Anda di halaman 1dari 110

SKRIPSI

KOMUNIKASI RITUAL DALAM PERKAWINAN ADAT

(Studi Etnografi Komunikasi pada Orang Kedang Kecamatan Omesuri,


Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Akademik Untu Meraih Gelar Sarjana

Ilmu Komunikasi (S.I.Kom)

OLEH

HENDRIKA STEPHANIE WELLY AMUNMAMA

1703050055

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

2021
LEMBAR PERSETUJUAN
SKRIPSI

KOMUNIKASI RITUAL DALAM PERKAWINAN ADAT (Studi Etnografi


Komunikasi pada Orang Kedang, Kecamatan Omesuri, Kabupaten
Lembata, Nusa Tenggara Timur)

Diajukan Oleh

Nama : Hendrika Stephanie Welly Amunmama


NIM : 1703050055
Semester/Tahun : IX /2021-2022
Konsentrasi : Komunikasi Antar Budaya
DosenWali : I GustiAyu Rina Pietriani, S.Sos.,M.I.Kom
Telah Disetujui Oleh Tim Pembimbing Untuk Di Uji Dan Di Pertahankan Di
Depan Dewan Penguji
07 Desember 2021
MENYETUJUI

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Yohanes K.N. Liliweri. S, SN. M. SN) (Maria Yulita Nara, S.Sos., M.I.Kom)

NIP. 198104132008121003 NIP. 198905182019032024

MENGETAHUI

Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP


Universitas Nusa Cendana

(Dr. Petrus Ana Andung, S.Sos, M.Si)

NIP. 197402072008011012

i
ABSTRAK

Hendrika Stephanie Welly Amunmama. 1703050055. Komunikasi Ritual


Dalam Perkawinan Adat (Studi Etnografi Komunikasi pada Orang Kedang
Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur).
Pembimbing : Yohanes K.N. Liliweri. S, SN. M. SN dan Maria Yulita Nara,
S.Sos., M.I.Kom. 97 Halaman. 21 Buku Referensi. 1 Karya Ilmiah.

Orang Kedang termasuk masyarakat yang tidak bisa terlepas dari kebudayaan dan
adat-istiadat, termasuk dalam budaya adat perkawinan yang sangat kental akan
ritual dan aturan yang harus dilalui sebelum prosesi secara keagamaan. Dalam
upacara adat terdapat berbagai runtutan acara yang harus dilalui oleh kedua
mempelai. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk; yang pertama untuk
mendeskripsikan proses komunikasi ritual dalam upacara adat perkawinan
masyarakat suku Kedang, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata. Dan yang
kedua untuk mengetahui makna ritual upacara adat perkawinan masyarakat suku
Kedang, Kecamtan Omesuri, Kabupaten Lembata. Penelitian ini menggunakan
teknik analisis etnografi komunikasi dan pengumpulan data menggunakan teknik
observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analasis data yang digunakan
adalah teknik analisis data (Hymes 1972) yaitu situasi komunikatif, peristiwa
komunikatif, dan tindak komunikatif. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukan
bahwa; proses komunikasi ritual dalam upacara adat perkawinan masyarakat suku
Kedang, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata terdapat 3 tahapan dalam
perkawinan adat Kedang yaitu (1) tahapan perkenalan (padayung nute), (2)
tahapan peminangan (dahang rehing), (3) tahapan penentuan belis (uang bele).

Kata kunci: Upacara Adat Perkawinan, Etnografi Komunikasi, Makna


Komunikasi Ritual

ii
ABSTRACT

Hendrika Stephanie Welly Amunmama. 1703050055. Ritual communication


in traditional marriages (ethnographic study of communication about the
Kedang people, Omesuri district, Lembata reign, east Nusa Tenggara).
Supervisor: Yohanes K.N. liliweri. S, SN. M. SN and Maria Yulita Nara,
S.Sos., M.I.Kom. 97 pages. 21 Reference Works. 1 Scientific work.

The Kedang people belong to a society that cannot be separated from culture and
customs, including the traditional marriage culture, which is very rich in rituals
and rules that must be passed before a religious procession. In traditional
ceremonies, there are different sequences of events that the bride and groom must
go through. Hence, this study aims to; The first is the description of the process of
ritual communication in the traditional wedding ceremony of the Kedang tribal
community, Omesuri district, Lembata reign. And the second is to find out the
meaning of the traditional wedding ceremony of the Kedang tribal community,
Omesuri district, Lembata reign. This study uses ethnographic analysis of
communication techniques and data collection using observation, interview and
documentation techniques. The data analysis technique used is the data analysis
technique (Hymes 1972), namely communicative situations, communicative
events and communicative actions. The results of this study suggest; The process
of ritual communication in the traditional wedding ceremony of the tribal
community of Kedang, Omesuri district, Lembata Regency, exists in the
traditional marriage of Kedang in 3 phases, namely (1) the introductory phase
(padayung nute), (2) the application phase (dahang rehing), (3) the phase of
determining Belis (Bele money).

Keywords: traditional marriage, ethnography of communication, importance


of ritual communication

iii
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini adalah hasil karya saya

sendiri untuk memenuhi syarat akademik dalam meraih gelar sarjana Ilmu

Komunikasi di Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik – Universitas Nusa Cendana. Skripsi ini juga bukan merupakan hasil

jiplakan dan belum pernah ditulis oleh orang lain untuk memperoleh gelar sarjana

di Universitas Nusa Cendana ataupun perguruan tinggi lainnya dan sepanjang

sepengetahuan saya dalam skripsi ini tidak terdapat karya dan pendapat yang

pernah ditulis atau dipublikasi oleh orang lain, kecuali secara tertulis dikutip

dalam naskah ini dengan menyebutkan nama pengarang dan sumber terkait

lainnya yang dicantumkan dalam daftar pustaka

Pernyataan ini saya buat sesungguhnya apabila di kemudian hari terdapat

penyimpangan atau ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia

menerima sanksi akademik dan bersedia menerima sanksi lainnya sesuai norma

yang berlaku pada perguruan tinggi ini.

Kupang, 07 Desember 2021

Penulis

iv
MOTTO

“ SEGALA PERKARA DAPAT KUTANGGUNG


DI DALAM DIA YANG MEMBERIKAN
KEKUATAN KEPADAKU “

Filipi 4 : 13

PERSEMBAHAN

v
1. Tuhan Yang Maha Esa
2. Kedua orangtua tercinta Bapak Yohanes Ledo dan Ibu Margaretha Linda
3. Keluarga Besar Amunmama dan keluarga Besar Boenawan
4. Apresiasi kepada diri sendiri
5. Saudara-saudari tercinta, Gusto Amunmama dan Christin Amunmama
6. Sahabat-sahabat tercinta. Cindy Dhey(Alm.), dan Tim Buldep Arisan
7. Monochrome’17
8. Almamater tercinta, Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP UNDANA
9. Semua orang dengan segala Doa dan Dukungan yang diberikan, semoga
Allah Subhanahu wa ta’ala selalu memberi ridhoNya.

KATA PENGANTAR

vi
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria atas berkat dan

penyertannya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal ini dengan judul

komunikasi ritual dalam perkawinan adat (studi etnografi pada masyarakat suku

Kedang Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur).

Penyusunan proposal ini sebagai wujud dari seluruh pengetahuan dan pengalaman

penulis selama menjadi mahasiswa pada program studi Ilmu Komunikasi,

Universitas Nusa Cendana Kupang.

Terselesaikannya proposal ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak.

Banyak tantangan dan hambatan yang dirasakan sebagai kendala dalam proses

penyelesaian proposal ini. Untuk itu melalui kesempatan ini penulis mengucapkan

terimakasih yang tulus kepada:

1. Bapak Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc selaku Rektor Universitas Nusa

Cendana.

2. Bapak Dr. Drs. Melkisedek NBC Neolaka,M.Si selaku Dekan Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana .

3. Bapak Dr. Petrus Ana Andung, S.Sos, M.Si , selaku ketua Jurusan Ilmu

Komunikasi Universitas Nusa Cendana.

4. Bapak Yohanes K.N. Liliweri. S, SN. M. SN dan Ibu Maria Yulita Nara,

S.Sos., M.I.Kom selaku dosen pembimbing I dan II yang telah

mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan

proposal ini.

vii
5. Ibu I Gusti Ayu Rina Pietriani, S.Sos.,M.I.Kom sebagai dosen wali penulis

selama menempuh pendidikan di Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas

Nusa Cendana.

6. Seluruh dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, yang telah memberikan

pengajaran, mendidik, dan membimbing penulis dalam menyelesaikan

studi.

7. Orang tuaku tercinta Bapak Yohanes Ledo Amunmama dan Mama

Margaretha Linda Boenawan. Untuk kedua adikku tersayang, Gusto dan

Christin yang selalu memberikan dukungan, semangat, kekuatan serta doa

kepada penulis selama menempuh pendidikan dan dalam menyelesaikan

proposal ini.

8. Orang-orang tersayang Elton Bahir, Cindy Dhey(alm.), Ka Uni, Nona

Mega, Angli Monteiro, Firland Langobelen, Atha Huriubu yang sudah

membantu, memberi hiburan, semangat dan penguatan untuk penulis

dalam menyelesaikan proposal ini.

9. Sahabat seperjuangan yang tiada hentinya memberi semangat.

Terimakasih atas canda tawa serta kenangan yang tak terlupakan selama

masa perkuliahan.

10. Segenap teman-teman mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi angkatan 2017,

yang dengan caranya masing-masing selalu mensuport penulis dalam

menyelesaikan proposal ini.

viii
Akhir kata penulis juga mau menyampaikan terima kasih kepada semua

pihak yang sudah membantu penulis dalam menyelesaikan proposal ini yang tidak

dapat di sebutkan satu per satu. Penulis juga menyadari bahwa proposal ini masih

jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang bersifat

membangun penulis terima dengan senang hati. Penulis berharap semoga proposal

ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Kupang, Mei 2021

Penulis

ix
DAFTAR ISI

ABSTRAK...............................................................................................................ii
PERNYATAAN.....................................................................................................iv
MOTTO...................................................................................................................v
PERSEMBAHAN...................................................................................................vi
KATA PENGANTAR...........................................................................................vii
DAFTAR ISI............................................................................................................x
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................5
1.4 Manfaat Penelitian.....................................................................................5
1.4.1 Manfaat Akademis.............................................................................5
1.4.2 Manfaat Praktis..................................................................................6
BAB II......................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................7
2.1 Penelitian Terdahulu..................................................................................7
2.2 Kajian Konseptual...................................................................................14
2.2.1 Upacara Adat....................................................................................14
2.2.2 Komunikasi Ritual...........................................................................19
2.2.3 Perkawinan.......................................................................................23
2.2.4 Kebudayaan Masyarakat Suku Kedang...........................................27
2.3 Landasan Teori........................................................................................31
2.3.1 Teori Etnografi komunikasi.............................................................31
2.4 Kerangka Berpikir...................................................................................32
BAB III..................................................................................................................34
METODOLOGI.....................................................................................................34
3.1 Jenis Penelitian........................................................................................34

x
3.2 Metode Penelitian....................................................................................34
3.2.1 Metode Etnografi Komunikasi.........................................................34
3.3 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian..................................................36
3.4 Objek dan Subjek Penelitian...................................................................36
3.4.1 Subjek Penelitian..............................................................................36
3.4.2 Objek Penelitian...............................................................................37
3.5 Sumber Data............................................................................................37
3.5.1 Data Primer......................................................................................37
3.5.2 Data Sekunder..................................................................................37
3.6 Teknik Pengumpulan Data......................................................................38
3.7 Teknik Analisis Data...............................................................................40
3.8 Teknik Keabsahan Data...........................................................................43
BAB IV..................................................................................................................44
HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................................44
4.1 Gambaran Umum Tentang Kedang.........................................................44
4.2 Lokasi Penelitian.....................................................................................45
4.3 Profil Informan........................................................................................45
4.4 Hasil Penelitian........................................................................................45
4.5 Pembahasan.............................................................................................53
4.5.1 Analisis Proses Komunikasi Ritual Adat Perkawinan Kedang........53
4.6 Makna Komunikasi Ritual Dalam Perkawinan Adat Kedang.................68
BAB V....................................................................................................................74
PENUTUP..............................................................................................................74
5.1 Kesimpulan..............................................................................................74
5.2 Saran........................................................................................................76
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................78
LAMPIRAN 1. PEDOMAN WAWANCARA......................................................81
LAMPIRAN 2. PEDOMAN OBSERVASI...........................................................82
LAMPIRAN 3. TRANSKIP WAWANCARA......................................................83
LAMPIRAN 4. WAWANCARA..........................................................................96

xi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan bangsa yang mempunyai keberagam budaya

serta adat-istiadat dengan ciri khas masing-masing. Dalam perbedaan

suku, adat serta agama tidak membuat bangsa Indonesia menjadi terpecah

belah melainkan menumbukan rasa saling menghormati dan menghargai

antar sesama, hal ini yang membuat Indonesia berbeda di mata dunia.

Dengan berbagai ragam budaya yang ada setiap daerah mempunyai ciri

khas masing-masing. Salah satu yang menarik dari setiap tradisi yang ada

yakni upacara adat. Upacara adat adalah suatu bentuk identitas budaya

lokal dari suatu masyarakat, sehingga upacara adat menjadi manifestasi

ritual adat yang sangat penting bagi masyarakat yang dilaksanakan dalam

periode tertentu.

Menurut beberapa ahli seperti Koentjaraningrat (1980:140)

menjelaskan bahwa upacara adat merupakan serangkaian kegiatan yang

dilakukan secara bersama oleh masyarakat dalam suatu komunitas sebagai

bentuk kebangkitan dalam diri masyarakat. Ragam upacara adat seperti

upacara perkawinan, upacara kematian, upacara pengukuhan dan

sebagainya. Selanjutnya upacara adat merupakan serangkaian kegiatan

yang bersifat tradisional yang dilakukan secara turun temurun yang

memiliki makna dan tujuan di dalamnya (Thomas Wiyasa, 2000: 1). Yang

dimana upacara adat sebagai sebuah rangkaian proses yang bertahap tentu

1
melibatkan berbagai unsur yang saling berinteraksi satu dengan yang lain.

Inilah yang sering diistilahkan dengan komunikasi ritual.

Menurut Mulyana (2005:25) komunikasi ritual erat kaitannya

dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual, yang biasanya

dilakukan secara kolektif. Selanjutnya menurut Mulyana (2005:25). Dalam

acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilaku-

perilaku tertentu yang bersifat simbolik. Dimana dalam melangsungkan

upacara adat terdapat komunikasi ritual yang terkandung pada setiap

tahapan upacara yang dimaknai sebagai proses pemaknaan pesan sebuah

kelompok terhadap aktivitas religi dan sistem kepercayaan yang dianutnya,

dalam prosesnya selalu terjadi pemaknaan simbol-simbol tertentu yang

menandakan terjadinya proses komunikasi ritual. Simbol-simbol yang

terbentuk dalam upacara adat berdasarkan nilai-nilai dan pandangan hidup

yang berlaku dalam masyarakat. Biasanya upacara adat tersebut diadakan

dalam waktu-waktu tertentu dan penyampaian pesan yang mengandung

nilai-nilai kehidupan itu harus diulang terus menerus demi terjaminya

kepatuhan para warga masyarakat terhadap pranta-pranata sosial.

Salah satu budaya yang berkembang di masyarakat Nusa Tenggara

Timur pada umumnya adalah upacara adat perkawinan, dimana setiap

daerah yang mendiami provinsi Nusa Tenggara Timur mempunyai adat

perkawinan yang berbeda-beda, karena terdiri dari berbagai macam suku

setiap daerahnya, perbedaan ini baik dari makna dan simbol maupun tata

cara yang digunakan dalam upacara adat perkawinan, seperti pada daerah

2
Flores Timur pulau Lembata pada orang Kedang yang masih

melangsungkan dan melaksanakan upacara adat perkawinan.

Upacara adat merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat

dipisahkan dalam sebuah tradisi orang Kedang yang mendiami pulau

Lembata. Pada orang Kedang memiliki beragam kebudayaan yaitu seperti

lagu, tarian, upacara atau ritual kematian, upacara perkawinan, upacara

perdamaian, ritual pendinginan rumah dan sebagainya. Salah satu

kebudayaan yang masih ada hingga saat ini dan masih dilestarikan oleh

orang Kedang yaitu dalam upacara adat perkawinan, prosesi upacara

perkawinan ini berlangsung dengan sangat sakral, dipengaruhi oleh

kekuatan adat yang sudah ada secara turun-temurun, sehingga menjadi

suatu bagian yang dilaksanakan oleh setiap masyarakat.

Kedang merupakan salah satu daerah yang terletak didaratan

Lomblen yang sekarang disebut “Lembata”. Kedang terdiri dari dua

ibukota kecamatan yang secara adminitratif yaitu Kecamatan Buyasuri dan

Kecamatan Omesuri. Orang Kedang menganut agama katolik dan islam.

Walaupun sudah menganut sistem kepercayaan tersebut, orang Kedang

tidak terlepas dari kebudayaan dan adat-istiadat, sehingga setiap agama

masih menjalankan tradisi adat perkawinan yang sudah ada. seluruh

praktik kehidupan orang Kedang selalu berdasarkan pada tradisi adat.

Termasuk dalam budaya perkawinan yang sangat kental akan ritual dan

aturan yang harus dilalui sebelum prosesi secara keagamaan baik katolik

maupun islam. Dalam upacara adat perkawinan terdapat berbagai runtutan

3
acara yang harus di lalui oleh kedua mempelai. Prosesi perkawinan ini bisa

berlangsung selama sebulan atau lebih, yang melibatkan kedua orangtua

mempelai, kepala suku, serta pemerintah desa. Pada upacara adat

perkawinan orang Kedang jika mempelai pria dan wanitanya berasal dari

daerah kedang maka upacara adat tetap mengikuti adat yang ada pada suku

Kedang sedangkan Jika mempelai pria dari suku lain di luar daerah kedang

dan mempelai wanitanya dari kedang maka upacara adat perkawinan akan

mengikuti upacara adat pria. orang Kedang menyakini bahwa dalam

kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari namanya adat. Adat selalu ada

disetiap segmen kehidupan dan tidak bisa dipungkiri bahwa semuanya

harus dilaksanakan sesuai aturan yang ada. Sehingga peneliti ingin

mengakaji lebih dalam berkaitan proses komunikasi ritual dan makna

serta simbol yang digunakan dalam komunikasi ritual yang dilaksanakan

oleh orang Kedang dalam upacara adat perkawinan.

Berdasarkan penjelasan diatas maka peneliti mengambil judul

tentang “Komunikasi Ritual Dalam Perkawinan Adat ( Studi

Etnografi pada Orang Kedang, Kecamatan Omesuri, Kabupaten

Lembata, Nusa Tenggara Timur)”.

4
1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah yang dipaparkan diatas, maka

penulis dapat merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut :

Bagaimana proses komunikasi ritual dalam upacara adat

perkawinan orang Kedang, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata ?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan diadakan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mendeskripsikan proses komunikasi ritual dalam upacara adat

perkawinan orang Kedang, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata.

2. Untuk mengetahui makna ritual upacara adat perkawinan orang

Kedang, Kecamtan Omesuri, Kabupaten Lembata.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari tujuan penelitian di atas, diharapkan dapat memberi manfaat

bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya, Manfaat yang

diharapkan dari penelitian ini antara lain :

1.4.1 Manfaat Akademis

1. Penelitian ini diharapkan berguna untuk pengembangan ilmu

pengetahuan dan menambah wawasan bagi mahasiswa

Universitas Nusa Cendana, jurusan Ilmu Komunikasi dan

pembaca pada umumnya tentang komunikasi ritual pada adat

5
perkawinan orang Kedang Lembata serta menambah wawasan

tentang studi Etnografi Komunikasi.

2. Sebagai sumber informasi bagi penelitian sejenis ini di masa

yang akan datang.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan sebagai pemahaman dan pengetahuan

bagi masyarakat Lembata khususnya pada masyarakat Kedang terhadap

kebudayaan yang sudah ada dan dilestarikan sejak dulu hingga sekarang

dan juga memberikan pemahaman dan pengetahuan masyarakat luar

tentang budaya ritual adat orang Kedang.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Sehubungan dengan kajian empirik, dikemukakan beberapa hasil

penelitian terdahulu yang dianggap relevan. Penelitian terdahulu

diharapkan dapat membantu mempertegas teori yang digunakan sebagai

rujukan penelitian:

1. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Syifa Fauziah, program

studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah

dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah (2016), dengan judul “Studi Etnografi Komunikasi

Ritual Adat Masyarakat Pulo Desa Cangkuang, Kecamatan Leles,

Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat”. Tujuan pembahasan ini

adalah untuk menjawab pertanyaan mayor dan minor. Adapun

pertanyaan mayor yaitu bagaimana proses pelaksanaan upacara ritual

adat ngaibakan benda pusaka? Sedangkan pertanyaan minornya adalah

bagaimana situasi komunikatif, peristiwa dan tindak komunikatif yang

terjadi pada upacara ritual adat ngaibakan benda pusaka?

Metode penelitian dalam skripsi ini menggunakan paradigma

konstrutivisme, pendekatan kualitatif studi etnografi komunikasi, jenis

penelitian deskriptif dengan menggunakan data tertulis dan lisan dari

pelaku yang dapat diamati. Teknik pengumpulan data yang dipakai

7
menggunakan data primer melalui observasi dan wawancara, serta data

sekunder dengan data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan artikel

yang sesuai dengan pemabahasan, sedangkan analisis data

menggunakan metode deskriptif analisis.

Situasi komunikatif meurujuk kepada konteks waktu, tempat dan

suasana yang terjadi selama proses ritual adat ngaibakan benda pusaka.

Peristiwa komunikatif ini membahas keseluruhan perangkat komponen

yang utuh yang dimulai dengan tujuan umum komunikasi, topik umum

yang sama dan melibatkan partisipasi yang secara umum menggunakan

varietas bahasa yang sama, mempertahakan tone yang sama dan

kaidah-kaidah yang sama untuk interaksi dalam setting yang sama.

Sedangkan yang terakhir yaitu tindak komunikatif ritual ngaibakan

benda pusaka dibagi dalam dua komponen yakni komunikasi verbal

dan komunikasi nonverbal yang terjadi pada upacara ritual ngaibakan

benda pusaka.

Berdasarkan hasil penelitian, makna yang terdapat dalam ritual

ngaibakan benda pusaka ini menunjukan adanya simbol-simbol

komunikasi pada saat menjalani tradisi tersebut dengan pola yang

tersusun, hampir semua ritual mengkomunikasikan makna tertentu

sesuai dengan apa yang dipahami masyarakat. Interaksi sosial yang

terjadi di Kampung Adat Pulo terbentuk secara dinamis dan agamis

menyangkut hubungan antara orang-orang-perorangan, antara

8
kelompok-kelompok manusia, maupun antara perorangan dengan

kelompok manusia.

2. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Aceng Jarkasih,

Program Studi Administrasi Publik, Universitas Majalengka

(2018), dengan judul “Komunikasi Ritual Pada Adat Ngabaliung

Di Desa Cipasung, Kecamatan Lemahsugih, Kabupaten

Majalengka”. Yang bertujuan untuk mendeskripsikan makna simbolik

yang terdapat dalam ritual adat ngabaliung di Desa Cipasung

Kecamatan Lemahsugih Kabupaten Majalengka. Penelitian ini

menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan subjek penelitian

komunikasi ritual pada adat ngabaliung di Desa Cipasung Kecamatan

Lemahsugih Kabupaten Majalengka. Untuk mengumpulkan data

penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi dan wawancara.

Hasil penelitian ini adalah (1) terdapat syarat untuk pelaksanaan adat

ngabaliung, (a) wanita yang bebas dari haid untuk menjaga kesucian

saat pelaksanaan adat dan, (b) tidak berhubungan badan dalam jangka

1 minggu sebelum hari pelaksanaan upacara adat ngabaliung. (2)

terdapat makna simbolik pada adat ngabaliung, (a) beras yang di

simbolkan putih yang berarti bersih sebagai gambaran kesucian padat

adat, (b) daun pembungkus atau juga yang di sebut daun congkok

untuk membungkus dari kesucian makna beras yang di gunakan agat

tetap terjaga dan dari daun tersebutlah yang mempunya aroma khas, (c)

kebersamaan ini terjadi karna pristiwa ritual adat ngabaliung lah yang

9
membuat semua masyarakat desa cipasung berkumpul bersama

merayakan panen raya, (d) pembakaran menyan ini sebagai

persembahan doa dan menjadi ucapan rasa syukur kepada sang

pencipta yang telah memberikan semua rezeki yang di berikan.

3. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Mifta Anissa Kurniati,

Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu

Politik, Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang 1441 H

(2020), yang berjudul “Makna Simbol Dalam Tradisi Lelang

Tembak Di Desa Seri Dalam Kabupaten Ogan Ilir”. Bertujuan

untuk mengetahui bagaimana proses lelang Tembak di Desa Seri

Dalam Kabupaten Ogan Ilir. Tradisi merupakan sesuatu yang

dilaksanakan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu

kelompok masyarakat, kebiasaan dari suatu negara, kebudayaan waktu,

atau agama yang sama. Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu

yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri, dan simbol

telah memiliki satu kesatuan bentuk dan makna. Kegiatan Tradisi

Lelang Tembak ini bersifat simbolik, berbagai kegiatan dalam

pelaksanaan acara resepsi pernikahan dan setiap simbol tersebut

memiliki makna tersendiri dalam komunikasi sosial dan budaya.

Metode Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan

deskriptif. Adapun sumber data yang didapatkan dari hasil observasi,

wawancaradan dokumentasi. Serta teknik analisis data dengan tiga

proses yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

10
Teori yang di gunakan dalam penelitian ini adalah Semiotika

Komunikasi menurut Ferdinand de Saussure dengan menggunakan

penanda dan petanda dalam penelitian lelang Tembak adalah proses

membeli dan menjual barang atau jasa dengan cara menawarkan

kepada penawar, menawarkan tawaran harga lebih tinggi, dan

kemudian menjual barang kepada penawar tertinggi. hasil yang

didapatkan Tradisi lelang tembak di Desa Seri Dalam terdapat makna-

makna didalam proses tersebut baik dari makna pelaksanaannya dan

perlengkapan yang ada didalam proses tersebut. yang menjelaskan

tentang sejarah tradisi lelang tembak di Desa Seri Dalam, situasi dan

keadaan yang ada serta terdapat beberapa ungkapan syukur kepada

Allah SWT.

11
Tabel 1 Persamaan dan Perbedaan Penulis dengan Penelitian Terdahulu

Nama/Lembaga Peneliti Peneliti Peneliti Peneliti


Dimensi sebelumnya sebelumnya sebelumnya sekarang
pembeda
Nama peneliti Syifa Aceng Mifta Anissa Hendrika
Fauziah Jarkasih Kurniati Stephanie
Welly
Amunmam
a
Judul Studi Komunikasi Makna Simbol Komunikasi
Etnografi Ritual Pada Dalam Tradisi Ritual
Komunikasi Adat Lelang Dalam
Ritual Adat Ngabaliung Tembak Di Upacara
Masyarakat Di Desa Desa Seri Adat
Pulo Desa Cipasung, Dalam Perkawinan
Cangkuang, Kecamatan Kabupaten (Studi
Kecamatan Lemahsugih, Ogan Ilir Etnografi
Leles, Kabupaten Pada Orang
Kabupaten Majalengka Kedang
Garut, Kecamatan
Provinsi Omesuri,
Jawa Barat Kabupaten
Lembata)

Tujuan untuk untuk untuk untuk


menjawab mendeskripsi mengetahui mengetahu
pertanyaan kan makna bagaimana i tahapan
mayor dan simbolik proses lelang dalam
minor yang terdapat Tembak di prosesi
dalam dalam ritual Desa Seri upacara
proses adat Dalam adat
pelaksanaan ngabaliung di Kabupaten perkawina
upacara Desa Ogan Ilir n serta
ritual adat Cipasung simbol dan
makkna
ngaibakan Kecamatan
yang
benda Lemahsugih
terkandung
pusaka Kabupaten
dalam
Majalengka komunikas
i ritual.
Teori Interaksi Teori Semiotika Teori
simbolik interaksi Komunikasi Etnografi
simbolik menurut Komunikas
Ferdinand de i
Saussure
Metode Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif

12
Persamaan Melihat arti Melihat arti Melihat arti Melihat
penelitian komunikasi komunikasi komunikasi arti
ritual yang ritual yang ritual yang komunikas
terkadung terkadung terkadung i ritual
dalam setiap dalam setiap dalam setiap yang
upacara adat upacara adat upacara adat terkadung
dalam
setiap
upacara
adat
Perbedaan Melihat Melihat Melihat hasil Melihat
Penelitian makna yang makna yang tahapan
terdapat simbolik didapatkan acara dari
dalam ritual yang terdapat Tradisi lelang upacara
ngaibakan dalam ritual tembak di adat
benda adat Desa Seri perkawina
pusaka ngabaliung Dalam n
terdapat
makna-makna
didalam
proses
tersebut baik
dari makna
pelaksanaanny
a dan
perlengkapan
yang ada
didalam
proses
tersebut

13
2.2 Kajian Konseptual

2.2.1 Upacara Adat

1. Defenisi Upacara Adat

Secara etimologi, upacara adat terbagi menjadi dua kata yaitu

upacara dan adat. Upacara adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan sekelompok orang yang memiliki aturan tertentu sesuai

dengan tujuan. Sedangkan yang dimaksud dengan adat adalah

wujud idiil dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pengaturan

tingkah laku.

Upacara adat erat kaitannya dengan ritual-ritual keagamaan. Ritual

keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan

kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya, kepercayaan seperti

inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai

perbuatan atau tindakan yang bertujuan mencari hubungan dengan

dunia gaib penguasa alam melalui ritual-ritual, baik ritual

keagamaan, maupun ritual lainnya.

Upacara adat merupakan salah satu tradisi masyarakat

tradisional yang masih dianggap memiliki nilai-nilai yang masih

cukup relevan bagi kebutuhan masyarakat. Selain sebagai usaha

manusia untuk dapat berhubungan dengan arwah para leluhur, juga

merupakan perwujudan kemampuan manusia untuk menyesuaikan

diri secara aktif terhadap alam atau lingkungannya dalam arti luas.

14
Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat antara lain :

upacara kelahiran, upacara perkawinan, upacara pemakaman dan

upacara pengukuhan kepala suku. Upacara pada umumnya

memiliki nilai sakral oleh masyarakat pendukung kebudayaan

tersebut. Upacara adat adalah upacara yang secara turun-temurun

dilakukan oleh pendukungnya disuatu daerah. Dengan demikian

setiap daerah memiliki upacara adat sendiri-sendiri seperti upacara

adat perkawinan, kelahiran dan kematian.

Hubungan antara alam dengan manusia adalah sebuah

keharusan yang tidak dapat ditolak, karena hubungan tersebut

memiliki nilai-nilai sakral yang sangat tinggi. Hal ini diungkapkan

dalam personifikasi mistik kekuatan alam, yakni kepercayaan pada

makhluk gaib, kepercayaan kepada dewa pencipta, atau dengan

mengekonseptualisasikan hubungan antara berbagai kelompok

sosial sebagai hubungan antara binatang-binatang, burung-burung,

atau kekuatan-kekuatan alam (Keesing, 1992 : 131).

Definisi tentang upacara adat, diantaranya adalah sebagai

berikut:

1) Upacara adalah aktivitas atau rangkaian tindakan yang

ditata oleh adat atau hokum yang berlaku dalam masyarakat yang

berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang

biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan

(Koencaraningrat, 1980 : 140).

15
2) Orang-orang yang terlibat dalam upacara adat adalah

mereka yang bertindak sebagai pemimpin upacara dan dengan

beberapa orang yang paham dalam ritual upacara adat

(Koencaraningrat, 1980: 241).

Pelaksanaan upacara adat yang didasarkan kepada tradisi

berkomunikasi atau memberi rasa syukur kepada roh nenek

moyang terjadi turun temurun karena telah diwariskan, dalam

masyarakat adat dan hampir diseluruh wilayah Indonesia. Dalam

pelaksanaannya upacara adat selain menjadi ritual suatu kelompok

atau masyarakat, kini menjadi sebuah tontonan yang menarik bagi

pariwisata.

2. Komponen dan Unsur Upacara Adat

Komponen dan unsur dalam pelaksanaan upacara adat

merupakan hal yang penting dalam menunjang pelaksanaan

upacara tersebut. Komponen danunsur upacara adat menurut

Koentjaraningrat (2002, hlm. 377) dibagi menjadi beberapa bagian,

yaitu:

a. Komponen terdiri dari:

1) Tempat upacara; berkaitan dengan tempat keramat dimana

upacara tersebut dilaksanakan, yaitu bisa di makam, candi,

pura,kuil, gereja, masjid, dan sebagainya.

2) Waktu upacara; berkaitan dengan waktu-waktu ibadah,

hari-hari keramat dan suci, dan sebagainya.

16
3) Kelengkapan dan peralatan upacara; yaitu kelengkapan dan

peralatan yang berupa barang-barang yang dipakai dalam

upacara, termasuk patung-patung yang melambangkan

dewa- dewa, peralatan suara seperti lonceng, suling, dan

sebagainya.

4) Pemimpin upacara dan pelaku upacara; seperti pendeta,

biksu, dukun, dan sebagainya.

b. Unsur upacara adat meliputi:

1) Sesajen

2) Pengorbanan/kurban

3) Berdo’a

4) Makan makanan yang telah disucikan dengan do’a

5) Tari

6) Nyanyi

7) Pawai

8) Menampilkan seni drama suci

9) Puasa

10) Mengosongkan pikiran dengan memakan obat untuk

menghilangkan kesadaran diri

Tapa, dan

11) Semedi

17
3. Fungsi Upacara Adat

Tiga fungsi upacara adat menurut Rostiati (1995, hlm. 4), yaitu

fungsi spiritual, fungsi sosial dan fungsi pariwisata. Fungsi

spiritual yang dimaksud adalah pelaksanaan upacara adat berkaitan

dengan pemujaan kepada leluhur, roh atau kepada Tuhan untuk

meminta keselamatan. Upacara adat memiliki fungsi spiritual

karena upacara adat mampu membangkitkan emosi keagamaan,

menciptakan rasa aman, tentram dan selamat.

Fungsi sosial bermaksud semua yang menyaksikan upacara

adat dapat memperoleh atau menyerap pesan-pesan yang

disampaikan dalam upacara tersebut. Dalam hal ini, upacara adat

bisa dipakai sebagai kontrol sosial, interaksi, integrasi dan

komunikasi antar warga masyarakat, yang akhirnya dapat

mempererat hubungan antar masyarakat.

Fungsi pariwisata bisa terlihat dari banyaknya masyarakat yang

datang untuk menyaksikan upacara. Masyarakat yang datang bisa

dari masyarakat lokal (yang melaksanakan upacara tersebut) dan

masyarakat luar (yang hanya menyaksikan upacara adat tersebut).

18
2.2.2 Komunikasi Ritual

Menurut Mulyana (2005:25) komunikasi ritual erat kaitannya

dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual, yang biasanya

dilakukan secara kolektif. Suatu komunitas sering melakukan upacara-

upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para

antropolog sebagai rites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan,

ulang tahun (nyanyi Happy Birthday dan pemotongan kue), pertunangan

(melamar, tukar cincin), siraman, pernikahan (ijab-qabul, sungkem kepada

orang-tua, sawer, dan sebagainya), ulang tahun perkawinan, hingga

upacara kematian.

Selanjutnya menurut Mulyana (2005:25). Dalam acara-acara itu

orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilaku-perilaku tertentu

yang bersifat simbolik. Ritus-ritus lain seperti berdoa (salat, sembahyang,

misa), membaca kitab suci, naik haji, upacara bendera (termasuk

menyanyikan lagu kebangasaan), upacara wisuda, perayaan lebaran (Idul

Fitri) atau Natal, juga adalah komunikasi ritual. Mereka yang

berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut menegaskan

kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, suku, bangsa, negara,

ideologi, atau agama mereka.

Komunikasi ritual dalam pemahaman McQuail (2000:54) disebut

pula dengan istilah komunikasi ekspresif. Komunikasi dalam model yang

demikian lebih menekankan akan kepuasan intrinsic (hakiki) dari pengirim

19
atau penerima ketimbang tujuan-tujuan intrumental lainnya. Komunikasi

ritual atau ekspresif bergantung pada emosi dan pengertian bersama.

Menurut McQuail (2000:55), komunikasi dalam pandangan ini merupakan

kegiatan yang berhubungan dengan perayaan (celebratory), menikmati

(consummatory), dan bersifat menghiasi (decorative). Karena itu untuk

mewujudkan terjadinya komunikasi, dibutuhkan beberapa elemen

pertunjukan. Komunikasi yang terbangun seperti halnya suatu resepsi yang

menyenangkan.

Pesan yang disampaikan dalam komunikasi ritual biasanya

tersembunyi (latent), dan membingungkan/bermakna ganda (ambiguous),

tergantung pada asosiasi dan simbol-simbol komunikasi yang digunakan

bukanlah simbol-simbol yang dipilih oleh partisipan, melainkan sudah

disediakan oleh budaya yang bersangkutan. Media dan pesan biasanya

agak sulit dipisahkan.

Penggunaan simbol-simbol dalam komunikasi ritual ditujukan

untuk mensimbolisasi ide-ide dan nilai-nilai yang berkaitan dengan ramah-

tamah, perayaan atau upacara penyembahan dan persekutuan. Simbol-

simbol tersebut dibagikan secara luas dan dipahami, walaupun bervariasi

dan maknanya samar-samar (McQuail & Windahl, 1993:55). Komunikasi

ritual ini tidak akan pernah selesai/tidak memiliki batas waktu (timeless)

dan tidak akan berubah (unchanging). Dalam kehidupan suatu komunitas,

komunikasi ritual ini sangat memegang peranan penting, utamanya dalam

hubungan sosial kemasyarakatan.

20
Hammad (2006:3) menyatakan bahwa dalam memahami

komunikasi ritual, terdapat ciri-ciri komunikasi ritual sebagai berikut:

1. Komunikasi ritual berhubungan erat dengan kegiatan berbagi,

berpartisipasi, berkumpul, bersahabat dari suatu komunitas yang

memiliki satu keyakinan sama.

2. Komunikasi tidak secara langsung ditujukan untuk transmisi pesan,

namun untuk memelihara keutuhan komunitas.

3. Komunikasi yang dibangun juga tidak secara langsung untuk

menyampaikan atau mengimpartasikan informasi melainkan untuk

merepresentasi atau menghadirkan kembali kepercayaankepercayaan

bersama masyarakat.

4. Pola komunikasi yang dibangun ibarat upacara sakral/suci dimana

setiap orang secara bersama-sama bersekutu dan berkumpul (misalnya

melakukan doa bersama, bernyanyi dan kegiatan seremonial lainnya).

5. Penggunaan bahasa baik melalui artifisial (buatan) maupun simbolik

(umumnya dalam wujud tarian, permainan, kisah, dan tutur lisan)

ditujukan untuk konfirmasi, menggambarkan sesuatu yang dianggap

penting oleh sebuah komunitas, dan menunjukkan sesuatu yang sedang

berlangsung dan mudah pecah dalam sebuah proses sosial.

21
6. Seperti halnya dalam upacara ritual, komunikan diusahakan terlibat

dalam drama suci itu, dan tidak hanya menjadi pengamat atau

penonton.

7. Agar komunikasi ikut larut dalam proses komunikasi maka pemilihan

simbol komunikasi hendaknya berakar dari tradisi komunitas itu

sendiri, seperti hal-hal yang unik, asli dan baru bagi mereka.

8. Komunikasi ritual atau komunikasi ekspresif bergantung pada emosi

atau perasaan dan pengertian bersama warga. Juga lebih menekankan

akan kepuasan intrinsic (hakiki) dari pengirim atau penerima.

9. Pesan yang disampaikan dalam komunikasi ritual bersifat tersembunyi

(latent), dan membingungkan/ bermakna ganda (ambiguous),

tergantung pada asosiasi dan simbolsimbol komunikasi yang

digunakan oleh suatu budaya.

10. Antara media dan pesan agak sulit dipisahkan. Media itu sendiri bisa

menjadi pesan.

11. Penggunaan simbol-simbol ditujukan untuk mensimbolisasi ide-ide

dan nilainilai yang berkaitan dengan keramahtamahan, perayaan atau

upacara penyembahan dan persekutuan.

22
2.2.3 Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Terdapat beragam pendapat dari para ahli yang menjelaskan

tentang pengertian perkawinan. Duvall & Miller (1985)

mendefinisikan perkawinan sebagai berikut :

“Marriage is a socially recognized relationship between a man

and a woman that provides for sexual relation, legitimized

childbearing and establishing a division of labour between

spouses”

Perkawinan dikenali sebagai hubungan antara pria dan wanita

yang yang memberikan hubungan seksual, keturunan, membagi

peran antara suami-istri.

Dalam dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 (Undang-undang

perkawinan,www.sdm.ugm.ac.id) Bab I pasal 1, perkawinan

diartikan sebagai :

“Perkawinan adalah ikatan batin antara laki-laki dan perempuan

sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang

Maha Esa.”

Beberapa sumber lain menjelaskan bahwa perkawinan adalah

ikatan atau komitmen emosional dan legal antara seorang pria

dengan seorang wanita yang terjalin dalam waktu yang panjang

23
dan melibatkan aspek ekonomi, sosial, tanggungjawab pasangan,

kedekatan fisik, serta hubungan seksual. (Regan, 2003; Olson &

DeFrain, 2006; Seccombe & Warner, 2004)

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, peneliti membatasi

pengertian perkawinan sebagai ikatan yang bersifat kontrol sosial

antara pria dan wanita yang didalamnya diatur mengenai hak dan

kewajiban, kebersamaan emosional, juga aktivitas seksual,

ekonomi dengan tujuan untuk membentuk keluarga serta

mendapatkan kebahagiaan dan kasih berdasarkan ketuhanan

Yang Maha Esa.

2. Alasan Melakukan Perkawinan

Menurut Stinnett (dalam Turner & Helms, 1987) terdapat

Berbagai alasan yang mendasari mengapa seseorang melakukan

Perkawinan. alasan-alasan tersebut antara lain :

1. Komitmen. Perkawinan sebagai suatu simbol dari komitmen,

dengan melakukan perkawinan seseorang ingin menunjukkan

kepada pasangannya mengenai komitmennya terhadap

hubungan yang ada.

2. One-to-one relationship. Melalui perkawinan seseorang

membentuk one-to- one relationship. Individu dapat

memberikan afeksi, rasa hormat pada pasangannya.

3. Companionship and sharing. Dengan perkawinan seseorang

dapat mengatasi rasa kesepiannya dengan berbagi segala hal

24
pada pasangannya.

4. Love. Hal ini merupakan alasan utama seseorang melakukan

perkawinan. Karena pada dasarnya perkawinan adalah sarana

untuk memenuhi kebutuhan dasar tentang cinta.

5. Kebahagiaan. Banyak orang yang menganggap bahwa dengan

melakukan perkawinan mereka akan mendapatkan

kebahagiaan

6. Legitimasi hubungan seks dan anak. Perkawinan memberikan

status legitimasi sebuah hubungan seksual hingga akhirnya

memperoleh keturunan.

3. Fungsi-fungsi Perkawinan

Dalam sebuah perkawinan perlu adanya fungsi-fungsi yang

harus dijalankan dan bila fungsi-fungsi tersebut tidak berjalan

atau tidak terpenuhi maka tidak ada perasaan bahagia dan puas

pada pasangan. (Soewondo, dalam 2001) . Duvall & Miller

(1985) menyebutkan setidaknya terdapat enam fungsi penting

dalam perkawinan, antara lain :

a) Menumbuhkan dan memelihara cinta serta kasih sayang

Perkawinan memberikan cinta dan kasih sayang diantara

suami dan istri, orang tua dan anak, dan antar anggota

keluarga lainnya. Idealnya perkawinan dapat memberikan

kasih sayang pada kedua orang tua dan anaknya sehingga

berkontribusi terhadap perkembangan kesehatan mereka.

25
b) Menyediakan rasa aman dan penerimaan.

Mayoritas orang mencari rasa aman dan penerimaan, serta

saling melengkapi bila melakukan kesalahan sehingga dapat

belajar darinya dan dapat menerima kekurangan pasangannya.

c) Memberikan kepuasan dan tujuan.

Berbagai tekanan yang terdapat pada dunia kerja terkadang

menghasilkan ketidakpuasan. Ketidakpuasan tersebut dapat

diatasi dengan perkawinan melalui kegiatan-kegiatan yang

dilakukan bersama-sama anggota keluarga. Dengan

perkawinan juga seseorang dipaksa untuk memiliki tujuan

dalam hidupnya.

d) Menjamin kebersamaan secara terus-menerus.

Melalui perkawinan rasa kebersamaan diharapkan selalu

didapatkan oleh para anggota keluarga.

e) Menyediakan status sosial dan kesempatan sosialisasi

Sebuah keluarga yang diikat oleh perkawinan memberikan

status sosial pada anggotanya. Anak yang baru lahir secara

otomatis mendapatkan status social sebagai seorang anak

yang berasal dari orang tuanya.

f) Memberikan pengawasan dan pembelajaran tentang

kebenaran

26
Dalam perkawinan, individu mempelajari mengenai aturan-

aturan, hak, kewajiban serta tanggungjawab. Pada

pelaksanaannya individu tersebut akan mendapatkan

pengawasan dengan adanya aturan-aturan tersebut. Individu

dalam perkawinan juga mendapatkan pendidikan moral

mengenai hal yang benar atau salah.

2.2.4 Kebudayaan Masyarakat Suku Kedang

Kedang terletak disebelah Timur Pulau LEMBATA yang dahulu

dikenal dengan nama pulau Lomblen. Kedang terdiri dari dua ibukota

kecamatan yang secara adminitratif yaitu Kecamatan Buyasuri dan

Kecamatan Omesuri, Kedang memiliki beragam kebudayaan, meliputi :

1. Bahasa

Bahasa yang digunakan oleh orang Kedang dalam percakapan sehari-

hari (tutu’ nanang) adalah tutu’ nangan wela yang artinya percakapan

dengan menggunakan bahasa daerah. Kata wela searti dengan kata

gunung. Jadi bahasa Kedang secara internal disebut tutu’ nanang wela

atau tutu’ edang. Sedangkan secara eksternal menyebutnya bahasa

Kedang. Tidak sama seperti Suku BugisMakassar, selain bertutur

secara lisan, juga bisa bertutur dengan bahasa tulis menggunakan huruf

lontara’. Suku Kedang, hanya bisa bertutur (tutu’ nanang) secara lisan

namun dalam tutur secara tulis menggunakan bahasa melayuIndonesia

karena tidak memiliki huruf/abjad tersendiri.

27
2. Perkawinan

Dahulu kala tidak ada upacara perkawinan dalam bentuk akad nikah

sebelum masuknya agama-agama di Kedang, yang ada hanyalah

upacara adat yang menandakan sepasang kekasih sudah sah sebagai

suami istri. Pergaulan suami-istri tidak diizinkan sebelum diterima

sirih pinang. Apabila ada pasangan terlibat hubungan seksual sebelum

upacara adat yang meresmikan status mereka sebagai suami –istri,

maka mereka akan didesak untuk menikah, apabila tidak mau, maka si

pemuda akan dikenakan denda berupa sebuah gading besar dibayar

tunai. Perkawinan atau kawin dalam bahasa Kedang disebut ku’ we’

(baku ambil).

3. Kelahiran dan Merawat Jiwa

Dahulu kala orang Kedang belum mengenal rumah sakit dan para

medis. Oleh karena itu, dalam urusan kelahiran, seorang wanita

melahirkan di rumahnya sendiri. Namun dalam keadaan tertentu, akan

diantar untuk melahirkan di rumah ibunya atau rumah saudaranya.

Biasanya ditolong oleh seorang perempuan yang lebih tua yang

berpengalaman, namun apabila dalam keadaan gawat, maka akan

dipanggil seorng dukun anak untuk membantu persalinan.

4. Kematian

Jaman dulu di Kedang menggolongkan kematian pada dua kategori,

yakni kematian baik dan kematian buruk. Kematian baik adalah

kematian seorang yang sudah berusia lanjut, namun kematian bayi

28
yang baru lahir, atau anak muda, atau orang dewasa dinggap sebagai

kematian buruk, dalam istilah Kedang disebut re’e rawa (kematian tak

wajar) karena kesalahan perbuatan sendiri atau orangtua dan dipastikan

melanggar sain bayan/sumpah adat.

5. Penguburan

Jaman dulu seseorang yang telah meninggal dunia tidak dikuburkan,

melainkan disimpan di meka’-mada’ semacam ranjang yang bertiang

tinggi yang dibuat khusus dalam satu rumah untuk menghindari

serangan anjing dan burungburung pemakan bangkai. Setelah daging

jenazah sudah hilang/kering barulah diadakan penguburan sementara

waktu dengan cara membawa tulang-belulang ke gua atau kerangka

batu yang aman dari gangguang manusia dan binatang. Prosesi itu

disebut lutur maten lurin.

6. Budaya Hoe’ Lale’

Hoe’ Lale’ yakni pesta adat saat upacara perkawinan dan pada saat

kematian. Kedua pesta ini biasanya ditandai dengan upacara baca

do’a/syukuran untuk pernikahan dan tahlilan untuk kematian dengan

cara agama Islam dipimpin oleh imam desa tempat upacara diadakan,

dan upacara kebaktian bagi orang Katolik dipimpin oleh rohaniawan

setempat.

7. Budaya Kong Bawa

Budaya Kong Bawa (orkestra jenis tabuh-tabuhan) yakni

membunyikan gong-gendang, salah satu alat musik tradional suku

29
Edang yang khusus dimainkan pada saat pesta adat, pesta demokrasi,

penyambutan tamu-tamu terhormat unsur adat atau pemerintah,

penyambutan jama’ah haji atau hajatan umum yang bernuansa hiburan.

8. Budaya Tarian Adat (Soka Hedung)

Budaya Soka Hedung merupakan tarian adat yang dimainkan oleh ibu-

ibu atau para gadis dengan senai/selendang melilit di bahu untuk

peragaan seni mempesona dengan gerak tangan gemulai dan kaki

mengikuti irama gong gendang.

9. Budaya Poan Kemer

Budaya Poan Kemer adalah ritual adat yang dilakukan oleh molan

(dukun) atas permintaan keluarga bersama atau perorangan yang

membutuhkan pertolongan untuk tuo moleng balo laen (mencegah dan

mengobati penyakit) dengan cara membaca mantra Kedang disertai

sesajian berupa kapas putih, telur ayam kampung, tuak yang diletakkan

di atas lapa’/batu ceper sebagai media untuk bermohon kepada toang

ala (sang Pencipta) dengan keyakina bahwa ino welin tuan tana, amo

laha ula loyo (sang Pencipta yang menciptakan langit dan bumi), poan

kemer bisa dilakukan untuk mencari sebab, mencegah ataupun

mengobati suatu penyakit.

10. Budaya Waya’ Doping

Budaya waya’ doping adalah budaya jamu tamu di rumah sendiri atau

memulai suatu upacara, maka hal pertama yang dilakukan adalah

waya’ doping dengan menyuguhkan ue mal bako (siri-pinang dan

30
tembakau) merupakan suatu sikap penghormatan dan kemuliaan

kepada tamu.

Dengan berbagai budaya yang ada pada Orang Kedang, sehingga

peneliti memilih budaya adat perkawinan untuk dikaji.

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Teori Etnografi komunikasi

Etnografi komunikasi pada awalnya disebut sebagai etnografi

wicara atau etnografi pertuturan (ethnography of speaking). Kalau

etnografi dipandang sebagai kajian yang melukiskan suatu masyarakat

atau etnik, maka dalam etnografi komunikasi difokuskan kepada bahasa

masyarakat atau kelompok masyarakat (Sumarsono, 2002:309). Istilah

Ethnography of speaking pada awalnya dimunculkan oleh Dell Hymes

(1972), seorang antropologi dan sekaligus pakar linguistik Amerika.

Menurut Hymes (1974), dalam mengkaji penggunanan bahasa

dalam masyarakat memperhatikan dan mempertimbangkan konteks

situasi sehingga bahasa tidak berdiri sendiri sebagaimana kajian tentang

gramatika (seperti dilakukan oleh linguis), tentang kepribadian (seperti

psikologi), tentang struktur sosial (seperti sosiologi), tentang religi

(seperti etnologi), dan sebagainya.

Untuk memahami etnografi komunikasi, Hymes menyarankan

perlunya mengubah orientasi terhadap bahasa, yang mencakup 7 butir,

yaitu (1) struktur atau sistem (la parole), (2) fungsi yang lebih daripada

31
struktur, (3) bahasa sebagai tatanan dalam arti banyak mengandung

fungsi, dan fungsi yang berbeda menunjukkan perspektif dan tatanan

yang berbeda, (4) ketepatan pesan yang hendak disampaikan, (5)

keanekaragaman fungsi dari berbagai bahasa dan alat-alat komunikasi

lainnya, (6) guyup (komunikasi) atau konteks sosial lainnya sebagai titik

tolak pemahaman, dan (7) fungsi-fungsi itu sendiri dikuatkan dalam

konteks. Menurut Hymes untuk mengaji etnografi wicara perlu mema

hami beberapa konsep penting yang terkait, yakni (1) tata cara bertutur

(ways of speaking), (2) guyup tutur atau masyarakat tutur (speech

community), (3) dan Situasi, peristiwa dan tindak tutur.

2.4 Kerangka Berpikir

Alur pemikiran penelitian ini dirangki dari kebudayaan yang dianut

oleh masyarakat suku Kedang, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata.

Di mana masyarakat masih melaksanakan upacara adat perkawinan yang

dipertahankan hingga saat ini. Dalam upacara adat perkawinan terdapat

berbagai runtutan acara yang harus di lalui dalam proses perkawinan.

Sehingga terkandung komunikasi ritual yang memiliki arti serta makna

tersendiri dari setiap simbol yang digunakan. Uapacara adat ini bersifat

wajib secara tradisi dan adat. Yang mana akan disandingkan dengan teori

etnografi komunikasi dan metode etnografi komunikasi Dell Hymes.

32
Bagan 1.

Kerangka Berpikir

Masyarakat suku Kebudayaan


Kedang

Upacara Adat Perkawinan

Runtutan
\ Teori Upacara Adat Metode
Etnografi dalam Proses Etnografi
KomunikasiD Perkawinan Komunikasi
ell Hymes

 Komunikasi ritual
perkawinan adat orang
Kedang
 Makna komunikasi riual
dalam adat perkawinan

33
BAB III

METODOLOGI

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian tidak

dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur statistic atau

dengan cara kuantifikasi lainnnya. Penelitian kualitatif dapat digunakan

untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku,

fungsionalisasi organisasi, pergerakan-pergerakan social atau hubungan

kekerabatan (Basrowi & Sukidin 2002:1).

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Metode Etnografi Komunikasi

Metode etnografi komunikasi merupakan metode etnografi yang

diterapkan untuk melihat pola-pola komunikasi kelompok sosial.

Ada empat asumsi etnografi komunikasi. Pertama, para anggota budaya

akan menciptakan makna yang digunakan bersama. Mereka menggunakan

kode-kode yang memiliki derajat pemahaman yang sama. Kedua, para

komunikator dalam sebuah komunitas budaya harus mengordinasikan

tindakan-tindakannya. Oleh karena itu, di dalam komunitas itu akan

terdapat aturan atau sistem dalam berkomunikasi. Ketiga, makna dan

tindakan bersifat spesifik dalam sebuah komunitas, sehingga antara

34
komunitas yang satu dan lainnya akan memiliki perbedaan dalam hal

makna dan tindakan tersebut. Keempat, selain memiliki kekhususan dalam

hal makna dan tindakan, setiap komunitas juga memiliki kekhususan

dalam hal cara memahami kode-kode makna dan tindakan.

Dell Hymes (Ibrahim,2004) membuat kategori yang dapat digunakan

untuk membandingkan budaya-budaya yang berbeda. Kategori-kategori

tersebut adalah:

(1) Ways of speaking. Dalam kategori ini, peneliti dapat melihat pola-

pola komunikasi komunitas.

(2) Ideal of the fluent speaker. Dalam kategori ini, peneliti dapat

melihat sesuatu yang menunjukkan hal-hal yang pantas dicontoh/

dilakukan oleh seorang komunikator.

(3) Speech community. Dalam kategori ini, peneliti dapat melihat

komunitas ujaran itu sendiri, berikut batas-batasnya.

(4) Speech situation. Dalam kategori ini, peneliti dapat melihat situasi

ketika sebuah bentuk ujaran dipandang sesuai dengan komunitasnya.

(5) Speech event. Dalam kategori ini, peneliti dapat melihat peristiwa-

peristiwa ujaran yang dipertimbangkan merupakan bentuk komunikasi

yang layak bagi para anggota komunitas budaya.

(6) Speech art. Dalam kategori ini, peneliti dapat melihat seperangkat

perilaku khusus yang dianggap komunikasi dalam sebuah peristiwa ujaran.

(7) Component of speech acts. Dalam kategori ini, peneliti dapat

melihat komponen tindak ujaran.

35
(8) The rules of speking in the community. Dalam kategori ini, peneliti

dapat melihat garis-garis pedoman yang menjadi sarana penilaian perilaku

komunikatif.

(9) The function of speech in the community. Dalam kategori ini,

peneliti dapat melihat fungsi komunikasi dalam sebuah komunitas. Dalam

kerangka ini, menyangkut kepercayaan bahwa sebuah tindakan ujaran

dapat menyelesaikan masalah yang terjadi dalam komunitas budaya.

Menyimak hal tersebut, etnografi komunikasi memiliki

kemampuan untuk melihat variabilitas komunikasi.

3.3 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian akan dilaksanakan pada Kecamatan Omesuri,

Kedang, Kabupaten Lembata. Waktu penelitian ini dikisarkan pada

tanggal 1 Juni 2021 sampai dengan 1 Juli 2021.

3.4 Objek dan Subjek Penelitian

3.4.1 Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah masyarakat Kedang, Kecamatan

Omesuri, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Dengan dua desa

yaitu : Desa Melewiting dan Desa Walangsawa, informan dalam penelitian

ini adalah tokoh adat sebagai informan kunci, tokoh masyarakat sebagai

36
informan pendukung. Sumber informasi akan diperoleh dari hasil

wawancara.

3.4.2 Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah komunikasi ritual dalam upacara adat

perkawinan serta makna dan arti yang terkandung dalam prosesi adat

perkawinan pada orang Kedang, Kecamatan Omesuri, Kabupaten

Lembata, Nusa Tenggara Timur.

3.5 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

3.5.1 Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari

informan, baik yang dilakukan melalui wawancara, observasi dan alat

lainnya. Dalam penelitian ini, sumber penelitian meliputi wawancara

dengan tokoh adat, serta tokoh masyarakat yang telah mengikuti prosesi

adat perkawinan, serta masyarakat kecamatan omesuri.

3.5.2 Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustakaan atau

tertulis. Bahan pustakaan atau tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan

majalah ilmiah. Sumber dari arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi.

37
Selain itu juga bisa berupa karya ilmiah seperti skripsi, tesis atau disertasi

yang berkaitan dengan topik penelitian.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian kualitatif ini, yaitu

observasi, wawancara (interview), dan dokumentasi (documentation).

1. Observasi

Metode observasi adalah cara pengumpulan data melalui

pengamatan dan pencatatan dengan sistematik tentang fenomena-

fenomena yang diselidiki, baik secara langsung maupun tidak

langsung (Hadi,2004)

Dalam melakukan observasi peneliti melakukan penjelejahan

umum terhadap semua yang dilihat, didengar dan dirasakan. Peneliti

juga mengamati proses upacara adat yang dilaui kedua pasangan

sebelum menjadi suami-istri.

2. Wawancara Mendalam ( In-depeth)

Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar

informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat

dikonstruksikan makna dalam satu topik tertentu yaitu adanya

percakapan dengan maksud tertentu (Moleong, 2005).

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik wawancara

mendalam. Menurut Moleong (2005) wawancara mendalam

38
merupakan proses menggali informasi secara mendalam, terbuka dan

bebas dengan masalah dan fokus penelitian dan diarahkan pada pusat

penelitian. Dalam hal ini metode wawancara yang dilakukan dengan

adanya daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Secara

umum pengertian wawancara mendalam adalah proses memperoleh

keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab sambil

bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang

yang diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan pedoman

wawancara dimana pewawancara dan informan terlibat dalam

kehidupan sosial yang relative lama (Sutopo, 2006).

3. Dokumentasi

Yaitu mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan,

transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger,

agenda, dan sebagainnya. Dibandingkan dengan metode lain, maka

metode ini tidak begitu sulit, dalam arti apabila ada kekeliruan sumber

datanya masih tetap, belum berubah. Seperti yang telah dijelaskan

dalam menggunakan metode dokumentasi ini peneliti memegang

check-list untuk mencari data yang sudah ditentukan. Untuk mencatat

hal-hal yang bersifat bebas atau belum ditentukan dalam daftar,

peneliti dapat menggunakan kalimat bebas (Siyoto & Sodik, 2015).

39
3.7 Teknik Analisis Data

Untuk mengkaji perilaku komunikatif dalam masyarakat tutur,

diperlukan pengkajian unit-unit interaksi. Hymes (1972:58-59, dalam

Ibrahim, 1994:266-267) mengemukakan bahwa nested hier- archy

(hierarki lingkar) unit-unit yang disebut situasi tutur (speech situation),

peristiwa tutur (speech event), dan tindak tutur (speech act) akan berguna.

Dan, apa yang dia kemukakan sudah diterima secara luas. Dengan kata

lain, tindak tutur merupakan bagian dari peristiwa tutur dan peristiwa tutur

merupakan bagian dari situasi tutur. Nested hierarchy yang diungkapkan

oleh Hymes tersebut mendasari unit analisis yang penulis lakukan, yaitu

mendeskripsikan interaksi yang terjadi dalam praktik-prakrtik komunikatif

(communicative practices), yang terdiri dari: situasi komunikatif

(communicative situation), peristiwa komunikatif (communicative event),

dan tindak komunikatif (communicative act).

Situasi komunikatif (communicative situa- tion) merupakan

konteks terjadinya komunikasi, situasi bisa tetap sama walaupun lokasinya

berubah, atau bisa berubah dalam lokasi yang sama apabila aktivitas-

aktivitas yang berbeda berlangsung di tempat tersebut pada saat yang

berbeda. Situasi yang sama bisa mempertahankan konfigurasi umum yang

konsisten pada aktivitas dan ekologi yang sama di dalam komunikasi yang

terjadi, meskipun terdapat perbedaan dalam jenis interaksi yang terjadi di

sana (Ibrahim,1994:36).

40
Situasi komunikatif merupakan perluasan dari situasi tutur. namun,

situasi tutur tidaklah murni komunikatif; situasi ini bisa terdiri dari

peristiwa komunikatif maupun peristiwa yang bukan komunikatif. Situasi

bahasa tidak dengan sendirinya terpengaruh oleh kaidah-kaidah berbicara,

tetapi bisa diacu dengan menggunakan kaidah-kaidah berbicara itu sebagai

konteks.

Peristiwa komunikatif (communicative event) merupakan unit

dasar untuk tujuan deskriptif. Sebuah peristiwa tertentu didefinisikan

sebagai seluruh perangkat komponen yang utuh. Kerangka komponen

yang dimaksud, Dell Hymes menyebutnya sebagai nemonic

Models yang diakronimkan dalam kata speak- ing, yang terdiri

dari: setting/scene, participants, ends, act sequence, keys, instrumentalities,

norms of interaction, genre. Berikut penjelasan ringkas mengenai

komponen-komponen tersebut (Ibrahim, 1994:208-209):

a) Setting, merupakan lokasi (tempat), waktu, musim dan aspek fisik

situasi tersebut. Scene adalah abstrak dari situasi psikologis, definisi

kebudayaan mengenai situasi tersebut;

b) Participants, partisipan adalah pembicara, pendengar, atau yang

lainnya, termasuk kategori sosial yang berhubungan dengannya;

c) Ends, merupakan tujuan mengenai peristiwa secara umum dalam

bentuk tujuan interaksi partisipan secara individual. Secara

41
konvensional dikenal juga sebaiilll’gai fungsi, dan diharapkan sebagai

hasil akhir dari peristiwa yang terjadi;

d) Act Sequence, disebut juga urutan tindak komunikatif atau tindak

tutur, termasuk di dalamnya adalah message content (isi pesan), atau

referensi denotatif level permukaaan; apa yang dikomunikasikan;

e) Keys, mengacu pada cara atau spirit pelaksanaan tindak tutur, dan hal

tersebut merupakan fokus referensi;

f) Instrumentalities, merupakan bentuk pesan (message form). Termasuk

di dalammya, saluran vokal dan nonvokal, serta hakikat kode yang

digunakan;

g) Norms of Interaction, merupakan norma-norma interaksi, termasuk di

dalamnya pengetahuan umum, pengandaian kebudayaan yang relevan,

atau pemahaman yang sama, yang memungkinkan adanya inferensi

tertentu yang harus dibuat, apa yang harus dipahami secara harfiah,

apa yang perlu diabaikan dan lain-lain;

h) Genre, secara jelas didefiniskan sebagai tipe peristiwa. Genre mengacu

pada kategori- kategori seperti puisi, mitologi, peribahasa, ceramah,

dan pesan-pesan komersial. Unit analisis etnografi komunikasi yang

terakhir, yang termasuk ke dalam lingkar hierarki Dell Hymes adalah

tindak komunikatif (communi- cative act). Tindak komunikatif

merupakan bagian dari peristiwa komunikatif. Tindak komunikatif

pada umumnya bersifat koterminus dengan fungsi interaksi tunggal,

42
seperti pernyataan referensial, permohonan, atau perintah, dan bisa

bersifat verbal atau nonverbal. Dalam konteks komunikatif, bahkan

diam pun merupakan tindak komunikatif konvensional (Ibrahim,

1994:38).

3.8 Teknik Keabsahan Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu teknik pemeriksaan

keabsahan data. Sedangkan untuk memperoleh keabsahan data temuan

perlu diteliti kredibilitasnya dengan menggunakan beberapa teknik seperti,

Presistent Observasion (observasi berlanjut), Trianggulasi, maupun

Perderieting (pemeriksaan sejawat melalui diskusi), (Moleong, 2007).

Pada penelitian ini pengecekan keabsahan data menggunakan

trianggulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan

sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau

pembanding terhadap data itu sendiri. Triangulasi data dilakukan dengan

cara membandingkan data hasil wawancara antar informan yang satu

dengan informan yang lainnya. data dapat dikatakan abasah apabila

terdapat persamaan atau kecocokan antara informasi satu dengan yang

lainnya.

43
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Tentang Kedang

Secara harafiah pengertian “Kedang” terdiri dari kata “Ke/e” yang

artinya kami atau kita, kata “dang” artinya menabuh. Kedang atau Edang

artinya kami atau kita menabuh yang ditabuh atau dipukul adalah

Gendang. Sebuah alat music yang dibuat dari kulit binatang khusunya

kulit rusa. Disebut alat musik karena “Gendang” merupakan kelengkapan

music tradisional Kedang yang disebut “Gong Gendang”(Kong Bawa),

yang biasa dipukul pada saat tertentu seperti kematian orangtua adat atau

pesta perkawinan. Ada ungkapan “E dang tatong lianamang” inilah alat

music paling kuno terbuat dari Bambu petung digunakan sebelum alat

musik “Gong gendang” seperti sekarang ini.

Kedang merupakan bagian dari pulau Lembata, sebagian besar

orang Kedang bermukim pada wilayah Kecamatan Omesuri dan

Kecamatan Buyasuri yang terdapat 42 desa. Dua kecamatan ini

merupakan Sembilan kecamatan yang ada dalam pulau Lembata. Namun

dilihat dari aspek lain wilayah ini mempunyai keunikan tersendiri baik dari

aspek bahasa, seni budaya, asal-usul, struktur sosial, berbeda dengan

wilayah-wilayah lain dipulau Lembata. Dari aspek bahasa, Kedang tidak

termasuk dalam rumpun bahasa Lamaholot seperti diwilayah lain

Lembata. Kedang mempunyai bahasa tersendiri yaitu bahasa Kedang.

44
4.2 Lokasi Penelitian

Kedang mempunyai dua kecamatan yaitu kecamatam Omesuri dan

Buyasuri. Peneliti melakukan penelitian pada kecamatan Omesuri, pada 2

desa yaitu desa Melewiting dan desa Walangsawa.

4.3 Profil Informan

Informan dalam penelitian ini berjumlah 4 orang yakni, 2 orang

tetua adat dan 2 tokoh masyarakat dari setiap Desa Melewiting dan Desa

Walangsawa.

Tabel 2 Karakteristik Informan

No Inisial Usia Jenis Kelamin Etnis Keterangan


Informan
1 AK 59 Laki-laki Kedang Tetua adat desa
Melewiting
2 YK 74 Laki-laki Kedang Tokoh
masyarakat desa
Melewiting
3 ML 85 Laki-laki Kedang Tetua adat desa
Walangsawa
4 PL 73 Laki-laki Kedang Tokoh
masyarakat desa
Walangsawa

4.4 Hasil Penelitian

Orang Kedang sangat menjunjung tinggi nilai dan norma,

menghormati pola pergaulan yang sehat, beretika dan memiliki tata krama,

termasuk pegaulan pemuda dan pemudi sehingga memiliki batas-batas

tesendiri. Apabila melanggar batas tersebut maka akan diberi sanksi adat,

dapat berupa Gong atau Gading, oleh karena itu pergaulan antara laki-laki

45
dan perempun tidak diizinkan sebelum dilakukannya ritual adat

perkawinan.

Perkawinan adat suku Kedang sudah ada sejak dahulu yang

diiwariskan turun temurun dari nenek moyang sampai saat ini, jauh

sebelum masuknya agama-agama di wilayah Kedang. Perkawinan dalam

budaya Kedang disebut ku’ we’ (baku ambil).

Seorang laki-laki boleh kawin apabila sudah memenuhi syarat-syarat

yaitu; sudah berusia dewasa (diatas usia 18 tahun), dan sudah mempunyai

pekerjaan sendiri, dalam istilah Kedang disebut paiq tuaq laq e’a, bele

witing paroq manuq..

Sedangkan seorang wanita yang akan dikawini hendaknya masih gadis

(belum menikah sama sekali) agar terbebas dari sanksi adat (bine puhu ai

ara). Wanita tersebut juga harus terbebas dari hal-hal berikut ini;

hubungan pernikahan dengan laki-laki lain, nafkah dari laki-laki lain yang

sudah memiliki pekerjaan tetap.

Dalam ritual adat perkawinan ini selalu melibatkan tiga unsur penting

yaitu orangtua (baik pria maupun wanita), kepala suku dari kedua belah

pihak, dan unsur pemerintah setempat (kepala desa, kepala dusun, ketua

RT/RW).

Perkawinan adat Kedang menganut perkawinan monogamy (poliandri)

maupunn poligami. Poligami diizinkan apabila suatu pasangan suami isteri

sama sekali belum memiliki anak atau belum memiliki anak laki-laki,

46
poligami diizinkan karena suku Kedang menganut system patrilinear (garis

keturunan menurut bapak atau ayah). Perkawinan adat Kedang idealnya,

adalah pekawinan antara seorang pemuda dengan seorang gadis yang

memiliki status mahan (sepupu satu kali) yaitu anak perempuan dari

saudara laki-laki ibu si pemuda (nare), disebut ideal karena pada

perkawinan ini lebih mudah dalam melakukan urusan adat dan lebih cepat

menemukan kata sepakat. Namun anak perempuan dari saudara

perempuan (binen) tidak diperkenankan untuk menikah dengan si pemuda

karena haram hukumnya, disebut ine utun. Haram hukumnya juga jika

anak dari saudara laki-laki bapak (sepupu) bahkan putera atau puteri yang

berada dalam satu marga (eho’-meker) untuk menikah. Menjadi haram

apabila menikahi saudara perempuan bapak atau ibu, jika terjadi

pernikahan atau perbuatan zinah diantara ketentuan perkawinan yang

bersifat haram tadi, mereka akan dikenakan sanksi adat yang disebut uya

loyo lada’ (akibat perbuatan zinah sedarah).

Pada perkawinan monogami (poliandri) adat Kedang menolak seorang

janda atapun duda unuk menikah lagi atau ketika menikah oranngtua

wanita yang berstatus janda tidak boleh lagi menerima belis dari suami

kedua. Dalam perjalannnya sejak masuknya agama-agama ke wilayah

Kedang, sistem perkawinan serta polanya mengikuti ajaran agama yang

dianut, baik itu poliandri mupun poligami.

Adapun tahapan dalam perkawinan adat Kedang yaitu:

47
1. Tahap Perkenalan (padayung nute/oluq loka weq)

Tahapannya diawali dengan Tahap Perkenalan (padayung nute/oluq

loka weq), pada tahap ini orang muda entah laki-laki atau perempuan yang

sudah berusia lebih dari 18 tahun, mulai saling mengenal melalui

pergaulan yang sehat, dapat terjadi ketika berada di pasar, mencari ikan di

saat pasang surut air laut (berkarang) atau ketika mengambil air untuk

kebutuhan sehari-hari di kali maupun di sumur-sumur yang umumnya

terletak jauh dari pemukiman. Di saat-saat seperti inilah orang muda saling

berkenalan melalui canda tawa sendau gurau mereka (padayung nute be ul

lala meti wei). Perkenalan juga dapat terjadi melalui tarian tandak

(hamang hedung) yang biasa dilakukan ketika dilangsungkannya pesta-

pesta rakyat, sambil menari para orang muda akan saling berbalas pantun

di antara mereka.

Contoh pantun yang biasa dituturkan yaitu:

Masyarakat wilayah pegunungan Kedang

- Dari pihak lelaki: Ebe muda bete bunuq

Pebaq nore paluluq

Namun nulon lelang pulung

- Balasan perempuan: Areq watan bele dau

Bakeq pilir arabau

48
Adoq mate ohaq tauq

Masyarakat pesisir Kedang

- Dari pihak lelaki: Ebe ida widaq peu

Peu pelang musing ua

Toang tedeng tara ua

- Balasan perempuan: Areq mayar tokaq waya

Waya loyo matan ayaq

Roho obaq sobaq saying

Ketika berkenalan, mulai muncul rasa suka diantara orang muda,

sehingga menggerakan hati laki-laki (ebe) memberanikan diri

mengungkapkan rasa suka terhadap seorang perempuan, si laki-laki akan

mengunjungi rumah si perempuan dan secara pribadi memberitahukan

kepada orangtua si perempuan bahwa ia menyukai anak perempuan

mereka. Orangtua si perempuan akan mendatangi rumah si laki-laki untuk

melakukan konfirmasi atas niatan tersebut. Setelah dari itu keluarga laki-

laki yaitu orangtua dan paman beserta seorang tetua adat yang menjadi

juru bicara, kembali mendatangi rumah keluarga si perempuan, “Kalau

sudah saling bertemu nanti biasanya lewat perantara, perantara itu

biasanya om kandung(Epu pu’en) untuk minta anak gadis yang disukai

tadi dijadikan dengan anak laki-laki mereka, tapi bersifat kelakar, jadi

49
nanti ada bahasa-bahasa kelakar. Seperti E’I mau dahang koq e’a iheq

laq jadi meminta sebidang tanah unutk berkebun, maksudnya itu minta

anak gadis tadi untuk dijadikan isteri. Nanti dari pihak perempuan bilang

E’a beq nore tapi nau ke dahang tuan buna bertanya dulu kepada pemilik

dari kebun itu (Tuan buna) anak gadis tadi, menanyakan kepastian anak

gadis mau dipersuntig atau tidak jadi nanti kembali lagi supaya dengar

kepastian anak gadis setuju dipersunting atau tidak orang Kedang bilang

Bale denger euq”. Ucap bapak Musa Leutuan.

Sesudah itu om kandung akan kembali dengan kesepakatan dengan

keluarga perempuan bahwa kepastiaannya akan diberitahukan kemudian,

Setelah memperoleh kepastian dan jawaban dari si perempuan bahwa ia

bersedia untuk disandingkan dengan si laki-laki maka tahap selanjutnya

yang harus ditempuh adalah tahap peminangan (dahang rehing).

2. Tahap Meminang (dahang rehing)

Pada tahap ini akan diselidiki latar belakang dari kedua calon

mempelai dari aspek:

1) Keabsahan dari keturunan nenek moyang atau dendam kusumat

(pernah saling berterai atau menghilangkan nyawa di masa lalu)

2) Secara khusus untuk calon mempelai yang memeluk agama

katolik, tidak memiliki hubungan darah dekat (binen buan naren

buan), untuk aspek ini perlu ada surat dispensasi dari keuskupan

agar bisa menikah.

50
Kemudian “Laki-laki harus punya persiapan tau buat buat

rumah(wetaq) supaya kawin datang bisa tinggal dirumah, tahu buat

tempat tidur(bale-bale), mau kasih makan harus kerja kebun, piara

binatang seperti Kambing, Ayam, sehingga segala sesuatu yang sudah di

persiapkan untuk bisa beli belis”. Ujar Bapak Musa Leutuan.

“sehingga pihak keluarga laki-laki masuk untuk meminang, bahasa

Kedang bilang “Teheq dien dahang aran”, kala bahasa Lamaholot bilang

“minang”. Ujar Bapak Ansel.

Pada tahap ini juru bicara akan mewakili pihak keluarga laki-laki

menyampaikan niatan kedatangan mereka untuk meminang anak gadis

keluarga perempuan. cukup orangtua dari pihak laki-laki bersama om

kandung (ine ame) dan juru bicara (tetua adat) yang datang ke rumah

keluarga perempuan. “Nanti keluarga laki-laki bawa hantaran (olon luoq

ta’in), berupa makanan, sirih pinang dan laong telun bentuk belis Kedang

selain Gong dan Gading. Sirih pinang dan laong diisi dalam sebuah sokal

kecil (apu’), kemudian dibawa ke rumah keluarga perempuan. Mal nore

noten wue nore panga, wiha’ mal uyung wue, demikian ungkapan

adatnya. Setelah itu keluarga pihak perempuan akan menghadirkan A’e

ame dan sesama saudaranya dalam suku bahkan suku lain yang ada

hubungan kekerabatan (Eho’ meker kangaring, dei suku kare’ aman)

untuk menyaksikan pembukaan sokal yang berisi sirih pinang dan laong

tadi (toho’nukur bata nabe).dibawah pimpinan suku A’e ame tadi, semua

yang hadir diumumkan bahwa si perempuan tadi sudah dipinang oleh

51
pihak ma’ing mereka sendiri sebagai calon isterinya. Ungkapan “Eto ulu’

nala’ eto nore nulung hala’, bono’ benihading, bono’ nore nading

hading”. Ujar Bapak Paskalis.

Sesudah sahnya pertunangan antara kedua jenis insan, kedua insan

dinasihati untuk jaga diri baik-baik sampai saat pengesahan perkawinan

adat yang biasanya telah disepakati lebih dahulu. selanjutnya mereka akan

makan siri pinang (ue mal), dan makan bersama. Akhir dari tahap ini

adalah kedua calon mempelai (ebe areq) saling menukar cincin yang

dikuti dengan petuah dari keluarga perempuan ke keluarga laki-laki (tebeq

nahaq). Selanjutnya akan ditetapkan waktu untuk penentuan mahar atau

belis (uang bele keq pae) untuk si perempuan.

3. Tahap Penentuaan Belis (uang bele)

Pada tahap pemberian belis (uang bele) akan didahului dengan

percakapan penetapan jumlah belis itu sendiri (bele keq pae) dengan

dihadiri oleh berbagai unsur dari kedua belah pihak yaitu kepala suku

atau ketua adat, tokoh-tokoh adat, pemerintah desa serta kedua oranngtua

calon mempelai. “Patokan belis pokok adalah apa yang disebut “noling

pitun-lemen-telun” yang masing-masingnya mempunyai arti sebagai

berikut., pitun tutu’ (omong atau beritahu), lemen loeng (memberitahu),

telun tuaq pai’ e’a la’. bila dirumuskan secara lengkap mengandung arti

bahwa pitun tutu’ dan lemen loeng merupakan pemberitahuan tentang

resminya kedua anak mereka untuk boleh kawin, hidup serumah, dan

52
bekerja sama untuk hidup mereka sebagai suami isteri (tuaq pai’ e’a

la’)”. Ujar Bapak Paskalis. “Kalau dulu Jumlah belis yang telah

ditetapkan menurut hasil seminar di Desa Melewiting tahun 1967 yaitu

“lemen leme telun udeq” sebagai tanda atau simbol jerih payah orangtua

si perempuan dalam melahirkan dan membesarkan anak perempuan

mereka (“ine neq oobi api tape alen, ame ne hiaq ai bele wei”). Tetapi

dalam prakteknya hingga saat ini penentuan jumlah belis tergantung dari

karakter pihak om (ine ame)”. Ujar Bapak Yakobus.

Pada umumnya belis tidak diberikan saat “uang bele keq’ pae” ini

terdapat “ungkapan “nau rota’paro nau hereng bele”, atau “nau naren

susah” menunjukan bahwa belis tidak segera diterima oleh ine ame saat itu

juga”. Ujar Bapak Yakobus. bahkan dikatakan haram apabila belis

diserahkan sebelum pengesahan perkawinan secara keagamaan.

4.5 Pembahasan

4.5.1 Analisis Proses Komunikasi Ritual Adat Perkawinan Kedang

Saat penulis mewawancarai para narasumber kunci, yaitu tetua

adat dan tokoh masyarakat, Bahasa yang dipakai dalam berbicara dengan

narasumber yakni Bahasa Indonesia, penulis melakukan wawancara secara

nonformal dengan pola bestruktur maupun tidak berstruktur.

Dalam memngumpulkan data, penulis lebih memilih untuk

mewawancarai narasumber karena lebih leluasa dalam bertanya terkait

penelitian yang dilakukan, ketika narasumber memberikan jawaban yang

53
kurang jelas dan belum dapat di pahami oleh penulis, maka penulis

memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai pertayaan yang

penulis lontarkan lalu meminta narasumber untuk menjawab pertanyaan

tersebut kembali, ketika dalam proses pengolahan data penulis

menemukan bahwa data yang diperoleh masih belum cukup sehingga

penulis akan menemui kembali narasumber itu secara langsung.

Pada etnografi komunikasi, adanya aktivitas komunikasi dapat

diidentifikasi sebagai peristiwa komunikasi. Bagi Hymes tindak

komunikatif mendapatkan statusnya dari konteks sosial, bentuk gramatika

dan intonasi.

Untuk mendeskripsikan dan menganalisis interkasi dan aktivitas

komunikasi yang terjadi dalam etnografi komunikasi, maka diperlukan

unit analisis yaitu siuasii komunikatif, peristiwa komunikatif dan tindakan

komunikatif.

1. Situasi Komunikatif dalam Ritual Adat Perkawinan Kedang

Situasi komunikatif dapat diartikan sebagai suasana ketika aktivitas-

aktivitas yang terjadi selama proses ritual adat perkawinan berlangsung.

Situasi komunikatif berperan penting agar aktivitas-aktivitas tersebut dapat

terwujud.

Dalam setiap tahapan ritual adat perkawinan Kedang, pada dasarnya

memerlukan situasi yang dapat mendukung terkonfigurasinya setiap

tahapan tersebut sebagai suatu urutan ritual adat perkawinan.

54
Pada keseluruhannya, ritual adat perkawinan Kedang berlangsung di

rumah keluarga perempuan maupun keluarga laki-laki dan rumah adat dari

pihak laki-laki. Situasi komunikatif pada tahap perkenalan tidak berubah

dari awal hingga akhir bersifat intens secara kekeluargaan, yang artinyaa

upacara tersebut hanya dihadiri oleh keluarga kedua belah pihak yakni

orangtua kedua mempelai, om kandung dan tetua adat dari pihak laki-laki

walaupun lokasinya tidak sama. Berbeda lagi pada tahap meminang dan

tahap penentuann belis, dimana situasi komunikatifnya lebih bersifat

terbuka, yang artinya bukan hanya dihadiri oleh pihak keluarga melainkan

juga kepala suku, tokoh-tokoh adat dan pemerinntah desa setempat.

2. Peristiwa Komunikatif dalam Ritual Adat Perkawinan Kedang

Peristiwa komunikatif merupakan keseluruhan unit dasar yang utuh

dan memiliki tujuan komunikasi, topik, dan partisipan yang sama sebagai

komponen deskriptif. Secara lebih jelas Dell Hymes memaparkan bahwa

analisis peristiwa komunikasi dimulai dengan mendeskripsikan

komponen-komponen yaitu sebagai berikut:

a. Setting, berhubungan dengan lokasi (tempat), waktu, musim dan aspek

fisik situasi tersebut. Ritual adat perkawinan masyarakat Kedang

umumnya dapat dilangsungkan kapan saja sepanjang tahun namun

juga disesuaikan dengan budaya dan kalender keagamaan. Ritual adat

perkawinan selalu dilaksanakan pada masa-masa tenang, atau masa

biasa dalam kalender keagamaan.

55
Pada tahap perkenalan bisa saja berlangsung dipasar,pergaulan

disekitar lingkungan tempat tinggal atau ketika mengambil air untuk

kehidupan sehari-hari. Ketika sudah saling suka satu sama lain si laki-

laki memberanikan diri untuk mendatangi rumah si perempuan.

Pada tahap meminang berlangsung di rumah pihak perempuan

dan pada umumnya pembicaraan selalu terjadi pada malam hari sekitar

pukul 19.00 WITA.

pada tahap penentuan belis selalu dilangsungkan di rumah adat

pihak laki-laki yang terjadi pada siang hari.

Tabel 3 Setting pada tiap Tahapan

Tahapan Setting
Perkawinan

Perkenalan pasar,pergaulan disekitar lingkungan tempat


tinggal atau ketika mengambil air untuk
kehidupan sehari-hari.

Peminangan rumah pihak perempuan dan pada umumnya


pembicaraan selalu terjadi pada malam hari
sekitar pukul 19.00 WITA.

Penentuan Belis rumah adat pihak laki-laki yang terjadi pada


siang hari.

b. Participants, partisipan adalah pembicara, pendengar, atau yang

lainnya, termasuk kategori sosial yang berhubungan dengannya.

Pada tahap perkenalan partisipan adalah laki-laki dan perempuan

beserta kedua orangtua dari kedua keluarga.

56
Pada tahap meminang partisipan adalah kedua orangtua, om

kandung (Epu Pu’en), tetua adat serta juru bicara yang hadir dalam

tahap ini.

Pada tahap penentuan belis partisipan adalah kedua mempelai,

orangtua, om kandung (Epu Pu’en),juru bicara, kepala suku atau tetua

adat, serta pemerintah desa.

Namun Pada ritual adat perkawinan tentunya participant utamanya

adalah juru bicara. Juru bicara mewakili keluarga dalam

menyampaikan niatan dan kesepakatan yang dinginkan oleh kedua

bela pihak keluarga.

Tabel 4 Participants pada tiap Tahapan

Tahapan Participants
Perkawinan

Perkenalan laki-laki dan perempuan beserta kedua orangtua


dari kedua keluarga.

Peminangan kedua orangtua, om kandung (Epu Pu’en), tetua


adat serta juru bicara

Penentuan Belis kedua mempelai, orangtua, om kandung (Epu


Pu’en),juru bicara, kepala suku atau tetua adat,
serta pemerintah desa.

c. Ends, merupakan tujuan mengenai peristiwa secara umum dalam

bentuk tujuan interaksi partisipan secara individual.

Pada tahap perkenalan adalah orang muda saling membalas pantun

dan berkenalan melalui canda tawa dan sendau gurau yang bertujuan

57
untuk mengikat satu sama lain yang kemudian menimbulkan rasa suka

si laki-laki terhadap si perempuan, sehingga pihak keluarga pria

mendatangi rumah keluarga perempuan biasanya melalui om kandung

(Epu Pu’en) sebagai perantara dengan tujuan menyampaikan lamaran

atas nama laki-laki umtuk melamar si perempuan,

Pada tahap peminangan dilakukan pengecekan latar belakang

kedua calon mempelai bertujuan untuk mendukung kelanjutan dari

tahapan berikutnya, bertujuan agar peminangan bisa berjalan dengan

lancar tanpa ada hambatan, kemuadian acara dilanjutkan dengan tukar

cincin diantara kedua calon mempelai menunjukan sebagai sahnya

pertunangan kedua jenis insan tersebut, dan dilanjtkan dengan

kesepakatan waktu penentuan belis.

Pada tahap penentuan belis yakni Pembicaraan terkait besarnya

belis yang harus dibayarkan kepada pihak perempuan. Dalam

penetapan jumlah belis yang harus dibayar terdapat cara untuk

menetapkannya sehingga belis diberikan sesuai dengan apa yang

diminta oleh keluarga perempuan sebagai tanda atau simbol jeri payah

orangtua si perempuan dalam melahirkan, membesarkan anak

perempuan mereka, dan membayar air susu mama. Belis tidak harus

diberikan dan diterima langsung oleh Ine ame pada saat Uang Bele

Keq Pae, namun ditentukan waktu berapa lama belis diserahkan dan

jadwal penyerahannya yang bertujuan tidak adannya kendala dalam

pengesahan perkawinan kedua mempelai secara keagamaan.

58
Tujuan dari ritual adat perkawinan pada dasarnya adalah untuk

mengikat kedua calon mempelai secara adat dan sah sebagai sepasang

suami istri dalam adat.

Tabel 5 Ends pada tiap Tahapan

Tahapan Ends
Perkawinan

Perkenalan  orang muda saling membalas pantun dan


berkenalan melalui canda tawa untuk
mengikat satu sama lain
 pihak keluarga pria mendatangi rumah
keluarga perempuan untuk
menyampaikan lamaran

Peminangan  pengecekan latar belakang kedua calon


mempelai bertujuan untuk mendukung
peminangan berjalan dengan baik
 tukar cincin diantara kedua calon
mempelai menunjukan sebagai sahnya
pertunangan kedua jenis insan

Penentuan Belis  belis yang diberikan sesuai dengan


permintaan keluarga perempuan dengan
tujuan sebagai tanda terima kasih dalam
melahirkan serta membesarkan anak
perempuan mereka
 Belis tidak harus diberikan dan diterima
langsung oleh Ine ame pada saat Uang
Bele Keq Pae, namun diberikan sesuai
jadwal yang ditentukan bertujuan tidak
adannya kendala dalam pengesahan
perkawinan kedua mempelai secara
keagamaan.

59
d. Act Sequence, disebut juga urutan tindak komunikatif atau tindak

tutur, termasuk di dalamnya adalah message content (isi pesan), atau

referensi denotatif level permukaaan; apa yang dikomunikasikan;

pada tahap perkenalan orang muda saling berbalas pantun untuk

mengungkapkan salam perkenalan dilanjutkan dengan inisiatif si laki-

laki untuk datang sendiri kerumah keluarga perempuan sebagai

ungkapan rasa suka kepada si perempuan, melalui perantara yaitu om

kandung mendatangi keluarga perempuan untuk menyampikan niatan

dalam melamar si perempuan atas nama si laki-laki “E’i dahang e’a

ara pai’ tua’ e’a la’” maksud dari ungkapan diatas secara harafiah

berarti mau meminta sebidang tanah untuk olah kebun dan tempat

sadap Tuak. Sementara pihak keluarga wanita akan menjawab “Nau e

dahang tuan buna” maksud nanti meminta persetujuan dari si

perempuan, suatu sikap hormat terhadap hak si perempuan untuk

menentukan pilihannya. Sesudah itu om kandung akan kembali dengan

kesepakatan dengan keluarga perempuan untuk mendengar kepastian.

setelahnya ada ungkapan bale denger euq yang meminta kesediaan

pihak laki-laki untuk bersabar menunggu jawaban si perempuan

sampai mereka datang kembali ke rumah keluarga perempuan pada

kesempatan berikutnya.

Pada tahap peminangan keluarga laki-laki menyiapkan hantaran

yang akan diberikan kepada keluarga perempuan yaitu Tuak(tuaq),

60
Sirih pinang(Ue mal), Tembako(Bako), membawa dengan makanan

seperti, Jagung titi(Hengan), Beras(Anen), Ikan(Iaq), Ayam(Manuk)

dan sebagainnya, semuannya itu diistilahkan dengan Ue Mal Bako

sudah termasuk makanan. Makanan, sirih pinang dan Laong Telun

bentuk belis Kedang selian Gading dan Gong. Sirih pinang dan Laong

diisi dalam sebuah Sokal kecil (Apu’), kemudian dihantar ke rumah

keluarga si perempuan Mal nore noten wue nore panga, wiha” lal

uyung wue, demikian ungkapan adatnya. Setelah itu keluarga pihak

wanita akan menghadirkan A’e Ame dan sesama saudaranya dalam

suku lain yang ada hubungan kekerabatan (eho’ meker kang aring, dei

suku kare’ aman) untuk menyaksikan pembukaan sokal yang berisi

sirih pinang dan laong tadi (toho’ nukur bata nabe). Dibawah

pimpinan ketua suku A’e Ame tadi, semua yang hadir diumumkan

bahwa si perempuan tadi sudah dipinang oleh pihak Ma’ing mereka

sendiri sebagai calon isterinya. ungkapan “eto ulu’ nala’ eto nore

nulungg hala’, bono’ benihading, bono’ nore nading hading”

menunjukan bahwa sahnya pertunangan antara kedua insan. Kedua

insan dinasihati untuk jaga diri baik-baik sampai saat pengesahan

perkawinan adat yang biasanya telah disepakati lebih dahulu.

Pada tahap penentuan belis ditandai dengan peristiwa adat “Uang

bele keq paeq” biasannya jumlah belis tidak dapat dipermasalahkan

lagi karena semuannya sudah dibakukan. pihak keluarga laki-laki

mendatangi rumah keluarga perempuan untuk menentukan jumlah

61
belis yang akan diberikan, belis tersebut tidak diberikan saat “uang

bele keq’ pae” ini terdapat unngkapan “nau rota’paro nau hereng

bele”, atau “nau naren susah” menunjukan bahwa belis tidak segera

diterima oleh ine ame saat itu juga, bahkan dikatakan haram apabila

belis diserahkan sebelum pengesahan perkawinan secara keagamaan.

Biasannya belis tidak langsung diberikan atau diambil oleh pihak “Ine

Ame” pada saat “Uang bele keq paeq” namun ditentukan waktu berapa

lama belis diserahkan, umumnya melalui apa yang disebut “Nau ka

olon tua’” yaitu saat dimana pihak “Ana Ma’ing” diberi makan

kemudian mendengarkan perhitungan kembali jumlah belis yang

menjadi beban tanggungannya oleh pihak “Ine Ame”. Kemudian baru

ditentukan suatu jadwal penyerahannya, waktu pihak “Ine Ame” pun

dapat menyerahkan balasannya berupa “Wela Mawang”. Penerimaan

belis sisannya pun lewat “Olon tua” yang biasaanya menghadirkan

banyak orang sebagai sanksi dari kedua pihak, baik “Ine Ame” maupun

pihak “Ma’ing”

62
Tabel 6 Act Sequence pada tiap Tahapan

Tahapan Act Sequence


Perkawinan

Perkenalan  “E’i dahang e’a ara pai’ tua’ e’a la’”


maksud dari ungkapan diatas secara
harafiah berarti mau meminta sebidang
tanah untuk olah kebun dan tempat
sadap Tuak.

 “Nau e dahang tuan buna” maksud nanti


meminta persetujuan dari si perempuan,
suatu sikap hormat terhadap hak si
perempuan untuk menentukan
pilihannya.

Peminangan “eto ulu’ nala’ eto nore nulungg hala’, bono’


benihading, bono’ nore nading hading”
menunjukan bahwa sahnya pertunangan antara
kedua insan.

Penentuan Belis  unngkapan “nau rota’paro nau hereng


bele”, atau “nau naren susah”
menunjukan bahwa belis tidak segera
diterima oleh ine ame saat itu juga,
bahkan dikatakan haram apabila belis
diserahkan sebelum pengesahan
perkawinan secara keagamaan.

e. Keys, mengacu pada cara atau spirit pelaksanaan tindak tutur, dan hal

tersebut merupakan fokus referensi;

pada tahap perkenalan petama-tama yang menjadi spirit yaitu rasa

saling suka satu sama lain diantara orang muda,

pada tahap meminang yaitu adanya niatan untuk mau hidup

bersama layaknya suami isteri melalui tata cara adat yang benar dan

berlaku dimasyarakat.

63
kemudian pada tahap penentuan belis yaitu langkah terakhir yang

menjadi syarat utama agar si perempuan dapat resmi dijadikan sebagai

calon isteri sehingga prosesi perkawinan secara adat dapat

dilangsungkan.

Tabel 7 Keys pada tiap Tahapan

Tahapan Keys
Perkawinan

Perkenalan rasa saling suka satu sama lain diantara orang


muda

Peminangan niatan untuk mau hidup bersama layaknya


suami isteri melalui tata cara adat yang benar
dan berlaku dimasyarakat

Penentuan Belis syarat utama agar si perempuan dapat resmi


dijadikan sebagai calon isteri sehingga prosesi
perkawinan secara adat dapat dilangsungkan.

f. Instrumentalities, merupakan bentuk pesan (message form).

Termasuk di dalammya, saluran vokal dan nonvokal, serta hakikat

kode yang digunakan; Dalam penelitian ini bentuk pesan yang dikaji

adalah bentuk pesan yang tersaji dalam ritual adat perkawinan adat

Kedang komponen ini merujuk pada bahasa atau kode ujaran yang

digunakan, peneliti menyimpulkan bahwa bentuk pesan yang terdapat

dalam ritual adalah komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi

verbal dilakukan mulai dari Tahap Perkenalan, tahap peminangan

sampai akhir tahap penentuan belis.

64
Pada tahap perkenalan komunikasi verbal digunakan pada saat

bertemunya kedua belah pihak mempelai dalam menyampaikan niatan

untuk melamar si perempuan.

Pada tahap peminangan komunikasi verbal digunakan dalam

mengumumkan sahnya pertunangan antara kedua insan dan kemudian

dinasehati untuk jaga diri baik-baik sampai saat pengesahan

perkawinan.

Pada tahap penentuan belis komunikasi verbal digunakan dalam

menentukan jumlah belis yang akan diberikan dan dibayarkan untuk

calon mempelai perempuan.

Sedangkan komunikasi nonverbal terletak pada artefak dan benda-

benda yang digunakan dalam ritual adat pekawinan adat Kedang.

benda-benda tersebut memiliki nilai dan makna simbolis bagi orang

Kedang. Bentuk pesan dalam perkawinan suku Kedang bahasa yang

digunakan yaitu menggunakan bahasa Kedang dan bahasa Indonesia.

akan tetapi ada bahasa adat Kedang yang memang tidak bisa

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia butuh pemahaman yang

mendalam untuk bisa dipahami.

65
Tabel 8 Instrumentalities pada tiap Tahapan

Tahapan Instrumentalities
Perkawinan

Perkenalan komunikasi verbal digunakan pada saat


bertemunya kedua belah pihak mempelai dalam
menyampaikan niatan untuk melamar si
perempuan.

Peminangan komunikasi verbal digunakan dalam


mengumumkan sahnya pertunangan antara
kedua insan

Penentuan Belis komunikasi verbal digunakan dalam


menentukan jumlah belis yang akan diberikan

g. Norms of Interaction, merupakan norma-norma interaksi, termasuk di

dalamnya pengetahuan umum, pengandaian kebudayaan yang relevan,

atau pemahaman yang sama, yang memungkinkan adanya inferensi

tertentu yang harus dibuat, apa yang harus dipahami secara harfiah,

apa yang perlu diabaikan dan lain-lain; kehadiran om (Ine ame) sangat

penting dan diutamakan dalam ritual adat perkawinan Kedang, karena

pada persetujuan akhir dari kesepakatan bersama dalam penentuan

belis om memiliki peran utama dalam menentukan jumlah belis yang

harus diberikan dan dibayarkan. ritual akan berjalan ketika om (Ine

ame) telah hadir. Dalam ritual adat perkawinan Kedang juga segala

sesuatu dikendalikan oleh juru bicara sehingga apa yang ingin

disampaikan oleh kedua belah pihak dibicarakan terlebih dahulu

kepada juru bicara masing-masing.

66
h. Genre, secara jelas didefiniskan sebagai tipe peristiwa. Genre

mengacu pada kategori- kategori seperti puisi, mitologi, peribahasa,

ceramah, dan pesan-pesan komersial.

Tipe peristiwa yang terjadi pada tahap perkenalan mengacu pada

canda tawa sendau gurau (padayung nute be ul lala meti wei), saling

berbalas pantun antara orang muda.

Pada tahap peminangan mengacu pada petuah dari keluarga

perempuan ke keluarga laki-laki (tebeq nahaq).

Pada tahap pemberian belis mengacu pada ungkapan pitun tutu’

dan lemen loeng merupakan pemberitahuan tentang resminya kedua

anak mereka untuk boleh kawin, hidup serumah, dan bekerja sama

untuk hidup mereka sebagai suami isteri (tuaq pai’ e’a la’).

Tabel 9 Genre pada tiap Tahapan

Tahapan Genre
Perkawinan

Perkenalan mengacu pada canda tawa sendau gurau


(padayung nute be ul lala meti wei), saling
berbalas pantun antara orang muda

Peminangan mengacu pada petuah dari keluarga perempuan ke


keluarga laki-laki (tebeq nahaq).

Penentuan Belis mengacu pada ungkapan pitun tutu’ dan lemen


loeng merupakan pemberitahuan tentang resminya
kedua anak mereka untuk boleh kawin, hidup
serumah, dan bekerja sama untuk hidup mereka
sebagai suami isteri (tuaq pai’ e’a la’).

67
3. Tindakan Komunikatif dalam Ritual Adat Perkawinan Kedang

Komponen terakhir dalam aktivitas komunikasi adalah tindak

komunikasi. Tindak komunikasi merupakan bagian dari peristiwa

komunikasi yang bersifat konterminus dengan fungsi interaksi tunggal

seperti peryataan referensial, permohonan dan perintah verbal atau

nonverbal. Tindak komunikatif merupakan level yang sederhana namun

sulit karena mempunyai perbedaan makna yang sangat tipis dalam kajian

etnografi.

Seperti pada tahap meminang keluarga laki-laki mendatangi keluarga

perempuan dengan membawa sirih pinang dan laong yang diisi didalam

sokal kecil. Ketika diterima dan dibuka oleh ketua suku A’e ame secara

tidak langsung itu menjadi tanda bahwa si perempuan sudah dipersunting

oleh pihak laki-laki.

4.6 Makna Komunikasi Ritual Dalam Perkawinan Adat Kedang

Dari setiap proses ritual adat perkawinan terkandung komunikasi

ritual yang mempunyai makna tertentu, akan tetapi ada komunikasi ritual

yang tidak dapat diartikan begitu saja harus mempunyai pemahaman yang

dalam untuk memahami setiap tuturan yang dilontarkan. Berikut bentuk

tuturan dalam proses ritual adat perkawinan Kedang;

a. Tutuq dien dahang dien

Maksud dari tuturan ini yaitu berbicara dan meminta dengan baik.

Pihak laki-laki berniat untuk meminang si perempuan dengan tutur

68
kata, cara penyampaian dan perilaku yang baik secara procedural

menurut norma agama dan adat budaya masyarakat Kedang.

b. Ebe areq

Maksud dari tuturan adat yaitu laki-laki dan perempuan. Kata ebe

artinya laki-laki dan areq artinya perempuan.

c. Bongan dahang

Kata bongan artinya bertamu dan dahang artinya meminta atau

bertanya. Bongan dahang dalam tuturan bahasa Kedang merupakan

tahap dimana pihak keluarga laki-laki mendatangi rumah pihak

keluarga perempuan untuk meminta kesedian keluarga perempuan agar

anak mereka disandingkan dengan anak laki-laki.

d. Ka ue mal min bako

Ungkapan ini mempunyai makna makan sirih pinang dan mengisap

rokok yang sudah menjadi tradisi dalam proses peminangan. Yang

diungkapkan oleh Epu bapa(keluarga pihak perempuan) sebagai

bentuk rasa menhormati dalam proses peminangan dimana mengajak

pihak keluarga laki-laki untuk bersama-sama memakan sirih pinang

dan mengisap rokok.

69
e. Teheq nahaq

Kata teheq artinya mangatakan dan nahaq artinya menasehati. Teheq

nahaq artinya memberi nasehat atau petuah. Setelah diakhir acara

dahang rehing(meminang), pihak perempuan kepada pihak laki-laki

memberi nasihat untuk menjaga dan menganggap anak gadis layaknya

anak kandung.

f. Huraq ka aten haraq

Pasangan calon pengantin (ebe areq) dikatakan huraq ka aten haraq

apabila telah melalui tahap peminangan. Berarti ebe areq telah

berjodoh menurut adat sehingga tidak bisa dipisahkan. Ketika telah

dinyatakan huraq ka aten haraq, maka keduanya boleh untuk miteng

teel nibon bale (saling mengunjungi).

g. Lipu mutung baraq mapaq

Mempunyai arti duduk diasata sudut bale-bale yang dilakukan pada

tahap penentuan belis (uang bele). Maksud dari tuturan lipu mutung

baraq mapaq yaitu orangtua adat perwakilan suku termasuk juru

bicara dan juga aparat pemerintahan dari pihak perempuan dan laki-

laki duduk bersama di setiap sudut bale-bale dalam acara penentuan

belis yang dimana dihadiri juga oleh perwakilan keluarga laki-laki dan

perempuan. Acara penentuan belis biasa dilakukan di tempat keluarga

pihak perempuan.

70
h. Noling piton lemen telu

Merupakan belis yang diminta oleh keluarga perempuan terhadap

pihak keluarga laki-laki. Biasanya dalam bentuk Gong atau Gading

sesuai permintaan keluaraga perempuan. Belis diartikan sebagai tanda

terima kasih kepada orangtua karna telah bersedia merelakan anak

gadis untuk dipersunting dan nilai bagai perempuan itu sendiri.

i. Unan modung

Merupakan tambahan Belis untuk keluarga perempuan dalam bentuk

lemen sue (ukuran Gong) sebagai jerih payah orang tua yang telah

membesarkan anak gadis.

j. Ei mau dahang koq e’a iheq laq

Biasa dituturkan pada tahap Bongan dahang (meminta) yang

diutarakan oleh juru bicara (tua adat)kepada pihak keluarga

perempuan, tuturan tersebut mengandung arti saya meminta sebidang

tanah untuk berkebun, dimana mempunyai maksud bahwa juru bicara

mewakili pihak lakilaki meminta anak gadis untuk dijadikan

pendamping hidup (dinikahkan).

k. E’a beq nore tapi nau ke dahang tuan buna

Tuturan ini berarti sebidang tanahnya ada namun terlebih dahulu kami

bertanya kepada pemiliknya. Pemilik (Tuan buna) dari sebidang tanah

(e’a) adalah anak gadis. Maksud dari tuturan ini yaitu keluarga

71
perempuan menyakinkan keluarga laki-laki bahwa mereka mempunyai

anak gadis tetapi lebih jelasnya pihak keluarga perempuan

menanyakan kepastian kepada anak gadis perihal menerima atau

menolak untuk dipersunting.

l. Tuaq paiq e’a laq

Berarti meminta anak gadis untuk dipersunting. Tuaq paiq artinya

Tuak dan e’a artinya sebidang tanah untuk berkebun.

m. Bale denger euq

Berarti kembali mendengar suara. Tuturan ini lanjutan dari tahap

Bongan dahang(meminta). Kembali mendengar (bale denger euq)

artinya kembali mendengar suara terkait kepastian diterima atau

ditolak permintaan keluarga laki-laki untuk mempersunting anak gadis

(Areq).

n. E’a o jadi kotan i

Tuturan ini merupakan kebun bisa kamu garap maksudnya anak gadis

(Areq) bisa dipersunting oleh laki-laki (Ebe).

o. On luoq ta’in

Berarti makanan yang sudah matang bisanya dibawa oleh pihak

keluarga laki-laki pada tahap meminang (Dahang rehing). On luoq

ta’in tidak sebatas makanan yang sudah jadi namun termasuk makanan

72
mentah atau belum jadi berupa kleso,ue mal (sirih pinang), tuak,

jagung titi, beras padi, beras jagung, kopi dan gula.

p. Miteng te’el nibon bale

Miteng te’el artinya malam tidur dan nibon bale artinya siang hari

pulang. Maksud dari tuturan ini ebe areq sudah bisa saling pulang

pergi dan mengunungi baik rumah keluarga laki-laki maupun

perempuan. Serta boleh menginap pada rumah dimana mereka

bertamu. Tuturan ini berlaku ketika masuk pada tahap meminang.

73
BAB V

PENUTUP

Hal-hal yang dipaparkan di dalam bab ini adalah kesimpulan dan saran.

Kesimpulan berisi jawaban padat dari rumusan masalah yang diteliti. Sedangkan

saran berisi masukan penulis kepada pihak-pihak yang dapat memanfaatkan hasil

penelitian ini.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil peneltian dan pembahasan data pada bab

sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Analisis proses komunikasi ritual adat perkawinan Kedang,

diperlukan unit analisis yaitu situasi komunikatif, peristiwa

komunikatif dan tindakan komunikatif.

a. Situasi komunikatif dalam ritual adat perkawinan Kedang.

Situasi komuniikatif pada tahap perkenalan tidak berubah

dari awal hingga akhir bersifat intens secara kekeluargaan,

yang artinyaa upacara tersebut hanya dihadiri oleh keluarga

kedua belah pihak yakni orangtua kedua mempelai, om

kandung dan tetua adat dari pihak laki-laki walaupun

lokasinya tidak sama. Berbeda lagi pada tahap meminang dan

tahap penentuann belis, dimana situasi komunikatifnya lebih

bersifat terbuka, yang artinya bukan hanya dihadiri oleh pihak

keluarga melainkan juga kepala suku, tokoh-tokoh adat dan

74
pemerinntah desa setempat.

b. Peristiwa komunikatif dalam ritual adat perkawinan Kedang

Peristiwa komunikatif merupakan keseluruhan unit dasar

yang utuh dan memiliki tujuan komunikasi, topik, dan

partisipan yang sama sebagai komponen deskriptif. Secara

lebhi jelas Dell Hymes memaparkan bahwa analisis peristiwa

komunikasi dimulai dengan mendeskripsikan komponen-

komponen yaitu sebagai berikut: setting, participants, ends,

act sequence, keys, instrumentalities, norms of interaction,

genre.

c. Tindakan komunikatif dalam ritual adat perkawinan Kedang

Tindak komunikasi merupakan bagian dari peristiwa

komunikasi yang bersifat konterminus dengan fungsi interaksi

tunggal seperti peryataan referensial, permohonan dan

perintah verbal atau nonverbal. Tindak komunikatif

merupakan level yang sederhana namun sulit karena

mempunyai perbedaan makna yang sangat tipis dalam kajian

etnografi. Seperti pada tahap meminang keluarga laki-laki

mendatangi keluarga perempuan dengan membawa sirih

pinang dan laong yang diisi didalam sokal kecil. Ketika

diterima dan dibuka oleh ketua suku A’e ame secara tidak

langsung itu menjadi tanda bahwa si perempuan sudah

dipersunting oleh pihak laki-laki

75
2. Makna yang terkadung didalam komunikasi ritual yang dilakukan

dalam tahapan upacara perkawinan masyarakat Kedang mengandung

tuturan serta bahasa adat Kedang di setiap tahapannya, akan tetapi

terdapat beberapa tuturan yang tidak bisa secara langsung di artikan

ke dalam bahasa Indonesia butuh pemahaman yang mendalam agar

bisa dipahami.

5.2 Saran

Selain kesimpulan, dalam babini peneliti akan mencoba memberi

beberapa-beberapa masukan kepada khalayak yang terlibat sekarang

dalam pembuatan karya ilmiah dan bahkan yang akan datang untuk

menjadi bahan referensi kelak.

Adapun saran yang akan disampaikan oleh penulis adalah sebagai

berikut:

1. Bagi Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi

Diharapkan mampu mengembangkan ilmu pengetahuannya dibidang

komunikasi dengan mengkaji dan meneliti terkait perkawinan adat

masyarakat suku Kedang di Lembata dengan metode kajian yang

berbeda.

2. Bagi Masyarakat Suku Kedang

Agar selalu memepertahankan kebudayaan yang ada, jangan sampai

kebudayaan yang ada luntur dengan adanya perkembangan zaman

76
yang semakin maju.

3. Bagi Pembaca

Dapat menjadi sumber pengetahuan dan pemahaman terkait

kebudayaan masyarakat Kedang dalam upacara adat perkawinan.

77
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Andi Prastowo. (2010). Menguasai Teknik-teknik Koleksi Data Penelitian

Kualitatif. Jogjakarta: DIVA Press

Basrowi dan Sukidin. (2002). Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro.

Surabaya: Insan Cendikia.

Bratawijaya Thomas Wiyasa. (2000). Upacara Tradisional Masyarakat Jawa.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Duvall, Evelyn Millis & Miller, Brent C. (1985). Marriage and Family

Development (Sixth Edition). New York: Harper & Row.

Hadi, Sutrisno. 2004. Metodologi Research 2. Yogyakrta: Andi Offest

Hymes, Dell. (1972). “Models in Interaction of Language an Social Life” dalam

Gumperz dan Hymes (eds.).

Hymes, Dell. (1974). Foundation of Sociolinguistics. Philadelphia: University of

Pennsylvania Press.

Keesing, M. Roger, (1992), Suatu Perspektif Kontemporer, Antropologi Budaya,

Erlangga

Koentjaraningrat. (1980). Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian

Rakyat

Koentjaraningrat. (2002). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka

Cipta

McQuail, Denis. (2000). Mass Communication Theory (Teori Komunikasi

Massa). Diterjemahkan oleh: Agus Dharma dan Aminuddin Ram.

78
Jakarta: Erlangga

McQuail, Dennis and Sven Windahl. (1993). Communication Models: For The

Study of Mass Communication. 2 nd Edition. New York: Longman Inc.

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya

Mulyana Deddy. (2005). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya

Olson, D. H., & DeFrain. (2006). Marriages and families: Intimacy, diversity,

and strengths, Fifth Edition. New York: McGraw-Hill.

Rostiati, A, dkk. (1995). Fungsi Upacara Tradisional Bagi Masyarakat

Pendukungnya. Bandung: Depdikbud, Dirjen Sejarah dan Nilai

Tradisional/Proyek Penelitian, Pengkajian, dan Pembinaan Nilai-nilai

Budaya Jawa Barat.

Seccombe, K., Warner, R, L, (2004). Marriages and Families : Relationship in

social context. California: Thomson Learning.

Siyoto & Sodik. 2015. Dasar Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Literasi Media

Publishing

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Bisnis(Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,

dan R&D). Bandung: Alfabeta

Sumarsono dan Paina Partana. (2002). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Puustaka

Pelajar.

Turner, J. S. Dan Helms D. B. (1987). Lifespan Development. Third Edition.

New York: Holt Rinehart and Winston

79
Jurnal :

Ramadhan Jamhar, Ahmad. (2019). Analisis Tutunan dalam Proses Peminangan

masyarakat Kedang Omesuri, Kabupaten Lembata (Sebuah Kajian

Prakmatik). Jurnal Sosial dan Humaniora, Vol. 1, (No. 2), 144-159.

https://ejournal.umbandung.ac.id/index.php/rasi/article/view/4, diakses

pada 10 Mei 2021.

80
LAMPIRAN 1. PEDOMAN WAWANCARA

1. Hal mendasar apa sehingga para orangtua hingga saat ini masih menjalankan

upacara adat perkawinan ?

2. Apa saja runtutan acara dalam prosesi upacara adat perrkawinan masyarakat

suku Kedang ?

3. Apa saja yang harus di siapakan sebelum menjalani upacara adat

perkawinan ?

4. Siapa saja yang terlibat dalam prosesi upacara adat perkawinan tersebut ?

5. Apa saja hambatan dalam prosesi upacara adat tersebut ?

6. Apa dampak yang terjadi jika prosesi upacara adat perkawinan tersebut tidak

dijalankan ?

81
LAMPIRAN 2. PEDOMAN OBSERVASI

No. Hal-hal yang diamati Tujuan pengamatan

1. Komunikasi riual dalam upacara adat Untuk mendeskripsikan proses Komunikasi


perkawinnan masyarakat suku Kedang riual dalam upacara adat perkawinnan
masyarakat suku Kedang
2. makna dalam komunikasi ritual Untuk mengetahui makna ritual upacara
adat perkawinan masyrakat suku Kedang

82
LAMPIRAN 3. TRANSKIP WAWANCARA

1. Nama : AK

Usia : 59 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Keterangan : Tetua Adat Desa Melewiting

1) Hal mendasar apa sehingga para orangtua hingga saat ini masih

menalankan upacara adat perkawinan ?

“ Upacara adat perkawinan itu kalau dari dulu sampai sekarang kita

harus lakukan sesuai dengan budaya adat Kedang artinya sudah

menjadi warisan orang tua leluhur dulu. Sehingga tetap dilaksanakan

dan ditegakan sesuai dengan aturan budaya adat kita, secara

Lamaholot ada bedanya dengan budaya adat Kedang ada beda sedikit,

tetapi pada posisi ini sama pada intinya adat perkawinan Suku

Kedang sudah diwariskan dari nenek moyang sejak dulu kala.”

2) Apa saja runtutan acara dalam prosesi upacara adat masyarakat suku

Kedang ?

“Dalam perkawinan secara budaya adat Kedang, awalnya posisi

perkawinan di dahului dengan saling kenal mengenal dan pacaran,

setelah itu adat tahapan-tahapan setelah pacaran. Mereka sudah

sepakat menyampaikan kepada orangtua, sehingga pihak keluarga

laki-laki masuk untuk meminang, bahasa Kedang bilang “Teheq dien

dahang aran”, kala bahasa Lamaholot bilang “minang”. Setelah

masuk minang tahapan berikutnya itu penentuan belis artinya untuk

83
mengikat kedua belah pihak dalam arti pihak “Ine Ame” dan “Maing”

dan juga pihak kedua mempelai pria dan wanita (Ebe Areq).

Penentuan belis dalam bahasa Kedang “Uang bele keq paeq” “Tutuq

nobol teheq te’a”. kalau “Tutuq” itu arti kedalam bahasa Indonesia itu

“Omong”, tetapi kalau “Nobol” dan “Te’a” itu tidak bisa diartikan

kedalam bahasa Indonesia tetapi maknanya itu dia mengikat suatu

ikatan adat yang menyatukan kedua belah pihak laki-laki dan

perempuan, jadi “Nobol te’a” itu artinya seperti itu. Dalam tahap

perkenalan itu biasa disebut “Tadang wau lalang mato” setelah itu

tahapan kedua meminang dan dilanjutkan penentuan belis.”

3) Apa saja yang disiapkan sebelum menjalani upacara adat

perkawinan ?

“ yang disiapkan itu pihak laki-laki datang membawa sirih pinang

(Ue mal), Tuak (Tuaq), tembako, ikan dan makanan lainnya sesuai

budaya adat kita Kedang. Waktu itu kehadiran pihak orangtua laki-

laki itu datang, bahasa awal yang diucapkan itu” Adan dahang paiq

tuaq lai ehaq” bicara awal dalam perkenalan, dia masuk terus omong

bilang “Ei adan taq noq ke dahang paiq tuaq e’a laq” dalam arti mau

Tanya bapak punya lahan kebun, diucapkannya kepada keluarga

pihak perempuan.”

4) Siapa saja yang terlibat dalam prosesi upacara adat perkawinan

tersebut ?

“ yang terlibat dalam proses adat perkawinan itu yang pertama, “Rian

84
meker ia mer”, keluarga besar suku dan tidak lupa kepala suku

dengan pemerintah desa hadir untuk mendengar dan menyaksikan.

Tetapi dulu pemerintah desa tidak terlalu dibutuhkan Cuma kepala

suku dan keluarga “Ine Ame” hanya itu saja tetapi sekarang harus ada

pemerintah desa”

5) Apa saja hambatan dalam proesi upacara adat tersebut ?

“Kalau hambatan itu setelah kita membahas tentang belis perkawinan

itu, tetntu sekali ada hambatan-hambatan, dalam arti setelah pihak

“Ine Ame” mengungkapkan dan menyampaikan banyak dan besarnya

belis, jika memang sesuai dengan aturan adat tidak ada hambatan

kalau diluar dari pada aturan adat maka ada hambatan. Dalam arti

pihak “Ana Maing” dia masih membuat penawaran segala macam.

Karena pihak “Ine Ame” meminta belis yang terlalu besar diluar batas

kemampuan keluarga laki-laki.”

6) Apa dampak yang terjadi jika prosesi upacara adat tersebut tidak

dijalankan ?

“ kalau memang tidak dijalankan berarti dia punya dampaknya. Yang

pertama, perkawinan kedua anak tertunda secara agama karena dalam

adat belum terselesaikan. Tetapi kalau ada timbal balik dari kedua

belah pihak menyetujui maka dampaknya tidak terlalu karena sudah

ada persetetujuan”

85
2. Nama : YK

Usia : 74 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Keterangan : Tokoh Masyarakat Desa Melewiting

1.) Hal mendasar apa sehingga para orangtua hingga saat ini masih

menalankan upacara adat perkawinan ?

”Turun temurun warisan dari atas itu sduah seperti itu jadi kita tetap

jalankan, tidak bisa dihilangkan karena itu adat dari warisan nenek

moyang, sehingga adat dipentingkan terlebih dahulu. Segala aspek

kehidupan tidak bisa terlepas dari yang namanya adat termasuk dalam

adat perkawinan dan juga seperti adat menyembah berhala itu juga

warisan yang harus kita laksanakan dan jalankan, orang pada desa

Melewiting bilang menyembah batu, tapi karena itu ada dukun yang

membuat upacara tersebut dan kita harus yakin, kalau tidak yakin

berarti tidak bisa, kita yakin bahwa itu menjadi kepercayaan kita

karena agama itu kemudian kalau adat lebih dahulu”

2.) Apa saja runtutan acara dalam prosesi upacara adat masyarakat suku

Kedang ?

“Yang pertama perkenalan biasa dalam bahas Kedang disebut

Padayung Nute atau Oluq loka weq, perkenalan antara lakilaki dan

perempuan mereka bertemu,berkenalan kemudian saling suka satu

sama lain kemudian memberitahu kepada orangtua masing-masing

dan orangtua saling bertemu, tidak bisa tolak namanya itu sudah

86
jodoh dari anak mereka. Kemudia yang kedua itu kita istilah bilang

kalau kawin yang baik itu meminang dengan membawa sirih pinang

masuk Tanya. Istilah macam-macam. Pura-pura kesana masuk Tanya,

melontarkan padayung atau kelakar seperti bukaq tuen atau notan,

kalau bukaq tuen itu artinya lahan baru, notan berarti

janda.meminang dalam istilah Kedang yaitu Tutuq dien dahang arang

bisa disebut juga dahang rehing ,berbicara dan bertanya baik-baik

dengan membawa sirih pinang kerumah keluarga perempuan dengan

persetujuan orangtua karena anak sudah setuju tinggal kita orangtua

masuk bertemu dan duduk omong, setelah selesai meminang masuk

tahap penentuan belis atau uang bele keq pae, melibatkan tua adat,

kepala suku, orangtua dan pemerintah desa. Tua adat itu ae ame,

kepala suku dia membawai suku itu saja. Setelah itu atur nikah

selama sebelum nikah laki-laki bisa pergi pulang seperti biasa

kerumah perempuan, sudah anggap seperti anak sendiri oleh orangtua

perempuan. Penentuan belis itu omong adatnya dan menentukan

waktu dan tanggal nikah, Kalau dulu Jumlah belis yang telah

ditetapkan menurut hasil seminar di Desa Melewiting tahun 1967

yaitu “lemen leme telun udeq” sebagai tanda atau simbol jerih payah

orangtua si perempuan dalam melahirkan dan membesarkan anak

perempuan mereka (“ine neq oobi api tape alen, ame ne hiaq ai bele

wei”). Tetapi dalam prakteknya hingga saat ini penentuan jumlah

belis tergantung dari karakter pihak om (ine ame)”. setelah habis

87
menentukan belis berapa yang akan diberikan kepada pihak keluarga

perempuan dan membayar air susu mama yang telah melahirkan dan

membesarkan anak perempuan mereka.”

3.) Apa saja yang harus disiapkan sebelum menjalani upacara adat

perkawinan ?

“Laki-laki mempunyai tanggung jawab dengan mempersiapkan Ue

mal bako dsampai dengan belis, pada tahap masuk minta yang perlu

dibawa itu Tuak(Tuaq), sirih pinang(Ue mal), Tembako(Bako),

membawa dengan makanan seperti, Jagung titi(Hengan),

Beras(Anen), Ikan(Iaq), Ayam(Manuk) dan sebagainya. Semuanya itu

diistilahkan dengan Ue Mal Bako sudah termasuk makanan.”

4.) Siapa saja yang terlibat dalam prosesi upacara adat perkawinan

tersebut ?

“Yang terlibat itu, Kedua calon mempelai, Orangtua, Pemerintah

desa, Tetua adat, serta Kepala suku.”

5.) Apa saja hambatan dalam proesi upacara adat tersebut ?

“Seperti permintaan dari keluarga perempuan yang tidak dipenuhi

olek keluarga pihak laki-laki itu juga jadi hambatan. Contohnya

macam sekarang pihak Ine Ame musti meminta belis Gading tapi dari

pihak laki-laki bilang Gading tidak ada, akan tetapi Ine Ame tetap

meminta Gading. Itu juga bisa menjadi salah satu hambatannya, bisa

juga dari salah satu keluaraga ada yang sakit dan kematian sehingga

upacara adat bisa ditunda sementara waktu dan akan dilaksanakan

88
kembali sampai kondisi kembali stabil.”

6.) Apa dampak yang terjadi jika prosesi upacara adat tersebut tidak

dijalankan ?

“Dampaknya itu ketika kita sudah omong adat semua kemudian tidak

jadi, itu akan dikenakan denda adat, tidak jadi itu entah dari lakilaki

ataupun perempuan tetap denda. Tapi kesalahan paling berat kembali

pada pihak laki-laki paling banyak, berarti kena denda dan sanksi

adat. Nanti Gong atau Gading diserahkan kepihak perempuan sebagai

tanda pemulihan nama baik dimata masyarakat.”

3. Nama : ML

Usia : 85 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Keterangan : Tetua Adat Desa Walangsawa

1.) Hal mendasar apa sehingga para orangtua hingga saat ini masih

menalankan upacara adat perkawinan ?

“Dari dulu nenek moyang itu sudah mewariskan adat istiadat ke anak

cucu mereka sampai saat ini, mau sampai kapanpun adat tetap

dijalankan, adat ini mulai dari sila keturunan yang sudah diwariskan,

kalau dihitung-hitung sudah dari berabad-abad yang lalu hingga

sekarang, jadi upacara adat perkawinan ini selalu dijalankan oleh kita

orang Kedang”.

89
2.) Apa saja runtutan acara dalam prosesi upacara adat masyarakat suku

Kedang ?

“Tahapan perkawinan itu biasanya diawali dengan suka sama suka

anatara anak muda, nanti mereka pulang kasih tau diorangtua masing-

masing kalau mereka ada suka dengan seseorang, setelah itu baru

orangtua dari kedua belah pihak itu bertemu. Kalau sduah saling

bertemu nanti biasanya lewat perantara, perantara itu biasanya om

kandung(Epu pu’en) untuk minta anak gadis yang disukai tadi

dijadikan dengan anak laki-laki mereka, tapi bersifat kelakar, jadi

nanti ada bahasa-bahasa kelakar. Seperti E’I mau dahang koq e’a

iheq laq jadi meminta sebidang tanah unutk berkebun, maksudnya itu

minta anak gadis tadi untuk dijadikan isteri. Nanti dari pihak

perempuan bilang E’a beq nore tapi nau ke dahang tuan buna

bertanya dulu kepada pemilik dari kebun itu (Tuan buna) anak gadis

tadi, menanyakan kepastian anak gadis mau dipersuntig atau tidak

jadi nanti kembali lagi supaya dengar kepastian anak gadis setuju

dipersunting atau tidak orang Kedang bilang Bale denger euq.

Kemudian masuk minang, bapak dan mama yang sudah

melahirkan dan membesarkan anak laki-laki dan perempuan jadi

kalau bisa kawin itu, Laki-laki harus punya persiapan tau buat buat

rumah(wetaq) supaya kawin datang bisa tinggal dirumah, tahu buat

tempat tidur(bale-bale), mau kasih makan harus kerja kebun, piara

binatang seperti Kambing, Ayam, sehingga segala sesuatu yang sudah

90
di persiapkan untuk bisa beli belis. Kalau sudah dewasa dan harta

ditangan itu sudah boleh masuk minang, nanti orangtua dan juru

bicara mendatangi rumah gadis yg dipersunting tadi dengan

membawa bambu berisi Tuak lalu dengan sirih Pinang pergi minta

perempuan. Laki-laki dan perempuan baku jodoh, orangtua dan

orangtua yang masuk minang. Dilanjutkan dengan penentuan belis,

suatu hal yang sangat menarik adalah belis tidak diberikan saat Uang

bele keq pae itu. Kata-kata macam itu seperti Nau rota’ paro nau

hereng bele atau nau naren susa menunjukan bahwa belis tidak

segera diterima oleh pihak Ina ame saat itu. Bahkan dikatakan haram

kalau belis diserah terima sebelum perkawinan secara agama”.

3.) Apa saja yang harus disiapkan sebelum menjalani upacara adat

perkawinan ?

“yang disiapakn itu seperti yang sudah bapak bilang diatas saat

meminang, pihak keluarga laki-laki siapkan Tuak, sirih pinang,

tembako hingga makan minum yang akan kita makan bersama di

rumah pihak keluarga perempuan, seperti beras, jagung titi, ikan,

ayam dan sebagainya”

4.) Siapa saja yang terlibat dalam prosesi upacara adat perkawinan

tersebut ?

“ yang terlibat dalam upacara adat perkawinan itu yang paling

penting orangtua laki-laki dan perempuan, keluarga besar dari kedua

belah pihak, kepala suku, serta pemerintah desa”

91
5.) Apa saja hambatan dalam proesi upacara adat tersebut ?

“ hambatannya itu jika dari Ana maing berarti tunda bisa ada

kematian atau sakit yang ditimpah oleh keluarga perempuan maupun

keluarga laki-laki”.

6.) Apa dampak yang terjadi jika prosesi upacara adat tersebut tidak

dijalankan ?

“Maka pada saat kedua mempelai sudah saling bertukar cicin

kemuadian ditengah perjalanan ada halangan yang membuat mereka

untuk tidak bisa maju ke pelaminan entah itu dari laki-laki maupun

perempuan maka akan dikenakan denda adat atau sanksi adat”.

4. Nama : PL

Usia : 73 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Keterangan : Tokoh Masyarakat Desa Walangsawa

1.) Hal mendasar apa sehingga para orangtua hingga saat ini masih

menalankan upacara adat perkawinan ?

” Tradisi yang tidak boleh dilupakan oleh masyarakat dari dulu,

tradisi perkawinan tidak diperhatikan lagi maka moral etika

perkawinan bisa punah karena tradisi itu berlandaskan etika dan

moral, tata karma dalam perkawinan, misalnya tidak boleh kawin lari

karena itu melanggar adat dan sanksi adat sehingga belis bertambah”.

2.) Apa saja runtutan acara dalam prosesi upacara adat masyarakat suku

92
Kedang ?

“Dalam proses perkawinan adat mempunyai 3 tahapan pertama,

tahapan perkenalan, tahap dimana ada saling suka sama lawan jenis,

kemusian saling berkenalan bisa saja bertemu dipasar, pada saat

bekarang dilaut, pergi mencari ikan ataupun disumur. Orang muda

dapat berkomunikasi dengan lancar dan saling bersendau gurau

(Padayung nute be ul lala meti wei) tetapi tetap memperhatikan etika

dan moral pergaulan agar tidak melanggar adat maupun agama, habis

dari pada itu sudah saling suka mereka beritahu ke orangtua untuk

meminta persetujuan dan jika disetujui mereka akan menghadap ke

keluarga si gadis yang disukai tadi, dan jika si gadis menerima

tawaran untuk ke jenjang lebih serius makan dilanjutkan tahap kedua

yaitu tahapan peminangan, nanti orangtua dari keluarga pihak laki-

laki membawa juru bicara dalam tahap ini untuk menyampaikan

kedatangan mereka kerumah keluarga perempuan, Nanti keluarga

laki-laki bawa hantaran (olon luoq ta’in), berupa makanan, sirih

pinang dan laong telun bentuk belis Kedang selain Gong dan Gading.

Sirih pinang dan laong diisi dalam sebuah sokal kecil (apu’),

kemudian dibawa ke rumah keluarga perempuan. Mal nore noten wue

nore panga, wiha’ mal uyung wue, demikian ungkapan adatnya.

Setelah itu keluarga pihak perempuan akan menghadirkan A’e ame

dan sesama saudaranya dalam suku bahkan suku lain yang ada

hubungan kekerabatan (Eho’ meker kangaring, dei suku kare’ aman)

93
untuk menyaksikan pembukaan sokal yang berisi sirih pinang dan

laong tadi (toho’nukur bata nabe).dibawah pimpinan suku A’e ame

tadi, semua yang hadir diumumkan bahwa si perempuan tadi sudah

dipinang oleh pihak ma’ing mereka sendiri sebagai calon isterinya.

Ungkapan “Eto ulu’ nala’ eto nore nulung hala’, bono’ benihading,

bono’ nore nading hading”. Setelah acara peminangan selesai

dilanjutkan dengan tahapan penentuan belis, pada tahap ini ditandai

dengan peristiwa adat Uang bele keq pae biasanya jumlah belis tidak

di permasalhkan lagi karena semuanya sudah dibakukan, kecuali baru

terjadi perkawinan atau ada pelanggaran-pelanggaran. Patokan belis

pokok adalah apa yang disebut “noling pitun-lemen-telun” yang

masing-masingnya mempunyai arti sebagai berikut., pitun tutu’

(omong atau beritahu), lemen loeng (memberitahu), telun tuaq pai’

e’a la’. bila dirumuskan secara lengkap mengandung arti bahwa pitun

tutu’ dan lemen loeng merupakan pemberitahuan tentang resminya

kedua anak mereka untuk boleh kawin, hidup serumah, dan bekerja

sama untuk hidup mereka sebagai suami isteri (tuaq pai’ e’a la’). Itu

prosesnya. Melanggar tahapan tersebut berarti mendapat denda adat,

tahapan tersebut di buat sampai tuang Tuak yang diketahui oleh

nenek moyang juga sehingga proses perkawinan adat harus melalui

prosedur adat.

3.) Apa saja yang harus disiapkan sebelum menalani upacara adat

perkawinan ?

94
“Pertama, menjadi manusia yang betul bertanggung jawab. Kedua,

menyiapkan makan minum serta keperluan dalam adat sesuai budaya

kita. Ketiga, orang yang terlibat dalam prosesi perkawinan harus

orang yang betul-betul tahu adat”.

4.) Siapa saja yang terlibat dalam prosesi upacara adat perkawinan

tersebut ?

“Yang terlibat dalam setiap prosesi adat itu pertama, orangtua dari

laki-laki dan perempuan. Kedua, calon kedua mempelai. Ketiga,

keluarga dekat yang bertanggung jawab dalam membayar belis”.

5.) Apa saja hambatan dalam proesi upacara adat tersebut ?

“Hambatan macam-macam, tergantung saling pengertian kedu belah

pihak, kadang-kadang terjadi orangtua wanita meminta belis harus

dibayar memang padahal dari keluarga pria belum ada belis, bisa-bisa

perkawinan dibatalkan tetapi itu dulu sekarang sudah tidak seperti

dulu lagi”.

6.) Apa dampak yang terjadi jika prosesi upacara adat tersebut tidak

dijalankan ?

“Seperti yang sudah dibilang tadi, dulu keputusan itu ya itu tapi

sekarang harus saling pengertian karena barang-barang adat sudah

mulai langka”.

95
LAMPIRAN 4. WAWANCARA

Wawancara dengan salah satu Tetua adat desa Melewiting

Wawancara dengan salah satu Tokoh masyarakat Desa Melewiting

96
Wawancara dengan salah satu Tetua adat desa Walangsawa

Wawancara dengan salah satu Tokoh masyarakat desa Walangsawa

97
98

Anda mungkin juga menyukai