HIV adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh human immunodeficiency virus. Virus ini
menyerang sel T (sel CD4) dalam sistem imun yang tugas utamanya adalah melawan infeksi.
Virus penyebab HIV menyebar dari satu orang ke lainnya lewat pertukaran cairan tubuh seperti
darah, air mani, cairan pra-ejakulasi, dan cairan vagina yang notabene sangat lumrah terjadi
saat hubungan seksual.
Besarnya angka pengidap HIV kemungkinan dipengaruhi oleh kerutinan berhubungan seksual
dengan suami yang positif HIV (baik terdiagnosis dan diketahui, maupun tidak). Penetrasi penis
ke vagina tanpa kondom merupakan jalur penularan HIV yang paling umum di antara pasangan
heteroseksual (lelaki yang berhubungan seks dengan perempuan).
Setelah masuk dalam tubuh, virus dapat tetap aktif menginfeksi tapi tidak menunjukkan gejala
HIV/AIDS yang berarti selama setidaknya 10-15 tahun. Selama masa jendela ini, seorang ibu
rumah tangga bisa saja tidak pernah mengetahui bahwa dirinya terjangkit HIV hingga pada
akhirnya positif hamil.
Selain dari hubungan seks, seorang perempuan juga bisa terinfeksi HIV dari penggunaan jarum
suntik tidak steril sewaktu sebelum hamil.
Sistem imun yang lemah atau rusak akibat infeksi HIV kronis dapat membuat ibu hamil sangat
rentan terhadap infeksi oportunistik, seperti pneumonia, toksoplasmosis, tuberkulosis (TBC),
penyakit kelamin, hingga kanker.
Kumpulan penyakit ini menandakan bahwa HIV telah berkembang menjadi penyakit AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome). Pengidap HIV yang telah memiliki AIDS biasanya
dapat bertahan hidup sekitar 3 tahun jika tidak mendapatkan pengobatan.
Tanpa penanganan medis yang tepat, masing-masing dari infeksi tersebut juga berisiko
menyebabkan komplikasinya tersendiri pada kesehatan tubuh serta kehamilan. Ambil contoh
toksoplasmosis. Parasit penyebab penyakit ini dapat menginfeksi bayi lewat plasenta sehingga
menyebabkan keguguran, bayi lahir mati (stillbirth), dan dampak buruk lainnya bagi ibu dan
bayi.
Bahaya HIV pada ibu hamil dan bayinya tidak cuma itu. Ibu hamil yang terdiagnosis positif HIV
juga dapat menularkan infeksinya pada bayi di dalam kandungan lewat plasenta. Tanpa
pengobatan, seorang ibu hamil yang positif HIV berisiko sekitar 25-30% untuk menularkan virus
pada anaknya selama kehamilan.
Penularan HIV dari ibu hamil pada anaknya juga dapat terjadi selama proses persalinan normal,
apabila bayi terpapar darah, cairan ketuban yang pecah, cairan vagina, atau cairan tubuh ibu
lainnya. Selain itu, penularan HIV dari ibu kepada bayinya juga dapat berlangsung selama
masa menyusui eksklusif karena HIV dapat ditularkan melalui ASI.
HIV dari ibu juga dapat ditularkan pada bayinya melalui makanan yang terlebih dulu
dikunyahkan oleh ibu meski risikonya sangatlah rendah.
Tes HIV pada ibu hamil yang paling umum adalah test antibodi HIV. Tes antibodi HIV bertujuan
mencari antibodi HIV pada sampel darah. Antibodi HIV merupakan sejenis protein yang
diproduksi tubuh untuk menanggapi infeksi virus.
HIV pada ibu hamil baru bisa benar-benar dipastikan ketika mendapat hasil positif dari tes
antibodi HIV. Tes kedua berupa tes konfirmasi HIV dilakukan untuk memastikan bahwa orang
tersebut memang benar terinfeksi oleh HIV. Jika tes kedua juga positif, berarti Anda positif
terinfeksi HIV selama kehamilan.
Pemeriksaan HIV pada ibu hamil juga bisa mengidentifikasi keberadaan penyakit menular
seksual lainnya, seperti hepatitis C dan sifilis. Selain itu, pasangan Anda juga harus menjalani
tes HIV.
Seorang ibu yang mengetahui ia terinfeksi HIV pada awal kehamilannya memiliki waktu lebih
untuk mulai merencanakan pengobatan demi melindungi kesehatan dirinya, pasangannya, dan
bayinya.
Pengobatan HIV secara umum dilakukan lewat terapi obat antiretroviral (ART). Kombinasi obat
ini dapat mengendalikan atau bahkan menurunkan jumlah viral load HIV pada darah ibu hamil.
Seiring waktu, kerutinan menjalani pengobatan HIV dapat meningkatkan daya tahan tubuh
untuk melawan infeksi.
Patuh terhadap terapi ART juga memungkinkan ibu hamil mencegah penularan infeksi HIV
pada bayi dan pasangannya. Beberapa obat anti-HIV telah dilaporkan dapat tersalurkan dari ibu
hamil ke bayi dalam kandungan melalui plasenta (juga disebut ari-ari). Obat anti-HIV dalam
tubuh bayi membantu melindunginya dari infeksi HIV.