Anda di halaman 1dari 5

diceritakannya, tapi bertekad hendak mencobanya.

Sebagian besar anak-anak menyukai gagasan Kepala


Sekolah dan mereka memutuskan untuk maju berpidato
esok harinya.
Di rumah, anak-anak Jepang biasanya diajari untuk
tidak berbicara waktu makan. Tetapi berkat pengalam-
annya hidup di luar negeri, Kepala Sekolah selalu men-
dorong murid-muridnya untuk makan tanpa tergesa-gesa
dan mengobrol santai.
Kecuali itu, dia berpikir penting bagi mereka untuk
berlatih berdiri di depan orang banyak dan meng-
ungkapkan gagasan mereka dengan jelas dan bebas,
tanpa merasa malu. Begitulah, Kepala Sekolah memutus-
kan untuk mempraktekkan gagasannya.
Setelah anak-anak menyetujui gagasan itu, inilah yang
dikatakannya kepada mereka. Totto-chan mendengarkan
dengan penuh perhatian.
"Kalian tidak periu merasa harus jadi pembicara yang
baik," katanya. "Kalian boleh berbicara tentang apa saja.
Kalian boleh berbicara tentang apa yang ingin kalian
lakukan. Apa saja. Tapi yang penting, mari kita coba
dulu."
Urutan anak yang maju ke depan disepakati. Juga
disepakati bahwa siapa pun yang akan maju berbicara
harus menghabiskan makan siangnya dengan cepat. Dia
harus langsung makan setelah nyanyian selesai.
Anak-anak segera mendapati bahwa tidak seperti
mengobrol dengan dua-tiga kawan sambil makan siang,
berdiri di depan seisi sekolah membutuhkan keberanian
dan ternyata cukup sulit. Ada anak yang sangat malu dan
hanya berdiri sambil tertawa-tawa salah tingkah. Ada
anak laki-laki yang sudah mati-matian mempersiapkan
diri, bahkan menghafal apa yang akan dikatakannya, tapi
langsung lupa segalanya begitu maju ke depan. Dia
mengulang-ulang judul pidatonya yang bagus, Mengapa
Kodok Melompat ke Samping, kemudian mulai dengan
"Waktu hujan...," tapi tak bisa melanjutkan. Akhirnya dia
berkata, "Itu saja," membungkuk hormat, lalu kembali ke
tempat duduknya.
Giliran Totto-chan belum tiba, tetapi dia sudah
memutuskan, kalau gilirannya tiba dia akan mencerita-
kan cerita favoritnya, yaitu Sang Pangeran dan Putri.
Semua anak tahu cerita itu. Setiap kali dia ingin men-
ceritakan cerita itu waktu jam istirahat, kawan-kawan-
nya selalu bilang, "kami sudah bosan mendengar cerita
itu." Namun Totto-chan memutuskan kisah itulah yang
akan diceritakannya.
Kegiatan baru itu berjalan lancar sampai pada suatu
hari anak yang mendapat giliran maju menolak keras-
keras.
"Aku tak punya sesuatu yang bisa diceritakan," kata
anak itu.
Totto-chan heran melihat ada anak yang tak punya
sesuatu untuk diceritakan. Tapi anak laki-laki itu bersi-
keras. Kepala Sekolah mendekati meja anak itu. Di atas
mejanya tergeletak kotak bekalnya yang sudah kosong.
"Jadi kau tak punya sesuatu untuk diceritakan," kata-
nya.
"Ya."
Anak laki-laki itu tidak bersikap sok pintar atau ber-
pura-pura. Dia memang jujur mengatakan tak bisa me-
nemukan sesuatu untuk diceritakan.
Kepala Sekolah tertawa terbahak-bahak, tak peduli
giginya sudah ompong.
"Ayo kita coba cari sesuatu untuk kauceritakan."
"Mencari sesuatu untuk kuceritakan?" Anak laki-laki
itu tampak kaget.
Kepala Sekolah menyuruh anak laki-laki itu berdiri di
tengah lingkaran, lalu duduk di bangku anak itu.
"Coba kauingat-ingat," kata Kepala Sekolah, "apa yang
kaulakukan tadi pagi setelah bangun dan sebelum
berangkat ke sekolah. Apa yang mula-mula kaulakukan?"
"Hmm," anak itu memulai, lalu berhenti dan meng-
garuk-garuk kepalanya.
"Bagus," kata Kepala Sekolah. "Kau bilang, 'Hmm.' Kau
pasti punya sesuatu untuk dikatakan. Apa yang
kaulakukan setelah 'hmm?"
"Hm... uh... aku bangun tidur," katanya, sambil meng-
garuk-garuk kepalanya lebih keras.
Totto-chan dan anak-anak lain merasa geli tapi men-
dengarkan dengan penuh perhatian. Anak laki-laki itu
melanjutkan, "Lalu... uh..." Dia menggaruk-garuk kepala-
nya lagi. Kepala Sekolah duduk dan menunggu dengan
sabar, memperhatikan anak itu. Wajahnya tersenyum,
tangannya tertumpang di meja. Kemudian dia berkata,
"Bagus sekali. Itu sudah cukup. Kau bangun tidur tadi
pagi. Kau telah membuat semua yang ada di sini
mengerti itu. Kau tidak harus pandai melucu atau
membuat orang tertawa untuk menjadi pembicara yang
baik. Yang penting, kau tadi bilang tak punya sesuatu
untuk diceritakan, tapi nyatanya kau punya sesuatu yang
bisa kauceritakan."
Tapi anak laki-laki itu tidak segera duduk. Dia malah
berkata dengan suara sangat keras, "Lalu... uh..."
Semua anak mencondongkan badan ke depan. Anak
laki-laki itu menarik napas panjang lalu melanjutkan,
"Lalu... uh... Mama... uh... berkata, 'Gosok gigimu'... uh...
lalu aku gosok gigiku."
Kepala Sekolah bertepuk tangan. Semua ikut bertepuk
tangan. Mendengar itu, anak laki-laki itu melanjutkan,
dengan suara yang semakin keras, "Lalu... uh..."
Anak-anak berhenti bertepuk tangan. Mereka me-
nyimak sambil menahan napas. Tubuh mereka semakin
condong ke depan.
Akhirnya, anak laki-laki itu berkata dengan nada
penuh kemenangan, "lalu... uh... aku sampai di sekolah."
Salah satu anak dari kelas yang tinggi mencondong-
kan tubuhnya terlalu ke depan sampai kehilangan kesei-
mbangan. Mukanya pun terantuk kotak bekalnya. Tapi
semua senang sekali karena anak laki-laki itu menemu-
kan sesuatu untuk diceritakan.
Kepala Sekolah bertepuk tangan dengan penuh
semangat, begitu pula Totto-chan dan anak-anak lain.
Bahkan anak laki-laki "Lalu... uh..." yang masih berdiri di
tengah mereka, ikut bertepuk tangan. Bunyi tepuk
tangan riuh memenuhi Aula.
Sampai dewasa, anak itu mungkin takkan pernah
melupakan suara tepuk tangan itu.

Anda mungkin juga menyukai