ciri-ciri afektif, kognitif, dan perilaku respon shame dan guilt, serta externalization
(behavioral) yang berasosiasi dengan shame dan detachement yang memiliki hubungan
dan guilt, tanpa bergantung pada istilah dengan shame dan guilt. Sedangkan pride,
“shame/malu” dan “guilt/bersalah” yang yang merupakan jenis emosi yang berbeda
mungkin akan membingungkan orang dan hanya ada pada subset situasi positif,
awam. Pengukuran bukan merupakan tidak digunakan hasilnya.
sebuah pilihan paksaan. Responden diminta
Setiap pengukuran ini memuat hanya
untuk menilai, pada 5 poin skala,
sebagian kecil subset dari bidang yang lebih
kemungkinan mereka untuk merespon dalam
besar akan kemungkinan pengalaman
setiap situasinya. Pendekatan ini membuka
kegagalan atau pelanggaran oleh individu
kemungkinan bahwa beberapa resonden
dalam satu grup usia. Lebih khususnya,
mungkin mengalami shame dan guilt,
Tangney dkk., sengaja memfokuskan pada
keduanya, pada satu situasi yang diberikan.
situasi yang dapat diaplikasikan secara luas
Oleh karena itu, dalam pengukuran ini, yang
dan perilaku yang mungkin dihadapi oleh
membedakan shame dan guilt bukan
kebanyakan responden pada beberapa titik
berdasar pada konten dari situasi tetapi pada
kehidupan sehari-hari mereka. Tujuannya
reaksi fenomenoogis dari responden. Setiap
adalah untuk membuat konstruk situasi yang
dari pengukuran ini menghadapkan
familiar sehingga responden dapat dengan
responden pada suatu range situasi sesuai
mudah menghubungkannya, sehingga
usia (contoh dari rumah, sekolah, peer
mereka bisa dapat dengan siapnya
group) yang dapat memicu munculnya
membayangkan diri mereka berada pada
shame dan/atau guilt. Alat ukur ini terdiri
situasi tersebut dan dengan demikian lebih
dari 10 situasi negative dan 5 situasi positif.
akurat dalam melaporkan kemungkinan

8
reaksi mereka. TOSCA-A (dan TOSCA Skor diberikan pada setiap pernyataan
secara umum) ini lebih kepada skenario dan berdasarkan pada pertimbangan jawaban
respon yang “subject-generated” bukan responden terhadap item-item pernyataan.
“experimenter-generated”, yang dalam Semakin tinggi skor yang didapat, maka
pemilihan skenario, Tangney dkk., menunjukkan bahwa responden tersebut
mengambil dari hasil narrative accounts semakin besar kemungkinannya untuk
pengalaman personal shame, guilt, dan memunculkan ciri-ciri kognitif, afektif, dan
pride yang diberikan oleh sebuah sampel behavioral dari shame dan/atau guilt.
dari beberapa ratus mahasiswa, orang Sedangkan, semakin rendah skor yang
dewasa non-mahasiswa dan anak-anak. didapat, maka semakin kecil
Demikian pula respon-respon terhadap kemungkinannya untuk memunculkan ciri-
skenario diambil dari respon-respon afektif, ciri kognitif, afektif, dan behavioral dari
kognitif, dan perilaku yang disajikan oleh shame dan/atau guilt. Total skor diperoleh
responden. Dalam pemilihan skenario dan dari hasil penjumlahan skor tiap item.
situasi, Tangney dkk., lebih mengutamakan
Alat pengukuran setidaknya harus
skenario dan situasi yang paling banyak
memiliki dua perangkat penting, yaitu
disebutkan oleh responden. Salah satu
kesahihan (validity) dan keterandalan
keuntungan dari pengukuran ini adalah
(reliability) (Black & Champion, 1999).
adanya validitas ekologis yang
Oleh sebab itu sebelum alat ukur digunakan,
memunginkan pengukuran ini dapat
terlebih dahulu harus dilakukan uji coba
diaplikasikan pada satu grup tertentu.
terhadap alat ukur tersebut. Uji coba alat
Pengukuran ini juga mengukur
ukur dilakukan untuk mendapatkan item
kemungkinan yang digeneralisasi terhadap
yang valid dan reliabel. Peneliti melakukan
pengalaman shame dan guilt dalam rentang
2 kali uji coba alat ukur dengan
situasi sehari-hari.
menyebarkan kuesioner alat ukur ke 31
Alat ukur Test of Self-Conscious Affect orang responden (uji coba pertama) dan 35
Adolescence (TOSCA-A) ini menggunakan orang responden (uji coba kedua).
skala Likert, dari skala 1 sampai dengan 5 Selanjutnya peneliti melakukan pengolahan
dengan 1 (Sangat Tidak Mungkin), 2 (Tidak data menggunakan bantuan program SPSS
Mungkin), 3 (Mungkin), 4 (Sangat (Scientific Packages for Social Scienses)
Mungkin), dan 5 (Sangat Mungkin Sekali). 17.0 for windows. Dari kedua uji tersebut

9
dapat diketahui apakah alat ukur tersebut yang dilakukan oleh oleh empat orang ahli
dapat digunakan atau tidak dan melihat (expert reviewer), dosen-dosen dari Fakultas
apakah item benar-benar mengukur apa yang Psikologi Unpad, yaitu Dr. A. Gimmy
ingin diukur. Pratamha S., M.Si, Dr. Poeti Joefi, M.Si ,
Airin Triwahyuni, M.Psi., Suci Wisayanti,
Validitas adalah sebuah penilaian
M.Psi. Review ini dilakukan untuk melihat
evaluatif yang menyeluruh mengenai tingkat
kesesuaian bahasa pada instruksi agar dapat
bukti empiris dan teoritis rasional yang
mengukur konstruk yang akan diukur, serta
mendukung ketepatan dan kecukupan dari
untuk melihat apakah definisi konseptual
intepretasi dan aksi berlandaskan skor tes
dan operasionalisasi variabel sudah tepat,
atau tipe penilaian lainnya (Messick, 1998).
juga untuk melihat apakah dimensi dan
Uji validitas dilakukan untuk mengukur
indikator yang diturunkan dari definisi
apakah pertanyaan-pertanyaan dalam
operasional sudah sesuai, dan melihat
kuesioner tepat dengan apa yang ingin
apakah item soal sudah cukup mengukur apa
diukur. Pada alat ukur Test of Self-
yang ingin peneliti ukur serta tata kalimat
Conscious Affect Adolescence (TOSCA-A)
pada item-item agar lebih mudah untuk
yang telah diadaptasi, dilakukan uji validitas
dipahami.
konten (validity evidence based on content),
yaitu uji yang berdasarkan pada penilaian Uji reliabilitas dilakukan untuk
seberapa cukup item, tugas, atau pertanyaan melihat konsistensi respon keseluruhan pada
dari sebuah tes atau instrument dapat alat ukur. Jenis reliabilitas yang digunakan
merepresentasikan domain dari konstruk adalah Internal Consistency Reliability.
(Christensen, 2011). Index yang digunakan adalah Coefficient
Alpha (Cornbach’s Alpha), apabila alpha
Uji validitas konten dilakukan oleh
lebih besar daripada 0,7 membuktikan
seseorang yang ahli atau yang disebut
bahwa item-item dari alat ukur konsisten
dengan expert reviewer. Pada alat ukur ini,
dalam mengukur hal yang sama
peneliti telah melakukan uji validitas konten
(Christensen, 2011).
dengan meminta Validitas dalam alat ukur
ini menggunakan aspek konten melalui Uji reliabilitas ini menggunakan
expert judgement untuk mempercayakan program komputer SPSS 17.0 for windows.
relevansi dan representativitas alat ukur

10
Berdasarkan hasil dari uji yang dilakukan, (1 item), dan untuk variabel kecenderungan
didapat hasil sebagai berikut: guilt terdapat tiga item yang memiliki nilai <
0.1. Oleh karena itu, untuk item variable
kecenderungan shame, peneliti
Tabel 3.9 Reliabilitas Tiap Variabel menggunakan item dari hasil try out ke-dua,
sedangkan untuk kecenderungan guilt,
Variabel Cronbach’s Kriteria
peneliti menggunakan item dari try out
Alpha
pertama.
Kecenderungan 0.826 Reliabel
Shame Sehingga dari alat ukur yang digunakan
Kecenderungan 0.777 Reliabel untuk kecenderungan shame dan guilt
Guilt masing-masing memiliki 1 item yang <0.1,
namun item tetap digunakan karena item
tersebut diperlukan untuk mengukur dimensi
Analisis item ini digunakan untuk
dan/atau indikator yang akan diukurnya.
mengetahui apakah item-item dalam alat
Setelah dilakukan pengambilan data kepada
ukur sudah baik atau belum menggunakan
85 responden menggunakan alat ukur
item discriminality. Friedenberg (1995,
tersebut, peneliti mencoba melihat nilai
dalam Andini, 2015) menyatakan bahwa jika
korelasi setiap item, dan hasilnya
korelasi mendekati +0.1 maka item tersebut
menunjukkan semua item memiliki nilai > 3.
dan tes semakin mengukur hal yang sama.
Selain itu, alat ukur yang digunakan
Item pertanyaan dengan nilai korelasi 0.3 –
merupakan alat ukur yang berjenis scenario-
0.1 dapat dipakai. Dari item-item yang
based measure yang memang memiliki
mengukur shame dan guilt ini, pada try out
kekurangan dalam internal consistency
yang pertama, terdapat satu item < 0.1 dan
(Tangney & Dearing, 2002).
satu item negatif dalam variabel
kecenderungan shame, sedangkan untuk Hasil: Responden penelitian di dominasi
variable kecenderungan guilt terdapat satu oleh mahasiswa yang berusia 19-21, berjenis
item yang memiliki nilai < 0.1. Lalu kelamin perempuan, beragama islam, pola
dilakukan try out ke-dua. Dari hasil try out asuh orang tua (dipersepsi oleh responden)
ini, didapatkan hasil untuk variable yang authoritative, dan yang berasal dari
kecenderungan shame yang bernilai negatif suku Jawa dan Sunda. Kecenderungan

11
responden secara umum terhadap guilt lebih dimensi mana yang lebih berperan dalam
tinggi dibanding kecenderungan mereka kecenderungan shame dan kecenderungan
terhadap shame, dengan nilai Mean guilt pada responden penelitian.
kecenderungan guilt sebesar 60.20 dan
Pada angkatan 2013 terdapat mahasiswa
kecenderungan shame sebesar 43.55. Selain
yang memilliki kecenderungan shame tinggi
itu, responden didominasi oleh individu
yang lebih banyak dibanding 2 angkatan
dengan kecenderungan guilt, 100%
lainnya.
responden memiliki kecenderungan guilt
yang tinggi sedangkan untuk kecenderungan Diskusi: Kecenderunggan guilt
shame kurang dari sebagian responden mendominasi pada diri responden, sehingga
(43.53%) yang memiliki kecenderungan saat menghadapi periistiwa negatif
shame tinggi. Dari hasil tersebut pula kemungkinan untuk memunculkan ciri-ciri
terlihat bahwa 37 responden memiliki kognitif, afektif, dan perilaku yang berkaitan
kecenderungan shame dan kecenderungan dengan guilt lebih besar.
guilt yang tinggi.
Dengan kecenderungan guilt tinggi yang
Dalam situasi positif, masih banyak dimiliki oleh mahasiswa, maka pihak
responden yang memiliki kecenderungan fakultas dapat memperkirakan bahwa reaksi
guilt yang tinggi. dimensi yang mendukung yang mungkin akan dimunculkan oleh para
masing-masing sangatlah berbanding mahasiswanya akan lebih cenderung pada
terbalik. Untuk kecenderungan shame, reaksi-reaksi yang berkaitan dengan guilt,
dimensi kognitif (70.59%) merupakan dan ini merupakan hal yang positif, sehingga
dimensi yang memiliki persentase paling diharapakn dapat dipetahankan.
tinggi dan dimensi perilaku (10.59%)
Penelitian ini masih terlalu luas
memiliki persentase yang paling rendah.
gambarannya, sehingga akan lebih baik jika
Sebaliknya, untuk kecenderungan guilt,
penelitian selanjutnya melakukan penelitian
dimensi perilaku (100%) justru memiliki
yang lebih spesifik, seperti hubungan
persentase yang paling tinggi dan dimensi
kecenderungan shame dan guilt dengan
kognitif (91.76%) yang paling rendah.
empati pada mahasiswa, atau lainnya, yang
Untuk dimensi afektif, dimensi ini pada
memang masih kurang terdapat di Indonesia.
kedua variable berada diposisi menengah.
Hal ini penting karena terasa oleh peneliti
Dari kedua hasil ini terlihat sangat jelas

12
masih sangat susah untuk menemukan 480. doi: 10.1037//0003-
referensi mengenai kecenderungan guilt dan 066X.55.5.469
kecenderungan shame pada mahasiswa di
Indonesia. Barlian, Irene Yolanda. (2013). Perbedaan
Emosi Malu dan Emosi Bersalah pada
Sekiranya penelitian ini masih sangat
Generasi Tua dan Generasi Muda.
banyak kekurangannya. Beberapa hal yang
Depok: Universitas Indonesia
dapat peneliti sampaikan mengenai
kekurangan dalam penelitian ini adalah
Christensen, Larry B., R. Burke Johnson &
kurang meratanya jumlah responden dalam
Lisa A. Turner. (2011). Research
aspek perbedaan individual, dikarenakan
Methods, Design, and Analysis. 11th
kurangnya gambaran keseluruhan yang
ed. United States : Pearson Education,
peneliti milki ketika melakukan penelitian.
Inc.
Pengambilan data pola asuh yang hanya
berdasarkan pandangan responden (dipilih
Cohen, T. R., Wolf, S. T., Panter, A. T., &
sesuai dengan kesesuian yang dirasakan
Insko, C. A. (2011). Introducing the
responden) bukan melalui pengukuran yang
GASP scale: A new measure of guilt
sebenarnya.
and shame proneness. Journal of
Daftar Pustaka: Personality and Social Psychology,
100(5), 947-966. doi:
Andini, Widya. (2015). Kontribusi
10.1037/a0022641
Religiusitas terhadp Psychological
Well-Being pada Mahasiswa (Skripsi
Dalgeish, Tim., & Mack Power. (19990.
Tidak Dipublikasikan). Jatinangor:
Handbook of Cognition and Emotion.
Universitas Padjadjaran.
England : John Wiley & Sons Ltd

Arnett, Jeffrey Jensen. (2000). Emerging


Hasui, Chieko., Kitamura, Toshinori.,
Adulthood: A Theory of
Tamaki, Atsuko., Takanashi, Mari.,
Developmental From Late Teens
Masuda, Sanae., & Ozeki, Nobuko
Through Twenties. American
(2009). The Test of Self-Conscious
Psychologyst by American
Affect-3 in Japanese University
Psychological Association 55(5), 469-

13
Students. The Journal of Nervous and dengan perilaku Agresif Pada Remaja
Mental Disease, 197, 458-460. doi: di 3 SMA Kota Bandung (Tesis Tidak
10.1097/NMD.0b013e3181a61f52 Dipublikasikan). Jatinangor:
Health Psychology, 24, 225-229. Universitas Padjadjaran.
doi:10.1037/0278-6133.24.2.225.
Diunduh dari http://www.institute-of- Rasyid, Yarfina. (1994). Perbandingan
mental-health.jp/thesis/pdf/thesis- antara Perasaan Malu pada
01/thesis-01-11.pdf Mahasiswa Suku Jawa yang Tinggal
bersama Orangtua di Yogyakarta dan
Kerlinger, Fred N. (2004). Asas-asas dengan Saudarra Kandung yang
Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Tinggal Sendiri di Bandung (Skripsi
Gadjah Mada University Press. Tidak Dipublikasikan). Jatinangor:
Universtas Padjadjaran
Nasution, M. A. Juni (2011). Peranan
Mahasiswa Dalam Peradaban Shaughnessy, John J; Eugene B.
Indonesia. Detik News: Opini. Diakses Zechmeister; Jeanne S. Zechmeister.
dari (2012). Research Methods in
http://news.detik.com/read/2011/06/20 Psychology 9th Edition. McGraw-Hill:
/120017/1663821/471/3/peranan- New York
mahasiswa-dalam-peradaban-
indonesia pada tanggal 11 Mei 2015. Sudjana. (1996). Metode Statistika.
Bandung: Tarsito
Nolen-Hoeksema, S., Fredrickson, B.L.,
Loftus, G.R., & Wagenaar, W.A. Tangney, J.P. (1999). The Self-Conscious
(2009). Atkinson & Hilgard’s Emotions : Shame, Guilt,
Introduction to Psychology, 15th Embarrassement, and Pride. Handbook
Edition. Italy : Pat Bond of Cognition and Emotion (p.541).
England : John Wiley & Sons Ltd.
Pusvitasari, Intan. (2013). Hubungan
Kecenderungan Shame dan Tangney, J.P., Dearing, R. (2002). Shame
Kecenderungan Guilt serta Motif and Guilt. New York: Guilford Press

14
Viorensika, Starlettia., dan Suleeman, Julia.
Tangney, J.P., et al. (2007). Author (2013). Gambaran Empati pada
Manuscript. National Institutes of Mahasiswa Psikologi Jenjang Sarjana.
Health Depok: Universitas Indonesia
(Annu Rev Psychol. 2007 ; 58: 345–
372. Woien Sandra L., Ernst, Heidi A.H., Patock-
doi:10.1146/annurev.psych.56.091103. Peckham, Julie A., Nagoshi, Craig T.
070145) (2003). Validation of the TOSCA to
measure shame and guilt. Pergamon:
Tangney. J.P., Stuewig Jeffrey, & Debra J. Personality and Individual Differences
Mashek. (2007) What’s Moral about 35, 313–326.
the Self Concious Emotions ?. The Self
Concious Emotions : Theory and
Research. New York : The Guilford
Press.

Tracy, J. L., & Robins, R. W. (2007). The


Self in Self-Conscious Emotions: A
Cognitive Appraisal Approach. Dalam
Tracy, J. L., Robins, R. W., &
Tangney, J. P. (Eds). The Self-
Conscious Emotions: Theory &
Research (hal. 3-20). New York, NY:
The Guilford Press.

Tracy, J. L., Robins, R. W., & Tangney, J. P.


(Ed.) (2007). The Self-Conscious
Emotions: Theory & Research (hal. 3-
20). New York, NY: The Guilford
Press.

15

Anda mungkin juga menyukai