Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

Agama Islam adalah agama yang mengandung banyak kebaikan-kebaikan dengan beberapa
peraturan yang tujuannya demi kemaslahatan umat manusia itu tersendiri. Namun manusia-
manusia yang beragama Islam belumlah tentu orang yang beriman murni kepada Allah SWT, karena
apa yang dikatakan beriman bukan hanya sekedar mempunyai identitas keislaman saja, namun
banyak ha-hal yang harus diketahui. Yang paling utama adalah masalah aqidahnya. Keimanan itu
tidak berarti apa-apa jika tidak didasari dengan ketauhidan.

Perlu diketahui bahwa dasar Islam adalah tauhid, namun ketauhidan bukanlah jalan satu-satunya
seseorang disebut beriman, jika tanpa keyakinan hati dan pembuktian dari sikap manusia itu sendiri.
Keimanan dan perbuatan, atau dengan kata lain ‘akidah dan syariat, keduanya itu antara satu
dengan yang lain sambung menyambung, hubung-menghubungi dan tidak dapat berpisah yang satu
dengan yang lainnya. Maka untuk menjadi manusia yang beragama Islam namun sudah dikatakan
beriman bukanlah sesuatu yang mudah. Karena setiap amal seseorang selalu disertakan
penyebutannya dengan keimanan dengan hati yang benar.

Setiap manusia yang ingin mencapai keimanan yang sempurna maka hati yang dimilikinya hendaklah
sebersih mungkin. Karena setelah ia memiliki kebersihan hati itu, maka ia akan membenarkannya
dengan syahadah, kemudian tidak cukup sampai di situ, sehingga ia mencapai perbuatan-perbuatan
yang baik, namun kenyataannya pada awalnya terdapat pemikiran-pemikiran yang berbeda dalam
Islam yang terutama dalam hal keimanan dan keislaman seseorang. Untuk lebih jelasnya maka
berikut akan dibahas mengenai dimensi dalam Islam (Islam, iman, dan ihsan) serta aliran-aliran
pemikiran dalam Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

DIMENSI DAN ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM

A. Pengertian Dimensi dalam Islam (Islam, Iman, dan Ihsan)

Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw dan dia adalah agama
yang berintikkan keimanan dan perbuatan (amal).[1] Pada dasarnya Al-Islam yaitu Islam yang
dikehendaki oleh agama ialah tunduk dan takluk kepada segala perintah dan petunjuk yang
diberitahukan oleh Rasulullah saw.

Iman berasal dari kata “aamana”, artinya setia, mematuhi, dan kata “amina”, artinya berada dalam
keamanan (aman), tidak kuatir akan mara-bahaya. Al-Iman yaitu iman yang dimaksudkan oleh
agama Islam ialah pengakuan kebenaran sesuatu dengan hati dan “syara” ialah itikad (Ketetapan
keyakinan) dengan hati dan ikrar (pengakuan) dengan lidah, maka dinyatakanlah bahwa barang siapa
yang menyatakan pengakuan (syahadat) dan berbuat (menurut pengakuan itu) padahal tidak disertai
dengan itikad, maka ia adalah munafik, dan barang siapa menyatakan pengakuan tetapi tidak
berbuat walaupun ada itikad, ia fasik, dan barang siapa memungkiri syahadat ia kafir. Nabi
Muhammad mendefenisikan kata “iman” dengan sabdanya, “ iman adalah sebuah pengakuan
dengan hati, pengucapan dengan lisan dan aktivitas anggota badan”.

Ihsan berarti berbuat baik, membaikkan. Berbuat sebaik-baiknya bermakna berbuat sempurna.
Dengan demikian kata itu juga mengandung pengertian berbuat sempurna, menyempurnakan.[2]

Di dalam Hadits Nabi Muhammad berkata bahwa ihsan adalah “menyembah kepada Allah seolah-
olah kamu melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, maka sesungguhnya Ia melihat kamu”. Pada
dasarnya perlu diketahui bahwa Ihsan berasal dari kata husn, yang artinya menunjuk pada kualitas
sesuatu yang baik dan indah, karena pada mulanya jika manusia itu berbuat sesuatu yang indah,
tentunya hal itu akan membawa kebaikan pada Tuhan. Berulang kali al-Qur’an
memerintahkan manusia mengerjakan perbuatan baik, dan pada saat yang bersamaan, al-Qur’an
menjanjikan orang-orang yang berbuat kebajikan akan dibawa naungan kelembutan, keramahan
Tuhan. Seperti yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an surah Yunus ayat 26 yang artinya “Bagi orang-
orang yang berbuat baik, disediakan pahala yang terbaik dan tambahannya”. Dimana dalam
melaksanakan perbuatan baik itu seorang manusia yang pertama kali adalah melakukan tauhid.

B. Hubungan Dimensi dalam Islam (Islam, Iman dan Ihsan)

Sebenarnya dimensi-dimensi dalam Islam berawal dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari dan Imam Muslim yang dimuat dalam masing-masing kitab sahinya yang menceritakan
dialog antara Nabi Muhammad Saw dan Malaikat Jibril tentang trilogi ajaran Ilahi.[3]

Haditsnya sebagai berikut:

‫ َاْن ُتْؤ ِمَن‬: ‫ َي ا َر ُسْو َل ِهللا ؛ َم ا اِاْل ْي َم اُن ؟ َق اَل‬: ‫َك اَن رُسْو ُل ِهللا َص َّلى هللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َي ْو ًما بَاِر ًز ا ِللَّن ا ِس َف َاَت اُه َر ُجٌل َفَقاَل‬
‫ َاِاْلْس َالُم‬: ‫ َي ا َر ُسْو َل ِهللا َم ا اِاْلْس َال ُم ؟ َق اَل‬: ‫ قَاَل‬. ‫ِباِهلل َو َم َال ِئَك ِتِه َو ِك َت ا ِبِه َو ِلَقا ِئِه َو ُرُسِلِه َو ُتْؤ ِمَن ِباْلَب ْع ِث اآْل ِخ ِر‬
‫ َي ا َر ُسْو َل‬: ‫ قَاَل‬. ‫َاْن َت ْع ُبَد َهللا َو َال ُتْش ِر ْك ِبِه َش ْي ًئ ا َو ُتِقْي َم الَّص َالَة اْلَم ْك ُتْو َب َة َو ُتَؤ ِّد َي الَّز َكاَة اْلَم ْف ُرْو َض َة َو َت ُصْو َم َر َمَض اَن‬
‫ َاْن َت ْع ُبَد َهللا َك َأ َّن َك َت َر اُه َف ِإْن َلْم َت ُك ْن َت َر اُه َف ِاَّنُه َيَر اَك‬: ‫ِهللا ! َم ااِاْلْح َس اُن ؟ قَاَل‬.

“Nabi Muhammad Saw keluar dan (berada di sekitar sahabat) seseorang datang menghadap beliau
dan bertanya:” Hai Rasul Allah, apakah yang dimaksud dengan iman? “Beliau menjawab:
“ Iman adalah engkau percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, para
utusan-Nya, dan percaya kepada kebangkitan.” Laki-laki itu kemudian bertanya lagi: ” Apakah yang
dimaksud dengan Islam?’Beliau menjawab: “ Islam adalah engkau menyembah Allah dan tidak
musyrik kepada-Nya, engkau tegakkan salat wajib, engkau tunaikan zakat wajib, dan engkau
berpuasa pada bulan Ramadhan. “ Laki-laki itu kemudian bertanya lagi: “ Apakah yang dimaksud
dengan ihsan? “ Nabi Muhammad Saw menjawab: “ Engkau sembah Tuhan seakan-akan engkau
melihat-Nya; apabila engkau tidak melihat-Nya, maka (engkau berkeyakinan) bahwa Dia
melihatmu….”(Bukhari, I,t. th.23).

Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa antara Islam, iman, dan ihsan. Setiap pemeluk agama Islam
mengetahui dengan pasti bahwa Islam tidah absah tanpa iman, dan iman juga mustahil tanpa Islam.
Pada dasarnya setiap seorang yang mengaku beragama Islam bukanlah hanya sekedar Islam, namun
seseorang tersebut harus mempunyai kepercayaan (ketauhidan), membenarkan dengan hati lalu
dibuktikan dengan perbuatan-perbuatan yang baik. Dalam istilah Islam, iman, dan ihsan terdapat
tumpang tindih.[4]

Ibnu Taimiah menjelaskan bahwa din itu terdiri dari tiga unsur, yaitu Islam, iman dan ihsan. Dalam
tiga unsur itu terselip makna kejenjangan (tingkatan) : orang mulai dengan Islam, kemudian
berkembang ke arah iman, dan memuncak dalam ihsan. Beliau juga menjelaskan yang agak berbeda
tentang trilogi itu: pertama, orang-orang yang menerima warisan kitab suci dengan mempercayai
dan berpegang teguh pada ajaran-ajarannya, namun masih melakukan perbuatan-perbuatan zalim,
adalah orang yang baru ber-Islam, suatu tingkat permualaan dalam kebenaran; kedua, orang yang
menerima warisan kitab suci itu dapat berkembang menjadi mukmin, tingkat menengah, yaitu orang
yang telah terbebas dari perbuatan zalim namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja;
dan ketiga, perjalanan mukmin itu (yang telah terbebas dari perbuatan zalim) berkembang
perbuatan kebajikannya sehingga ia menjadi pelomba (sabiq) perbuatan kabajikan; maka ia
mencapai derajat ihsan. ” Orang yang telah mencapai tingkat ihsan.”kata Ibnu Taimiah, “akan masuk
surga tanpa mengalami azab.”(Nurcholish Madjid dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), 1994: 465)

Kalau kita lihat menurut mazhab Syafi’I dijelaskan bahwa “Tidaklah sempurna Islam seseorang jika
tidak disertai dengan iman”. Sedangkan menurut mazhab Hanafi Islam dan iman sangat berkaitan,
karena yang menyamakan antar Islam dan iman itu, hendaklah diartikan sebagai ketentuan untuk
menjalankan hukum syariat. Dalam menjalankan hukum syariat, diperbolehkan menikah dengan
seseorang yang tadinya musyrik, apabila ia telah mengaku masuk Islam dengan syarat yang cukup.
Untuk menentukan beriman atau tidaknya seseorang, bukanlah kesanggupan manusia untuk
menetapkannya. Inilah menurut mazhab Hanafi dalam membedakan antara Islam dengan iman.

Adapun perbedaan antara Islam dan iman yang disebutkan dalam sebuah ayat al-Qur’an berikut ini:

* ÏMs9$s% Ü>#{ôãF{$# $¨YtB#uä ( @è% öN©9 (#qãZÏB÷sè? `Å3»s9ur (#þqä9qè% $oYôJn=ó™r& $


£Js9ur È@äzô‰tƒ ß`»yJƒM}$# ’Îû öNä3Î/qè=è% ( bÎ)ur (#qãè‹ÏÜè? ©!$# ¼ã&s!qß™u‘ur Ÿw Nä3÷GÎ
=tƒ ô`ÏiB öNä3Î=»yJôãr& $º«ø‹x© 4 ¨bÎ) ©!$# Ö‘qàÿxî îLìÏm§‘ ÇÊÍÈ

“Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami Telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman,
tapi Katakanlah 'kami Telah tunduk', Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu
taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."(Q.S.al-Hujarat: 49 : 14).[5]

Terdapat beberapa hal yang terkandung di dalam ayat tersebut yang perlu diperhatikan. Pertama,
iman dan Islam merupakan dua hal yang berbeda. Kenyataannya orang badui tersebut telah tunduk
kepada perintah-perintah Allah namun tidak berarti mereka telah beriman kepada Allah. Bisa jadi
ketundukkan mereka lantaran takut kepada Allah atau untuk menjalin persahabatan atau
persekutuan, atau lantaran kepentingan untuk menikahi seorang gadis Muslim.
Kedua, iman bertempat di hati. Dalam ayat yang lain al-Qur’an menyatakan: mereka menyenangkan
hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak (9:8). Nabi Muhammad diberitahukan perihal
kaum badui bahwasannya mereka tidak beriman, lantaran tersebut tidak terdapat di dalam hati
mereka, sehingga dapat dikatakan bahwasannya mereka tidak memiliki persyaratan pengakuan
akan kebenaran dan tidak komitmen terhadapnya. Bahkan, harus diperhatikan bahwasannya Nabi
Muhammad menyatakan perihal mereka ini tidak berdasarkan anjuran Tuhan. Tuhan semata yang
berhak menilai ke dalam hati manusia dan menghakimi niat-niat dan pikiran mereka. Tuhan Maha
Mengetahui apa yang tersimpan di dalam hati kamu sekalian, (33:51), sedang kita semua tidak
mengetahui apa yang tersimpan di dalam hati orang lain.[6]

Ketiga, ketundukkan merupakan bidang ketaatan dan perbuatan (‘amal). Manusia taat kepada
Tuhan dengan mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka.[7]

C. Aliran Pemikiran Islam

1. Aliran-Aliran Kalam

Menurut Ibn Khaldun, Ilmu kalam adalah Ilmu berisi tentang alasan-alasan yang mempertahankan
kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan
teerhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan
Ahli Sunnah. Adapun Aliran-aliran ilmu kalam diantaranya:

a. Khawarij, kata ini berasal dari kata kharaja yang berarti “keluar”. Pada awalnya, Khawarij
merupakan aliran atau fraksi politik, kelompok ini terbentuk karena persoalan kepemimpinan umat
Islam, tetapi mereka membentuk suatu ajaran yang kemudian menjadi ciri umat, aliran mereka yaitu
ajaran tentang pelaku dosa besar ( murtakib al-kaba’ir ). menurut Khawarij orang-orang yang terlibat
dan menyetujui hasil tahkim telah melakukan dosa besar. Orang Islam yang melakukan dosa besar,
dalam pandangan mereka berarti telah kafir: kafir setelah memeluk Islam berarti murtad dan orang
murtad halal dibunuh berdasarkan hadis yang menyatakan bahwa nabi muhammad saw bersabda
”man baddala dinah faktuluh”.

b. Kelompok Murji’ah, di mana yang dipelopori oleh Ghilam Al-Dimasyqi berpendapat mereka
bersifat netral dan tidak mau mengkafirkan para sahabat yang terlambat dan menyetujui tahkim
dalam ajaran aliran ini, orang Islam yang melakukan dosa besar tidak boleh dihukum kedudukannya
dengan hukum dunia. Mereka tidak boleh ditentukan akan tinggal di neraka atau di surga,
kedudukan mereka ditentukan di akhirat. Dan bagi mereka Iman adalah pengetahuan tentang Allah
secara mutlak. Sedangkan kufur adalah ketidaktahuan tentang Tuhan secara mutlak, iman itu tidak
bertambah dan tidak berkurang.[8]

c. Qodariah adalah aliran yang memandang bahwa Manusia memiliki kebebasan dan
kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidupnya. menurut paham ini manusia mempunyai
kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

d. Jabariyah, menurut aliran ini manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan
perjalanan hidup dan mewujudkan perbuatannya, mereka hidup dalam keterpaksaan ( jabbar ),
karena aliran ini berpendapat sebaliknya; bahwa dalam hubungan dengan manusia, tuhan
itu Maha Kuasa. Karena itu, tuhanlah yang menentukan perjalanan hidup manusia dan yang
mewujudkannya. Ajaran ini dipelopori oleh Al-ja’d bin Dirham.
e. Mu’tazilah secara etimologi berasal dari kata a’tazala yang berarti mengambil jarak atau
memisahkan diri. Secara terminologi adalah aliran teologi Islam yang memberi porsi besar kepada
akal atau rasio di dalam membahas persoalan-persoalan ketuhanan.

Aliran mempunyai beberapa karya yang masih bisa ditemukan antara lain yaitu kitab Syarahal Ushul
al-Khamsah, kitab al-Majmu’ fi al-Muhit bi al-Taklif, kitab al-Mughni fi Abwab al-Tauhid wa
al-‘adl, kitab Tasbi Dalail al-Nubuwwah, kitab Mutasyabih al-Qur’an, dan kitab Tanzih al-Qur’an ‘an
Mata’in.[9]

f. Ahl sunnah wal jama’ah. Ahl sunnah wal jama’ah terbentuk akibat dari adanya penentangan
terhadap aliran Mu’tazilah oleh orang Mu’tazilah itu sendiri, mereka adalah Abu al-Hasan, Ali bin
Isma’il bin Abi basyar ishak bin Salim bin isma’il bin abd Allah bin Musa bin Bilal bin Abi burdah amr
bin Abi musa al-asy’ari.

2. Aliran-Aliran Fiqih

Secara historis, hukum Islam telah menjadi 2 aliran pada zaman sahabat Nabi Muhammad SAW. Dua
aliran tersebut adalah Madrasat Al-Madinah dan Madrasat Al-Baghdad/Madrasat Al-Hadits dan
Madrasat Al-Ra’y. Aliran Madinah terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di Madinah, aliran
Baghdad/kuffah juga terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di kota tersebut. Atas jasa sahabat
Nabi Muhammad SAW yang tinggal di Madinah, terbentuklah Fuqaha Sab’ah yang juga mengajarkan
dan mengembangkan gagasan guru-gurunya dari kalangan sahabat.

Diantara fuqaha sab’ah adalah Sa’id bin Al-Musayyab. Salah satu murid Sa’id bin Al-Musayyab adalah
Ibnu Syihab Al-Zuhri dan diantara murid Ibnu Syihab Al-Zuhri adalah Imam Malik pendiri aliran
Maliki. Ajaran Imam Maliki yang terkenal adalah menjadikan Ijma dan amal ulama madinah sebagai
hujjah. Dan di Baghdad terbentuk aliran ra’yu, di Kuffah adalah Abdullah bin Mas’ud, salah satu
muridnya adalah Al-Aswad bin Yazid Al-Nakha’i salah satu muridnya adalah Amir bin Syarahil Al-
Sya’bi dan salah satu muridnya adalah Abu Hanifah yang mendirikan aliran Hanafi. Salah satu ciri
fiqih Abu Hanifah adalah sangat ketat dalam penerimaan hadits. Murid Imam Malik dan Muhammad
As-Syaibani (sahabat dan penerus gagasan Abu Hanifah) adalah Muhammad bin Idris Al-Syafi’I,
pendiri aliran hukum yang dikenal dengan Syafi’iyah atau aliran Al-Syafi’i. Imam ini sangat terkenal
dalam pembahasan perubahan hukum Islam karena pendapatnya ia golongkan menjadi Qoul Qodim
dan Qoul Jadid. Dengan demikian, kita telah mengenal sejumlah aliran hukum islam yaitu Madrasah
Madinah, Madrasah Kuffah, Aliran Hanafi, Aliran Maliki, Aliran Syafi’I, Aliran Hanbali, Aliran
Zhahiriyah dan Aliran Jaririyah. Tidak dapat informasi yang lengkap mengenai aliran-aliran hukum
islam karena banyak aliran hukum yang muncul kemudian menghilang karena tidak ada yang
mengembangkannya.

3. Aliran-Aliran Tasawuf

Para penulis ajaran tasawuf, termasuk Harun Nasution, memperkirakan adanya unsur-unsur ajaran
non-Islam yang mempengaruhi ajaran tasawuf. Unsur-unsur yang dianggap berpengaruh pada ajaran
tasawuf adalah kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kesenangan materi. Pada dasarnya
tasawuf merupakan ajaran tentang Al-Zuhd (Zuhud), kemudian ia berkembang dan namanya diubah
menjadi tasawuf dan pelakunya disebut shufi. Zahid yang pertama adalah Al-Hasan A-Basir. Dia
pernah berdebat dengan Washil bin Atha’ dalam bidang teologi, ia berpendapat bahwa orang
mu’min tidak akan bahagia sebelum berjumpa dengan Tuhan. Zahid dari kalangan perempuan
adalah Rabi’ah Al-Adawiyah dari Basrah, ia menyatakan bahwa ia tidak bisa membenci orang lain,
bahkan tidak dapat mencintai Nabi Muhammad SAW, karenya cintanya hanya untuk Allah SWT.[10]

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw dan dia adalah agama
yang berintikkan keimanan dan perbuatan (amal). Iman yaitu iman yang dimaksudkan oleh agama
Islam ialah pengakuan kebenaran sesuatu dengan hati dan “syara” ialah itikad (Ketetapan
keyakinan) dengan hati dan ikrar (pengakuan) dengan lidah, maka dinyatakanlah bahwa barang siapa
yang menyatakan pengakuan (syahadat) dan berbuat (menurut pengakuan itu). Ihsan berarti
berbuat baik, membaikkan. Berbuat sebaik-baiknya bermakna berbuat sempurna. Di dalam Islam
terdapat dalam pemikirannya yaitu aliran kalam, tang terdiri dari beberapaaliran lagi yakni (Khawarij,
Murji’ah, Qadariah, Jabariyah, Mu’tazilah), lalu adapula aliran fiqih dan aliran tasawuf, dimana
aliran-aliran tersebut berbeda-beda dalam mengemukakan dalam hal pemikirannya tentang Islam
itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai