Anda di halaman 1dari 17

MASA LALU DAN

ORANG-ORANG
SEKITAR
Setelah ku buka
pintu mobil yang
mengantarku pergi
ke tempat ini, aku
berdiri dan
termenung. Apa
aku layak untuk
tinggal sementara
waktu di tempat
seperti ini? Apa
tidak ada tempat
lain yang lebih
menyenangkan dan
membuat diriku jadi
lebih bersemangat?
Begitu banyak
pertanyaan-
pertanyaan yang
singgah di
kepalaku, yang
sepertinya harus
aku terka-terka
sendiri.
Tampak seorang
perempuan paruh
baya yang keluar
dari balik pintu
tempat ini.
Sepertinya, ia
penjaga yang akan
menjagaku selama
aku disini. Ia tak
berdiri tepat di
hadapanku, agak
menjauh.
“Neng Asih ya?
Silahkan masuk
neng.”
Aku hanya
mengangguk dan
tersenyum kecil.
Segera ku percepat
langkahku
memasuki tempat
ini. Sedangkan
perempuan paruh
baya itu tetap
memberi jarak
diantara kita
berdua.
“Neng Asih tenang
saja, semua
keperluan Neng
Asih sudah ada
disini. Oh ya, nama
saya Bu Mira.”
“Terima kasih Bu
Mira, senang
bertemu ibu.”
“Kalau begitu saya
tinggal dulu ke
rumah sebelah ya
neng.”
Beberapa waktu
lalu kakekku pergi
dari dunia ini dan
tak pernah kembali
lagi. Diduga karena
positif covid-19. Ya,
penyakit yang
sudah menjadi tren
di masyarakat
tahun ini. Kebetulan
kakek tinggal
serumah denganku.
Sampai pada
akhirnya aku
terpapar covid-19,
yang mungkin
ditularkan dari
kakekku. Aku
terpaksa menjalani
isolasi mandiri di
tempat ini.
Sedangkan, ayah
dan ibuku baik-baik
saja. Semua hasil
pemeriksaan yang
mereka lakukan
negatif.
Tempat ini adalah
tempat khusus bagi
yang menjalani
isolasi mandiri
akibat covid-19.
Bentuknya seperti
kos-kosan.
Bedanya, tempat ini
sepi sekali seperti
berada di tengah
hutan.
Apa aku bisa
bertahan hidup di
tempat ini selama
beberapa hari?
Disini seperti tidak
ada dukungan
semangat untuk
hidup. Orang-orang
disini juga hanya
beberapa, tidak
banyak. Mereka
sepertinya juga
enggan kalau diajak
bercerita.
Kebanyakan dari
mereka hanya
duduk sambil
melamun, entah
apa yang dipikirkan.
Sudah 3 hari aku di
tempat ini, tapi
keadaanku malah
semakin
memburuk.
“Pasti Neng Asih
stress ya tinggal
disini? Atau Neng
Asih sudah tidak
punya harapan
untuk hidup lagi?”
Bu Mira seakan-
akan tahu isi hatiku.
“Hidup memang
penuh kejutan
neng. Kejutan itu
tak selamanya
berwujud bahagia,
tapi juga kepahitan.
Dan kepahitan itu
bukan akhir dari
sebuah perjalanan,
tapi bagian dari
perjalanan. Jadi,
mau tidak mau kita
harus menjalaninya.
Toh, hal-hal seperti
ini hanya
sementara kok
neng.”
Aku tersenyum
pada Bu Mira yang
sedari tadi
berbincang
denganku di depan
pintu kamarku.
Rasanya, yang
dikatakan Bu Mira
ada benarnya.
Lama kelamaan,
keadaanku sudah
berangsur
membaik. Tepat
hari ke-7 aku sudah
diperbolehkan
pulang. Semua
pemeriksaan yang
aku lakukan
hasilnya negatif.
Bergegas aku
keluar dari tempat
yang sangat tidak
menyenangkan ini.
Rasanya ingin
sekali cepat-cepat
pulang ke rumah.
Rupanya, ayah dan
ibu ku sudah
menungguku di
luar. Sontak, aku
memeluk keduanya.
Baru saja akan
turun dari mobil di
halaman depan
rumahku, aku
merasakan ada
sesuatu yang
berbeda. Tetangga
tepat sebelah
rumahku tiba-tiba
memandangku
dengan pandangan
yang tidak seperti
biasanya. Teman
sebaya ku yang
kebetulan lewat
depan rumahku,
juga memandangku
dengan kesan yang
tidak mengenakkan.
Ada apa ini
sebenarnya?
Mengapa semua
berbeda? Mengapa
mereka seakan-
akan
menganggapku
sebagai seorang
pidana yang telah
dipenjara selama 7
tahun?
Keesokan paginya,
aku memutuskan
untuk jogging di
sekitar komplek
rumahku. Kebetulan
Serina, teman
sebayaku yang
tinggal di gang
sebelah juga
melakukan hal yang
sama denganku.
Belum saja aku
panggil namanya,
dia sudah menjauh
saat melihat
kehadiranku.
“Serina, tunggu!”
Aku mencoba
mempercepat
langkahku
menyusul Serina.
Serina
memberhentikan
langkahnya. Ia
terdiam dan
melihatku dengan
tatapan yang
seolah-olah aku
adalah hal yang
menakutkan.
“Serina? Mengapa
kamu menjauh saat
melihat
kehadiranku?
Semua orang juga
demikian. Mengapa
Serina? Apa ada
yang salah
denganku?”
“Kamu sudah
terinfeksi virus kan,
Asih? Aku hanya
tidak mau tertular.”
Sekarang aku
paham. Rupanya
hal ini yang
membuat semua
orang terdekatku
berubah.
Aku pulang ke
rumah dan
memberitahu
semuanya yang
terjadi pada ayah
dan ibuku. Mereka
mengerti akan
keadaan yang aku
alami sekarang.
Mereka
memutuskan
mengundang para
tetangga untuk
hadir ke rumah.
Sekalian
mengadakan
pengajian kecil-kecil
an. Tentunya, para
tetangga yang hadir
wajib mematuhi
protokol kesehatan
yang ada.
Di pertemuan itu
ayahku
menjelaskan hal
yang sebenarnya
sudah terjadi
padaku. Syukurlah
mereka mengerti
dan sampai
sekarang mereka
sudah menerima ku
sebagaimana
layaknya orang
biasa, bukan seperti
hal yang
menakutkan lagi.
Setelah pertemuan
itu, aku, keluarga,
dan para tetangga
mulai menerapkan
kebiasaan baru.
Kebiasaan itu
seperti, menjaga
pola makan,
memakai masker,
mencuci tangan,
dan menjaga jarak.

Amanat :
1. Terkadang
hidup
memberikan
kepahitan
yang tidak
kita duga-
duga
hadirnya.
Tapi,
kepahitan itu
merupakan
bagian dari
perjalanan
hidup yang
harus kita
jalani.
Karena pada
akhirnya,
kepahitan itu
akan jadi
sesuatu yang
bisa
membahagia
kan dan
memberikan
kita
pelajaran.
2. Sebagian
orang pasti
memiliki
masa lalu
yang tidak
menyenangk
an. Tapi, kita
sebagai
manusia
harus
memaafkan
akan masa
lalunya dan
belajar
menerima
orang
tersebut
sebagaiman
a layaknya
orang baru
yang hadir di
hidup kita.

Anda mungkin juga menyukai